refrat hepatitis drug induced
TRANSCRIPT
REFRAT
HEPATITIS DRUG INDUCED
PEMBIMBING :DR. HARTANIAH SADIKIN, SPA
OLEH : ADIMAS TJINDARBUMI 97 – 044
I WAYAN SUMOYOGA 97 – 054ASRI SHADEEQ A.R.M. 98 – 058
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAKFAKULTAS KEDOKTERAN UKI
RSU FK UKI JAKARTA2004
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hepatitis drug induced sampai saat ini masih jarang terjadi di Indonesia. Ini bisa
terjadi diakibatkan oleh konsumsi obat – obatan, vitamin, obat herbal, dan makanan
suplemen. Biasanya efek akan terjadi setelah mengkonsumsi obat dan makanan tersebut
setelah beberapa bulan, atau kelebihan dosis. Tuberkulosis di Indonesia masih banyak
dijumpai, termasuk juga bagi penderitanya yang masih anak – anak. Pengobatan tuberkulosis
memerlukan waktu yang lama. Bila dosisnya berlebihan dalam waktu yang lama, hati
penderita sudah tidak mampu memetabolisme obat – obatan yang dikonsumsinya, maka
dapat memicu terjadinya hepatits drug induced.
Insiden
Angka kejadian hepatitis drug induced di Indonesia belum ada yang pasti, namun
dengan masih banyaknya kasus Tuberkulosis di Indonesia, maka persentasinya akan lebih
tinggi dibandingkan dengan negara – negara yang sudah sedikit memiliki kasus Tuberkulosis.
Pada tahun 1995, hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan
bahwa penyakit Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 (tiga) setelah penyakit
kardiovaskuler, dan penyakit saluran pernapasan pada semua usia. Secara kasar, diperkirakan
setiap 100.000 penduduk Indonesia, terdapat 130 penderita baru Tuberkulosis paru dengan
BTA (Basil Tahan Asam) positif.(1)
PEMBAHASAN
Anatomi Hati(2)
Waktu lahir, berat hati sekitar 120 – 160 g. Kemudian berat ini bertambah sesuai
dengan pertumbuhan anak. Pada umur 2 tahun, berat hati bertambah 2 kali lipat, pada usia 3
tahun beratnya menjadi 3 kali lipat, sedangkan pada umur 9 tahun, dan masa pubertas
mencapai masing – masing 6 dan 10 kali berat waktu lahir. Hati berada di bawah rongga
dada dengan bagian atas memotong garis medio-klavikula kanan pada sela iga 5-6, dan
memotong garis aksiler kanan pada sela iga 7. Batas bawah berada 1 cm di bawah garis
lengkung iga kanan.
Fungsi Hati (2)
Hati sangat penting dalam metabolisme bahan makanan antara lain:
1. Hati berperan dalam mempertahankan gula darah dengan jalan membentuk dan
menyimpan glikogen. Glikogen dibentuk dari glukosa, levulosa, galaktosa dan
laktosa. Hati dapat juga merubah asam amino glikogenik dan gliserol menjadi
dekstrosa, yang kemudian dirubah menjadi glikogen (glikogenesis). Sedangkan
glikogen dapat dirubah oleh hati menjadi glukosa sesuai dengan kebutuhan
(glikogenolisis).
2. Tempat sintesis dan oksidasi lemak. Hampir semua lemak dimetabolisir di dalam hati.
Zat lemak yang dipadukan dengan lesitin akan membentuk fosfolipid yang mudah
diangkut dan dalam keadaan siap pakai. Kolesterol dibuat di hati dari asam asetat,
sedangkan esternya merupakan gabungan kolesterol dengan asam lemak. Lipoprotein
plasma yang mengangkut trigliserida juga dibuat di hati. Hati bersama-sama dengan
ginjal memecahkan asam lemak berantai panjang menjadi benda-benda keton. Benda
keton ini akan banyak dihasilkan oleh tubuh pada masa kelaparan. Benda keton akan
dikeluarkan bersama air kemih.
3. Ureum dibuat di hati dan merupakan deaminasi protein. Zat protein seperti
fibrinogen, globulin dan protrombin dibuat di hati.
4. Vitamin A, C, D disimpan di hati. Hati juga mengolah bahan baku vitamin A
(provitamin A) menjadi vitamin A. Riboflavin, vitamin E dan K juga disimpan di
hati.
5. Hati berfungsi juga sebagai pembentuk darah terutama pada masa neonatus dan hati
juga merupakan cadangan penyimpanan zat besi.
6. Hati berfungsi sebagai penawar racun yang membahayakan tubuh serta berupaya agar
bahan tersebut dapat dikeluarkan dengan segera.
Kelainan Biokimiawi (2)
Perubahan hati dapat diperlihatkan pada perubahan:
1. Enzim Serum seperti transaminase, dehidrogenase, peptidase dan fosfatase alkali
yang akan meninggi pada kerusakan hati dan kelainan obstruktif. Namun organ lain
juga dapat berbuat hal yang sama dengan hati, sehingga peninggian zat-zat tersebut
bukan monopoli kelainan hati.
• Fosfatase alkali
Angka normal untuk bayi 1-3 bulan adalah 73-226 IU, untuk anak 3-10 tahun
sekitar 57-258 UI. Angka ini akan meningkat pada kelainan obstruktif, baik intra
atau ekstrahepatal. Kelainan fosfatase alkali lebih banyak menunjukkan adanya
obstruksi bilier, tumor hepar atau adanya proses desak ruang seperti pada
amiloidosis, leukimia, abses, tuberkulosis, sarkoidosis. Kenaikan fosfatase alkali
juga dapat terjadi pada penyakit tulang seperti rakitis dan hiperparatiroidisme.
• Transaminase
Enzim ini meningkat pada kerusakan sel hati aktif, nekrosis, terutama enzim
“glutamic oxaloacetic transaminase”. Pada hepatitis virus kadar GOT serum
melebihi 800 UI dan merupakan tanda penyakit ini. Penyakit lain seperti
mononukleosis dan hepatitis toksik juga menunjukkan kenaikan enzim tersebut.
• Dehidrogenase
Peninggian enzim “lactic dehidrogenase” (LDH) 4-5 kali normal (bayi sampai
10 hari 308-1780 UI, sedangkan anak antara 87-189 UI) terdapat pada penyakit
hepatitis akut dan kronik serta sirosis. Pada kelainan obstruktif, enzim ini tidak
meninggi.
2. Albumin dan globulin
Albumin akan menurun pada penyakit hepatoseluler. Globulin alfa dan beta akan
meningkat pada infeksi dan kelainan obstruktif. Meskipun globulin gama bukan
merupakan hasil fungsi hati, namun peninggian kadar ini yang sangat tinggi terdapat pada
sirosis pascanekrotik dan bilier.
3. Faktor Pembekuan
Pada sirosis hepatis, faktor VII lebih menurun daripada faktor I, II dan X. Faktor V
lebih banyak menurun pada hepatitis akut.
4. Fetoprotein alfa-1
Zat ini banyak dibuat semasa embrio dan akan segera menghilang setelah lahir. Kadar
fetoprotein alfa-1 yang tetap tinggi terdapat pada hepatoma. Untuk anak kenaikan zat
tersebut spesifik untuk hepatoblastoma.
5. Kolesterol
Kadar kolesterol meningkat pada kolestasis karena kegagalan ekskresi. Pada
kerusakan hepatoseluler akan terjadi penurunan sintesis kolesterol.
Definisi Hepatitis (3)
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang memberikan
gejala klinis khas, yaitu badan lemas, kencing saperti air teh pekat, mata dan seluruh
badan menjadi kuning.
Penyebab dari hepatitis dapat dibagi atas:
1. Hepatitis oleh virus
2. Hepatitis oleh bakteri
3. Hepatitis oleh obat-obatan
Disamping pembagian hepatitis berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi juga atas
perjalanan penyakit, yaitu hepatitis akut dan hepatitis kronis. Dalam referat ini, hanya
akan dibahas mengenai hepatitis akibat pemakaian obat-obatan (drug-induced hepatitis).
Kerusakan Hati Akibat Obat / Toksin (4)
Hati, yang merupakan unsur penting dalam metabolisme obat, mudah sekali
menderita kerusakan fungsi dan strukturnya bila orang memakan, mendapat suntikan, dan
menghisap bahan beracun. Bahan hepatotoksik ini dapat menimbulkan kelainan mungkin
karena adanya 2 faktor berikut ini:
1. Faktor Intrinsik yang tergantung dari dosis obat
Kelainan yang ditimbulkan berupa kerusakan pada membran lipoid
(peroksidase) atau denaturasi protein. Obat yang termasuk golongan ini adalah
karbon tetraklorida dan trikloroetilen. Ada bahan lain yang dapat mengganggu
integritas dan konstitusi hepatosit, misalnya asetaminofen dan anti metabolit.
2. Idiosinkronasi
Pada anak kelainan yang tidak tergantung dosis obat ini jarang ditemui,
namun karena kelainan ini tidak dapat diduga perlu juga diperhatikan. Kelainan
ini terjadi akibat reaksi imunologik dengan gejala dan tanda yang tampak di luar
hati seperti demam, ruam, sakit sendi, dan eosinofilia. Kelainan hati yang
ditimbulkan.Kelainan hati yang ditimbulkannya bervariasi luas ,dapat berbentuk
tidak spesifik (aspirin) ,penimbunan lemak (tetrasiklin), kolestasis (klorpromazin),
kelainan akut kronik (INH) atau kronik (metildopa), nekrosis masif zona
(asetaminofen), trombosis vena hepatika (obat kontrasepsi), penyakit venoklusif
(anti metabolit), atau gambaran adenokarsinoma (sama dengan pemberian
androgen).
Hepatitis Akut(5)
Hanya dalam beberapa jumlah kecil pada pasien – pasien yang sedang
mengkonsumsi obat – obatan akan mendapatkan reaksi hepatitis akut. Biasanya
belum ada metode khusus untuk mengetahui siapa yang terkena hepatitis akut.
Reaksi yang terjadi tidak mempunyai korelasi dengan dosis obat, tetapi lebih
sering setelah mengkonsumsi berbagai macam obat – obatan. Onsetnya terlambat
satu minggu setelah minum obat – obatan tersebut.
Periode pre-ikterik dalam simptom gastrointestinal akan membentuk cikal
bakal hepatitis akut dan diikuti dengan jaundice, adanya feses berwarna putih
dempul, urin berwarna gelap, dan pembesaran massa hati. Tes – tes secara
biokimia mengindikasikan terjadinya kerusakan hepato – selular. Serum gamma-
globulin akan meningkat.
Bagi penderita yang kembali membaik, kadar serum bilirubin normal
maksimal dicapai dalam waktu 2 – 3 minggu. Bagi penderita yang memburuk,
ditunjukkan dengan mengecilnya massa hati, dan meninggal karena hepatic
failure. Angka mortalitas cukup tinggi, bagi penderita yang nyata secara klinis,
bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan penderita hepatitis virus. Jika keadaan
pre-hepatic coma, atau koma, maka angaka mortalitas mencapai 70%.
Gambaran histologi tidak dapat dibedakan dengan hepatitis virus akut.
Beberapa kasus menunjukkan bercak – bercak nekrotik, jembatan – jembatan,
fibrosis, kemudian berlanjut menjadi lebih luas, dan mencapai tahapan kerusakan
jaringan hati yang difus, dan kolaps. Infiltrasi peradangan juga dapat terlihat.
Obat – obatan yang menyebabkan ini semua dikarenakan oleh terbentuknya
metabolisme yang toksik terhadap sel – sel hati, atau metabolisme bisa bekerja
sebagai hapten, dengan bantuan sel protein, sehingga menginduksi respon imun
untuk merusak sel – sel hati.
Terdapat banyak obat – obatan yang menyebabkan reaksi pada sel – sel hati.
Ini bisa muncul setelah obat – obatan tersebut dijual di pasaran. Isoniazid, metil
dopa, dan haloten sudah dicantumkan efek sampingnya terhadap hati pada
kemasannya. Tetapi seharusnya setiap obat patut diperhatikan adanya efek
samping terhadap hati. Beberapa obat non steroid anti inflamasi, antibiotik, obat –
obatan kardiovaskuler, dan sistem saraf, bahkan seluruh metode pengobatan
farmasi secara modern saat ini. Konsumsi satu obat, dapat menimbulkan lebih
dari satu reaksi pada jaringan hati, dan dapat dikategorikan mengalami hepatitis
akut, kolestasis, dan reaksi hipersensitivitas.
Pada Obat Anti Tuberkulosis, contohnya isoniazid, memiliki kelemahan, yaitu
inhibitor amin-oksidasi, dapat menyebabkan hepatotoksisitas yang berat.
Kombinasi isoniazid dengan enzim penginduksi seperti rifampicin akan
meningkatkan faktor resikonya. Obat – obatan anestesi, dan alkohol, dapat juga
meningkatkan toksisitas isoniazid. Para-amino salisilat, dalam keadaan yang
berbeda, adalah enzim penghambat, yang bisa digunakan dengan kombinasi para-
amino salisilat – isoniazid yang cukup aman, dan telah digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis.
Peningkatan serum transaminase sering terjadi selama pengobatan 8 minggu
pertama. Biasanya tidak terdapat gejala – gejala klinis yang nyata, dan
transaminase kembali menurun, walaupun konsumsi isoniazid terus dilakukan.
Dengan demikian, transaminase seharusnya diperiksa sebelum pengobatan
dimulai, dan 4 minggu kemudiannya. Jika meningkat, harus diperiksa ulang tiap
minggunya. Peningkatan kadar transaminase mengindikasikan pengobatan harus
dihentikan. Hepatitis akan berkurang dengan cepat jika menghentikan
pengobatan, tetapi jika jaundice, ada kemungkinan 10% akan penderita akan
meninggal.
Rifampisin dilaporkan hepatotoksik bersamaan dengan dikonsumsinya juga
isoniazid. Rifampisin dapat menyebabkan hepatitis ringan, tapi ini masih dalam
reaksi hipersensitivitas umum.
Gejala Klinis (2,4)
Gejala klinisnya umumnya ringan dan tidak spesifik sehingga sulit dibedakan
dengan hepatitis kronik atau akut dan kolestasis oleh sebab lain. Biasanya gejala
timbul 2-5 minggu setelah kontak dengan bahan. Penderita akan mengeluh
menggigil, panas, timbul kemerahan di muka, gatal dan atralgia. Gejala prodromal
hampir mirip dengan hepatitis virus seperti timbulnya ikterus yang ringan dan
adanya rasa nyeri di perut kanan atas. Pemeriksaan laboratorium pun bervariasi .
Bila terjadi kerusakan hepatosit, maka akan ditemui kenaikan aktivitas enzim
aminotransferase (2 atau 3x nilai normal), kenaikan bilirubin serta penurunan
fungsi hati yaitu gangguan faktor pembekuan dan penurunan kadar albumin.
Daftar Obat Yang Merusak Jaringan Hati (2)
Antibiotika Tuberkulostatik Anti Metabolit
Tetrasiklin PAS Metroteksat
Eritromisin estolet Isoniazid 6- merkaptopurin
Nitrofurantoin Rifampisin Azatioprin
Ampisilin Pirazinamid Obat Anestesi
Sulfonamid Etionamid Haloten
Linkomisin Etambutol Kloroform
Anti konvulsan&
Anti depresan
Analgesik & Anti inflamasi Blok beta-adrenergik
Fenobarbital Fenilbutazon Propanolol
Difenilhidantoin Indometazin Agen Hipoglikemia
Irimetadion Parasetamol Klorpropamid
Klordiapoksid Aspirin Tolbutamid
Amitriptyline Dekstropropoksifen
Monoamin
Anti Tiroid Obat Lainnya
Metimazol Metiltestosteron
Karbimazol Steroid anabolik
Tiourasil Metildopa
Oksifenisatin
Nutrien intravena
Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Terhadap Jaringan Hati(1)
Sebagian besar penderita TBC dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping berat yaitu efek samping yang dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus ini
maka pemberian OAT harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke Unit Pelayanan
Kesehatan Spesialistik.
Efek samping ringan yaitu hanya menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak.
Gejala-gejala ini sering dapat ditanggulangi dengan obat-obat simptomatik dan obat
sederhana tetapi kadang-kadang menetap untuk beberapa waktu selama pengobatan dalam
hal ini, pemberian OAT dapat diteruskan.
Isoniasid (INH)
Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih
0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik.
Bila tanda-tanda hepatitisnya berat maka\ penderita harus dirujuk ke Unit Pelayanan
Kesehatan Spesialistik.
Rifampisin
Rifampisin bila diberikan sesuai dengan dosis yang dilanjurkan, jarang
menyebakan efek samping , terutama pada pemakaian yang terus menerus setiap hari.
Salah satu efek samping berat dari rifampisin adalah hepatitis walaupun ini sangat
jarang terjadi. Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-
obat hepatotoksik yang lain secara bersamaan akan meningkatkan risiko terjadinya
hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan. Bila
hepatitisnya sudah hilang/sembuh pemberian Rifampisin dapat diulang lagi.
Pirasinamid
Efek samping utama dari penggunaan pirasinamid adalah hepatitis. Juga dapat
terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan Arthritis Gout
yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang - kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya misalnya demam,
mual, kemerahan, dan reaksi kulit lainnya.
Streptomisin
Efek samping utama dari streptomisin adalah kerusakan saraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko efek tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita.
Kerusakan alat keseimbangan biasannya terjadi pada dua bulan pertama, dengan
tanda – tanda telinga mendenging (tinitus), pusing, dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan, atau dosisinya dikurangi
dengan 0,25 gram. Jika pengobatan diteruskan, maka kerusakan alat keseimbangan
akan makin parah dan menetap. Resiko ini terutama akan meningkat pada penderita
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang – kadang terjadi
berupa demam yang timbul tiba – tiba, disertai dengan sakit kepala, muntah, dan
eritema pada kulit. Hentikan pengobatan, dan segera rujuk penderita ke Unit
Pelayanan Kesehatan Spesialis.
Efek samping sementara dan ringan, misalnya reaksi setempat pada bekas
suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut, dan teling yang mendenging dapat
terjadi setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi), maka dosis dapat
dikurangi dengan 0,25 gram. Streptomisin dapat menembus barier plasenta, sehingga
tidak boleh diberikan pada wanita hamil, sebab dapat merusak saraf pendengaran
janin.
Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman penglihatan, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian, keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai. Efek
samping jarang terjadi bila dosisnya 15 – 25 mg/Kg BB per hari, atau 30 mg/Kg BB
yang diberikan tiga (3) kali seminggu. Setiap penderita yang menerima Etambutol
harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala – gejala gangguan penglihatan supaya
segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Karena resiko kerusakan okuler sulit
dideteksi pada anak – anak, maka Etambutol sebaiknya tidak diberikan pada anak.
Penatalaksanaan (2)
Pertama-tama obat yang tersangka menjadi penyebab kelainan hati harus dihentikan,
tetapi penyebab lain pun harus dicari juga. Tidak ada pengobatan yang khusus. Pengobatan
simptomatik dan supresif tergantung pada beratnya kerusakan hati dan organ lain. Bila
didapatkan pruritus berat dapat diberikan kolesteramin. Tidak ada obat yang dapat secara
khusus menetralkan efek toksik obat. Sisteamin mungkin bermanfaat dalam melindungi hati
terhadap parasetamol yang berlebihan, namun harus diberikan dalam waktu kurang dari 10
jam setelah parasetamol.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Program penanggulangan Tuberkulosis. Bakti Husada. Cetakan
kedelapan, Jakarta 2002; 2; 53-5.
2. Husain, R., Alatas, H. Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2
cetakan ketujuh, Jakarta; Staff pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta 1985; 517-36.
3. Hadi, Sujono. Hepatitis dalam Gastroenterologi. Edisi 6. Penerbit Alumni Bandung.
Bandung, 1995: 484-522.
4. Markum, AH. Kerusakan Hati Akibat Obat atau Toksin dalam Ilmu Kesehatan Anak,
Edisi ke 1. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002; 521.
5. Sherlock, Sheila ; James Dooley. Drugs and The Liver. Ninth edition. Blackwell
Scintific Publication. London, 1993: 337-8