76235877 oat induced hepatotoxity

29
OBAT ANTITUBERKULOSIS MENGINDUKSI HEPATOTOKSISITAS Alma Tostmann,*† Martin J Boeree,*† Rob E Aarnoutse,‡Wiel C M de Lange,† Andre J A M van der Ven§ and Richard Dekhuijzen* Abstrak Dasar penatalaksanaan TB adalah pengobatan 6-bulan isoniazid, rifampisin,pirazinamid dan etambutol. Kepatuhan berobat sangat penting dalam penyembuhan TB. Efek samping obat sering mempengaruhi kepatuhan yang negative, karena mereka sering membutuhkan perubahan pengobatan, yang dapat memiliki konsekuensi negatif bagi hasil pengobatan. Dalam makalah ini kami meninjau mengenai insiden, patologi dan klinis OAT menginduksi hepatotoksisitas, metabolisme dan mekanisme toksisitas isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, dan menggambarkan faktor-faktor risiko dan penatalaksanaan OAT menginduksi hepatotoksisitas. Laporan kejadian OAT menginduksi hepatotoksisitas adalah masalah yang paling serius dan berpotensi fatal, bervariasi antara 2% dan 28%. Faktor risikonya adalah usia lanjut, jenis kelamin perempuan, status asetilator lambat, kekurangan gizi, HIV dan penyakit hati sebelumnya. Namun, hal ini sangat sulit untuk memprediksi pasien seperti apa yang akan menjadi hepatotoksisitas selama pengobatan TB.

Upload: dhellaa-noviana

Post on 30-Dec-2015

41 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kkcdsac

TRANSCRIPT

Page 1: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

OBAT ANTITUBERKULOSIS MENGINDUKSI HEPATOTOKSISITAS

Alma Tostmann,*† Martin J Boeree,*† Rob E Aarnoutse,‡Wiel C M de Lange,†Andre J A M van der Ven§ and Richard Dekhuijzen*

Abstrak

Dasar penatalaksanaan TB adalah pengobatan 6-bulan isoniazid,

rifampisin,pirazinamid dan etambutol. Kepatuhan berobat sangat penting dalam

penyembuhan TB. Efek samping obat sering mempengaruhi kepatuhan yang

negative, karena mereka sering membutuhkan perubahan pengobatan, yang dapat

memiliki konsekuensi negatif bagi hasil pengobatan. Dalam makalah ini kami

meninjau mengenai insiden, patologi dan klinis OAT menginduksi

hepatotoksisitas, metabolisme dan mekanisme toksisitas isoniazid, rifampisin dan

pirazinamid, dan menggambarkan faktor-faktor risiko dan penatalaksanaan OAT

menginduksi hepatotoksisitas. Laporan kejadian OAT menginduksi

hepatotoksisitas adalah masalah yang paling serius dan berpotensi fatal, bervariasi

antara 2% dan 28%. Faktor risikonya adalah usia lanjut, jenis kelamin perempuan,

status asetilator lambat, kekurangan gizi, HIV dan penyakit hati sebelumnya.

Namun, hal ini sangat sulit untuk memprediksi pasien seperti apa yang akan

menjadi hepatotoksisitas selama pengobatan TB. Mekanisme yang tepat dari OAT

menginduksi hepatotoksisitas tidak diketahui, tetapi adanya metabolit toksik yang

berperan penting dalam perkembangan, setidaknya dalam kasus isoniazid.

Prioritas untuk studi masa depan termasuk studi dasar untuk menjelaskan

mekanisme OAT menginduksi hepatotoksisitas, penelitian faktor resiko genetik

dan pengembangan TB yang lebih pendek dan lebih aman dalam rejimen obat.

Kata kunci: Efek samping, agent antituberkular, pengobatan antituberkulosis,

obat menginduksi hepatitis, hidrazin, isoniazid, pirazinamid, rifampisin, rifampin,

hepatitis toksik.

Page 2: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Pendahuluan

Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab kematian utama dari

penyakit menular dapat disembuhkan. Sekitar 9 juta kasus TB baru terjadi pada

tahun 2004 dan 1,7 juta orang meninggal akibat TB pada tahun itu. Sub-Sahara

Afrika memiliki insiden dan angka kematian tertinggi, terutama karena HIV/

AIDS, sedangkan wilayah Asia Tenggara memiliki angka terbesar kedua pada

kasus baru dan kematian akibat TB. Pengobatan standar direkomendasikan untuk

TB paru dewasa adalah rejimen isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid selama 2

bulan, dilanjutkan 4 bulan untuk isoniazid dan rifampisin. Etambutol ini biasanya

ditambahkan ke rejimen ini dan streptomisin dianjurkan oleh Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) dalam kasus pengobatan ulang di sebagian besar negara-

negara berkembang.

Efek samping yang paling sering terjadi dari pengobatan antituberkulosis

adalah hepatotoksisitas, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan neurologis.

Hepatotoksisitas adalah salah satu yang paling serius dan merupakan Fokus

utama dari tinjauan ini. Obat antituberkulosis hepatotoksisitas yang diinduksi

(ATDH) menyebabkan morbiditas substansial dan kematian dan mengurangi

efektivitas pengobatan. Adanya peningkatan enzim transminase selama

pengobatan OAT umumnya asimtomatik, namun hepatotoksisitas bisa berakibat

fatal bila tidak diakui secara dini dan saat terapi tidak terganggu dalam waktu.

Efek samping mengurangi efektivitas pengobatan, karena mereka secara

signifikan berkontribusi terhadap ketidakpatuhan, akhirnya memberikan

kontribusi kegagalan pengobatan, kekambuhan atau munculnya resistance obat.4,6

Kepatuhan terhadap pengobatan yang diresepkan adalah penting untuk

menyembuhkan pasien dengan TB aktif. Karena masa pengobatan yang panjang,

pasien harus tetap termotivasi untuk melanjutkan pengobatan bahkan ketika dia

merasa lebih baik. Selain itu, gangguan pengobatan TB dan beralih ke obat lini

kedua antituberkulosis,diperlukan pada pasien yang tidak bisa mentolerir obat-

obatan standar, menghasilkan respon pengobatan sub-optimal.

Page 3: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Isoniazid, rifampisin dan pirazinamid adalah obat hepatotoksik yang

berpotensial.7 Obat-obat ini dimetabolisme oleh hati. Tidak ada hepatotoksisitas

obat telah dijelaskan untuk etambutol atau streptomisin.

Metabolisme adalah penting dalam ATDH dan metabolit toksik

memainkan peran utama. Makalah ini menyajikan kajian up-to-date singkat pada

kejadian dan mekanisme hepatotoksisitas disebabkan oleh lini pertama

pengobatan TB multidrug standar pada orang dewasa, melihat pada manajemen

klinis ATDH dan tujuan kedepan untuk penelitian.

Insiden, Gambaran Patologi dan Klinis

Banyak definisi untuk hepatotoksisitas yang diinduksi obat telah

digunakan dalam literatur. Sulit untuk menentukan dan mendiagnosa ATDH,

karena bagian dari definisi tersebut adalah pengecualian hepatitis virus atau

lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. Ada banyak metode untuk menilai

kausalitas reaksi obat yang merugikan, seperti kronologi pemberian obat, hasil uji

laboratorium atau respon untuk kembali administrasi obat. Temuan histologis

(biopsi hati atau otopsi) dapat mendukung diagnosis obat menginduksi

hepatotoksisitas.8

Pada umumnya definisi dari ATDH adalah pengobatan yang

menyebabkan peningkatan dalam serum alanine aminotransaminase lebih dari tiga

atau lima kali di atas batas normal, dengan atau tanpa gejala hepatitis. Tingkat

keparahan hepatotoksisitas diklasifikasikan menurut WHO Klasifikasi Standar

Toksisitas.9 (Lihat Tabel 1).

Page 4: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Insiden

Insiden ATDH selama pengobatan TB standar telah dilaporkann

bervariasi antara 2% dan 28%.10-24 Hal ini tergantung pada tingkat definisi peneliti

hepatotoksisitas di populasi yang diteliti. (Lihat Tabel 2). Kebanyakan penelitian

pada ATDH telah dilakukan di Eropa, Asia dan Amerika Serikat dan kejadian

bervariasi antara wilayah dunia yang berbeda. Wilayah bagian timur dilaporkan

memiliki tingkat tertinggi, terutama India.13, 19,21,25 Hepatotoksisitas di sub-Sahara

Afrika disebutkan di beberapa literatur tetapi tingkat insiden tidak dilaporkan. Hal

ini mungkin karena kenyataan bahwa tes fungsi hati yang tidak dilakukan secara

rutin dalam pemantauan pasien TB pada terapi di sebagian besar Negara Afrika.

TB aktif biasanya diobati dengan beberapa obat. Oleh karena itu, ada data

yang terbatas pada tingkat toksisitas individual obat antituberkulosis, kecuali

untuk isoniazid, yang telah banyak digunakan sebagai profilaksis untuk

monoterapi infeksi TB lanjutan. Hal ini dapat mempersulit atribusi dari reaksi

terhadap obat tertentu. Hanya hubungan waktu dapat memberikan bukti bahwa

obat yang diberikan bertanggung jawab untuk efek yang merugikan, misalnya bila

gejala muncul dengan awal dari sebuah obat baru, menyelesaikan dengan

penarikan obat dan / atau muncul kembali dengan mengganti ulang obat yang

sama.

Peningkatan transaminase yang signifikan dilaporkan pada sekitar 0,5%

dari semua pasien yang diobati dengan isoniazid monotherapy.26, 27 Secara umum,

rifampisin adalah obat yang ditoleransi dengan baik dan hepatotoksisitas terjadi di

sekitar 1-2% dari pasien yang diobati dengan monoterapi profilaksis rifampisin.7,28

Hepatotoksisitas adalah efek toksik utama pirazinamid. Ketika obat itu

diperkenalkan pada 1950-an, insiden tinggi hepatotoksisitas dilaporkan dan obat

itu hampir ditinggalkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan dosis tinggi 40-

70 mg/kg. Toksisitas adalah bukan masalah besar ketika pirazinamid digunakan

didosis harian 20-30 mg/kg7 Saat ini, pirazinamid digunakan pada fase intensif

pengobatan TB. Tingkat hepatotoksisitas monoterapi pirazinamid dalam dosis

yang saat ini digunakan adalah tidak diketahui. Baru-baru ini melaporkan bahwa

pirazinamid menyebabkan lebih hepatotoksisitas dari isoniazid, atau

rifampicin.13,18 Dalam penelitian terbaru, tujuh dari 12 pasien (58%) diobati untuk

Page 5: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

TB lanjutan dengan etambutol dan pirazinamid menyebabkan peningkatan

transaminase lebih dari empat kali di atas batas normal.29 Karena etambutol saja

tidak hepatotoksik, pirazinamid ini cenderung menjadi agen utama.

Patologi

Pada studi kasus hewan dan manusia menunjukkan bahwa isoniazid

menginduksi hepatotoksisitas menimbulkan manifestasi terutama sebagai steatosis

hepatoseluler dan nekrosis, dan telah menunjukan bahwa metabolit toksik

isoniazid mengikat secara kovalen ke sel makromolekuler.30-32 Hidrasin adalah

metabolit toksik dari isoniazid dan studi hewan telah menunjukkan bahwa

hidrasin menyebabkan steatosis, vacuolation hepatosit dan penurunan glutathione.

Vakuola lemak dan pembengkakan mitokondria ditemukan di periportal dan

midzonal hepatosit.33-35

Rifampisin dapat menyebabkan hiperbilirubinemia sementara, yang bukan

efek toksik tetapi karena gangguan ekskresi bilirubin. 36 Rifampisin dapat

menyebabkan lesi hati ditandai dengan perubahan hepatoseluler, dengan nekrosis

sentrilobular, mungkin terkait dengan kolestasis. Temuan histopatologi berkisar

dari jerawatan ke difus nekrosis dengan lebih atau sedikit kolestasis komplit.37

Jaringan nekrosis, infiltrasi limfositik, kolestasis fokal, peningkatan fibrosis, dan

sirosis mikronodular diamati dalam hati seorang pasien yang meninggal karena

rifampisin dan pirazinamid menginduksi hepatotoksisitas.38

Klinis

Reaksi obat di hepar biasanya terjadi dalam 2 bulan pertama pengobatan

tetapi dapat terjadi setiap saat selama periode pengobatan. Gambaran Klinis, fitur

biokimia dan histologis ATDH sulit untuk di bedakan dari hepatitis virus, 31,32

Tanda-tanda dan gejala kerusakan hati adalah ikterus, nyeri perut, mual, muntah

dan astenia. Tanda dan gejala tersebut tidak cukup spesifik untuk memastikan

gangguan hati. Oleh karena itu, konfirmasi dengan pengujian laboratorium hati

diperlukan.8 Keluhan sebagian besar ATDH membaik ketika pengobatan

dihentikan. Ketika pengobatan tidak dihentikan segera, ATDH dapat menjadi

fatal.12, 23

Page 6: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Metabolisme dan mekanisme toksisitas

Mekanisme yang tepat dari ATDH tidak diketahui. Isoniazid menginduksi

hepatotoksisitas dianggap idiosinkratik.39 Reaksi yang tidak dapat diprediksi atau

idiosinkratik adalah reaksi obat yang merugikan yang tidak terkait terhadap sifat

farmakologi obat. Meskipun mereka tergantung dosis pada individu yang rentan,

mereka tidak terjadi pada setiap dosis pada kebanyakan pasien. Reaksi

idiosinkratik dapat mempengaruhi setiap organ sistem, dan termasuk reaksi yang

memediasi IgE hampir sama dengan sindrom metabolit reaktif. Hal ini dianjurkan

bahwa metabolit reaktif yang bukan obat orang tua, bertanggung jawab untuk

sebagian reaksi idiosinkratik.40 obat Isoniazid menginduksi hepatotoksisitas

bukan hasil dari reaksi hipersensitivitas atau alergi, 31,32 dan yang paling mungkin

disebabkan oleh metabolit toksik.

Obat antituberkulosis kebanyakan liposoluble dan eliminasi mereka

memerlukan biotransformasi menjadi senyawa yang lebih larut dalam air. Hal ini

sebagian besar dilakukan oleh biotransformasi enzim hati fase I dan fase II. Pada

reaksi tahap I, terjadi oksidasi atau demethylation, biasanya dilakukan oleh enzim

sitokrom P450 (CYP450). Senyawa ini biasanya masih tidak terlalu larut air, dan

membutuhkan metabolisme lebih lanjut. Reaksi Tahap I sering menghasilkan

toksik intermediet. Dalam reaksi fase II khas, sebagian besar senyawa larut air

dan terjadi reaksi glukoronidasi atau sulfasi, menghasilkan metabolit tidak toksik

yang dapat dengan mudah dihilangkan. Langkah ketiga metabolisme untuk

detoksifikasi yang melibatkan glutathione, yang secara kovalen dapat mengikat

senyawa toksik oleh enzim glutation S-transferase.41

Transporter (misalnya P-glikoprotein) dan reseptor nuklear (misalnya

pregnane X-reseptor) juga memainkan peran penting dalam eliminasi obat dan

metabolitnya, dan proses ini kadang-kadang disebut metabolism fase III.42

Page 7: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Tabel 2 Insiden dan faktor risiko obat antituberkulosis menginduksi

hepatotoksisitas (ATDH) dengan rejimen yang mengandung isoniazid, rifampisin

dan pirazinamid.

Isoniazid

Jalur metabolik utama dari metabolisme isoniazid adalah asetilasi oleh

enzim hepatik N-asetiltransferase 2 (NAT2). Isoniazid (INH; hydrazide asam

isonicotinic) diasetilasi menjadi asetilisoniazid dan kemudian dihidrolisis menjadi

asetilhidrasin dan asam isonicotinic. Asetilhidrasin juga dihidrolisis dalam

hidrazin, atau diasetilasi menjadi diasetilhidrasin.32,43(Lihat Gambar. 1). Sebagian

kecil dari isoniazid secara langsung dihidrolisis menjadi asam isonicotinic dan

hidrazin dan jalur ini adalah signifikansi kuantitatif lebih besar di asetilator lambat

daripada di asetilator cepat.43

Page 8: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Gambar 1 Metabolisme Isoniazid

Kebanyakan penelitian sebelumnya telah difokuskan pada hipotesis bahwa

asetilhidrasin adalah metabolit toksik isoniazid.32,44 Pada penelitian terakhir,

bagaimanapun, menyarankan bahwa hidrasin, dan bukan isoniazid atau

asetilhidrasin,kemungkinan besar menjadi penyebab isoniazid menginduksi

hepatotoksisitas.30,45-47 Toksisitas hidrazin telah digambarkan sebagai awal tahun

1908 dan diketahui menyebabkan kerusakan selular yang irreversible .48 Beberapa

metabolit hydrazine telah diidentifikasi (misalnya hidrazin asetat, hydrazones dan

gas nitrogen). Oksidasi adalah rute utama metabolisme hidrazin. Nitrogen dan

diimide, sebuah diazene kuat mengurangi agen, adalah kemungkinan perantara

dalam reaksi hidrasin.49 Sebuah studi di mikrosom hati tikus menunjukkan bahwa

nitrogen-pusat radikal yang terbentuk selama metabolisme oksidatif hidrasin,

yang mungkin berpartisipasi di proses hepatotoksik. 50 Dalam studi in vitro

menunjukkan bahwa radikal bebas oksigen tidak terlibat dalam toksisitas

isoniazid.51

Tingkat asetilasi manusia secara genetik ditentukan dan pada manusia

dapat dibagi menjadi asetilator lambat dan cepat.52 Status asetilator dapat dinilai

dengan menggunakan metode fenotipik atau genotipik. Awal penelitian

menyarankan bahwa asetilator cepat lebih rentan terhadap perkembangan

Page 9: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

ATDH.32, 53,54 Kajian yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa asetilator lambat

mengembangkan ATDH lebih sering dan juga lebih berat dibandingkan dengan

asetilator cepat.24, 55,56 Pada asetilator lambat, banyak isoniazid yang tersisa untuk

hidrolisis langsung menjadi hidrazin dan juga 'akumulasi' asetilhidrasin dapat

dikonversi menjadi hidrasin. Huang et al. mendemonstrasikan bahwa asetilator

lambat memiliki lebih dari dua kali lipat risiko berkembang menjadi ATDH

dibandingkan dengan asetilator cepat.55 Studi-studi tersebut yang pertama di mana

genotipe asetilator ditentukan; fenotipe studi sebelumnya ditentukan asetilator

menggunakan metode biokimia.

Meskipun ada informasi yang terbatas mengenai konsentrasi isoniazid

yang menyebabkan reaksi toksik, dapat diusulkan untuk menyesuaikan dosis

isoniazid pada status asetilator: dosis rendah dalam asetilator lambat untuk

mengurangi risiko ATDH dan dosis isoniazid yang lebih tinggi dalam asetilator

cepat untuk meningkatkan aktivitas bakterisida awal dan dengan demikian

menurunkan probabilitas kegagalan pengobatan .57

Studi genetik manusia telah menunjukkan bahwa sitokrom P450 2E1

(CYP2E1) terlibat dalam ATDH.20, 58 Genotipe CYP2E1 c1/c1 dikaitkan dengan

aktivitas CYP2E1 lebih tinggi dan dapat menyebabkan produksi hepatotoxins

yang tinggi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa isoniazid dan hidrazin

menginduksi aktivitas CYP2E1.59-61 Isoniazid memiliki efek menghambat pada

aktivitas CYP1A2, 2A6 dan 2C19 3A4.57,62 CYP1A2 disarankan untuk terlibat

dalam detoksifikasi hidrazin. 59,60 Isoniazid dapat menyebabkan toksisitas sendiri,

mungkin dengan menginduksi atau menginhibisi enzim ini.

Apakah stres oksidatif yang terlibat dalam ATDH masih menjadi masalah

perdebatan. Stres oksidatif hasil dari ketidakseimbangan antara oksidan dan

antioksidan dalam mendukung oksidan. Non-enzimatik pemulung (antioksidan)

serta sistem enzimatik (misalnya konjugasi glutation) terlibat dalam detoksifikasi

species oksigen reaktif.63 Adanya pengurangan tingkat glutathione dan

mengurangi aktivitas glutation S-transferase, katalase dan superoksida dismutase

setelah isoniazid atau administrasi hidrazin untuk tikus menunjukkan bahwa stres

oksidatif terlibat dalam isoniazid menginduksi hepatotoksisitas.34,60,64-66

Pengamatan efek hepatoprotektif N-acetylcysteine (suatu senyawa yang

Page 10: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

mengandung sulfhidril yang dapat mengurangi glutation oksidasi menjadi

glutathione reduksi) pada tikus yang diobati dengan isoniazid dan rifampisin

lebih mendukung dalam keterlibatan ini. 67,68 Lebih lanjut, pasien TB dengan

ATDH telah terbukti memiliki kadar plasma yang lebih rendah pada tingkat

glutation reduksi dan kadar lebih tinggi pada malondialdehid, yang merupakan

parameter stres oksidatif, mungkin sebagai akibat dari stres oksidatif dari

pengobatan antituberkulosis.66 Penyebab penurunan glutation diamati tidak jelas,

bagaimanapun, dan dapat mencerminkan gangguan secara umum pada

metabolism intermediet dan menjadi konsekuensi yang sama dari penyebab

toksik. Pada penilaian bahwa penurunan glutation diinduksi tidak mempengaruhi

secara in vitro isoniazid menginduksi toksisitas, menunjukkan bahwa glutathione

tidak secara langsung terlibat dalam isoniazid menginduksi toksisitas.69

Rifampicin

Jalur utama adalah desasetilasi menjadi desasetillrifampicin dan secara

terpisah hidrolisis menghasilkan 3-formil rifampicin.70, 71 Rifampisin dapat

menyebabkan disfungsi hepatoseluler di awal pengobatan, yang sembuh tanpa

menghentikan obat.72 Mekanisme hepatotoksisitas yang diinduksi rifampisin tidak

diketahui dan juga tak terprediksi. Tidak ada bukti kehadiran metabolite bersifat

toksik.37

Rifampisin adalah penginduksi kuat dari sistem CYP450 hati pada hati dan

usus, sehingga meningkatkan metabolism komponen lainnya.73, 74 Penggunaan

kombinasi rifampisin dan isoniazid telah dikaitkan dengan peningkatan risiko

hepatotoksisitas. Rifampisin menginduksi hidrolase isoniazid, meningkatkan

produksi hidrazin ketika rifampisin dikombinasikan dengan isoniazid (terutama di

asetilator lambat), yang dapat menjelaskan toksisitas yang lebih tinggi dari

kombinasi.75, 76

Rifampisin juga berinteraksi dengan obat antiretroviral dan mempengaruhi

tingkat plasma yang berisiko sama menjadi hepatotoksisitas.

Page 11: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Pirazinamid

Pirazinamid (PZA; amida asam pyrazoic) dikonversi menjadi asam

pyrazinoic dan selanjutnya dioksidasi menjadi asam 5-hydroxypyrazinoic oleh

xanthine oxidase.78 Paruh waktu serum pirazinamid tidak terkait dengan panjang

pengobatan, menunjukkan bahwa pirazinamid tidak menginduksi enzim yang

bertanggung jawab untuk metabolisme.79 Mekanisme toksisitas pirazinamid-

diinduksi tidak diketahui, hal ini tidak diketahui enzim apa yang terlibat dalam

toksisitas pirazinamid dan apakah toksisitas disebabkan oleh pirazinamid atau

metabolitnya. Dalam studi pada tikus, pirazinamid menghambat aktivitas

beberapa isoenzim CYP450 (2B, 2C, 2E1, 3A); 80 tetapi studi dalam hati manusia

mikrosom menunjukkan pirazinamid tidak memiliki efek penghambatan pada

yang isoenzim CYP450.81

Profilaksis pengobatan dengan rifampisin dan pirazinamid

Infeksi Mycobacterium tuberculosis laten biasanya diobati dengan

monoterapi isoniazid 6 bulan. Investigasi suatu 2-bulan rejimen profilaksis dengan

rifampisin dan pirazinamid menyebabkan kasus serius dan fatal juga

hepatotoxicity.82 Hal ini menyebabkan hepatotoksisitas lebih sering dan lebih

serius dibandingkan dengan 6 bulan isoniazid (8-13% dibandingkan dengan 1-4%) 83-85 dan bahkan lebih disebabkan hepatotoksisitas dibandingkan dengan

pengobatan standar aktif TB.14

Hal ini belum diketahui mengapa gabungan rifampisin dan pirazinamid

lebih toksik daripada isoniazid saja atau rejimen 6-bulan dengan isoniazid,

rifampisin dan pirazinamid. Beberapa penulis menyarankan bahwa pirazinamid

dapat menjadi penyebab utama. Pasien dirawat untuk TB laten mungkin memiliki

asupan alkohol yang lebih tinggi selama pengobatan dibandingkan dengan pasien

TB pada pengobatan ganda, yang meningkatkan risiko ATDH. Sebuah interaksi

obat, dimana isoniazid mengurangi potensial hepatotoksik dari rifampisin dan

pirazinamid juga dapat dipertimbangkan, namun mekanisme untuk hal ini tidak

jelas.86

Mencolok, individu yang terinfeksi HIV memiliki hepatotoksisitas yang

sama selama profilaksis dan pengobatan rifampisin dan pirazinamid dan

Page 12: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

pengobatan TB aktif (antara 1% dan 5%) .87 Hal ini tidak dapat segera dijelaskan.

Sekali lagi muncul pertanyaan apakah isoniazid memberikan efek perlindungan

untuk pasien yang menerima rifampisin dan pirazinamid. Penjelasan dapat

diketahui bahwa malabsorpsi hasil antituberkulosis obat dalam kadar plasma lebih

rendah dalam individu yang terineksi HIV; 88,89 tetapi hanya jika hubungan dosis-

toksisitas diasumsikan akan rendahnya tingkat plasma mempengaruhi risiko

hepatotoksisitas.

Faktor Resiko

Banyak faktor risiko dari ATDH telah dilaporkan. Identifikasi pasien

berisiko tinggi akan berguna untuk memungkinkan deteksi dini hepatotoksisitas

dan mengurangi morbiditas dan mortalitas dari kondisi ini. Variasi dalam

prevalensi faktor risiko antara bagian dunia yang berbeda dapat menjelaskan

perbedaan pengamatan dalam kejadian ATDH.

Faktor demografi

Di antara faktor risiko yang paling banyak diterima untuk ATDH adalah

lanjut usia (di atas 60 tahun), jenis kelamin perempuan dan indeks massa tubuh

rendah atau malnutrition.11,13-16, 18,20,32,90 Pasien yang lebih tua mungkin lebih rentan

terhadap reaksi hepatotoksik karena clearance menurun dalam metabolisme obat

oleh enzim CYP450, dan perubahan aliran darah di hati, ukuran hati, daya

pengikatan obat atau distribusi dengan penuaan. Kegiatan CYP3A lebih tinggi

pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yang dapat menjelaskan wanita

menjadi lebih rentan terhadap ATDH.91 Malnutrisi hasil dalam pembukaan

xenobiotic menurun dan lebih tinggi pada tingkat plasma.92

HIV/AIDS

Infeksi HIV meningkatkan risiko hepatotoksisitas selama standar

pengobatan multidrug aktif TB.13, 19,22,93,94 Mengapa pasien TB terinfeksi HIV

memiliki peningkatan risiko ATDH masih menjadi bahan perdebatan. Pasien

HIV/AIDS dengan penyakit akut telah mengubah kegiatan jalur oksidatif, yang

sebagian dapat menjelaskan peningkatan risiko mereka dari ATDH.95

Page 13: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Terapi bersamaan koinfeksi TB/HIV membutuhkan penggunaan dua

sampai empat obat antituberkulosis yang berbeda dan setidaknya tiga obat

antiretroviral. Sayangnya, gabungan TB / pengobatan HIV seringkali rumit oleh

toksisitas yang tumpang tindih dan interaksi obat-obat .77 Nevirapine adalah yang

paling hepatotoksik non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI) .96

Sebagian besar nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yang berpotensi

hepatotoksik (misalnya didanosine dan stavudine) dan hepatotoksisitas telah

diuraikan untuk beberapa protease inhibitor (misalnya ritonavir, indinavir dan

saquinavir). Kejadian hepatotoksisitas selama terapi antiretroviral aktif sangat

tinggi (HAART) berkisar dari 2% menjadi 18% .97 Obat toksisitas, termasuk

hepatotoksisitas, telah terlibat sebagai penyebab utama gangguan pengobatan TB

atau HIV selama pengobatan koinfeksi TB / HIV. Oleh karena itu, HAART sering

tertunda pada pasien TB yang terineksi HIV.98 Penggunaan seiring antijamur

(misalnya flukonazol) yang sering terlihat pada pasien terineksi HIV juga

merupakan faktor risiko untuk ATDH.17

Secara mencolok, pasien HIV-positif mengembangkan sedikitnya

hepatotoksisitas dibandingkan dengan pasien HIV-negatif selama 2 bulan

profilaksis pengobatan infeksi Mycobacterium tuberculosis laten dengan

rifampisin dan pyrazinamide.87 Hal ini tidak mudah dijelaskan. Meskipun

kerusakan hati dari rifampisin dan pirazinamid mungkin dimediasi imunologi dan

karena itu mungkin lebih rendah pada orang terinfeksi HIV, tidak ada dukungan

yang jelas untuk hipotesis dan dalam hal ini pasien percobaan tidak separah

immunocompromised.

Penyakit Hati sebelumnya

Infeksi Hepatitis B dan / atau C adalah penyebab umum dari Penyakit hati

kronis yang sering terlihat di populasi berisiko terhadap infeksi TB. Beberapa

studi menunjukkan bahwa koinfeksi hepatitis B dan C meningkatkan risiko

ATDH.12, 16,22,90,99,100 Hal ini juga telah dijelaskan untuk pasien HIV-positif yang

juga dirawat dengan HAART.101 Lebih secara umum, pasien dengan penyakit hati

sebelum memiliki risiko tinggi hepatotoxisitas.72

Page 14: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Faktor genetik

Ada variabilitas antar individu yang cukup besar dalam metabolisme,

beberapa yang disebabkan oleh perbedaan genetik manusia. Polimorfisme genetik

dalam metabolisme enzim-obat dapat mempengaruhi kegiatan enzim. Hal ini

dapat menyebabkan perbedaan dalam respon pengobatan atau toksisitas obat,

misalnya, karena adanya peningkatan pembentukan metabolit reaktif.102 Data

faktor risiko genetik untuk ATDH masih terbatas.

Seperti disebutkan pada bagian metabolisme sebelumnya, diusulkan risiko

genotipe untuk ATDH adalah acetylator N-asetiltransferase lambat (tanpa alel

NAT2 4 *), 55,56 Sitokrom P450 2E1 homozigot Tipe wild 20, 58 dan genotype

glutation S-transferase homozigot nol.103

Polimorfisme ini dapat menjelaskan perbedaan dalam kejadian ATDH

antara populasi yang berbeda. Interaksi antara faktor risiko genetik belum diteliti.

Pregnane X-reseptor (PXR) yang terlibat dalam ekspresi CYP3A4 dan

sejauh mana induktor seperti rifampisin dapat menginduksi enzyme ini.42

Polimorfisme genetik pada PXR memainkan peran dalam variabilitas ekspresi

CYP3A4104 dan karena itu bisa dalam teori terlibat dalam kerentanan untuk

ATDH.

Intoksikasi

Alkoholisme dikaitkan dengan risiko lebih tinggi ATDH karena induksi

enzim.12,24 Pasien dengan penyalahgunaan alkohol dan secara bersamaan

penggunaan obat-obatan hepatotoksik lain juga meningkatkan risiko ATDH.12,16

Jadwal dosis

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pengobatan TB setiap hari

dibandingkan dengan pengobatan tiga kali seminggu meningkatkan risiko ATDH, 105.106 meskipun penelitian terbaru menyarankan jadwal dosis yang di fase intensif

hanya memiliki dampak kecil pada pengembangan ATDH.107

Page 15: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Manajemen

Pedoman pengelolaan ATDH telah diterbitkan oleh American Thoracic

Society (ATS), British Thoracic Society (BTS) dan Task Force Respiratory

Society Eropa, WHO dan International Union Against Tuberculosis dan Lung

Disease.108-110 Penatalaksanaan ATDH tergantung pada penyebab, karena itu tidak

ada saran tegas dapat diberikan. Pola hepatoseluler dari kerusakan hati, yang

terlihat pada toksisitas isoniazid, rifampisin dan pirazinamid, memiliki awal yang

dominan pada peningkatan alanin aminotransferase.111 Oleh karena itu, Parameter

biokimialah yang paling sering digunakan untuk memantau fungsi hati selama

pengobatan antituberkulosis.

Dalam ringkasan, TB sebaiknya diobati di bawah pengawasan dokter yang

berkualitas. Pasien harus disarankan untuk mencari pengobatan medis jika mereka

mengalami tanda-tanda atau gejala hepatotoksisitas (yaitu ikterus, malaise, mual

dan muntah). Mereka harus dianjurkan tidak minum alkohol selama pengobatan

TB. Selama pengobatan, hanya fungsi hati harus dipantau secara teratur pada

indikasi (misalnya pada pasien dengan penyakit hati kronis atau meningkat serum

transaminase sebelum pengobatan). Dalam hal tanda-tanda atau gejala

hepatotoksisitas, fungsi hati harus diperiksa. Dalam kasus yang dikonfirmasikan

obat menginduksi hepatotoksisitas tingkat sedang atau berat, pengobatan harus

dihentikan dan memperkenalkan kembali setelah hepatotoksisitas telah

diselesaikan. Pedoman The American Thoracic Society tentang manajemen

ATDH dirangkum sebagai aliran-bagan di Gambar 2.108,112

Page 16: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Penting untuk dicatat bahwa peningkatan transaminase tanpa gejala terjadi

pada 20% pasien yang diobati dengan antituberkulosis standar rejimen; sebelum

pengobatan atau segera setelah dimulainya pengobatan. Biasanya peningkatan

tersebut kembali secara spontan.7, 11,23

Meskipun pedoman dari BTS, ATS dan the task force kurang lebih sama,

ada beberapa perbedaan. ATS tidak merekomendasikan pengujian fungsi dasar

hati untuk pasien sehat, tetapi hanya menyarankan hal itu pada pasien dengan

risiko yang mungkin untuk menjdi ATDH (misalnya pasien dengan gangguan

hati), sedangkan The task force dan BTS menyarankan melakukan tes fungsi hati

dasar di pada semua pasien. Setelah pengobatan TB telah dihentikan karena

hepatotoksisitas, baik BTS dan ATS menyarankan restart obat antituberkulosis

satu per satu. Task Force menyarankan restart semua obat secara bersamaan,

setelah episode kedua dari hepatotoksisitas obat perlu diperkenalkan kembali

berturut-turut.

Page 17: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

Di banyak negara-negara berpenghasilan rendah, di mana beban TB sering

tinggi tes-tes fungsi hati tidak dapat dilakukan. Dalam situasi kita harus

bergantung pada gejala klinis hepatotoksisitas, seperti sakit kuning, nyeri perut,

mual dan muntah. Penyebab hepatitis selama pengobatan TB dapat menjadi sama

dengan obat antituberkulosis atau sesuatu yang lain, sehingga kemungkinan lain

harus disingkirkan sebelum memutuskan bahwa hepatitis tersebut adalah

diinduksi oleh obat. Jika ATDH sedang atau berat didiagnosis (yaitu serum

aminotransferase Tingkat> 5 kali batas atas normal [ULN] atau> 3 kali yang ULN

dengan gejala hepatotoksisitas), pedoman merekomendasikan untuk

menghentikan semua obat sampai tes fungsi hati telah menjadi normal. Jika tidak

mungkin untuk melakukan fungsi hati tes, disarankan untuk menunggu selama 2

minggu ekstra setelah penyakit kuning telah menghilang sebelum pengobatan TB

diusulkan ulang. Setelah ATDH telah diselesaikan, obat yang sama yang

diperkenalkan kembali berturut-turut. Seorang pasien TBC sangat sakit mungkin

mati tanpa obat-obatan antituberkulosis. Untuk mencegah hal ini, pasien ini harus

dirawat sementara dengan rejimen non-hepatotoksik. Setelah hepatotoksisitas

telah diselesaikan, pengobatan TB yang biasa harus di mulai kembali.2, 113

Future Direction

Mekanisme ATDH ini masih belum diketahui, sehingga pemahaman lebih

yang diperlukan mengenai polimorfisme genetik pada enzim yang terlibat dalam

metabolisme obat TB, hepatoprotektif potensial agen dan mekanisme ATDH.

Pengembangan farmakologi dasar yang kuat untuk penggunaan yang lebih

rasional pada penggunaan obat dapat sangat membantu dalam menurunkan risiko

efek samping pengobatan TB. Masih ada hanya beberapa studi tentang efek

polimorfisme genetik dalam obat-enzim metabolisme pada risiko dari ATDH.

Peran relatif dari polimorfisme dalam kaitannya dengan faktor-faktor risiko lain

harus dipelajari dalam studi penilaian faktor risiko menggunakan ukuran sampel

yang besar dan populasi yang berbeda. Meskipun data yang tersedia di lapangan

masih terbatas, pendekatan farmakogenetik dapat mencegah ATDH di masa

depan. Pada pasien dengan risiko tinggi genotipe, dosis pengobatan harus sesuai

untuk mencegah ATDH sambil mempertahankan efek terapi. Hubungan antara

Page 18: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

resiko genotipe, konsentrasi obat dan risiko hepatotoksisitas harus dipelajari.

Sebagai contoh, genotype NAT2 dapat digunakan untuk membagi pasien menjadi

kelompok ”dosis isoniazid rendah dosis” dan kelompok :dosis isoniazid tinggi”.114

Efek hepatoprotektif dari N-acetylcysteine67 dan silymarin115 pada ATDH

telah ditunjukkan dalam tikus. Studi lebih lanjut diperlukan pada pelindung efek

dari senyawa tersebut pada manusia dan interaksi yang mungkin dengan obat

antituberkulosis.

Lamanya masa pengobatan TB adalah salah satu masalah utama yang

harus diatasi. Peningkatan efek bakterisida dari obat antituberkulosis akan

mengurangi panjang pengobatan dan akibatnya meningkatkan kepatuhan

pengobatan dan khasiat. Rejimen baru dan kurang hepatotoksik akan

membutuhkan studi keamanan dan tolerabilitas. Rejimen baru dalam

pembangunan, dengan penekanan pada fluoroquino-lones seperti moksifloksasin

dan levofloksasin, 116.117 dan mungkin akan memiliki ukuran toksisitas rendah.118

Meskipun obat ini telah dikenal untuk aktivitas potensi mereka selama beberapa

tahun, mereka belum tidak banyak digunakan mungkin karena mikrobiologis

(resistensi), alasan toksikologi atau ekonomi.

Hepatotoksisitas dapat menjadi indikasi untuk pemantauan obat terapeutik

(TDM) di rumah sakit TB di negara maju. Pada TDM, kadar plasma obat

antituberkulosis dimonitor selama pengobatan. Meskipun untuk obat

antituberkulosis yang paling, hubungan antara konsentrasi serum dan toksisitas

tidak ada, dosis pirazinamid terkait dengan hepatotoksisitas (lebih umum dengan

dosis harian di atas 40 mg / kg). Dasar pemikiran dari TDM adalah untuk

mengamati kadar plasma tinggi atau rendah dari obat antituberkulosis untuk dapat

mengambil tindakan yang tepat. Terutama di pasien AIDS diobati untuk TB /

HIV, TDM dapat menyelesaikan masalah interaksi obat-obat sebelum pasien

berkembang menjadi kegagalan pengobatan, kambuh atau toksisitas.119

Studi diperlukan untuk menunjukkan apakah pemantauan transaminase

rutin selama pengobatan TB dapat mengurangi insiden atau keparahan dari

ATDH.

Salah satu tantangan masa depan utama adalah untuk merancang dan

mengimplementasikan rejimen pengobatan yang efektif dan aman untuk pasien

Page 19: 76235877 OAT Induced Hepatotoxity

koinfeksi TB/HIV. Upaya harus dilakukan untuk mengembangkan rejimen dengan

toksisitas minimal untuk mencapai kesembuhan yang lebih baik pada pasien TB

teinfeksi HIV. Hepatotoksisitas adalah efek samping serius dan sering terlihat

dalam gabungan pengobatan TB/HIV, tetapi juga efek samping yang lain seperti

reaksi kulit atau gangguan pencernaan harus diperhitungkan.