case hepatitis drug induce
TRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
TTL : Jakarta, 14 September 1972
Umur : 40 tahun
Alamat : Cempaka Baru
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Tanggal MRS : 25-01-2013
No. RM : 00 16 19 25
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Muntah-muntah sejak 7 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang:
OS muntah-muntah sejak 7 hari SMRS. Muntah dirasakan >10x/ hari. Muntah berisi air
dan makanan yang dimakan oleh OS. Sebelumnya OS mengaku makan makanan seperti
biasa yang dimasak di rumah. Saat ini OS juga merasa nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS.
Nyeri dirasakan hilang timbul. OS juga merasa mual dan muntah. Sejak 7 hari SMRS OS
mengaku tidak nafsu makan sehingga tidak bisa makan sama sekali. Keluhan ini dirasakan
sejak meminum obat OAT 10 hari yang lalu.
OS juga merasa mata OS menjadi kuning sejak 3 hari meminum OAT tersebut. BAK
dirasakan berwarna merah sejak meminum OAT, tetapi setelah berhenti meminum obat
tersebut dirasakan urin berwarna coklat tua seperti teh.
OS juga mengaku sering demam sejak 4 minggu SMRS. Demam dirasakan hilang timbul
dan tidak terlalu tinggi. Selain itu OS juga mengaku sering berkeringat pada malam hari
walaupun di tempat dingin yang terasa lebih sering sejak 4 minggu SMRS.
Sebelumnya OS mengaku batuk sejak ±3 minggu SMRS. Batuk dirasakan berdahak
dengan frekuensi yang sering, dan terasa sangat mengganggu. Dahak berwarna putih kental
dan tidak ada bercak darah. Sebelumnya OS mengaku sudah berobat ke Puskesmas dan
dilakukan pemeriksaan rontgen thorax dan pemeriksaan dahak. Oleh dokter di puskesmas OS
didiagnosis TB Paru dan diberikan OAT.
OS mengaku 3 tahun yang lalu pernah didiagnosis TB Paru dan telah mengkonsumsi OAT.
Namun saat mengkonsumsi obat tersebut OS merasa mual. OS mengkonsumsi OAT selama 3
bulan dan kemudian berhenti karena merasa keluhan sudah membaik dan OS merasa bosan
meminum obat setiap hari. Selain itu OS mengaku merokok sejak konsumsi rokok selama 20
tahun, 6 bungkus/hari.
OS mengaku riwayat DM sejak ± 4 tahun yang lalu. OS rutin berobat ke dokter penyakit
dalam dan mengkonsumsi obat metformin dan glibenclamide, dan diminum secara terautr.
Sejak 1 tahun lalu OS juga merasa berat badan menurun dari 88 kg menjadi 79 kg. OS juga
mengaku 4 tahun yang lalu lebih sering BAK ±5 kali saat malam hari, sering haus, dan sering
makan. OS juga mengaku kaki OS sering terasa nyeri. Nyeri dirasakan hilang timbul. Keluhan
penglihatan kabur dan kesemutan disangkal.
Saat ini BAK dirasakan normal seperti biasa, 4-5x/hari. Urine berwarna coklat tua seperti
teh, dan tidak nyeri pada saat BAK. BAB juga dirasakan normal seperti biasa, 1x/hari.
Riwayat BAB berwarna hitam ataupun seperti dempul disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat Asma, TB Paru,DM, Hipertensi, dan Penyakit Jantung disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga:
Di keluarga OS tidak ada yang mengalami keluhan seperti ini. Riwayat penyakit
Asma,, Penyakit Jantung, DM, Hipertensi dan TB Paru di keluarga disangkal
Riwayat Pengobatan:
OS sedang tidak mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama
Riwayat Alergi:
Alergi debu, makanan dan obat disangkal
Riwayat Psikososial :
Kebiasaan minum kopi dan konsumsi narkoba disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : composmentis
Tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Respirasi : 18 x/menit
Suhu : 36,4 oC
Antropometri
BB : 88 kg
TB : 170 cm
IMT : 19,44 (Gizi lebih)
Status generalis:
Kepala : Normocephal,
Mata : Refleks cahaya (+/+), pupil isokor
Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (+/+)
Hidung : Mukosa edema (-/-), hiperemis (-/-), sekret (-/-), Konka inferior eutrofi
Telinga : CAE edema (-/-), sekret (-/-), hiperemis (-/-), MT intak/intak
Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran thyroid (-), JVP 5+1 cm H2O
Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Vokal fremitus sama dikedua lapang paru
Perkusi : Sonor dikedua lapang baru
Auskultasi : Vesikular (+/+), Ronkhi (-/-),Wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis dekstra
Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I & II murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi: perut supel
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+),Hepatomegali, 2 jari dibawah arcus costae
Perkusi : timpani
Ascites : Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus 6x/m
Ekstremitas :
Ekstr. Atas : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-), sianosis (-)
Ekstr. Bawah : Akral hangat, RCT< 2 detik, edema (-), sianosis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (30-01-2013)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Hemoglobin 15,1 13,8-17,0 g/dl
Leukosit 11,900 4,5-10,8 103 /uL
Trombosit 248 185-402 103 /uL
Hematokrit 44,3 42,0-50 %
Faal Ginjal
Asam Urat 15,6 4,0-8,5 mg/dl
Elektrolit
Natrium
Kalium
Chlorida
140
4,8
99
134-146
3,4-4,5
96-108
mEq/L
mEq/L
mEq/L
Lemak
Kolesterol
Trigliserida
214
118
150-200
60-110
mg%
mg%
2. Radiologi
Cor, Sinuses, dan diafragma normal
Skeletal dan jaringan lunak normal
Pulmo: Tampak infiltrat di paracardial kanan dengan cavitas (+)
Kesan: TB Paru dextra
Resume
Laki-laki 40 tahun dengan nausea dan vomitus sejak 7 hari SMRS. vomitus >10x/ hari sehingga
tidak dapat makan. Selain itu juga OS mengaku nyeri epigastrium. Keluhan ini dirasakan sejak
meminum meminum OAT. Selain itu mata OS juga ikterik sejak 3 hari meminum. OS dalam
pengobatan TB hari ke 10. OS juga batuk berdahak sejak 3 minggu SMRS. Dahak putih kental.
Sering febris hilang timbul dan keringat malam. 3 tahun yang lalu putus obat setelah pengobatan
3 bulan. . BAK dirasakan berwarna merah sejak meminum OAT, tetapi setelah berhenti
meminum obat tersebut dirasakan urin berwarna coklat tua seperti teh. OS riw. DM sejak ±4 thn
yang lalu. OS rutin berobat ke dokter penyakit dalam dan mengkonsumsi obat metformin dan
glibenclamide, dan diminum secara terautr. Sejak 1 tahun lalu OS juga merasa berat badan
menurun dari 88 kg menjadi 79 kg. Mengalami gejala khas DM 4 tahun lalu. OS mengaku kaki
OS sering terasa nyeri. Nyeri dirasakan hilang timbul.
Pemfis:
Mata: Sklera ikterik +/+
Abdomen
Inspeksi : perut supel
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), tidak teraba adanya benjolan, hepatomegali
2 jari BAC
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus 6x/m
Pemeriksaan penunjang:
• Laboratorium (30-01-2013):
– Leukosit : 11.900 sel/mm3
– Asam Urat : 15, 6 mg/dl
– Kolesterol : 218 mg%
– Trigliserida : 118 mg%
• Rontgen: Kesan: TB Paru dextra
Daftar masalah:
1. Hepatitis Akut
2. TB Paru
3. DM tipe 2 dengan:
• hiperuricemia
• dislipidemia
Assesment
1. Hepatitis Akut
Saat ini OS merasa mual dan muntah sejak 7 hari SMRS. Muntah dirasakan >10x/ hari.
Sejak 7 hari SMRS OS mengaku tidak nafsu makan sehingga tidak bisa makan sama
sekali. Saat ini OS juga merasa nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS. Nyeri dirasakan hilang
timbul. OS dalam pengobatan TB, OAT hari ke10. OS juga merasa mata OS menjadi
kuning sejak 3 hari meminum OAT tersebut. BAK dirasakan berwarna merah sejak
meminum OAT, tetapi setelah berhenti meminum obat tersebut dirasakan urin berwarna
coklat tua seperti teh
PF: Mata=Sklera ikterik/ikterik
Abdomen:
Inspeksi: Inspeksi: perut tampak cembung
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali 2 jari BAC
Perkusi : timpani
Ascites: Shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus 6x/m
DD:
1 Hepatitis akut ec. Drug induce (OAT)
2. Hepatitis akut ec. Hepatitis A
Planing:
1. Diagnostik: Laboratorium (Laboratorium (Darah Lengkap, Albumin, globulin,
gamma GT, amilase, lipase,, IgM Anti HAV, Bilirubin total)
USG
2. Medikamentosa: Stop OAT
IVFD asering/ 12 jam
Omeprazole 2x1
Vitazym 3x1
Ondancentron 3x8 mg
Curliv1 3x
Lesichol 300 3x1
3. Non Medikamentosa: Diet Hati 3
2. TB Paru
OS mengaku batuk sejak ±3 minggu SMRS. Batuk dirasakan berdahak dengan frekuensi yang
sering, dan terasa sangat mengganggu. Dahak berwarna putih kental dan tidak ada bercak
darah. OS juga mengaku sering demam sejak 4 minggu SMRS. Demam dirasakan hilang
timbul dan tidak terlalu tinggi. Selain itu OS juga mengaku sering berkeringat pada malam
hari walaupun di tempat dingin yang terasa lebih sering sejak 4 minggu SMRS. Sebelumnya
Sebelumnya OS mengaku sudah berobat ke Puskesmas dan dilakukan pemeriksaan rontgen
thorax dan pemeriksaan dahak. Oleh dokter di puskesmas OS didiagnosis TB Paru dan
diberikan OAT. Setelah meminum OAT mata menjadi kuning, perut terasa mual dan muntah-
muntah sehingga OA tdk dapat makan
Lab: Leukosit 11.900 sel/mm3
Radilologi: Kesan: TB Paru dextra
Planing:
1. Diagnostik: Laboratorium (Darah Lengkap)
Spirometri
2. Medikamentosa: O2 kanula nasal 2-4 l/m
Ceftriaxone 1x2 gr
3. DM Tipe 2 dengan hiperuricemia dan dislipidemia
OS mengaku riwayat DM sejak ± 4 tahun yang lalu. OS rutin berobat ke dokter penyakit
dalam dan mengkonsumsi obat metformin dan glibenclamide, dan diminum secara terautr.
Sejak 1 tahun lalu OS juga merasa berat badan menurun dari 88 kg menjadi 79 kg. OS juga
mengaku 4 tahun yang lalu lebih sering BAK ±5 kali saat malam hari, sering haus, dan sering
makan. OS mengaku kaki OS sering terasa nyeri. Nyeri dirasakan hilang timbul
Asam Urat: 15, 6 mg/dl
Kolesterol: 218 mg%
Trigliserida: 118 mg%
Planning:
1. Diagnostik: Laboratorium (GDS, GDP, G2PP, HbA1c)
Asam Urat
2. Medikamentosa:
– Metformin 500 mg 3x1
– Glibenclamide 3x1
– Allupurinol 300 mg 1x1
3. Non Medikamentosa
– Diet DM 1700kkal
– Olahraga teratur
Follow Up
S O A PPemeriksaan
penunjang
31/1 /2013
Sesak berkurang,
Batuk (+), mual
(+), muntah 1x,
demam (-), nyeri
perut (+)
Suhu : 36,5˚ C
Nadi : 84 x/m
RR : 22 x/m
TD: 130/90
Nyeri tekan
epigastrium (+)
1. Hepatitis akut
2. TB Paru 3. DM tipe 2
dengan:• Hiperuricemi
a • Dislipidemia
Omeprazole 2x1 ampu Ondancentron 3x8mg inj.Musyn syr. 3x15 ccVitazym 3x1Clobazam 2x1Curvic 3x1Lesichol 300mg 3x1Diet Hati 3Diet DM 1700 kkal
GDS= 174 mg/dl
SGOT= 927 u/l
SGPT= 1018 u/l
Gamma GT 251 u/l
As. Urat= 11,4
Bil. Total= 6,1 mg/dl
Albumin 2,9 g/dl
Gamma GT 2,5
LED= 52 mm/jam
H2TL=
13,9/7400/41,3/185.
000
Diff.= 0/0/2/65/29/4
01/1 /2013
Sesak berkurang,
batuk (+), nyeri
kepala (+), nyeri
perut (-), mual
berkurang, BAB
dan BAK lancar
Suhu : 36,6˚ C
Nadi : 90 x/m
RR : 18 x/m
TD: 120/80
1. Hepatitis akut
2. TB Paru 3. DM tipe 2
dengan:• Hiperuricemi
a • Dislipidemia
Omeprazole 2x1 ampul Ondancentron 3x8mg inj.Musyn syr. 3x15 ccVitazym 3x1Clobazam 2x1Curvic 3x1Lesichol 300mg 3x1Curcuma 3x1Allupurinol 3x1Diet Hati 3R. dx/= USG abdomen
Amilase 37 u/l
Lipase 85 u/l
31/1 /2013
Sesak (-), Batuk
(+), mual (+),
muntah (-), demam
(-), nyeri perut
Suhu : 36,5˚ C
Nadi : 84 x/m
RR : 22 x/m
TD: 130/90
1. Hepatitis akut ec. Drug induce (OAT)
2. TB Paru 3. DM tipe 2
Omeprazole 2x1Ondancentron 2x1Musyn syr. 3x15 ccVitazym 3x1Clobazam 2x1Curvic 3x1Lesichol 300mg 3x1
IgM Anti HAV (-)
berkurang Nyeri tekan
epigastrium (+)
dengan:• Hiperurice
mia • Dislipidemi
a
Curcuma 3x1Allupurinol 3x1Diet Hati 3Diet DM 1700 kkal R/dx. = GDS
HBa1cAnti TB IgG BTA 3x
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kerusakan hati akibat obat (Drug Induced Liver Injury) adalah kerusakan hati yang berkaitan
engan gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh karena terpajan obat atau agen non-
infeksius lainnya.3 FDA-CDER (2001) mendefinisikan kerusakan hati sebagai peningkatan
level alanine aminotransferase (ALT/SGPT) lebih dari tiga kali dari batas atas nilai normal,
dan peningkatan level alkaline phosphatase (ALP) lebih dari dua kali dari batas atas nilai
normal, atau Peningkatan level total bilirubine (TBL) lebih dari dua kali dari batas atas nilai
normal jika berkaitan dengan peningkatan alanine aminotransferase atau alkaline
phosphatase.3
Gambar 1. Definisi Drug Induced Liver Injury berdasarkan tipe kerusakan yang terjadi pada hati4
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian DILI (Drug Induced Liver Injury) sebagian besar tidak diketahui dengan
pasti, hal ini dikarenakan penelitian prospektif pada populasi yang berhubungan dengan
kerusakan hati yang diakibatkan oleh obat masih relatif rendah. Angka kejadian DILI pada
populasi umum
diperkirakan 1−2 kasus per 100.000 orang pertahun. Pada pusat rujukan tersier kira-kira
terdapat 1,2% hingga 6,6% kasus penyakit hati akut yang diakibatkan oleh DILI. Sedangkan
estimasi insiden DILI adalah 14 per 100.000 pasien per tahun pada penelitian prospektif yang
dilakukan di Prancis bagian utara, yang berarti 10 kali lebih tinggi dari rata-rata yang
dilaporkan oleh penelitian lain.5 Laporan terbaru mengindikasikan bahwa DILI terjadi dalam
1/100 pasien yang dirawat di bagian penyakit dalam. DILI adalah kejadian yang jarang tetapi
terkadang menjadi penyakit yang serius. Diagnosis yang cepat dan akurat sangat penting di
dalam praktek sehari-hari.6
Di negara-negara barat, penyebab mayoritas DILI adalah obat antibiotik,
antikonvulsan dan agen psikotropika.5 Laporan lain menyebutkan bahwa Asetaminofen
merupakan penyebab utama DILI di negara-negara barat.7 Di Amerika Serikat,
amoksisilin/klavulanat, INH, itrofurantoin dan florokuinolons adalah penyebab DILI yang
terbanyak. Perbedaan diantara
penelitian di AS dan Eropa dikarenakan terdapat perbedaan di dalam penggunaan obat-obat
yang diterima di masing-masing negara dan kebiasaan di dalam meresepkan obat. Di negara
Asia, herbal dan suplemen diet adalah penyebab paling sering dari DILI. Herbal dan
suplement diet baru-baru ini menyebabkan kurang dari 10% kasus DILI di negara-negara
barat.5
2.3 Etiologi
Cedera hati dapat menyertai inhalasi, ingesti atau pemberian secara parenteral dari sejumlah
obat farmakologis dan bahan kimia. Terdapat kurang lebih 900 jenis obat, toksin dan herbal
yang telah dilaporkan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel hati.1 Beberapa
diantaranya seperti pada tabel 1 dibawah ini merupakan penyebab paling sering dari Drug
Induced Liver Injury.
Tabel 1. Obat-obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan Drug-Induced Liver Injury7
Penelitian yang dilakukan oleh Kazuto Tajiri and Yukihiro Shimizu di Jepang mengungkapkan
bahwa penyebab dari Drug Induced Liver Injury diantaranya adalah asetaminofen (16,9%), anti-
HIV seperti Stavudine, Didanosine, Nepirapine, Zidovudine (16,8%), Troglitazone (11,7%), anti
konvulsan seperti Asam Valproat dan phenitoin (10,3%), anti kanker (12,3%) yang meliputi
Flutamide (3,3%), Cyclophosphamide (3,1%), Methotrexate (3,0%) dan Cytarabine (2,9%),
Antibiotik (8,7%) seperti Trovafloxacin (3,2%), Sulfa/trimethoprim (2,9%) dan Clarithromycin
(2,8%), Anestesi seperti Halothane (4,8%), Obat Anti-tuberculosis, Isoniazid (3,2%), Diklofenak
(3,1%) dan Oxycodone (3,1%).6
Tabel 2. Perubahan terpenting dari morfologi hati yang diakibatkan oleh beberapa obat dan kimia
yang digunakan.8
2.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya Drug Induced Liver Injury antara lain:1
a. Ras
Beberapa obat memiliki perbedaan toksisitas terhadap ras tertentu. Misal, ras kulit hitam
akan lebih rentan terhadap toksisitas isoniazid. Laju metabolisme dikontrol oleh enzim P-
450 dan itu berbeda pada tiap individu
b. Umur
Reaksi obat jarang terjadi pada anak-anak. Resiko kerusakan hepar meningkat pada orang
dewasa oleh karena penurunan klirens, interaksi obat, penurunan aliran darah hepar, variasi
ikatan obat, dan volume hepar yang lebih rendah. Ditambah lagi, kurangnya asupan makanan,
infeksi, dan sering mondok di rumah sakit menjadi alasan penting akan terjadinya
hepatotoksisitas obat.
c. Jenis Kelamin
Walaupun alasannya tidak diketahui, reaksi obat pada hepar lebih banyak pada wanita.
d. Konsumsi alkohol
Peminum alkohol akan lebih rentan pada toksisitas obat karena alcohol menyebabkan
kerusakan hepar dan perubahan sirotik yang mengubah metabolisme obat. Alkohol
menyebabkan deplesi simpanan glutation yang menyebabkannya lebih rentan terhadap
toksisitas obat.
e. Penyakit hepar
Pada umumnya, pasien dengan penyakit hati kronis tidak semuanya memiliki peningkatan
resiko kerusakan hepar. Walaupun total sitokrom P- 450 berkurang, beberapa orang mungkin
terpengaruh lebih dari yang lainnya. Modifikasi dosis pada penderita penyakit hati harus
berdasarkan pengetahuan mengenai enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien
dengan infeksi HIV dan Hepatitis B atau C, resiko efek hepatotoksik meningkat jika diberikan
terapi antiretroviral. Pasien dengan sirosis juga resikonya meningkat terhadap dekompensasi
pada obat.
f. Faktor genetik
Gen unik mengkode tiap protein P-450. Perbedaan genetik pada enzim P- 450 menyebabkan
reksi abnormal terhadap obat, termasuk reaksi idiosinkratik. Debrisoquine merupakan obat
antiaritmia yang menyebabkan rendahnya metabolisme karena ekspresi dari P-450-II-D6. Hal
ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi PCR dari gen mutasi.
g. Penyakit lain
Seseorang dengan AIDS, malnutrisi, dan puasa lebih rentan terhadap reaksi obat karena
rendahnya simpanan glutation.
h. Formulasi obat
Obat-obatan long-acting lebih menyebabkan kerusakan hepar dibandingkan dengan obat-
obatan short-acting.
Gambar 2. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan DILI4
2.5 Patofisiologi dan Mekanisme Drug Induced Liver Injury
2.5.1 Metabolisme Obat
Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus
membran sel intestinal. Obat kemudian diubah lebih hidrofilik melalui proses-proses
biokimiawi di dalam hepatosit, menghasilkan produkproduk larut air yang diekskresi ke
dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif
utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.9
Gambar 3. Metabolisme Obat9
2.5.2 Sistem Enzim yang Berperan Dalam Detoksifikasi
a. Sistem tahap I
Sistem detoksifikasi tahap I, melibatkan terutama enzim supergene sitokrom P-450,
secara umum merupakan enzim pertahanan pertama melawan bahan asing. Sebagian
besar bahan kimia dimetabolisme melalui biotransformasi tahap I. Pada reaksi umum
tahap I, enzim sitokrom P-450 (CYP450) menggunakan oksigen dan sebagai kofaktor,
NADH, untuk menambah kelompok reaktif, misalnya hidroksil radikal. Sebagai hasil dari
tahap ini dalam detoksifikasi, diproduksi suatu molekul reaktif yang lebih toksik daripada
molekul awal. Apabila molekul reaktif ini tidak berlanjut pada metabolisme selanjutnya,
yaitu tahap II (konjugasi), dapat menyebabkan kerusakan pada protein, RNA, dan DNA
di dalam sel. Beberapa penelitian menunjukkan bukti terhadap hubungan antara
terjadinya induksi tahap I dan/atau berkurangnya aktivitas tahap II dengan meningkatnya
resiko penyakit, misalnya kanker, SLE, dan penyakit Parkinson.9
b. Sistem tahap II
Reaksi konjugasi pada tahap II umumnya mengikuti aktivasi tahap I, dimana akan
mengakibatkan xenobiotik yang telah larut air dapat diekskresikan melalui urin atau
empedu. Beberapa macam reaksi konjugasi terdapat di dalam tubuh, termasuk
glukoronidasi, sulfas, dan konjugasi glutation serta asam amino. Reaksi ini memerlukan
kofaktor yang tercukupi melalui makanan.9
Banyak yang diketahui mengenai peran dari sistem enzim tahap I pada
metabolism bahan kimia seperti halnya aktivasinya oleh racun lingkungan dan komponen
makanan tertentu. Walau begitu, peran detoksifikasi tahap I pada praktek klinik tidak
terlalu diperhatikan. Kontribusi dari sistem tahap II lebih diperhatikan dalam penelitian
dan praktek klinik. Dan hanya sedikit yang diketahui saat ini mengenai peran sistem
detoksifikasi pada metabolism zat endogen.9
2.5.3 Mekanisme Hepatotoksisitas
Mekanisme jejas hati karena obat yang mempengaruhi protein transport pada membran
kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit karena asam empedu.
Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada
kanalikuli yang menghasilkan translokasi Fas sitoplasmik ke membran plasma, dimana
reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memacu kematian sel melalui
apoptosis. Disamping itu, banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450
yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat
ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tidak punya
peran.9
Gambar 4. Ilustrasi yang menggambarkan mekanisme terjadinya DILI, yang meliputi
metabolisme obat, kerusakan hepatosit, aktivasi sistem imun dan menghasilkan terjadinya
kerusakan jaringan. CYP (Cytochrome P450), IFN (Interferon), IL (Interleukin), NL (Natural
Killer Cell), NKT (Natural Killer T Cell), dan TNF (Tumor Necrosis Factor).10
Kompleks enzim-obat ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk
berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun
multifaset yang melibatkan sel-sel sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu
menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai
respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel
saluran empedu.9
Kerusakan dari sel hepar terjadi pada pola spesifik dari organelle intraseluler yang
berpengaruh. Hepatosit normal terlihat di tengah-tengah gambar yang dipengaruhi melalui 6
cara.1,9
a. Kerusakan hepatosit
Ikatan kovalen dari obat ke protein intraseluler dapat menyebabkan penurunan ATP,
menyebabkan gangguan aktin. Kegagalan perakitan benang-benang aktin di permukaan
hepatosit menyebabkan rupturnya membran hepatosit.
b. Gangguan protein transport
Obat yang mempengaruhi protein transport di membran kanalikuli dapat mengganggu aliran
empedu. Hilangnya proses pembentukan vili dan gangguan pompa transport misal multidrug
resistance–associated protein 3 (MRP3) menghambat ekskresi bilirubin, menyebabkan
kolestasis.
c. Aktivasi sel T sitolitik
Ikatan kovalen dari obat pada enzim P-450 dianggap imunogen, mengaktifkan sel T dan
sitokin dan menstimulasi respon imun multifaset.
d. Apoptosis hepatosit
Aktivasi jalur apoptosis oleh reseptor Fas TNF-α Menyebabkan berkumpulnya caspase
interseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram (apoptosis).
e. Gangguan mitokondria
Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada I-oksidasi
(mempengaruhi produksi energi dengan cara menghambat sintesis dinucleotide adenine
nicotinamide dan dinucleotide adenine flavin, yang menyebabkan menurunnya produksi
ATP) dan enzim rantai respirasi.
f. Kerusakan duktus biliaris
Metabolit racun yang diekskresikan di empedu dapat menyebabkan kerusakan epitel duktus
biliaris.
Gambar 5 Mekanisme Hepatotoksisitas11
15
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas dua
golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.1,2
1. Predictable Drug Reactions (intrinsik) :
Merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila
diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat
yang langsung merusak sel hati, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan
mengacaukan metabolisme atau faal sel hati. Obat hepatotoksik predictable yang langsung
merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon
tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung
masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid
kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan metotreksat menimbulkan steatosis yaitu
degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol menimbul kan nekrosis, sedangkan steroid
kontrasepsi dan steroid yang mengalami alkilasi pada atom c--17 menimbulkan ikterus akibat
terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat pula menimbulkan ikterus karena
mempengaruhi konjugasi dan transpor bilirubin dalam hati.2
2. Unpredictable Drug Reactions/Idiosyncratic drug reactions:
Kerusakan hati yang tim bul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik dari obat,
tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari
kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya
Hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang
berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi
Hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. 2
Tabel 3. Reaksi Obat Idiosinkrasi dan Sel-Sel yang dipengaruhinya11
− Reaksi Hipersensitivitas
Biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya
dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik
berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan memberikan satu atau
dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi.
− Reaksi idiosinkrasi karena kelainan metabolisme (Metabolicidiosyncratic)
Mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu
tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik
yang spesifik seperti di atas. Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini
tidak dapat diinduksi untuk timbul lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa
hari sampai beberapa minggu. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama
agar penumpukan metabolit hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan
terjadinya kerusakan hati.2
Gambar 6. Mekanisme terjadinya kerusakan hati yang dimediasi oleh sistem imun12
2.6 Klasifikasi Drug-Induced Liver Injury
Berdasarkan The Councils for International Organizations of Medical Scinces (CIOMS) DILI
dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:6,13
1. Tipe Hepatoseluler/Parenkimal
Tipe hepatoseluler didefinisikan sebagai peningkatan alanine aminotranferase (ALT) > 2 kali
batas atas nilai normal (ULN=upper Limit of Normal) atau R M 5, dimana R adalah rasio
aktivitas serum ALT/aktivitas alkaline phosphatase (ALP), yang keduanya terjadi
peningkatan terhadap batas atas nilai normal. Kerusakan hati lebih berat terjadi pada tipe
hepatoseluler daripada tipe kolestasis atau campuran, dan pasien dengan peningkatan bilirubin
level pada kerusakan hati hepatoseluler mengindikasikan kerusakan hati yang serius dengan
tingkat kematian yang tinggi. Tipe ini ditemukan rata-rata 0,7 sampai 1,3 dari 100.000
individu yang menerima pemberian obat.
2. Tipe Kolestasis
Tipe kolestasis didefinisikan sebagai peningkatan ALP > 2 kali ULN atau R N 2.
3. Tipe Campuran
Tipe campuran didefinisikan sebagai peningkatan ALT > 2 kali ULN dan 2<R<5. Pasien
dengan tipe kolestasis atau campuran lebih sering berkembang menjadi penyakit kronik
daripada tipe hepatoseluler. Drug-Induced Liver Injury )etwork (DILIN) mengembangkan
system penilaian untuk menentukan derajat berat Drug-Induced Liver Injury berdasarkan
gejala, ikterik, membutuhkan perawatan rumah sakit, tanda-tanda gagal hati dan kematian atau
membutuhkan transplantasi hati.5
Tabel 4. Derajat Berat DILI berdasarkan DILIN Prospective Study5
2.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hepatotoksisitas karena obat sulit dibedakan secara klinis dengan
penyakit hepatitis atau kolestasis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obatan atau
substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, gejala berupa
malaise dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut berat terutama bila pasien masih
meminum obat tesebut setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan
maka konsentrasi aminotransferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas
normal, sedangkan kenaikan konsentrasi alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada
kolestasis. Mayoritas reaksi obat idiosikratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobus
hepatik dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis
biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin
terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.9
2.8. Diagnosis
Terdapat beberapa metode diagnostik yang digunakan untuk membantu di dalam
mendiagnosis DILI diantaranya adalah The Naranjo Adverse Drug Reactions Probability
Scale (NADRPS) yang digunakan untuk menilai reaksi efek samping obat, The Council for
International Organizations of Medical Sciences or Roussel Uclaf Causality Assessment
Method (CIOMS/RUCAM), Maria and Victorino (M&V), dan di Jepang terdapat skala
diagnostik yang digunakan untuk mendiagnosis DILI berdasarkan kriteria CIOMS/RUCAM
dengan menambahkan “Drug-lymphocyte stimulation test” (DLST) yang disebut Digestive
Disease Week Japan (DDW-J). Skala DDW-J telah dilaporkan mempunyai nilai sensitivitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan CIOMS/RUCAM (93,8% vs 77,8%) pada
analisis terhadap 127 pasien di Jepang. Bagaimanapun, skala ini harus dievaluasi pada
pasien non- Jepang untuk melihat efektivitas penggunaannya secara universal.6 Diantara
semua kriteria yang ada, CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostic yang paling
banyak digunakan dan baru-baru ini menjadi metode standar untuk diagnosis DILI.6
Tabel 5. Skala kriteria CIOMS/RUCAM Scale14
Pada gambar 7 di bawah ini menunjukkan Review terhadap 61 laporan kasus DILI yang telah
dikumpulkan selama dekade terakhir dengan membandingkan beberapa skala kriteria yang ada.
Tampak bahwa CIOMS/RUCAM merupakan metode diagnostik yang paling banyak digunakan
(16,4%), diikuti oleh NADPRS (13,1%), M&V (CDS) (3,3%), WHO Database (3,3%), Medline
(1,6%), Original (1,6%), DDW-J (1,6%) dan none (62,3%).6
Gambar 7. Perbandingan metode penilaian untuk diagnosis DILI di antara berbagai metode
diagnostik yang ada6
Berdasarkan international concensus criteria maka diagnosis hepatotoksisitas karena obat
berdasarkan :15
1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah
sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari lima hari atau lebih
dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi
hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik)
dengan hepatotoksisitas obat.
2. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati
paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif
(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 30
hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.
3. Alternatif sebab lain telah dieksklusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsi hati tiap
kasus.
4. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan
dua kali lipat enzim hati.
Dikatakan reaksi drugs related jika semua ketiga kriteria terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria
pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat.
Tabel 6. Elemen yang diperlukan untuk pelaporan kasus DILI5
Mengidentifikasi reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit tetapi kemungkinan sekecil
apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi
hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal
atau obat alternatif lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap
abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi
penyebab berhubungan dengan resiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak
sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat dan membaik secara nyata setelah
penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosis hepatotoksisitas karena obat.15
Tabel 7. Elemen pendukung untuk menilai dan membantu di dalam melaporkan beberapa kasus
DILI5
2.9 Penatalaksanaan
Kecuali penggunaan N-acetylcysteine untuk keracunan asetaminofen (parasetamol), tidak
ada antidotum spesifik terhadap setiap obat. Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari
penghentian segera obat-obatan yang dicurigai. Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat
diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol.
Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu
seperti amoksisilin, asam klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom dimana
kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah pengobatan dihentikan dan perlu
waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala. Prognosis gagal hati akut karena reaksi
idiosinkratik obat buruk, dengan angka mortalitas lebih dari 80%.9
Gambar 8 . Algoritme penatalaksanaan DILI6
2.10 Beberapa Obat yang Dapat Mengakibatkan DILI
2.10.1 Hepatotoksisitas obat anti tuberkulosis (OAT)
Obat anti tuberculosis terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol/streptomisin, dan tiga obat yang disebut pertama bersifat hepatotoksik. Faktor-
faktor resiko hepatotoksisitas yang pernah dilaporkan adalah usia lanjut, pasien
perempuan, status nutrisi buruk, konsumsi tinggi alkohol, memiliki dasar penyakit hati,
karier hepatitis B, prevalensi hepatitis viral yang meningkat di negara sedang
berkembang, hipoalbuminemia, tuberculosis lanjut, serta pemakaian obat yang tidak
sesuai aturan dan status asetilatornya. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya
keterkaitan HLADR2 dengan tuberkulosis paru pada berbagai populasi dan keterkaitan
varian gen NRAMP1 dengan kerentanan terhadap tuberkulosis, sedangkan resiko
hepatotoksisitas karena obat anti tuberkulosis berkaitan juga dengan tidak adanya HLA-
DQA1*0102 dan adanya HLA-DQB1*0201 disamping usia lanjut, albumin serum < 3,5
gram/dl dan tingkat penyakit yang moderat atau tingkat lanjut berat. Dengan demikian
resiko hepatotoksisitas pada pasien dengan obat anti tuberkulosis dipengaruhi faktor-
faktor klinis dan genetik. Pada pasien TBC dengan hepatitis C atau HIV mempunyai
resiko hepatotoksisitas terhadap obat anti tuberkulosis lima dan empat kali lipat.
Sementara pasien tuberkulosis dengan karier HbsAg-positif dan HbeAg negatif yang
inaktif dapat diberikan obat standar jangka pendek INH, rifampisin, etambutol dan/atau
pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap
bulan. Sekitar 10% pasien tuberkulosis yang mendapatkan isoniazid mengalami kenaikan
konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang
nampaknya menunjukkan respons adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid
dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai
batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi
seperti hepatitis viral; 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul
beberapa bulan kemudian.9,15
2.10.2 Hepatotoksisitas obat kemoterapi
Jejas hati yang timbul selama kemoterapi kanker tidak selalu disebabkan oleh kemoterapi
itu sendiri. Klinisi harus memperhatikan faktorfaktor lain seperti reaksi obat terhadap
antibiotik, analgesik, antiemetik, atau obat lainnya. Problem-problem medis yang sudah
ada sebelumnya, tumor, imunosupresi, virus hepatitis dan infeksi lain, serta defisiensi
nutrisi atau nutrisi parenteral total, semuanya mungkin mempengaruhi kerentanan hospes
terhadap terjadinya jejas hati. Sebagian besar reaksi hepatotoksisitas obat bersifat
idiosinkratik, melalui mekanisme imunologik atau variasi pada respons metabolik pejamu.
Siklofosfamid, suatu alkylating agent, diubah oleh sistem sitokrom P-450 di hati menjadi
4-hydroxycyclophosphamide. Meskipun mengalami metabolism di hati, siklofosfamid
dapat diberikan pada keadaan enzim hati dan/atau bilirubin yang meningkat. Melfalan
dengan cepat dihidrolisis dalam plasma dan sekitar 15% diekskresi tanpa perubahan dalam
urin. Pada dosis yang dianjurkan tidak bersifat epatotoksisitas, hanya menimbulkan
abnormalitas tes fungsi hati sementara pada dosis tinggi pada transplantasi sumsum tulang
otology. Klorambusil berhubungan dengan kerusakan hati. Busulfan, kelas alkilsulfonat,
cepat hilang dari darah dan diekskresikan lewat urin. Metabolisme lewat hati tidak begitu
penting sehingga pada dosis standar tidak menimbulkan hepatotoksisitas. Cytosine
Arabinoside (Ara-C) efek hepatotoksisitasnya belum jelas. 5-FU tidak menimbulkan
kerusakan hati bila diberikan secara per oral dan jarang dilaporkan menimbulkan
hepatotoksisitas pada pemberian intravena. Akan tetapi berbeda bila diberikan secara
intraarterial dengan pompa infuse untuk terapi metastasis hepar karena kanker kolorektal
dimana terjadi hepatotoksisitas berupa jejas hepatoseluler dengan peningkatan
aminotransferase, alkali fosfatase, dan bilirubin serum, atau terjadinya striktur duktus
biliaris intrahepatik atau ekstrahepatik dengan peningkatan bilirubin dan alkali fosfatase.
6-mercaptopurine (6-MP) bersifat hepatotoksik terutama bila dosis melebihi dosis yang
biasa digunakan (dosis dewasa 2 mg/kg) dan dapat berupa hepatoseluler atau kolestatik.
Perbedaan rute obat oral atau parenteral tidak mengubah sifat hepatotoksisitasnya.
Azatioprin (AZ) memiliki sifat hepatotoksisitas meskipun jarang terjadi. Hepatotoksisitas
berupa peningkatan konsentrasi bilirubin serum dan alkali fosfatase dengan peningkatan
sedang konsentrasi aminotransferase dan secara histologik berupa kolestasis dengan
nekrosis parenkim hati yang bervariasi. 6- thioguanine dikenal menyebabkan penyakit
oklusi vena. Metotreksat (MTX) pada dosis standar diekskresi tanpa perubahan melalui
urin. Pada dosis tinggi sebagian dimetabolisir oleh hati menjadi 7-hydroxymethotrexate.
Pada terapi rumatan leukemia akut anak-anak, metotreksat dapat menimbulkan fibrosis
dan sirosis hati. Pada pemakaian dosis tinggi, MTX meningkatkan aminotransferase dan
lactate dehydrogenase (LDH). Pasien arthritis rematoid atau psoriasis dengan MTX dosis
kumulatif kurang dari 2 gram mempunyai insidens hepatotoksisitas yang rendah meskipun
durasi terapinya lama, 24-48 bulan. Dengan demikian pemakaian MTX dosis rendah
jangka panjang dapat menimbulkan fibrosis/sirosis, sementara dosis tinggi menyebabkan
perubahan tes fungsi hati. Gemcitabine sering menyebabkan kenaikan transaminase
sementara tetapi tidak bermakna. Mitoksantron mempunyai insidens toksisitas serius lebih
rendah dibandingkan obat-obat kanker antrasiklin yang lain, dan hanya menimbulkan
kenaikan konsentrasi AST dan ALT sementara saja. Insidensi disfungsi hati karena
pemakaian bleomycin sangat rendah. Hepatotoksisitas mitomysin belum jelas, tetapi
ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam empedu. Paclitaxel dan docetaxel sebagian
besar diekskresi melalui hati dan perlu hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Etoposide tidak menimbulkan hepatotoksisitas pada dosis standar meskipun diekskresikan
terutama dalam empedu. Cisplatin jarang menyebabkan hepatotoksisitas pada dosis
standar tetapi kadang-kadang dijumpai kenaikan AST. Pada dosis tinggi cisplatin
menimbulkan kenaikan AST dan ALT. Procarbazine dikenal dapat menyebabkan hepatitis
granulomatosa. Hydroxyurea dapat menimbulkan toksisitas hati dan pernah dilaporkan
sebagai penyebab peliosis hepatis.9,15
2.10.3 Hepatotoksisitas obat anti inflamasi non steroid
Obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) merupakan salah satu obat yang sering
diresepkan meskipun penggunaannya tidak selalu tepat sasaran. Resiko epidemiologik
hepatotoksisitas golongan obat ini rendah (1-8 kasus per 100.000 pasien pengguna
OAINS). Hepatotoksisitas karena OAINS dapat terjadi kapan saja setelah obat diminum,
tetapi efek samping berat sangat sering terjadi dalam 6-12 minggu dari awal pengobatan.
Ada dua pola klinis utama hepatotoksisitas karena OAINS. Pertama, adalah hepatitis akut
dengan ikterus, demam, mual, transaminase naik sangat tinggi, dan kadang-kadang
dijumpai eosinofilia. Pola yang lain adalah dengan gambaran serologik (Anti Nuclear
Factor – positif) dan histologik (inflamasi periportal dengan infiltrasi plasma dan limfosit
serta fibrosis yang meluas ke dalam lobul hepatik) dari hepatitis kronik aktif. Tes fungsi
hati dapat kembali normal dalam 4-8 minggu sejak penghentian obat penyebab. Dua
mekanisme utama bertanggungjawab atas jejas hati oleh OAINS, yaitu hipersensitivitas
dan aberasi metabolik. Meskipun masih perlu diteliti lebih lanjut, faktor-faktor resiko
hepatotoksisitas idiosinkratik karena OAINS meliputi perempuan, umur >50 tahun, dan
penyakit autoimun yang mendasari. Faktor resiko lain adalah paparan obat lain yang juga
bersifat hepatotoksik pada saat bersamaan. Reaksi hipersensitivitas sering mengalami
titer anti-nuclear factor atau antibodi anti smooth-muscle yang bermakna, limfadenopati,
dan eosinofilia. Aberasi metabolik dapat terjadi karena polimorfisisme genetic yang dapat
mengubah kerentanan terhadap bermacam-macam obat. Pasien yang mengalami
hepatotoksisitas karena OAINS harus dianjurkan untuk tidak minum OAINS lagi
selamanya. Parasetamol merupakan obat pilihan untuk analgesic sedangkan aspirin dapat
digunakan sebagai pengganti OAINS, karena toksisitas OAINS berhubungan dengan
struktur molekul cincin diphenylamine yang tidak dimiliki aspirin.9,15
2.11 Prognosis
Prognosis pada pasien Drug Induced Liver Injury akan semakin baik apabila penetapan
diagnosis dilakukan seawal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mehta N. Drug-Induced Hepatotoxicity. Tersedia pada
http://www.emedicine.medscape.com/article/169814-overview. Updates 26 maret 2010
diakses pada tanggal 16 Februari 2013
2. Setiabudy R. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1979; 15: 8−12
3. Dhingra MS. Drug Induced Liver Injury. 2006.
4. Kaplowitz N. Drug Induced Liver Injury. Clinical Infectious Diseases 2004; 38(2): 44–8
5. Fontana RJ, Seeff LB, Andrade RJ, Msson EB, Day CP, Serrano C, et al. Meeting report:
Standardization of Nomenclature and Causality Assessment in Drug-Induced Liver Injury:
Summary of a Clinical Research Workshop. Hepatology 2010; 52:730−742
6. Tajiri K and Shimizu Y. Practical Guidelines for Diagnosis and Early Management of Drug-
Induced Liver Injury. World J Gastroenterol 2008; 14(44): 6774–6785
7. Chau TN. Drug Induced Liver Injury: An Update. The Hongkong Medical Diary 2008; 13(3):
23−26
8. Dienstag JL and Isselbacher KJ. Toxic and Drug Induced Hepatitis. In Harrison’s: Principles
of Internal Medicine 16th Edition. Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, et al.
2005;1838−1844
9. Benvie. Hepatoksisitas Obat. 2009. Tersedia pada http://doctorology.net/?p=31. Diakses pada
tanggal 16 Februari 2013.
10. Holt MP and Ju C. Mechanisms of Drug-Induced Liver Injury. The AAPS Journal 2006;
8(1): 48−54
11. Lee WM. Drug Induced Hepatotoxicity. N Engl J Med 2003; 349:474−485
12. Adams DH, Ju C, Ramaiah SK, Uetrecht J, and Jaeschke H. Mechanisms of Immune-
Mediated Liver Injury. Toxicological Sciences 2010; 115(2): 307–321.
13. Bénichou C. Criteria of Drug-Induced Liver Disorders. Report of An International Consensus
Meeting. J Hepatol. 1990;11:272–276.
14. Anonymous. CIOMS/RUCAM Scale. Tersedia pada http://wikipedia.com. Diakses pada
tanggal 16 Februari 2013.
15. Bayupurnama P. Hepatoksisitas Imbas Obat. Dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Editor Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk. 2006. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.