refleksi kasus forensik

12

Click here to load reader

Upload: deedee2223

Post on 11-Sep-2015

94 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

kasus jenazah

TRANSCRIPT

I. Identitas Korban

Nama

: Tn. Z Jenis kelamin

: Laki laki Usia

: 40 tahun Agama

: Islam Pekerjaan

: TNI AU Alamat

: Jl. Nusa Indah RT 012/004 Tanggal pemeriksaan: 2 Juni 2015 Jam pemeriksaan

: 01.17 03.32 Peristiwa

: KriminalII. Deskripsi Kasus

A. Anamnesis

Seorang jenazah laki laki tidak berlabel terletak diatas meja otopsi diselimuti kain berwarna biru beruliskan ICU RSPAU dan beralaskan tiga lapis kain. Jenazah dikirim oleh penyidik dari Pangkalan TNI AU Adi Soemarno Satuan Polisi Militer. Penyidik meminta Tim Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Dr. Sardjito untuk melakukan pemeriksaan luka/pemeriksaan mayat/bedah mayat/otopsi. Otopsi dilakukan tanggal 2 Juni 2015, dimulai pukul 01.17 dan berakhir pukul 03.32. Jenazah diperkirakan luka/matinya korban karena penganiayaan.B. Kesimpulan laporan medis sementara1. Jenazah laki laki, panjang badan 172 cm, berat badan 67 kg.

2. Terdapat benjolan pada kepala samping kanan, memar pada kedua kelopak mata, luka lecet tekan dan geser pada dahi sebelah kanan, luka lecet tekan pada pipi kanan, luka memar pada pipi kiri akibat kekerasan tumpul.

3. Terdapat luka lecet tekan dan gores pada lengan atas kanan, memar pada lengan bawah kiri dan jari jari tangan kiri, memar pada lutut kiri akibat kekerasan tumpul.

4. Terdapat memar pada kulit kepala bagian dalam, memar pada tulang atap kepala bagian atas. Perdarahan dibawah selaput otak bagian kiri dan belakang akibat kekerasan tumpul.

5. Sebab kematian masih menunggu hasil pemeriksaan penunjang.6. Saat kematian diperkirakan 2 6 jam sebelum pemeriksaan.

III. Masalah yang Diangkat

Apa tujuan dilakukannya identifikasi? Apa saja metode yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi?IV. Analisis Kasus

Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Penentuan dalam identitas personal sering dianggap sebagai suatu masalah dalam sidang perdana maupun perdata. Penentuan identitas personal ini sangat penting, karena kekeliruan akan berakibat fatal dalam proses peradilan. Untuk itu proses pencocokan juga sangat penting untuk dilakukan.Identifikasi tersebut penting dilakukan terhadap korban meninggal karena merupakan suatu perwujudanHAM dan merupaka suatu penghormatan kepada yang sudah meninggal3.

Peran ilmu kedokteran forensik terutama pada jenazah yang tak dikenal, yang teah membusuk, yang telah rusak, hangus terbakar, pada kecelakaan massal, bencana alam. Selain itu identitas forensikjuga berperan dalam kasus lain seperti penculikan anak, bayi yang tertukar atau yang diragukan orang tuanya2. Identifikasi forrensik jugadilakukan pada jenazah yang sudah dikenal. Hal ini dilakukan untuk kepentingan visum et repertum. Pada visum et repertum, komponen identifikasi yang perlu dicatat meliputi bungkus jenazah, pakaian, brnda-benda yang menempel disekitar jenazah dan ciri-ciri umum identitas.

Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan). Penentuan identitas korban dilakukan dengan memakai metode Disaster Victim Investigation (DVI):

Disaster victim investigation (DVI) adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal.

Pada prinsipnya, DVI terdiri dari lima fase, yaitu : 1. Initial Action at the Disaster Site Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa (TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu (kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :

Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat untuk area bencana.

Perkiraan jumlah korban.

Keadaan mayat.

Evaluasi durasi yang dibutuhkan untuk melakukan DVI.

Institusi medikolegal yang mampu merespon dan membantu proses DVI.

Metode untuk menangani mayat.

Transportasi mayat.

Penyimpanan mayat.

Kerusakan properti yang terjadi.

Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan, langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah documentation atau pelabelan.

Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak. Langkah langkah tersebut antara lain adalah :

Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan (penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang police line.

Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.

Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.

Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.

Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan dan otorisasi.

Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan area bencana.

Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi korban.

Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.

Setelah ketiga langkah tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.2. Collecting Post Mortem DataPengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkap lengkapnya mengenai korban. Pemeriksaan dan pencatatan data jenazah yang dilakukan diantaranya meliputi :

Dokumentasi korban dengan mengabadikan foto kondisi jenazah korban.

Pemeriksaan fisik, baik pemeriksaan luar maupun pemeriksaan dalam jika diperlukan.

Pemeriksaan sidik jari.

Pemeriksaan rontgen.

Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda.

Pemeriksaan DNA.

Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.

Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data primer dan data sekunder sebagai berikut :

PRIMER : Sidik jari, profil gigi, DNA.

SECONDARY : Visual, fotografi, properti jenazah, medik-antropologi (tinggi badan, RAS, dll).

Selain mengumpulkan data paska kematian, pada fase ini juga ekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah perubahan perubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.

3. Collecting Ante Mortem DataPada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tato, tindikan, bekas luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan korban.

4. ReconciliationPada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah.

5. Returning to the FamilyKorban yang telah diidentifikasi direkonstruksi hingga didapatkan kondisi kosmetik terbaik kemudian dikembalikan pada keluarganya untuk dimakamkan. Apabila korban tidak teridentifikasi maka data post mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem jenazah, dan pemakaman jenazah menjadi tanggung jawab organisasi yang memimpin komando DVI. Sertifikasi jenazah dan kepentingan mediko-legal serta administratif untuk penguburan menjadi tanggung jawab pihak yang menguburkan jenazah.

Indikator kesuksesan suatu proses DVI bukan didasarkan pada cepat atau tidaknya proses tersebut berlangsung tapi lebih didasarkan pada akurasi atau ketepatan identifikasi. Pada prosesnya di Indonesia, DVI terkadang menemui hambatan hambatan. Hambatan yang terjadi terutama disebabkan oleh buruknya sistem pencatatan yang ada di negeri ini sehingga untuk mengumpulkan data ante mortem yang dibutuhkan, misalnya data sidik jari dari SIM (Surat Izin Mengemudi), rekam medis pemeriksaan gigi dan lain sebagainya, tim ante-mortem sering menemui kendala.

Seperti yang kita tahu, tidak semua penduduk Indonesia memiliki SIM dan tidak semua penduduk Indonesia yang memiliki SIM memiliki catatan sidik jari yang asli miliknya sendiri, karena tidak jarang pengambilan SIM di Indonesia dilakukan oleh orang lain yang bukan merupakan pemilik SIM, misalnya oleh calo atau suruhan si pembuat SIM. Ditambah lagi tidak semua penduduk Indonesia pernah melakukan pemeriksaan gigi yang tercatat, sehingga pengumpulan data profil gigi memang masih sulit untuk dilakukan. Pemeriksaan DNA pada pengumpulan data post-mortem juga tergolong pemeriksaan yang mahal sehingga terkadang polisi sebagai organisasi yang memimpin komando untuk DVI tidak memiliki biaya yang memadai untuk membayar pemeriksaan.

Hal ini sangat mengecewakan karena biaya untuk identifikasi korban seharusnya menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan pada institusi terkait yang melakukan pemeriksaan, namun terkadang birokrasi yang dibutuhkan untuk mencairkan dana tersebut sangat sulit sehingga polisi harus mendanai sendiri permintaan identifikasinya. Hal ini tentunya sangat merugikan masyarakat terutama keluarga korban yang tentunya sangat ingin tahu mengenai benar tidaknya suatu jenazah merupakan keluarganya. Pemerintah seharusnya lebih tanggap mengenai hal hal yang dibutuhkan untuk menjamin kelancaran proses DVI, terutama karena Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana alam, sehingga tentunya proses DVI yang baik akan sangat diperlukan di Indonesia.V.KesimpulanBerdasarkan uraian pada point analisa dan pembahasan, identifikasi pada kasus ini dilakukan dengan tujuan mencocokkan data yang diperoleh antemortem dengan data yang diperoleh postmortem. Hal ini sangat penting karena jika kekeliruan terjadi akan mengakibatkan hal yang fatal. Selain itu, identifikasi juga dilakukan dalam rangka menegakkan HAM. Identifikasi juga dilakukan untuk kepentingan pengisian visum et repertum yang akan diterbitkan setelah pemeriksaan jenazah selesai dilakukan. Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil yang positif (tidak meragukan).

VI. Referensi1.Interpol dead victim identification guideline. Diakses pada tanggal 17 Juni 2015 melalui http://www.interpol.int/Public/DisasterVictim/Guide/Guide.pdf.2.Idries, Abdul Muin dan Tjiptomartono, Agung L. 2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik Dalam Proses Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto.

PAGE 1