reflective learning
DESCRIPTION
LeadershipTRANSCRIPT
REFLECTIVE LEARNING JOHN’S MODEL OF REFLECTION DALAM PEYELESAIAN KASUS
LEADERSHIP
Disusun untuk Memenuhi Tugas Blok Basic Nursing Sciene
Refleksi Penyelesaian Kasus dan Leadership
PENULIS
ZULFIKAR MUHAMMAD
20151050060
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proses kepemimpinan dan manajemen didasarkan pada pendekatan ilmiah yang
disebut metode pemecahan masalah. Fungsi metode ilmiah ini untuk meningkatkan
keberhasilan dari kegiatan manager perawat dalam situasi lingkungan yang unik dan
tertentu. Dalam suatu lingkungan terdapat anggota staf, klien, manager dan berbagai
penentu situasi seperti kebijakan dan norma-norma serta sumber-sumber materi.
Keadaan tersebut unik karena di tempat dan waktu lain akan berbeda situasinya. Tugas
dari manager perawat adalah mengenali sumber yang ada dalam lingkungannya dan
membuat sumber-sumber ini berfungsi di dalam suatu system yang menyeluruh dalam
mencapai tujuan. Penggunaan metode ilmiah adalah untuk membantu manager
mengkaji beberapa kebutuhan dari system dan dalam memilih prioritas mengidentifikasi
elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban tujuan-tujuan khusus,
mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang tersebut dan mengembangkan strategi
yang melibatkan kekuatan-kekuatan tersebut dalam pekerjaan.
Pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan
kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab atas
pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan (Hasibuan, 2009 dalam
Warouw, dkk, 2013). Pemimpin memiliki kemampuan memberi inspirasi kepada orang
lain untuk bekerjasma sebagai suatu kelompok, agar dapat mencapai suatu tujuan.
Pemimpin mempengaruhi lingkungan dan orang lain untuk tujuan yang diinginkan
(Suarli & Bahtiar, 2010).
Bass, 1985. Dalam Journal of Nursing Management, 2006. Mengatakan bahwa
kemampuan kepeminpinan adalah dasar dalam mempengaruhi suatu kelompok untuk
mencapai visi yang dispakati dan tujuan kelompok (Sellgren, 2006). Kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi yang kontruktif untuk melakukan suatu usaha kooperatif
mencapai tujuan yang sudah direncanakan.
Sebagai individu kita sudang seringkali dihadapkan dengan masalah dan dapat
menyelesaikan maslah tersebut, tetapai bukan berarti kita sudah pandai menyelesaikan
semua masalah dengan benar dan sistematis, dalam kehidupan sehari-hari
pemecahaan maslah seringkali dilakukan dengan cara untung-untungan berdasarkan
intuisi, memecahkan masalah dengan cara mencoba memberiakan jawaban yang baik
dari suatu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik, dalam proses pemecahan masalah
yang sederhana mugkin saja dapat berhasil namun demikian pemecahan masalah
organisasi haruslah secara sistematis hal ini diperlukan oleh pemimpin atau pimpinan
untuk mengambil keputusan yang tepat, akurat dan dapat di petanggung jawabkan
walaupun tidak ada satutupun metode yang dapat menjamin bahwa pemangmbilan
keputusan oleh seorang pimpinan akan selalu benar, namun demikian seorang
pemimpin yang menggunakan pendekatan sacara rasional, cerdik dan sistematis, akan
menghasilkan pemecahan maslah yang berkualitas tinggi (Suarli & Bahtiar, 2010).
Secara umum pemecahan masalah secara sistematis adalah mnyelidiki situasi,
menggambarkan alternatif, mengevaluasi berbagai alternatif dan menetapkan pilihan
yang terbaik, melaksanakan keputusan.
Metode sistematis yang dapat digunakan dalam proses penyelesaian masalah
salah satunya adalah metode refleksi. Praktek refleksi banyak digunakan dan diartikan
sebagai proses memeriksa internal dan mengeksplorasi permasalahan, disebabkan
oleh pengalaman, yang memberi reaksi dan menjelaskan makna pada istilah “diri” dan
yang menghasilkan perubahan perspektif secara konseptual (Boyd and Fales, 1983,
dalam Yadolah Zarezadeh, 2009). Reflektif sangat bermanfaat untuk pengembangan
professional. Dengan menggunakan pendekatan reflektif secara sistematis kita dapat
memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi bagaimana data, pandangan,
masalah yang pernah terjadi pada masa lalu sebagai bahan masukan, dengan tetap
memperhatikan kondisi dan realita saat ini untuk memecahkan masalah saat ini dengan
mengambilan keputusan yang berorientasi pada masa depan sehingga pengambilan
keputusan saat ini akan lebih baik.
Model reflektif John 1995 adalah salah satu meodel metode reflektif secara
sistematis yang memungkinkan kita gunakan untuk menyelesaikan masalah
kepemimpinan terutama pada pendidikan kesehatan dan keperawatan hal ini di perkuat
dengan sebuah penelitian Action Research yang di lakukan oleh David Kember dan
kawan yang tertuang di dalam buku yang berjudul reflective teaching and learning in the
health provesional education action research in profesional education yang menyatakan
bahwa salh satu metode reflektif yang tepat untuk di gunakan pada pendidikan
kesehatan adalah metode reflektif yang digagas oleh John 1995. Dari paparan diatas
maka penulis mengguanakan metode reflektif John 1995 untuk melakukan analisis
masalah kepemimpinan.
B. Uraian Kasus
Pada kesempatan ini kasus yang diangkat adalah pengalaman di tempat kerja,
dimana berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan pada
bidang kemahasiswaan. Bidang kemahasiswaan ditempat kerja belum ada buku
panduan tentang kegiatan kemahasiswaan, yang mana menjadi landasan bagi
mahasiswa untuk melakukan suatu kegiatan dan panduan bagi unit kemahasiswaan
untuk melakukan kontroling terhadap kegiatan kemahasiswaa. Unit kemahasiswaan
yang notabennya adalah bawahan dari bidang kemahasiswaan berinisiatif untuk
membuat dan merumuskan buku panduan tersebut. Tetapi selama dua setengah tahun
terakhir belum ada tanggapan dari bidang kemahasiswaan maupun pimpinan. Hal ini
menimbulkan kerancuan bagi mahasiswa ketika akan melakukan suatu kegiatan dan
bagi unit kemahasiswaan merasa kesulitan untuk melakukan kontroling,bageting dan
pembimbingan terkait kegiatan kemahasiswaan. Ini disebabkan oleh tingginya beban
kerja bidang kemahasiswaan yang mana di emban oleh Pembantu Ketua I (Bidang
Akademik dan Kemahasiswa) sehingga kemahasiswaan terabaikan, kurang kordinasi
antara unit kemahasiswaan-Puket I dan Ketua dikarenakan para pemangku kebijakan
jarang ada di tempat.
C. Tujuan
1. Mengetahui tentang teori kepemimpinan dan proses pemecahan masalah dengan
menggunakan teori rfleksi model johns
2. Mengidentifikasi masalah menggunakan model refletif Johns
3. Menganalisa pemecahan masalah menggunakan teori reflektif
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
A. Konsep Umum Kepemimpinan
Koontz, O’Domel & Weihrich (1990:147) dalam Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd,
mengatakan bahwa kepemimpinan sebgai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi
orang-orang sehingga mereka kaan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan
kemauan dan antusias. Sedangkan kartono dalam Lastiko runtuwene, S.Ag, M.Pd
mengatakan bahwa, kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh
kapabilitas/ kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain
untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. Pada dasarnya kepemimpinana
adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu dalam mempengaruhi orang lain
(Pendidikan-sekolah, 1998).
Encarta World English Dictionary (2009) dalam Marquis & Huston mengatakan
bahwa kepemimpinanan adalah “the art of motivating a group of people to act towards
achieving a common goal,” it becomes clear that there is no single defi nition broad
enough to (Marquis & Huston, n.d.).
Bass, 1985. Dalam Journal of Nursing Management, 2006. Mengatakan bahwa
kemampuan kepeminpinan adalah dasar dalam mempengaruhi suatu kelompok untuk
mencapai visi yang dispakati dan tujuan kelompok (Sellgren, 2006).
Teori-teori tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan,
yaitu :
1. pendekatan sifat artinya kepemimpinan yang berasal dari individu itu sendiri, atau
dikenal dengan teori pembawaan. Ghiseli (1971) dalam Handoko (2001)
menyatakan bahwa dalam teori ini seorang pemimpin memeiliki ciri-ciri atau sifat
tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin orang lain. sifat-sifat tersebut
adalah : kemampuan sebagai pengawas, kebutuhan akan prestasi dalam
pekerjaan, kecerdasan, ketegasan, kepercayaan diri, inisiatif. Sedangkan menurut
Davis mengemukakan ada 4 ciri/sifat utama yang mempengaruhi kepemimpinan,
yaitu: Kecerdasan, kedewaan dan keleluasan hubungan social, motivasi diri dan
dorongan berprestasi, sikap-sikap hubungan manusiawi.
2. Pendekatan perilaku, pendekatan ini didasari oleh perilaku dari pemimpin tersebut
atau apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif. Ada dua fungsi utama dari
pendekatan ini : fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau
pemecahan masalah dan fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (Group-
Maintenance) atau social. Pendekatan ini dipusatkan pada dua gaya kepemimpinan
yaitu gaya orientasi tugas (task oriented) dan gaya orientasi karyawan (employe-
oriented)
3. Pedekatan situasional, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa gaya yang
digunakan adalah bergantung pada factor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,
organisasi dan cariabel-variabel lingkungan lainnya. Menurut Fiedler (1974)
mengemukakan ada tiga dimensi utama dalam situasi kepemimpinan yang
mempengaruhi gaya pemimpin yang efektif yaitu: kekuasaan posisi, struktur tugas,
dan hubungan pemimpinan-anggota.
Ekvall (1992) dalam Journal of Nursing Management, 2006, mengatakan bahwa
stile atau gaya kepemimpinan tergantung pada individu seorang pemimpin,
kepribadiannya, pengalaman dan pengetahuan tentang leadership.
B. Gaya Kepemimpinan
Gaya diartikan sebagai cara penampilan karakteristik atau tersendiri. Menurut
Follet (1940), gaya didefiniskan sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli dengan hasil
akhir dicapai tanpa menimbulkan isu sampingan. Gillies (1997), menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan dapat diidentifikasikan berdasarkan perilaku pemimpin. Perilaku
seseorang dipengaruhi oleh pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupannya, oleh
karena itu keperibadian seseorang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang
digunakan. Gaya kepemimpinan seseorang cenderung sangat bervariasi dan berbeda-
beda. Menurut para ahli ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan
dalam suatu organisasi antara lain:
1) Gaya Kepemimpinan menurut Tannenbau dan Warren H. Schmidt.
Menurut kedua ahli tersebut, gaya kepemimpinan dapat dijelaskan melalui
dua titik ekstrim yaitu kepemimpinan berfokus pada atasan dan kepemimpinan
berfokus pada bawahan. Gaya tersebut dipengaruhi oleh faktor manajer, faktor
karyawan dan faktor situasi. Jika pemimpin memandang bahwa kepentingan
organisasi harus didahulukan dibandingkan kepentingan individu, maka pemimpin
akan lebih otoriter. Jika bawahan mempunyai pengalaman yanh lebih baik,
menginginkan partisipasi, maka pemimpin dapat menerapkan gaya partisapasi.
2) Gaya Kepemimpinan menurut Likert
Likert mengelompokan gaya kepemimpinan dalam empat system yaitu:
(1) Sistem Otoriter-Eksploitatif
Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah terhadap
bawahannya, memotivasi bawahan melalui ancaman atau hukuman. Komunikasi
yang dilakukan satu arah ke bawah (top-down).
(2) Sistem Benevolent-Authoritative
Pemimpin mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu, memotivasi bawahan
dengan ancaman atau hukuman tetapi tidak selalu dan mebolehkan komunikasi ke
atas. Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan wewenang
pengambilan keputusan meskipun masih melakukan pengawasan yang ketat.
(3) Sisetm Konsultatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan terhadap bawahan cukup besar. Pemimpin
menggunakan balasan (inssentif) untuk memotivasi bawahan dengan kadang-
kadang menggunakan ancaman atau hukuman. Komunikasi dua arah dan
membolehkan keputusan spesifik dibuat oleh bawahan.
(4) Sistem Partispatif
Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahan, selalu
memfaatkan ide bawahan, menggunakan insentif ekonomi untuk memotivasi
bawahan. Komunikasi dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.
3) Gaya Kepemipinan menurut Teori X dan Teori Y
Teori ini di kemukakan oleh Douglas Mc Gregor dalam bukunya “The Human
Side of Enterprise” (1960), menyebutkan bahwa perikalu seseorang dalam suatu
organisasi dapat dikelompokan dalam dua kutub utama yaitu sebagai Teori X dan
Teori Y. Teori X diasumsikan bahwa pemimpin itu tidak menyukai pekerjaan, kurang
ambisi, tidak mempunyai tanggung jawab, cendrung menolak perubahan dan lebih
suka dipimpin daripada memimpin. Sebaliknya Teori Y diasumsikan bahwa pemimpin
itu senang bekerja, bisa menerima tanggung jawab, mampu mandiri, mampu
mengawasi diri, mampu berimajinasi dan kreatif. Dari teori ini, gaya kepemimpinan
dibedakan menjadi empat macam yaitu:
(1) Gaya kepemimpinan ditaktor
Gaya kepemimpinan yang dilakukan dengan menimbulkan ketakutan serta
menggunakan ancaman dan hukuman merupakan bentuk dari pelaksanaan teori
X
(2) Gaya kepemimpinan autokratis
Pada sasarnya hampir sama dengan gaya kepemimpinan ditaktor namun
bobotnya agak kurang. Segala keputusan berada ditangan pemimpin, pendapat
dari bawahan tidak pernah dibenarkan, Gaya ini juga merupakan pelaksanaan
dari teori X.
(3) Gaya kepemimpinan demokratis
Ditemukan adanya peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang
dilakukan secara musyawarah. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya sesuai
dengan teori Y.
(4) Gaya kepemimpinan santai
Peranan pemimpin hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan
pada bawahan. Gaya kepemimpinan ini sesuai dengan teori Y (Azwar, 1996).
4) Gaya kepemimpinan menurut Robert House
Berdasarkan teori motivasi pengharapan, Robert House mengemukakan empat gaya
kepemimpinan yaitu:
(1) Directive
Pemimpin menyatakan kepada bawahan tentang bagaimana melaksanakan
suatu tugas. Gaya ini mengandung arti bahwa pemimpin berorientasi pada hasil.
(2) Supportive
Pemimpin berusaha mendekatkan diri dengan bawahan dan bersikap ramah
terhadap bawahan.
(3) Participative
Pemimpin berkonsultasi dengan bawahan untuk mendapatkan masukan dan
saran dalam rangka pengambilan keputusan.
(4) Achievement oriented
Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan
berusaha untuk mencapai tujuan tersebut seoptimal mungkin (Sujak, 1990).
5) Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard
Ciri-ciri gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard meliputi:
(1) Instruksi
a. Tinggi tugas dan rendah hubungan
b. Komunikasi searah
c. Pengambilan keputusan berada pada pimpinan,peran bawahan sangat
minimal.
d. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik
serta mengawasi dengan ketat.
(2) Konsultasi
a. Tinggi tugas dan tinggi hubungan
b. Komunikasi dua arah
c. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
cukup besar, bawahan diberi kesempatan untukmemberi masukan dan
menampung keluhan.
(3) Partisipasi
a. Tinggi hubungan rendah tugas
b. Pemimpin dan bawahan bersama-sama memberi gagasan
dalampengambilan keputusan.
(4) Delegasi
a. Rendah hubungan dan rendah tugas
b. Komunikasi dua arah terjadi diskusi antara pemimpin dan bawahan dalam
pemecahan masalah serta bawahan diberi delegasi untuk mengambil
keputusan .
6) Gaya kepemimpinan menurut Ronald Lippits dan Rapiph K. White
Menurut Ronald Lippith dan Rapiph K. White, ada tiga gaya kepemimpinan
yaitu: otoriter, demokrasi dan liberal yang mulai dikembangkan di Universitas Iowa.
(1) Otoriter
Gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Wewenamg mutlak berada pada pimpinan
- Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan
- Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan
- Komunikasi berlangsung satu arah dari pmipinan kepada bawahan
- Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para
bawahan dilakukan secara ketat
- Prakarsa harus selalu berasal dari pimpinan
- Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan
atau pendapat
- Tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif
- Lebih banyak kritik daripada pujian
- Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat
- Pimpinan menuntut kesetiaan tanpa syarat
- Cendrung adanya paksaan, ancaman dan hukuman
- Kasar dalam bertindak
- Kaku dalam bersikap
- Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan
(2) Demokratis
Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan
ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Gaya kepemimpinan ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut:
- Wewenang pimpinan tidak mutlak
- Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan
- Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
- Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan
- Komunikasi berlangsung timbal-balik
- Pengawasan dilakukan secara wajar
- Prakarsa dapat datang dari bawahan
- Banyak kesempatan dari bawahan untuk menyampaikan saran dan
pertimbangan
- Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan
daripada instruktif
- Pujian dan kritik seimbang
- Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas
maisng-masing
- Pimpinan meminta kesetiaan bawahan secara wajar
- Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak
- Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling
menghargai
- Tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung secara bersama-sama
(3) Liberal atau Laissez Faire
Kepemimpinan gaya liberal atau Laissez Faire adalah kemampuan
mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan
dengan cara berbagai kegiatan yang dilakukan lebih banyak diserahkan kepada
bawahan.
Gaya kepemimpinan ini bercirikan sebagai berikut:
- Pemimpin melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan
- Keputusan lebih banyak dibuat oleh bawahan
- Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh bawahan
- Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahan
- Hampir tiada pengawasan terhadap tingkah laku bawahan
- Prakarsa selalu berasal dari bawahan
- Hampir tiada pengarahan dari pimpinan
- Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok
- Kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan kelompok
- Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh perorangan
7) Gaya kepemimpinan berdasarkan kekuasaan dan wewenang
Menurut Gillies (1996), gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan
dibedakan menjadi 4 yaitu:
(1) Otoriter
Merupakan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas/pekerjaan.
Menggunakan kekuasaan posisi dan power dalam memimpin. Pemimpin
menentukan semua tujuan yang akan dicapai dan pengambilan keputusan.
Informasi diberikan hanya pada kepentingan tugas. Motivasi dengan reward dan
punishment.
(2) Demokratis
Merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan kemampuan setiap staf.
Menggunakan kekuasaan posisi dan pribadinya untuk mendorong ide dari staf ,
memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan sendiri. Membuat rencana dan
pengontrolan dalam penerapannya. Informasi diberikan seluas-luasnya dan
terbuka.
(3) Partisipatif
Merupakan gabungan antara otokratik dan demokrasi, yaitu pemimpin yang
menyampaikan hasil analisa masalah dan mengusulkan tindakannya. Staf
diminta saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap
usulnya. Keputusan akhir oleh kelompok.
(4) Bebas Tindak
Merupakan pimpinan offisial, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa
pengarahan, supervisi dan koordinasi. Staf/bawahan mengevaluasi pekerjaan
sesuai dengan caranya sendiri. Pimpinan hanya sebagai sumber informasi dan
pengendalian minimal.
Lester R. Bitel menyebutkan bahwa semua gaya kepemimpinan ini memiliki
kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pimpinan yang sukses adalah yang mampu
menyesuaikan diri dengan situasi.
D. Pendekatan Kepemimpinan
1. Pendekatan Sifat
Dalam pendekatan sifat timbul pemikiran bahwa pemimpin iti dilahirkan,
pemimpin bukan dibuat. Pemikiran semacam itu dinamakan pemikiran “Hereditary”
(turun temurun). Pendekatan secara turun temurun bahwa pemimpin dilahirkan
bukan dibuat, pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan dengan
belajar/latihan tetapi dari menerima warisan, sehingga menjamin kepemimpinan
dalam garis turun temurun dilakukan antar anggota keluarga. Dengan demikian
kekuasaan dan kesejahteraan dapat dilangsungkan pada generasi berikutnya yang
termasuk dalam garis keturunan keluarga yang saat itu berkuasa.
Kemudian timbul teori baru yaitu “Physical Characteristic Theory” (teori dari
Fisik). Kemudian timbul lagi bahwa pemimpin itu dapat diciptakan melalui latihan
sehingga setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Para ahli
umumnya memiliki pandangan perlunya seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat
yang baik. Pandangan semacam ini dinamakan pendekatan sifat. Adapun sifat-sifat
yang baik yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu: (a) bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa; (b) cakap, cerdik dan jujur; (c) sehat jasmani dan rohani; (d) tegas,
berani, disiplin dan efisien; (e) bijaksana dan manusiawi; (f) berilmu; (g)
bersemangat tinggi; (h) berjiwa matang dan berkemauan keras; (i) mempunyai
motivasi kerja tinggi; (j) mampu berbuat adil; (k) mampu membuat rencana dan
keputusan; (l) memiliki rasa tanggung jawab yang besar; (m) mendahulukan
kepentingan orang lain.
2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku adalah keberhasilan dan kegagalan seorang pemimpin
itu dilakukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya
bersikap dan bertindak akan tampak dari cara memberi perintah, memberi tugas,
cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat kerja
bawahan, cara menegakkan disiplin, cara pengawasan dan lain-lain. Bila dalam
melakukan tindakan dengan cara lugas, keras, sepihak yang penting tugas selesai
dengan baik, dan yang bersalah langsung dihukum, gaya kepemimpinan itu
cenderung bergaya otoriter.
Sebaliknya jika dalam melakukan kegiatan tersebut pemimpin dengan cara
halus, simpatik, interaksi timbal balik, menghargai pendapat dan lain-lalin. Maka
gaya kepemimpinan ini bergaya kepemimpinan demokratis. Pandangan klasik
menganggap sikap pegawai itu pasif dalam arti enggan bekerja, malas, takut
memikul tanggung jawab, bekerja berdasarkan perintah. Sebaliknya pandangan
modern pegawai itu manusia yang memiliki perasaan, emosi, kehendak aktif dan
tanggung jawab. Pandangan klasik menimbulkan gaya kepemimpinan otoriter
sedangkan pandangan modern menimbulkan gaya kepemimpinan demokratis. Dua
pandangan di atas menimbulkan gaya kepemimpinan yang berbeda.
3. Pendekatan Kontingensi
Dalam pandangan ini dikenal dengan sebutan “One Best Way” (Satu yang
terbaik), artinya untuk mengurus suatu organisasi dapat dilakukan dengan paralek
tunggal untuk segala situasi. Padahal kenyataannya tiap-tiap organisasi memiliki ciri
khusus bahkan organisasi yang sejenis akan menghadapi masalah berbeda
lingkungan yang berbeda, pejabat dengan watak dan perilaku yang berbeda. Oleh
karena itu tidak dapat dipimpin dengan perilaku tunggal untuk segala situasi. Situasi
yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku kepepimpinan yang berbeda.
Fremont E. Kast (1979) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu system
yang terdiri dari sub sistem dengan batas lingkungan supra sistem. Pandangan
kontingensi menunjukkan pendekatan dalam organisasi adanya antar hubungan
dalam sub sistm yang terdiri daari sub sistem maupun organisasi dengan
lingkungannya. Kontingensi berpandangan bahwa azas-azas organisasi bersifat
universal. Apabila dikaitkan dengan kepemimpinan maka dapat dikatakan bahwa
tiap-tiap organisasi adalah unik dan tiap situsi harus dihadapi dengan gaya
kepemimpinan tersendiri.
4. Pendekatan Terpadu
Paul Kenneth H. Blanchard (1977), memadukan berbagai teori kedalam
pendekatan kepemimpinan situasional dengan maksud menunjukkan kesamaan
dari pada perbedaan diantara teori-teori tersebut. Teori-teori yang dipadukan
adalah:
a. Perpaduan antara teori motivasi jenjang kebutuhan teori tingkat kematangan
bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
b. Perpaduan teori motivasi 2 faktor teori tingkat kematangan bawahan, dengan
pendekatan situasional.
c. Perpaduan antar 4 sistem manajemen, teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan situasional
d. Perpaduan antara teori x dan y, teori tingkat kematangan bawahan dengan
kematangan situasional
e. Perpaduan antara pola perilaku A dan B, tori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional
f. Perpaduan antara 4 anggapan tentang orang, teori kematangan bawahan
dengan kepemimpinan situasional
g. Perpaduan antara teori “Ego State”, teori tingkat kematangan bawahan dengan
pendekatan kepemimpinan situasional
h. Perpaduan antara teori ”Life Position” , teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional
i. Perpaduan antara teori system control, teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
j. Perpaduan antara teori dasar daya, teori tingkat kamatangan bawahan dengan
pendekatan kepemikmpinan situasional.
k. Perpaduan antara teori “Parent effektiviness training”, teori tingkat kematangan
bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional
l. Perpaduan antara teori pertumbuhan organisasi dengan pendekatan
kepemimpinan situasional.
m. Perpaduan antara teori proses pertumbuhan organisasi, teori tingkat
kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
n. Perpaduan antara teori siklus perubahan, teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
o. Perpaduan antara teori modivikasi perilaku, teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional
p. Perpaduan antara teori “Force field analysis”, teori tingkat kematangan bawahan
dengan pendekatan kepemimpinan situasional.
E. Pengambilan Keputusan (Decision Making)
Pengambilan keputusan adalah proses yang disengaja dalam membuat pilihan
diantara satu atau beberapa alternative dengan tujuan mencapai sesuatu yang
diinginkan. Keputusan muncul sebagai respon terhadap masalah atau peluang.
Masalah (problem) adalah penyimpangan dari situasi yang ada saat ini dengan situasi
yang diinginkan. Itu adalah kesenjangan (gap) antara apa yang terjadi dengan apa yang
seharusnya. Beberapa aspek kinerja tidak memuaskan.
Peluang (opportunities) terjadi ketika manajer melihat potensi prestasi yang
menyediakan kesempatan untuk menciptakan prestasi organisasional melebihi sasaran
yang telah ditetapkan saat ini. Peluang adalah penyimpangan antara harapan yang ada
saat ini dan pengenalan terhadap situasi yang secara potensial lebih baik. Para manajer
melihat kemungkinan meningkatkan kinerja melebihi level saat ini. Dengan kata lain
pengambil keputusan menyadari bahwa keputusan yang tepat dapat menghasilkan
kondisi sesuai tujuan atau yang diharapkan.
F. Model Pengambilan Keputusan
1. Tahap pertama, dalam pengambilan keputusan dan merupakan tahapan yang
paling penting. Kita perlu mengidentifikasi masalah secara tepat untuk dapat memilih
solusi yang terbaik. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, masalah adalah
penyimpangan antara situasi saat ini dengan situasi yang diinginkan. Penyimpangan
ini adalah gejala (Symtoms) dari penyebab-penyebab yang lebih utama dalam
organisasi. Proses ini terjadi dengan cara memahami penyebab utama dari gejala
(symtoms) yang menarik perhatian kita. Proses keputusan kemudian diarahkan
untuk mengubah akar penyebab sehingga gejala-gejala direduksi atau dieliminasi.
2. Tahap kedua, adalah menentukan gaya keputusan yang tepat. Satu hal yang
penting mengenai pemecahan masalah adalah keputusan terprogram dan
keputusan tidak terprogram. Keputusan terprogram mengikuti standar prosedur
operasi (SOP). Tidak dibutuhkan untuk meng-explore solusi alternatif karena solusi
alternatif telah diidentifikasi dan terdokumentasi. Sebaliknya, masalah baru,
kompleks dan masalah yang tidak terdefinisi membutuhkan keputusan yang tidak
terprogram.
3. Tahap ketiga, pada model umum pengambilan keputusan adalah mengembangkan
daftar solusi yang memungkinkan. Proses ini biasanya dimulai dengan mencari
solusi yang siap digunakan, seperti praktek-praktek yang telah bekerja secara baik
untuk masalah yang sama. Jika solusi yang dapat diterima tidak ditemukan,
kemudian pembuat keputusan mencoba untuk mendesain solusi yang sesuai atau
memodifikasi yang sudah ada.
4. Tahap keempat, adalah memilih alternatif terbaik. Dalam proses yang pure rasional,
tahap ini akan melibatkan identifikasi semua faktor dimana alternatif-alternatif
dipertimbangkan, pemberian bobot yang merefleksikan pentingnya faktor tersebut,
memberi peringkat alternatif pada faktor-faktor tersebut, dan menghitung total nilai
setiap alternatif dari peringkat dan bobot faktor.
5. Tahap kelima, pembuat keputusan harus mengumpulkan karyawan dan
memobilisasi sumber daya secara efisien untuk menterjemahkan keputusannya ke
dalam tindakan. Mereka harus mempertimbangkan motivasi, kemampuan, dan
persepsi peran para karyawan dalam mengimplementasikan solusi, tergantung
faktor situasi untuk memfasilitasi implementasinya.
6. Tahap Enam, dalam model keputusan adalah mengevaluasi kesenjangan yang
terdekat antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi. Secara ideal,
informasi tersebut seharusnya datang dari perbandingan (benchmarking) yang
sistematik, sehingga umpan balik yang dihasilkan lebih obyektif dan mudah
diobservasi.
G. Gaya Pengambilan Keputusan (Decision Style)
Dalam mengambil keputusan, manajer menggunakan cara-cara yang tidak sama.
Setiap manajer mempunyai gaya pengambilan keputusan yang tidak sama. Gaya
pengambilan keputusan (decision style) merujuk pada perbedaan antara pengambil
keputusan menyangkut cara mereka memandang masalah dan membuat keputusan.
Penelitian berhasil mengidentifikasi empat jenis gaya keputusan :
1. Gaya direktif (Directive Style) digunakan oleh orang-orang yang menyukai solusi
jelas dan sederhana terhadap masalah. Para manajer yang menggunakan gaya ini
kerap membuat keputusan secara cepat karena mereka tidak menyukai informasi
yang banyak dan hanya mempertimbangkan satu atau dua alternatif saja. Orang-
orang yang menyukai gaya ini biasanya termasuk dalam orang-orang yang efisien,
rasional, dan suka menyandarkan diri pada aturan-aturan atau prosedur
pengambilan keputusan yang berlaku.
2. Gaya analitis (Analytical Style) adalah gaya mempertimbangkan solusi yang
kompleks berdasarkan pada sebanyak mungkin data yang mereka kumpulkan.
Individu seperti ini secara hati-hati akan mempertimbangkan berbagai alternatif dan
kerap membuat keputusannya berdasarkan pada data yang obyektif dan rasional
dari sistem pengendalian manajemen dan sumber-sumber yang lain. Mereka
mencari kemungkinan keputusan terbaik berdasarkan informasi yang tersedia.
3. Gaya konseptual (conceptual Style) mempertimbangkan sejumlah besar informasi.
Lebih mempunyai orientasi sosial daripada orang-orang yang memiliki gaya analitis
dan suka berbincang-bincang dengan orang lain mengenai suatu masalah dan
kemungkinan alternatif bagi pemecahan masalah tersebut. Para manajer yang
menggunakan gaya ini melakukan pertimbangan terhadap sejumlah besar alternatif,
tergantung pada informasi baik dari orang-orang maupun sistem, dan menyukai
pemecahan masalah secara kreatif.
4. Gaya perilaku (behavioral Style) sering diterapkan oleh manajer yang memiliki
perhatian besar terhadap orang lain selaku individu. Para manajer yang
menggunakan gaya ini suka berbicara dengan orang lain secara individu dan
memahami perasaan mereka mengenai masalah dan pengaruh keputusan tertentu
terhadap mereka. Orang-orang dengan gaya perilaku pada umumnya peduli dengan
pengembangan pribadi orang lain dan akan membuat keputusan yang membantu
orang lain mencapai tujuannya.
H. Gaya Komunikasi Organisasi
Komunikasi merupakan hal penting dalam kehidupanan manusia, dengan
kemampuan berkomunikasi yang baik, maka kita dapat menyampaikan pengatahuan,
ide, gagasan kepada orang lain. Cara atau gaya berkomunikasi terkadang menjadi lebih
penting dari konten komunikasi tersebut. bagaimana tidak, banyak orang yang
memahami konten dengan baik, tetapi pesan komunikasinya tidak sampai atau tidak
diterima orang lain karena ketidakmampuan menyampaikan pesan tersebut. Dalam hal
ini gaya komunikasi menjadi penting untuk diterapkan.
Gaya Komuniksi didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar pribadi yang
terspesialisasi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu (Tubbs dan Moss, 2000).
Masing-masing gaya komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau
tanggapan tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan
bergantung pada maksud pengirim dan harapan penerima.
Ketrampilan komunikasi melalui gaya komunikasi , mengisyaratkan kesadaran diri
pada level yang tinggi. Setiap orang memunyai gaya komunikasi yang bersifat personal,
yang merupakan gaya khas seseorang dalam berkomunikasi. Sehingga gaya
komunikasi dapat dikatakan sebagai suatu kepribadian yang terdapat didalam diri setiap
manusia yang sukar diubah.
Seorang pemimpin akan memiliki sekumpulan gaya yang digunakan untuk
memperngaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai. Gaya komunikasi yang
digunakan oleh seorang pemimpin disini menggambarkan kombinasi perilaku antara
gaya yang telah menjadi kepribadiannya dan gaya seorang pemimpin yang memiliki tiga
pola dasar yakni mementingkan hubungan kerja sama mementingkan pelaksanaan
tugas dan hasil yang dapat dicapai, yang merupakan gaya dasar yang pada dsarnya
harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi.
Setiap orang memiliki gaya komunikasi masing-masing. Menurut Norton (1983)
gaya komunikasi dibagi menjadil menjadi sepuluh, yaitu :
i. dominant, Komunikator dominan dalam berinteraksi. Orang seperti cenderung
ingin menguasai pembicaraan,dan tidak suka dipotong pembicaraannya.
ii. dramatic, Dalam bekomunikasi cenderung berlebihan, menggunakan hal-hal
yang mengandung kiasan, metaphora, cerita, fantasi dan permainan suara.
iii. animated expresive, Komunikator cenderung menggunakan bahasa nonverbal,
untuk memberi warna dalam berkomunikasi, seperti kontak mata, ekspresi wajaf,
gesture dan gerak badan
iv. open, Komunikator bersikap terbuka, ramah tamah, gregarious, tidak ada rahasia
dan approachable, sehingga timbul rasa percaya dan terbentuk komunikasi dua
arah.
v. argumentative, Komunikator cenderung suka berargumen dan agresif dalam
berkomunikasi
vi. relaxed, Komunikator lebih tenang, sabar, dan menyenangkan
vii. friendly, Komunikator mampu bersikap positif dan saling mendukung terhadap
orang lain.
viii. attentive, Komunikator berinteraksi dengan orang lain dengan menjadi
pendengar yang aktif,empati dan sensitif
ix. precise, Komunikator lebih fokus pada ketelitian, dokumentasi dan bukti dalam
informasi dan argumentasi dan
x. impression leaving, kemampuan seorang komunikator dalam membentuk kesan
pada pendengar
Enam gaya komunikasi menurut Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss, adalah :
a. The Controlling style
Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai dengan adanya satu
kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur perilaku,
pikiran dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang menggunakan gaya
komunikasi ini dikenal dengan nama komunikator satu arah atau one-way
communications.
Pihak-pihak yang memakai controlling style of communication ini, lebih
memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan dibanding upaya mereka untuk
berharap pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian untuk
berbagi pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada
umpan balik, kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk
kepentingan pribadi mereka. Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir
dengan pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan
kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi pandangan-
pandangannya.
b. The Equalitarian style
Aspek penting gaya komunikasi ini ialah adanya landasan kesamaan. The
equalitarian style of communication ini ditandai dengan berlakunya arus
penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua
arah.
Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya,
setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat
dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dalam suasana yang demikian,
memungkinkan setiap anggota organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian
bersama. The equalitarian style ini akan memudahkan tindak komunikasi dalam
organisasi, sebab gaya ini efektif dalam memelihara empati dan kerja sama,
khususnya dalam situasi untuk mengambil keputusan terhadap suatu
permasalahan yang kompleks.
c. The Structuring style
Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan verbal secara
tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilaksanakan,
penjadwalan tugas dan pekerjaan serta struktur organisasi. Pengirim pesan lebih
memberi perhatian kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain dengan
jalan berbagi informasi tentang tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan dan
prosedur yang berlaku dalam organisasi tersebut.
d. The Dynamic style
Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif, karena
pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya
berorientasi pada tindakan (action-oriented). The dynamic style of communication
ini sering dipakai oleh para juru kampanye ataupun supervisor yang membawa
para wiraniaga (salesmen atau saleswomen).
Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah mestimulasi atau
merangsang pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan lebih baik.
Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan-
persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa karyawan atau
bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang
kritis tersebut.
e. The Relinguishing style
Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran,
pendapat ataupun gagasan orang lain, daripada keinginan untuk memberi
perintah, meskipun pengirim pesan (sender) mempunyai hak untuk memberi
perintah dan mengontrol orang lain.
Pesan-pesan dalam gaya komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan atau
sender sedang bekerja sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas,
berpengalaman, teliti serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas
atau pekerjaan yang dibebankannya.
f. The Withdrawal style
Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak
komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini
untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun
kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.
Menurut Kreitner & Kinicki dalam Mc.Kay :
Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi
yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang
tertentu pula. Kesesuaian dalam gaya komunikasi yang digunakan, bergantung
pada maksud dari pengirim (sender), dan harapan dari penerima (receiver). gaya
komunikasi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: assertive, agresif, dan gaya non
assertive. Adapun penjelasan tiap gaya komunikasi adalah sebagai berikut:
a. Assertive Style, yaitu gaya komunikasi dimana komunikator membuat
pernyataan secara langsung yang disertai dengan pertimbangan perasaan,
ide, dan harapan. Komunikator dengan gaya ini memiliki kemampuan untuk
mendengarkan dengan baik sehingga membiarkan orang lain untuk
mengetahui bahwa ia didengarkan. Gaya komunikasi ini terbuka dalam
melakukan negosiasi dan kompromi, bisa menerima dan memberikan
komplain, memberikan perintah secara langsung
b. Passive style, yaitu gaya komunikasi dimana komunikan tidak
mengekspresikan perasaan, ide, dan harapannya secara langsung. Dalam
gaya ini, komunikator cenderung akan banyak tersenyum dan lebih banyak
menyampaikan kebutuhannya kepada orang lain. Komunikator cenderung
melakukan tindakan dibandingkan mendengarkan. Gaya pasif cenderung
menggunakan suara yang lemah lembut, serta sering berhenti berkata-kata
dan cenderung tidak melakukan kontak mata dengan
komunikan.
c. Agresife style, yaitu gaya komunikasi Di mana komunikator cenderung
menyatakan perasaannya dengan mudah mengenai apa yang diinginkannya,
apa yang dipikirkan, tetapi sering mengabaikan hak dan perasaan orang lain.
Komunikator jenis ini seringkali menyakiti orang lain dengan kalimat- kalimat
yang sarkastik atau bercanda yang berlebihan. Gaya agresif sering
menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Sehingga kadang-kadang didalam
menyampaikan pesan bukan hanya dalam bentuk kata-kata tetapi juga diiringi
dengan bahas tubuh seperti menunjuk, menggebrak meja dan sebagainya
untuk mempertegas maksud dari yang diucapkan. (McKay,2009, p.128)
G. Teori Reflektive Learning
Secara umum reflektif diartikan Refleksi merupakan aktivitas manusia yang penting
di mana orang mengingat kembali pengalaman mereka, berpikir kembali tentang
pengalaman mereka, memikirkan lagi dan mengevaluasinya. semua ini berkerja sesuai
denga apa yang mereka alami. Kapasitas untuk manggambarkan pada masing-masing
perkembangan untuk setiap tahapan yang berbeda pada orang yang berbeda dan
mungkin kemampuan ini yang mencirikan mereka yang belajar secara efektif dari
pengalaman. (Boud, Keogh dan Walker, 1985, p. 19) Pemikiran reflektif melibatkan
pertimbangan 'prestasi pribadi dan kegagalan, dan bertanya apa yang berhasil, apa
yang tidak, dan apa yang perlu perbaikan' (Mengingat, 2002)
Refleksi atau praktek pembelajaran reflektif, memiliki tradisi panjang dan berasal
dari filsafat, khususnya karya Dewey pada (1933) pemikiran reflektif merupakan proses
pembelajaran untuk bertumbuh secara pribadi, pendekatan yang dilakukan Dewey
merupakan pendekatan pesikologis berkaitan dengan bagaimana sifat refleksi dan
bagaimana hal itu terjadi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa belajar reflektif
merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan, karena secara mandiri
mahasiswa dapat membuat pengethuan dari pengalaman yang ia lakukan sebelumnya,
pada perkembangannya di dunia pendidikan kesehatan lahirlah teori pembelajaran
reflektif yang di kenal dengan model John (1995) metode ini mememberikan gambaran
jelas tentang proses refleksi yang dilakukan oleh paraktisi, mahasiswa, dan dosen untuk
mengkonstruksi pengetahuan melelui reflektif learning.
H. Teori Reflektif Model John
1) Perkembagan teori refleksi Johns
Mengacu pada perkembangan model reflektif learning pada abad 19 yang
dikembangkan oleh Cristoper John dari bidang pendidikan keperawatan. Pada
dasarnya John mengembangkan model konseptuual yang di kembangkan oleh
Carper’s (1978) dengan empat pola pengetahuan, yaitu empirical, personal, ethical
dan esthetical, john percaya refleksi dapat dilakukan dengan cara yang disengaja
dan dengan aktifitas yang tersetruktur akan dapat mengembangkan pengetahuan,
shingga ia mengembangkan pola refleksi . John menegaskan norma-norma yang
telah ada praktik keperawatan . Sebelum melakukan elaborasi (membuat uraian
yang penjang ) tentang model john , terlebih dahulu john melakkukan telaah secara
mendalam pada model refleksi carper untuk mendukung John Model Reflektion
(john,1996),
John percaya dengan melakukan komparasi proses reflektif Carper dengan
proses keparawatan akan sangat dapat membrikan pemecahan masalah yang
dapat di pakai oleh perawat. Tetapi kritik yang dilakukan oleh john pada model
carper adlah linieritas dan penyebarannya, tidak seperti proses keparawatan model
carper lebih menunjukan proses hubungan interpersonal dari caring pada praktik
keperawatan di bandingkan dengan proses keperawatan (john 1996) dengan 5 pola
dasar model johns yaitu, mendeskripsikan pengalaman, refleksi, faktor faktor yang
mempengaruhi, adakah pilihan lain, belajar yang terdiri dari 4 komponen yaitu
empiris(ilmiah), etika, personal dan estetika.
perkembangaan teori tentang belajar reflektif tahun 2009 John merefiew
kembali model John yang sudah ada dengan tujuan agar model refleksi john tidak
hanya apat di guanakan untuk individu teteapai dapat di gunakanakan dunia,
perubahan model ini di pengaruhi oleh perubaban dunia bukan janya di pengaruhi
oleh indifidu john (John. 2009) Concil tenaga kesehatan (PHC) tahun 2009
memberikan peraturan tentang etika dan tingkah laku mahasiswa dengan
pengembangan model John, pengembangan model John pad fase ini lebih terarah
pada proses pemberian asuhan keperawatan pada pasein, berfokus pada msalah
pasien.
2) Pengertian Refleksi Model Johns.
Johns model pada dasarnya terdiri dari lima pertanyaan penting yang
memungkinkan dapat di kembangakan untuk mendapatkan pengalaman dan dapat
menggambarkan proses serta hasil pengalaman belajar reflektif . John (1995) yang
du iraikan sesuai dengan model dibawah ini.
Dorongan
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
Adakah pilihan lain yang lebih
baik
BelajarEmpiris, etik,
personal, Estetical
menjelaskan tentang
pengalaman
Ta
tabel 1.1 Deskripsi Model John
Pola John 1995 Deskripsi kripsi yang perlu digali
Mendeskripsikan pengalaman
(Description Experience)
Deskripsi pengalaman dan malasalah
yang dihadapi dan mengidentifikasi
faktor faktor yang terlibat
enggambarkan pengalaman dan
mengidentifikasi faktor apa saja yang
secara signifikan mempengaruhi
Dorongan (Refeksi) : Apa yang
suadah di coba dan apa
konsekuensinya
apa saja yang sudah lilakukakan
untuk mengatasi maslah tersebut,
dan apa akibat yang timbul dari
tindakan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
(Influence Factor)
Identifikasi hal-hal apa yang
mempengaruhi dalam mengambil
keputusan, seperti pengetahuan,
faktor internal, faktor eksternal,,
Adakah pilihhan yang lebih baik
(Could I Have Dealt With It Better)
Pilihan apa saja yang dimiilki dan apa
saja konsekuensi dari pilihan tersebut
Belajar (learning) : Apa yang akan
berubah karena pengalaman ini dan
bagaimana saya merasakan
pengalaman, Bagaimana
pengalaman ini mengubah cara
saya untuk mengetahui. Emphiris
dan ilmiah, etika dan moralitas,
kepribadaian dan kesadaran diri,
estetika dan seni yang dilakukan
sesuai pengalaman pribadi
a. Estetika: " seni keperawatan
transformatif yang melibatkan
pasien sebagai sumber
pengetahuan, dengan cara
mempelajari prilaku yang di
tampilkan pasien sesuai dengan
kebutuhan pasien"(Carper, 1978,
p. 17).
1. apa yang mendasari prilaku
pasien?
2. Bagaimana peran anda?
3. Bagaimana Anda menggunakan
intuisi Anda?
b. Personal: Pengalaman
mengetahui bagaimana
hubungan diri sendiri dengan
orang lain;
1. Apa yang Anda pikirkan dan
rasakan dalam situasi ini?
2. Bagaimana Anda berubah sebagai
hasil dari pengalaman ini?
c. Etika: Hal-hal yang wajib atau
apa yang harus dilakukan;
penyusunan pilihan moral benar
dan salah; meliputi nilai-nilai
pribadi dan keyakinan
1. Bagaimana anda mampu
menerapkan Kode Etik
keperawatan untuk ini Situasi ini?
2. Apa keyakinan pribadi anad
berdampak pada tindakan Anda?
d. Empiris 1) Apakah ada literatur evidenc base
keparawatan sebagai
penunjang ?
2) Berdasarkan bukti ini apa hasil
yang anda prediksi?
2.2 Pembahasan Kasus
Pada pembahasan kasus ini akan dilakukan peoses reflektif terhadap masalah yang
yang telah dikemukakan pada bab I mengguanakan model reflektif model john (1995)
yang terdiri dari 5 langkah sesuai dengan teori di atas.
Pola John 1995 Deskripsi kripsi yang perlu digali
Mendeskripsikan pengalaman
(Description Experience)
Bidang kemahasiswaan ditempat kerja
belum ada buku panduan tentang
kegiatan kemahasiswaan, yang mana
menjadi landasan bagi mahasiswa untuk
melakukan suatu kegiatan dan panduan
bagi unit kemahasiswaan untuk
melakukan kontroling terhadap kegiatan
kemahasiswaa. Unit kemahasiswaan yang
notabennya adalah bawahan dari bidang
kemahasiswaan berinisiatif untuk
membuat dan merumuskan buku panduan
tersebut. Tetapi selama dua setengah
tahun terakhir belum ada tanggapan dari
bidang kemahasiswaan maupun
pimpinan. Hal ini menimbulkan kerancuan
bagi mahasiswa ketika akan melakukan
suatu kegiatan dan bagi unit
kemahasiswaan merasa kesulitan untuk
melakukan kontroling,bageting dan
pembimbingan terkait kegiatan
kemahasiswaan. Ini disebabkan oleh
tingginya beban kerja bidang
kemahasiswaan yang mana di emban
oleh Pembantu Ketua I (Bidang Akademik
dan Kemahasiswa) sehingga
kemahasiswaan terabaikan, kurang
kordinasi antara unit kemahasiswaan-
Puket I dan Ketua
Faktor-Faktor yang mempengaruhi
Tingginya beban kerja Pembantu Ketua 1;
Kurang kordinasi antara pemangku
kebijakan;
Dorongan (Refeksi) : Apa yang suadah
di coba dan apa konsekuensinya
Membuat buku panduan dan diajukan ke
bidang kemahasiswaan.
Membuat telaah staf yang ditujukan
kepada pimpinan yaitu Ketua.
Konsekuensi : Komunikasi tidak efektif
dan resiko tinggi terjadi mis komunikasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
(Influence Factor)
faktor internal : Bekerja secara
tanggungjawab yang memiliki landasan
yaitu buku panduan sehingga arah
bimbingan kemahasiswaan lebih terarah
dan dapat dipertanggungjawabkan kepada
institusi dan mahasiswa, faktor eksternal :
tuntutan tanggunjawab untuk melakukan
pembimbingan dan arahan kepada
mahasiswa terkait dengan kegiatan
kemahasiswaan
Adakah pilihhan yang lebih baik (Could I
Have Dealt With It Better)
Pilihan yang lebih baik adalah
mengadakan pertemuan antara pemangku
kebijakan untuk membahas buku panduan
yang telah diajukan.
Belajar (learning) : Apa yang akan
berubah karena pengalaman ini dan
bagaimana saya merasakan
pengalaman, Bagaimana pengalaman ini
mengubah cara saya untuk mengetahui.
Emphiris dan ilmiah, etika dan moralitas,
kepribadaian dan kesadaran diri, estetika
dan seni yang dilakukan sesuai
pengalaman pribadi
Learning :
Yang akan berubah adalah akan
meningkatkan komunikasi yang efektif
kepada para pimpinan tanpa mengurangi
rasa hormat sebagai bawahan.
Estetika :
Dari pengalaman tersebut dapat kita ambil
kesimpulan bahwa komunikasi sangat
penting baik dari atas ke bawah atau dari
bawah ke atas.
Personal:
Yang saya rasakan sebagai bawahan
adalah tidak puas dan kecewa terhadap
sikap atasan.
Ke depan ketika menjumpai kasus yang
sama, saya akan melakukan komunikatif
secara intensif.
Emphiris:
Dari segi emphiris dapat dilakukan teknik
komunikasi sesuai dengan teori dan hasil
penelitian.
Analisa dan Pemecahan Kasus
Tahapan
Reflektif
Masalah yang
didapatkan
Analisis Kesimpulan dan
Pemecahan Mashalah
Mendeskripisikan masalah
Kurangnya kordinasi dan Hubungan yang tidak harmonis
Kurangnya kordinasi dan hubungan yang tidak harmonis dapat terjadi jika komunikasi antara pimpinan dan kariyawan tidak lancar dan memiliki jarak yang cukup jauh hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bukhori A,) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pemimpin dalam kontek TQM Pada pendidikan adalah pemipmpin harus mampu menyampaikan inspirasi untuk mengkomunikasikan harapan tinggi, memfokuskan upaya, dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara sederhana hal ini juga senada degan pandangan Kepemimpinan profetik yang dijabarkan oleh (Budiharto dan Himman) bahwa kemampuan komunikasi adalah salah satu ci ri kepemimpian prophetik yang yang dilandaskan pada nilai-nilai tabligh selain itu Rosulullah SAW membangun pola hubungan dengan para muridnya dengan hubungan kesetaraan (Egaliterian) sehingga mendapati dari hadis tidak pernah di sebutkan murid rosulullah tetapi sahabat rosulullah SAW.
Kesimpulan: Kemampuan komunikasi bagi seorang pemimpin sangatlah penting untuk menyapaikan gagasan, nilai-nillai dan visi organisai.Pemacahan masalah: salah satu nilai yang dapat di pakai untuk mengurai masalah ini adalah mengguanakan prinsip gaya komunikasi baik dari atas k bawah maupun dari bawah ke atas
Dorongan (refection): Apa yang suadah di
Komunikasi tidak efektif
Komunikasi yang tidak efektif sering dapat menimbulkan miskomunikasi antara bawahan dengan atasan, sehingga maksud dan tujuan inovasi dari bawaha sering kali tidak tersampaikan kepada atasan. Dan rawan akan terjadi konflik dari intra personal maupun inter personal itu sendiri.
Kesimpulan:Dalam menciptakan komunikasi yang efketif merupakan sebuah kebutuhan bagi tenaga
Terjadinya konflik tersebut dapat menyebabkan ide dan kreativitas karyawan atau bawahan menjadi menurun. Dalam hal ini terutama antara pimpinan dengan staf harus terjadi kondisi yang komunikatif satu sama lain.
kerja dan pimpinan maka kemampuan untuk berkomunikasi adalah tanggung jawab pimpinan dan stafPemecahan Masalah:Penciptaan komunikasi yang efektif antara bawahan dan pimpinan
Faktor-faktor yang mempengaruhi (influence Factor)
Tanggungjawab Pola hubungan yang mengedepan kan rasa tanggungjawab dengan pendekatan nilai-nilai kejujuran, integritas, dimulai dari diri sendiri merupakan dari pimipinan dan seluruh kariyawan merupakan sebuah kubutuahan organisasi demi tervujudnya Visi Organisasi. Bekerja dengan rasa tanggungjawab sesuai dengan pola kepemimpinan dalam Islam yaitu amanah.
Kesimpulan :Prilaku tanggungjawab menajamin keberlangsungan dan kterjaminan mutuPemecahan Masalah:Penerapan Tanggungjawab dengan penerapan nilai-nilai Amanah
Adakah Pilihan Yang lebih Baik
Tidak Ada Masalah Tidak Ada Pembahasan Kesimpulan:Pilihan yeng terbaik adalah tidak terlibat dalam konflik individu.
Belajar (learning):
Kontruksi Empirik, Etik, Estetika,
Penerapan gaya komunikasi yang efektif dilingkungan Pendidikan Tinggi tempat saya berkerja sangatlah relefan
Kesimpulan:
Personal dengan latar belakang permasalahan di atas, maka penerapanan gaya kepemimpinan diharapkan dapat memberikan pemecahan terhadap masalah kepemimpian yang terjadi.
Pemecahan masalah :Penerapan gaya kominkasi yang efektif
BAB III
KESIMPULAN
Teori-teori kepemimpinan dapat dijadikan rujukan atau referensi bagi seorang
pemimpin atau manajer dalam memimpin suatu organisasi besar maupun organisasi
kecil bahkan pada dirinya sendiri. Penerapan pendekatan kepemimpinan akan lebih
efektif apabila seorang pemimpin mampun menempatkan situasi dan kemampuan
adaptasi secara berkesinambungan, ini sangat diperlukan untuk menghasilkan
kepemimpinan yang efektif. Tidak kalah pentingnya adalah kolaborasi dari berbagai
aspek teori kepemimpinan akan menghasilkan sintesis kepemimpinan yang tangguh,
tetapi hal ini akan terjadi apabila pemimpin memiliki komitmen yang jelas pada
kepentingan organisasi yang menjadi fokus utama dari layanan sebuah
kepemimpinan. Tidak satupun dari para tokoh teoris dapat menunjukkan tentang
teori kepemimpinan yang efektif, yang dapat berlaku pada kondisi kepemimpinan
tertentu.
Untuk belajar menyelesaikan masalah pada kepemimpinan, ada beberapa
alternative metode pemecahan masalah, salah satunya adalah metode reflektif.
Salah satunya adalah metode reflektif Model John’s. Model John’s lebih untuk
refleksi terstruktur yang dapat digunakan sebagai panduan untuk analisis insiden
kritis atau refleksi umum pada pengalaman. Ini akan berguna untuk lebih
megindentifikasi keputusan yang kompleks dan analisis. Johns mendukung
kebutuhan pelajar untuk bekerja dengan seorang supervisor di seluruh pengalaman
belajar mereka.
Daftar Pustaka
Ghaye, Tony. 2011, Teaching and learning through reflective practice : a practical guide for
positive action . edisi kedua, David Fulton Publishers, inggris
Price, Adrienne (August 2004). "Encouraging reflection and critical thinking in practice".
Nursing Standard 18 (47): 46–5.
Walker, Susan (January 1996). "Reflective practice in the accident and emergency setting".
Accident and Emergency Nursing 4 (1): 27–30.
Ghaye, Tony (2005). Developing the reflective healthcare team. Oxford; Malden, MA:
Jasper, Melanie (2013) [2003]. Beginning reflective practice. Nursing and health care
practice series (2nd ed.). Andover: Cengage Learning.
Davies, Samantha (January 2012). "Embracing reflective practice". Education for Primary
Care 23 (1): 9–12
Johns C (1995) Framing learning through reflection within Carper’s fundamental ways of knowing in nursing. Journal of Advanced Nursing. 22, 2, 226-234