reflective learning

46
REFLECTIVE LEARNING JOHN’S MODEL OF REFLECTION DALAM PEYELESAIAN KASUS LEADERSHIP Disusun untuk Memenuhi Tugas Blok Basic Nursing Sciene Refleksi Penyelesaian Kasus dan Leadership PENULIS ZULFIKAR MUHAMMAD 20151050060 PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

Upload: zulfikar

Post on 01-Feb-2016

67 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Leadership

TRANSCRIPT

Page 1: Reflective Learning

REFLECTIVE LEARNING JOHN’S MODEL OF REFLECTION DALAM PEYELESAIAN KASUS

LEADERSHIP

Disusun untuk Memenuhi Tugas Blok Basic Nursing Sciene

Refleksi Penyelesaian Kasus dan Leadership

PENULIS

ZULFIKAR MUHAMMAD

20151050060

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

Page 2: Reflective Learning

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses kepemimpinan dan manajemen didasarkan pada pendekatan ilmiah yang

disebut metode pemecahan masalah. Fungsi metode ilmiah ini untuk meningkatkan

keberhasilan dari kegiatan manager perawat dalam situasi lingkungan yang unik dan

tertentu. Dalam suatu lingkungan terdapat anggota staf, klien, manager dan berbagai

penentu situasi seperti kebijakan dan norma-norma serta sumber-sumber materi.

Keadaan tersebut unik karena di tempat dan waktu lain akan berbeda situasinya. Tugas

dari manager perawat adalah mengenali sumber yang ada dalam lingkungannya dan

membuat sumber-sumber ini berfungsi di dalam suatu system yang menyeluruh dalam

mencapai tujuan. Penggunaan metode ilmiah adalah untuk membantu manager

mengkaji beberapa kebutuhan dari system dan dalam memilih prioritas mengidentifikasi

elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban tujuan-tujuan khusus,

mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang tersebut dan mengembangkan strategi

yang melibatkan kekuatan-kekuatan tersebut dalam pekerjaan.

Pemimpin adalah seseorang yang mempergunakan wewenang dan

kepemimpinannya untuk mengarahkan orang lain serta bertanggung jawab atas

pekerjaan orang tersebut dalam mencapai suatu tujuan (Hasibuan, 2009 dalam

Warouw, dkk, 2013). Pemimpin memiliki kemampuan memberi inspirasi kepada orang

lain untuk bekerjasma sebagai suatu kelompok, agar dapat mencapai suatu tujuan.

Pemimpin mempengaruhi lingkungan dan orang lain untuk tujuan yang diinginkan

(Suarli & Bahtiar, 2010).

Bass, 1985. Dalam Journal of Nursing Management, 2006. Mengatakan bahwa

kemampuan kepeminpinan adalah dasar dalam mempengaruhi suatu kelompok untuk

mencapai visi yang dispakati dan tujuan kelompok (Sellgren, 2006). Kepemimpinan

adalah proses mempengaruhi yang kontruktif untuk melakukan suatu usaha kooperatif

mencapai tujuan yang sudah direncanakan.

Sebagai individu kita sudang seringkali dihadapkan dengan masalah dan dapat

menyelesaikan maslah tersebut, tetapai bukan berarti kita sudah pandai menyelesaikan

semua masalah dengan benar dan sistematis, dalam kehidupan sehari-hari

pemecahaan maslah seringkali dilakukan dengan cara untung-untungan berdasarkan

intuisi, memecahkan masalah dengan cara mencoba memberiakan jawaban yang baik

dari suatu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik, dalam proses pemecahan masalah

yang sederhana mugkin saja dapat berhasil namun demikian pemecahan masalah

Page 3: Reflective Learning

organisasi haruslah secara sistematis hal ini diperlukan oleh pemimpin atau pimpinan

untuk mengambil keputusan yang tepat, akurat dan dapat di petanggung jawabkan

walaupun tidak ada satutupun metode yang dapat menjamin bahwa pemangmbilan

keputusan oleh seorang pimpinan akan selalu benar, namun demikian seorang

pemimpin yang menggunakan pendekatan sacara rasional, cerdik dan sistematis, akan

menghasilkan pemecahan maslah yang berkualitas tinggi (Suarli & Bahtiar, 2010).

Secara umum pemecahan masalah secara sistematis adalah mnyelidiki situasi,

menggambarkan alternatif, mengevaluasi berbagai alternatif dan menetapkan pilihan

yang terbaik, melaksanakan keputusan.

Metode sistematis yang dapat digunakan dalam proses penyelesaian masalah

salah satunya adalah metode refleksi. Praktek refleksi banyak digunakan dan diartikan

sebagai proses memeriksa internal dan mengeksplorasi permasalahan, disebabkan

oleh pengalaman, yang memberi reaksi dan menjelaskan makna pada istilah “diri” dan

yang menghasilkan perubahan perspektif secara konseptual (Boyd and Fales, 1983,

dalam Yadolah Zarezadeh, 2009). Reflektif sangat bermanfaat untuk pengembangan

professional. Dengan menggunakan pendekatan reflektif secara sistematis kita dapat

memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi bagaimana data, pandangan,

masalah yang pernah terjadi pada masa lalu sebagai bahan masukan, dengan tetap

memperhatikan kondisi dan realita saat ini untuk memecahkan masalah saat ini dengan

mengambilan keputusan yang berorientasi pada masa depan sehingga pengambilan

keputusan saat ini akan lebih baik.

Model reflektif John 1995 adalah salah satu meodel metode reflektif secara

sistematis yang memungkinkan kita gunakan untuk menyelesaikan masalah

kepemimpinan terutama pada pendidikan kesehatan dan keperawatan hal ini di perkuat

dengan sebuah penelitian Action Research yang di lakukan oleh David Kember dan

kawan yang tertuang di dalam buku yang berjudul reflective teaching and learning in the

health provesional education action research in profesional education yang menyatakan

bahwa salh satu metode reflektif yang tepat untuk di gunakan pada pendidikan

kesehatan adalah metode reflektif yang digagas oleh John 1995. Dari paparan diatas

maka penulis mengguanakan metode reflektif John 1995 untuk melakukan analisis

masalah kepemimpinan.

B. Uraian Kasus

Pada kesempatan ini kasus yang diangkat adalah pengalaman di tempat kerja,

dimana berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinan pada

bidang kemahasiswaan. Bidang kemahasiswaan ditempat kerja belum ada buku

panduan tentang kegiatan kemahasiswaan, yang mana menjadi landasan bagi

Page 4: Reflective Learning

mahasiswa untuk melakukan suatu kegiatan dan panduan bagi unit kemahasiswaan

untuk melakukan kontroling terhadap kegiatan kemahasiswaa. Unit kemahasiswaan

yang notabennya adalah bawahan dari bidang kemahasiswaan berinisiatif untuk

membuat dan merumuskan buku panduan tersebut. Tetapi selama dua setengah tahun

terakhir belum ada tanggapan dari bidang kemahasiswaan maupun pimpinan. Hal ini

menimbulkan kerancuan bagi mahasiswa ketika akan melakukan suatu kegiatan dan

bagi unit kemahasiswaan merasa kesulitan untuk melakukan kontroling,bageting dan

pembimbingan terkait kegiatan kemahasiswaan. Ini disebabkan oleh tingginya beban

kerja bidang kemahasiswaan yang mana di emban oleh Pembantu Ketua I (Bidang

Akademik dan Kemahasiswa) sehingga kemahasiswaan terabaikan, kurang kordinasi

antara unit kemahasiswaan-Puket I dan Ketua dikarenakan para pemangku kebijakan

jarang ada di tempat.

C. Tujuan

1. Mengetahui tentang teori kepemimpinan dan proses pemecahan masalah dengan

menggunakan teori rfleksi model johns

2. Mengidentifikasi masalah menggunakan model refletif Johns

3. Menganalisa pemecahan masalah menggunakan teori reflektif

Page 5: Reflective Learning

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

A. Konsep Umum Kepemimpinan

Koontz, O’Domel & Weihrich (1990:147) dalam Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd,

mengatakan bahwa kepemimpinan sebgai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi

orang-orang sehingga mereka kaan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan

kemauan dan antusias. Sedangkan kartono dalam Lastiko runtuwene, S.Ag, M.Pd

mengatakan bahwa, kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh

kapabilitas/ kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain

untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. Pada dasarnya kepemimpinana

adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu dalam mempengaruhi orang lain

(Pendidikan-sekolah, 1998).

Encarta World English Dictionary (2009) dalam Marquis & Huston mengatakan

bahwa kepemimpinanan adalah “the art of motivating a group of people to act towards

achieving a common goal,” it becomes clear that there is no single defi nition broad

enough to (Marquis & Huston, n.d.).

Bass, 1985. Dalam Journal of Nursing Management, 2006. Mengatakan bahwa

kemampuan kepeminpinan adalah dasar dalam mempengaruhi suatu kelompok untuk

mencapai visi yang dispakati dan tujuan kelompok (Sellgren, 2006).

Teori-teori tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan,

yaitu :

1. pendekatan sifat artinya kepemimpinan yang berasal dari individu itu sendiri, atau

dikenal dengan teori pembawaan. Ghiseli (1971) dalam Handoko (2001)

menyatakan bahwa dalam teori ini seorang pemimpin memeiliki ciri-ciri atau sifat

tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin orang lain. sifat-sifat tersebut

adalah : kemampuan sebagai pengawas, kebutuhan akan prestasi dalam

pekerjaan, kecerdasan, ketegasan, kepercayaan diri, inisiatif. Sedangkan menurut

Davis mengemukakan ada 4 ciri/sifat utama yang mempengaruhi kepemimpinan,

yaitu: Kecerdasan, kedewaan dan keleluasan hubungan social, motivasi diri dan

dorongan berprestasi, sikap-sikap hubungan manusiawi.

2. Pendekatan perilaku, pendekatan ini didasari oleh perilaku dari pemimpin tersebut

atau apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif. Ada dua fungsi utama dari

pendekatan ini : fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau

pemecahan masalah dan fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (Group-

Maintenance) atau social. Pendekatan ini dipusatkan pada dua gaya kepemimpinan

Page 6: Reflective Learning

yaitu gaya orientasi tugas (task oriented) dan gaya orientasi karyawan (employe-

oriented)

3. Pedekatan situasional, yaitu pendekatan yang menekankan bahwa gaya yang

digunakan adalah bergantung pada factor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas,

organisasi dan cariabel-variabel lingkungan lainnya. Menurut Fiedler (1974)

mengemukakan ada tiga dimensi utama dalam situasi kepemimpinan yang

mempengaruhi gaya pemimpin yang efektif yaitu: kekuasaan posisi, struktur tugas,

dan hubungan pemimpinan-anggota.

Ekvall (1992) dalam Journal of Nursing Management, 2006, mengatakan bahwa

stile atau gaya kepemimpinan tergantung pada individu seorang pemimpin,

kepribadiannya, pengalaman dan pengetahuan tentang leadership.

B. Gaya Kepemimpinan

Gaya diartikan sebagai cara penampilan karakteristik atau tersendiri. Menurut

Follet (1940), gaya didefiniskan sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli dengan hasil

akhir dicapai tanpa menimbulkan isu sampingan. Gillies (1997), menyatakan bahwa

gaya kepemimpinan dapat diidentifikasikan berdasarkan perilaku pemimpin. Perilaku

seseorang dipengaruhi oleh pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupannya, oleh

karena itu keperibadian seseorang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang

digunakan. Gaya kepemimpinan seseorang cenderung sangat bervariasi dan berbeda-

beda. Menurut para ahli ada beberapa gaya kepemimpinan yang dapat diterapkan

dalam suatu organisasi antara lain:

1) Gaya Kepemimpinan menurut Tannenbau dan Warren H. Schmidt.

Menurut kedua ahli tersebut, gaya kepemimpinan dapat dijelaskan melalui

dua titik ekstrim yaitu kepemimpinan berfokus pada atasan dan kepemimpinan

berfokus pada bawahan. Gaya tersebut dipengaruhi oleh faktor manajer, faktor

karyawan dan faktor situasi. Jika pemimpin memandang bahwa kepentingan

organisasi harus didahulukan dibandingkan kepentingan individu, maka pemimpin

akan lebih otoriter. Jika bawahan mempunyai pengalaman yanh lebih baik,

menginginkan partisipasi, maka pemimpin dapat menerapkan gaya partisapasi.

2) Gaya Kepemimpinan menurut Likert

Likert mengelompokan gaya kepemimpinan dalam empat system yaitu:

(1) Sistem Otoriter-Eksploitatif

Pemimpin tipe ini sangat otoriter, mempunyai kepercayaan yang rendah terhadap

bawahannya, memotivasi bawahan melalui ancaman atau hukuman. Komunikasi

yang dilakukan satu arah ke bawah (top-down).

Page 7: Reflective Learning

(2) Sistem Benevolent-Authoritative

Pemimpin mempercayai bawahan sampai tingkat tertentu, memotivasi bawahan

dengan ancaman atau hukuman tetapi tidak selalu dan mebolehkan komunikasi ke

atas. Pemimpin memperhatikan ide bawahan dan mendelegasikan wewenang

pengambilan keputusan meskipun masih melakukan pengawasan yang ketat.

(3) Sisetm Konsultatif

Pemimpin mempunyai kepercayaan terhadap bawahan cukup besar. Pemimpin

menggunakan balasan (inssentif) untuk memotivasi bawahan dengan kadang-

kadang menggunakan ancaman atau hukuman. Komunikasi dua arah dan

membolehkan keputusan spesifik dibuat oleh bawahan.

(4) Sistem Partispatif

Pemimpin mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahan, selalu

memfaatkan ide bawahan, menggunakan insentif ekonomi untuk memotivasi

bawahan. Komunikasi dua arah dan menjadikan bawahan sebagai kelompok kerja.

3) Gaya Kepemipinan menurut Teori X dan Teori Y

Teori ini di kemukakan oleh Douglas Mc Gregor dalam bukunya “The Human

Side of Enterprise” (1960), menyebutkan bahwa perikalu seseorang dalam suatu

organisasi dapat dikelompokan dalam dua kutub utama yaitu sebagai Teori X dan

Teori Y. Teori X diasumsikan bahwa pemimpin itu tidak menyukai pekerjaan, kurang

ambisi, tidak mempunyai tanggung jawab, cendrung menolak perubahan dan lebih

suka dipimpin daripada memimpin. Sebaliknya Teori Y diasumsikan bahwa pemimpin

itu senang bekerja, bisa menerima tanggung jawab, mampu mandiri, mampu

mengawasi diri, mampu berimajinasi dan kreatif. Dari teori ini, gaya kepemimpinan

dibedakan menjadi empat macam yaitu:

(1) Gaya kepemimpinan ditaktor

Gaya kepemimpinan yang dilakukan dengan menimbulkan ketakutan serta

menggunakan ancaman dan hukuman merupakan bentuk dari pelaksanaan teori

X

(2) Gaya kepemimpinan autokratis

Pada sasarnya hampir sama dengan gaya kepemimpinan ditaktor namun

bobotnya agak kurang. Segala keputusan berada ditangan pemimpin, pendapat

dari bawahan tidak pernah dibenarkan, Gaya ini juga merupakan pelaksanaan

dari teori X.

Page 8: Reflective Learning

(3) Gaya kepemimpinan demokratis

Ditemukan adanya peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan yang

dilakukan secara musyawarah. Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya sesuai

dengan teori Y.

(4) Gaya kepemimpinan santai

Peranan pemimpin hampir tidak terlihat karena segala keputusan diserahkan

pada bawahan. Gaya kepemimpinan ini sesuai dengan teori Y (Azwar, 1996).

4) Gaya kepemimpinan menurut Robert House

Berdasarkan teori motivasi pengharapan, Robert House mengemukakan empat gaya

kepemimpinan yaitu:

(1) Directive

Pemimpin menyatakan kepada bawahan tentang bagaimana melaksanakan

suatu tugas. Gaya ini mengandung arti bahwa pemimpin berorientasi pada hasil.

(2) Supportive

Pemimpin berusaha mendekatkan diri dengan bawahan dan bersikap ramah

terhadap bawahan.

(3) Participative

Pemimpin berkonsultasi dengan bawahan untuk mendapatkan masukan dan

saran dalam rangka pengambilan keputusan.

(4) Achievement oriented

Pemimpin menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan

berusaha untuk mencapai tujuan tersebut seoptimal mungkin (Sujak, 1990).

5) Gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard

Ciri-ciri gaya kepemimpinan menurut Hersey dan Blanchard meliputi:

(1) Instruksi

a. Tinggi tugas dan rendah hubungan

b. Komunikasi searah

c. Pengambilan keputusan berada pada pimpinan,peran bawahan sangat

minimal.

d. Pemimpin banyak memberikan pengarahan atau instruksi yang spesifik

serta mengawasi dengan ketat.

Page 9: Reflective Learning

(2) Konsultasi

a. Tinggi tugas dan tinggi hubungan

b. Komunikasi dua arah

c. Peran pemimpin dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan

cukup besar, bawahan diberi kesempatan untukmemberi masukan dan

menampung keluhan.

(3) Partisipasi

a. Tinggi hubungan rendah tugas

b. Pemimpin dan bawahan bersama-sama memberi gagasan

dalampengambilan keputusan.

(4) Delegasi

a. Rendah hubungan dan rendah tugas

b. Komunikasi dua arah terjadi diskusi antara pemimpin dan bawahan dalam

pemecahan masalah serta bawahan diberi delegasi untuk mengambil

keputusan .

6) Gaya kepemimpinan menurut Ronald Lippits dan Rapiph K. White

Menurut Ronald Lippith dan Rapiph K. White, ada tiga gaya kepemimpinan

yaitu: otoriter, demokrasi dan liberal yang mulai dikembangkan di Universitas Iowa.

(1) Otoriter

Gaya kepemimpinan ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

- Wewenamg mutlak berada pada pimpinan

- Keputusan selalu dibuat oleh pimpinan

- Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pimpinan

- Komunikasi berlangsung satu arah dari pmipinan kepada bawahan

- Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan para

bawahan dilakukan secara ketat

- Prakarsa harus selalu berasal dari pimpinan

- Tiada kesempatan bagi bawahan untuk memberikan saran, pertimbangan

atau pendapat

- Tugas-tugas bawahan diberikan secara instruktif

- Lebih banyak kritik daripada pujian

- Pimpinan menuntut prestasi sempurna dari bawahan tanpa syarat

- Pimpinan menuntut kesetiaan tanpa syarat

- Cendrung adanya paksaan, ancaman dan hukuman

- Kasar dalam bertindak

Page 10: Reflective Learning

- Kaku dalam bersikap

- Tanggung jawab keberhasilan organisasi hanya dipikul oleh pimpinan

(2) Demokratis

Kepemimpinan gaya demokratis adalah kemampuan kemampuan

mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan

yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang akan dilakukan

ditentukan bersama antara pimpinan dan bawahan.

Gaya kepemimpinan ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut:

- Wewenang pimpinan tidak mutlak

- Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan

- Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan

- Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dan bawahan

- Komunikasi berlangsung timbal-balik

- Pengawasan dilakukan secara wajar

- Prakarsa dapat datang dari bawahan

- Banyak kesempatan dari bawahan untuk menyampaikan saran dan

pertimbangan

- Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan

daripada instruktif

- Pujian dan kritik seimbang

- Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas

maisng-masing

- Pimpinan meminta kesetiaan bawahan secara wajar

- Pimpinan memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak

- Terdapat suasana saling percaya, saling hormat menghormati dan saling

menghargai

- Tanggung jawab keberhasilan organisasi ditanggung secara bersama-sama

(3) Liberal atau Laissez Faire

Kepemimpinan gaya liberal atau Laissez Faire adalah kemampuan

mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan

dengan cara berbagai kegiatan yang dilakukan lebih banyak diserahkan kepada

bawahan.

Gaya kepemimpinan ini bercirikan sebagai berikut:

- Pemimpin melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada bawahan

Page 11: Reflective Learning

- Keputusan lebih banyak dibuat oleh bawahan

- Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh bawahan

- Pimpinan hanya berkomunikasi apabila diperlukan oleh bawahan

- Hampir tiada pengawasan terhadap tingkah laku bawahan

- Prakarsa selalu berasal dari bawahan

- Hampir tiada pengarahan dari pimpinan

- Peranan pimpinan sangat sedikit dalam kegiatan kelompok

- Kepentingan pribadi lebih penting dari kepentingan kelompok

- Tanggung jawab keberhasilan organisasi dipikul oleh perorangan

7) Gaya kepemimpinan berdasarkan kekuasaan dan wewenang

Menurut Gillies (1996), gaya kepemimpinan berdasarkan wewenang dan kekuasaan

dibedakan menjadi 4 yaitu:

(1) Otoriter

Merupakan kepemimpinan yang berorientasi pada tugas/pekerjaan.

Menggunakan kekuasaan posisi dan power dalam memimpin. Pemimpin

menentukan semua tujuan yang akan dicapai dan pengambilan keputusan.

Informasi diberikan hanya pada kepentingan tugas. Motivasi dengan reward dan

punishment.

(2) Demokratis

Merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan kemampuan setiap staf.

Menggunakan kekuasaan posisi dan pribadinya untuk mendorong ide dari staf ,

memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan sendiri. Membuat rencana dan

pengontrolan dalam penerapannya. Informasi diberikan seluas-luasnya dan

terbuka.

(3) Partisipatif

Merupakan gabungan antara otokratik dan demokrasi, yaitu pemimpin yang

menyampaikan hasil analisa masalah dan mengusulkan tindakannya. Staf

diminta saran dan kritiknya serta mempertimbangkan respon staf terhadap

usulnya. Keputusan akhir oleh kelompok.

(4) Bebas Tindak

Merupakan pimpinan offisial, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa

pengarahan, supervisi dan koordinasi. Staf/bawahan mengevaluasi pekerjaan

sesuai dengan caranya sendiri. Pimpinan hanya sebagai sumber informasi dan

pengendalian minimal.

Page 12: Reflective Learning

Lester R. Bitel menyebutkan bahwa semua gaya kepemimpinan ini memiliki

kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pimpinan yang sukses adalah yang mampu

menyesuaikan diri dengan situasi.

D. Pendekatan Kepemimpinan

1. Pendekatan Sifat

Dalam pendekatan sifat timbul pemikiran bahwa pemimpin iti dilahirkan,

pemimpin bukan dibuat. Pemikiran semacam itu dinamakan pemikiran “Hereditary”

(turun temurun). Pendekatan secara turun temurun bahwa pemimpin dilahirkan

bukan dibuat, pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan dengan

belajar/latihan tetapi dari menerima warisan, sehingga menjamin kepemimpinan

dalam garis turun temurun dilakukan antar anggota keluarga. Dengan demikian

kekuasaan dan kesejahteraan dapat dilangsungkan pada generasi berikutnya yang

termasuk dalam garis keturunan keluarga yang saat itu berkuasa.

Kemudian timbul teori baru yaitu “Physical Characteristic Theory” (teori dari

Fisik). Kemudian timbul lagi bahwa pemimpin itu dapat diciptakan melalui latihan

sehingga setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Para ahli

umumnya memiliki pandangan perlunya seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat

yang baik. Pandangan semacam ini dinamakan pendekatan sifat. Adapun sifat-sifat

yang baik yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu: (a) bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa; (b) cakap, cerdik dan jujur; (c) sehat jasmani dan rohani; (d) tegas,

berani, disiplin dan efisien; (e) bijaksana dan manusiawi; (f) berilmu; (g)

bersemangat tinggi; (h) berjiwa matang dan berkemauan keras; (i) mempunyai

motivasi kerja tinggi; (j) mampu berbuat adil; (k) mampu membuat rencana dan

keputusan; (l) memiliki rasa tanggung jawab yang besar; (m) mendahulukan

kepentingan orang lain.

2. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku adalah keberhasilan dan kegagalan seorang pemimpin

itu dilakukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya

bersikap dan bertindak akan tampak dari cara memberi perintah, memberi tugas,

cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat kerja

bawahan, cara menegakkan disiplin, cara pengawasan dan lain-lain. Bila dalam

melakukan tindakan dengan cara lugas, keras, sepihak yang penting tugas selesai

dengan baik, dan yang bersalah langsung dihukum, gaya kepemimpinan itu

cenderung bergaya otoriter.

Sebaliknya jika dalam melakukan kegiatan tersebut pemimpin dengan cara

halus, simpatik, interaksi timbal balik, menghargai pendapat dan lain-lalin. Maka

Page 13: Reflective Learning

gaya kepemimpinan ini bergaya kepemimpinan demokratis. Pandangan klasik

menganggap sikap pegawai itu pasif dalam arti enggan bekerja, malas, takut

memikul tanggung jawab, bekerja berdasarkan perintah. Sebaliknya pandangan

modern pegawai itu manusia yang memiliki perasaan, emosi, kehendak aktif dan

tanggung jawab. Pandangan klasik menimbulkan gaya kepemimpinan otoriter

sedangkan pandangan modern menimbulkan gaya kepemimpinan demokratis. Dua

pandangan di atas menimbulkan gaya kepemimpinan yang berbeda.

3. Pendekatan Kontingensi

Dalam pandangan ini dikenal dengan sebutan “One Best Way” (Satu yang

terbaik), artinya untuk mengurus suatu organisasi dapat dilakukan dengan paralek

tunggal untuk segala situasi. Padahal kenyataannya tiap-tiap organisasi memiliki ciri

khusus bahkan organisasi yang sejenis akan menghadapi masalah berbeda

lingkungan yang berbeda, pejabat dengan watak dan perilaku yang berbeda. Oleh

karena itu tidak dapat dipimpin dengan perilaku tunggal untuk segala situasi. Situasi

yang berbeda harus dihadapi dengan perilaku kepepimpinan yang berbeda.

Fremont E. Kast (1979) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu system

yang terdiri dari sub sistem dengan batas lingkungan supra sistem. Pandangan

kontingensi menunjukkan pendekatan dalam organisasi adanya antar hubungan

dalam sub sistm yang terdiri daari sub sistem maupun organisasi dengan

lingkungannya. Kontingensi berpandangan bahwa azas-azas organisasi bersifat

universal. Apabila dikaitkan dengan kepemimpinan maka dapat dikatakan bahwa

tiap-tiap organisasi adalah unik dan tiap situsi harus dihadapi dengan gaya

kepemimpinan tersendiri.

4. Pendekatan Terpadu

Paul Kenneth H. Blanchard (1977), memadukan berbagai teori kedalam

pendekatan kepemimpinan situasional dengan maksud menunjukkan kesamaan

dari pada perbedaan diantara teori-teori tersebut. Teori-teori yang dipadukan

adalah:

a. Perpaduan antara teori motivasi jenjang kebutuhan teori tingkat kematangan

bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional.

b. Perpaduan teori motivasi 2 faktor teori tingkat kematangan bawahan, dengan

pendekatan situasional.

c. Perpaduan antar 4 sistem manajemen, teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan situasional

d. Perpaduan antara teori x dan y, teori tingkat kematangan bawahan dengan

kematangan situasional

Page 14: Reflective Learning

e. Perpaduan antara pola perilaku A dan B, tori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional

f. Perpaduan antara 4 anggapan tentang orang, teori kematangan bawahan

dengan kepemimpinan situasional

g. Perpaduan antara teori “Ego State”, teori tingkat kematangan bawahan dengan

pendekatan kepemimpinan situasional

h. Perpaduan antara teori ”Life Position” , teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional

i. Perpaduan antara teori system control, teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional.

j. Perpaduan antara teori dasar daya, teori tingkat kamatangan bawahan dengan

pendekatan kepemikmpinan situasional.

k. Perpaduan antara teori “Parent effektiviness training”, teori tingkat kematangan

bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional

l. Perpaduan antara teori pertumbuhan organisasi dengan pendekatan

kepemimpinan situasional.

m. Perpaduan antara teori proses pertumbuhan organisasi, teori tingkat

kematangan bawahan dengan pendekatan kepemimpinan situasional.

n. Perpaduan antara teori siklus perubahan, teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional.

o. Perpaduan antara teori modivikasi perilaku, teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional

p. Perpaduan antara teori “Force field analysis”, teori tingkat kematangan bawahan

dengan pendekatan kepemimpinan situasional.

E. Pengambilan Keputusan (Decision Making)

Pengambilan keputusan adalah proses yang disengaja dalam membuat pilihan

diantara satu atau beberapa alternative dengan tujuan mencapai sesuatu yang

diinginkan. Keputusan muncul sebagai respon terhadap masalah atau peluang.

Masalah (problem) adalah penyimpangan dari situasi yang ada saat ini dengan situasi

yang diinginkan. Itu adalah kesenjangan (gap) antara apa yang terjadi dengan apa yang

seharusnya. Beberapa aspek kinerja tidak memuaskan.

Peluang (opportunities) terjadi ketika manajer melihat potensi prestasi yang

menyediakan kesempatan untuk menciptakan prestasi organisasional melebihi sasaran

yang telah ditetapkan saat ini. Peluang adalah penyimpangan antara harapan yang ada

saat ini dan pengenalan terhadap situasi yang secara potensial lebih baik. Para manajer

melihat kemungkinan meningkatkan kinerja melebihi level saat ini. Dengan kata lain

Page 15: Reflective Learning

pengambil keputusan menyadari bahwa keputusan yang tepat dapat menghasilkan

kondisi sesuai tujuan atau yang diharapkan.

F. Model Pengambilan Keputusan

1. Tahap pertama, dalam pengambilan keputusan dan merupakan tahapan yang

paling penting. Kita perlu mengidentifikasi masalah secara tepat untuk dapat memilih

solusi yang terbaik. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, masalah adalah

penyimpangan antara situasi saat ini dengan situasi yang diinginkan. Penyimpangan

ini adalah gejala (Symtoms) dari penyebab-penyebab yang lebih utama dalam

organisasi. Proses ini terjadi dengan cara memahami penyebab utama dari gejala

(symtoms) yang menarik perhatian kita. Proses keputusan kemudian diarahkan

untuk mengubah akar penyebab sehingga gejala-gejala direduksi atau dieliminasi.

2. Tahap kedua, adalah menentukan gaya keputusan yang tepat. Satu hal yang

penting mengenai pemecahan masalah adalah keputusan terprogram dan

keputusan tidak terprogram. Keputusan terprogram mengikuti standar prosedur

operasi (SOP). Tidak dibutuhkan untuk meng-explore solusi alternatif karena solusi

alternatif telah diidentifikasi dan terdokumentasi. Sebaliknya, masalah baru,

kompleks dan masalah yang tidak terdefinisi membutuhkan keputusan yang tidak

terprogram.

3. Tahap ketiga, pada model umum pengambilan keputusan adalah mengembangkan

daftar solusi yang memungkinkan. Proses ini biasanya dimulai dengan mencari

solusi yang siap digunakan, seperti praktek-praktek yang telah bekerja secara baik

untuk masalah yang sama. Jika solusi yang dapat diterima tidak ditemukan,

kemudian pembuat keputusan mencoba untuk mendesain solusi yang sesuai atau

memodifikasi yang sudah ada.

4. Tahap keempat, adalah memilih alternatif terbaik. Dalam proses yang pure rasional,

tahap ini akan melibatkan identifikasi semua faktor dimana alternatif-alternatif

dipertimbangkan, pemberian bobot yang merefleksikan pentingnya faktor tersebut,

memberi peringkat alternatif pada faktor-faktor tersebut, dan menghitung total nilai

setiap alternatif dari peringkat dan bobot faktor.

5. Tahap kelima, pembuat keputusan harus mengumpulkan karyawan dan

memobilisasi sumber daya secara efisien untuk menterjemahkan keputusannya ke

dalam tindakan. Mereka harus mempertimbangkan motivasi, kemampuan, dan

persepsi peran para karyawan dalam mengimplementasikan solusi, tergantung

faktor situasi untuk memfasilitasi implementasinya.

6. Tahap Enam, dalam model keputusan adalah mengevaluasi kesenjangan yang

terdekat antara apa yang terjadi dengan apa yang seharusnya terjadi. Secara ideal,

Page 16: Reflective Learning

informasi tersebut seharusnya datang dari perbandingan (benchmarking) yang

sistematik, sehingga umpan balik yang dihasilkan lebih obyektif dan mudah

diobservasi.

G. Gaya Pengambilan Keputusan (Decision Style)

Dalam mengambil keputusan, manajer menggunakan cara-cara yang tidak sama.

Setiap manajer mempunyai gaya pengambilan keputusan yang tidak sama. Gaya

pengambilan keputusan (decision style) merujuk pada perbedaan antara pengambil

keputusan menyangkut cara mereka memandang masalah dan membuat keputusan.

Penelitian berhasil mengidentifikasi empat jenis gaya keputusan :

1. Gaya direktif (Directive Style) digunakan oleh orang-orang yang menyukai solusi

jelas dan sederhana terhadap masalah. Para manajer yang menggunakan gaya ini

kerap membuat keputusan secara cepat karena mereka tidak menyukai informasi

yang banyak dan hanya mempertimbangkan satu atau dua alternatif saja. Orang-

orang yang menyukai gaya ini biasanya termasuk dalam orang-orang yang efisien,

rasional, dan suka menyandarkan diri pada aturan-aturan atau prosedur

pengambilan keputusan yang berlaku.

2. Gaya analitis (Analytical Style) adalah gaya mempertimbangkan solusi yang

kompleks berdasarkan pada sebanyak mungkin data yang mereka kumpulkan.

Individu seperti ini secara hati-hati akan mempertimbangkan berbagai alternatif dan

kerap membuat keputusannya berdasarkan pada data yang obyektif dan rasional

dari sistem pengendalian manajemen dan sumber-sumber yang lain. Mereka

mencari kemungkinan keputusan terbaik berdasarkan informasi yang tersedia.

3. Gaya konseptual (conceptual Style) mempertimbangkan sejumlah besar informasi.

Lebih mempunyai orientasi sosial daripada orang-orang yang memiliki gaya analitis

dan suka berbincang-bincang dengan orang lain mengenai suatu masalah dan

kemungkinan alternatif bagi pemecahan masalah tersebut. Para manajer yang

menggunakan gaya ini melakukan pertimbangan terhadap sejumlah besar alternatif,

tergantung pada informasi baik dari orang-orang maupun sistem, dan menyukai

pemecahan masalah secara kreatif.

4. Gaya perilaku (behavioral Style) sering diterapkan oleh manajer yang memiliki

perhatian besar terhadap orang lain selaku individu. Para manajer yang

menggunakan gaya ini suka berbicara dengan orang lain secara individu dan

memahami perasaan mereka mengenai masalah dan pengaruh keputusan tertentu

terhadap mereka. Orang-orang dengan gaya perilaku pada umumnya peduli dengan

pengembangan pribadi orang lain dan akan membuat keputusan yang membantu

orang lain mencapai tujuannya.

Page 17: Reflective Learning

H. Gaya Komunikasi Organisasi

Komunikasi merupakan hal penting dalam kehidupanan manusia, dengan

kemampuan berkomunikasi yang baik, maka kita dapat menyampaikan pengatahuan,

ide, gagasan kepada orang lain. Cara atau gaya berkomunikasi terkadang menjadi lebih

penting dari konten komunikasi tersebut. bagaimana tidak, banyak orang yang

memahami konten dengan baik, tetapi pesan komunikasinya tidak sampai atau tidak

diterima orang lain karena ketidakmampuan menyampaikan pesan tersebut. Dalam hal

ini gaya komunikasi menjadi penting untuk diterapkan.

Gaya Komuniksi didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar pribadi yang

terspesialisasi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu (Tubbs dan Moss, 2000).

Masing-masing gaya komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau

tanggapan tertentu pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan

bergantung pada maksud pengirim dan harapan penerima.

Ketrampilan komunikasi melalui gaya komunikasi , mengisyaratkan kesadaran diri

pada level yang tinggi. Setiap orang memunyai gaya komunikasi yang bersifat personal,

yang merupakan gaya khas seseorang dalam berkomunikasi. Sehingga gaya

komunikasi dapat dikatakan sebagai suatu kepribadian yang terdapat didalam diri setiap

manusia yang sukar diubah.

Seorang pemimpin akan memiliki sekumpulan gaya yang digunakan untuk

memperngaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai. Gaya komunikasi yang

digunakan oleh seorang pemimpin disini menggambarkan kombinasi perilaku antara

gaya yang telah menjadi kepribadiannya dan gaya seorang pemimpin yang memiliki tiga

pola dasar yakni mementingkan hubungan kerja sama mementingkan pelaksanaan

tugas dan hasil yang dapat dicapai, yang merupakan gaya dasar yang pada dsarnya

harus dilakukan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi.

Setiap orang memiliki gaya komunikasi masing-masing. Menurut Norton (1983)

gaya komunikasi dibagi menjadil menjadi sepuluh, yaitu :

i. dominant, Komunikator dominan dalam berinteraksi. Orang seperti cenderung

ingin menguasai pembicaraan,dan tidak suka dipotong pembicaraannya.

ii. dramatic, Dalam bekomunikasi cenderung berlebihan, menggunakan hal-hal

yang mengandung kiasan, metaphora, cerita, fantasi dan permainan suara.

iii. animated expresive, Komunikator cenderung menggunakan bahasa nonverbal,

untuk memberi warna dalam berkomunikasi, seperti kontak mata, ekspresi wajaf,

gesture dan gerak badan

Page 18: Reflective Learning

iv. open, Komunikator bersikap terbuka, ramah tamah, gregarious, tidak ada rahasia

dan approachable, sehingga timbul rasa percaya dan terbentuk komunikasi dua

arah.

v. argumentative, Komunikator cenderung suka berargumen dan agresif dalam

berkomunikasi

vi. relaxed, Komunikator lebih tenang, sabar, dan menyenangkan

vii. friendly, Komunikator mampu bersikap positif dan saling mendukung terhadap

orang lain.

viii. attentive, Komunikator berinteraksi dengan orang lain dengan menjadi

pendengar yang aktif,empati dan sensitif

ix. precise, Komunikator lebih fokus pada ketelitian, dokumentasi dan bukti dalam

informasi dan argumentasi dan

x. impression leaving, kemampuan seorang komunikator dalam membentuk kesan

pada pendengar

Enam gaya komunikasi menurut Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss, adalah :

a. The Controlling style

Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai dengan adanya satu

kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa dan mengatur perilaku,

pikiran dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang menggunakan gaya

komunikasi ini dikenal dengan nama komunikator satu arah atau one-way

communications.

Pihak-pihak yang memakai controlling style of communication ini, lebih

memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan dibanding upaya mereka untuk

berharap pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian untuk

berbagi pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada

umpan balik, kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk

kepentingan pribadi mereka. Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir

dengan pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan

kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi pandangan-

pandangannya.

b. The Equalitarian style

Aspek penting gaya komunikasi ini ialah adanya landasan kesamaan. The

equalitarian style of communication ini ditandai dengan berlakunya arus

penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua

arah.

Page 19: Reflective Learning

Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya,

setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat

dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dalam suasana yang demikian,

memungkinkan setiap anggota organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian

bersama. The equalitarian style ini akan memudahkan tindak komunikasi dalam

organisasi, sebab gaya ini efektif dalam memelihara empati dan kerja sama,

khususnya dalam situasi untuk mengambil keputusan terhadap suatu

permasalahan yang kompleks.

c. The Structuring style

Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan verbal secara

tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilaksanakan,

penjadwalan tugas dan pekerjaan serta struktur organisasi. Pengirim pesan lebih

memberi perhatian kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain dengan

jalan berbagi informasi tentang tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan dan

prosedur yang berlaku dalam organisasi tersebut.

d. The Dynamic style

Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif, karena

pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya

berorientasi pada tindakan (action-oriented). The dynamic style of communication

ini sering dipakai oleh para juru kampanye ataupun supervisor yang membawa

para wiraniaga (salesmen atau saleswomen).

Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah mestimulasi atau

merangsang pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan lebih baik.

Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan-

persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa karyawan atau

bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang

kritis tersebut.

e. The Relinguishing style

Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran,

pendapat ataupun gagasan orang lain, daripada keinginan untuk memberi

perintah, meskipun pengirim pesan (sender) mempunyai hak untuk memberi

perintah dan mengontrol orang lain.

Pesan-pesan dalam gaya komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan atau

sender sedang bekerja sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas,

berpengalaman, teliti serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas

atau pekerjaan yang dibebankannya.

f. The Withdrawal style

Page 20: Reflective Learning

Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak

komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini

untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun

kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut.

Menurut Kreitner & Kinicki dalam Mc.Kay :

Masing-masing gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi

yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang

tertentu pula. Kesesuaian dalam gaya komunikasi yang digunakan, bergantung

pada maksud dari pengirim (sender), dan harapan dari penerima (receiver). gaya

komunikasi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: assertive, agresif, dan gaya non

assertive. Adapun penjelasan tiap gaya komunikasi adalah sebagai berikut:

a. Assertive Style, yaitu gaya komunikasi dimana komunikator membuat

pernyataan secara langsung yang disertai dengan pertimbangan perasaan,

ide, dan harapan. Komunikator dengan gaya ini memiliki kemampuan untuk

mendengarkan dengan baik sehingga membiarkan orang lain untuk

mengetahui bahwa ia didengarkan. Gaya komunikasi ini terbuka dalam

melakukan negosiasi dan kompromi, bisa menerima dan memberikan

komplain, memberikan perintah secara langsung

b. Passive style, yaitu gaya komunikasi dimana komunikan tidak

mengekspresikan perasaan, ide, dan harapannya secara langsung. Dalam

gaya ini, komunikator cenderung akan banyak tersenyum dan lebih banyak

menyampaikan kebutuhannya kepada orang lain. Komunikator cenderung

melakukan tindakan dibandingkan mendengarkan. Gaya pasif cenderung

menggunakan suara yang lemah lembut, serta sering berhenti berkata-kata

dan cenderung tidak melakukan kontak mata dengan

komunikan.

c. Agresife style, yaitu gaya komunikasi Di mana komunikator cenderung

menyatakan perasaannya dengan mudah mengenai apa yang diinginkannya,

apa yang dipikirkan, tetapi sering mengabaikan hak dan perasaan orang lain.

Komunikator jenis ini seringkali menyakiti orang lain dengan kalimat- kalimat

yang sarkastik atau bercanda yang berlebihan. Gaya agresif sering

menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Sehingga kadang-kadang didalam

menyampaikan pesan bukan hanya dalam bentuk kata-kata tetapi juga diiringi

dengan bahas tubuh seperti menunjuk, menggebrak meja dan sebagainya

untuk mempertegas maksud dari yang diucapkan. (McKay,2009, p.128)

Page 21: Reflective Learning

G. Teori Reflektive Learning

Secara umum reflektif diartikan Refleksi merupakan aktivitas manusia yang penting

di mana orang mengingat kembali pengalaman mereka, berpikir kembali tentang

pengalaman mereka, memikirkan lagi dan mengevaluasinya. semua ini berkerja sesuai

denga apa yang mereka alami. Kapasitas untuk manggambarkan pada masing-masing

perkembangan untuk setiap tahapan yang berbeda pada orang yang berbeda dan

mungkin kemampuan ini yang mencirikan mereka yang belajar secara efektif dari

pengalaman. (Boud, Keogh dan Walker, 1985, p. 19) Pemikiran reflektif melibatkan

pertimbangan 'prestasi pribadi dan kegagalan, dan bertanya apa yang berhasil, apa

yang tidak, dan apa yang perlu perbaikan' (Mengingat, 2002)

Refleksi atau praktek pembelajaran reflektif, memiliki tradisi panjang dan berasal

dari filsafat, khususnya karya Dewey pada (1933) pemikiran reflektif merupakan proses

pembelajaran untuk bertumbuh secara pribadi, pendekatan yang dilakukan Dewey

merupakan pendekatan pesikologis berkaitan dengan bagaimana sifat refleksi dan

bagaimana hal itu terjadi. Pernyataan ini menunjukkan bahwa belajar reflektif

merupakan salah satu metode yang dapat dikembangkan, karena secara mandiri

mahasiswa dapat membuat pengethuan dari pengalaman yang ia lakukan sebelumnya,

pada perkembangannya di dunia pendidikan kesehatan lahirlah teori pembelajaran

reflektif yang di kenal dengan model John (1995) metode ini mememberikan gambaran

jelas tentang proses refleksi yang dilakukan oleh paraktisi, mahasiswa, dan dosen untuk

mengkonstruksi pengetahuan melelui reflektif learning.

H. Teori Reflektif Model John

1) Perkembagan teori refleksi Johns

Mengacu pada perkembangan model reflektif learning pada abad 19 yang

dikembangkan oleh Cristoper John dari bidang pendidikan keperawatan. Pada

dasarnya John mengembangkan model konseptuual yang di kembangkan oleh

Carper’s (1978) dengan empat pola pengetahuan, yaitu empirical, personal, ethical

dan esthetical, john percaya refleksi dapat dilakukan dengan cara yang disengaja

dan dengan aktifitas yang tersetruktur akan dapat mengembangkan pengetahuan,

shingga ia mengembangkan pola refleksi . John menegaskan norma-norma yang

telah ada praktik keperawatan . Sebelum melakukan elaborasi (membuat uraian

yang penjang ) tentang model john , terlebih dahulu john melakkukan telaah secara

mendalam pada model refleksi carper untuk mendukung John Model Reflektion

(john,1996),

John percaya dengan melakukan komparasi proses reflektif Carper dengan

proses keparawatan akan sangat dapat membrikan pemecahan masalah yang

Page 22: Reflective Learning

dapat di pakai oleh perawat. Tetapi kritik yang dilakukan oleh john pada model

carper adlah linieritas dan penyebarannya, tidak seperti proses keparawatan model

carper lebih menunjukan proses hubungan interpersonal dari caring pada praktik

keperawatan di bandingkan dengan proses keperawatan (john 1996) dengan 5 pola

dasar model johns yaitu, mendeskripsikan pengalaman, refleksi, faktor faktor yang

mempengaruhi, adakah pilihan lain, belajar yang terdiri dari 4 komponen yaitu

empiris(ilmiah), etika, personal dan estetika.

perkembangaan teori tentang belajar reflektif tahun 2009 John merefiew

kembali model John yang sudah ada dengan tujuan agar model refleksi john tidak

hanya apat di guanakan untuk individu teteapai dapat di gunakanakan dunia,

perubahan model ini di pengaruhi oleh perubaban dunia bukan janya di pengaruhi

oleh indifidu john (John. 2009) Concil tenaga kesehatan (PHC) tahun 2009

memberikan peraturan tentang etika dan tingkah laku mahasiswa dengan

pengembangan model John, pengembangan model John pad fase ini lebih terarah

pada proses pemberian asuhan keperawatan pada pasein, berfokus pada msalah

pasien.

2) Pengertian Refleksi Model Johns.

Johns model pada dasarnya terdiri dari lima pertanyaan penting yang

memungkinkan dapat di kembangakan untuk mendapatkan pengalaman dan dapat

menggambarkan proses serta hasil pengalaman belajar reflektif . John (1995) yang

du iraikan sesuai dengan model dibawah ini.

Dorongan

Faktor-faktor yang

mempengaruhi

Adakah pilihan lain yang lebih

baik

BelajarEmpiris, etik,

personal, Estetical

menjelaskan tentang

pengalaman

Page 23: Reflective Learning

Ta

tabel 1.1 Deskripsi Model John

Pola John 1995 Deskripsi kripsi yang perlu digali

Mendeskripsikan pengalaman

(Description Experience)

Deskripsi pengalaman dan malasalah

yang dihadapi dan mengidentifikasi

faktor faktor yang terlibat

enggambarkan pengalaman dan

mengidentifikasi faktor apa saja yang

secara signifikan mempengaruhi

Dorongan (Refeksi) : Apa yang

suadah di coba dan apa

konsekuensinya

apa saja yang sudah lilakukakan

untuk mengatasi maslah tersebut,

dan apa akibat yang timbul dari

tindakan tersebut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

(Influence Factor)

Identifikasi hal-hal apa yang

mempengaruhi dalam mengambil

keputusan, seperti pengetahuan,

faktor internal, faktor eksternal,,

Adakah pilihhan yang lebih baik

(Could I Have Dealt With It Better)

Pilihan apa saja yang dimiilki dan apa

saja konsekuensi dari pilihan tersebut

Belajar (learning) : Apa yang akan

berubah karena pengalaman ini dan

bagaimana saya merasakan

pengalaman, Bagaimana

pengalaman ini mengubah cara

saya untuk mengetahui. Emphiris

Page 24: Reflective Learning

dan ilmiah, etika dan moralitas,

kepribadaian dan kesadaran diri,

estetika dan seni yang dilakukan

sesuai pengalaman pribadi

a. Estetika: " seni keperawatan

transformatif yang melibatkan

pasien sebagai sumber

pengetahuan, dengan cara

mempelajari prilaku yang di

tampilkan pasien sesuai dengan

kebutuhan pasien"(Carper, 1978,

p. 17).

1. apa yang mendasari prilaku

pasien?

2. Bagaimana peran anda?

3. Bagaimana Anda menggunakan

intuisi Anda?

b. Personal: Pengalaman

mengetahui bagaimana

hubungan diri sendiri dengan

orang lain;

1. Apa yang Anda pikirkan dan

rasakan dalam situasi ini?

2. Bagaimana Anda berubah sebagai

hasil dari pengalaman ini?

c. Etika: Hal-hal yang wajib atau

apa yang harus dilakukan;

penyusunan pilihan moral benar

dan salah; meliputi nilai-nilai

pribadi dan keyakinan

1. Bagaimana anda mampu

menerapkan Kode Etik

keperawatan untuk ini Situasi ini?

2. Apa keyakinan pribadi anad

berdampak pada tindakan Anda?

d. Empiris 1) Apakah ada literatur evidenc base

keparawatan sebagai

penunjang ?

2) Berdasarkan bukti ini apa hasil

yang anda prediksi?

2.2 Pembahasan Kasus

Pada pembahasan kasus ini akan dilakukan peoses reflektif terhadap masalah yang

yang telah dikemukakan pada bab I mengguanakan model reflektif model john (1995)

yang terdiri dari 5 langkah sesuai dengan teori di atas.

Pola John 1995 Deskripsi kripsi yang perlu digali

Mendeskripsikan pengalaman

(Description Experience)

Bidang kemahasiswaan ditempat kerja

belum ada buku panduan tentang

kegiatan kemahasiswaan, yang mana

menjadi landasan bagi mahasiswa untuk

Page 25: Reflective Learning

melakukan suatu kegiatan dan panduan

bagi unit kemahasiswaan untuk

melakukan kontroling terhadap kegiatan

kemahasiswaa. Unit kemahasiswaan yang

notabennya adalah bawahan dari bidang

kemahasiswaan berinisiatif untuk

membuat dan merumuskan buku panduan

tersebut. Tetapi selama dua setengah

tahun terakhir belum ada tanggapan dari

bidang kemahasiswaan maupun

pimpinan. Hal ini menimbulkan kerancuan

bagi mahasiswa ketika akan melakukan

suatu kegiatan dan bagi unit

kemahasiswaan merasa kesulitan untuk

melakukan kontroling,bageting dan

pembimbingan terkait kegiatan

kemahasiswaan. Ini disebabkan oleh

tingginya beban kerja bidang

kemahasiswaan yang mana di emban

oleh Pembantu Ketua I (Bidang Akademik

dan Kemahasiswa) sehingga

kemahasiswaan terabaikan, kurang

kordinasi antara unit kemahasiswaan-

Puket I dan Ketua

Faktor-Faktor yang mempengaruhi

Tingginya beban kerja Pembantu Ketua 1;

Kurang kordinasi antara pemangku

kebijakan;

Dorongan (Refeksi) : Apa yang suadah

di coba dan apa konsekuensinya

Membuat buku panduan dan diajukan ke

bidang kemahasiswaan.

Membuat telaah staf yang ditujukan

kepada pimpinan yaitu Ketua.

Konsekuensi : Komunikasi tidak efektif

dan resiko tinggi terjadi mis komunikasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

(Influence Factor)

faktor internal : Bekerja secara

tanggungjawab yang memiliki landasan

yaitu buku panduan sehingga arah

Page 26: Reflective Learning

bimbingan kemahasiswaan lebih terarah

dan dapat dipertanggungjawabkan kepada

institusi dan mahasiswa, faktor eksternal :

tuntutan tanggunjawab untuk melakukan

pembimbingan dan arahan kepada

mahasiswa terkait dengan kegiatan

kemahasiswaan

Adakah pilihhan yang lebih baik (Could I

Have Dealt With It Better)

Pilihan yang lebih baik adalah

mengadakan pertemuan antara pemangku

kebijakan untuk membahas buku panduan

yang telah diajukan.

Belajar (learning) : Apa yang akan

berubah karena pengalaman ini dan

bagaimana saya merasakan

pengalaman, Bagaimana pengalaman ini

mengubah cara saya untuk mengetahui.

Emphiris dan ilmiah, etika dan moralitas,

kepribadaian dan kesadaran diri, estetika

dan seni yang dilakukan sesuai

pengalaman pribadi

Learning :

Yang akan berubah adalah akan

meningkatkan komunikasi yang efektif

kepada para pimpinan tanpa mengurangi

rasa hormat sebagai bawahan.

Estetika :

Dari pengalaman tersebut dapat kita ambil

kesimpulan bahwa komunikasi sangat

penting baik dari atas ke bawah atau dari

bawah ke atas.

Personal:

Yang saya rasakan sebagai bawahan

adalah tidak puas dan kecewa terhadap

sikap atasan.

Ke depan ketika menjumpai kasus yang

sama, saya akan melakukan komunikatif

secara intensif.

Emphiris:

Dari segi emphiris dapat dilakukan teknik

komunikasi sesuai dengan teori dan hasil

penelitian.

Page 27: Reflective Learning
Page 28: Reflective Learning

Analisa dan Pemecahan Kasus

Tahapan

Reflektif

Masalah yang

didapatkan

Analisis Kesimpulan dan

Pemecahan Mashalah

Mendeskripisikan masalah

Kurangnya kordinasi dan Hubungan yang tidak harmonis

Kurangnya kordinasi dan hubungan yang tidak harmonis dapat terjadi jika komunikasi antara pimpinan dan kariyawan tidak lancar dan memiliki jarak yang cukup jauh hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh (Bukhori A,) yang menyatakan bahwa salah satu fungsi pemimpin dalam kontek TQM Pada pendidikan adalah pemipmpin harus mampu menyampaikan inspirasi untuk mengkomunikasikan harapan tinggi, memfokuskan upaya, dan mengekspresikan tujuan dengan cara-cara sederhana hal ini juga senada degan pandangan Kepemimpinan profetik yang dijabarkan oleh (Budiharto dan Himman) bahwa kemampuan komunikasi adalah salah satu ci ri kepemimpian prophetik yang yang dilandaskan pada nilai-nilai tabligh selain itu Rosulullah SAW membangun pola hubungan dengan para muridnya dengan hubungan kesetaraan (Egaliterian) sehingga mendapati dari hadis tidak pernah di sebutkan murid rosulullah tetapi sahabat rosulullah SAW.

Kesimpulan: Kemampuan komunikasi bagi seorang pemimpin sangatlah penting untuk menyapaikan gagasan, nilai-nillai dan visi organisai.Pemacahan masalah: salah satu nilai yang dapat di pakai untuk mengurai masalah ini adalah mengguanakan prinsip gaya komunikasi baik dari atas k bawah maupun dari bawah ke atas

Dorongan (refection): Apa yang suadah di

Komunikasi tidak efektif

Komunikasi yang tidak efektif sering dapat menimbulkan miskomunikasi antara bawahan dengan atasan, sehingga maksud dan tujuan inovasi dari bawaha sering kali tidak tersampaikan kepada atasan. Dan rawan akan terjadi konflik dari intra personal maupun inter personal itu sendiri.

Kesimpulan:Dalam menciptakan komunikasi yang efketif merupakan sebuah kebutuhan bagi tenaga

Page 29: Reflective Learning

Terjadinya konflik tersebut dapat menyebabkan ide dan kreativitas karyawan atau bawahan menjadi menurun. Dalam hal ini terutama antara pimpinan dengan staf harus terjadi kondisi yang komunikatif satu sama lain.

kerja dan pimpinan maka kemampuan untuk berkomunikasi adalah tanggung jawab pimpinan dan stafPemecahan Masalah:Penciptaan komunikasi yang efektif antara bawahan dan pimpinan

Faktor-faktor yang mempengaruhi (influence Factor)

Tanggungjawab Pola hubungan yang mengedepan kan rasa tanggungjawab dengan pendekatan nilai-nilai kejujuran, integritas, dimulai dari diri sendiri merupakan dari pimipinan dan seluruh kariyawan merupakan sebuah kubutuahan organisasi demi tervujudnya Visi Organisasi. Bekerja dengan rasa tanggungjawab sesuai dengan pola kepemimpinan dalam Islam yaitu amanah.

Kesimpulan :Prilaku tanggungjawab menajamin keberlangsungan dan kterjaminan mutuPemecahan Masalah:Penerapan Tanggungjawab dengan penerapan nilai-nilai Amanah

Adakah Pilihan Yang lebih Baik

Tidak Ada Masalah Tidak Ada Pembahasan Kesimpulan:Pilihan yeng terbaik adalah tidak terlibat dalam konflik individu.

Belajar (learning):

Kontruksi Empirik, Etik, Estetika,

Penerapan gaya komunikasi yang efektif dilingkungan Pendidikan Tinggi tempat saya berkerja sangatlah relefan

Kesimpulan:

Page 30: Reflective Learning

Personal dengan latar belakang permasalahan di atas, maka penerapanan gaya kepemimpinan diharapkan dapat memberikan pemecahan terhadap masalah kepemimpian yang terjadi.

Pemecahan masalah :Penerapan gaya kominkasi yang efektif

Page 31: Reflective Learning

BAB III

KESIMPULAN

Teori-teori kepemimpinan dapat dijadikan rujukan atau referensi bagi seorang

pemimpin atau manajer dalam memimpin suatu organisasi besar maupun organisasi

kecil bahkan pada dirinya sendiri. Penerapan pendekatan kepemimpinan akan lebih

efektif apabila seorang pemimpin mampun menempatkan situasi dan kemampuan

adaptasi secara berkesinambungan, ini sangat diperlukan untuk menghasilkan

kepemimpinan yang efektif. Tidak kalah pentingnya adalah kolaborasi dari berbagai

aspek teori kepemimpinan akan menghasilkan sintesis kepemimpinan yang tangguh,

tetapi hal ini akan terjadi apabila pemimpin memiliki komitmen yang jelas pada

kepentingan organisasi yang menjadi fokus utama dari layanan sebuah

kepemimpinan. Tidak satupun dari para tokoh teoris dapat menunjukkan tentang

teori kepemimpinan yang efektif, yang dapat berlaku pada kondisi kepemimpinan

tertentu.

Untuk belajar menyelesaikan masalah pada kepemimpinan, ada beberapa

alternative metode pemecahan masalah, salah satunya adalah metode reflektif.

Salah satunya adalah metode reflektif Model John’s. Model John’s lebih untuk

refleksi terstruktur yang dapat digunakan sebagai panduan untuk analisis insiden

kritis atau refleksi umum pada pengalaman. Ini akan berguna untuk lebih

megindentifikasi keputusan yang kompleks dan analisis. Johns mendukung

kebutuhan pelajar untuk bekerja dengan seorang supervisor di seluruh pengalaman

belajar mereka.

Page 32: Reflective Learning

Daftar Pustaka

Ghaye, Tony. 2011, Teaching and learning through reflective practice : a practical guide for

positive action . edisi kedua, David Fulton Publishers, inggris

Price, Adrienne (August 2004). "Encouraging reflection and critical thinking in practice".

Nursing Standard 18 (47): 46–5.

Walker, Susan (January 1996). "Reflective practice in the accident and emergency setting".

Accident and Emergency Nursing 4 (1): 27–30.

Ghaye, Tony (2005). Developing the reflective healthcare team. Oxford; Malden, MA:

Jasper, Melanie (2013) [2003]. Beginning reflective practice. Nursing and health care

practice series (2nd ed.). Andover: Cengage Learning.

Davies, Samantha (January 2012). "Embracing reflective practice". Education for Primary

Care 23 (1): 9–12

Johns C (1995) Framing learning through reflection within Carper’s fundamental ways of knowing in nursing. Journal of Advanced Nursing. 22, 2, 226-234