referat rhinitis hormonal
TRANSCRIPT
REFERAT
RHINITIS HORMONAL
Pembimbing :
Dr. Maranatha Lumban Batu, Sp.THT-KL
Disusun Oleh :
Amelia Kristin Simanjuntak
0761050103
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG
TENGGOROKAN-BEDAH KEPALA LEHER
PERIODE 26 SEPTEMBER 2011 - 22 OKTOBER 2011
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RUMAH SAKIT MARDI WALUYO METRO
LAMPUNG
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia dan rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan Refarat yang berjudul “Rhinitis Hormonal”.
Refarat ini disusun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam menempuh
Program Pendidikan Profesi Dokter di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher.
Saya juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua Dosen pembimbing di
bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan kepala dan Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia dan Dosen Pembimbing di bagian Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan kepala dan Leher di RS Mardi Waluyo Metro Lampung, dr.Maranatha
Lumban Batu, Sp.THT-KL. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Tuhan
memberkati.
Lampung, 1 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
1.1PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 1
BAB II
2.1 Anatomi Hidung ……………......……………………………………….......... 2
2.1.1 Perdarahan ....................………......……………………………………. 6
2.1.2 Persarafan ……….....………………………….....……………………… 6
2.1. 3 Mukosa Hidung ........…………........……………………………………. 7
2.2 Fisiologi Hidung ........…………………....……………………………………. 8
2.3. 1 Fungsi Respirasi ........…………........……………………………………. 9
2.3.2 Fungsi Penghidu ……….....………………..…..………………………… 9
2.3. 3 Fungsi Fonetik .........…………........……………………………………. 10
2.3.4 Refleks Nasal …...…….....………………..…..………………………… 10
2.3 Definisi ……….....…………………………....……..………………………… 10
2.4 Etiologi .....………………………………......……........……………………... 10
2.5 Patofisiologi .................………..………………..……....…………………….. 11
2.6 Gejala Klinis ....................……………….………………....…………….….... 12
2.7 Diagnosis Banding ...................…………..…….….........…………………….. 12
2.8 Tatalaksana .....................................……..………….…....…………………….. 12
2.9 Prognosis ....................……………......…..………………....……………….... 14
BAB III
KESIMPULAN ……………….......….……………………………....……………... 15
DAFTAR PUSTAKA ……………..…………………………………..…..………… 16
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis diderita hampir 25% dari populasi di seluruh dunia. Rhinitis bukan
merupakan penyakit tunggal melainkan kumpulan dari berbagai macam gangguan
dengan berbagai macam mekanisme patofisiologi yang bukan selalu karena inflamasi.
Gejalanya terdiri dari satu atau lebih dari hal berikut : rinorhea, bersin, gatal-gatal
dan/atau sumbatan pada hidung yang menyebabkan penurunan dari indera penciuman.
Penyebabnya lebih dari satu, misalnya obstruksi anatomis, infeksi, underlying
systemic disease, inflamasi alergi ataupun non-alergik. Walaupun gejala klinis dari
rhinitis alergik dan non-alergik bisa sama, subtipe ini dapat dibedakan secara klinis.
Sebagai contoh, penyebab dari rhinitis non-alergik adalah rhinitis karena infeksi,
rhinitis medikamentosa, rhinitis non-alergik persisten dengan atau tanpa eosinofilia
(NARES), rhinitis atropik, drug-induced rhinitis dan rhinitis hormonal. Rhinitis
hormonal.
Rhinitis hormonal sendiri merupakan rhinitis yang disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan hormon, terutama hormon esterogen sehingga biasanya rhinitis
hormonal diderita oleh wanita yang sedang menopause, wanita hamil.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1
1. pangkal hidung (bridge),
2. dorsum nasi,
3. puncak hidung,
4. ala nasi,
5. kolumela dan
6. lubang hidung (nares anterior).
Gambar 1.1 Anatomi Hidung Bagian Luar
Sumber : http//:visualdictionaryonline.com
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1
1. tulang hidung (os nasalis),
2. prosesus frontalis os maksila dan
3. prosesus nasalis os frontal
Gambar 1.2. Anatomi Kerangka Hidung
Sumber
:
http://4.bp.blogspot.com/_bdoZHdubEbw/TH6LLZ1mCEI/AAAAAAAAAKY/ZCH7f0VbY
nk/s1600/externalnoseparts.jpg
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu: 1
1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),
3. beberapa pasang kartilago alar minor dan
4. tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 1
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 1
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis
os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. 1
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung. 1
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga
rudimenter. 1
Gambar 1.3. Anatomi Hidung Bagian Dalam
Sumber
:http://lh5.ggpht.com/_I0UHlGxoP6A/SaVl7Jfr_KI/AAAAAAAAAtQ/yupDo2elruw/
clip_image0024.jpg
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.
Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum
etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat
muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.1
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan
dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap
hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga
tengkorak dari rongga hidung. 1
2. 1. 1. PENDARAHAN
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari
a.karotis interna.1
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris
interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. 1
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,
a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,
sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak. 1
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke
v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial. 1
2. 1. 2. PERSARAFAN
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris
dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. 1
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini
menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion
sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 1
Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 1
2. 1. 3. MUKOSA HIDUNG
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan
permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar
epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. 1
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan
normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut
lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. 1
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
rongga hidung. 1
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan
oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di
bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,
kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 1
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel
dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler
perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke
rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan
otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya
sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang
erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi
pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.1
II. 2 FISIOLOGI HIDUNG
Berdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1
1. Fungsi respirasi
Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik local.
2. Fungsi penghidu
Terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu.
3. Fungsi fonetik
Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah
hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang.
4. Fungsi static dan mekanik
Untuk meringankan beban kepala.
5. Reflex nasal.
2. 2. 1 FUNGSI RESPIRASI
Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. 1
Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan
udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya. 1
Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi
pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan
adanya permukaan konka dan septum yang luas. 1
Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring
dihidung oleh: 1
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lender
Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.
2.2.2 FUNGSI PENGHIDU
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. 1
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan
rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis
strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. 1
2.2.3 FUNGSI FONETIK
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). 1
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan
konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole
turun untuk aliran udara. 1
2.2.4 REFLEKS NASAL
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks
bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi
kelenjar liur, lambung dan pankreas.1
II. 3 DEFINISI
Rhinitis hormonal didefinisikan rhinitis akibat sebagai ketidakseimbangan
hormon. Estrogen diketahui mempengaruhi sistem saraf otonom dengan
meningkatkan sejumlah faktor termasuk parasimpatik, asetil kolin transferase, dan
konten asetil kolin, dan juga meningkatkan penghambatan sistem simpatik. 2
II. 4 ETIOLOGI
Penyebab paling umum adalah karena ketidakseimbangan hormon yang
terutama dialami oleh wanita saat kehamilan, menstruasi, pubertas dan pemakaian
esterogen eksogen. Pada saat hamil, rhinitis hormonal biasanya bermanifestasi pada
bulan kedua dan akan terus berlanjut selama kehamilan. Dimana estrogen diketahui
mempengaruhi sistem saraf otonom dengan meningkatkan sejumlah faktor termasuk
parasimpatik, asetil kolin transferase, dan konten asetil kolin, dan juga meningkatkan
penghambatan sistem simpatik. 2
Hipotiroid adalah juga diketahui menyebabkan rhinitis hormonal. Pada
hipotiroidisme, terjadi peningkatan pelepasan TSH menyebabkan edema dari
turbinate. Hidung tersumbat dan pilek adalah gejala yang paling umum dari Rhinitis
Hormonal. 2
Esterogen merangsang kongesti vaskular membrana hidung dan juga
pembesaran uterus, umumnya memuncak pada fase premenstrual segera di mana
kongesti panggul paling maksimum, sehingga beberapa wanita dapat menyadari
kongeti hidung pada saat ini. Selama kehamilan, dengan meningkatnya kadar
esterogen, maka gejala-gejala kongesti hidung biasanya dimulai pada bulan keempat
atau kelima dan semakin hebat menjelang persalinan, seiring dengan peningkatan
produksi sterogen. Gejala-gejala umumnya menghilang spontan saat persalinan.
Dengan cara yang sama, pil KB dapat menyebabkan pembengkakan dalam hidung.
Penyebab endokrin lain dari pembengkakan hidung adalah hipotiroidisme atau
miksedema. Gejala dapat diredakan dengan pemberian ekstrak tiroid. Sebaliknya, obat
antitiroid dapat menyebabkan kongesti hidung. 3
II. 5 PATOFISIOLOGI
Selama kehamilan, plasenta memproduksi estrogen dalam jumlah besar.
Estrogen dikenal dapat memperburuk produksi lendir dan dapat menyebabkan lendir
menjadi sangat tebal atau sangat tipis. Estrogen juga menyebabkan turbinat dalam
hidung (kecil, bentuk tulang yang memegang mukosa) menjadi bengkak, yang dapat
mengganggu pernapasan. Kejadian rhinitis yang sama juga dialami wanita yang
memakai pil KB dan menjalanii terapi hormon pengganti. 4
Sebuah penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa rinitis akibat kehamilan
yang dialami oleh 22%, dan 69% diantaranya perokok. Esterogen meningkatkan
jumlah asam hyaluronic dalam mukosa hidung, edema jaringan yang dihasilkan
meningkat dan hidung tersumbat. Peningkatan sekresi kelenjar lendir di hidung
selama kehamilan, dengan peningkatan pada mukosa dan silia menurun. Selain itu,
baik β-estradiol dan progesteron memiliki reseptor di mukosa hidung faktor ini juga
berkontribusi terhadap kongesti nasal di kalangan wanita hamil. 4
Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kadar estrogen selama
fertilisasi in vitro (IVF) pada wanita sehat menyebabkan hiperaktivitas
mukosa hidung. Namun, tidak ada peningkatan pembengkakan mukosa
hidung. 5
II. 6 GEJALA KLINIS
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 70% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejalanya
terdiri dari satu atau lebih dari hal berikut : rinorhea, bersin, gatal-gatal dan/atau
sumbatan pada hidung yang menyebabkan penurunan dari indera penciuman. 5
Dan gejala biasanya dialami oleh wanita saat kehamilan, menstruasi, pubertas
dan pemakaian esterogen eksogen. Pada saat hamil, rhinitis hormonal biasanya
bermanifestasi pada bulan kedua dan akan terus berlanjut selama kehamilan. Dimana
estrogen diketahui mempengaruhi sistem saraf otonom dengan meningkatkan
sejumlah faktor termasuk parasimpatik, asetil kolin transferase, dan konten asetil
kolin, dan juga meningkatkan penghambatan sistem simpatik. 2
Hipotiroid adalah juga diketahui menyebabkan rhinitis hormonal. Pada
hipotiroidisme, terjadi peningkatan pelepasan TSH menyebabkan edema dari
turbinate. Hidung tersumbat dan pilek adalah gejala yang paling umum dari Rhinitis
Hormonal. 2
II. 7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding dari rhinitis hormonal adalah sebagai berikut :
- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator
- rhinitis medikamentosa
II. 8 TATALAKSANA
Rhinitis pada kehamilan sangat sulit untuk ditangani dan tidak ada penanganan
khusus. Dekongestan topikal awalnya mengurangi keluhan hanya sementara, tetapi
dengan penggunaan dekongestan topikal yang terus menerus bisa mengakibatkan
hiperaktivasi dan hipertrofi dari mukosa hidung, yang dapat mengakibatkan rhinitis
medikamentosa. Pengaruh dekongestan topikal pada fetus juga masih didiskusikan.
Steroid topikal merupakan pengobatan paling efektif untuk segala jenis rhinitis,seperti
rhinitis alergik, rhinitis persisten non-alergik, rhinitis medikamentosa dan polip
hidung. Walaupun begitu, pengobatan ini digunakan juga untuk rhinitis saat
kehamilan, penilitian menunjukkan tidak ada efek dari steroid hidung bila
dibandingkan dengan placebo.5
Penatalaksanaan dari rhinitis pada wanita hamil tidak selalu efektif. Walaupun
begitu, ada beberapa obat yang daat digunakan untuk mengurangi keluhan. Wanita
hamil harus mendiskusikan pengobatan dengan dokter sebelum menerima pengobatan
selama menderita rhinitis. 6
Irigasi Nasal
Pada penatalaksanaan ini digunakan saline untuk membantu mengeluarkan mukus
dari saluran hidung, meningkatkan kenyamanan serta melegakan pernapasan.
Saline juga membantu melumasi mukosa di hidung yang dapat bekerja secara
efektif seterusnya. Caranya adalah dengan meneteskan saline pada seluruh bagian
hidung.
Antihistamin
Antihistamin membantu meurangi keluhan hidung tersumbat, bersin serta hidung
berair. Antihistamin chlorpheniramine aman digunakan selama masa kehamilan.
Dekongestan Oral
Dekongestan oral dihindari selama masa kehamilan karena ditakutkan dapat
memberi efek samping pada bayi yang di kandung. Penelitian baru di Swedia
menunjukkan bahwa dekongestan oral aman digunakan dan bermanfaat untuk
menyembuhkan wanita hamil dengan rhinitis. Pada penelitian tersebut, wanita
yang mengkonsumsi dekongestan oral selama masa kehamilan melahirkan bayi
seperti wanita normal pada umumnya. Bahkan, wanita tersebut menurunkan
kemingkinan bayi lahir preterm. Sebelum mengkonsumsi dekongestan oral perlu
didiskusikan dengan dokter. 6
Pengobatan terbaik untuk gejala rhinitis selema masa kehamilan adalah dengan
perawatan diri. Berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan uuntuk meringkankan
keluhan saat berada di rumah : 6
Mengkonsumsi banyak air putih. Menghindari minuman berkafein karena
dapat menyebabkan dehidrasi.
Meningkatkan tingkat kelembaban dari rumah agar dapat menghindari
keluhan hidung terasa kering.
Menghindari iritan seperti asap rokok
Olahraga dapat membantu untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat.
II. 9 PROGNOSIS
Rhinitis saat kehamilan tidak berbahaya untuk ibu hamil atau bayi, hanya saja dapat
ketidaknyaman. Secara khusus, rhinitis saat kehamilan cenderung mempengaruhi kualitas
tidur, yang dapat membuat penderitanya sangat lelah dan letih. Rinitis Kehamilan juga dapat
meningkatkan peluang penderita untuk menderita infeksi telinga atau sinusitis kronis. 6
BAB III
3. 1. KESIMPULAN
Rhinitis hormonal merupakan salah satu jenis dari rhinitis non alergik, dimana
rhinitis hormonal disebabkan karena ketidaseimbangan hormon dan sering dialami
oleh wanita saat kehamilan, menstruasi, pubertas dan pemakaian esterogen eksogen.
Estrogen diketahui mempengaruhi sistem saraf otonom dengan meningkatkan
sejumlah faktor termasuk parasimpatik, asetil kolin transferase, dan konten asetil
kolin, dan juga meningkatkan penghambatan sistem simpatik. Selain esterogen,
hipotiroid adalah juga diketahui menyebabkan rhinitis hormonal. Pada hipotiroidisme,
terjadi peningkatan pelepasan TSH menyebabkan edema dari turbinate. Hidung
tersumbat dan pilek adalah gejala yang paling umum dari Rhinitis Hormonal.
Rhinitis pada kehamilan sangat sulit untuk ditangani dan tidak ada penanganan
khusus. Dekongestan topikal awalnya mengurangi keluhan hanya sementara, tetapi
dengan penggunaan dekongestan topikal yang terus menerus bisa mengakibatkan
hiperaktivasi dan hipertrofi dari mukosa hidung, yang dapat mengakibatkan rhinitis
medikamentosa. Pengaruh dekongestan topikal pada fetus juga masih didiskusikan.
Steroid topikal merupakan pengobatan paling efektif untuk segala jenis rhinitis,seperti
rhinitis alergik, rhinitis persisten non-alergik, rhinitis medikamentosa dan polip
hidung.
3. 2. SARAN
Pada ibu hamil, wanita yang sedang menstruasi serta wanita yang
menggunakan pil KB mungkin terjadi Rhinitis hormonal yang merupakan
rhinitis akibat ketidakseimbangan hormon esterogen sehingga untuk
mengatasinya sebaiknya diberikan obat yang sesuai terlebih kepada ibu
hamil harus diperhatikan efek sampng obat yang diberikan kepada janin
yang di kandung.
Pada pasien dengan hipotiroid sebaiknya diberikan ekstrak tiroid bila
ditemukan keluhan yang sama dengan rhinitis hormonal karena
kekurangan hormon tiroid juga dapat menyebabkan terjadinya rhinitis
hormonal.
Untuk pengunaan obat perlu diperhatikan efek sampingnya agar tidak
terjadi rebound yang akan memperburuk keadaan pasien.
Wanita hamil dengan rhinitis hormonal biasanya keluhannya menghilang
sendiri setelah bayi dilahirkan, akan tetapi bila setelah bayi dilahirkan
keluhan pasien mash tetap ada perlu dipikirkan untuk kemungkinan
terjadinya rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa ataupun rhinitis
gustator.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Vijay R Ramakrishnan,MD,Assistant Professor, Department of Otolaryngology,
University of Colorado School of Medicine. Pharmacotherapy for Nonallergic
Rhinitis.
3. George L. Adams,M.D, Lawrence R. Boeis,Jr., M.D, Peter A. Higler, M.D. Buku Ajar
Penyakit THT. Alih bahasa : dr. Caroline Wijaya. Edisi ke Enam. 1997. EGC. Jakarta
4. Byron J. Bailey,Jonas T. Johnson,Shawn D. Newlands Bailey BJ et al. Head and neck
Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
5. Karin Toll. Pregnancy rhinitis : pathophysiological effects of esterogen and treatment
with oral decongestant.
6. http://www.pregnancy-info.net/rhinitis.html