makalah referat rhinitis alergi

37
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA (UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk –Jakarta Barat KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Referat : 19 Juni 2015 Rumah Sakit Family Medical Center-Sentul Tanda Tangan Nama : Grace Irene L. Toruan NIM : 11-2014-215 .......................... Dr. Pembimbing : dr. Benhard B. J. Panjaitan, Sp THT - KL ........................... PENDAHULUAN Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1,2 Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk amerika. Rinitis ditemukan 1

Upload: oliviahk

Post on 31-Jan-2016

390 views

Category:

Documents


27 download

DESCRIPTION

repost

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Referat Rhinitis Alergi

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk –Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT THT

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Referat : 19 Juni 2015

Rumah Sakit Family Medical Center-Sentul

Tanda Tangan

Nama : Grace Irene L. Toruan

NIM : 11-2014-215 ..........................

Dr. Pembimbing : dr. Benhard B. J. Panjaitan, Sp THT - KL ...........................

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah kelainan berupa inflamasi pada hidung dengan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar

alergen yang diperantarai oleh IgE.1,2 Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta

penduduk amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih

sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan

perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda

dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai

dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan

dengan usia sehingga pada usia senja rinitis alergi jarang ditemukan. 1,2

1

Page 2: Makalah Referat Rhinitis Alergi

PEMBAHASAN

I. ANATOMI

Hidung Luar

Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian - bagiannya dari atas ke bawah :

1.Pangkal hidung, 2.Batang hidung (dorsum nasi), 3.Puncak hidung, 4. Ala nasi, 5.

Kolumela dan 6.Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1.Tulang hidung

(os.nasal), 2.Processus frontalis os maksilla, 3.Processus nasalis os frontal;

sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang

terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.Sepasang Kartilago nasalis lateral superior,

2.Sepasang Kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala

mayor dan 4.Tepi anterior kartilago septum.

Hidung Dalam

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang

dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.

Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang

belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di

belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut - rambut panjang yang disebut

vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

2

Page 3: Makalah Referat Rhinitis Alergi

inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk

oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah : 1. Lamina prependikularis os

etmoid, 2.Vomer, 3.Krista nasalis os maksila dan 4.Krista nasalis os palatina. Bagian

tulang rawan adalah : 1.Kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2.Kolumela.

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada

bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Pada dinding lateral

terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,

kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka

superior. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila

dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior merupakan bagian dari labirin

etmoid. Di antara konka - konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan

dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara

(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan

dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus

maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di

antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

sinus sfenoid.

3

Page 4: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Batas Rongga Hidung

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os

palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina

kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina

kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang -

lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut - serabut saraf olfaktorius. Di

bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sphenoid.

Pendarahan Hidung

Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior

yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga

hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah

ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina

bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior

konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang - cabang

a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang - cabang

a.sfenopalatina, a.etmois anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor, yang

disebut pleksus kiesselbach (Little’s area). Pleksus kiesselbach letaknya superfisial

dan mudah ceedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis

(perdarahan hidung). Terutama pada anak. Vena - vena hidung mempunyai nama

yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan

struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus

kavernosus. Vena - vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor

predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.

4

Page 5: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N

V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari

n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan

persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk

mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2),

serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di

belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal

dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel – sel reseptor penghidu pada

mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

5

Page 6: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Sistem Limfatik

Suplai limfatik hidung amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan

posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh

fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian anterior

hidung – vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior mengurus

mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah hidung

belakang saluran superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka

media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba

eustachius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan

di bawah tuba eustachius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian

dasar hidung dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal

dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang

pembuluh jugularis interna.

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas

mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).

Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya

dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated

pseudostratified collumner ephitelium) dan di antaranya terdapat sel – sel goblet.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas

septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia

(pseudostratified collumner non ciliated ephitelium ). Epitelnya dibentuk oleh tiga

macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa

penghidu berwarna cokelat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara

6

Page 7: Makalah Referat Rhinitis Alergi

mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel

skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan

selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.

Di bawah epitel terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah,

kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung

mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari

tunika propia dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan

perdarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari

anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya

dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid

mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusioid akan mengalirkan darahnya ke

pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa

hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengembang dan

mengerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf

otonom.

FISIOLOGI HIDUNG

Hidung berfungsi untuk jalan napas, alat pengatur kondisi udara (air conditioning),

penyaring udara, sebagai indra penghidu, untuk resonansi suara, turut membantu

proses bicara dan refleks nasal. Silia/reseptor berdiri diatas tonjolan mukosa yang

dinamakan vesikel olfaktorius dan masuk ke dalam lapisan sel-sel reseptor olfaktoria.

Diantara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar Bowman penghasil mukus

(mengandung air, mukopolisakarida, antibodi, enzim, garam-garam dan protein

pengikat bau (G-protein). Sel-sel reseptor satu-satunya neuron sistem saraf pusat yang

dapat berganti secara reguler ( 4-8 mgg) (tempat transduksi). Kecepatan aliran udara

pada saat inspirasi sebesar 250 ml/sec. Inspirasi dalam menyebabkan molekul udara

lebih banyak menyentuh mukosa olfaktorius dan sensasi bau tercium. Syarat zat-zat

yang dapat menyebabkan perangsangan penghidu :

Harus mudah menguap mudah masuk ke liang hidung

Sedikit larut dalam air mudah melalui mukus

Mudah larut dalam lemaksel-sel rambut olfaktoria dan ujung luar sel-sel

olfaktoria terdiri dari dari zat lemak .

7

Page 8: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Zat-zat yang ikut dalam udara inspirasi akan larut dalam lapisan mukus yang berada

pada permukaan membran.

Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi

konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara

ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan

kemudian mengikuti jalan yang sam seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian

depan aliran udara memecah, sebagian akan melaui nares anterior dan sebagian lain

kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari

nasofaring.

Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini

sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi keadaan sebelumnya.

Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di

bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui

hidung kurang lebih 37 oC. fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan

dengan cara mengatur kelembaban udara dan mengatur suhu.

Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir (mucous

blanket).

Menyaring udara berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri dan dilakukan oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, serta palut

lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan

partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini

akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Faktor lain ialah enzim yang dapat

menghancurkan beberapa jenis bakteri, yang disebut lysozyme.

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,

sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir

dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal rongga mulut tertutup dan

8

Page 9: Makalah Referat Rhinitis Alergi

hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran darah. Hidung juga bekerja sebagai

indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka

superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah

ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran

cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan

sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

II. RINITIS ALERGI

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan allergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen

spesifik tersebut. Rinitis alergi berupa gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan

tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Onset

pajanan alergen terjadi lama dan gejala umumnya ringan, kecuali bila ada komplikasi

lain seperti sinusitis.1,2,5

Epidemiologi

Rinitis alergi mempengaruhi sekitar 40% anak-anak dan 20_30% orang dewasa. Pada

anak (<2 tahun) diagnosis rhinitis alergi lebih sulit ditegakkan. Keluhan pertama

biasanya muncul pada usia sekolah.

Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik

dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada

ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada

dewasa dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi

lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda

tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen.

Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau

jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua

spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides

pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor

9

Page 10: Makalah Referat Rhinitis Alergi

resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu

yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor

resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan

memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi

udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu

rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,

telur, coklat, ikan dan udang.

3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin

atau sengatan lebah.

4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,

yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini

digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA

(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat

berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari

4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Belum ada klasifikasir rinitis alergi akibat kerja yang baku. Namun secara umum

agen penyebab dapat diklasifikasikan menumt asalnya sebagai berikut :

10

Page 11: Makalah Referat Rhinitis Alergi

l. Agen fisik misalnya udara kering yang dingin, waktu pembersihan mukosiliar

(mucociliary clearance) menurun secara sedang (modeslly) seiring dengan inhalasi

udara yang sangat dingin. Apabila individu yang sensitif terhadap dingin diberikan

udara kering dingin pada -3 sampai -10'C, terdapat pelepasan mediator inflamasi di

dalam hidung yang dianggap berasal dari mastosit dan basofil. Aktivitas farmakologik

dari mediator ini menyebabkang gejala rinitis, juga konstriksi bronkiolus. Udara

lembab yang hangat gagal menimbulkan gejala-gejala.

2. Agen kimiawi banyak didapatkan di lingkungan industri, tembaga, arsen, seng dan

debu asam nitrat serta zat-zat kimia lainnya mampu menyebabkan penekanan aktivitas

siliar.' Kobalt, ntethylene rliphenyl isocyanale (MDI), loluene diisocyanale (TDI),

cqrntine (pewarna merah alamiah), lalex (rwlural nfiber latex) juga dilaporkan dapat

menyebabkanri nitis alergi. Polusi udara dapat diteliti dengan mengukur kadar

kadmium dalam darah, tingginya kadar kadmium di dalam darah secara bermakna

ditemukan pada pasien dengan rinitis alergi mernbuktikan hubungan antara polusi

udara dengan keadaan rinitisa alergi ini, mekanisnya antihistamin memerlukan

penelitian lebih lanjut,

3. Agen biologik pajanan terhadap debu kayu dapat menyebabkan rinitis alergik

maupun rinitis nonalergi, selain itu banyak pembuat roti (baker) dilaporkan menderita

rinitis alergi terhadap tepung terigu / gandum pekerja-pekerja ini tidak hanya alergi

terhadap tepung terigu saja, tetapi juga terhadap amilase dari Aspergilus oryzoe.

Masih banyak agen biologik lainnya seperti jenis-jenis tanaman tertentu, mikroba

(bakteri, jamur bahkan virus) di lingkungan kerja (sering pada petani) yang dilaporkan

menyebabkan rhinitis alergi.

Pemeriksaan penunjang

In Vitro:

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-papaer radio immuno-sorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau

anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna

adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau

ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,

11

Page 12: Makalah Referat Rhinitis Alergi

walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan

alergi inhalan. Jika basofil (>5 sel/ lapang pandang) mungkin disebabkan alergi

makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri

In Vivo:

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-pont Titration/SET), SET

dilakukan untuk akergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai

konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab

juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi

makanan, uji kulit yang akhir akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus

Provocative Dilutional Food (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan

dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara

tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada “Challenge Test”,

makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,

selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali

dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

meniadakan suatu jenis makanan.

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, Yaitu

reaksi alergi fase cepat yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu

jam setelahnya, dan reaksi fase lambat yang berlangsung 2 sampai 4 jam dengan

puncak 6-8 jam (fase hiperreaktiftas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung

sampai 24-48 jam.1

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji akan menangkap alergen yang menempel

di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk peptida

MHC (Mayor Histo Compatibility) kelas II, yang kemudian di presentasikan pada sel

T-helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin I (IL-

1) yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th 2.

kemudian Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-

12

Page 13: Makalah Referat Rhinitis Alergi

13. L-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga

sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (Ig-E). Ig E di

sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel

mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini

disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi bila mukossa

yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama maka kedua rantai IgE

akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)

mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk,

terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan prostaglandin leukotrin D4,

leukotrin C4, brakinin, platelet actifating factor dan berbagai sitokin. Inilah yang

disebut reaksi alergi fase cepat. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung

vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin

juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi. Dan

permeabiltas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung syaraf

vidianus juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran interseluler adhesion molekul.1

Pada reaksi alergi fase lambat, sel mastosit akan melepaskan molekul

kemotaktif yang akan menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan

target. Respon ni tidak berhenti disini saja, tapi gejala akan berlanjut dan mencapai

puncak 6-8 jam, setelah pemaparan. Pada reaksi ini, ditandai dengan penambahan

jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit

di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3 , IL4 dan IL5, dan granulosit

makrofag koloni stimulating faktor pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif

atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi

dari granulnya. Pada fase ini selain faktor spesifk (alergen) iritasi oleh faktor

nonspesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok bau yang merangsang

perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.1

13

Page 14: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Gambar 2. Skema pathogenesis rhinitis alergi.4

1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil

seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.

Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi

respon tersier.

3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi

ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau

reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis

14

Page 15: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Gejala yang mendukung diagnosis rinitis alergi (2 atau lebih gejala > 1jam hampir

setiap hari) : rinorea berair, bersin paroksismal, obstruksi nasal, hidung gatal, dan

konjumgtivitis (mata berair, gatal, bengkak). Gejala yang tidak mendukung diagnosis

rinitis alergi: bersifat unilateral, obstruksi nasal tanpa disertai gejala lainnya, rinorea

mukopureulen, post nasal drip dengan mukus tebal, tidak ditemui rinorea anterior,

nyeri, epistaksis berulang, dan anosmia. Tanda klinis yang diasosiasikan dengan

rinitis alergi:

Allergic shiners – lingkaran hitam disekitar mata dan berhubungan dengan

vasodilatasi atau kongesti nasal.

Nasal / allergic crease – suatu garis horizontal di dorsum hidung yang

disebabkan oleh gesekan berulang ke atas pada ujung hidung oleh gesekan

berulang ke atas pada ujung hidung oleh telapak tangan (dikenal sebgai

allergic salute).

Pemeriksaan hidung dengan spekulum hidung: mukosa hidung edematosa atau

hipertrofi, berwarna pucat atau biru keabuan, dan sekret cair.

Pemeriksaan mata: injeksi dan pembengkakan konjungtiva palpebra dengan

produksi air mata berlebihan, garis Dennie-Morgan (garis di bawah kelopak

mata inferior).

Pemeriksaan faring; penampakan cobblestone (pembengkakan jaringan

limfoid pada faring posterior) dan pembengkakan arkus faring posterior.

Maloklusi dan lengkung palatum yang tinggi dapat ditemukan pada pasien

yang bernafas dengan mulut secara berlebihan.

Pada anak dapat ditemukan hipertofi adenoid (dari foto lateral leher).

Gambar 3. Gambaran klinis Rinitis Alergi

Dasar Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

15

Page 16: Makalah Referat Rhinitis Alergi

1. Anamnesis

Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung

tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul,

menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon

terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi

seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada

mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga

merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah

bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat

ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi

bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok

oleh punggung tangan (allergic salute).

Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat

atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga

dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala

hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau

penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan sitologi hidung tidak memastikan diagnosis, tetapi berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak (5

sel/lapang pandang) menunjukkan kemungkinan alergi. Hitung jenis eosinofil

dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Pemeriksaan IgE total seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

penyakit. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan cara RAST

(Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent

Test).

Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada dua macam tes kulit

yaitu tes kulit epidermal dan tes kulit intradermal. Tes epidermal berupa tes kulit

gores (scratch) dengan menggunakan alat penggores dan tes kulit tusuk (skin prick

test). Tes intradermal yaitu tes dengan pengenceran tunggal (single dilution) dan

pengenceran ganda (Skin Endpoint Titration – SET). SET dilakukan untuk alergen

inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi. Selain dapat

16

Page 17: Makalah Referat Rhinitis Alergi

mengetahui alergen penyebab, juga dapat menentukan derajat alergi serta dosis

inisial untuk imunoterapi. Selain itu, dapat pula dilakukan tes provokasi hidung

dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Untuk alergi makanan,

dapat pula dilakukan diet eliminasi dan provokasi atau Intracutaneous Provocative

Food Test (IPFT).

Diagnosis banding

Rinitis vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa

hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Rinitis vasomotor

adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang

persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan

spesifik.2 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis

vasomotor disebut juga dengan vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal

vasomotor instability, non spesific allergic rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau

intrinsic rhinitis. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi

sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung

tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. Etiologi

yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan

fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.

Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung

temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan

jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan

sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Gejala klinis

Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan dengan

rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat

mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang

dapat bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi.

Keluhan bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan

tidak terdapat rasa gatal di hidung dan mata.1,2,6,7 Gejala dapat memburuk pada pagi

hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara

lembab, dan juga oleh karena asap rokok dan sebagainya. Selain itu juga dapat

17

Page 18: Makalah Referat Rhinitis Alergi

dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke tenggorok ( post nasal drip ).

Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor dibedakan dalam 2 golongan,

yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (runners / sneezers ).

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinore. Oleh

karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan

pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya.

Diagnosis

Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan

disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai

riwayat alergi dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. Beberapa

pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat iritan tertentu

tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan rinoskopi

anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi dan

berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik ), tetapi dapat juga dijumpai

berwarna pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada

rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan

rinore, sekret yang ditemukan bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada

rinoskopi posterior dapat dijumpai post nasal drip. Pemeriksaan laboratorium

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test kulit ( skin test )

biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam batas normal.

Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam

jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel

neutrofil dalam sekret. Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang

edema dan mungkin tampak gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat.

Tabel 1. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor.

18

Page 19: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Rinitis alergi Rintis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4

Riwayat terpapar allergen (+) Riwayat terpapar allergen ( -)

Etiologi Reaksi Ag – Ab terhadap

rangsangan spesifik

Reaksi neurovaskuler terhadap

beberapa rangsangan mekanis atau

kimia, juga factor psikologis

Gatal & Bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal di mata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

IgE darah Meningkat Tidak meningkat

Neurektomi n.

vidianus

Tidak membantu Membantu

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,

akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T

CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.

b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang

menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan

udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama

bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain

akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP)

dengan akibat sinusitis akan semakin parah.5,6

Penatalaksanaan

Pengobatan paling efektif dari rinitis alergi adalah menyingkirkan faktor penyebab

yang dicurigai (avoidance). Bila faktor penyebab tidak mampu disingkirkan maka

terapi selanjutnya adalah pemberian farmakoterapi maupun tindakan bedah berupa:

1. Antihistamin

19

Page 20: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja

secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.

Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks

iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi dua

generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena bersifat

lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin generasi pertama

adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin. Antihistamin generasi kedua

memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi, namun efek samping lain ternyata

dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia aplastik dan golongan tertentu tidak boleh

diberikan pada penderita dengan gangguan jantung karena menyebabkan aritmia.

Antihistamin generasi kedua yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin.

Dianjurkan konsumsi antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan

seperlunya saja karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif.

Apabila antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan

memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap

toleran terhadap pekerjaannya. 9

2. Dekongestan oral

Bekerja mengurangi edema pada membran mukus hidung karena bersifat

vasokonstriksi (alfa adrenergik), sehingga efek obat ini melengkapi pengobatan gejala

rinitis alergi oleh antihistamin dengan mengurangi edema membran mukus. Contoh

obat dekongestan oral adalah pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. Obat ini

cukup diberikan beberapa hari saja. Dianjurkan pemberian dekongestan oral

dibandingkan dekongestan topikal karena efek "rebound phenomena" obat tersebut

terhadap mukosa hidung yang dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Pemberian

obat ini merupakan kontraindikasi bila pasien sedang mengonsumsi atau dalam fase

"tappering off" dari obat-obatan monoamin oksidase inhibitor karena bahaya akan

terjadinya krisis hipertensi.

3. Sodium kromolin

Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa

mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah dengan

menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga degranulasi

20

Page 21: Makalah Referat Rhinitis Alergi

mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif apabila

antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.

4. Kortikosteroid inhalasi bekerja dengan mengurangi kadar histamin.10

Kadar histamin dikurangi dengan mencegah konversi asam amino histidin menjadi

histamin, selain itu kortikosteroid juga meningkatkan produksi c-AMP sel mast.

Secara umum kortikosteroid mencegah epitel hidung bersifat sensitif terhadap

rangsangan alergen baik pada fase cepat maupun lambat. Efek kortikosteroid bekerja

secara langsung mengurangi peradangan di mukosa hidung dan efektif mengurangi

eksaserbasi. Preparat yang tersedia seperti beklometason, budesonid, dan flunisolid.

Efek samping kortikosteroid inhalasi lebih kecil dibanding steroid sistemik kecuali

pasien diberikan dalam dosis sangat tinggi atau sedang menjalani pengobatan

penyakit paru.

5. Imunoterapi.

Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah

dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,

tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan sama

sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi

produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (lebih

meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan

bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen,

kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk kemudian

difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang

membran mastosit.10

6. Konkotomi

dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil

dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

21

Page 22: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Pencegahan

Pencegahan primer untuk alergi masih diperdebatkan dan usaha tersebut difokuskan

pada makanan bayi. Cara pencegahan primer tercetusnya penyakit alergi pada bayi

berisiko tinggi adalah dengan dianjurkan untuk pemberian ASI ekslusif (6 bulan),

tetapi jika tidak memungkinkan mendapat ASI sama sekali, dianjurkan untuk diberi

susu hydrolisa, karena terbukti cara tersebut dapat mengurangi terjadinya alergi pada

anak-anak dan alergi susu sapi. Pemberian makanan padat pada anak dan alergi susu

sapi. Pemberian makanan padat pada anak berisiko tinggi sebaiknya dimulai setelah

berumur 6 bulan, pemberian susu sapi mulai diberikan pada umur lebih dari 12 bulan

dan untuk telur bebek diberikan setelah anak berumur 24 bulan. Kacang tanah, ikan

dan makanan produk laut sebaiknya baru diberikan sedikitnya setelah anak berusia 36

bulan. Pencegahan sekunder lain adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

yang sensitif untuk mengurangi timbulnya gejala yang dapat dilakukan dengan

memberikan edukasi kepada penderita yang sudah diketahui alergen penyebabnya.

Hasil studi menghindari alergen seperti tungau debu rumah memang sukar dilakukan

dan tidak bermakna secara statstik, meskipun demikian pada sebagian penderita RA

dapat merasakan menfaatnya secara klinis.7

Prognosis

22

Page 23: Makalah Referat Rhinitis Alergi

Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon dengan

pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi terhadap

serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman. Prognosis

yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status kekebalan tubuh

maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi dapat bertambah berat

pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade lima dan enam. Setelah

masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena menurunnya sistem

kekebalan tubuh.

KESIMPULAN

Beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko rhinitis alergi ditemukan pada

penelitian ini meliputi jenis kelamin, riwayat atopi keluarga, peningkatkan kadar IgE

serum total, peningkatan jumlah eosinofil dan uji kulit tusuk positif pada allergen

makanan dan hirup. Anak laki-lakiditemukan lebih banyak menderita rinitis alergi

(62%) dibandingkan anak perempuan (38%). Riwayat atopi pada keluarga ditemukan

dengan urutan proporsi terbesar pada ibu dan selanjutnya ayah, kakek, saudara

kandung dan nenek. Peningkatan IgE serum total ditemukan pada 88,57% pasien.

Anak berusia 1-5 tahun paling banyak mengalami peningkatan IgE serum total yaitu

sebesar 48,57% dari seluruh pasien. Peningkatan jumlah eosinofil darah juga

ditemukan pada 80% pasien. Uji kulit tusuk terhadap alergen makanan dari 25 pasien

didapatkan hasil positif terbanyak pada udang. Sedangkan alergen hirup yang

teridentifikasi positif pada uji kulit tusuk ditemukan terbanyak pada tungau debu

rumah. Sejalan dengan fakta epidemiolgis lain penelitian menemukan 22% pasien

rinitis alergi juga menderita asma bronkiale. Oleh karena itu pengendalian rinitis

alergi juga dapat menurunkan risiko penyakit asma. Disamping itu perlu kajian lebih

lanjut tentang berbagai faktor yang meningkatkan resiko terjadinya rinitis alergi.

Referensi

1. Soepardi Efiaty Arsyad. Buku Ajar Ilmu Telinga Hidung Tenggorok: Alergi

Hidung. Edisi ke-6. Jakarta 2007. Hal 128

2. Tanto Chris,Liwang Frans, Hanifati Sonia, etc. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi

IV. Jakarta 2014. Hal 1055

23

Page 24: Makalah Referat Rhinitis Alergi

3. Ethical Diggest — Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rhinitis

Alergika. 4. Suprihati. Vol,XXXV, no 1, Jakarta; 2010 : 64-70.

4. Christine DV, Agnes L. Devinition and management of persistent allergic rhinitis –

the ARIA guidelines. J of the World Allergy Organization; March/April 2011; 17 (2):

78-9

5. Effy Huriyati, Bestari J Budiman, Ricki Octiza. Peran Kemokin dalam Patogenesis

Rinitis Alergi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014

6. El sharkawy A, Elmorsy S, El-Naggar M. Eotaxin, factor alpha levels in allergic

rhinitis. Egyptian Journal of Ear, Nose, Throat and Allied Sciences 2011; 12: 33-7.

7. Uller L et al. Early phase resolution of mucosal eosinophilic inflamation in allergic

rhinitis. Respiratory Research 2010;11:54.

24