referat hipoaldosteronisme carolus

34
REFERAT HIPOALDOSTERONISME Pembimbing: dr. Eddy Setijoso, Sp.PD-KGEH Penyaji: Gabriela Christy (2012-061-028) Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Upload: christy-tehja

Post on 19-Jan-2016

60 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

REFERAT

HIPOALDOSTERONISME

Pembimbing:

dr. Eddy Setijoso, Sp.PD-KGEH

Penyaji:

Gabriela Christy (2012-061-028)

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Periode 24 Maret – 31 Mei 2014

Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Indonesia

2014

Page 2: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang maha esa karena atas rahmatNya

referat ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Adapun judul referat ini adalah

“Hipoaldosteronisme” yang dibuat pada bulan Mei tahun 2014.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Eddy Setijoso, Sp.PD-KGEH selaku

pembimbing referat atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan

referat ini hingga referat ini selesai.

Penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis

menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam referat ini sehingga

masukan yang diberikan dapat menjadi kritik yang membangun demi kemajuan bersama.

Jakarta, Mei 2014

Penulis

Page 3: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………...…………………………………………………..……...i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..…ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………………………2

2.1. Definisi……………………………………………………………………………2

2.2. Gambaran Klinis………..……………………………………………………...…2

2.3. Pemeriksaan Penunjang…...………………………………………………………2

2.4. Defisiensi Aldosteron Primer………………………………….………………….3

2.5. Defisiensi Aldosteron Sekunder…………………………………………………..7

2.6. Resistensi Mineralokortikoid……………………………………………………12

BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………..18

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..……...……….19

Page 4: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aldosteron merupakan salah satu dari banyak hormon yang dihasilkan oleh korteks

kelenjar adrenal dan termasuk golongan hormon mineralokortikoid, yaitu hormon yang

berfungsi dalam regulasi elektrolit (natrium dan kalium) dalam tubuh. Aldosteron dihasilkan

oleh zona glomerulosa korteks kelenjar adrenal dan dipengaruhi oleh kadar angiotensin II dan

kalium dalam darah. Sembilan puluh persen aktivitas mineralokortikoid tubuh bergantung

pada aldosteron.

Aldosteron bekerja pada tubulus distal dan duktus kolektivus nefron pada ginjal.

Aldosteron berfungsi untuk meningkatkan absorpsi natrium dan meningkatkan sekresi

kalium. Dengan kata lain, aldosteron menyebabkan retensi natrium dalam cairan ekstraseluler

dan meningkatkan ekskresi kalium dalam urin.

Kekurangan sekresi aldosteron dapat menyebabkan keluarnya natrium melalui urin

sebanyak 10 hingga 20 gram per hari, yaitu sebanyak 10-20% kadar natrium tubuh. Pada

waktu yang bersamaan, kalium akan tersimpan dalam jumlah banyak pada cairan

ekstraseluler. Kehilangan sekresi adrenokortikal total dapat menyebabkan kematian dalam

waktu 3 hari hingga 2 minggu kecuali pasien tersebut menerima terapi mineral ekstensif atau

pemberian mineralokortikoid. Tanpa mineralokortikoid, konsentrasi ion kalium dalam cairan

ekstraseluler meningkat tajam, natrium dan klorida keluar secara cepat dari dalam tubuh, dan

volume darah dan cairan ekstraseluler menurun drastis. Pasien tersebut akan segera

mengalami penurunan cardiac output, yang akan berlanjut menjadi keadaan shock, kemudian

diakhiri oleh kematian.1

Hipoaldosteronisme atau defisiensi aldosteron memiliki berbagai macam sebab seperti

kelainan bawaan hingga pengaruh dari obat-obatan. Selain defisiensi aldosteron, terdapat

suatu keadaan yang disebut resistensi mineralokortikoid, yaitu kurangnya respon tubuh

terhadap aldosteron.2 Dalam referat ini akan dibahas mengenai hipoaldosteronisme dan

resistensi mineralokortikoid.

Page 5: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Hipoaldosteronisme adalah defisiensi aldosteron selektif tanpa disertai perubahan

dalam produksi kortisol. Hipoaldosteronisme dapat disebabkan kelainan bawaan dalam

proses biosintesis, kerusakan zona glomerulosa, kelainan fungsi sistem renin-angiotensin,

adrenalektomi, atau pengaruh obat-obatan. Resistensi mineralokortikoid, atau

pseudohipoaldosteronisme, adalah rendahnya respon tubuh terhadap aldosteron meskipun

kadarnya dalam tubuh cukup memadai.2

2.2. Gambaran Klinis

Gejala-gejala defisiensi mineralokortikoid berupa nyeri perut, mual, muntah, pusing,

dan pasien merasa ingin makan makanan yang asin atau mengandung banyak garam.3,4 Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg)

dan hipotensi postural. Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada penderita

hipoaldosteronisme adalah peningkatan kreatinin serum (karena deplesi volume),

hiponatremia, dan hiperkalemia.3,4

2.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk mengevaluasi pasien

hipoaldosteronisme adalah kadar kalium serum, natrium serum, kreatinin serum, kalium urin,

natrium urin, kadar aldosteron serum, dan renin serum.5

Tabel 1. Diagnosis banding penurunan kadar aldosteron serum.5

Diagnosis Banding Pemeriksaan Tambahan

Penurunan aldosteron disertai peningkatan renin

Insufisiensi adrenokortikal primer Darah lengkap, natrium, kalium, kalsium,

keseimbangan asam-basa, glukosa, ureum,

kreatinin, kortisol, ACTH, uji stimulasi

ACTH

Kelainan kongenital sintesis steroid (sindrom Natrium, kalium, kortisol,

Page 6: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

adrenogenital) dihidroepiandrostenedion, androstenedion,

17-OH progesteron

Penurunan aldosteron disertai penurunan renin

Pseudohiperaldosteronisme (syndrome of

apparent mineralocorticoid excess, sindrom

Liddle, sindrom Cushing, sindrom resistensi

kortisol, tumor yang memproduksi 11-

deoksikortisol)

Natrium dan kalium urin, keseimbangan

asam-basa, kortisol, 11-deoksikortisol.

Hiponatremia Natrium serum dan urin

Hiperkalemia Kalium serum dan urin

Konsumsi licorice berlebih Natrium dan kalium dalam serum dan urin

Obat-obatan (beta-blocker, reserpin,

metildopa, klonidin, carbenoksolon, glikosida

kardiak, antiinflamasi, heparin, vasopressin,

kortikosteroid, litium dosis rendah)

Natrium dan kalium dalam serum dan urin

2.4. Defisiensi Aldosteron Primer

2.4.1. Kelainan Bawaan

Kelainan bawaan dalam proses oksidasi kortikosteron menjadi aldosteron

dideskripsikan sebagai defisiensi kortikosteron metiloksidase tipe I (corticosterone methyl

oxidase type I deficiency/CMO I) dan defisiensi kortikosteron metiloksidase tipe II

(corticosterone methyl oxidase type II deficiency/CMO II). Kortikosteron pertama-tama akan

dihidroksilasi dan dioksidasi pada posisi 18 untuk menghasilkan aldosteron. CMO I disebut

juga 18-hidroksilase; CMO II disebut juga aldosteron sintase atau aldosteron oksidase.

Defisiensi CMO II lebih sering terjadi dibandingkan defisiensi CMO I. Enzim CMO I dan

CMO II memiliki aktivitas di dalam isozim steroid 11b-hidroksilase; aktivitas isozim ini

terbatas pada zona glomerulosa. Aktivitas 18-hidroksilase dan 18-oksidase diperlukan dalam

produksi aldosteron. Mutasi gen yang membentuk isozim tersebut akan mengakibatkan defek

dalam sintesis aldosteron.

Page 7: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Gambar 1. Langkah-langkah terminal dalam biosintesis aldosteron. Defisiensi CMO tipe I

dan tipe II menunjukkan defek dalam reaksi hidroksilase-oksidase. Dalam defisiensi CMO

tipe I, kadar produk 18-hidroksilase, 18-OH-kortikosteron menurun. Dalam defisiensi CMO

tipe II, produksi 18-OH-kortikosteron meningkat. Pada keduanya terjadi defisiensi

aldosteron.

Defisiensi CMO I sangat jarang terjadi. Secara biokimiawi, defisiensi CMO I ditandai

dengan peningkatan produksi kortikosteron oleh zona glomerulosa korteks adrenal tanpa

peningkatan kadar 18-hidroksikortikosteron disertai tanda kekurangan aldosteron. Sebagian

kecil laporan kasus menunjukkan keraguan mengenai penentuan defisiensi CMO tipe I dan

tipe II karena pengukuran 18-hidrokortikosteron tidak tersedia.

Defisiensi CMO II diturunkan secara autosomal resesif. Defisiensi ini jarang terjadi

tetapi menurut pengamatan, terdapat peningkatan angka kejadian pada kelompok orang

Yahudi dan Iran.

Page 8: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Pada defisiensi CMO I dan CMO II, tingkat keparahan manifestasi klinis berbanding

terbalik pada usia pasien saat diagnosis. Manifestasi klinis akan semakin ringan seiring

dengan bertambahnya usia anak tersebut. Defisiensi CMO II bila dikenali secara klinis,

memiliki onset pada usia 1 minggu hingga 3 bulan dan ditandai oleh dehidrasi berat, muntah,

dan gagal tumbuh. Hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis metabolik ditemukan pada

semua kasus. Aktivitas renin plasma meningkat, dan kadar aldosteron plasma rendah. Selain

itu, kadar 18-hidroksikortikosteron meningkat dan rasio 18-hidroksikortikosteron:aldosteron

plasma melebihi 5. Pada anak-anak yang lebih besar, remaja, dan orang dewasa, pola steroid

abnormal yang dikemukakan tadi dapat terjdi dan menetap seumur hidup tanpa manifestasi

klinis.

Mineralokortikoid (fludrokortison) diberikan pada masa kanak-kanak awal, tetapi

pada sebagian besar kasus terapi ini tidak perlu diberikan terus menerus. Kesembuhan

spontan dapat terjadi pada pasien yang tidak diterapi. Masih belum jelas mengapa defisiensi

aldosteron jauh lebih berbahaya pada masa kanak awal dibandingkan pada dewasa.

Hipoaldosteron yang disebabkan sekresi renin yang rendah pada pasien tua memiliki

signifikansi klinis, tetapi pasien dengan hipoaldosteronisme herediter asimptomatik yang

disebabkan defisiensi CMO I atau CMO II tidak menunjukkan manifestsi hipoaldosteronisme

hiporeninemik. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan pseudohipoaldosteronisme.2

2.4.2. Kegagalan Fungsi Glomerulosa Adrenal

2.4.2.1. Kegagalan Adrenal Autoimun

Seiring dengan perjalanan penyakit kegagalan adrenal autoimun, defisiensi aldosteron

selektif dapat muncul sementara fungsi zona fasikulata tetap terjaga. Meskipun respon

glukokortikoid terhadap kortikotropin (ACTH), metirapon, atau hipoglikemia karena insulin

bisa normal, aktivitas renin plasma meningkat dan kadar kortikotropin rendah atau tidak

terdeteksi. Hal ini disertai asidosis metabolic ringan dan terkadang dapat disertai

hiponatremia. Pada tahap akhir penyakit ini dapat terjadi progresifitas menjadi insufisiensi

panadrenal. Onset defisiensi mineralokortikoid dan glukokortikoid dapat muncul secara

terpisah sejauh satu tahun.

Pada defisiensi aldosteron selektif yang disebabkan penyakit autoimun, dapat

ditemukan antibodi antiadrenal. Bila terjadi bersamaan dengan kandidiasis mukokutaneus dan

hipoparatirodisme, hal ini merupakan suatu bentuk dari endokrinopati autoimun multipel.

Pasien dengan hemokromatosis idiopatik, kelemahan tubuh, hipotensi postural, dan

penurunan libido ditemukan memiliki intoleransi glukosa ringan dan kadar gonadotropin

Page 9: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

rendah disertai dengan normokalemia, hiponatremia, dan peningkatan kadar ureum yang

tidak terlalu besar. Aktivitas renin plasma meningkat, dan kadar aldosteron menurun. Respin

kortisol terhadap ACTH dan kadar 17-hidroksisteroid urin normal. Pasien tidak dapat

menahan natrium dalam tubuh dengan pemberian diet rendah natrium. Hal ini menunjukkan

bahwa defisiensi mineralokortikoid dapat terjadi karena kegagalan sel glomerulosa yang

disebabkan penumpukan zat besi.

2.4.2.2. Hipoaldosteronisme Karena Penyakit Lain

Hipoaldosteronisme hipereninemik dapat terjadi pada pasien dengan penyakit berat,

seperti sepsis dan gangguan hemodinamik. Kebanyakan pasien mengidap penyakit yang

berkepanjangan dan mengalami hipotensi dalam jangka waktu lama, dengan atau tanpa

hiperkalemia. Sekresi kortisol meningkat, sesuai dengan tingkat stress pasien tersebut.

Karena sekresi aldosteron, kortikosteron, dan 18-hidroksikortikosteron tersupresi dalam

waktu 48 hingga 96 jam stimulasi ACTH yang terus menerus, sekresi ACTH berkepanjangan

karena stress dapat merusak enxim 11b-hidroksilase dan 18b-hidroksilase dan hal ini

mungkin merupakan mekanisme di balik sindrom defisiensi aldosteron pada pasien dengan

sakit berat. Akan tetapi, pasien-pasien tersebut mengalami peningkatan rasio 18-

hidroksikortikosteron:aldosteron dan gangguan respon aldosteron terhadap pemberian

angiotensin II. Hal ini menunjukkan inhibisi selektif mungkin memiliki peran dalam proses

penyakit ini. Karena hipoksia berhubungan dengan peningkatan aktivitas renin dan sekresi

kortisol, disertai dengan penurunan sekresi aldosteron, insufisiensi aktivitas CMO II dapat

merupakan akibat dari hipoksia atau faktor sirkulasi lain yang berpengaruh pada zona

glomerulosa. Hasil otopsi pada pasien dengan sindrom ini menunjukkan atrofi atau nekrosis

pada hampir seluruh lapisan kelenjar adrenal, termasuk zona glomerulosa. Meskipun begitu,

nekrosis pada zona glomerulosa tanpa disertai nekrosis daerah lain tidak ditemukan. Ini

mungkin disebabkan darah mengalir dari korteks menuju medulla, dan hipoperfusi akan

mempengaruhi daerah dalam dari kelenjar adrenal terlebih dahulu.

Hipoaldosteronisme hipereninemik dapat disebabkan pelepasan sitokin-sitokin pada

penyakit kronis. Tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin-1, yang bersifat pirogen dan

katabolik, ditemukan meningkat dalam cairan tubuh pada infeksi berat, dan keduanya

diketahui menghambat efek stimulasi dari angiotensin II dan ACTH pada sekresi aldosteron.

Tetapi tidak ditemukan perubahan pada efek kalium dalam pelepasan aldosteron. Meskipun

asam 12-hidroksieikosanoat menstimulasi aldosteron dan merupakan second messenger dari

Page 10: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

angiotensin II, TNF menghambat stimulasi angiotensin II terhadap pelepasan asam 12-

hidroksieikosanoat.

Ada kemungkinan bahwa kadar atrial natriuretic hormone (ANH) yang tinggi saat

sakit berkontribusi terhadap kadar aldosteron. ANH adalah penekan kuat sekresi aldosteron

baik secara in vitro maupun in vivo. ANH menekan sekresi aldosteron meskipun pasien

dalam posisi berdiri atau menerima suntikan angiotensin II. Pada sel kelenjar adrenal yang

dikultur, ANH juga menurunkan sekresi aldosteron yang biasanya terjadi setelah stimulasi

menggunakan kalium, angiotensin II, dan ACTH. Sekresi ANH dapat distimulasi oleh

ekspansi volume subklinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal ringan, gagal jantung,

aritmia atrium, atau penyakit jantung subklinis lain yang berhubungan dengan distensi

atrium. Banyak pasien dengan penyakit berat menerima obat yang dapat mempengaruhi aksis

renin-angiotensin-aldosteron. Karena tidak ada komplikasi klinis hebat yang dilaporkan pada

bentuk hipoaldosteronisme ini, terapi biasanya tidak diperlukan dan hanya perlu menghindari

penggunaan obat yang dapat memperparah hipoaldosteronisme.2

2.5. Defisiensi Aldosteron Sekunder

2.5.1. Sindrom Hipoaldosteronisme Hiporeninemik

2.5.1.1. Gambaran Umum

Sindrom hipoaldosteronisme hiporeninemik (SHH), atau disebut juga distal renal

tubular acidosis type 4, merupakan kasus yang sering terjadi. SHH biasanya terjadi pada usia

paruh baya dan lansia (usia rerata 68 tahun) dan lebih sering terjadi pada pria dibanding

wanita. Kurang dari setengah pasien SHH menderita diabetes mellitus, dan pada 80 persen

pasien ditemukan gagal ginjal kronis. Kondisi ini sering terjadi pada pasien dengan penyakit

ginjal bentuk tubulointerstisial, tetapi dapat ditemukan pada kelainan ginjal apapun. Lima

puluh hingga 70 persen pasien dengan hiperkalemia dan penyakit ginjal tanpa sebab yang

jelas disertai GFR yang cukup untuk membuat keadaan normokalemia ditemukan mengalami

SHH.

Sebagian besar pasien dengan SHH memiliki aktivitas renin plasma dan aldosteron

yang rendah sehingga tidak dapat distimulasi dengan cara yang biasa digunakan. Asidosis

metabolik hiperkloremik terjadi pada kurang dari 70% kasus, dan hiponatremia ringan hingga

sedang terjadi pada 50% kasus. Hiperkalemia ditemukan pada semua kasus. Pasien-pasien

tersebut menunjukkan ekskresi fraksional kalium yang menurun sehubungan dengan GFR

dan penurunan respon terhadap stimulus kaliuretik (natrium bikarbonat, natrium sulfat, dan

diuretik) dan kalium klorida intravena. Hiperkalemia yang terjadi tidak sebanding dengan

Page 11: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

derajat insufisiensi renal. Mekanisme yang diduga terjadi meliputi hiporeninemia karena

kerusakan organ jukstaglomerular, insufisiensi simpatik, kelainan produksi prostaglandin

ginjal, atau kelainan konversi prorenin menjadi renin. Produksi renin yang rendah bukan

merupakan faktor utama karena pada beberapa pasien dapat ditemukan aktivitas renin plasma

yang normal. Pada kasus-kasus tertentu terjadi retensi natrium yang berakibat ekspansi

volume dan terjadi supresi sekunder dari renin dan aldosteron. Penyebab utama dari nefritis

interstisial, dimana hiperkalemia dapat terjadi sebelum atau pada awal dari gagal ginjal

kronis, adalah abnormalitas anatomi genitourinaria, penyalahgunaan aspirin atau fenasetin,

hiperurisemia, nefrokalsinosis, nefrolitiasis, dan penyakit sickle cell.

Pasien diabetes lebih rentan menderita hiperkalemua karena defisiensi insulin dan

hiperglikemia. Defisiensi insulin dan hiperglikemia dapat menyebabkan kelainan pada

distribusi kalium dalam tubuh secara independen, tanpa bergantung satu dengan yang

lainnya. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas ekstraseluler, yang kemudian

menyebabkan pengeluaran kalium dari sel. Selain itu, defisiensi insulin mencegah masuknya

kalium ke dalam sel, hal ini diduga berhubungan dengan kerja metabolik dari insulin.

Insufisiensi otonom, yang dapat merupakan komplikasi diabetes, mengakibatkan

hipoaldosteronisme hiporeninemik, dan derajat keparahan neuropati otonom berhubungan

dengan durasi hiperglikemia pada pasien.

Gammopati immunoglobulin M monoklonal diduga berhubungan dengan

glomerulosklerosis noduler, defek pada pemekatan urin, dan hipoaldosteronisme

hiporeninemik. Hipoaldosteronisme ini berhubungan dengan fungsi ginjal yang menurun,

menunjukkan bahwa nefropati k light-chain adalah penyebab sindrom tersebut.

Pasien dengan AIDS dapat mengalami hiperkalemia persisten karena insufisiensi

adrenal atau hipoaldosteronisme hiporeninemik. Pasien biasanya memiliki respon aldosteron

yang adekuat, menunjukkan bahwa hipoaldosteronisme pada pasien-pasien tersebut

disebabkan oleh rendahnya kadar renin.

2.5.1.2. Terapi Sindrom Hipoaldosteronisme Hiporeninemik

Belum ada terapi ideal untuk SHH. Kebanyakan pasien dengan hipoaldosteronisme

selektif ringan tidak memerlukan terapi. Dengan langkah-langkah pencegahan dan edukasi

pasien, terapi bisa tidak diperlukan. Keputusan untuk memberikan pengobatan pada SHH dan

pemilihan agen terapeutik spesifik bergantung ppada beberapa faktor, di antaranya derajat

hiperkalemia, keparahan insufisiensi renal, adanya diabetes melitus, tekanan darah, dan status

Page 12: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

keseimbangan natrium tubuh. Ketika diagnosis SHH ditegakkan, faktor yang memperparah

atau memperpanjang supresi biogenesis renin dan aldosteron harus dihindari.

Mengurangi asupan kalium merupakan langkah paling efektif dalam mengontrol

hiperkalemia pada SHH. Makanan rendah natrium dan penggunaan pengganti garam, yang

seringkali mengandung kalium sebagai kation alternatif (seperti susu rendah garam yang

mengandung kalium 60 mEq/L), harus dihindari. Contoh makanan tinggi kalium adalah

buah-buahan yang dikeringkan (30 mEq/cup), daging (60 mEq/pound) dan kopi tanpa kafein

(4 mEq/cangkir). Sumber kalium yang lain meliputi transfusi darah (30mEq/L) dan penisilin

dosis tinggi (1.7 mEq/ 106 U).

Kontrol homeostasis glukosa jangka panjang pada diabetes melitus dapat mengurangi

resiko terjadinya SHH. Insufisiensi otonom mungkin dihindari pada diabetes yang terkontrol

dengan bauk. Karena banyak obat yang dapat mempengaruhi aksis renin-aldosteron, penting

untuk menghindari obat-obatan tersebut. Penghambat reseptor β-adrenergik, inhibitor

prostaglandin sintetase, dan diuretik hemat kalium harus dihindari pada pasien SHH dan

pasien diabetes dengan hipoaldosteronisme laten. Calcium-channel blocker,

antidopaminergik, dan obat lain yang menurunkan fungsi adrenal harus digunakan secara

berhati-hati. Pasien yang mendapat terapi ACE inhibitor harus dimonitor untuk terjadinya

hiperkalemia. Pemberian heparin dalam jangka waktu lama harus dihindari karena dapat

memperparah hipoaldosteronisme dan berhubungan dengan hiperkalemia yang fatal.

Pada SHH bereat, fludrokortison asetat digunakan dengan dosis 0.1 hingga 1 mg per

hari, yang ekuivalen dengan 200 hingga 2000 µg aldosteron per hari. Sembilan puluh persen

pasien menjadi normokalemia dengan pemberian fludrokortison, yang tetap memiliki resiko

retensi garam, hipertensi, dan edema.

Diuretik adalah terapi utama untuk SHH dan penyakit penyerta yang berkaitan dengan

retensi natrium. Pasien lansia dengan hipertensi, gangguan ginjal ringan, dan gagal jantung

memiliki respon lebih baik terhadap terapi diuretik dibandingkan terapi pemberian

mineralokortikoid. Karena kaliuresis adalah tujuan terapi diuretik, pemilihan obat kaliuretik

poten sangatlah penting. Klortalidon dan hidroklorotiazid merupakan pilihan terbaik. Diuretik

loop, seperti furosemid dan asam etakrinat, merupakan obat kaliuretik yang kurang poten dan

menyebabkan natriuresis yang lebih hebat. Keuntungan lain dari terapi diuretik adalah

stimulasi pelepasan renin residual pada pasien dengan hiporeninisme yang disebabkan

insufisiensi otonom.

Natrium bikarbonat tidak dapat direkomendasikan sebagai terapi rutin dalam

pengobatan hipoaldosteronisme hiporeninemik karena berbahaya bagi pasien lansia dengan

Page 13: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

gangguan ginjal, gagal jantung, dan hipertensi. Natrium polistiren sulfonat (kayexalate), resin

pengganti kation, membuang kalium ±1 meq/g dengan mengganti natrium dengan kalium

dengan perbandingan 1 hingga 1.5. Oleh karena itu, obat ini meningkatkan kadar natrium dan

merupakan kontraindikasi bagi pasien yang tidak dapat mentolerir peningkatan natrium.

Resin pengganti kalsium sedang dalam penelitian dan dapat tersedia sebagai terapi alternatif.

2.5.2. Hipoaldosteronisme Pasca Adrenalektomi karena Aldosteronoma

Hipoaldosteronisme karena ekspansi volume kronis ditemukan pada pasien pasca

adrenalektomi setelah eksisi adenoma yang memproduksi aldosteron. Pasien-pasien tersebut

mengalami hiperkalemia berat dan hipotensi yang berlangsung selama beberapa hari hingga

beberapa minggu setelah pembedahan. Bentuk yang sama dari hipoaldosteronisme karena

ekspansi volume juga ditemukan pada pasien yang mengonsumsi natrium bikarbonat (soda

kue) dalam waktu lama untuk mengobati gejala gastrointestinal.

2.5.3. Inhibisi Aldosteron karena Obat-obatan

Obat-obatan seperti siklosporin, heparin, dan calcium channel blockers secara spesifik

menghambat biogenesis aldosteron pada zona glomerulosa kelenjar adrenal. Siklosporin A

menyebabkan hipoaldosteronisme karena efek ganda pada korteks adrenal, yaitu blokade akut

angiotensin II dan inhibisi pertumbuhan dan kapasitas steroidogenik sel korteks adrenal. Efek

yang kedua mungkin disebabkan oleh gangguan sintesis protein. Glikosaminoglikan

polisulfat, seperti heparin sodium, dapat mengganggu biosintesis aldosteron. Dengan

pemberian yang berkepanjangan, heparin dapat mengakibatkan hipoaldosteronisme signifikan

dengan hiperkalemia berat karena efek toksik pada zona glomerulosa. Hal ini dibuktikan

dengan terjadinya hipoaldosteronisme hipereninemik dan atrofi zona glomerulosa. Dosis

yang paling tidak toksik dari heparin masih belum diketahui, tetapi pemberian 20.000 U per

hari selama lima hari dapat menekan sekresi aldosteron. Ini merupakan penyebab

hipoaldosteronisme yang jarang tetapi dapat menyebabkan hiperkalemia yang fatal. Efek ini

lebih mungkin disebabkan oleh klorbutanol, zat pengawet dalam heparin, dibandingkan

heparin itu sendiri. Defisiensi aldosteron karena heparin digunakan untuk terapi pada

beberapa pasien glomerulonefritis kronis dan hiperaldosteronisme. Calcium channel blocker

menghambat biosintesis aldosteron, dan pada kondisi klinis tertentu dapat menyebabkan

hipoaldosteronisme dengan mengurangi sekresi aldosteron melalui inhibisi influks kalsium.

Page 14: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Β-blocker dan inhibitor prostaglandin sintetase seringkali merupakan penyebab dari

hipoaldosteronisme hiporeninemik. Sel jukstaglomerular yang mensintesis dan mensekresi

renin, memiliki reseptor β-adrenergik. Stimulus neuronal intrinsik dan adrenergic ekstrinsik

memicu reseptor ini, menyebabkan pelepasan renin. Akibatnya, obat yang menghambat

reseptor β-adrenergik akan mempengaruhi sekresi renin dan dapat menyebabkan

hipoaldosteronisme. Inhibitor prostaglandin sintetase, yang menghambat siklooksigenase

secara spesifik, menghambat pelepasan renin dan dapat menyebabkan hiperkalemia berat.

Prostaglandin E2 (PGE2) menstimulasi pelepasan renin secara langsung, mungkin karen efek

langsung pada organ jukstaglomerular. Pelepasan renin akibat furosemid dihambat oleh

indometasin dan inhibitor prostaglandin sintetase lain.2

Tabel 2. Obat yang menghambat sekresi dan atau efek aldosteron.2

Heparin (klorbutanol)

Siklosporin A

Calcium channel blocker

Β-blocker

Inhibitor prostaglandin sintetase

ACE inhibitor

Spironolakton

Triamteren

Amilorid

Aminoglutetimid

Metirapon

Trilostan

Bromokriptin

ACE inhibitor dan diuretik hemat kalium dapat berkontribusi pada

hipoaldosteronisme dan hiperkalemia dalam berbagai kondisi. ACE inhibitor bekerja dengan

inaktivasi angiotensin-converting enzyme, yang akan memutus aksis renin-aldosteron dan

mengakibatkan hipoaldosteronisme iatrogenik. Spironolakton memiliki dua efek, yaitu

sebagai antagonis reseptor mineralokortikoid dan menghambat biosintesis aldosteron, diduga

dengan cara kompetisi dengan biogenesis kortikosteroid. Triamteren menyebabkan retensi

kalium dengan bekerja pada tubulus distal yang tidak dimediasi aldosteron. Amiloride

Page 15: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

bekerja pada permukaan luminal membrane epitel dengan menghambat kanal natrium,

menyebabkan resorpsi natrium yang sedikit tetapi tidak menyebabkan sekresi kalium.

Obat-obatan yang mengganggu fungsi adrenal semakin banyak digunakan untuk

terapi hormonal kanker payudara dan terapi sindrom Cushing. Obat-obat tersebut dapat

menyebabkan hipoaldosteronisme. Aminoglutetimid, metirapon, dan trilostan menghambat

steroid seks adrenal. Dosis rendah dari obat-obat tersebut mungkin tidak berhubungan dengan

hiperkalemia karena sekresi precursor aldosteron, seperti deoksikortikosteron, dapat

memberikan aktivitas mineralokortikoid signifikan.

Obat-obat yang mempengaruhi sistem dopaminergik menyebabkan perubahan

signifikan pada sekresi aldosteron. Aldosteron dipercaya di bawah pengaruh dopamin, oleh

karena itu pemberian agonis dopamin, contohnya bromokriptin, dapat mengganggu sekresi

aldosteron.

2.6. Resistensi Mineralokortikoid

Resistensi mineralokortikoid dapat diartikan kurangnya respon terhadap aldosteron

meskipun jumlahnya dalam tubuh memadai. Aldosteron berikatan dengan reseptor

mineralokortikoid intraseluler, yang berinteraksi dengan DNA. Untuk mempengaruhi

transkripsi gen dan sintesis protein seperti Na/K-ATPase pada permukaan basolateral sel

epotel ginjal dan kanal natrium epitel yang sensitif terhadap amiloride (amiloride-sensitive

epithelial sodium channel/ENaC) pada membran apikal, masuknya natrium yang dimediasi

oleh ENaC ke dalam sel menandai pembatasan reabsorpsi natrium.

2.6.1. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I

Pseudohipoaldosteronisme tipe I (PHA I) adalah kelainan pengeluaran garam

herediter yang jarang, dijabarkan pertama kali pada tahun 1958 sebagai kelainan respon

renal-tubular terhadap mineralokortikoid pada masa balita. Pasien mulai menunjukkan gejala

pada masa neonatus. Manifestasi klinis yang ada yaitu dehidrasi, hiponatremia, hipokalemia,

asidosis metabolik, dan gagal tumbuh meskipun fungsi ginjal dan adrenal normal. Ketika

pasien tidak memberikan respon terhadap terapi mineralokortikoid, harus dipikirkan

kemungkinan PHA I sebagai penyebabnya. Penegakan diagnosis meliputi kadar aldosteron

dan renin plasma yang meningkat. PHA I dapat diturunkan secara resesif maupun dominan.

Anak dengan PHA I memiliki defek primer yang berpengaruh pada reabsorpsi natrium di

ginjal.

Page 16: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Analisis lebih jauh mengenai PHA I menunjukkan bahwa PHA I dapat dibagi menjadi

dua kelompok kelainan yang berbeda dengan karakteristik genetik dan fisiologis yang

berbeda, yaitu PHA I renal dan PHA I multiorgan. PHA I renal mengikuti hukum Mendel dan

diturunkan secara autosomal dominan. Pada penyakit ini, resistensi mineralokortikoid hanya

terbatas pada ginjal. Kondisi pasien akan membaik pada beberapa tahun pertama kehidupan,

sehingga terapi tidak perlu diberikan terus-menerus.

PHA I multiorgan atau generalisata juga mengikuti hukum Mendel tapi diturunkan

secara autosomal resesif. Orangtua pasien biasanya memiliki kadar renin dan aldosteron yang

normal. Dua karakter utama yang membedakan bentuk penyakit ini dengan bentuk renal

adalah pasien memiliki kelainan multiorgan sehingga resistensi mineralokortikoid tidak

hanya terbatas pada ginjal (terdapat pada ginjal, kelenjar keringat, kelenjar liur, dan mukosa

kolon), dan kondisi ini tidak membaik seiring dengan bertambahnya usia pasien. Oleh karena

itu, penyakit ini dianggap lebih parah. Karena reabsorpsi natrium dibarengi dengan sekresi

ion hidrogen dan kalium, pasien sering menunjukkan sekresi kalium dan hydrogen yang

menurun disertai penurunan reabsorpsi natrium. Akibatnya, kalium dan ion hydrogen

terakumulasi dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperkalemia dan asidosis metabolik.

Selain itu, berkurangnya volume vaskuler terdeteksi oleh pembuluh darah pada daerah

jukstaglomerular, menyebabkan peningkatan sekresi renin. Peningkatan kadar renin plasma

akan menyebabkan peningkatan sekresi aldosteron melalui efek angiotensin II.

Pada awalnya PHA I, analog dengan sindrom resistensi hormone steroid, dianggap

disebabkan oleh defek pada reseptor mineralokortikoid, entah karena ketiadaan atau

defisiensi dari reseptor atau karena abnormalitas struktur reseptor (seperti defek pada tempat

pengikatan aldosteron). Gen reseptor mineralokortikoid terdapat pada kromosom 4 dan

terlokalisir pada 4q31.1-31.2. Meskipun terdapat bukti yang mendukung bahwa terdapat

defek pada gen reseptor mineralokortikoid, sebagian besar studi menunjukkan hasil yang

tidak konsisten.

Meskipun keterlibatan reseptor mineralokortikoid pada PHA I belum sepenuhnya

disingkirkan, ada hipotesis bahwa PHA I mungkin merupakan kondisi heterogen yang

disebabkan oleh kelainan pada prereseptor maupun postreseptor. Pada level prereseptor,

mungkin ada beberapa faktor yang berkompetisi dengan tempat pengikatan aldosteron

sehingga menyebabkan kerusakan reseptor mineralokortikoid. Pada level postreseptor, ada

hipotesis bahwa PHA I mungkin disebabkan defek pada salah satu atau kedua proteiun yang

dipengaruhi aldosteron, yaitu Na/K-ATPase dan atau ENaC.

Page 17: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

2.6.2. Kanal Natrium Epitelial yang Sensitif terhadap Amiloride (ENaC)

ENaC adalah kanal natrium selektif yang terdapat pada permukaan apikal dari epitel

jaringan yang mereabsorpsi garam, meliputi nefron distal, kolon distal, kelenjar keringat,

kelenjar liur, paru-paru, dan taste bud. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, ENaC

memiliki peran penting dalam kontrol keseimbangan natrium, volume cairan ekstraseluler,

dan tekanan darah, karena pemasukan natrium oleh ENaC ke dalam sel pada epitel tersebut

menunjukkan pembatasan transpor natrium dari sisi mukosal menuju sisi serosal. Kanal-kanal

ini memfasilitasi transpor natrium ke salam sel melalui difusi tanpa dipengaruhi oleh aliran

zat terlarut lain dan tanpa menggunakan energy metabolik. ENaC sering disebut “sensitif

terhadap amiloride” karena sensitivitasnya yang tinggi terhadap amiloride dan analognya.

Kanal-kanal ini distimulasi langsung oleh aldosteron dan dihambat oleh amiloride.

ENaC terdiri dari tiga subunit, yaitu a, b, dan g. Tiga subunit tersebut 35% homolog

pada level asam amino dan bertahan melalui evolusi. Tiga subunit tersebut juga memiliki

struktur yang mirip dan memiliki karakteristik berikut: terminal karboksil asam amino

intraseluler pendek, dua daerah transmembran, dan lengkung ekstraseluler besar. Lokus

genetic pengkodean subunit a ENaC sudah dilacak pada kromosom 12, dan gen pengkodean

subunit b an g sudah dilacak pada kromosom 16. Subunit a sudah terlokalisir pada 12p13.1-

pter, dan subunit b dan g sudah terlokalisir pada 16p12.2-13.11. Subunit a dianggap sebagai

subunit yang paling penting dalam fungsi ENaC.

2.6.3. Dua Tipe Pseudohipoaldosteronisme Tipe I

Subunit a adalah subunit terpenting dari tiga subunit ENaC dan diperlukan untuk

aktivitas ENaC dapat berjalan normal. Oleh karena itu, dapat dibuat asumsi bahwa sebuah

subunit a yang tidak memiliki semua daerahnya bisa menyebabkan protein kanal yang tidak

berfungsi. Kedua mutasi ini menyebabkan hilangnya aktivitas ENaC kaerna kedua daerah

transmembran diperlukan untuk aktivitas kanal yang normal.

Pada subunit b, mutasi menyebabkan penggantian glisin menjadi serin pada asam

amino 37. Glisin pada posisi 37 subunit b ENaC terletak pada segmen sebelum daerah

transmembran pertama yang homolog dengan seluruh gen ENaC lain. Mutasi pada subunit b

telah dibuktikan menghilangkan aktivitas ENaC tetapi tidak menyebabkan hilangnya aktivitas

sepenuhnya. Meskipun mutasi ini ada, aktivitas ENaC masih lebih tinggi bila dibandingkan

dengan hilangnya subunit b.

Kerja ENaC melibatkan mekanisme kompleks yang masih belum dimengerti secara

jelas. Akan tetapi, diduga bahwa segmen yang terdiri 20 asam amino dan mengandung glisin

Page 18: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

mengontrol kerja ENaC sehingga mutasi glisin menjadi serin pada subunit b akan

mengganggu terbukanya ENaC. Mutasi glisin akan mengganggu fungsi normal ENaC dan

merubah ekuilibrium dari pembukaan ENaC, sehingga waktu terbuka akan menjadi pendek

dan akan waktu tertutup akan memanjang. Selain itu, glisin merupakan bagian dari daerah

fungsional ENaC yang diatur secara langsung atau tidak langsung oleh aldosteron. Seperti

yang sudah dikemukakan sebelumnya, ENaC distimulasi oleh aldosteron. Hipotesis yang

sudah dikemukakan sebelumnya akan membantu dalam penjelasan mengapa pasien PHA I

dengan mutasi ini pada subunit b tidak memberikan respon terhadap peningkatan kadar

aldosteron dan pemberian mineralokortikoid eksogen.

Dua mutasi tambahan pada subunit g ENaC menjelaskan penyebab PHA I autosomal

resesif. Satu mutasi melibatkan penggantian tiga asam amino, yaitu Lys-Tyr-Ser oleh Asn di

lengkung ekstraseluler yang bersebelahan langsung dengan daerah transmembran. Mutasi

yang kedua adalah delesi 300 nukleotida pada lengkung ekstraseluler yang memasukkan

kodon stop sebelum daerah transmembran kedua. Kedua mutasi ini diduga menyebabkan

hilangnya sebagian atau seluruh fungsi ENaC.

2.6.3.1. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Multiorgan

Mengetahui bahwa PHA I dapat disebabkan oleh hilangnya fungsi ENaC, para

peneliti berusaha untuk membuktikan bahwa kode mutasi dari subunit a, b, dan g dari ENaC

(berlawanan dengan apa yang terjadi pada sindrom Liddle) dapat menyebabkan ENaC

menjdi tidak fungsional dan tidak member respon terhadap mineralokortikoid. Telah

ditemukan tiga mutasi yang menyebabkan hilangnya fungsi ENaC pada neonatus dengan

PHA I tipe multiorgan. Mutasi ini memperjelas perbedaan antara dua bentuk PHA I.

Dua dari mutasi tseresebut melibatkan subunit a dan satu mutasi melibatkan subunit

b. pada subunit a, delesi dua pasang basa pada kodon 168 menyebabkan mutasi dan

menyebabkan kerusakan protein sebelum daerah transmembran pertama. Mutasi lain pada

subunit a adalah substitusi satu basa pada kodon R508 yang mengganti basa sitosin menjdi

timin. Ini menyebabkan pemendekan subunit a sebelum daerah transmembran edua dengan

measukkan kodon terminasi premature pada daerah ekstraseluler. Hal ini menyebabkan

produksi normal daerah transmembran pertama, tetapi tidak adanya produksi daerah

transmembran kedua atau terminal karboksil di sitoplasma, dan produksi daerah ekstraseluler

yang tidak lengkap.

2.6.3.2. Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Renal

Page 19: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Ketika dasar genetika dan patofisiologi PHA I tipe multiorgan atau autosomal resesif

sudah ditetapkan, dan penelitian telah menunjukkan bahwa ENaC mungkin tidak terlibat

dalam patofisiologi PHA I tipe renal atau autosomal dominan, perhatian teralih pada reseptor

mineralokortikoid. Meskipun beberapa penelitian sudah menemukan bukti yang mendukung

bahwa reseptor mineralokortikoid berperan dalam PHA I, penelitian yang lainnya tidak

berhasil menemukan mutasi fungsional pada pengkodean gen reseptor mineralokortikoid.

Secara retrospektif, perlu diingat bahwa hampir semua penelitian tersebut menginvestigasi

pasien dengan PHA I tipe autosomal resesif, yang sudah dikaitkan dengan ENaC. Dua mutasi

sudah diidentifikasi dan hal itu membantu menjelaskan penyebab yang mendasari PHA I tipe

renal. Analisis genetik menemukan delesi dua basa pada ekson 2, yaitu pada kodon 335 dan

kodon 459. Kedua delesi ini menyebabkan produk gen yang tidak memiliki DNA dan daerah

pengikatan hormon.

2.6.3.3. Perbaikan Pseudohipoaldosteronisme Tipe I Renal dengan

Bertambahnya Usia Pasien

Hipotesis yang dapat diterima mengenai perbaikan PHA I dengan bertambahnya usia

adalah peran penting aldosteron dalam homeostasis garam akan menghilang karena

perubahan diet menjadi diet dengan kadar garam lebih tinggi. ASI memiliki kadar natrium

yang sangat rendah, dan kadar aldosteron meningkat pada masa kanak untuk meningkatkan

reabsorpsi natrium. PHA I yang akan bermanifestasi hanya terjadi pada anak-anak dengan

homeostasis garam yang dipengaruhi penyakit lain dengan deplesi volume. Akan tetapi,

perbaikan dengan pertambahan usia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

2.6.4. Tatalaksana

Pasien PHA I resisten terhadap terapi mineralokortikoid. Oleh karena itu, terapi

standar melibatkan suplementasi natrium klorida (2-8 gram per hari) dan resin pertukaran

kation. Ini biasanya akan memperbaiki ketidakseimbangan biokimiawi pasien. Tetapi, bila

pasien menunjukkan tanda hiperkalemia berat, dialisis peritoneal mungkin diperlukan. Pada

pasien PHA I dengan hiperkalsiuria, terapi yang direkomendasikan biasanya ditambajkan

indometasin atau hidroklorotiazid. Indometasin diduga menyebabkan penurunan GFR dan

atau inhibisi efek prostaglandin E2 pada tubulus renal. Indometasin mengurangi poliuria,

kehilangan natrium, dan hiperkalsiuria. Hidroklorotiazid, yang merupakan diuretik boros

kalium dan kadang diberikan untuk mengatasi hiperkalemia, juga dapat menekan

hiperkalsiuria pada pasien PHA I.

Page 20: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Pada pasien dengan PHA I bentuk renal, tanda dan gejala akan berkurang seiring

bertambahnya usia. Akan tetapi, suplementasi garam diperlukan pada dua hingga tiga tahun

pertama kehidupan. Pada pasien PHA I tipe multiorgan atau autosomal resesif, resistensi

terhadap terapi dengan natrium klorida atau obat-obatan yang mengurangi kadar kalium

serum sering terjadi dan bahkan dapat mennyebabkan kematian karena hiperkalemia. Pasien-

pasien ini sering memerlukan garam dengan jumlah sangat tinggi dalam diet mereka

(mencapai 45 gram NaCl per hari).

Karbenoksolon, derivate dari asam glisiretinat, dapat membantu mengurangi

kebutuhan garam dalam diet pasien PHA I tipe renal (tetapi tidak berguna dalam terapi PHA I

multiorgan). Karbenoksolon bekerja dengan menghambat aktivitas 11b-hidroksisteroid

dehidrogenase (11b-HSD). Enzim ini banyak terdapat pada jaringan yang responsif terhadap

aldosteron dan memunculkan efek mineralokortikoid terutama pada pasien PHA I tipe renal.

Normalnya, 11b-HSD memiliki efek antimineralokortikoid karena ia mengubah kortisol

menjadi bentuk tidak aktif yaitu kortison. Akan tetapi dengan menghambat enzim ini,

karbenoksolon menyebabkan kortisol yang tidak dimetabolisme berikatan dengan dan

mengaktivasi reseptor mineralokortikoid seperti aldosteron.

2.6.5. Sindrom Liddle (Pseudoaldosteronisme)

Pada tahun 1994, ditemukan penjelasan mengenai penyebab yang mendasari sindrom

Liddle, sebuah kelainan dengan gejala fisiologis berlawanan dengan PHA I. Kondisi ini, yang

disebut juga pseudoaldosteronisme, adalah hipertensi autosomal dominan yang ditandai

dengan ekspansi volume, hipokalemia, dan alkalosis. Dengan analisis genetik, penyakit ini

dilacak hingga ditemukan dua mutas khas pada gen pengkodean subunit ENaC. Sindrom

Liddle disebabkan oleh mutasi pada gen dalam pengkodean subunit b dan g dari ENaC, yang

kemudian menyebabkan pemendekan terminal karboksil sitoplasma. Hal in kemudian

menyebabkan aktivasi ENaC. Sekarang ini diyakini bahwa mutasi tersebut meningkatkan

jumlah kanal natrium pada membran apikal.

2.6.6. Pseudohipoaldosteronisme Tipe II

Pseudohipoaldosteronisme tipe II (PHA II), disebut juga hiperkalemia dan hipertensi

familial atau sindrom Gordon, adalah kelainan non-salt-wasting yang ditandai oleh

hiperkalemia dengan GFR normal dan hipertensi. Hiperkloremia, asidosis metabolik, dan

penurunan kadar renin plasma juga dapat ditemukan. Analisis genetik mengungkapkan

transmisi autosomal dominan dan heterogenisitas lokus pada kromosom 1q31-q24 dan

Page 21: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

17p11-q21.15. Meskipun patogenesis penyakit ini masih belum diketahui jelas, penelitian

menunjukkan kemungkinan adanya defek yang melibatkan reabsorpsi natrium ginjal sebelum

tempat bekerjanya aldosteron, defek membran menyeluruh yang mengganggu pergerakan ion

kalium ke dalam sel, atau peningkatan reabsorpsi klorida oleh ginjal yang kemudian akan

mengganggu sekresi kalium. Pengobatan dengan kombinasi furosemid, desmopresin, dan

natrium bikarbonat efektif dalam mengontrol hiperkalemia, hipertensi, hiperkloremia, dan

asidosis metabolik hiperkloremik.2

BAB III

KESIMPULAN

Aldosteron merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh tubuh dan berperan

penting dalam homeostasis cairan dan elektrolit. Aldosteron merupakan hormon. dengan

aktivitas mineralokortikoid terbesar. Kekurangan sekresi aldosteron dapat menyebabkan

tubuh kehilangan cairan dan natrium dalam jumlah banyak sehingga dapat mengancam hidup

penderitanya.

Hipoaldosteronisme dapat diakibatkan oleh berbagai macam sebab, seperti kelainan

bawaan, kerusakan zona glomerulosa kelenjar adrenal, pengaruh obat, atau adrenalektomi.

Tubuh juga dapat mengalami resistensi terhadap mineralokortikoid. Meskipun tubuh

memiliki kadar mineralokortikoid dalam jumlah memadai, tubuh gagal memberikan respon

terhadap mineralokortikoid.

Evaluasi pada pasien dengan hipoaldosteronisme meliputi pemeriksaan laboratorium

seperti pemeriksaan kadar hormon aldosteron, kadar renin, elektrolit serum, dan elektrolit

urin. Dengan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, diharapkan hipoaldosteronisme dapat

ditangani dengan lebih spesifik.

Kelainan hipoaldosteronisme primer disebabkan oleh kelainan genetik, penyakit

autoimun, dan karena penyakit lain sehingga mengganggu fungsi adrenal. Kelainan sekunder

disebabkan oleh kelainan ginjal, pengaruh obat, atau pada pasien pasca adrenalektomi.

Resistensi mineralokortikoid atau pseudohipoaldosteronisme disebabkan oleh kelainan

genetik sehingga menyebabkan kelainan pada reseptor aldosteron, baik pada ginjal maupun

pada organ lainnya.

Page 22: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

Tatalaksana pada pasien hipoaldosteronisme tergantung penyebabnya, tetapi secara

umum meliputi pengaturan keseimbangan garam dalam tubuh dan pemberian cairan untuk

ekspansi volume bila terjadi deplesi. Pengaturan keseimbangan garam dalam tubuh dapat

dilakukan melalui diet dan pemberian suplemen garam.

Page 23: Referat Hipoaldosteronisme Carolus

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC, Hall JE, editors. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia:

Elsevier Saunders; 2006.

2. Melby JC. Hypoaldosteronism. In: Becker KL, editor. Principles and Practice of

Endocrinology and Metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;

2001.

3. Kutikov A, Crispen PL, Uzzo RG. Pathophysiology, Evaluation, and Medical

Management of Adrenal Disorders. In: Wein JA, Kavoussi LR, Novick AC, Partin

AW, Peters CA, editors. Campbell-Walsh Urology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier

Saunders; 2012.

4. Longo DL et al, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. New

York: McGraw-Hill; 2012.

5. Von Eckardstein A. Differential Diagnosis of Laboratory Test Results. In:

Siegenthaler W, editor. Differential Diagnosis in Internal Medicine: from Symptoms

to Diagnosis. New York: Thieme; 2007.