referat hemodialisa

35
BAB I. PENDAHULUAN Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang berlangsung lama, progresif dan irreversible dan disertai anemia dan hipertensi. Gagal ginjal kronik yang mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang megalami penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 15 ml/menit. Pada keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang berat. Sejak tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisa merupakan terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau dialyzer). Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun 1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan pasien. Kebanyakan ahli ginjal 1

Upload: farida-yan-pratiwi-kurnia

Post on 29-Jan-2016

33 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

referat hemodialisa

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Hemodialisa

BAB I. PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik adalah penyakit ginjal yang berlangsung lama, progresif

dan irreversible dan disertai anemia dan hipertensi. Gagal ginjal kronik yang

mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang megalami penurunan

fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) kurang dari 15 ml/menit. Pada

keadaan ini fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin

dalam tubuh yang disebut uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi

pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin

tubuh sehingga tidak terjadi gejala yang berat.

Sejak tahun 1960 hemodialisa diterapkan sebagai suatu terapi pengganti ginjal

pada pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal terminal. Hemodialisa merupakan

terapi pengganti yang bertindak sebagai ginjal buatan (artificial kidney atau

dialyzer). Hemodialisa sebagai terapi penyakit ginjal end-stage digunakan lebih

dari 300.000 orang di Amerika Serikat. Standarisasi terapi ini dimulai pada tahun

1973 oleh beberapa ahli seperti Kolff, Merrill, Sribner dan Schreiner. Terapi ini

juga mempertimbangkan segi pendidikan, pekerjaan, dan kondisi kesehatan

pasien. Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan terapi berdasarkan

kesehatan penderita yang terus diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat

jalan.

Hemodialisa merupakan salah satu terapi faal ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan zat – zat metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan

air dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan

dialisat melalui membrane semipermeabel yang bersifat sebagai pengganti ginjal.

Hemodialisis sering disebut pada orang awam sebagai terapi cuci darah.

Hemodialisa terbukti dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup

penderita gagal ginjal terminal.

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang ini

telah dilaksanakan pada banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan

ginjal yang kompartemen darahnya adalah kapiler selaput semipermeabel (hollow

1

Page 2: Referat Hemodialisa

fibre kidney). Biasanya di Indonesia hemodialisa dilakukan 2 kali seminggu.

Setiap kali hemodialisa dibutuhkan waktu selama kurang lebih 5 jam. Di beberapa

pusat dialisis lainnya ada yang dilakukan hemodialisa 3 kali seminggu dengan

lama dialisis 4 jam. Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur

tertinggi sampai sekarang adalah 14 tahun.(1)

2

Page 3: Referat Hemodialisa

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hemodialisa berasal dari kata hemo dan dialisa. Hemo adalah darah

sedangkan dialisa adalah pemisahan atau filtrasi. Pada prinsipnya hemodialisa

menempatkan darah berdampingan dengan cairan dialisat atau pencuci yang

dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semi permeabel. Membran ini

dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dial isis

yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permeable.

Menurut Price dan Wilson (2005), dialisa merupakan suatu proses solute

dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari

kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa

peritoneal merupakan dua tehnik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip

dasar kedua teknik tersebut sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke

larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan

tertentu.

Sedangkan menurut Tisher dan Wilcox, hemodialisa didefinisikan

sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran

semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan

untuk memindahkan sebagian besar volume cairan. Pemindahan ini dilakukan

melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik menyebabkan aliran yang besar

dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan) melalui membran.

Dengan memperbesar jalan masuk pada vaskuler, antikoagulansi dan produksi

dializer yang dapat dipercaya dan efisien, hemodialisa telah menjadi metode

yang dominan dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika

Serikat.

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus

yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan

untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar

dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke

3

Page 4: Referat Hemodialisa

aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula

arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006).

2.2 Indikasi

Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila GFR < 5

mL/menit yang dalam praktek dianggap demikian bila TKK < 5 mL/menit.

Keadaan pasien yang hanya mempunyai TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama,

sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal

tersebut dibawah: (1)

1. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata

Penderita dapat mengalami gangguan kesadaran. Adanya gangguan asidosis

metabolik dan atau gejala sindrom uremia seperti mual, muntah dan

anoreksia. Tanda – tanda overload cairan seperti edem, sesak napas akibat

edema paru, serta adanya gangguan jantung. Penderita juga dapat

mengeluhkan sulit kencing (anuria) lebih dari 5 hari.

2. Pemeriksaan Laboratorium ditemukan :

a. Kreatinin serum > 6 mg/dL

b. Ureum darah > 200 µ/dL

c. pH darah < 7,1

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)

(2003) secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerolus (LFG)

kurang dari 15 mL/menit, LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia

atau malnutrisi dan LFG kurang dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat

menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga disebutkan adanya indikasi

khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem paru, hiperkalemia,

asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.(5,6,15)

Thiser dan Wilcox menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya dimulai

ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan

kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia

dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan

hemodialisa. (18)

4

Page 5: Referat Hemodialisa

Tabel 2. Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan Clearance

Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal

Perbandingan Nilai Kreatinin, Laju Filtrasi Glomerulus dan

Clearance Creatinin Rate untuk menilai Fungsi Ginjal

Nilai GFR

(mg/dl)

Kreatinin

(ml/menit/1,73 m2)

Clearance Rate

(ml/menit)

Normal >90 Pria : <1,3

Wanita : <1,0

Pria : 90-145

Wanita : 75-115

Gangguan

Ginjal Ringan

60-89 Pria : 1,3-1,9

Wanita : 1,0-1,9

56-100

Gangguan

Ginjal Sedang

30-59 2-4 35-55

Gangguan

Ginjal Berat

15-29 >4 <35

2.3 Kontraindikasi

Menurut Thiser dan Wilcox, kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi

yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak

organik. Sedangkan menurut PERNEFRI kontra indikasi dari hemodialisa adalah

tidak didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler sulit,

instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa yang lain

diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark, sindrom

hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut.(15)

2.4 Persiapan Hemodialisa

5

Page 6: Referat Hemodialisa

Persiapan perlu dilakukan sebelum tindakan hemodialisis dijalankan agar

perlakuan ini dapat berjalan dengan baik dan optimal. Persiapan ini dapat berupa

non‐medik maupun medik.

1. Persiapan Non‐Medik

Persiapan ini hanya dapat dilakukan bila pasien sudah diketahui

menderita GGK sebelum mencapai GGK stadium‐V. Makna dari GGK perlu

dijelaskan kepada pasien secara bijak agar mereka mengerti bahwa GGK

bersifat progresi menuju GGK stadium‐V.

2. Persiapan Medik

Pengobatan anemia pre‐dialisis perlu dilakukan agar pada saat

dilakukan hemodialisis, perlakuan dialisis ini dapat dimulai dengan baik dan

aman. Risiko kematian pada pasien dalam dialisis ternyata menjadi lebih

rendah terutama dalam 19 bulan pertama bila pada masa predialisis sudah

diberikan eritropoetin, makin tinggi hematokrit pada saat dialisis dimulai

makin rendah risiko kematian. Anemia pada GGK sudah mulai terlihat pada

stadium‐III. Menurut data dari NAHNES‐III dalam populasi Amerika,

diketahui bahwa frekuensi anemia meningkat seiring meningkatnya stadium

GGK: 1% pada GGK stadium‐III, 9% pada stadium‐IV, dan 33% pada laki‐

laki atau 67% pada perempuan setelah mencapai stadium‐V.

2.5 Perangkat Hemodialisa

a. Mesin hemodialisis

Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran

semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian

lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah

dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer

merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan

serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian

tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya.

6

Page 7: Referat Hemodialisa

Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas

akibat adanya banyak tabung kapiler.(8,9,10,16)

Gambar 1. Hemodializer dan hollow fiber

Mesin hemodialisis berperan dalam mencampur cairan dialisat dalam

bentuk konsentrat dengan air bersih olahan sehingga menghasilkan cairan

dialisat yang mengandung solut dengan kadar yang sama dengan kadar solut

tersebut dalam plasma darah normal. Cairan dialisat ini kemudian dialirkan

oleh mesin dengan kecepatan standar 500 mL/menit ke dalam dialiser. Pada

mesin yang baru sekarang, kecepatan aliran dialisat dapat diatur sesuai

kebutuhan, misalnya bila mesin dipakai untuk metode dialisis SLED

(Sustained Low Efficiency Daily Dialysis). Mesin hemodialisis juga berperan

dalam mengatur besarnya ultrafiltrasi yang diinginkan selama hemodialisis

berjalan, dengan mengatur tekanan negatif dalam kompartemen dialisat dari 3

dialiser. Peranan mesin hemodialisis lainnya adalah memompa darah dari

pasien ke dialiser dan kembali lagi ke pasien dengan kecepatan yang dapat

diatur sesuai kebutuhan. Kecepatan aliran darah yang dianjurkan adalah antara

250‐400 mL/menit.

b. Membran dialiser

Membran dialiser merupakan membran yang semi permeabel berupa

membran yang tidak membatasi pergerakan air dari kompartemen darah

dialiser ke kompartemen dialisat dialiser atau sebaliknya, akan tetapi

membatasi pergerakan solut dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat

atau sebaliknya sesuai besarnya diameter pori membran dialiser. Solut yang

7

Page 8: Referat Hemodialisa

lebih besar dari diameter pori tidak bisa melakukan pergerakan diantara kedua

kompertemen tersebut.

Berdasarkan pergerakan solut, membran dialiser diklasifikasikan dalam

low atau high‐flux dan low atau high‐efficiency. High‐efficiency ditujukan

kepada membran selulose standar dengan luas permukaan membran yang

besar, dan low‐efficiency adalah sebaliknya. High‐flux ditujukan kepada

membran sintetik dengan pori yang besar sehingga memungkinkan solut

berdiameter besar dapat melaluinya, demikian sebaliknya pada low‐flux.

Jenis membran dialiser dapat diklasifikasi juga atas membran terbuat dari

selulose, selulose yang diperkaya, dan membran sintetik. Membran yang

terbuat dari selulose atau disebut cuprophane merupakan membran generasi

pertama. Membran yang terbuat dari selulose diperkaya misalnya selulose‐

asetat atau selulose‐triasetat ditujukan untuk membuat membran tersebut lebih

kompatibel dengan darah. Membran sintetik merupakan membran yang

kompatibel dengan darah dengan pori lebih besar dari membran selulose. Ada

lagi membran yang merupakan gabungan dari selulose dengan sintetik. Luas

permukaan membran juga ada beberapa jenis mulai dari ukuran 0,9 m2 hingga

1,6 m2.

c. Arterio-venosa shunt

Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah

kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah

membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu

ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga

keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh

dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt

(AV-shunt).(10,11)

8

Page 9: Referat Hemodialisa

Gambar 2. Sirkuit

d. Air bersih olahan

Air bersih olahan merupakan air tanah yang dipakai untuk mengencerkan

konsentrat cairan dialisat. Air tanah tersebut harus diolah dengan memakai

alat dan bahan tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk dipakai.

Persyaratan yang dibutuhkan adalah sama dengan persyaratan air minum yaitu

persyaratan fisik, mikrobiologi, kimiawi, dan radioaktip. Pengolahan air

sampai bisa digunakan melalui beberapa tahapan yaitu saringan kasar, karbon,

pelunak air, reverse‐osmosis, deioniser, dan saringan ultra (Gambar 2). Fungsi

masing-masing tahapan itu adalah : (1) saringan kasar untuk menahan pasir;

(2) karbon untuk mengeliminasi chloramin yang sangat toksik; (3) pelunak air

atau water softener digunakan untuk mengganti ion‐kalsium dan magnesium

dengan natrium; (4) reverse‐osmosis atau RO digunakan untuk menyaring

kontaminan bakteri, virus, dan endotoksin; (5) deioniser untuk menukar

kation dengan ion‐H dan anion dengan ion‐OH sehingga membentuk air yang

sangat murni; dan (6) saringan‐ultra untuk menyaring bakteri atau virus yang

masih tertinggal.

9

Page 10: Referat Hemodialisa

Gambar 3. Bagan tahap pengolahan air untuk hemodialisis mulai dari air

tanah hingga masuk ke dalam bak penampung air siap pakai.

e. Cairan Dialisat

Cairan dialysis adalah cairan yang digunakan pada proses hemodialisa,

terdiri dari campuran air dan elektrolit yang mempunyai konsentrasi hampir

sama dengan serum normal dan mempunyai tekanan osmotic yang sama

dengan darah. Fungsi cairan dialysis adalah mengeluarkan dan menampung

cairan serta sisa-sisa metabolisme dari tubuh, serta mencegah kehilangan zat-

zat vital dari tubuh selama dialisa. Cairan dialysis mengandung macam-

macam garam, elektrolit dan atau zat antara lain :

a. NaCl / Sodium Chloride.

b. CaCl2 / Calium Chloride.

c. Mgcl2 / Magnesium Chloride.

d. NaC2H3O2 3H2O / acetat atau NaHCO3 / Bikarbonat.

e. KCl / potassium chloride, tidak selalu terdapat pada dialisat.

f. Dextrose.

2.6 Proses Hemodialisa

Dalam proses hemodialisa diperlukan suatu mesin hemodialisa dan suatu

saringan sebagai ginjal tiruan yang disebut dializer, yang digunakan untuk

menyaring dan membersihkan darah dari ureum, kreatinin dan zat-zat sisa

metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh. Untuk melaksanakan hemodialisa

10

Page 11: Referat Hemodialisa

diperlukan akses vaskuler sebagai tempat suplai dari darah yang akan masuk ke

dalam mesin hemodialisa.

Gambar 4. Proses Hemodialisa

Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis

dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses

difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, kecairan

dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah.

a. Difusi

Difusi adalah berpindahnya solut melewati membran semipermeabel dari

kompartemen cairan dengan kadar solut yang tinggi ke dalam kompartemen

cairan dengan kadar solut yang lebih rendah. Dalam hal hemodialisis,

berpindahnya solut dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah dan

demikian sebaliknya. Efisiensi gerakan solut ini makin tinggi dengan makin

luasnya permukaan membran semipermeabel tersebut yang disebut dengan

istilah high‐efficient. Besarnya jumlah solut dengan berbagai ukuran bergerak

melalui membran semipermeabel tergantung kepada diameter pori pada

membran. Makin besar diameter pori makin banyak jumlah solut yang dapat

berpindah atau disebut dengan istilah high‐flux. Membran yang terbuat dari

selulose memiliki diameter pori lebih kecil dibandingkan dengan membran

yang sintetik. Kemampuan perpindahan solut ini juga dipengaruhi oleh

cepatnya aliran darah dalam kompartemen darah dan aliran dialisat dalam

11

Page 12: Referat Hemodialisa

kompartemen dialisat. Pada proses hemodialisis, arah aliran darah dan arah

aliran cairan dialisat adalah berlawanan. Makin cepat aliran darah maupun

aliran dialisat, perpindahan solut makin lebih efisien.

b. Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi adalah berpindahnya air dari kompartemen darah ke

kompartemen dialisat. Mesin hemodialisis mampu menciptakan tekanan

negatif dalam kompartemen dialisat, dialiser tipe hollowfiber, sehingga air

dari kompartemen darah akan bergerak menuju kompartemen dialisat.

Perbedaan tekanan dalam kedua kompartemen tersebut disebut dengan istilah

trans‐membrane pressure (TMP). Makin tinggi TMP, makin besar volume air

yang bergerak ke kompartemen dialisat. Besarnya TMP dapat diatur pada

skala ultrafiltrasi pada mesin hemodialisis. Dengan demikian besarnya volume

air yang akan dikurangi dari tubuh pasien dapat diatur sesuai dengan yang

dinginkan.

c. Konveksi

Konveksi adalah bergeraknya solut dari kompartemen darah ke kompartemen

dialisat dengan mengikuti pergerakan air. Dapat dianalogikan dengan

bergeraknya sampah mengikuti gerakan air sungai.

Gambar 5. Aliran Darah Pada Proses Hemodialisa

12

Page 13: Referat Hemodialisa

Sebagai kesimpulan dari ketiga proses ini maka dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

a. Kliren atau bersihan dialiser terhadap toksin uremik terutama dipengaruhi

oleh proses difusi, lalu ditambah oleh proses konveksi. Jenis dan luas

permukaan membran, kecepatan aliran darah dan dialisat berpengaruh pada

kliren.

b. Pergerakan besaran volume air dari kompartemen darah dipengaruhi oleh

tingginya TMP.

Menurut PERNEFRI waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan

dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4–5 jam dengan

frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10–15 jam/minggu

dengan QB 200–300 mL/menit. Pada akhir interval 2–3 hari diantara

hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH sudah tidak normal lagi.

Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena sebagian sel darah

merah rusak dalam proses hemodialisa.

2.7 Adekuasi Hemodialisis

Adekuasi hemodialisis memiliki peran yang sentral atau merupakan tujuan

utama dalam melaksanakan dialisis disemua pusat dialisis. Tanpa memiliki tujuan

seperti ini adalah suatu pekerjaan yang sia‐sia bagi pusat dialisis tersebut.

Tercapainya dialisis yang adekuat sudah tentu menuntut berbagai faktor antara

lain sumber daya manusia yang trampil dan baik, dialisis masih merupakan

pengobatan biaya tinggi, ketersediaan dialiser yang cukup dalam berbagai luas

permukaan membran, pemeriksaan laboratorium yang teratur, dan waktu dialisis

yang cukup yaitu minimal 3 kali seminggu @4 jam. Bila seluruh faktor ini tidak

terpenuhi, tidaklah mungkin bagi pusat dialisis tersebut mengharapkan seluruh

pasiennya mencapai dialisis yang adekuat.

Penilaian adekuasi hemodialisis dapat diukur secara klinis yaitu dengan

melihat gejala‐gejala akibat uremia yang ada pada pasien atau dapat diukur secara

matematik. Kedua pengukuran ini tidak bisa saling berdiri sendiri. Pengukuran

13

Page 14: Referat Hemodialisa

dengan melihat gejala dapat memberikan hasil yang keliru karena banyak pasien

sekarang sudah memakai ESA (Erythropoiesis‐stimulating agents) yang dapat

menutupi gejala uremia akibat tidak ada anemia lagi, demikian juga pengukuran

secara matematis tidak dapat memberi kesimpulan yang sempurna. Penilaian

adekuasi hemodialisis sebaiknya menggunakan kedua parameter ini.

a. Parameter Klinis

Gejala uremia yang timbul akibat PGK (Penyakit Ginjal Kronik)

Stadium V merupakan gambaran klinis yang diamati pada pasien yang

menjalani dialisis kronik. Secara ideal seluruh gejala tersebut menghilang

selama program dialisis berlangsung. Bila gejala tersebut masih ada yang

terlihat, ini menunjukkan bahwa dialisis yang dilakukan belum adekuat.

Anemia yang teratasi dengan pemberian ESA dapat menghilangkan sebagian

gejala akibat uremia seperti gangguan kognitif membaik, perasaan lemah dan

sesak napas hilang yang menyebabkan penilaian adekuasi menjadi tersamar.

Gejala uremia yang terlihat pada PGK lanjut antara lain anoreksia,

nausea, muntah, insomnia, kelebihan air, hiperkalemia, asidosis metabolik,

hipertensi, anemia, perikarditis, pruritus, neuropati perifer, gangguan kognitif,

gangguan tulang, penyakit pembuluh darah perifer, kejang, dan koma. Dialisis

disebut adekuat bila seluruh gejala uremia ini dapat dicegah atau dihilangkan.

b. Parameter Matematik

Laporan dari The National Cooperative Dialysis Study (NCDS) tahun

1981 menjelaskan bahwa timed average urea concentration (TACurea) dan

the protein catabolic rate (PCR) merupakan penanda yang penting terhadap

morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisis. TACurea = {Td (C1+C2) + Id

(C2+C3)} /2(Td+Id) dimana Td adalah waktu dialisis, C1 adalah BUN pre‐

dialisis pertama, C2 adalah BUN pos‐dialisis pertama, C3 adalah pre‐dialisis

BUN dialisis berikutnya, dan Id adalah interval waktu antara 2 dialisis. TAC

yang rendah pada pasien dialisis dengan gizi yang baik memberikan hasil

yang baik. PCR merupakan penjumlahan urea, protein, dan asam amino dalam

feses dengan dalam dialisat. Pada pasien yang adekuat dialisisnya, PCR

14

Page 15: Referat Hemodialisa

(gram/hari) sama dengan asupan protein sehari. PCR yang disebut juga

sebagai protein equivalent of nitrogen appearance (PNA) dipakai untuk

mengkaji asupan protein pasien dialisis. Rumusnya adalah 0,22 + {(0,036 x

peningkatan BUN interdialisis x 24)} / jam interval interdialisis. Bila pasien

masih mengeluarkan urin maka rumus di atas ditambahkan lagi dengan (gram

Urea‐nitrogen urin x 150) / (jam interval interdialisis X berat badan dalam

kg). Satuan dari PCR adalah gram/hari. Target PCR adalah 1‐1,2 gram/hari,

sesuai rekomendasi dari American dan European Hemodialysis Guidelines.

Gotch FA dan Sargent JA pada tahun 1985 mengusulkan pemakaian

Kliren Dialiser terhadap urea dengan rumus Kt/V untuk menilai adekuasi

hemodialisis. K merupakan nilai kliren terhadap urea yang diberikan oleh

pabrik pembuat dialiser, t adalah waktu lamanya dialisis, dan V adalah

volume distribusi urea dalam tubuh yang sama dengan volume total air dalam

tubuh. Secara matematik, Kt/V dapat dihitung dengan rumus: ‐ln (R ‐ 0.008t)

+ [(4 ‐ 3.5R) x (UF ÷ W)]. R adalah rasio BUN posdialisis dan BUN

predialisis, UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter, dan W adalah berat

badan posdialisis.

Cara sederhana lain yang digunakan untuk menilai adekuasi

hemodialisis adalah menghitung apa yang disebut dengan urea reduction ratio

(URR). URR = (1 ‐ [BUN posdialisis ÷ BUN predialisis]). Para pakar lain ada

juga yang memakai apa yang disebut dengan percent reduction in urea (PRU)

yaitu hasil URR dikalikan dengan 100 untuk memperoleh nilai dalam persen.

Menghitung Kt/V dapat juga dilakukan dengan memakai PRU yaitu:

Kt/V = (0.026 x PRU) ‐ 0.460

atau Kt/V = (0.024 x PRU) ‐ 0.276

Pengambilan contoh darah untuk mengukur BUN posdialisis sangat

penting karena akan mempengaruhi hasil. Cara yang banyak dipakai adalah

dengan mengambil sampel darah pada saat detik ke‐15 setelah aliran darah

dilambatkan (Qb 100 ml/menit) pada akhir dialisis. Kerugian cara ini adalah

15

Page 16: Referat Hemodialisa

bahwa kadar urea dalam sampel ini bukan merupakan urea yang sudah terbagi

seimbang di dalam maupun di luar sel sehingga menghasilkan perhitungan

melebihi 0,2 kali dari yang sebenarnya. Berdasarkan penelitian yang

kemudian dilakukan, sampel darah yang diambil pada menit ke‐30 posdialisis

(equilibrated postdialysis BUN) akan memberikan hasil yang akurat.

Target Kt/V yang dianjurkan oleh K/DOQI tahun 2006 (single‐pool

Kt/V) pada pasien hemodialisis 3 kali seminggu, 4 jam per sesi, dengan sisa

fungsi ginjal yang minimal (GFR < 2 mL/menit) adalah 1,4 atau PRU 70%

dan paling sedikit 1,2 atau PRU 65%. Pengukuran Kt/V dianjurkan dilakukan

setiap satu bulan. Bila resep yang diberikan untuk mendapatkan dialisis yang

adekuat tidak sama dengan hasil penghitungan adekuasi hemodialisis setelah

dialisis dilakukan, maka perlu dilakukan evaluasi untuk mendapatkan

penyebab ketidak berhasilan tersebut. KDOQI 2000, menganjurkan langkah

yang harus ditempuh antara lain:(12)

a. Integritas fistula

b. Evaluasi lama waktu dialisis apakah sesuai dengan yang direncanakan.

c. Teknik pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan BUN

d. Mesin dialisis tidak bekerja sesuai dengan yang diharapkan misalnya

kalibrasi mesin tidak baik, Qb yang rendah.

e. Adanya episode hipotensi pada pasien sehingga waktu lama dialisis tak

sesuai rencana.

f. Kliren dialiser yang tak sesuai

2.8 Anti Koagulan

Pemberian antikoagulan berperan penting dalam proses hemodialisis agar

tidak terjadi bekuan darah pada aparatus hemodialisis. Heparin merupakan

antikoagulan yang paling sering diberikan. Dosis heparin yang diberikan secara

ideal dimonitor dengan pemeriksaan APTT. APTT diharap sebesar 2 kali APTT

kontrol. Dalam prakteknya, APTT jarang diperiksa kecuali pada kasus dengan

16

Page 17: Referat Hemodialisa

potensial berdarah atau riwayat perdarahan pada hemodialisis sebelumnya.

Protokol yang biasa dilakukan pada hampir seluruh unit dialisis adalah:

a. Antikoagulan standar.

Diberikan bolus heparin 2500 unit pada awal hemodialisis lalu

dilanjutkan dengan pemberian 1000 unit per jam secara kontinyu selama

hemodialisis berjalan.

b. Antikoagulan pada resiko perdarahan

(a) Hemodialisis tanpa heparin

Biasanya dilakukan pada pasien dengan resiko perdarahan yang tinggi,

misalnya pasca operasi besar, ada perdarahan saluran cerna. Sebelum

hemodialisis dilakukan, dialiser dan pipa arteri maupun vena dibilas

dengan larutan heparin 5000 unit dalam 1 liter NaCl 0,9%. Setelah

pembilasan selesai, hemodialisis dilakukan, lalu setiap setengah jam pipa

arteri dibilas dengan 30 mL NaCl 0,9% selama proses hemodialisis

berjalan dengan kecepatan aliran darah sebesar 250‐500 mL per menit.

Dengan meningkatkan ultrafiltrasi, air bilasan tadi dikeluarkan kembali.

(b) Heparin Dosis Minimal

Sama dengan tanpa heparin, rejimen ini juga dilakukan atas indikasi

yang sama. Bolus heparin 500 unit lalu diberikan secara kontinyu 500 unit

dalam 1 jam hingga proses hemodialisis berjalan. Telah dibuktikan bahwa

cara ini lebih baik dibanding dengan heparinisasi regional dengan

protamin.

(c) Regional heparinisasi

Rejimen ini memakai protamin diberikan pada pipa vena dialiser untuk

menetralkan heparin.

(d) Heparin berat molekul rendah

Heparin jenis ini dalam berbagai penelitian maupun metaanalisis

ternyata tidak lebih baik dari heparin konvensional dalam hal mencegah

perdarahan maupun trombositopenia akibat heparin.

17

Page 18: Referat Hemodialisa

2.9 Penatalaksanaan Hemodialisa

Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75% (gagal ginjal

terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal

yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang

dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa

tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi

hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal

ginjal.(2,9)

Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa

mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu

mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini

akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin.

Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai

gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein

akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian

meminimalkan gejala.(9)

Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal

jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga

merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan

hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun

biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan

protein, natrium, kalium dan cairan. (9)

2.10 Komplikasi

18

Page 19: Referat Hemodialisa

Komplikasi dari renal replacement theraphy

complication Hemodialisis

cardiovascular Air embolism

Angina

Arrytmia

Cardiac tamponade

Hypotension*

Infection Bacterimia

Colonization of temporary central venous cateters

Endocarditis

Meningitis

Osteomyelitis

Sepsis

Vascular access celulitis or absess

Mecahnical Obstruksi pada arterivena, terbentuk fistul trombosis

atau infeksi

Stenosis atau trombosis pada vena subklavia atau

superior vena cava dan intern vena jugular

Metabolic Hipoglikemi pada orang diabetik yang memakai insulin

Hipokalemi

Hiponatremi dan hipernatremi

Pulmonary Dispnea sampai reaksi anafilasis oleh membran

hemodialisa

Hipoksia

Miscellaneous Deposit amiloid

Hemorragic cateter

Demam yang disebabkan oleh bakterimia, pirogen, atau

19

Page 20: Referat Hemodialisa

panas dialysate

Perdarahan (GI, Intracranial, retroperitonel, intraocular)

Insomnia

Pruritus

Keram otot

Restlessness

kejang

1. KoKomplikasi yang sering terjadi selama Hemodialisa berlangsung

adalah:

a. Hipotensi : 20-30%

b. Crams : 5-20%

c. Mual / muntah : 5-15%

d. Sakit kepala : 5%

e. Chest pain : 2-5%

f. Back pain : 2-5%

g. Gatal-gatal : 5%

h. Panas : <1%

2. Komplikasi yang jarang terjadi tetapi menimbulkan efek yang serius

adalah:

a. Sindrom disekuilibrium, reaksi hipersensitivitas, aritmia, cardiac

tamponade, hemolisis, reaksi dialisis, perdarahan intrakranial, emboli

udara.

b. Netropenia dan aktivasi komplemen karena dialisis

c. Hipoksemia

3. Komplikasi jangka panjang

a. Resiko cardiovaskular meningkat

b. Osteodistrofi renal

20

Page 21: Referat Hemodialisa

c. Neuropati Uremik

d. Amiloidosis

e. Aquired cystic disease

f. Kegagalan akses

BAB 3. SIMPULAN

Hemodialisa merupakan pengganti terapi faal ginjal dengan tujuan untuk

mengeluarkan sisa-sisa metabolisme protein dan koreksi gangguan keseimbangan air

dan elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat

melalui selaput semipermeabel yang bertindak sebaagai ginjal buatan. Tujuan dari

hemodialisa adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah

pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan

ketubuh pasien. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu difusi,

osmosis dan ultrafiltrasi. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan

mencegah kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyebabkan

penyembuhan atau pemulihan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi

hilangnya aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan tampak dari

gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien.

21

Page 22: Referat Hemodialisa

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

2. Wijaya, dkk. 2010. Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement

Therapy (RRT).

http://www.infodokterku.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=68:terapi-pengganti-ginjal-atau-

renal-replacement-therapy-rrt&catid=29:penyakit-tidak-

menular&Itemid=18. [1 November 2015]

3. Daugridas, JT. 2000. Cronic Hemodyalisis Prescription: A Urea Kinetic

Approach. Daugirdas JT, Ing TS (Eds) Handbook of Dialysis 3dh edition by

Lippincott Williams and Willkins Publisers 2000: 12-47.

4. Rahardjo P., Susalit E., Suhardjono. 2009. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo,

Aru W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta:

Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 579-580.

5. Xue JL, Ma JZ, Louis TA, Collins AJ. 2010. Forecast of the number of

patients with end-stage renal disease in the United States to the year 2010. J

Am Soc Nephrol 12: 2753-2758.

6. Albert Lasker. 2002. Award for Clinical Medical Research. J Am Soc

Nephrol 13: 3027-3030.

7. Kinchen KS, Sadler J, Fink N, et al. 2002. The timing of specialist

evaluation in chronic kidney disease and mortality. Ann Intern Med 137:

479-486.

22

Page 23: Referat Hemodialisa

8. Vanholder R, De Smet SR. 1999. Pathophysiologic effects of uremic

retention solutes. J Am Soc Nephrol 10: 1815-1823.

9. Jonathan Himmelfarb, MD. 2005. Hemodialysis Complications. American

Journal of Kidney Disease. Vol. 45 (6): pp 1125-1131.

10. Ganong, W. F. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta:

EGC.

11. Guyton, A.C. & Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.

Jakarta: EGC.

12. Havens, L. & Terra, R.P. 2005. Hemodialysis. http://www.kidneyatlas.org.

[1 November 2015].

13. NKF. 2006. Hemodialysis. http://www.kidneyatlas.org. [1 November 2015].

14. PERNEFRI. 2003. Konsensus Dialisis Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–

Bagian Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI-RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo.

15. Price, S.A. & Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta: EGC.

16. Rose, B. D. & Post, T.W. 2006. Hemodialysis: Patient Information.

http://www.patients.uptodate.com. [1 November 2015].

17. Fauci, A.S., Kasper, D.L., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,

Jameson, J.L., et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th

ed. New York: The McGraw-Hill Companies.

23