referat fix!!!!

Upload: dwimentari1

Post on 15-Oct-2015

33 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. LATAR BELAKANGSindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal.Frekuensi SNM secara internasional bersamaan dengan penggunaan antipsikotik, khususnya neuroleptik, dari data dikumpulkan 1966-1997 kejadian SMN berkisar antara 0,2% - 3,2% dari pasien jiwa pada rawat inap yang menerima antipsikotik, namun karena adanya kesadaran sebagai dokter terhadap pengetehauan tentang SNM ini, kejadian telah menurun menjadi sekitar 0,01% - 0,02% dari 500-1000 pada pasien gangguan jiwa yang diobati dengan antipsikotik (Caroff and Mann 1993; Lazarus et al. 1989). Pentingnya deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian. Kematian telah menurun dari laporan awal pada tahun 1960 dari 76% dan lebih baru-baru ini diperkirakan antara 10 dan 20%.Meskipun neuroleptik (haloperidol, fluphenazin) lebih sering menyebabkan SNM, semua obat anti psikotik, tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan sindrom ini. Obat-obatan tersebut adalah prochlorperazine (Compazine), promethazine (Phenergan), clozapine (Clozaril), and risperidone (Risperdal). Selain itu obat-obat non neuroleptik yang dapat memblok dopamin dapat menyebabkan SNM juga, obat-obat tersebut adalah metoclopramide (Reglan), amoxapine (Ascendin), and lithium(4). Deteksi awal dan penegakan diagnosis yang cepat pada SNM penting karena komplikasi dari keadaan ini adalah kematian.(8) Kematian yang disebabkan oleh SNM mencapai 21%.(6)

1.2. TUJUAN Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis khususnya mengenai Neuroleptik mulai dari definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis. Serta lebih khususnya mengenai Neuroleptic Maligna Syndrome .Judul Refrat ini dipilih karena SNM masih berpotensi mengancam kehidupan jiwa. Dibutuhkan kecurigaan klinis yang tinggi untuk diagnosis dan pengobatan pada SNM. SNM lebih sering dianggap sindrom daripada benar-benar diagnosis, dan ini menggarisbawahi keharusan untuk meningkatkan kesadaran diagnosis dan manajemen reaksi obat secara serius.

BAB IIPEMBAHASAN2.1. DEFINISISindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Karekteristik dari SNM adalah hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Morbiditas dan mortalitas pada SNM sering akibat sekunder dari komplikasi kardio pulmo dan ginjal. DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) mendefiniskan sebagai gangguan rigiditas otot berat, peningkatan temperatur dan gejala lainnya yang terkait (misalnya diaphoresis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran dari konfusi sampai dengan koma, mutisme, tekanan darah meningkat atau tidak stabil, peningkatan kreatin phosphokinase (CPK) yang berkaitan dengan pengunaan pengobatan neuroleptik. Obat neuroleptik dan obat lainnya yang berpengaruh pada dopamin biasanya dipakai untuk terapi kondisi psikiatri dan non psikiatri seperti skizoprenia, gangguan afek mayor (gangguan depresi, bipolar), delirium, gangguan tingkah laku karena demensia, nausea, disfungsi usus dan penyakit parkinson. Sindroma ini mengakibatkan disfungsi sistem syaraf otonom. Sistem syaraf otonom adalah sistem syaraf yang bertanggung jawab untuk aktivitas tubuh yang tidak dikendalikan secara sadar, seperti denyut jantung, tekanan darah, pencernaan, berkeringat, suhu tubuh dan kesadaran juga terpengaruh.(7)

2.2. EPIDEMIOLOGI(1)Pria lebih sering terkena daripada wanita, dan pada pasien orang dewasa lebih sering terkena dari pada lansia. Angka kematian bisa mencapai 10% - 20%. Prevalensi sindrom diperkirakan 0,02% - 2,4% pada pasien yang menggunakan obat golongan Dopamin antagonis. Pada penelitian terdahulu didapatkan bahwa laki-laki dewasa (Caroff 1980), anak-anak (Shields dan Bray 1976), dan remaja (Geller dan Greydanus 1979) beresiko untuk SMN.Insiden sindrom SNM berkisar 0,02% - 3% di antara pasien yang memakai agen antipsikotik. Survei yang dilakukan, Sachdev et al. (1995) melaporkan frekuensi 3 kasus SNM (0,24%) dari 1.250 pasien yang menerima clozapine, dan Williams dan MacPherson (1997) memperkirakan kejadian dari SNM menjadi (0,10%) pada 9.000 pasien yang diobati clozapine. Dalam pra-pemasaran percobaan, produsen quetiapine melaporkan 2 kasus mungkin SNM (0,08%) pada 2.387 pasien (Physicians 'Desk Reference 2002). Angka-angka yang hampir sama pada kejadian SNM diperkirakan terjadi antara populasi pasien dengan gangguan jiwa. Perbedaan mungkin terjadi dalam populasi sampel, antara pasien rawat inap dibandingkan rawat jalan, serta perbedaan dalam metode pengawasan dan definisi penyakit digunakan.

2.3. ETIOLOGI (6)1. Semua kelas anti psikotik dapat menimbulkan SNM baik itu neuroleptik potensi rendah, neuroleptik potensi tinggi maupun antipsikotik atipikal. SNM sering terjadi pada pasien yang mengkonsumsi haloperidol dan chlorpromazine.2. Penggunaan obat antipsikotik dosis tinggi (terutama neuroleptic potensi tinggi), antipsikotik aksi cepat dengan dosis tinggi dan penggunaan antipsikotik injeksi long acting.3. Faktor lain berhubungan dengan farmakoterapi. Penggunaan neuroleptik yang tidak konsisten dan penggunaaan obat psikotropik lainnya, terutama lithium, dan juga terapi kejang.

2.4. FAKTOR RESIKO(1,2,3,7)Beberapa penelitian terkait faktor resiko NMS mengatakan bahwa usia dan jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap peningkatan resiko kondisi NMS. Namun dari hasil studi dilaporkan bahwa pria lebih umum terjadi NMS dibanding wanita (Caroff dan Mann 1993; Deng et al 1990;. Keck et al.1989; Tsutsumi et al. 1994). NMS tidak spesifik untuk setiap diagnosis neuropsikiatri, meskipun pasien dengan katatonia mungkin beresiko berkembang menjadi NMS setelah mendapat pengobatan antipsikotik.Secara klinis, sistemik, dan faktor metabolik memiliki hubungan dengan insiden NMS, termasuk agitasi, dehidrasi, kelelahan, kelainan yang terjadi sebelumnya terhadap aktifitas dopamin di SSP atau fungsi reseptor, dan defisiensi besi. Hampir semua kasus dari pasien NMS telah dilaporkan adanya kelelahan dan dehidrasi sebelum terjadi NMS. Peningkatan suhu lingkungan diduga sebagai faktor pencetus dalam beberapa temuan, meskipun NMS dapat terjadi tanpa adanya perubahan kondisi lingkungan. Variabel farmakologi dan pengobatan telah diuji sebagai faktor resiko terjadinya NMS. Hampir semua dopamin atagonis dikaitkan dengan resiko NMS, meskipun antipsikotik konvensional potensi tinggi berhubungan dengan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan agen potensi rendah dan antipsikotik atipikal. Meskipun pada pertemuan kasus NMS DSM-IV-TR Research Criteria telah melaporkan dengan clozapine, olanzapine, dan risperidone, monoterapi dengan quetiapine, ziprasidone, atau aripiprazole tetap langka. Faktor resiko dari SNM antara lain :1. Penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi.2. Faktor lingkungan dan psikologi yang menjadi predisposisi terhadap SNM adalah kondisi panas dan lembab, agitasi, dehidrasi, kelelahan dan malnutrisi. 3. Faktor genetik, terdapat laporan kasus yang mempublikasikan bahwa SNM dapat terjadi pada kembar identik.4. Pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren. Resiko rekurensi tersebut berhubungan dengan jarak waktu antara episode SNM dan penggunaan antipsikotik. Apabila pasien diberikan anti psikotik dalam 2 minggu episode SNM, 63 % akan rekurensi. Jika lebih dari 2 minggu, persentasenya hanya 30%.5. Sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT (Elektro Convulsive Therapy), penggunaan neuroleptik tidak teratur.

2.5. PATOFISIOLOGISesuai dengan istilahnya, Sindrom Neuroleptik Maligna berkaitan dengan pemberian pengobatan neuroleptik. Mekanisme pastinya belum diketahui, tetapi terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa defisiensi dopamin atau blokade dopamin yang menyebabkan SNM. Pengurangan aktivitas dopamin di area otak (hipothalamus, sistem nigrostartial, traktus kortikolimbik) dapat menerangkan terjadinya gejala klinis SNM.(3,8)Pengurangan dopamin di hipothalamus dapat menyebabkan terjadinya peningkatan pengaturan suhu sehingga terjadi demam dan juga dapat menyebabkan ketidakstabilan saraf otonom. Di sistem nigrostratial dapat menyebabkan rigiditas, di sistem traktus kortiko limbik dapat menyebabkan perubahan kesadaran. Perubahan status mental disebabkan karena blokade reseptor dopamin di sistem nigrostartial dan mesokortikal.(3,8)

2.6. GAMBARAN KLINISSindrom Neuroleptik Maligna merupakan reaksi idiosinkrotik yang tidak tergantung pada kadar awal obat dalam darah. Sindrom tersebut dapat terjadi pada dosis tunggal neuroleptik (phenotiazine, thioxanthene, atau neuroleptikal atipikal), biasanya berkembang dalam 4 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan dengan neuroleptik. SNM sebagian besar berkembang dalam 24-72 jam setelah pemberian obat neuroleptik atau perubahan dosis (biasanya karena peningkatan dosis).(6) Sindroma neuroleptik maligna dapat menunjukkan gambaran klinis yang luas dari ringan sampai dengan berat.(7) Gejalanya yaitu:(1,2,8)a. Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. b. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Tremor dan aktivitas motorik berlebihan dapat mencerminkan agitasi psikomotorik. Konfusi, koma, mutisme, inkotinensia dan delirium mencerminkan terjadinya perubahan tingkat kesadaran.

2.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM(2,4,7)Rigiditas dan hipertermi pada SNM disebabkan karena kerusakan otot dan nekrosis. Kerusakan otot dan nekrosis ini dapat menyebabkan :1) Peningkatan kadar Creatin Kinase (CK) darah mencapai 2000 15.000 U/ L. Peningkatan kadar CK ini tingkat sensitifitasnya tinggi untuk Sindrom Neuroleptik Maligna.2) Peningkatan Aminotransferase (aspartate aminotransferase [AST], alanine aminotransferase [ALT]), and lactate dehydrogenase (LDH ).3) Pemeriksaan laboratorium lain terdapat leukositosis (10. 000 40.000 sel/mm3), trombositosis dan dehidrasi. Protein serebrospinal dapat meningkat. Konsentrasi serum besi dapat menurun.

2.8. DIAGNOSIS(3,7)Berdasarkan gejala klinis tersebut, SNM seharusnya menjadi diagnosis banding pada pasien demam dengan pengobatan neuroleptik. Sebelum diagnosis SNM ditegakkan, semua kemungkinan penyebab kenaikan suhu harus disingkirkan, dan demam harus disertai dengan gejala klinis lain seperti rigiditas otot, perubahan status mental dan ketidakstabilan otonom.Konsensus untuk diagnosis sindrom neuroleptik maligna tidak ada. Salah satu kriteria berasal dari DSM IV-TR. Kriteria tersebut mencakup hiperpireksia dan rigiditas otot, dengan satu atau lebih tanda-tanda penting seperti ketidak stabilan otonom, perubahan sensorik, peningkatan kadar CK dan myoglobinuria.

Tabel 33.2-2Kriteria Diagnostik dan Riset untuk Sindrom Neuroleptik Maligna Rigiditas otot yang parah, peningkatan temperatur tubuh, dan temuan lain yang berhubungan (misalnya, diaforesis, disfagia, inkontinensia, perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma, mutisme, peningkatan atau tekanan darah labil, peningkatan kreatini fosfokinase (CPK) yang berkembang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptik.A. Perkembangan rigiditas otot yang parah dan peningkatan temperatur yang berhubungan dengan pemakaian medikasi neuroleptikB. Dua (atau lebih) berikut:1) Diaforesis2) Disfagia3) Tremor4) Inkontinensia 5) Perubahan tingkat kesadaran mulai dari konfusi sampai koma6) Mutisme 7) Takikardia 8) Peningkatan atau takenan darah labil9) Lekositosis10) Tanda-tanda laboratorium kerusakan otot (misalnya, peninggian CPK)C. Gejala dalam kriteria A dan B bukan karna zat lain (misalnya, phenicyclidine) atau suatu kondisi neurologis atau medis umum lain (misalnya, ensefalitis virus).D. Gejala dalam kriteria A dan B tidak diterangkan lebih baik oleh suatu gangguan mental (misalnya, gangguan mood dengan ciri katatonik)

Tabel dari DSM-IV, Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders, ed.4 Hak cipta American Psychiatric Association, Washington, 1994. Digunakan dengan izin.

Tabel 33.2-2Kriteria Levensons untuk diagnosis NMS*Kriteria MajorDemamRigiditasPeningkatan Ckreatin Kinase (CK)Kriteria MinorTakikardiTekanan darah abnormalKesadaran BerubahDiaphoresisLekositosis* 3 kriteria major, atau 2 kriteria major and 4 kriteria minor, yang diperlukan untuk diagnosis

2.9. DIAGNOSIS BANDING(2)1. Syndrome SerotoninSindrom serotonin adalah suatu keadaan yang berpotensi mengancam jiwa yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas serotogenik pada reseptor CNS dan reseptor serotogenik perifer. Dapat terjadi akibat adanya kombinasi obat-obat yang dapat meningkatan neurotransmisi serotogenik (dua obat serotogenik). Dapat terjadi juga setelah pemberian obat serotogenik atau peningkatan dosis obat serotogenik. Pada orang-orang yang sensitive terhadap serotonin. Sindrom serotonin sangat mirip SNM. Untuk membedakannya dengan menggali riwayat pengobatan dengan perhatian pada perubahan dosis dan tidak adanya rigiditas berat.2. Malignant HypertermiaSebuah gangguan genetik langka, Hipertermia ganas (MH) adalah gangguan miopati dengan beberapa variasi (bentuk dominan dan resesif autosomal dilaporkan). Hal ini biasanya terjadi segera setelah terpapar, terhalogenasi agen anestesi inhalasi dan depolarisasi relaksan otot, seperti suksinilkolin Dalam beberapa menit paparan, gejala hiperpireksia, kaku otot, dan ada kenaikan kadar CK dan myoglobinurea. Gangguan tersebut juga dirasakan menjadi penyakit sistem saraf perifer yang dihasilkan dar kelainan membran otot. MH sering terjadi pada pasienyang memiliki gangguan miopati lain seperti distrofi otot, myotonic,distrofi, dan miopati kongenital. Selain itu adanya riwayat keluarga terkait HM pada saat anestesi dan mungkin kematian.3. Malignant KatatoniaDiferensial diagnosis SNM yang sering adalah keganasan katatonia. Gejala klinis hipertermia dan kekakuan ada dalam sindrom ini, biasanya ada gejala prodromal dari perilaku dalam beberapa minggu yang ditandai dengan psikosis, agitasi, dan kegembiraan katatonik.Gejala motorik juga ditandai dengan fenomena yang lebih positif (sikap dystonia, fleksibilitas lilin, dan gerakan berulang stereotip) yang juga ada dijelaskan dalam SNM.Nilai laboratorium biasanya normal.Kedua gangguan ini bisa sulit untuk dibedakan secara klinis.4. Sindrom Obat lain yang berhubunganIntoksikasi akut dengan obat narkoba, terutama kokain dan ekstasi (3,4-methylenedioxymethamphetamine MDMA), bisa membingungkan dengan SNM.Obat-obatan ini sangat berpengaruh terhadap sistem saraf pusat, agen ini menarik pelaku karena menghasilkan kewaspadaan, energi, dan euforia, namun efek yang sama juga dapat bermanifestasi sebagai psikomotor agitasi, delirium, dan bahkan psikosis.Hipertermia dan rhabdomyolysis dapat terjadi, biasanya berkaitan dengan peningkatan aktivitas fisik dan suhu lingkungan.Kekakuan tidak umum dalam kasus ini.Penggunaan MDMA juga dapat menyebabkan sindrom serotonin. Sindrom ini dibahas secara rinci dan terpisah.5. Gangguan yang tidak berhubunganAlternatif neurologis dan gangguan medis harus dipertimbangkan. Gejala klinis gangguan ini dapat tumpang tindih dengan SNM, khususnya pada pasien yang memiliki efek samping ekstrapiramidal dengan penggunaan antipsikotik secara bersamaan.Diagnosa ini memiliki prognosis yang serius dan implikasi dalam pengobatan dan tidak boleh diabaikan: Infeksi sistem saraf pusat (misalnya, meningitis, ensefalitis) Infeksi sistemik (misalnya, pneumonia, sepsis) Kejang Hidrosefalus akut Cedera tulang belakang akut Panas stroke (antipsikotik predisposisi panas stroke termoregulasi ) Akut distonia Tetanus Central sistem saraf vaskulitis Tirotoksikosis Pheochromocytoma Intoksikasi obat, toksisitas (misalnya, phencyclidine, ekstasi, kokain, amfetamin,lithium) Porfiria akut

2.10. PENATALAKSANAAN1. Terapi Suportif(3)Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Pada sebagian besar kasus, gejala akan mereda dalam 1-2 minggu. Sindrom Neuroleptik Maligna yang dipercepat dengan depot injeksi anti psikotik long action dapat bertahan selama sebulan.Terapi suportif bertujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan memelihara fungsi organ yaitu: 1. Manajemen jalan nafas: intubasi, oksigenasi adekuat, oxymetri. 2. Manajemen sirkulasi: monitoring jantung, resulsitasi cairan, hemodinamik.3. Untuk mengendalikan temperatur dapat dengan antipiretik.4. Skrening infeksi dengan cara melakukan CT scan kepala, thorak, analisis cairan serebrospinal, kultur urin dan darah.

2. Terapi Farmakologi(3)Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Dantrolene dipakai untuk mengurangi rigiditas otot, metabolisme dan peningkatan panas. Peneliti lain melaporkan tidak ada manfaat dan setelah diamati ternyata meningkatkan komplikasi dan pemanjangan gejala karena pemakaian obat-obat tersebut.Terapi tunggal dengan benzodiazepin dilaporkan berhasil dalam beberapa kasus. Penelitian Francis et all menyatakan benzodiazepin efektif dalam penanganan Sindrom Neuroleptik Maligna dengan mengurangi durasi menjadi 2 3 hari.

2.11. KOMPLIKASIKomplikasi dari Sindroma Neuroleptik Maligna banyak. Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Komplikasi lainnya gagal ginjal, pneumonia aspirasi, emboli pulmo, edema pulmo, sindrom distress respirasi, sepsis, diseminated intravascular coagulation, seizure, infark miocardial.(7)Menghindari antipsikotik dapat menyebabkan komplikasi karena psikotik yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien dengan pengobatan anti psikotik karena menderita gangguan psikiatri berat atau persiten, kemungkinan relaps tinggi jika anti pskotik di hentikan.(1)

2.12. PROGNOSIS(1)Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis otot yang berat bisa menjadi rhabdomiolisis. Pasien dengan riwayat Sindrom Neuroleptik Maligna dapat terjadi rekurensi. Resiko terjadi rekurensi berhubungan dengan jeda waktu antara Sindrom Neuroleptik Maligna dan dimulainya kembali pengobatan antipsikotik.

2.13. PENCEGAHAN(8)Pencegahan merupakan bagian penting dalam menghindari terjadinya sindrom ini. Dosis terendah neuroleptik dianjurkan, dengan memonitor onset efek samping ekstra piramidal. Deteksi awal dan memberikan terapi untuk mengeliminasi efek samping ekstrapiramidal, terutama rigiditas otot dapat mencegah perkembangan lebih lanjut Sindroma Neuroleptik Maligna dan komplikasinya.

BAB IIIKESIMPULAN

Sindrom Neuroleptik Maligna (SNM) adalah suatu sindrom yang terjadi akibat komplikasi serius dari penggunaan obat anti psikotik. Yang memiliki karekteristik seperti hipertermi, rigiditas, disregulasi otonom dan perubahan kesadaran. Faktor resiko dari SNM antara lain : faktor lingkungan dan psikologi, faktor genetic, pasien dengan riwayat episode NMS sebelumnya berisiko untuk rekuren, sindrom otak organik, gangguan mental non skizoprenia, penggunaan lithium, riwayat ECT, penggunaan neuroleptik tidak teratur, penggunaan neuroleptik potensi tinggi, neuroleptik dosis tinggi, dosis neuroleptik di naikan dengan cepat, penggunaan neuroleptik injeksi. Gejalanya yaitu: Gejala disregulasi otonom mencakup demam, diaphoresis, tachipnea, takikardi dan tekanan darah meningkat atau labil. Gejala ekstrapiramidal meliputi rigiditas, disfagia, tremor pada waktu tidur, distonia dan diskinesia. Penatalaksaan yang paling penting adalah menghentikan semua anti psikotik dan terapi suportif. Terapi farmakologik masih dalam perdebatan. Agonis dopamin seperti bromokriptin dan amantadin diperkirakan berguna untuk mengobati Sindrom Neuroleptik Maligna berdasarkan hipotesis defisiensi dopamin. Komplikasi yang paling umum adalah rhabdomiolisis sebagai akibat dari rigiditas otot terus menerus dan akhirnya terjadi kerusakan otot. Mortalitas sekitar 10-20%, sebagian besar pada pasien dengan nekrosis berat otot yang menjadi rhabdomiolisis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stanley N. Caroff, M.D, Stephan C. Mann, M.D, Paul E. Keck. Jr,. M.D, Athur Lazarus, M.D., M.B.A. Neuroleptic Malignant Syndrome and Related Conditions. 2ndedition2. Eelco FM Wijdicks, M.D, Michael JA, M.D,DSc Janet L Wilterdink, M.D. Neuroleptic Malignat Syndrome. 2013. Tersedia dari: http://www.update.com/content/neuroleptic. (diakses jam 05.49, 09 April 2014).3. Jeffrey R. Strawn, M.D, Paul E. Keck, Jr., M.D, Stanley N. Caroff, M.D. Neuroleptic Malignant Syndrome. Am J Psychiatry. 2007.4. Surjeet Sahoo, M.D, Prasant Kumar Mohapatra, M.D, L.D Parhi, M.D D.M Neuroleptic Malignant Syndrome With Intake of Paliperidone-A Rare Report. The Odisha Journal of Psychiatry 20115. Khaldarov, V, 2000, Benzodiazepines for Treatment of Neuroleptic Malignant Syndrome, Hospital Physician. Page 51-556. Benzer, Theodore, 2005, Neuroleptic Malignanat Syndrome, http://www.emedicine.com (diakses pada 04.35, 10 April 2014)7. Hal, RCW., Chopman, M., 2006, Neuroleptic Malignant Syndrome in the Elderly: Diagnostic Criteria, Incidence, Risk Factors, Pathophysiology, and Treatment, Clinical geriatry Vol 14 No. 5, John Hopskins Medicine. Page 39-458. Bottoni, T., 2002, Neuroleptic Malignant Syndrome: A Brief Review, http://www.turner-white.com (diakses jam 14.30, 10 April 2014).9. Kaplan H, Sadock B. 2005. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of Psychiatry. Philadelphia :Lippincott William&Wilkins. Pp: 532-67.10. Maramis, W.F. (2008), Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University. Page 18011. Maslim, R., 2001, Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik . Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.