referat demam berdarah

17
DEMAM BERDARAH DENGUE PENDAHULUAN Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok. ETIOLOGI Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x10 6 . Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN- 4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese enchepalitis dan West Nile virus.

Upload: shellyshelly

Post on 01-Dec-2015

83 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

dhf

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Demam berdarah

DEMAM BERDARAH DENGUE

PENDAHULUAN

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue hemorrhagic fever/DHF)

adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,

nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan

diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi

(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue

(dengue shock syndrome) adalah demam berarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

ETIOLOGI

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang

termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Falvivirus merupakan virus dengan

diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat

menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di

Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe

dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese enchepalitis dan West Nile virus.

Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus, kelinci,

anjing, kelelawar dan primata. Survey epidemiologi pada hewan ternak didapatkan antibodi

terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada artropoda menunjukkan

virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites.

EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden

DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah

meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,

sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Page 2: Referat Demam berdarah

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes (terutama

A.aegypti dan A.albopictus). peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi

lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi

air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu: 1).

Vektor: perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan,

transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain; 2). Penjamu: terdapatnya penderita di

lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3).

Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

PATOGENESIS

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.

Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan

dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a). respon

humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis

yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antiobodi. Antibodi terhadap virus

dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini

disebut antibody dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T

sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T

helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2

memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis

virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan

replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selain itu aktivasi komplemen oleh

kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang

menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang

berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan

konsentrasi kompleks imun yang tinggi.

Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halsstead dan peneliti lain;

menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang me-fagositosis

Page 3: Referat Demam berdarah

kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya

infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga

diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit

sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating

factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi

kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-

antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum

tulang, dan 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tilang pada

fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah

keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk

megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadinya trombositopenia justru

menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoesis sebagai

mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui

pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses

koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme

gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan

petanda degranulasi trombosit.

Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan

disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada

demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue

terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan

melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor

complex).

MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau dapat berupa

demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue

(SSD).

Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase

kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai

Page 4: Referat Demam berdarah

risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue

adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah

tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru.

Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi

antigen virus RNA dengue dengan teknik RTPCR (Reverse Transcriptase Polymerase Chain

Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya

antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG.

Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain:

Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif

(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah

total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.

Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.

Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥

20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.

Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada

keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.

Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.

SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.

Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.

Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.

Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau

komponen darah.

Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

IgM: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90

hari.

Page 5: Referat Demam berdarah

IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG

mulai terdeteksi hari ke-2.

Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan,

uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.

Pemeriksaan Radiologis

Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila

terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.

Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada

sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan

USG.

DIAGNOSIS

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala

prodormal yang tidak khas seperti: nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

Demam Dengue (DD). Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan

dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:

Nyeri kepala

Nyeri retro-orbital

Mialgia/artralgia

Ruam kulit

Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)

Leukopenia

dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah

dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.

Demam Berdarah Dengue (DBD). Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD

ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:

- Uji bendung positif

- Petekie, ekimosis, atau purpura

Page 6: Referat Demam berdarah

- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari

tempat lain

- Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis

kelamin

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai

hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD

ditemukan adanya kebocoran plasma.

Diagnosis Banding. Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat

kesesuaian klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.

Sindroma Syok Dengue (SSD). Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan

sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg),

hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE

Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui

klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.

PENATALAKSANAAN

Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.

Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.

Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam

penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika

asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui

intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi

Penyakit Tropik dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran Universitas

Page 7: Referat Demam berdarah

Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan

kriteria:

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi

Praktis dalam pelaksanaannya

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori:

Protokol 1

Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 2

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Protokol 3

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Protokol 4

Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Protokol 5

Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada

penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai

petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan

hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat

dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam

berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila

dalam keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalasi Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di

ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:

Page 8: Referat Demam berdarah

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut:

1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55-20)} = 2200 ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:

Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit <100.000, jumlah pemberian cairan tetap

seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam.

Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan

protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht >20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Meningkatnya Ht >20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.

Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid

sebanyak 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila

terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun,

tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5

ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam

pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam

kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak

membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20

mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10

ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan

perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam, tetapi bila keadaan tidak

menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila

dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka

pasien ditangani sesuai dengan protocol tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa. Bila

syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan

hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan

Page 9: Referat Demam berdarah

saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing

(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak

4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti

keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi pernafasan dan jumlah urin

dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus

segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda

koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.

FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang

memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya

diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit

<100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus

diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan

intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh

kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena

keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak

tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan

renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilhan utama yang diberikan. Selain resusitasi

cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus

dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas darah, kadar

natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah

15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan

tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume

yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah

cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil

pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian tetap stabil

pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-

Page 10: Referat Demam berdarah

tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus

dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi,

ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi,

edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama dalam

waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih

berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh

darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah

teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,

frekuensi nadi, frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium

kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan

kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan

perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian

cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian dievaluasi setelah

20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai

hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan

koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahan

(internal bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat

diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan

tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB

dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau

kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat

ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 l/hari) dengan sasaran tekanan

vena sentral 15-18 cmH2O, bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan dilakukan

koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder.

Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum

teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

Page 11: Referat Demam berdarah

Daftar Pustaka

1. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.

Jakarta : Departemen Kesehatan RI; 2005.

2. Gubler DJ. Kuno G. Dengue and dengue hemorrhagic fever. New York: CAB

International; 1997.

3. Hendarwanto. Dengue. dalam : Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar

Ilmu Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996. Hlm 417-26.

4. Nimmannitya S. Dengue and dengue hemorrhagic fever. dalam : Cook GC. Manson’s

Tropical Disease. London: WB Saunders co. 1996. hlm 721-9.

5. Zulkarnain I. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSCM. dalam:

Hadinegoro SR, Demam berdarah dengue. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. hlm 150-

66.