refarat elektrolit saraf

35
BAB I PENDAHULUAN Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia yang menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada didalamnya berada dalam rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem metabolisme bekerja sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya masing – masing. Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga keseimbangan ini. Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur yang berperan sebagai ion dalam larutan dan memiliki kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit merupakan suatu hal yang penting agar sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit terdiri atas kation dan anion. Di dalam tubuh ada beberapa kation yang penting yaitu, natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion yang penting adalah klorida, bikarbonat, dan fosfat. Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar elektrolit di dalam darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai normal atau dibawah nilai normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal keseimbangan cairan dan fungsi – fungsi organ tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat menyebabkan ketidakseimbangan 1 | Page

Upload: keri-ayomi

Post on 02-Dec-2015

256 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai proses fisikokimia

yang menunjang kehidupan sehari – hari. Tubuh selalu berusaha agar segala sesuatu yang ada

didalamnya berada dalam rentang konstan agar tercapai keadaan homeostasis. Seluruh sistem

metabolisme bekerja sama dengan harmonis satu sama lain dalam menjalankan fungsinya

masing – masing.

Elektrolit dan cairan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menjaga

keseimbangan ini. Secara kimiawi, elektrolit adalah unsur – unsur yang berperan sebagai ion

dalam larutan dan memiliki kapasitas untuk konduksi listrik. Dan keseimbangan elektrolit

merupakan suatu hal yang penting agar sel dan organ dapat berfungsi secara normal. Elektrolit

terdiri atas kation dan anion. Di dalam tubuh ada beberapa kation yang penting yaitu, natrium,

kalium, kalsium dan magnesium. Sedangkan anion yang penting adalah klorida, bikarbonat, dan

fosfat.

Gangguan keseimbangan elektrolit diartikan sebagai suatu keadaan dimana kadar

elektrolit di dalam darah berada dalam rentang nilai yang tidak normal. Bisa melebihi nilai

normal atau dibawah nilai normal. Implikasi dari keadaan ini berpengaruh dalam hal

keseimbangan cairan dan fungsi – fungsi organ tubuh lainnya. Berbagai macam hal dapat

menyebabkan ketidakseimbangan ini. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan asupan serta

ekskresi adalah penyebab utamanya. Adanya gangguan dari sistem regulasi yang berperan, juga

memberikan dampak dalam keseimbangan elektrolit.

Dalam praktek klinik sehari – hari gangguan elektrolit merupakan kelainan yang sangat

sering dijumpai. Keadaan ini biasanya merupakan bagian manifestasi klinis dari penyakit dasar

yang diderita pasien. Hampir 20 % pasien rawat inap mengalami gangguan elektrolit, yang

disebabkan oleh bermacam hal, sehingga dalam pembiayaanpun menjadi hal yang

diperhitungkan.

Gangguan elektrolit seringkali terdiagnosis saat pasien dirawat di rumah sakit, terutama

pada pasien – pasien dengan penyakit kritis. Keadaan ini berhubungan dengan meningkatnya

risiko mortalitas di rumah sakit. Insidensi gangguan elektrolit terbanyak adalah gangguan kalium

1 | P a g e

dan natrium. Sebanyak lebih dari 21 % pasien di rumah sakit mengalami hipokalemia dan 15 –

20 % mengalami hiponatremia. Pasien – pasien dengan hiperkalemia mencapai 1 – 10 %,

sedangkan hipernatremia 0,3 – 5,5 % dari seluruh pasien yang dirawat. Hiperkalsemia terjadi

pada lebih dari 70 % kasus keganasan. Hipomagnesemia muncul pada lebih dari 12% pasien,

yang terkadang sering diabaikan oleh para klinisi.

Mengingat tingginya angka kejadian gangguan keseimbangan elektrolit dalam praktek

klinik sehari–hari, terutama gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium dan magnesium,

maka perlu adanya suatu pemahaman yang lebih baik. Dengan pemahaman ini, akan

memudahkan dalam hal penentuan diagnosis yang cepat dan akurat, sehingga terapi dan

penatalaksanaan dapat diberikan dengan cepat dan akurat pula. Atas dasar inilah refrat ini ditulis.

2 | P a g e

BAB II

FISIOLOGI ELEKTROLIT

2.1. Keseimbangan Natrium dan Cairan

Natrium adalah kation utama cairan ekstraseluler (CES). Dalam kondisi fisiologis,

Natrium (Na) serum memiliki rentang nilai antara 138 – 142 mmol/L. Untuk menilai jumlah total

partikel dalam darah, maka perlu diukur osmolalitas serum. Osmolalitas serum memiliki nilai

berkisar antara 280 – 290 mOsm/kgH2O. Osmolalitas diukur dengan rumus :

Peningkatan osmolalitas akibat absorpsi Na atau kehilangan cairan yang berlebihan,

menyebabkan cairan intraseluler keluar untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Untuk itu,

perlu adanya suatu osmoregulator. Dalam hal ini, ada suatu sensor atau osmoreseptor yang ada di

hipotalamus, dan Anti Diuretic Hormone (ADH), yang dikenal juga dengan antidiuretin atau

vasopressin. Ginjal berperan sebagai organ target ADH.

Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi

oleh tubulus ginjal. Kondisi hipervolemi dan peningkatan asupan Na akan meningkatkan Laju

Filtrasi Glomerulus (LFG), begitupula sebaliknya. Perubahan pada LFG akan mempengaruhi

reabsorpsi natrium di tubulus. Hampir 99 % Na yang sudah difiltrasi direabsorpsi kembali.

Paling banyak direabsorpsi di tubulus proksimal 65 %, ansa henle 25 – 30 %, dan 5 % saja di

tubulus distal dan 4 % di duktus koligentes.

Setiap hari, sekitar 8 – 15 mg Natrium diabsorpsi setiap harinya. Ginjal harus

mengekskresikan dalam jumlah yang sama setiap waktu, untuk mempertahankan homeostasis

CES. Adapun faktor – faktor yang mempengaruhi regulasi ini adalah:

Sistem Renin Angiotensin / Renin Angiotensin System (RAS) Aktivasi sistem ini

meningkatkan retensi natrium melalui angiotensin II, aldosteron dan ADH

Atriopeptin / Atrial Natriuretic Peptide (ANP)

Adalah hormon peptida yang disekresikan oleh sel spesifik dari atrium jantung sebagai

respon terhadap peningkatan volume CES. Hormon ini meningkatkan ekskresi Na pada

ginjal dengan meningkatkan fraksi filtrasi dan menginhibisi reasorpsi natrium dari duktus

koligentes.

3 | P a g e

P_osm=2(Na)+(Nitrogen urea darah (mg/dl))/2,8+(glukosa(mg/dl))/18

ADH

Sekresi hormon ini distimulasi oleh :

o Peningkatan osmolalitas plasma dan cairan serebrospinal Reflek Gauer-Henry, yang

muncul ketika terjadi peregangan reseptor di atrium yang memberikan sinyal ke

hipotalamus bahwa telah terjadi penurunan jumlah CES > 10 %.

o Angiotensin II

Aldosteron

Efek hormon ini adalah menstimulasi reabsorpsi natrium. Sekresi hormon ini distimulasi

oleh angiotensin II.

2.2. Keseimbangan Kalium

Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ). Sekitar 90 %

asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal kalium di plasma

adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan

jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES

hanya berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga

homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada

konsentrasi kalium plasma.

Keseimbangan Kalium diatur dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan ekskresi,

serta distribusi antara intrasel dan ekstrasel. Regulasi akut kalium ekstraseluler dicapai dengan

perpindahan kalium internal antara CES dan CIS. Ketika kadar kalium ekstrasel meningkat

akibat asupan yang banyak, atau disebabkan oleh pembebasan kalium internal, maka regulasi

akut ini akan terjadi. Regulasi ini merupakan kontrol hormonal, yaitu:

Insulin disekresikan segera setelah makan, dan ini akan menstimulasi Na, K, ATPase dan

mendistribusikan Kalium yang didapat dari sel–sel makhluk hidup yang dimakan ke intrasel.

Epinefrin meningkatkan ambilan kalium sel, yang mana penting untuk kerja otot dan

trauma. Kedua kondisi ini memicu terjadinya peningkatan kalium plasma. Aldosteron juga

berperan dalam meningkatkan konsentrasi kalium intraseluler. Perubahan pH mempengaruhi

distribusi kalium ekstra dan intraseluler. Pada asidosis, konsentrasi K ekstraseluler meningkat,

sedangkan alkalosis cenderung membuat hipokalemia.

4 | P a g e

Regulasi kronik untuk homeostasis K adalah oleh ginjal. 65 % dari K yang difiltrasi,

direabsorpsi sebelum mencapai akhir dari tubulus proksimal ginjal, 20% di tubulus distal, dan 15

% lainnya di ansa henle. Jumlah ekskersi kalium ditentukan pada tubulus penghubung dan

duktus koligentes Besarnya jumlah K yang direabsorpsi atau disekresi tergantung kepada

kebutuhan. Pada keadaan dimana pemasukan berlebihan, maka ekskresi akan meningkat,

begitupula sebaliknya.

2.3. Keseimbangan Kalsium

Ion kalsium (Ca) merupakan elektrolit yang banyak terdapat di ekstraseluler, dimana 99

% disimpan di tulang. Kadar normal kalsium plasma adalah 8,1 – 10,5 mmol/L. Ca berfungsi

pada sistem neuromuskular, konduksi saraf, kontraksi otot, relaksasi otot, dan juga penting untuk

mineralisasi tulang dan merupakan kofaktor penting untuk sekresi hormon pada organ endokrin.

Pada tingkat sel, Ca merupakan regulator penting untuk transpor ion dan integritas membran.

Tulang berperan ganda, dimana berperan sebagai yang mengambil kalsium untuk stabilitas dan

sebagai depot untuk keadaan suplai kalsium yang rendah.

Paratiroid Hormon (PTH), adalah suatu faktor yang penting dalam regulasi keseimbangan

kalsium dengan menurunkan ekskresi dan meningkatkan absorpsi kalsium di ginjal dengan

bantuan 1,25 COH2 Vitamin D3 (calcitrol), dan merangsang osteoklas melepaskan kalsium dari

tulang. Efek PTH di tubulus adalah merangsang aktifitas 1 alfa hidroksilase yang akan memicu

produksi calcitrol. PTH meningkatkan reabsorpsi Ca di TAL, dan begitu juga pada tubulus distal.

Selain itu, calcitrol juga akan meningkatkan absorpsi kalsium di intestinal. PTH bergantung

kepada Calsium Sensing Reseptor (CSR) untuk mendeteksi adanya kelebihan kalium serum, dan

menghambat sekresi PTH. PTH disekresikan oleh chief cells pada kelenjar paratiroid yang akan

meningkatkan kadar kalsium darah.

Reasorbsi kalsium terjadi pada semua tubulus ginjal. 60 – 70 % terjadi di tubulus

proksimal, 30 % di Thick Ascending Limb (TAL) dari ansa henle. Karena reasorpsi Ca pada

TAL bergantung kepada reabsorpsi NaCl, maka pada loop diuretic, kalsium diinhibisi untuk

direabsorpsi. Asidosis menghambat reabsorpsi kalsium dengan mekanisme yang belum dapat

dipahami.

5 | P a g e

2.4. Keseimbangan Magnesium

Magnesium (Mg) adalah kation keempat terbanyak di dalam tubuh dan kation

ektraseluler kedua terbanyak. Konsentrasi magnesium plasma berkisar 0,7 – 1,2 mmol/L atau 1,5

– 1,9 mEq/L. Dan hampir 50 % terikat dengan protein. Magnesium berperan penting dalam

ratusan reaksi enzim yang merupakan hal esensial bagi tubuh. Juga berperan dalam fungsi sel,

termasuk transfer energi, penyimpanan dan penggunaan protein dan karbohidrat dan

metabolisme lemak. Berperan juga dalam mempertahankan fungsi membran sel, dan regulasi

sekresi hormon paratiroid. Sekitar 60 – 65 % dari magnesium tubuh disimpan di tulang dan

selebihnya di dalam sel. Hanya 1 % saja yang terdapat di ekstraseluler. Tulang merupakan

reservoir bagi Mg. Selebihnya dalam bentuk ion bebas di plasma. Keseimbangan Mg melibatkan

ginjal, usus halus, dan tulang.

Hampir 80 % magnesium difiltrasi diglomerulus, dan direasorpsi disepanjang nefron. Mg

direabsorpsi 15 % pada tubulus proximal. Sekitar 70 % terjadi reabsorpsi paraseluler di Thick

Ascending Limb (TAL) dari ansa henle. Sebanyak 10 – 15 % lainnya dengan reabsorpsi

transeluler di tubulus distal. Regulasi ekskresi Mg2+ distimulasi oleh hipermagnesemia,

hiperkalsemia, hipervolemia dan loop diuretik. Dan mekanisme penghambat dipengaruhi oleh

defisit magnesium, kalsium dan volume cairan. Dan juga dipengaruhi hormon paratiroid yang

bekerja pada TAL. Seperti pada kalsium, Mg juga berperan dalam regulasi sekresi PTH.

Keadaan dimana kadar Mg plasma meningkat, akan menekan pelepasan PTH, begitu juga

sebaliknya.

6 | P a g e

BAB III

ETIOPATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

3.1. Gangguan Keseimbangan Natrium

3.1.1. Hiponatremia

Hiponatremia dapat terjadi pada keadaan tonisitas atau osmolalitas yang rendah, normal

ataupun tinggi. Sebagian besar kejadian hiponatremia berkaitan dengan hipotonisitas, yang

berarti bila jumlah asupan cairan melebihi kemampuan eskresi.

Etiologi dari hiponatremia dapat dibagi atas :

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal

Pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke cairan ekstra sel dapat

menimbulkan hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal. Termasuk dalam hal ini,

keadaan hiperproteinemia dan hyperlipidemia.

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma tinggi

Pada keadaan osmolalitas plasma yang tinggi, seperti pada keadaan hiperglikemia berat

atau pemberian manitol intravena. Cairan intrasel akan keluar ke ekstrasel menyebabkan

dilusi cairan ekstrasel, dan menyebabkan hiponatremia.

Hiponatremia dengan osmolalitas plasma rendah

Terjadi pada keadaan seperti gagal jantung, sirosis, insufisiensi renal, sindroma nefrotik.

Keadaan-keadaan ini terjadi dengan volume CES yang meningkat. Pada SIADH, volume

CES normal dan pada keadaan muntah atau pada pemakaian diuretik, volume CES

menurun.

Hiponatremia akut diartikan sebagai kejadian hiponatremia dalam jangka waktu kurang

dari 48 jam. Pada keadaan ini tertjadi perpindahan cairan dari ekstrasel ke intrasel, termasuk ke

sel otak. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema otak yang mana keadaan ini merupakan

keadaan berat yang dapat menyebabkan kejang dan penurunan kesadaran. Edema otak yang

terjadi, dibatasi oleh kranium disekitarnya, yang mengakibatkan terjadinya hipertensi intrakranial

dengan resiko brain injury

Hiponatremia kronik diartikan sebagai keadaan hiponatremia dalam jangka waktu yang

lebih dari 48 jam. Gejala yang timbul tidak berat karena ada proses adaptasi. Pada keadaan ini,

7 | P a g e

cairan akan keluar dari jaringan otak dalam beberapa jam. Gejala yang timbul hanya berupa

lemas dan mengantuk, bahkan dapat tanpa gejala. Keadaan ini dikenal juga dengan hiponatremia

asimtomatik. Namun perlu diperhatikan pada proses adaptasi ini dapat menjadi proses yang

berlebihan yang berisiko terjadinya demyelinisasi osmotik.

3.1.2 Hipernatremia

Hipernatremia adalah suatu keadaan dengan defisit cairan relatif, dalam artian merupakan

keadaan hipertonisitas, atau hiperosmolalitas.

Etiologi dari hipernatremia adalah:

Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air yang melebihi ekskresi natrium. Seperti

pada pengeluaran keringat, insesible water loss, diare osmotik akibat pemberian laktulosa

atau sorbitol

Asupan air yang kurang, pada pasien dengan gangguan pusat rasa haus di hipotalamus

akibat tumor dan gangguan vaskuler

Penambahan natrium yang berlebihan, seperti pada koreksi asidosis dengan bikarbonat,

atau pemberian natrium yang berlebihan

Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel, misalnya setelah latihan fisik berat.

Keadaan hipernatremia akan membuat cairan intraseluler keluar ke ekstraseluler untuk

menyeimbangkan osmolalitas cairan ekstrasel. Hal ini akan membuat terjadinya

pengkerutan sel, dan bila terjadi pada sel saraf sistem saraf pusat, maka akan

menimbulkan disfungsi kognitif, seperti lemah, bingung, sampai kejang.

3.2. Gangguan Keseimbangan Kalium

3.2.1. Hipokalemia

Penyebab hipokalemia antara lain:

Asupan kalium yang kurang. Secara fisiologis, ekskresi kalium di ginjal sebanding

dengan jumlah asupan. Hipokalemia jarang yang hanya disebabkan asupan kalium yang

rendah saja.

Pengeluaran Kalium yang berlebihan. Ekskresi kalium dapat melalui sistem pencernaan,

keringat atau ginjal. Beberapa etiologi ekskresi kalium meningkat adalah muntah,

pemakaian NGT, diare, pemakaian diuretik loop dan tiazid serta hiperaldosteronisme.

8 | P a g e

Kalium berpindah dari ekstrasel ke intrasel (Redistribusi). Terjadi pada keadaan alkalosis,

pemberian insulin, pemakaian beta 2 agonis, paralysis periodic hypokalemic, dan

hipotermia. Konsentrasi ion kalium pada pada ekstrasel sangat keci dan keadaan ini tidak

tercermin pada jumlah kalium serum. Pada hipokalemia kronik, penurunan kalium serum

1 mmol/L sebanding dengan defisit 200 mmol/L kalium total tubuh, maka perlu

dipertahankan kalium serum > 4 mEq/L.

Defisiensi kalium dapat mempengaruhi berbagai sistem organ, seperti sistem

kardiovaskuler, otot dan ginjal. Hipokalemia dapat menyebabkan hipertensi dan aritmia

ventrikel. Mekanisme terjadinya hipertensi masih belum dapat dijelaskan dengan baik.

Akan tetapi, keadaan ini dihubungkan dengan retensi garam di ginjal, selain akibat

berbagai proses hormonal. Aritmia terjadi akibat membran potensial otot jantung yang

terdepolarisasi sebagian, sehingga terjadi automatisasi, atau akan muncul gelombang ‘u’,

dan pemanjangan QT. Gangguan jantung diperburuk oleh pengobatan digoksin dan

pasien dengan iskemia. Keadaan hipokalemia dapat memeperburuk hiperglikemia pada

pasien diabetes, akibat pengaruh terhadap pelepasan insulin dan sensitivitas organ

terhadap insulin. Rabdomiolisis dapat terjadi sebagai akibat dari hiperpolarisasi sel otot

rangka, selain adanya gejala kram, mialgia, dan mudah lelah. Hipokalemia dapat

mempengaruhi keseimbangan asam basa sistemik, melalui efek terhadap berbagai

komponen dari regulasi asam basa di ginjal.

3.2.2. Hiperkalemia

Ada 2 mekanisme terjadinya hiperkalemia, yaitu :

Kelebihan asupan kalium melalui makanan.

Buah–buahan dan sayur–sayuran banyak mengandung kalium. Campuran garam dapat

mengandung kalium, dan kelebihan asupan dapat terjadi pada pemberian makanan

enteral.

Keluarnya kalium dari intra sel ke ekstrasel.

Keadaan asidosis metabolik, selain yang disebabkan oleh KAD atau asidosis laktat,

defisisensi insulin, pemakaian beta blocker, dan pseudohiperkalemia akibat pengambilan

sampel darah yang lisis. Kelainan klinik bergantung kepada kadar kalsium, dan

keseimbangan asam-basa.

9 | P a g e

Berkurangnya ekskresi melalui ginjal. Terjadi pada keadaan hiperaldosteronisme, gagal

ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif pada CHF dan pemakaian siklosporin. Dewasa ini

diketahui pemakaian ACE inhibitor juga faktor resiko untuk hiperkalemia.

Pada hiperkalemia, terjadi peningkatan kepekaan membran sel, sehingga dengan sedikit

perubahan depolarisasi, potensial aksi dapat dengan mudah terjadi. Hal ini menimbulkan

kelemahan otot sampai paralisis dan gagal nafas. Gejala yang paling buruk adalah

penurunan kecepatan sistem konduksi miokard dan meningkatkan repolarisasi miokard.

Gangguan konduksi akan menimbulkan pemanjangan PR interval, gelombang P yang

mendatar atau QRS kompleks melebar pada EKG. Peningkatan repolarisasi akan

menimbulkan gelombang T yang meninggi ( peaked T waves ), yang merupakan keadaan

yang berisiko terjadinya aritmia.

3.3. Gangguan Keseimbangan Kalsium

3.3.1 Hipokalsemia

Keseimbangan kalsium diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan Vitamin D. Hormon

paratiroid bergantung kepada Calsium-sensing reseptor (CSR), untuk mendeteksi adanya

kelebihan kalium serum, dan merangsang PTH yang akan meningkatkan kadar kalsium darah.

Apabila CSR ini tidak ada maka akan terjadi hipokalsemia. Pada gagal ginjal, PTH menstimulasi

reabsorpsi osteoklas tulang. Pada hipokalsemia serum, belum tentu terjadi hipokalsemia total.

Total serum dapat tergambar dari penurunan albumin pada penyakit sirosis, sindroma nefrotik

dan malnutrisi. Hipokalsemi dapat menyebabkan iritabilitas dan tetani. Pada keadaan alkalosis,

dapat menimbulkan tetani akibat penurunan kadar kalsium.

Penyebab hipokalsemia antara lain:

Hipoparatiroidisme.

Keadaan ini dapat herediter maupun didapat. Untuk yang didapat, bisa terjadi karena

iradiasi leher atau pasca paratiroidektomi, yang dikenal dengan Hungry Bone Syndrome.

Keadaan ini memberikan efek tulang yang akan meabsorpsi Ca dalam jumlah besar

Penyebab yang berhubungan dengan Vitamin D yaitu, asupan yang kurang, dan

gangguan absorpsi. Pada keadaan penyakit kritis dan sepsis berat dapat menjadi

penyebab.

Pada keadaan hipokalsemia, terjadi peningkatan eksitabilitas saraf di tangan dan lengan,

10 | P a g e

yang disebabkan oleh hipokalsemia, dan bila iskemia dibuat, yaitu dengan menggunakan

sfigmomanometer, akan muncul twitching. Keadaan in dikenal dengan Trousseau’s Sign.

Chovtek’s Sign dapat muncul dengan cara mengetok pada titik tertentu pada wajah, yang

ditandai dengan adanya respon berupa twitching. Mekanisme terjadinya adalah adanya

stimulasi mekanik langsung serabut motorik wajah. Pada sistem kardiovaskuler, efek

berat hipokalsemia adalah ‘QT’ memanjang pada dan ST interval yang memanjang pada

EKG.2

3.3.2. Hiperkalsemia

Pada 90% kasus hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan dan

hiperparatiroidisme. Pada keganasan, disekresikan suatu PTH-related peptide yang akan

meningkatkan kadar Ca plasma. Keadaan ini muncul pada 80% kasus hiperkalsemia pada

keganasan. Pada 20 % kasus lainnya, terjadi akibat hiperkalsemia osteolitik, dimana

terjadi aktifitas osteoklastik yang mana terjadi resorpsi tulang di sekitar jaringan tumor.

Hal ini terjadi pada tumor dengan metastase ke tulang.

Hiperkalsemia mempengaruhi hampir semua organ tubuh. Akan tetapi yang

paling utama adalah sistem saraf pusat dan ginjal. Pada sistem saraf pusat, kalsium

memberikan efek sebagai depresan langsung. Sehingga pada keadaan kalsium yang

tinggi, akan terjadi gangguan psikis berupa ansietas, depresi dan perubahan kepribadian,

Pada keadaan lanjut, dapat menyebabkan penurunan kesadaran, bahkan kematian. Efek

pada ginjal adalah nefrolitiasis akibat dari hiperkalsiuria. Selain itu dapat terjadi poliuria

dan polidipsia. Fungsi ginjal menurun akibat vasokonstriksi renal akibat hiperkalsemia.

Efek pada saluran pencernaan adalah berupa mual, muntah, konstipasi atau diare. Pada

kardiovaskler, efek hiperkalsemia adalah berupa pemendekan QT, pelebaran gelombang

t, dan pelebaran QRS kompleks.

3.4. Gangguan Keseimbangan Magnesium

3.4.1. Hipomagnesemia

Secara umum, hipomagnesemia terjadi akibat kehilangan pada sistem pencernaan atau

pada ginjal. Asupan yang kurang dapat pula menjadi penyebab. Hal ini biasa terjadi pada

alkoholik, pemberian nutrisi enteral dalam jangka waktu yang lama atau kelainan

11 | P a g e

hipomagnesemia genetik. Redistribusi dari intrasel ke ekstra sel terjadi pada keadaan hungry

bone syndrome, hiperadrenergik, pankreatitis akut dan Refeeding syndrome. Gangguan Sistem

Pencernaan seperti pada semua penyakit diare dapat menyebabkan hipomagnesemia. Gangguan

malabsorpsi juga merupakan penyebab, dimana sering merupakan kelainan genetik.

Ekskresi pada ginjal yang banyak terjadi pada penggunaan diuretik, alkoholik akibat gangguan

reasorbsi, hiperkalsemia, ekspansi volume cairan ekstrasel, dan obat – obatan nefrotoksin seperti

aminoglikosida, sisplatin, siklosforin A, dan amfoterisin dan pentamidin. Barrter Syndrome dan

Gitelman Syndrome juga merupakan bagian dari kelompok penyebab ini, dimana Bartter

Syndrome merupakan kelainan pada transporter NaCl pada ansa henle ginjal, sedangkan

Gitelman Syndrome merupakan defek genetik yang berhubungan dengan transporter NaCl pada

tubulus distal ginjal.

3.4.2. Hipermagnesemia

Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan ginjal terminal, dimana ginjal

tidak dapat lagi mengekskresikan Mg sebagai mana mestinya. Selain itu, dapat juga disebabkan

oleh asupan yang berlebihan, walaupun sangat jarang terjadi. Penyebab paling banyak adalah

akibat penggunaan obat–obatan yang mengandung magnesium seperti pada antasida dan

beberapa laksansia. Penyebab lainnya adalah penggunaan litium untuk terapi maupun diagnostik,

hipotiroidisme, penyakit adison, penyakit hipokalsiurik hiperkalsemia, milk alkali syndrome dan

ketoasidosis diabetik. Selain itu, pada keadaan kerusakan jaringan eksesif, seperti syok, sepsis

atau luka bakar, juga dapat menjadi penyebab. Hemolisis juga dapat menjadi faktor pencetus

hipermagnesemia, mengingat kadar Mg eritrosit tiga kali lebih banyak dari Mg serum.

12 | P a g e

BAB IV

DIAGNOSIS

4.1. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Natrium

4.1.1 Diagnosis Hiponatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium dibawah 135 mmol/L. Berdasarkan klinis, hal yang

penting kita tentukan adalah hiponatremia akut yang ditandai dengan gejala kesadaran yang

menurun dan kejang. Sedangkan hiponateremia kronik ditandai dengan mengantuk dan lemas

saja, bahkan tanpa gejala. Dan untuk menentukan penyebab hiponatremia, perlu dilakukan

pemeriksaan osmolalitas serum, penilaian status Extracelluler Volume (ECV) dan natrium urin.

ECV diukur menggunakan perangkat laboratorium. Secara langsung, ECV diukur dengan

menggunakan zat kontras, dan diberi label dengan inulin, manitol dan sorbitol.

4.1.2 Diagnosis Hipernatremia

Diagnosis ditegakkan bila natrium palsma meningkat secara akut dengan nilai di atas 155

mEq/L. Dan berakibat fatal bila diatas 185 mEq/L Berdasarkan klinis dapat kita temui letargi,

lemas, twitching, kejang dan akhirnya koma. Untuk menentukan etiologi, selain pengukuran

natrium serum, perlu dilakukan pengukuran natrium urin dan dilakukan penilaian untuk

osmolalitas urin.

4.2. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalium

4.2.1. Diagnosis Hipokalemia

Diagnosis hipokalemia didasarkan kepada hasil pengukuran kalium serum kecil dari 3,5

mmol/L. Untuk mengetahui penyebab, dilanjutkan dengan pengukuran kalium urin, status asam

basa dan Transtubular Kalium Consentration Gradient (TTKG). Indeks ini menggambarkan

konservasi kalium pada duktus koligentes di korteks ginjal. Diukur dengan perhitungan :

Etiologi hipokalemia dapat berupa:

Hipokalemia dengan ekskresi kalium pada urin meningkat menunjukkan adanya

pembuangan yang berlebihan

13 | P a g e

TTKG=(K urin)/(K plasma) ∶ (Osmolalitas Urin)/(Osmolalitas Plasma)

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan asidosis metabolik menunjukkan

adanya pembuangan kalium yang berlebihan pada saluran cerna seperti pada diare.

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik menunjukkan

adanya muntah kronik atau pemberian diuretik jangka lama.

Hipokalemia dengan ekskresi kalium rendah dengan alkalosis metabolik dan disertai

hipotensi, merupakan pertanda Sindroma Bartter Hipokalemia dengan ekskresi kalium

tinggi dengan alkalosis metabolik dan disertai tekanan darah tinggi merupakan pertanda

hiperaldosteronisme primer Gejala hipokalemia dapat berupa kembung, otot kram,

mialgia dan mudah lelah. Bisa didapatkan hipertensi, dan perubahan pada EKG, yaitu

gelombang ‘u’, QT memanjang, bahkan aritmia.

4.2.2. Diagnosis Hiperkalemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan nilai kalium serum diatas 5,1 mmol/L dengan

manifestasi klinis kelemahan otot sampai paralisis, sehingga pasien merasa sesak nafas.

Pemeriksaan EKG mutlak dilakukan untuk melihat adanya gelombang T yang tinggi dan runcing

(T tall), AV Blok, QRS melebar atau aritmia ventrikel. Untuk mencari penyebab hiperkalemia,

perlu diukur TTKG.

4.3. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Kalsium

4.3.1. Diagnosis Hipokalsemia

Diagnosis dibuat berdasarkan kepada hasil pemeriksaan laboratorium, dimana kalsium

serum < 8,8 mmol/L, setelah nilai dikoreksi sesuai albumin serum. Nilai koreksi : Ca serum+

(0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual].

Gejala klinis dapat berupa:

Terutama gejala neurologik, yaitu bingung, ensefalopati, depresi, psikosis

Tanda Chovstek, yaitu Kontraksi otot wajah yang dirangsang dengan mengetuk ringan

nervus fasialis pada lokasi – lokasi tertentu

Gbr. 7. Tanda Chovstek22

Tanda Trousseau, yaitu spasme karpopedal. Dapat dicetuskan dengan pemasangan

torniket selama 3 menit.

14 | P a g e

4.3.2. Diagnosis Hiperkalsemia

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kalsium serum diatas 10,5 mmol/L

setelah nilai dikoreksi sesuai albumin serum.

Nilai koreksi : Ca serum+ (0,8 × [albumin serum normal-albumin aktual] )

Gejala klinis dapat asimtomatik dan dapat berupa: Konstipasi, anoreksia, nausea, muntah,

nyeri abdomen dan ileus

Pada peninggian yang lebih hebat, dapat muncul gejala emosi labil, delirium, psikosis,

lemas, dan kejang. Dapat terjadi nefrolotiasis atau uretrolitiasis.

4.4. Diagnosis Gangguan Keseimbangan Magnesium

4.4.1. Diagnosis Hipomagnesemia

Diagnosis hipomagnesemia ditegakkan berdasarkan nilai Mg serum dibawah 1,7 mmol/L.

Pemeriksaan magnesium bukan merupakan bagian dari pemeriksaan darah rutin untuk elektrolit.

Kemungkinan adanya hipomagnesemia harus dicurigai pada keadaan diare kronik, hipokalemia

berulang, hipokalsemia dan aritmia ventrikuler, khususnya pada keadaan iskemik.8,24

Dalam menegakkan diagnosis, perlu dibedakan apakah kelainan disebabkan oleh gangguan

ginjal atau kehilangan dari gastrointestinal dan hal ini penting untuk terapi. Dapat dibedakan

dengan memeriksa Mg urin 24 jam atau ekskresi fraksional. Excretion Fraction (EF) dihitung

dengan rumus :

〖EF〗_mg=(U_mg×P_Cr)/((0,7×P_mg ) )×U_Cr

PCr = Cr plasma, PMg = Mg plasma, UMg = Mg urin, UCr = Cr urin

Bila hasil EF24 : Mg urin 24 jam 10 – 30 mg atau EF urin > 2 % pada pasien dengan

fungsi ginjal normal, maka maka penyebanya adalah renal wasting ini disebabkan

pemakaian diuretik, aminoglikosida atau cisplatin

Bila EF bernilai antara 0,5 % – 2,7 %, maka disebabkan oleh non-renal

(gastrointestinal).

Bila EF bernilai antara 4 – 48 %, disebabkan oleh kehilangan Mg di ginjal.

Klinis dapat berupa gangguan neuromuskuler, seperti kram sampai kejang. Gangguan

elektrolit lain, seperti hipokalemia, hipokalsemia. Gangguan neurologi, seperti

depresi, vertigo, delirium sampai koreoatetosis.

4.4.2. Diagnosis Hipermagnesemia

15 | P a g e

Hipermagnesemia diartikan sebagai kadar Mg serum diatas 2,3 mmol/L. Berdasarkan

klinis, dapat ditegakkan diagnosis. Adapun klinis hipermagnesemia berupa : Nausea, flushing,

sakit kepala, letargi, penurunan refleks tendon. Dapat menjadi kelumpuhan otot, blok jantung

dan kematian. hipermagnesemia merupakan kasus yang jarang terjadi.

16 | P a g e

BAB V

PENATALAKSANAAN

5.1. Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Natrium

5.1.1. Penatalaksanaan Hiponatremia

Prinsip penatalaksanan hiponatremia adalah dengan mengatasi penyakit dasar dan

menghentikan setiap obat yang ikut menyebabkan hiponatremia. Sebelum memberikan terapi

sebaiknya ditentukan apakah hiponatremia merupakan hiponatremia hipoosmolalitas. Untuk

hiponatremia hiperosmolalitas, koreksi yang diberikan hanya berupa air saja. 18,21

Larutan pengganti yang diberikan adalah natrium hipertonik, bisa berupa NaCl 3% atau 5%

NaCl. Pada sediaan NaCl 3% yang biasa dipakai, terdapat 513 mmol dalam 1 liter larutan.

Koreksi pada hiponatremia kronik yang tanpa gejala, dapat diberikan sediaan oral, yaitu berupa

tablet garam.

Koreksi natrium secara intravena harus diberikan secara lambat, untuk mencegah central

pontin myelinolysis (CPM). Kadar Na plasma tidak boleh dinaikkan lebih dari 10-12 mmol/L

dalam 24 jam pertama. Terapi inisial diberikan untuk mencegah udem serebri. Untuk

hiponatremia akut dengan gejala serius, koreksi dilakukan agak cepat. Kadar natrium plasma

harus dinaikkan sebanyak 1,5-2 mmol/L dalam waktu 3-4 jam pertama, sampai gejala

menghilang. Kecepatan cairan infus diberikan 2-3 ml/kg/jam, setelah itu dilanjutkan dengan 1

ml/kg/jam, sampai kadar Na 130 mmol/L. Untuk koreksi hiponatremia kronik, diberikan dengan

target kenaikan sebesar 0,5 mmol/L setiap 1 jam, maksimal 10 mmol/L dalam 24 jam. Kecepatan

infus dapat diberikan 0,5 – 1 ml/kg/jam. Pemantauan kadar Na serum harus dilakukan setiap 2-4

jam. Untuk menetukan estimasi efek pemberian cairan infus dalam menaikkan kadar natrium

plasma, digunakan rumus:

Saat ini sedang mulai dipakai sediaan vasopressin receptor antagonis untuk meningkatkan

kadar natrium. Sediaan ini akan menghambat reseptor V2 di tubulus yang akan meningkatkan

ekskresi air, kemudian akan memperbaiki keadaan hiponatremia. Demeclocycline dan litium

juga dapat dipakai dimana sedian ini akan mengahambat respon ginjal terhadap vasopressin.

Selain itu, sediaan ini dapat juga diberikan sebagai pencegahan overkoreksi. Dosis

democlocycline dapat diberikan 300-600 mg perhari.

17 | P a g e

Perubahan Na serum= (Na dalam cairan infus-Na serum)/(TBW+1)

5.1.2 Penatalaksanaan Hipernatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian

besar penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit. Penatalaksanaan

hipernatremia dengan deplesi volume harus diatasi dengan pemberian cairan isotonik sampai

hemodinamik stabil. Selanjutnya defisit air bisa dikoreksi dengan Dekstrosa 5% atau NaCl

hipotonik. Hipernatremi dengan kelebihan volume diatasi dengan diuresis. Kemudian diberikan

Dekstrosa 5% untuk mengganti defisit air.

Untuk menghitung perubahan kadar Na serum, dapat ditentukan dengan mengetahui

kadar Na infus yang digunakan, dengan menggunakan rumus yang sama pada koreksi

hiponatremia. Perbedaannya hanya terletak pada cairan infus yang digunakan. Dengan begitu,

kita dapat melakukan estimasi jumlah cairan yang akan digunakan dalam menurunkan kadar Na

plasma.

5.2 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalium

5.2.1. Penatalaksanaan Hipokalemi

Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya, yaitu:

Indikasi mutlak, yaitu pada pasien dalam keadaan pengobatan digitalis, KAD, pasien

dengan kelemahan otot nafas dan hipokalemia berat.

Indikasi kuat, yaitu diberikan dalam waktu yang tidak terlalu lama yaitu pada keadaan

insufisiensi koroner, ensefalopati hepatik dan penggunaan obat-obat tertentu.

Indikasi sedang, dimana pemberian Kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia

ringan dengan nilai K antara 3-3,5 mmol/L.

Pemberian Kalium dapat melalui oral. Pemberian 40-60 mmol/L dapat meningkatkan

kadar Kalium sebesar 1-1,5 mmol/L. Pemberian Kalium intravena diberikan dalam

larutan KCl dengan kecepatan 10-20 mmol/jam. Pada keadaan dengan EKG yang

abnormal, KCl diberikan dengan kecepatan 40-100 mmol/jam. KCl dilarutkan dalam

NaCl isotonik dengan perbandingan 20 mmol KCl dalam 100 ml NaCl isotonik melalui

vena besar. Jika melalui vena perifer, KCl maksimal 60 mmol dilarutkan dalam NaCl

isotonik 1000 ml. Bila melebihi kadar ini, dapat menimbulkan rasa nyeri dan sklerosis

vena. Kebutuhan Kalium dapat dihitung dengan rumus :

18 | P a g e

(K yang diinginkan-K serum )/3 x BB

5.2.2. Penatalaksanaan Hiperkalemia

Penatalaksaan meliputi pemantauan EKG yang kontinu jika ada kelainan EKG atau jika

kalium serum lebih dari 7 mEq/L. Untuk mengatasi hiperkalemia dalam membran sel, diberikan

kalsium intravena, yang diberikan dalam bentuk kalsium glukonat melalui intravena dengan

sediaan 10 ml larutan 10% selama 10 menit. Hal ini berguna untuk menstabilkan miokard dan

sistem konduksi jantung. Ini bisa diulang dengan interval 5 menit jika tidak ada respon.

Memacu kalium kembali dari ekstrasel ke intrasel dengan cara pemberian 10 unit insulin dalam

50 ml glukosa 40% secara bolus intravena. Pemberian natrium bikarbonat yang dapat

meningkatkan pH sistemik yang akan merangsang ion H keluar dari dalam sel dan menyebabkan

ion K masuk ke dalam sel. Bikarbonat diberikan sebanyak 50 mEq intravena selama 10 menit.

Hal ini dalam keadaan tanpa asidosis. Kemudian pemberian Beta 2 agonis baik secara inhalasi

maupun drip intravena. Obat ini akan merangsang pompa NaK-ATPas dan Kalium masuk ke

dalam sel. Mengeluarkan kelebihan Kalium dari dalam tubuh dengan cara pemberian diuretik,

resin penukar, atau dialisis.

5.3 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Kalsium

5.3.1. Penatalaksanaan Hipokalsemia

Untuk menatalaksana hipokalsemia, sangat penting diperhatikan gejala klinis yang

muncul. Jika muncul tetani, berikan 10 ml Ca glukonat 10% selama 15-30 menit. Kemudian

dapat dilanjutkan dengan infus 60 ml Ca Glukonat dalam 500 ml Dekstrosa 5% dengan

kecepatan 0,5-2 mg/Kg/jam dengan pemantauan Kalsium setiap beberapa jam. Perlu diperiksa

kadar Magnesium serum dan koreksi jika ada kelainan. Pemantauan aritmia dengan EKG harus

dilakukan pada pasien yang mendapat digitalis. Koreksi dapat dilanjutkan dengan pemberian

Kalsium oral 1-7 gram/hari. Jika penyebabnya adalah sekunder terhadap defisiensi vitamin D,

maka perlu diberikan terapi pengganti vitamin D.

5.3.2. Penatalaksanaan Hiperkalsemia

Jika gejala berat atau Ca lebih dari 15 mg/dl, maka Ca serum harus diturunkan secepat

mungkin dengan cara diuresis paksa dan penggantian volume intravaskular dengan normal

saline. Dengan dosis 80-100 mg intravena per 12 jam dan normal saline diberikan 1-2 liter

19 | P a g e

selama 24 jam pertama. Kemudian awasi adanya hipokalemia, atau dengan memperbanyak

minum air sampai 3 liter perhari.

Pemberian Kalsitonin 4-8 unit SC setiap 6-12 jam akan dapat menurunkan Kalsium

serum 1-3 mg/dl. Bifosfonat membantu untuk menghambat aktifitas osteoklast, membantu pada

hiperparatiroid dan keganasan. Penatalaksanaan kronik diberikan dengan pengikat Kalsium oral,

yaitu Etidronat oral 1200-1600 mg/hari.

5.4 Penatalaksanaan Gangguan Keseimbangan Magnesium

5.4.1 Penatalaksanaan Hipomagnesemia

Dalam mengatasi hipomagnesemia, penyakit dasar harus segera diatasi. Pada keadaan

hipomagnesemia berat ( < 1 mmol/L dalam serum ), atau hipomagnesemia simtomatik dengan

kelainan neuromuskular, atau manifestasi neurologis, atau aritmia jantung, maka

penatalaksanaan diberikan dengan pemberian 2 gram Magnesium sulfat (MgSO4) dalam 100 ml

Dekstrosa 5% dalam waktu 5-10 menit. Bisa diulangi sampai total 10 gram dalam 6 jam

berikutnya. Teruskan penggantian dengan infus lanjutan sebanyak 4 g/hari selama 3 sampai 5

hari. Untuk mencegah rekurensi, maka dapat diberikan pemberian Mg oksida secara oral dengan

dosis 2 x 400 mg perhari, atau dengan Mg glukonat 2 – 3 x 500 mg perhari. Jika tidak terlalu

berat, dosis Magnesium sulfat diberikan 0,03-0,06 gram/Kg/hari dalam 4-6 dosis hingga

Magnesium serum normal. Teruskan terapi dengan sediaan oral selama ada faktor pencetus.

5.4.2 Penatalaksanaan Hipermagnesemia

Penatalaksanaan dilakukan dengan cara pemberian Kalsium glukonat 10% sebanyak 10-

20 ml selama 10 menit atau CaCl2 10%s ebanyak 5-10 mg/Kg secara IV. Kemudian pemberian

diuretik diberikan untuk memacu ekskresi. Pada pasien tanpa gangguan ginjal berat, dapat

diberikan Ca glukonas 10 % sebanyak 20 ml dalam 1 liter NaCl 0,9 %, dengan kecepatan 100 –

200 ml perjam.

20 | P a g e

BAB VI

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Diagnosis gangguan keseimbangan elektrolit ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan

hasil laboratorium dengan nilai diatas atau dibawah normal. Penatalaksanaan gangguan

keseimbangan elektrolit mencakup koreksi elektrolit dan mengatasi penyakit yang mendasarinya.

Pemahaman terhadap patofisiologi gangguan keseimbangan elektrolit akan menuntun

para klinisi untuk menetukan diagnosis dan penyebab gangguan tersebut, sehingga

penatalaksanaan dapat diberikan secara tepat.

6.2. Saran

Diperlukan pemahaman yang baik terhadap gangguan keseimbangan elektrolit, sehingga

dapat menegakkan diagnosis dengan cepat dan tepat, dan pada akhirnya dapat memberikan

penanganan yang tepat dan cepat pula.

21 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1. Darwis D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk.

Gangguan Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit

FKUI; 2010. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam : Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2006 : 529-37

2. Brenner R, Rector H, Livine AS. The Kidney. 7th ed. Pennsylvania: Elsevier; 2004: 775-

1064.

3. Shea MA, Hammil GB, Curtis HL, Szczech AL, Schulman AK et al. Medical Cost of

Abnormal Serum Sodium Levels. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-70, Stelfox TH,

Ahmed BS, Khandwala F, Zygun D, Shahpory R, Laupland K. The Epidemiology of

Intensive Care Unit-acquired hyponatremia and Hyperatremia in Medical-surgical

Intensive Care Units. Critical Care. 2008; 12 (6): 1-8

4. Thompson JC. Hyponatremia : New Association and New Treatment. European Journal

of Endocrinology. 2010; 162 : 161-3

5. Weiner DI, Wingo SC. Hypoklaemia – Consequences, Causes, and Correction. J Am Soc

Nephrol. 2000; 13 : 1180-87

6. Martin, JK. Clinical Consequences and Management of Hypomagnesemia. J Am Soc

Nephrol. 2009; 20: 2291-95

7. Ziegler R. Hypercalcemic Crisis. J Am Soc Nephrol. 2001; (12) S3-S9

Semenovskaya Z, Hypernatremia. [Internet] 2008 [Updated August 18, 2008; Cited

November 15, 2010]. Available from: http://www.emedicine.com

8. Lederer E. Hyperkalemia. [Internet] 2010 [Updated March 19, 2010; Cited November 15,

2010]. Available from : http://www.emedicine.com

9. Dispopulous. Color Atlas of Physiology. 5th Ed. Stuttgart. AppleDruck; 2003

Guyton CA, Hall EJ. Text Book of Medical Physiology 11th ed. Pensylvania:

McGrawHills; 2006: 348-81

10. Mardiana N. Dissoreder of Potassium Metabolism. In Book of Annual Meeting Pernefri

2009. Pernefri; Jakarta: 2009

22 | P a g e

11. Bindels JMR. 2009 Homer Smith Award : Minerals in Motion: From New Ion

Transporters to New Conceots. J Am Soc Nephrol 2008; 19: 764-770

12. Orson W, Bony O. Genetic Hypercalciuria. J Am Soc Nephrol. 2005; 16: 729-45

Fauci SA, Braunwald E, Kasper LD, Hauser LS, Longo LD, Jameson LJ, et al.

Electrolites and Fluid Balances. In Harrison’s Manual of Medicine. 17th ed. New York:

McGraw-Hill; 2009: 3-21

13. Adrogue JH, Madias EN. Hyponatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1581-89

Adrogue JH, Madias EN. Hypernatremia. N Engl J Med 2000; 342 (21): 1493-99

Weiner DI, Wingo SC. Hyperkalemia : A Potential Silent Killer. J Am Soc Nephrol.

1998; 9: 1535-43

14. Grabber AM. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik. Edisi ke 2. Jakarta: Framedia;

2003

Urbano LF. Sign of Hypocalcemia : Chvostek’s and Trousseau’s Sign. Hospital

Physician. 2000 : 43-45

15. Agraharkar M. Hypercalcemia. [Internet] 2010. [Update: March 2010; Cited: November

2010] available from: http://www.emedicine.com

16. Agus SZ. Hypomagnesemia. J Am Soc Nephrol. 1999; 10: 1616-22

17. Vaidya C, Ho W, Freda JB. Management of Hyponatremia : Providing Treatment and

Avoiding Harm. Cleve Clin J Med. October 2010; 77 (10): 715-25

23 | P a g e