refarat abses paru lady
DESCRIPTION
Tinjauan Pustaka mengenai Abses ParuTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Paru
2.1.1 Anatomi
Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40m2 untuk
pertukaran udara. Tiap paru memiliki bentuk yang menyerupai kerucut, memiliki puncak
yang tumpul yang berbatasan bagian bawah dari costa pertama, memiliki dasar cekung
yang mengikuti bentuk otot diafragma, memiliki permukaan costovertebra yang luas
dan mengikuti bentuk dari dinding thoraks, serta permukaan mediastinal cekung yang
menyokong perikardium.
Terdapat suatu struktur berupa membran pembungkus yang mengelilingi paru-
paru disebut pleura. Pleura terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis.
Pleura viseralis melekat pada paru sedangkan pleura parietalis membatasi aspek terdalam
dalam dinding dada, diafragma, serta sisi perikardium dan mediastinum. Di antara
kedua membran ini terdapat rongga yang disebut sebagai kavum pleura yang berisi cairan
pleura. Cairan pleura berfungsi sebagai pelumas untuk mengurangi gesekan antara kedua
pleura. Paru-paru kanan berukuran sedikit lebih besar dari paru-paru kiri.
Paru-paru kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu atas, tengah, dan bawah, oleh fisura
oblikus dan fisura horizontal. Sedangkan paru-paru kiri hanyamemiliki fisura oblikus
yang membagi paru menjadi 2 lobus, atas dan bawah.
2.1.2 Fisiologi Paru
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui,
dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada
turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik,
sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi
sama kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas melintasi membrane
alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm). Kekuatan pendorong untuk
pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial
oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan
fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran
udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida
ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir (Price,1994) Dalam keadaan beristirahat normal, difusi
dan keseimbangan oksigen di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25
detik dari total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru
normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru,
udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap,
terutama sewaktu berolahraga dimana waktu kontak total berkurang.
2.2 Abses Paru
2.2.1 Definisi
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru pada
satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada pasien tuberkulosis
paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibnading perempuan dan umumnya
terjadi pada umur tua karena terdapat peningkata insidens penyakit periodontal dan
peningkatan prevalensi aspirasi.
2.2.2 Etiologi
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme yaitu :
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi.
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
b. Kelompok bakteri aerob
- Gram positif : staphylococcus aureus, streptococcus microaerophilic,
streptococcus pyogenes, streptococcus pneumonia.
- Gram negatif : klebsiella pneumoniae, pseudomonas aeruginosa, escherichia coli,
haemophilus influenza, actinomyces species, nocardia species, gram negati
fbacilli
c. Jamur : mucoraceae, aspergillus species
Studi yang dilakukan Barlett et al mendapatkan 46% abses paru disebabkan hanya oleh
bakteri anaerob, sedangkan 43% campuran bakteri anaerob dan aerob.
2.2.3 Epidemiologi
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik,
dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%. Faktor host yang menyebabkan
prognosis memburuk antara lain usia lanjut, kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi
HIV atau bentuk lain imunosupresi, keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu.
Tingkat kematian untuk pasien dengan status imunokompromis mendasar atau
obstruksi bronkial yang kemudian membentuk abses paru dapat mencapai 75%. Organisme
aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat menghasilkan prognosa yang
buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat kematian abses paru yang disebabkan
oleh bakteri gram positif dan gram negatif digabungkan adalah sekitar 20%.
a. Jenis kelamin
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang
dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
a. Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan meningkatnya
penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan aspirasi pada usia ini.
Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal dipusat perkotaan dengan
prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang mengalami abses paru
adalah 41 tahun. Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise,
malnutrisi, debilitated dan khususnya orang-orang yang tidak pernah
mendapatkan antibiotik adalah orang-orang yang paling rentan dan memiliki
prognosis yang paling buruk.
2.2.4 Patofisiologi
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen.
Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk
akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor dan striktur bronkial. Keadaan ini
menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan
menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Abses jenis ini
banyak terjadi pada pasien bronchitis kronik karena banyaknya mukus pada saluran
napas bawahnya yang merupakan kultur medis ysng sangat baik bagi organisme yang
teraspirasi. Pada perokok usia lanjut keganasan bronkogenik bisa merupakan dasar
untuk terjadinya abses paru.
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau
sebagai fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuh.
Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses multipel dan biasanya
disebabkan oleh staphylococcus. Penanganan abses multipel adalah lebih sulit
daripada abses single walaupun ukurannya besar. Secara umum diameter abses paru
bervariasi dari beberapa milimeter sampai dengan 5cm atau lebih.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang
terjadi pada orang normal sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang
yang sebelumnya sudah mempunyai kondisis seperti obstruksi, bronchiektasis, dan
gangguan imunitas.
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang
menyebabkan terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami
konsolidasi, dengan organisme penyebabnya paling sering ialah Staphylococcus
Aureus, Klebsiella Pneumonia dan grup Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya
multipel dan berukuran kecil-kecil (<2 cm).
Bulla atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru. Kista
bronkogenik yang berisi cairan dan elemen sekresi epitel merupakan media kultur
untuk tumbuhnya mikroorganisme. Bila kista tersebut mengalami infeksi oleh
mikroorganisme yang virulens maka akan terjadilah abses paru.
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus
diafragma yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan
rongga pleura.
Abses paru biasanya satu (single), tapi bisa multipel yang biasanya unilateral
pada satu paru, yang terjadi pada pasien dengan keadaan umum yang jelek atau pasien
yang mengalami penyakit menahun seperti malnutrisi, sirosis hati, gangguan
imunologis yang menyebabkan daya tahan tubuh menurun, atau penggunaan
sitostatika. Abses akibat aspirasi paling sering terjadi pada segmen posterior lobus
atas dan segmen apikal lobus bawah, dan sering terjadi pada paru kanan, karena
bronkus utama kanan lebih lurus dibanding kiri.
Abses bisa mengalami ruptur kedalam bronkus, dengan isinya
diekspektorasikan keluar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara.
Kadang-kadang abses ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang bisa
diikuti dengan terjadinya fistula bronkopleura.
2.2.5 Manifestasi Klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari 4-6 minggu. Umumnya pasien mempunyai riwayat perjalanan
penyakit 1-3 minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu
makan, penurunan berat badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa
disertai menggigil dengan suhu tubuh mencapai 39,4 derajat celcius atau lebih. Tidak
ada demam tidak menyingkirkan adanya abses paru. Setelah beberapa hari dahak bisa
menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses
tersebut menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam
sampai dengan beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami
gangren. Sputum yang berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan
penyebabnya bakteri anaerob dan disebut dengan putrid abscesses, tetapi tidak
didapatkannya sputum dengan ciri diatas tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi
anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan keterlibatan pleura. Batuk darah bisa
dijumpai, biasanya ringan tapi ada yang masif.
Pada beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan
sputum yang berjumlah banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus
atas. Seringkali ditemukan adanya faktor predisposisi seperti disebutkan diatas.
Sedangkan abses paru sekunder seperti yang disebabkan oleh septic emboli paru
dengan infark, abses sudah bisa timbul hanya dalam waktu 2-3 hari.
Pemeriksaan fisis yang ditemukan adalah suhu badan meningkat sampai 40
derajat celcius, pada paru ditemukan kelainan seperti nyeri tekan lokal, pada daerah
terbatas perkusi terdengar redup dengan suara nafas bronchial. Bila abses luas dan
letaknya dekat dengan dinding dada kadang-kadang terdengar suara amforik. Suara
napas bronchial atau amforik terjadi bila kavitasnya besar dan karena bronkus masih
tetap dalam keadaan terbuka disertai dengan adanya konsolidasi sekitar abses dan
drainase abses yang baik. Biasanya juga akan terdengan suara ronchi.
Bila abses paru letaknya dekat pleura dan pecah akan terjadi piotoraks
(empiema torakis) sehingga pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan dinding
dada tertinggal pada tempat lesi, vocal fremitus menghilang, perkusi redup atau
pekak, bunyi nafas menghilang dan terdapat tanda-tanda pendorongan mediastinum
terutama pendorongan jantung ke arah kontralateral tempat lesi.
2.2.6 Gambaran Laboratoris
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3 dengan hitung jenis
bergeser ke kiri dan sel polimorfonuklear yang banyak terutama neutrofil yang
immatur. Bila abses berlangsung lama sering ditemukan adanya anemia. Pemeriksaan
dahak dapat membantu dalam menemukan organisme penyebab abses, namun dahak
tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi trantracheal, transtorakal atau
bilasan/sikatan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan terkontaminasi dengan
organisme anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran napas atas. Prosedur
invasif ini tidak biasa dilakukan, kecuali bila respons terhadap antibiotik tidak
adekuat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dari dahak adalah pewarnaan langsung
dengan teknik gram, biakan mikroorganisme aerob, anaerob, jamur, basil
mikobakterium tuberkulosis dan mikobakterium lain. Dahak bisa mengandung
spirochaeta, fusiform bacilli atau sejumlah besar bakteri baik yang patogen maupun
flora manusia seperti Streptococcus viridans. Clostridium dapat ditemukan dari
aspirasi transtrakeal. Kultur darah dapat membantu menemukan etiologi, sedangkan
pemeriksaan serologi juga dapat dilakukan untuk jamur dan parasit.
2.2.7 Gambaran Radiologi
Foto dada PA dan lateral sangat membantu dalam melihat lokasi lesi dan
bentuk abses paru. Pada hari pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan
gambaran opak dari satu atau lebih segmen paru, atau hanya berupa gambaran
densitas homogen yang berbentuk bulat. Kemudian akan ditemukan gambaran
radiolusence dalam bayangan infiltrat yang padat. Selanjutnya bila abses tersebut
mengalami ruptur sehingga terjadi drainase abses yang tidak sempurna kedalam
bronkus, maka baru akan tampak kavitas ireguler dengan batas cairan dan permukaan
udara didalamnya. Gambaran spesifik ini tampak dengan mudah bila kita melakukan
foto dada PA dengan posisi berdiri.
Khas pada abses paru anaerobik kavitasnya single (soliter) yang biasanya
ditemukan pada infeksi baru primer, sedangkan abses paru sekunder (aerobik,
nokomial atau hematogen) lesinya bisa multipel. Sepertiga kasus abses paru bisa
disertai empiema. Empiema yang terlokalisir dan disertai fistula bronkopleura akan
sulit dibedakan dengan gambaran abses paru. Untuk suatu gambaran abses paru
simple, noduler dan disertai limfadenopati hilus maka harus dipikirkan sebabnya
adalah suatu keganasan paru.
CT-scan bisa menunjukkan tempat lesi yang menyebabkan obstruksi
endobronkial, dan gambaran abses tampak seperti massa bulat dalam paru dengan
kavitasi sentral. CT scan juga bisa menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim
paru yang membedakannya dari empiema.
Lesi-lesi yang bisa menyebabkan abses paru bakterial meliputi karsinoma
bronkigenik dengan kavitas, bronkiektasis, empiema sekunder dari fistula
bronkopleura, tuberkulosis paru, bulla yang mengalami infeksi, nodul silikat dengan
sianosis sentral, abses hepar akibat amuba. Pemeriksaan diagnostik secara seksama
seperti yang disebutkan diatas harus dilakukan untuk membedakannya dari abses
biasa.
2.2.8 Diagnosis
Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menyingkirikan diagnosis
banding yang lain dengan gejala yang hampir menyerupai abses paru.
- Keluhan penderita yang khas seperti malaise, demam ringan sampai demam
tinggi, batuk purulen dan penurunan berat badan.
- Pemeriksaan laboratorium dimana terdapat peningkatan jumlah leukosit yang
umumnya mencapai 10.000-30.000/mm3. Anemia dapat ditemukan pada abses
lama.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi lokal meliputi penyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus
atau penyebaran langsung melalui jaringan sekitarnya. Abses paru yang drainasenya
kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan
penyebaran infeksi staphylococcus, sedangkan yang ruptur ke rongga pleura menjadi
piotoraks (empiema). Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif,
ruptur pleura viseralis sehingga terjadi piopneumotoraks dan fistula bronkopleura.
Abses paru yang resisten (kronik), yaitu yang resisten dengan pengobatan selama 6
minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen dan mungkin akan
menyisakan suatu bronkiektasis dan amiloidosis. Abses paru kronik bisa
menyebabkan anemia, malnutrisi, ganggguan cairan dan elektrolit serta gagal jantung
terutama pada manula.
2.2.10 Pengobatan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya
dari patogen penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari
empiema dan pencegahan komplikasi yang terjadi.
Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup. Bila abses paru pada
foto dada menunjukkan diameter 4 cm atau lebih sebaiknya pasien dirawat inap.
Posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada
diatas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah yang
terkena, maka hendaknya bagian atas tubuh pasien/kepala berada di bagian terbawah.
Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila abses telah
mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa.
Penyembuhan sempurna abses paru tergantung dari pengobatan antibiotik
yang adekuat dan diberikan sedini mungkin segera setelah sampel dahak dan darah
diambil untuk kultur dan tes sensitivitas. Kebanyakan kasus abses paru yang
disebabkan bakteri anaerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti, sehingga
pengobatan diberikan secara empirik. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan hanya
dengan antibiotik dan postural drainage, sedangkan kira-kira 10% harus dilakukan
tindakan operatif.
Antibiotik yang paling baik adalah clindamicyn karena mempunyai
spektrum yang lebih baik pada bakteri anaerob. Clindamicyn diberikan mula-mula
dengan dosis 3 x 600 mg intravena, kemudian 4 x 300 mg oral/hari, regimen alternatif
adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang memberikan sampai dengan 25 juta
unit atau lebih/hari dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian dilanjutkan
dengan penisilin oral 4 x 500-750 mg/hari. Antibitik parenteral diganti ke oral bila
pasien tidak panas lagi dan sudah merasa baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta
unit/hari dan metronidazol 2 gram/hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri
anaerob) yang diberikan selama 10 hari dikatakan sama efektifnya dengan
klindamisin, walaupun begitu harus diingat bahwa bakteri anaerob seperti Pretovella,
Bakterioides Spp dan Fusobacterium karena memproduksi beta-laktamase, resisten
terhadap penisilin. Kombinasi beta-laktam dan beta-laktamase inhibitor seperti
tikarkilin klavulanat, amoksisilin + asam klavulanat atau piperasilin + tazobaktam
juga aktif terhadap kebanyakan bakteri anaerob dan pada kebanyakan strain basil
gram negatif.
Dosis pengobatan tunggal metronidazol diberikan dengan dosis 15
mg/kgBB intravena dalam waktu lebih dari 1 jam, kemudian diikuti 6 jam kemudian
dengan infus 7,5 mg/kgBB 3-4 kali/hari, tetapi pengobatan tunggal dengan
metronidazole ini tidak dianjurkan tidak dianjurkan karena beberapa anaerobic cocci
dan kebanyakan microaerophilic streptococci sudah resisten. Pengobatan terhadap
penyebab patogen aerobik kebanyakan dipakai klindamisin + penisilin atau
klindamisin + sefalosporin.
Kemudian antibiotik diberikan sesuai dengan hasil tes sensivitas. Abses
paru yang disebabkan staphylococcus harus diobati dengan penicillinase-resistant
penicilin atau cefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk staphylococcus aureus
seperti yang disebabkan oleh emboli paru septik nosokomial pilihannya adalah
vankomisin. Abses paru yang disebabkan nocardia pilihannya adalah sulfonamid 3 x
1 gram oral. Abses paru amubik diberikan metronidazol 3 x 750 mg, sedangkan bila
penyakitnya serius seperti terjadi ruptur dari abses harus ditambahkan emetin
parenteral pada 5 hari pertama.
Antibiotik diberikan sampai dengan pneumonitis telah mengalami
resolusi dan kavitasnya hilang, tinggal berupa lesi yang kecil dan stabil dalam waktu
lebih dari 2-3 minggu. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu pengobatan
6-10 minggu dengan pemberian antibiotik oral sebagai pasien rawat jalan. Pemberian
antibiotik yang kurang dari waktu ini sering menyebabkan kekambuhan dengan
melibatkan organisme yang resisten terhadap antibiotik yang diberikan sebelumnya.
Tindakan operasi diperlukan pada kurang dari 10-20% kasus. Indikasi
operasi adalah :
- Abses paru yang tidak mengalami perbaikan
- Komplikasi : empiema, hemoptisis masif, fistula bronkopleura
- Pengobatan penyakit yang mendasari : karsinoma obstruksi primer/metastasis,
pengeluaran benda asing, bronkiektasis, gangguan mutulitas gastroesofageal,
malformasi atau kelainan kongenital.
Lobektomi merupakan prosedur paling sering, sedangkan reseksi
segmental biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil.pneumoektomi diperlukan
terhadap abses miltipel atau gangren paru yang refrakter terhadap penanganan
dengan obat-obatan. Angka mortalitas setelah pneumoektomi mencapai 5-10%.
Pasien dengan resiko tinggi untuk operasi maka untuk sementara dapat
dilakukan drainase per kutan via kateteer secara hati-hati untuk mencegah
kebocoran isi abses kedalam rongga pleura.
2.2.11 Prognosis
Prognosis abses paru simple terutama tergantung dari keadaan umum
pasien, letak abses serta luasnya kerusakan paru yang terjadi, dan respons pengobatan
yang kita berikan.
Faktor-faktor yang membuat prognosis menjadi jelek adalah kavitas yang
besar (lebih dari 6 cm), penyakit dasar yang berat, status imunocompromised, umur
yang sangat tua, empiema, nekrosis paru yang progresif, lesi yang obstruktif, abses
yang disebabkan bakteri aerobik (termasuk Staphylococcus Aureus dan basil gram
negatif), dan abses paru yang belum mendapat pengobatan dalam jangka waktu yang
lama. Angka mortalitas pada pasien-pasien ini bisa mencapai 75% dan bila sembuh
maka angka kekambuhannya tinggi.