ref 5

71

Upload: agustina-aida

Post on 30-Sep-2015

64 views

Category:

Documents


18 download

DESCRIPTION

ddsf

TRANSCRIPT

  • i

    Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352 Vol. 7 No. 3 November 2012

    Pengantar Redaksi

    Ungkapan puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan karena atas perkenan-Nya upaya untuk menerbitkan Jurnal Permukiman edisi ketiga ini dapat terwujud. Terbitan kali ini menyajikan enam tulisan berkaitan dengan bahasan perumahan dan lingkungan, komponen bahan bangunan alternatif, serta penyehatan lingkungan permukiman. Mengawali edisi kali ini Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan dan Rani Widyahantari membahas mengenai upaya untuk meningkatkan produktivitas yang sebelumnya menggunakan sumberdaya pasif (mesin, alat dan fasilitas kerja lainnya) menjadi menempatkan manusia sebagai sumberdaya aktif, yang harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kerja organisasi. Judul bahasan ini adalah Studi Ergonomi terhadap Rancangan Ruang Kerja Kantor Pemerintah Berdasarkan Antropometri Indonesia. Kajian Masalah Ekologis Dalam Penataan Permukiman Di Kawasan Pesisir-Zona Atas Air dipaparkan oleh Aris Prihandono. Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan model penataan permukiman di atas perairan berbasis ekologi dan kearifan lokal. Masih berkaitan dengan kearifan lokal, Bramantyo dalam bahasannya mengenai Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional Nias Selatan dan Perubahannya, menyimpulkan bahwa perubahan yang terjadi pada rumah tradisional Nias Selatan merupakan upaya untuk mempertahankan eksistensi yang secara umum tidak menghilangkan karakteristik asli arsitekturnya, namun ikut mempengaruhi kearifan lokal yang dimiliki terkait dengan resistensi bangunan tersebut terhadap ancaman gempa. Kawasan inner city residents memiliki peran penting yang signifikan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dalam hal menyediakan berbagai pilihan tempat tinggal yang variatif dan terjangkau, dan terutama karena posisi geografis yang strategis yang dapat dijadikan tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Hasil penelitian Peran Kawasan Inner City Residents Di Kota Bandung Bagi Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah dipaparkan oleh Heni Suhaeni. Emisi karbondioksida dapat dikurangi, salah satu caranya dengan mengurangi penggunaan semen Portland dalam pembuatan beton. Pemanfaatan material tambahan yang mempunyai sifat menyerupai semen seperti abu terbang (fly ash), silica fume, terak tanur tinggi, abu sekam padi, metakaolin dapat menggantikannya. Penelitian Pemanfaatan Abu Terbang dan Serbuk Gergaji untuk Pembuatan Mortar Ringan Geopolimer dilakukan oleh Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, dan Bambang Subiyanto. Tulisan penutup dalam edisi akhir tahun ini adalah mengenai Kapasitas Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Genangan Air (Banjir) oleh Sarbidi. Guna mengurangi risiko banjir di wilayah perkotaan antara lain melalui aplikasi sistem penampungan air hujan dengan subreservoir air hujan pada Ruang Terbuka Hijau (RTH). Semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat. Selamat membaca.

    Bandung, November 2012 Redaksi

  • ii

    Jurnal Permukiman ISSN : 1907 4352 Vol. 7 No. 3 November 2012

    Daftar Isi

    Pengantar Redaksi i Daftar Isi

    ii

    Studi Ergonomi terhadap Rancangan Ruang Kerja Kantor Pemerintah Berdasarkan Antropometri Indonesia Ergonomics Study of Design of Government Offices Workspace Based on Indonesian Anthropometry Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari

    126-137

    Kajian Masalah Ekologis Dalam Penataan Permukiman Di Kawasan Pesisir Zona Atas Air Study of Ecological Issues in Settlement Structuring on the Water Coastal Zone Aris Prihandono

    138-150

    Identifikasi Arsitektur Rumah Tradisional Nias Selatan dan Perubahannya Architecture Identification of South Nias Traditional Houses and Its Transformations Bramantyo

    151-161

    Peran Kawasan Inner City Residents Di Kota Bandung Bagi Kelompok Masyarakat Berpenghasilan Rendah The Role of Inner City Residents in the City of Bandung for the Low Income People Heni Suhaeni

    162-169

    Pemanfaatan Abu Terbang dan Serbuk Gergaji untuk Pembuatan Mortar Ringan Geopolimer The Utilization of Fly Ash and Sawdust for the Manufacture of Lightweight Geopolymer Mortar Dany Cahyadi, Triastuti, Anita Firmanti, Bambang Subiyanto

    170-175

    Kajian Subreservoir Air Hujan pada Ruang Terbuka Hijau Dalam Mereduksi Genangan Air (Banjir) Research on Rain Water Subreservoir is in the Green Opened Space to Reduce the Flooded Water Sarbidi

    176-184

    Katalog dan Abstrak Indeks Subjek

    185-188

    189

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    126

    STUDI ERGONOMI TERHADAP RANCANGAN RUANG KERJA KANTOR PEMERINTAH BERDASARKAN ANTROPOMETRI INDONESIA

    Ergonomics Study of Design of Government Offices Workspace Based on Indonesian Anthropometry

    1 Muhammad Nur Fajri Alfata, 2 Yuri Hermawan, 3 Rani Widyahantari

    1,2,3 Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang. Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kabupaten Bandung

    E-mail: [email protected] E-mail : [email protected] E-mail : [email protected]

    Diterima : 05 April 2012; Disetujui : 17 Juli 2012

    Abstrak

    Makalah ini membahas hasil penelitian ergonomi ruang kantor pemerintah berdasarkan antropometri manusia Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mensimulasikan kebutuhan ruang kerja yang optimum berdasarkan antropometri manusia Indonesia yang sebenarnya. Survei lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi aktifitas pokok, perabot dan peralatan yang digunakan di ruang kantor pemerintah di Indonesia. Luasan ruang kerja optimum bagi pegawai/karyawan kantor untuk melakukan aktifitas sesuai dengan kedudukannya dalam organisasi kantor diperoleh dengan simulasi komputer. Simulasi mock up digunakan untuk memvalidasi hasil simulasi komputer. Penelitian ini menghasilkan data aktifitas pokok dan penunjang kerja, serta perabot dan peralatan yang digunakan untuk mendukung aktifitas tersebut. Studi ini menunjukkan bahwa luasan ruang minimum untuk staf golongan I dan II adalah 1,9 m2, staf golongan III dan IV adalah 2,6 m2, pejabat eselon IV adalah 10,8 m2, pejabat eselon III adalah 20,5 m2, dan pejabat eselon II adalah 107 m2.

    Kata Kunci : Antropometri, ergonomi, kantor pemerintah, luasan minimum, simulasi

    Abstract

    This paper presents the result of ergonomic research on governments office based on Indonesians anthropometry. The research aims to simulate in need of optimum space movement based on the real Indonesian anthropometry. The field survey was carried out to identify the basic activities of workers, Furnitur and equipments used by workers. Optimum workspace area for workers or staffs to perform certain activities in accordance to their position in office organisation was obtained by computer simulation. Full scale simulation (mock up) was carried out to validate the result of computer simulation that have been done before.This research results data of basic and supporting activities, as well as Furnitur and equipments that were used to support those activities. This research shows that minimum area for staff level I and II is 1.9 m2, for level III and IV is 2.6 m2, for echelon IV is 10.8 m2, for echelon III is 20.5 m2, and for echelon II is 107.0 m2.

    Keywords : Anthropometry, ergonomics, governments office, minimum area of workspace, simulation

    PENDAHULUAN

    Seiring dengan kebutuhan manusia yang terus bertambah, kebutuhan akan ruang kerja yang nyaman untuk beraktifitas juga ikut berubah. Kebutuhan dalam ruang kerja ini pada umumnya didorong oleh kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi dan telekomunikasi, sehingga manusia mulai membangun fasilitas-fasilitas dalam ruang perkantoran. Selain itu, kebutuhan akan ruang pada kantor juga dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang sedang dilakukan.

    Paul Mahieu dalam Gie (2007) menyebutkan bahwa kantor adalah wadah tempat berlangsungnya pekerjaan administratif suatu badan usaha yang dapat dilakukan dengan mesin

    atau tangan. Sementara itu, Peusner (1972) membagi kantor ke dalam beberapa kategori, yaitu : kantor pemerintah, kantor komersial, kantor profesional, dan kantor bisnis. Manusia dan semua aktifitasnya dalam perkantoran, merupakan faktor utama dan terpenting dalam penentuan kebutuhan ruang gerak yang nyaman dalam gedung perkantoran (human centered design). Jika sebelumnya masih terpaku pada upaya peningkatan produktivitas melalui sumberdaya pasif (seperti misalnya mesin, alat maupun fasilitas kerja lainnya), maka saat ini manusia ditempatkan sebagai sumberdaya aktif yang harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan kinerja organisasi. Di sini, faktor yang terkait dengan fisik (fisiologi) maupun perilaku (psikologi) manusia

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    127

    saat berinteraksi dengan mesin dalam sebuah rancangan sistem manusia-mesin dan lingkungan kerja fisik menjadi pertimbangan utama (Wignjosoebroto, 2007).

    Pendekatan ergonomi perlu dilakukan dalam perencanaan dan perancangan ruang kerja yang berpusat pada manusia. Ergonomi merupakan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat manusia, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang sistem kerja yang baik agar tujuan dapat dicapai dengan efektif, aman dan nyaman (Sutalaksana, 2006), sehingga fokus utama ergonomi dalam perancangan objek, prosedur kerja dan lingkungan kerja adalah manusia itu sendiri (Sanders dan Mc Cormick, 1992). Sebagai sebuah sistem kerja, ruang kantor mengandung beberapa komponen kerja, dan masing-masing komponen tersebut berinteraksi satu sama lain (Darlis, et al, 2009). Tata ruang kantor yang ergonomis diperoleh melalui pengaturan tata letak dan fasilitas kerja untuk mencari gerakan-gerakan kerja yang efisien dan disesuaikan dengan aliran kegiatan dan gerakan yang efisien (Wignjosoebroto, 2003).

    Salah satu aspek penting dalam kajian ergonomi adalah antropometri tubuh manusia. Antropometri diartikan sebagai suatu ilmu yang secara khusus berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia yang digunakan untuk menentukan perbedaan pada individu, kelompok, dan sebagainya (Liliana, 2007). Data antropometri yang paling tepat untuk diimplementasikan adalah data yang diukur secara langsung terhadap populasi manusia yang nantinya akan mengoperasikan hasil rancangan tersebut (Wignjosoebroto, 2000).

    Selama ini Indonesia belum mempunyai data antropometri yang baik. Jikapun ada, sifatnya masih terbatas dan masih mengadopsi dimensi-dimensi internasional yang mempunyai postur tubuh lebih besar dibanding dengan postur tubuh orang Indonesia, seperti misalnya Neufert Architects Data, Human Dimension and Interior Standard, Anatomy of Interior Design, dan lain-lain. Data antropometri dari standar internasional tersebut dianggap kurang sesuai untuk digunakan pada perancangan yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia (Hermawan, et al, 2011). Karena itu, penyesuaian antropometri untuk mencapai optimalisasi gerak manusia Indonesia saat bekerja sangat diperlukan, dengan tetap memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan tentang faktor ergonomi untuk perkantoran.

    Tulisan ini berusaha menggali permasalahan ergonomi ruang kantor pemerintah di Indonesia, kemudian dilakukan perancangan ruang kantor

    yang berbasis pada data antropometri manusia Indonesia hasil penelitian Pusat Litbang Permukiman (2010; 2011), sehingga diperoleh ruang kantor yang efektif dan efisien dalam pemanfaatannya, serta dapat meningkatkan produktifitas kerja.

    METODOLOGI

    Disain Penelitian Disain penelitian ini adalah penelitian lapangan (survei) dan penelitian laboratorium. Survei dilakukan untuk mendapatkan data primer yang berupa data aktifitas pokok dan pola kerja, perabot dan peralatan yang digunakan dalam sistem kerja. Survei dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran lapangan dengan obyek survei berupa ruang kerja dan penghuninya, dan melalui kuesioner kepada para pegawai. Selanjutnya, data hasil survei lapangan dianalisis lebih lanjut melalui penelitian laboratorium dilakukan untuk menganalisis data hasil melalui simulasi komputer dan simulasi fisik skala 1:1.

    Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah gedung kantor pemerintah dan pegawainya, sehingga sampel diambil secara acak terhadap populasi tersebut. Sampel diambil di empat kota besar di Indonesia, yaitu : Jakarta, Surabaya, Makassar dan Medan, dengan pertimbangan bahwa pada keempat kota tersebut terdapat banyak aktifitas perkantoran pemerintah. Selain itu, keempat kota besar tersebut masing-masing juga merupakan ibukota provinsi.

    Sampel gedung yang digunakan dalam penelitian ini adalah gedung kantor pemerintah pusat dan daerah. Pemilihan sampel dilakukan secara acak, dengan mempertimbangkan kemudahan akses dalam melakukan survei lapangan. Sebelas bangunan gedung kantor pemerintah diambil sebagai sampel, yaitu : Gedung Manggala Wanabhakti (Jakarta); Gedung Keuangan Negara Sulawesi Selatan, DPRD Sulawesi Selatan, Bappeda Sulawesi Selatan, dan Kantor Walikota Makassar (Makassar); Kantor Walikota Medan, Kantor Gubernur Sumatera Utara (Medan); dan Kantor Dinas PU Cipta Karya dan Tata Ruang Jawa Timur, Dinas PU Pengairan Jawa Timur, dan Dinas PU Bina Marga Jawa Timur (Surabaya).

    Pemilihan sampel ruang kerja dan pegawai didasarkan pada kedudukannya dalam organisasi pemerintahan. Pada pemerintahan pusat, sampel mulai dari jabatan paling tinggi hingga paling rendah adalah Menteri/Wakil Menteri atau jabatan yang setara Menteri/Wakil Menteri hingga staf. Sementara itu, untuk pemerintah daerah, sampel mulai jabatan mulai Gubernur/Walikota hingga

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    128

    staf. Sampel ruang kerja dan pejabat setingkat Menteri dan Eselon 1 atau Kepala Daerah (Gubernur/Walikota/Bupati) tidak diperoleh karena kesulitan dalam akses ke ruangan serta pejabat yang bersangkutan. Informasi tentang pola kerja dan aktifitas pejabat yang bersangkutan diperoleh dari Sekretaris Pribadi.

    Jumlah sampel pegawai yang diambil dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Slovin :

    =

    +() (1)

    di mana n = ukuran sampel; N = ukuran populasi; dan e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir.

    Berdasarkan data jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia tahun 2010, yaitu sebesar 4.732.472 orang (BKN, 2011) dan persen kelonggaran ketidaktelitian ditentukan sebesar 5%, maka ukuran sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 399,99 orang (dibulatkan menjadi 400 orang responden).

    Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan melalui identifikasi fungsi ruang dalam bangunan kantor dan aktifitas yang terjadi didalamnya. Metode yang digunakan adalah mencatat pola dan fungsi ruang, pengukuran ruang dan penggambaran tata ruang dalam (layout). Kemudian, data yang diperoleh disusun dalam bentuk matrik tabulasi. Pertimbangan dalam menentukan aktifitas adalah aktifitas pokok yang dilakukan sehari-hari dan frekuensi aktifitas secara kualitatif. Data aktifitas pokok diperoleh melalui pengisian kuesioner dan identifikasi melalui jenis perabot yang digunakan.

    Pengambilan data pola dan fungsi ruang dilakukan dengan menggambarkan pada kertas kerja, sementara pengukuran ukuran ruang kerja dilakukan dengan menggunakan laser distance meter. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini memuat beberapa pertanyaan pokok, yaitu : identitas pribadi dan kedudukannya dalam organisasi kantor pemerintah, aktifitas pokok dalam kantor tersebut serta frekuensi aktifitas tersebut, peralatan dan perabot yang digunakan dan yang dibutuhkan untuk mendukung kerja, serta evaluasi kenyamanan aktifitas kerja (termasuk kesehatan dan kecelakaan kerja).

    Analisis Data Analisis data menggunakan peta aktifitas yang merupakan simulasi interaksi antara perabot dengan pengguna dan identifikasi gerakan yang kemungkinan besar dilakukan. Prinsip yang digunakan adalah kelonggaran (clearance

    dimensions) dan jarak jangkauan (reach dimension). Kelonggaran diperlukan untuk menentukan ruang minimum (space) yang diperlukan orang untuk leluasa melaksanakan aktifitas, sedangkan jarak jangkauan diperlukan untuk menentukan ukuran maksimum yang harus ditetapkan agar mayoritas populasi dapat menjangkau dan mengoperasikan peralatan atau perabot. Penentuan peta aktifitas gerakan-gerakan yang mungkin terjadi ditentukan berdasarkan pertimbangan perancangan yang diperoleh dari hasil professional judgements dari tim peneliti. Perancangan ergonomik untuk populasi memiliki tiga pilihan yaitu; design for extreme individuals; design for adjustable range dan design for average (Wignjosobroto, 2000). Dari hasil simulasi diperoleh dimensi ruang minimum yang dibutuhkan berdasarkan antropometri nilai besar (persentil 95) atau nilai kecil (persentil 5) dan jenis perabot yang digunakan. Hasil simulasi komputer divalidasi dengan simulasi fisik skala 1:1 (mock up)

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kantor pemerintah adalah wadah tempat berlangsungnya pekerjaan administrasi kepemerintahan sesuai dengan tugas dan fungsi dari suatu unit organisasi pemerintahan suatu negara. Di Indonesia, kantor pemerintah dikategorikan ke dalam bangunan gedung negara, yang pengadaannya dibiayai oleh negara, sehingga dalam perencanaan maupun perancangannya dibutuhkan standar yang efektif dan efisien. Standar ini diberlakukan terhadap setiap pembangunan ruang kantor, baik di tingkat pusat maupun daerah

    Penelitian ini melibatkan 440 responden dari 11 gedung kantor pemerintah di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Makassar, Medan dan Surabaya. Berdasarkan tingkat pendidikan, sebagian besar responden penelitian memiliki latar belakang Sarjana (S1) sebesar 46,4% (204 orang responden). Selanjutnya adalah berpendidikan SMA sebesar 24,1% (106), Strata 2 sebesar 12,3% (54), Diploma sebesar 9,3% (41), SMP sebesar 2,5% (11), dan SD sebesar 0,2% (1). Terdapat 5,2 % dari total responden (23) yang tidak menyebutkan latar belakang pendidikannya. Berdasarkan kedudukannya dalam organisasi, 82,5% dari total responden adalah staf, 4,8 % adalah pejabat setingkat eselon 4 (kasubbag atau kasubbid), dan 4,1% adalah pejabat setingkat eselon 3 (kabid atau kabag). Sebanyak 7,3% dari total responden menyatakan di luar jabatan di atas, dan hanya 1,4% responden yang tidak menyatakan posisinya. Penelitian ini tidak dilakukan terhadap pejabat setingkat eselon 2 dan 1 serta setingkat Menteri/Gubernur/Walikota karena keterbatasan

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    129

    akses dalam penggalian informasi lebih dalam pada ruang kerja tersebut.

    Aktifitas Kerja, Ruang, Perabot dan Peralatan Beberapa aktifitas pokok dalam perkantoran ditunjukkan dalam Tabel 1. Aktifitas pokok tersebut digolongkan dalam dua aktifitas utama, yaitu aktifitas duduk dan aktifitas berdiri, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki lima hari kerja, kecuali beberapa responden yang bekerja lebih dari lima hari (lembur). Waktu kerja rata-rata setiap hari adalah 8,35 jam, dengan waktu kerja minimal 6 jam dan maksimal 14 jam. Dari beberapa aktifitas pokok perkantoran yang bersifat personal, diperoleh data bahwa penggunaan komputer (PC) merupakan aktifitas yang paling banyak dilakukan oleh para pekerja dengan rata-rata penggunaan sebesar 6,11 jam. Meskipun demikian, tidak semua responden menggunakan komputer, karena ternyata terdapat pula responden yang hanya menggunakan komputer hanya 1 jam perhari, tetapi ada yang bahkan hingga 12 jam per hari. Demikian juga dengan pemakaian laptop dalam aktifitas pekerjaan, terdapat responden yang hanya menggunakannya satu jam per hari, ada yang menggunakan hingga 12 jam per hari. Rata-rata penggunaan laptop adalah 4,97 jam/hari.

    Tabel 1 Aktifitas Kantor Responden dan Lamanya Aktifitas

    Variabel Rata-rata Min Max Hari kerja (hari) 5,01 5 6 Waktu kerja (jam) 8,35 6 14 Di depan komputer (jam)

    PC 6,11 1 12 Laptop 4,97 1 10

    Menggunakan printer (jam) 2,98 0,5 12 Duduk (jam) 6,05 1 12 Berdiri (jam) 2,55 1 18 Membaca (jam) 3,81 1 11 Telepon (jam) 1,69 0,1 9 Istirahat (menit) 56,20 30 120

    Tabel 2 Kategorisasi Aktifitas Kantor Aktifitas Pokok Aktifitas Penunjang

    Aktifitas Duduk Membaca Menulis Menggunakan komputer

    (PC/Laptop) Menggunakan mesin ketik Aktifitas Berdiri Mengambil/menyimpan

    berkas di lemari Menerima telepon

    Makan/Minum Buang air besar/kecil Ibadah/Shalat Istirahat Menerima tamu Rapat

    Kebutuhan akan ruang terkait erat dengan kedudukan pegawai dalam organisasi kantor. Semua level pegawai, dari level pimpinan hingga staf, memiliki aktifitas pokok dalam pekerjaan sebagaimana disebutkan dalam Tabel 2. Namun, terdapat perbedaan ruang yang mewadahi

    aktifitas-aktifitas tersebut. Pada tingkatan pimpinan, aktifitas menerima telepon atau fax merupakan aktifitas duduk, karena pesawat telepon/fax tersedia di meja kerja. Sementara untuk staf, pesawat telepon/fax merupakan aktifitas yang dilakukan pada ruang publik/komunal. Untuk aktifitas menggunakan mesin ketik, level pimpinan tidak menggunakan mesin ketik tersebut. Sementara pada staf, mesin ketik berada pada ruang komunal.

    Selain aktifitas pokok, terdapat juga aktifitas penunjang seperti aktifitas makan/minum, buang air besar/kecil, ibadah/shalat, istirahat, rapat, dan menerima tamu. Semua pegawai pada semua tingkatan organisasi melakukan aktifitas penunjang tersebut. Baik aktifitas pokok maupun aktifitas penunjang membutuhkan ruang untuk mewadahinya. Perbedaannya terletak pada lokasi dan sifat ruang tersebut. Pada level pimpinan, semua aktifitas kantor dilakukan di ruang privat (yang terintegrasi dengan ruang kerja). Terdapat juga perbedaan antarlevel pimpinan dalam mewadahi aktifitas dalam ruang kerja tersebut. Semua aktifitas dalam pekerjaan, baik aktifitas pokok, aktifitas penunjang, maupun aktifitas publik pada pimpinan setingkat Menteri atau Gubernur/ Walikota diwadahi dalam ruang kerja pribadi, sementara untuk level pimpinan di bawahnya (setara eselon 3 dan 4) terdapat beberapa aktifitas yang diwadahi di ruang komunal. Perbedaan tersebut ditunjukkan dalam Tabel 3.

    Rapat dilakukan oleh semua pegawai, mulai dari pimpinan tertinggi hingga staf. Untuk melakukan aktifitas tersebut, digunakan ruang rapat. Pada umumnya ditemui dua jenis ruang rapat, yaitu ruang rapat pribadi dan ruang rapat besar/ bersama. Ruang rapat pribadi umumnya dimiliki oleh pimpinan dan menjadi bagian yang integral dari ruang kerja pimpinan. Ruang rapat pribadi biasanya dimiliki hingga pejabat setingkat eselon 2. Sementara untuk pejabat setingkat eselon 3 hingga staf menggunakan ruang rapat bersama. Kebutuhan akan ruang rapat sangat tergantung pada kebutuhan jumlah peserta rapat dan frekuensi rapat yang dilakukan.

    Sebagai konsekuensi dari perbedaan lokasi dan sifat ruang kerja, peralatan dan perabot/mebeler yang digunakan oleh pegawai juga berbeda-beda. Tabel 4 menunjukkan perabot/mebeler yang digunakan, sementara Tabel 5 menunjukkan perbedaan perabot yang digunakan pada tingkatan jabatan yang berbeda.

    Selain ruang dan perabot/mebeler, peralatan kantor juga mutlak diperlukan dalam mendukung aktifitas kerja kantor. Seiring dengan perkembangan teknologi, peralatan kantor yang

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    130

    digunakan juga semakin berkembang, terutama peralatan teknologi komunikasi dan informasi. Kebutuhan peralatan pendukung kantor berbeda-beda menurut perbedaan aktifitas yang didasari oleh hirarki jabatan dalam organisasi kantor pemerintah. Kompleksitas kebutuhan peralatan dan ini berkaitan erat dengan aktifitas kerja masing-masing sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kebutuhan alat kantor tersebut juga membawa konsekuensi kebutuhan ruang untuk mewadahi peralatan kantor tersebut. Beberapa peralatan kantor yang diperlukan serta kebutuhan alat berdasarkan hirarki jabatan dalam organisasi kantor pemerintah ditunjukkan oleh Tabel 6.

    Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat beberapa peralatan yang sebenarnya dibutuhkan oleh pimpinan tetapi pemanfaatannya didelegasikan kepada staf, seperti misalnya mesin fotokopi, mesin ketik, scanner, dan plotter. Tabel 6 juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa peralatan

    yang dibutuhkan tetapi sifat penggunaannya berbeda. Misalnya, telepon, dispenser, kulkas, televisi pada level pimpinan bersifat personal (pribadi) sementara pada level staf bersifat komunal. Bahkan, terdapat pola penggunaan peralatan di mana komputer (PC) dan semua peralatan pendukungnya (printer, scanner, dsb) bersifat komunal.

    Selain itu, terdapat beberapa perabot yang ada tetapi tidak fungsional untuk mewadahi aktifitas. Perabot tersebut lebih berfungsi sebagai media untuk mewadahi kebutuhan estetika maupun aktualisasi diri untuk menunjukkan kelas sosial penghuninya (Halim, 2005). Beberapa perabot seperti lemari display (untuk souvenir), ukuran meja yang besar serta bentuk kursi yang mewah, adalah salah satu perabot yang lebih berfungsi sebagai identitas sosial yang berkaitan dengan jabatan tertentu.

    Tabel 3 Tempat dan Aktifitas Pegawai Berdasarkan Kedudukannya dalam Organisasi

    Jabatan

    Ruang yang dibutuhkan

    Ruang untuk aktifitas pokok Ruang aktifitas penunjang Baca/ Tulis

    PC/ Laptop

    Print Telp/

    Fax Arsip/

    File Sholat/ Tidur

    Toilet Makan/ Minum

    Rapat Terima tamu

    Menteri/ Gub

    Ruang Kerja Ruang Simpan

    Ruang Sholat/ Tidur

    Ruang Toilet

    Ruang Makan

    R. Rapat (privat & bersama terbatas, besar)

    R. Terima Tamu, R. Sekretaris R. Tunggu, R. Ajudan R. Security

    Wakil Menteri/ Gub

    Ruang Kerja Ruang Simpan

    Ruang Sholat

    Ruang Toilet

    Ruang Makan

    R. Rapat (privat & bersama terbatas)

    R. Terima Tamu, R. Sekretaris R. Tunggu, R. Ajudan

    Eselon 1 Ruang Kerja Ruang Simpan

    Ruang Sholat

    Ruang Toilet

    Ruang Makan

    R. Rapat (privat & bersama terbatas)

    R. Terima Tamu, R. Sekretaris R. Tunggu,

    Eselon 2 Ruang Kerja Ruang Simpan

    Ruang Sholat

    Ruang Toilet

    Ruang Makan

    R. Rapat (privat & bersama terbatas)

    R. Terima Tamu, R. Sekretaris R. Tunggu,

    Eselon 3 Ruang Kerja Ruang Simpan bersama

    Mushola Ruang Toilet komunal

    Di luar R. Rapat bersama R. Terima Tamu

    Eselon 4 Ruang Kerja Ruang Simpan bersama

    Mushola Ruang Toilet Komunal

    Di luar R. Rapat bersama Kursi hadap

    Staf Gol 4 Ruang Kerja Bersama Ruang

    Simpan bersama

    Mushola R Toilet Komunal

    Di Luar R. Rapat bersama Kursi hadap

    Gol 3 Ruang Kerja Bersama Ruang Simpan bersama

    Mushola R Toilet Komunal

    Di luar R. Rapat bersama Kursi hadap

    Gol 2 Ruang Kerja Bersama Mushola R Toilet Komunal

    Di luar Di luar

    Gol 1 Ruang Kerja Bersama Mushola R Toilet Komunal

    Di luar Di luar

    Dengan kondisi tatanan ruang, ketersediaan luas ruang kerja, furnitur, dan alat bantu kerja yang ditemui di lapangan, para pegawai pada umumnya menyatakan nyaman walaupun fasilitas yang tersedia sangat terbatas, khususnya pada staf yang hanya ada meja dan kursi dengan rentang sirkulasi

    yang sempit. Hanya sebagian kecil pegawai yang menyatakan ketidaknyamanan beraktifitas, yang pada umumnya karena harus menggunakan fasilitas yang disediakan secara komunal seperti telepon, fotokopi, printer, bahkan komputer dan mesin ketik. Keluhan ini disebabkan karena

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    131

    sirkulasi untuk menjangkau fasilitas tersebut tidak baik dan harus bergantian dalam penggunaannya.

    Persepsi responden tentang kenyamanan tersebut sangat subjektif, dan sangat dipengaruhi oleh hierarki birokrasi yang secara psikologis tidak memungkinkan mereka menolak apa yang mereka terima untuk menyatakan ketidaknyamanannya. Karena persepsi ini sangat subyektif, maka tidak bisa dijadikan acuan dalam penentuan kenyaman-an ruang gerak. Karena itu, dalam penentuan luasan minimum bagi pegawai untuk mendapatkan ruang gerak, digunakan professional judgement melalui simulasi ruang gerak, baik simulasi komputer maupun simulasi fisik (mock-up).

    Tabel 4 Perabot/Furnitur yang Digunakan No Aktifitas Perabot/Furnitur

    1 Pokok Kerja a. Meja dan kursi kerja b. Meja samping

    Simpan c. Lemari buku, display d. Filing cabinet e. Credenza

    2 Penunjang Shalat f. Rak/lemari Toilet g. Rak handuk Istirahat h. Tempat tidur

    Makan/minum i. Pantry, meja dan kursi makan

    Rapat j. Meja dan kursi rapat Terima tamu k. Kursi hadap, meja dan

    kursi tamu

    Tabel 5 Perabot yang Digunakan untuk Mendukung Aktifitas Kantor

    Jabatan

    Furnitur yang Dibutuhkan Pegawai/Karyawan

    Aktifitas Pokok Aktifitas Penunjang

    Kerja Simpan Sholat Toilet Istirahat Makan Rapat Terima Tamu

    (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k)

    Menteri Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

    Wakil Menteri

    Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

    Eselon 1 Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

    Eselon 2 Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada

    Eselon 3 Ada Ada Ada Ada Ada Ada* Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Ada (meja kursi rapat pribadi)

    Ada +

    Eselon 4 Ada Ada Ada* Ada Tidak ada

    Ada* Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada Ada +

    Staf Gol 4 Ada Ada Ada* Ada Tidak

    ada Ada* Tidak

    ada Tidak ada Tidak

    ada Tidak ada Tidak ada

    Gol 3 Ada Ada Ada Ada Tidak ada

    Ada* Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Gol 2 Ada Ada Ada* Ada* Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Gol 1 Ada Ada Ada* Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Tidak ada Tidak ada

    Keterangan: Notasi (a), (b), dst pada kolom mengacu pada Tabel 4 * Bersifat komunal + Berupa kursi hadap

    Tabel 6 Peralatan Kantor yang Dibutuhkan Pegawai dalam Ruang Kerja

    Ked

    ud

    uk

    an d

    alam

    O

    rgan

    isas

    i

    Alat Bantu Kerja yang Dibutuhkan

    Aktifitas Pokok Aktifitas Penunjang

    PC

    Lap

    top

    Mes

    in

    ket

    ik

    Scan

    ner

    Pri

    nte

    r

    Fo

    tok

    op

    i

    Plo

    tter

    Tel

    epo

    n

    Dis

    pen

    ser

    Ku

    lkas

    Lay

    ar &

    In

    focu

    s

    TV

    Menteri Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Wakil Menteri Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Eselon 1 Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Eselon 2 Perlu Perlu Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Perlu Perlu Eselon 3 Perlu Perlu Perlu Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Tidak Perlu Eselon 4 Perlu Perlu Perlu Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu Tidak Perlu* Staf Gol 4 Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu* Perlu* Perlu* Perlu* Perlu* Tidak Perlu* Gol 3 Perlu Tidak Tidak Perlu Perlu Perlu* Perlu* Perlu* Perlu* Perlu* Tidak Gol 2 Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu* Tidak Perlu* Perlu* Perlu* Tidak Gol 1 Tidak Tidak Perlu Tidak Tidak Perlu* Tidak Perlu* Perlu* Perlu* Tidak

    Keterangan: * Bersifat komunal

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    132

    Ruang Kerja yang Ergonomis Lingkungan kerja yang ergonomis memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja pegawai (Kusuma, 2007). Prinsip dan langkah-langkah perancangan ruang kerja yang ergonomis sudah banyak didiskusikan oleh beberapa penulis, diantaranya oleh Wignjosoebroto (2000, 2007), Liliana (2007), Sutalaksana (2006), Amali (2008), Darlis et al (2009), dan lain sebagainya. Diskusi-diskusi tersebut setidaknya menyimpulkan beberapa aspek penting dalam perancangan ruang yang ergonomis, yaitu : data antropometri yang memadai, aktifitas dan pola/cara kerja, peralatan/mesin dan perabot yang ada dan digunakan.

    Aspek penting dalam perancangan ruang yang ergonomis adalah data antropometri yang memadai. Data antropometri yang ada masih masih mengacu pada data antropometri internasional, padahal data antropometri dari standar internasional kurang sesuai untuk digunakan pada perancangan yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia (Hermawan, et al, 2011). Perancangan sistem kerja yang efisien perlu dilengkapi dengan data antropometri yang tepat dan akurat sehingga bentuk dan geometris sistem dan fasilitas kerja yang dirancang sesuai dengan ukuran segmen-segmen bagian tubuh manusia yang nantinya akan mengoperasikan sistem tersebut. Data antropometri yang paling tepat untuk diimplementasikan adalah data yang diukur secara langsung terhadap populasi manusia yang nantinya akan mengoperasikan hasil rancangan tersebut (Wignjosoebroto, 2000). Karena itu, data antropometri dalam perancangan ini mengacu pada data antropometri yang dihasilkan oleh penelitian Pusat Litbang Permukiman tahun 2010 dan divalidasi pada tahun 2011, yang merupakan hasil pengukuran secara langsung dimensi tubuh manusia Indonesia.

    Setelah mendapatkan data antropometri yang memadai, tahapan perancangan ruang kerja yang ergonomis selanjutnya antara lain : (1) Menentukan aktifitas yang akan diwadahi dalam kantor atau ruang kerja, (2) Menentukan peralatan yang diperlukan untuk aktifitas tersebut, (3) Menentukan ruang yang diperlukan untuk kegiatan (aktifitas), (4) Mengintegrasikan ruang setiap kegiatan untuk menetapkan ruang gabungan semua kegiatan itu dan kemudian mewadahkan pada ruang bangunan yang tersedia.

    Visualisasi rancangan perlu memperhatikan posisi tubuh secara normal, kelonggaran (pakaian dan ruang) dan variasi gerak. Selanjutnya, pengaturan tempat kerja, penyusunan perabot/mebeler dan peralatan pendukung harus mempertimbangkan

    gerakan yang efektif, efisien, nyaman dan aman, dan disesuaikan dengan kemampuan tubuh manusia, aktifitas kerja dan lingkungan kerja sehingga diperoleh kinerja yang optimal.

    Berdasarkan data antropometri, peta aktifitas kerja serta peralatan dan perabot yang digunakan, maka dilakukan simulasi komputer untuk merancang dan merencanakan ruang kerja yang ergonomis. Kebutuhan luas minimum berdasarkan hasil simulasi ditunjukkan dalam Tabel 8. Tabel 8 belum mempertimbangkan rentang toleransi kelonggaran jarak yang pada umumnya berada pada kisaran 10-15% (Neufert, 1989; Panero&Zelnik, 1979). Hasil contoh simulasi komputer pada beberapa ruang kerja pegawai dapat dilihat pada Gambar 1-3. Ruang pejabat setingkat Menteri/Wakil Menteri atau Gubernur/Wakil Gubernur, dan pejabat setingkat Eselon 1 (Dirjen/Kepala Badan atau Sekda) belum dapat disimulasikan karena kekurangan data tentang aktifitas serta perabot dan peralatan yang digunakan untuk menunjang aktifitas kantor pejabat tersebut.

    Gambar 1 memperlihatkan hasil simulasi kebutuh-an ruang kerja yang menggunakan komputer berdasarkan pada antropometri tubuh manusia Indonesia. Simulasi memperlihatkan tinggi meja dan kursi kerja yang sesuai dengan antropometri tubuh manusia Indonesia sehingga posisi pegawai mendapatkan kelonggaran (clearence dimensions) yang sesuai. Kelonggaran dirancang dengan menggunakan antropometri persentil 95 laki-laki, sehingga diharapkan orang Indonesia dengan persentil dibawahnya, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kelonggaran yang cukup untuk melakukan aktifitasnya. Sementara itu, jarak jangkauan dirancang dengan menggunakan antropometri persentil 5 perempuan, agar persentil lain dapat menjangkau peralatan yang digunakan dalam ruang kerja. Perancangan ergonomis juga tetap mempertimbangkan aspek design for extreme individuals, design for adjustable range dan design for average (Wignjosoebroto, 2000)

    Gambar 1 memperlihatkan posisi pegawai yang duduk tegak, kepala dan leher serta punggung lurus, siku bersudut 90o, dan kaki menjejak ke lantai dalam posisi yang optimum. Tinggi kursi dirancang berdasarkan ukuran tinggi popliteal ekstrim, yaitu persentil 95 laki-laki (45 cm) dan persentil 5 perempuan (34 cm). Panjang dan lebar meja memungkinkan pegawai mendapatkan jarak jangkauan (reach dimensions) yang sesuai. Peralatan kantor seperti komputer, pesawat telepon, maupun tempat catatan/berkas, diletakkan sedemikian rupa sehingga semua orang dapat menjangkau dan mengoperasikan komputer

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    133

    dengan baik menjangkau ke arah peralatan kantor seperti pesawat telepon dan printer tanpa harus melakukan aktifitas berdiri. Jarak jangkauan yang digunakan adalah persentil 5 perempuan. Panjang dan lebar ruangan dirancang berdasarkan jangkauan rentang tangan persentil 95 laki-laki, yaitu sekitar 170 cm. Diskusi lebih lanjut meja dan kursi ergonomis untuk komputer dapat dilihat lebih jauh pada studi Sundari (2010), serta bagaimana posisi tubuh yang ergonomis dalam

    mengoperasikan komputer dapat dilihat dalam tinjauan Amali (2008).

    Gambar 1 berlaku untuk pegawai laki-laki maupun perempuan, meskipun pada kenyataannya terdapat perbedaan dimensi tubuh antara laki-laki dan perempuan (Hermawan, et al, 2011). Sehingga, perlu penyesuaian lebih lanjut apabila hendak digunakan untuk pegawai dengan jenis kelamin tertentu.

    Gambar 1 Simulasi Ruang Kerja dengan Komputer (PC)

    Aspek sirkulasi tidak dapat dikesampingkan dalam perencanaan ruang kerja yang ergonomis. Lebar sirkulasi berbeda tergantung pada penataan ruang kerja. Gambar 2 menunjukkan model penataan ruang kerja. Lebar ruang sirkulasi dalam ruang kerja didasarkan pada ukuran lebar bahu persentil 95 laki-laki, yaitu 48 cm (Gambar 2.a). Dengan demikian, ruang sirkulasi hanya cukup untuk dilalui oleh satu orang dan harus digunakan secara bergantian. Apabila penataan ruang kerja seperti

    Gambar 3.b, maka ruang sirkulasi dihitung berdasarkan ukuran pantat popliteal persentil 95 laki-laki, yaitu 49 cm. Sirkulasi inipun juga hanya dapat dilalui oleh satu orang saja. Dengan kondisi ini, pegawai mendapatkan keleluasaan dalam bekerja dan sikap alami dalam bekerja yang sesuai dengan ergonomi tubuh dapat terwujud, sehingga kelelahan maupun keluhan muskuloskeletal karena kerja dapat dicegah.

    (a) (b)

    Gambar 2 Pola Penataan Ruang Kerja dan Lebar Ruang Sirkulasi

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    134

    Ruang pejabat eselon IV pada dasarnya terdiri dari satuan ruang kerja sebagaimana disimulasikan pada Gambar 1 dengan penambahan beberapa perabot sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 5. Demikian juga dengan pejabat setingkat eselon II dan III. Gambar 3 menunjukkan simulasi ruang-ruang tersebut. Hasil simulasi ditunjukkan dalam Tabel 7.

    Simulasi hanya mempertimbangkan aspek-aspek ergonomis, tidak mempertimbangkan fungsi lain di luar ergonomi (seperti misalnya fungsi estetika dan kebutuhan aktualisasi diri yang cenderung kepada status sosial atau kedudukannya dalam kantor) (lihat Tabel 8). Meskipun demikian, penelitian lapangan menunjukkan bahwa ukuran ruang kerja serta perabot dan peralatan yang digunakan pejabat setingkat eselon II dan III

    memiliki kecenderungan lebih sebagai simbol status sosial atau kedudukannya dalam organisasi kantor. Sehingga, luas kantor sebagaimana ditunjukkan dalam hasil simulasi dapat tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya (Tabel 8).

    Validasi dengan menggunakan simulasi fisik 1:1 (mock up) menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan menggunakan simulasi komputer. Hanya terdapat perbedaan ukuran sekitar 2-3 cm. Tidak terlihat adanya kesulitan maupun kelonggar-an dalam proses-proses aktifitas maupun sirkulasi dalam ruangan. Bahkan, terlihat tidak terdapat kesulitan yang berarti pada model (pegawai) ketika melakukan skenario emergency (kondisi darurat bahaya) (lihat Gambar 4).

    (a) (b)

    Gambar 3 Contoh Pola Penataan Ruang Kerja (a) Unit Eselon III dan, (b) Ruang Kerja Pejabat Eselon II

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    135

    Gambar 4 Simulasi Fisik Skala 1:1 untuk Validasi Simulasi Komputer pada Ruang Staf

    Tabel 7 Hasil Simulasi Kebutuhan Ruang untuk Pegawai Kantor Pemerintah Kedudukan dalam

    Organisasi Jenis ruang Perabot Keterangan Luas (m2)

    Eselon II Ruang staf Meja kerja, kursi kerja, meja samping, credenza, filing cabinet

    9,2

    Ruang tunggu Sofa, meja tamu Kapasitas 5 org 5,67 Display Lemari 3,8 Ruang tamu pribadi Meja dan kursi tamu Kapasitas 7 org 11,9 Ruang rapat pribadi Meja dan kursi rapat Kapasitas 12 org 13,4 Ruang kerja pribadi Meja kerja, kursi kerja,

    Meja samping, Kursi hadap, credenza, filing cabinet

    9,6

    Ruang istirahat pribadi Sofa 3,4 Toilet pribadi Shower, toilet, wastafel 3,4 Ruang rapat terbatas Meja dan kursi rapat Kapasitas 30 org 46,6 Total 107,0

    Eselon III Ruang kerja pribadi Meja kerja, Meja samping, Kursi kerja, Credenza, File cabinet, Lemari buku, Kursi hadap

    10,3

    Ruang tamu Meja dan kursi tamu 10,2 Total 20,5 Eselon IV Ruang kerja pribadi Meja dan kursi kerja,

    Meja samping, Credenza. Lemari buku Kursi hadap

    10,8

    Staf Golongan III dan IV

    Ruang kerja pribadi Meja kerja, Meja samping, Kursi kerja

    2,6

    Staf Gol. I dan II Ruang kerja pribadi Meja kerja, kursi kerja 1,9

  • Studi Ergonomi terhadap Rancangan (Muhammad Nur Fajri Alfata, Yuri Hermawan, Rani Widyahantari)

    136

    Tabel 8 Perbandingan Luasan Minimum Hasil Simulasi dan Standar yang Ada

    Kedudukan Dalam

    Organisasi Kantor Kondisi

    Lapangan Hasil

    Simulasi

    Menteri/Gubernur/

    Walikota

    947,3

    Wagub/Wawali 157,9

    Eselon IA 185,8

    Eselon IB

    Eselon IIA 95,6 107,0

    Eselon IIB 67,7

    Eselon IIIA 34,3 20,5

    Eselon IIIB 17,3

    Eselon IV 20,9 10,8

    Eselon V -

    Staf

    Gol III dan IV 2,6

    Gol I dan II 1,9

    KESIMPULAN

    Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perancangan tata ruang kantor yang ergonomis antara lain : antropometri tubuh manusia Indonesia; aktifitas pokok maupun penunjang; perabot/ furnitur yang digunakan, serta peralatan kantor yang digunakan. Aspek-aspek tersebut harus juga mampu mengakomodasi kemajuan teknologi dalam dunia perkantoran.

    Perancangan sistem kerja yang efisien perlu dilengkapi dengan data antropometri yang tepat dan akurat sehingga bentuk dan geometris sistem dan fasilitas kerja yang dirancang sesuai dengan ukuran segmen-segmen bagian tubuh manusia yang nantinya akan mengoperasikan sistem tersebut. Tahap perancangan ruang kerja yang ergonomis selanjutnya adalah : (1) menentukan aktifitas yang akan diwadahi dalam kantor atau ruang kerja, (2) menentukan peralatan yang diperlukan untuk aktifitas tersebut, (3) menentukan ruang yang diperlukan untuk kegiatan (aktifitas), dan (4) mengintegrasikan ruang setiap kegiatan untuk menetapkan ruang gabungan semua kegiatan itu dan kemudian mewadahkan pada ruang bangunan yang tersedia.

    Para pegawai pada umumnya menyatakan nyaman walaupun fasilitas yang tersedia sangat terbatas, khususnya pada staf yang hanya meja dan kursi dengan rentang sirkulasi yang sempit. Hanya sebagian kecil pegawai yang menyatakan ketidaknyamanannya. Maka, penilaian profesional (professional judgement) digunakan dalam proses simulasi.

    Simulasi komputer ruang kerja pegawai berdasarkan kedudukannya dalam organisasi kantor ditunjukkan dalam Gambar 1 sampai dengan Gambar 3. Luasan minimum ruang kerja

    yang dilakukan dengan penilaian profesional melalui simulasi komputer menunjukkan bahwa kebutuhan ruang staf golongan 1 dan 2 adalah 1,9 m2, staf golongan 3 dan 4 adalah 2,6 m2, pejabat setara eselon 4 adalah 10,8 m2, pejabat setara eselon 3 adalah 20,5 m2, dan pejabat setara eselon 2 adalah 107,0 m2 (lihat Tabel 7). Hasil simulasi menunjukkan hasil yang berbeda bila dibandingkan dengan kondisi lapangan, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 8.

    Berdasarkan hasil simulasi mock up, luasan minimun bagi pegawai sebagaimana dihasilkan oleh simulasi komputer dapat divalidasi dengan baik melalui serangkaian skenario simulasi. Tidak terlihat adanya kesulitan maupun kelonggaran dalam proses-proses aktifitas maupun sirkulasi dalam ruangan. Bahkan, terlihat tidak terdapat kesulitan yang berarti pada model (pegawai) ketika melakukan skenario emergency (kondisi darurat bahaya) (lihat Gambar 4).

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Puslitbang Permukiman yang telah membiayai penelitian ini melalui APBN Tahun 2011. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada narasumber : Dr. Iftikar Z. Sutalaksana (ITB) dan Dr. Rumiati R. Tobing (Unpar) dan anggota tim peneliti yang membantu dalam kegiatan penelitian ini

    DAFTAR PUSTAKA

    ---. 2010. Penelitian dan Pengembangan Kriteria Perencanaan dan Perancangan Arsitektur, Struktur dan Utilitas, Subkegiatan A : Penelitian Kebutuhan Ruang Gerak Di Dalam Bangunan Hunian. Laporan Akhir. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

    Amali, L.N. 2008. Pendekatan Ergonomi untuk Mengurangi Gangguan Kesehatan Akibat Penggunaan Komputer. Jurnal Teknik Vol. 6 (2).

    Darlis, Widagdo, S., Santoso, S., dan Rozali, B. 2009. Pertimbangan Ergonomi pada Perancangan Stasiun Kerja. Sigma Epsilon Vol. 13 (4).

    Gie, T. L. 2007. Administrasi Perkantoran Modern, Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty.

    Halim, D. 2005. Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta : Penerbit Grasindo.

    Hermawan, Y., et al. 2011. Kebutuhan Minimum Ruang Gerak untuk Rumah Sederhana Berdasarkan Antropometri. Proceeding Kolokium 2011 Hasil Litbang Bidang Permukiman. Bandung : Pusat Litbang Permukiman.

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 126-137

    137

    Kusuma, A. 2007. Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada BKD Kabupaten Lahat. Jurnal Ilmu Administrasi Vol IV(4).

    Liliana Y.P., Widagdo, S., Abtokhi, A. 2007. Pertimbangan Antropometri pada Pendisainan. Prosiding Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir Yogyakarta. Hal. 183 189. Yogyakarta : Batan.

    Neufert, E. 1989. Data Arsitek, Jakarta : Penerbit Erlangga.

    Panero, J. dan Zelnik, M. 1979. Human Dimension and Interior Space. London : The Architectural Press Ltd.

    Peusner, N. 1972. Office. New York : McGraw-Hill Book Company.

    Sanders, M., and Mc Cormick, E. J. 1992. Human Factors in Engineering and Design. New York : Mc. Graw-Hill Book Co.

    Sundari, K.N. 2010. Tinjauan Ergonomi terhadap Meja dan Kursi Kerja pada Operator

    Komputer di UPT PSTKP Bali. Metris Vol. 11(1).

    Sutalaksana, I., et al. 2006. Teknik Perancangan Sistem Kerja. Bandung : Penerbit ITB.

    Wignjosoebroto, S. 2000. Prinsip-prinsip Perancangan Berbasiskan Dimensi Tubuh (Antropometri) dan Perancangan Stasiun Kerja. Makalah disampaikan dalam Lokakarya IV Methods Engineering : Adaptasi ISO/TC 159 (Ergonomics) dalam Standar Nasional Indonesia (SNI). 17 19 Oktober 2000. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

    Wignjosoebroto, S. 2003. Ergonomi, Studi Gerak dan Waktu. Surabaya : Penerbit Guna Widya.

    Wignjosoebroto, S. 2007. Peran dan Kontribusi Perguruan Tinggi dalam Pembentukan SDM ErgonomiK3 yang Siap Bersaing di Pasar Kerja Nasional dan Internasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional K3 : Revitalisasi SDM-K3 di Perusahaan dalam Menghadapi Era Globalisasi dan Pasar Bebas. 9 10 Mei 2007. Jakarta.

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    138

    KAJIAN MASALAH EKOLOGIS DALAM PENATAAN PERMUKIMAN DI KAWASAN PESISIR ZONA ATAS AIR

    Study of Ecological Issues in Settlement Structuring on the Water Coastal Zone

    Aris Prihandono Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar

    Pusat Litbang Permukiman, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Danau Tamblingan No. 49 Sanur, Denpasar

    E-mail: [email protected]; [email protected]

    Diterima : 29 September 2011; Disetujui : 17 Juli 2012

    Abstrak

    Masyarakat Suku Bajo yang hidup di Desa Kabalutan, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah merupakan satu diantara 61 masyarakat Bajo yang tersebar di seluruh perairan Sulawesi. Kepadatan bangunan yang tinggi, sanitasi dan persampahan yang belum di kelola, penggunaan terumbu karang untuk bahan bangunan, merupakan faktor yang mengganggu persyaratan hidup ekosistem terumbu karang. Upaya yang dapat ditempuh untuk mereduksi masalah tersebut antara lain penataan kembali permukiman masyarakat Bajo dan penerapan teknologi perumahan yang pro lingkungan dan diterima masyarakat. Penataan kembali permukiman secara teoritis dapat memberikan akses yang mencukupi bagi radiasi matahari untuk menyentuh dasar laut, sirkulasi air laut dan udara yang membawa nutrien dan oksigen serta karbon dioksida, sehingga fotosintesis biota laut dapat berjalan dengan baik. Penerapan teknologi sanitasi dan persampahan dimaksudkan untuk menjaga kejernihan dan menghindari terjadinya kontaminasi air laut serta substrate yang keras. Penerapan inovasi pengawetan komponen bangunan dan perbaikan struktur dimaksudkan untuk mengurangi kebutuhan akan material organik/ kayu, sehingga dapat menekan laju sedimentasi. Penerapan konsep rumah panggung serta jalan titian di atas air dimaksudkan untuk memberikan kemudahan sirkulasi air laut, udara, serta mobilitas masyarakat dengan menggunakan perahu. Baik penataan kembali permukiman maupun penerapan teknologi yang inovatif berangkat dari nilai-nilai tradisional dan kekayaan lokal sehingga diharapkan mempunyai tingkat akseptibilitas sosial yang tinggi.

    Kata Kunci : Ekologi, terumbu karang, penataan permukiman, tradisional, potensi lokal

    Abstract

    The community of Bajo living in Kabalutan Village, Ampana Regency, Central Sulawesi Province was one of the 61 Bajo communities distributed over Sulawesi water. High building density, lack of managerial services on sanitation and solid waste, usage of coral reef for building material were many factors affected fulfilment of coral reef life requirement. The problems could be reduced among others through spatial reorganization of settlement and application of traditional based technology which was pro environment and socially acceptable. The spatial reorganization was aimed to give access of sun radiation to reach bottom of the sea, circulation of sea water and air which contained nutrient, oxygen, and CO2. This condition would push photosynthesis of sea water biota well. Application of sanitation and solid waste technology on traditional based would keep salt water cleaned and prevent contamination against hard substratee. Application of preservation technology of wood and innovation building structure was intended to reduce maintenance cost and to decrease organic material requirement. Eventually it could decline sedimentation due to deforestation was also diminished. Application concept of stage house and wooden foot bridge had purposes to drive circulation of salt water, air, and Bajo mobility by boat or water raft. The spatial reorganization of settlement and the application of house technology as well departed from local value and potential. As result, the research would have high social acceptability.

    Keywords : Ecology, coral reef, spatial reorganization, traditional, local potential

    PENDAHULUAN

    Suku Bajo merupakan salah satu etnis di Indonesia yang hidup dari pengelolaan sumber daya kelautan. Mereka disebut juga suku nomaden yang awalnya hidup berpindah dari pesisir satu ke

    pesisir yang lain. Persebaran Suku Bajo mencapai wilayah seluas lebih dari 3,25 juta kilo meterpersegi yang terbentang dari kepulauan Palawan sebelah timur, kepulauan Samar pantai utara Mindanau, sepanjang kepulauan Sulu negara

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    139

    Philipina, hingga ke pantai timur Kalimantan, sekitar selat Makassar, dan ke arah timur wilayah Indonesia. Diperkirakan bahwa sejumlah 750.000 900.000 etnis Bajo tinggal di Kawasan Asia Tenggara. Sebesar 150.000 230.000 jiwa diantaranya hidup di Indonesia (Zacot, Franois Robert, 2002).

    Di Sulawesi sendiri, sebanyak 25.000 jiwa etnis Bajo tinggal di Pulau Pesisir Sulawesi dan mereka tersebar di lebih dari 64 desa, 26 kecamatan, dan 8 kabupaten. Pola persebaran permukiman terpencar dalam kelompok kecil dan menempati garis pantai, sehingga sepintas berpola linier. Secara ekologis, mereka tinggal di tiga jenis bentang lahan yakni, zona darat, zona peralihan antara pasang surut atas dan bawah (up and low tide zone), dan zona atas air. Konsentrasi terbesar Suku Bajo yang menempati zona atas air adalah Desa Kabalutan, Kecamatan Walea, Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). Luas lahan permukiman perairan di desa ini mencapai lebih dari 15,15 Hektar (Pemda Kabupaten Tojo Unauna Bappeda, 2010).

    Secara fisiografi, wilayah Kabalutan dicirikan oleh keberadaan lahan air yang mencapai 90% dan sisanya berupa lahan darat. Lahan darat atau disebut juga lahan kering daerah tersebut didominasi oleh bukit-bukit karang yang sebenarnya merupakan gundukan terumbu karang yang sudah mati dan bermetamorfosa sebagai batu kapur. Lahan air pada kawasan tersebut didominasi oleh terumbu karang yang masih hidup dengan segala bentuk ekosistem yang menyertainya [ibid].

    Kepadatan bangunan di kawasan permukiman cukup tinggi untuk beberapa tempat khususnya yang dekat dengan garis pantai atau bangunan yang menempati zona atas air. Menurut hasil observasi, jarak bangunan satu dengan yang lain kurang lebih dua meter. Jumlah total bangunan rumah pada kawasan tersebut 417 unit, menempati area seluas 132.605,1 meter persegi. Luas rata-rata bangunan rumah adalah 50 meter persegi dan dihuni oleh 2 3 keluarga.

    Beberapa prasarana seperti air bersih, listrik, jalan lingkungan telah disediakan pemerintah dan masyarakat secara terbatas. Fasilitas sanitasi dan persampahan juga disediakan masyarakat secara mandiri dalam kualitas dan kuantitas yang terbatas pula. Namun seluruh limbah cair dan limbah padat yang dihasilkan masyarakat dibuang ke badan air yang berupa perairan pantai. Ahda dalam penelitiannya juga mencatat bahwa rumah-rumah masyarakat Bajo yang tidak dilengkapi dengan sarana sanitasi dan persampahan yang baik menyebabkan terjadinya lingkungan yang tidak

    nyaman karena terdapat tumpukan sampah dan aroma yang mengganggu (Ahda Mulyati Muluk : 2008).

    Hasil observasi Tim Peneliti Balai PTPT Makassar pada tahun 2010 ditemukan bahwa masih terjadi eksploitasi terumbu karang untuk keperluan bahan bangunan atau penimbunan lahan. Ahda juga mencatat hal yang sama dalam penelitian yang dilakukan pada tahun sebelumnya. Dalam lingkup yang lebih luas, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Touna menyebutkan bahwa isu dan masalah yang dihadapi di kawasan perairan Kabupaten Touna antara lain : erosi pantai, eksploitasi biota laut yang merajalela, aktivitas penangkapan ikan yang destruktif, serta perawatan prasarana yang minim, dan pengawasan serta penegakkan hukum yang lemah.

    Dari aspek permukiman, permasalahan yang dinilai krusial mempengaruhi ekologi pesisir umumnya dan ekosistem terumbu karang khususnya adalah kepadatan bangunan yang tinggi, pengelolaan sanitasi dan persampahan yang kurang, serta penggunaan karang sebagai bahan bangunan yang berlebihan. Kepadatan bangunan terkait dengan terganggunya sirkulasi air laut dan tertahannya sinar matahari yang mestinya dapat menembus badan air hingga kedalaman tertentu, yang menjadi syarat tumbuhnya biota laut. Lemahnya aspek pengelolaan sanitasi dan persampahan akan menyebabkan terkontaminasinya air laut oleh limbah domestik. Perusakkan terumbu karang jelas akan mempengaruhi ekosistem pantai dan tentunya berakibat pada terganggunya kehidupan biota laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.

    Berdasarkan permasalahan di atas, maka pelaksanaan penelitian dimaksudkan untuk menemukan model penataan permukiman di atas perairan berbasis ekologi dan kearifan lokal. Sasaran fisik (output) penelitian yang diharapkan adalah model fisik penataan kawasan permukiman Suku Bajo dan rekomendasi teknologi tradisional yang diperlukan untuk penataan kawasan tersebut.

    Dalam penyusunan rencana wilayah, analisa potensi fisik dan lingkungan beserta potensi sosial dan potensi ekonomi harus dianalisa secara bersama-sama agar dapat ditentukan rencana pola dan struktur ruang pada masa yang akan datang (Permen PU Nomor 20/PRT/M/2007). Untuk kepentingan yang lebih detil seperti halnya penataan permukiman, tentunya analisa tersebut tetap dipergunakan untuk pertimbangan penentuan pola penataan rencana tapak, penempatan prasarana dan sarana, kebutuhan ruang terbuka, kebutuhan fasilitas ekonomi dan sosial. Secara ilustratif, dapat digambarkan kondisi

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    140

    fisik dan lingkungan khususnya ekologi terumbu karang bersama kondisi sosial ekonomi akan

    menjadi pertimbangan utama dalam penataan kawasan sebagai berikut :

    Gambar 1 Ilustrasi Alur Penataan Kawasan

    Dalam konteks penelitian ini, satu aspek yakni fisik dan lingkungan khususnya ekosistem terumbu karang dan ekosistem pesisir dalam cakupan yang lebih luas menjadi fokus kajian. Aspek yang lain yaitu aspek sosial dan ekonomi akan disinggung dalam analisa ini, akan tetapi tidak secara mendalam melainkan secara implisit saja sebab memang interaksi dan interdependensi ketiga aspek di atas sangat kuat. Interaksi aspek sosial dan ekonomi yang lebih mendalam akan dilakukan pada paper yang berbeda.

    Secara ekologi, kawasan Kabalutan merupakan kawasan ekologi terumbu karang yang baik dan cukup luas, terbukti selama ini dapat menopang masyarakat Bajo.

    Secara naluriah, masyarakat Bajo yang mempunyai sifat nomaden akan melakukan migrasi jika kondisi ekologi tidak lagi dapat menopang kehidupan mereka. Namun yang terjadi adalah bahwa mereka menduduki kawasan Kabalutan sudah cukup lama. Tidak ada catatan sejarah kapan Suku Bajo mulai bermigrasi ke perairan Sulawesi dari tempat asalnya yang menurut legenda adalah Johor Malaysia. Namun menurut beberapa ahli sejarah pada abad 17 Suku Bajo sudah ada di perairan Sulawesi (Zacot, Franois Robert, 2002).

    Dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa secara ekologis daya dukung lingkungan permukiman masyarakat Bajo dari awalnya masih dapat

    menopang keberlangsungan ekosistem, khususnya ekosistem terumbu karang. Kawasan Kabalutan terletak di tengah-tengah ekosistem terumbu karang yang secara alamiah mempunyai kekayaan alam bernilai ekonomis sangat tinggi.

    Menurut McAllister yang dikutip Sukmara, terumbu karang tidak hanya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai ekologi yang sangat signifikan, yaitu sebagai tempat wisata, tempat budidaya atau penangkapan ikan, perlindungan pantai secara alamiah, habitat suatu biodiversitas. Fungsi wisata terumbu karang dapat dinikmati dari keindahan terumbu karang itu sendiri, kekayaan biologisnya, dan kejernihan air di sekitar terumbu karang. Sedangkan aktivitas ikutannya dapat berupa selancar air (sky diving) atau snorkeling, penyelaman (scuba), dan fotografi. (Sukmara, A., AJ dan Siahainenia,C.R; 2001).

    Fungsi budidaya ikan atau penangkapan ikan di kawasan terumbu karang mempunyai nilai ekonomi yang sangat menarik karena harga ikan yang berhabitat pada terumbu karang mempunyai harga jual tinggi. Menurut penulis yang sama, produksi dunia ikan karang, berbagai jenis kerang dan kepiting dapat mencapai 9 juta ton atau 12% dari produksi perikanan tangkap. Bahkan jika kondisi terumbu karang dalam level sangat baik, produksi ikan dapat mencapai 18 ton/km2/tahun, dalam level baik mencapai 13 ton/km2/tahun serta

    Penetapan Kawasan Penataan Permukiman

    Identifikasi Masalah dan Potensi (Pengumpulan Data)

    Analisis Masalah dan Potensi

    Aspek Fisik dan Lingkungan

    Aspek Ekonomi

    Aspek Sosial Budaya

    Pola dan Struktur Permukiman

    Sumber: Permen PU Nomor 20/PRT/M/2007 dengan perubahan

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    141

    dalam kondisi moderat mencapai 8 ton/km2/tahun (ibid).

    Tantangan terbesar dalam menangani terumbu karang adalah mempertahankan kondisi ekosistem terumbu karang sehingga memenuhi syarat hidup yang baik secara alamiah. Menurut Sukmana (2001), persyaratan hidup terumbu karang cukup rumit dan rentan sekali terhadap perubahan lingkungan. Persyaratan tersebut antara lain : temperatur air berkisar antara 18-300 C, kedalaman air kurang dari 50 meter, salinitas air laut mencapai 30-36 per mil (), tingkat sedimentasi harus dalam kategori rendah, kondisi air laut harus jernih, arus air laut mencukupi, badan air laut harus terbebas dari kontaminasi serta bebas dari substrate yang keras (hard substratee) (ibid).

    Potensi yang besar tersebut akan menjadi salah satu penggerak roda ekonomi masyarakat pesisir apabila dapat mengelolanya dengan baik. Namun persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang juga merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dan di jaga kondisinya, sehingga potensi besar sebagaimana diuraikan di atas tetap terjaga kelestariannya.

    Persyaratan temperatur air berkisar antara 18-30 0C sebenarnya bukan masalah yang krusial karena tingginya temperatur tersebut terkait dengan temperatur udara dan intensitas penyinaran matahari. Namun jika ada gangguan yang menghalangi intensitas penyinaran dan terjadinya gangguan sirkulasi air laut, maka akan sedikit terjadi perubahan temperatur secara mikro.

    Kedalaman air kurang dari 50 meter seharusnya tidak menjadi masalah selama tidak ada aktivitas yang menyebabkan perubahan. Aktivitas reklamasi merupakan ancaman utama dalam rangka mempertahankan kedalaman air. Pengurugan dasar laut secara artifisial tidak hanya merubah keseimbangan ekosistem terumbu karang, tetapi juga mengganggu keseimbangan gelombang yang sudah menjadi ketetapan alam. Pengalaman negara Jepang, Macao, Hongkong, Korea, Singapore, harus dijadikan pelajaran bahwa reklamasi pantai akan selalu menimbulkan dampak negatif, disamping dampak positif juga diperoleh. Dampak negatif yang sering muncul adalah terganggunya keseimbangan ekologi antara lain rusaknya biodiversitas seperti yang terjadi di Teluk Isabaya Jepang dimana nelayan di teluk tersebut memprotes atas menurunnya spesies ikan langka yang merupakan mata pencaharian nelayan di sana (http://www.kbrisingapura.com/docs/ reklamasi_bab3a.pdf).

    Untung rugi kegiatan reklamasi harus diperhitungkan secara cermat, eksternalitas dari kegiatan tersebut seharusnya dapat dikompensasikan dari keuntungan lain yang diperoleh. Artikel yang sama juga menyoroti dampak lingkungan dan politik akibat reklamasi yang terjadi di Singapore. Malaysia mengajukan Singapore ke Mahkamah Internasional karena perluasan negara tersebut akan mengubah peta teritorial negara yang mengancam kedaulatan negara terdekatnya, Malaysia.

    Sebaliknya juga ditemukan bahwa negara penyedia bahan reklamasi yakni pasir laut yang di datangkan dari Riau, juga mengalami kerusakan lingkungan yang hebat, yaitu terjadinya abrasi yang mengancam hilangnya beberapa kepulauan.

    Kadar salinitas yang merupakan bagian dari kondisi alamiah air laut tidak menjadi masalah karena terkait dengan sirkulasi arus laut secara global. Namun tingkat sedimentasilah yang menjadi ancaman kehidupan terumbu karang karena terkait dengan aktivitas eksploitasi lahan yang ada di daratan terdekatnya. Jika terjadi kerusakan lahan atau terdapat lahan kritis di daratan atasnya, maka sedimentasi pada pesisir akan tinggi. Hal ini akan menjadi gangguan tersendiri bagi biota laut dan perkembangan koral di pesisir.

    Konversi lahan dari kawasan lindung ke kawasan budidaya menurut Dardak (2006) berdampak pada rusaknya keseimbangan ekosistem dan penurunan produktivitas. Di Pulau Jawa menunjukkan selama periode 1979-1999 terjadi alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya (industri, perumahan, pertanian) seluas 1.002.005 Ha atau + 50.000 Ha per tahun. Sementara di Sulawesi terjadi kerusakan seluas + 29.500 Ha per tahun dalam periode 1998-2000. Fenomena ini merupakan ancaman nyata walaupun tidak langsung terhadap kehidupan ekosistem pantai secara keseluruhan (Dardak, Hermanto; 2006).

    Kondisi air laut jernih, bebas dari kontaminasi dan substrate yang keras (hard substrate) disamping disebabkan oleh eksploitasi lahan di daratan, juga disebabkan oleh tingkat pengelolaan limbah padat dan limbah cair masyarakat yang tinggal di pesisir secara langsung. Oleh sebab itu kondisi sanitasi masyarakat dan pengelolaan sampah di kawasan pesisir menjadi permasalahan penting dalam mendukung perkembangan ekosistem pantai umumnya dan terumbu karang khususnya.

    Berdasarkan data yang tersedia, akses masyarakat secara umum terhadap fasilitas sanitasi adalah 68%. Akan tetapi, tampaknya sanitasi tidak menjadi prioritas utama pembangunan, baik di

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    142

    tingkat nasional, regional, badan legislatif maupun sektor swasta. Hal ini tampak dari relatif kecilnya anggaran yang disediakan untuk sanitasi. Masalah ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi upaya konservasi ekosistem pesisir (http://www. targetmdgs org).

    Arus laut yang mencukupi sebenarnya sudah tersedia secara alamiah. Tetapi pengembangan infrastruktur permukiman atau transportasi merupakan ancaman utama terhadap stabilitas arus yang sudah diatur secara lamiah. Jika terjadi perubahan garis pantai akibat reklamasi, akan mengakibatkan perubahan arus yang mengarah ke pantai. Kasus di Semarang membuktikan arus yang sedianya dapat tertahan di Pantai Marina kemudian berubah arah masing-masing ke arah barat dan timur. Arus yang ke arah timur memiliki energi yang relatif besar dengan tidak membawa sedimen laut. Pada arus ini akan mengakibatkan abrasi terhadap pantai seperti yang terjadi di Pantai Tawang Mas dan Pantai Sayung. Demikian juga arus yang mengarah ke barat. Arus yang membawa sedimen laut tersebut relatif sedikit sehingga penumpukan material laut membentuk daratan atau akresi akan menjadi lebih sempit. Jadi proses akresi yang terjadi tidaklah sama atau sebagus yang terbentuk pada kondisi pantai yang masih alami (http://syawal88.wordpress.com).

    Dengan kenyataan-kenyataan di atas, maka penataan kawasan di Kabalutan harus mempertimbangkan komponen ekosistem sebagai berikut : - Kecukupan sinar matahari yang masuk ke

    badan air untuk aktivitas fotosintesis biota laut - Sirkulasi air yang akan membawa nutrien biota

    laut dan mekanisme purifikasi air laut - Pengelolaan limbah cair dan padat untuk

    menghindari kontaminasi dan mencegah bertambahnya substrate yang keras

    - Penggunaan bahan bangunan alternatif untuk mengurangi penggunaan terumbu karang sebagai bahan bangunan

    - Perekayasaan bahan bangunan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan disekitarnya dalam rangka mengurangi sedimentasi

    - Rencana Penataan Ruang Wilayah yang ada dan peraturan-peraturan lain yang mendukung penetapan wilayah ini sebagai wilayah taman laut nasional

    METODOLOGI

    Lokasi penelitian adalah Desa Kabalutan, Kecamatan Walea Kepulauan, Kabupaten Ampana, Sulawesi Tengah. Menurut SIL Internasional 2007, berdasarkan Mapping Indonesia Bajo Communities, daerah tersebut merupakan

    konsentrasi Suku Bajo terbesar dari sejumlah 61 titik konsentrasi yang tersebar di perairan Sulawesi. Penentuan lokasi ini dilakukan secara purposif dengan alasan bahwa permukiman asli masyarakat Bajo terbesar (di atas air laut) terdapat di Desa Kabalutan.

    Penelitian ini bersifat multidisipliner, dimana ahli yang terlibat terdiri atas ahli arsitektur, ahli struktur dan konstruksi bangunan, ahli sains bangunan, ahli sosial, ahli tata ruang, dan ahli kehutanan. Menanggapi kondisi seperti ini, Bungin (2008) memperlihatkan metode penelitian yang dapat mengakomodasi penelitian multidisiplin, yakni apa yang disebut dengan metode meta (meta method) atau disebut juga metode ganda (mixed method); dan metode triangulasi. Pada prinsipnya metode ganda merupakan penggabungan dua metode kualitatif dan kuantitatif/ positivisme, meskipun kedua pendekatan tersebut mempunyai epistimologi yang berbeda. Metode triangulasi merupakan sebuah cara pengumpulan dan analisis data dengan menggunakan beberapa metode untuk sebuah penelitian. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mencari reliabilitas dan validitas data. Metode ini diterapkan pada penelitian ini dimana data yang sama dikumpulkan dengan observasi, wawancara, pengukuran langsung, dan sebagainya dalam waktu yang bersamaan/ simultan, atau berbeda waktu.

    Obyek pengukuran dan metode pengukuran dengan demikian juga berbeda-beda. Baik obyek fisik seperti kondisi bahan bangunan, sistem struktur atap, sistem struktur pondasi, kenyamanan bangunan, kedalaman tiang pondasi, jumlah penduduk, strata penduduk, keberadaan tokoh-tokoh masyarakat, keberadaan bencana alam, kondisi sanitasi dan persampahan, dan lain-lain pada awalnya dilakukan pendataan secara kualitatif (wawancara dan pengamatan). Baru pada tahap berikutnya dilakukan pengukuran secara kuantitatif, antara lain pengukuran termal, kelembaban udara, kedalaman dasar laut, jumlah penduduk, luas bangunan, kekuatan struktur komponen bangunan, dan lain-lain. Teknik sampling juga bervariasi sesuai dengan prinsip masing-masing disiplin ilmu. Namun demikian, semua aktivitas penelitian dibatasi oleh ketersediaan waktu dan tenaga, oleh karena itu sampling banyak dilakukan secara purposif.

    Teknik pengambilan data dilakukan dengan beberapa cara sesuai dengan keperluan disiplin ilmu, antara lain : wawancara terstruktur dengan kuesioner dan data check list; wawancara non struktur; observasi; pengukuran teresterial untuk luas rumah, kedalaman dasar laut, temperatur dan kelembaban. Instrumen pengukuran yang

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    143

    digunakan antara lain HOBO versi 5+ untuk pengukuran komponen iklim yang meliputi temperatur udara, kelembaban udara, dan intensitas pencahayaan. Untuk pengukuran kecepatan angin digunakan anemometer, sedangkan pengukuran elemen bangunan digunakan alat ukur laser meter.

    Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan penafsiran, perbandingan dan interpretasi. Tahap-tahap analisis yang diterapkan meliputi strukturisasi data, kategorisasi, penyederhanaan, manipulasi, interpretasi, pemaknaan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Masyarakat Suku Bajo mengenal struktur sosial yang terbagi dalam lima strata yaitu : Lolo adalah pemimpin tertinggi sekaligus merupakan strata sosial teratas, mereka inilah bangsawan-bangsawan Suku Bajo yang dihormati, Ponggawa adalah hulu balang segenap masyarakat sekaligus berada setingkat di bawah Lolo. Sebanda adalah pelaksana pemerintah yang dipimpin oleh Lolo dan Ponggawa sekaligus sebagai penasehat. Gellarang adalah pelaksana pemerintah di bawah Sabanda, Ata adalah golongan rakyat biasa.

    Pada masa lampau apabila seorang Lolo berkunjung ke Istana Raja, telah menjadi tradisi membawa persembahan berupa : biji bolo (sejenis kulit kerang) sejumlah seratus buah, tali sako (terbuat dari kulit kayu) seratus depa, uang satu ringgit, biji ambe lau (sejenis kulit kerang) seratus buah. Persembahan yang pada umumnya berasal dari hasil laut merupakan simbol bahwa laut dengan hasil-hasil laut yang selama ini dipanen sangat membantu masyarakat Bajo dalam memenuhi kebutuhan lauk pauk (Juhana; 2001). Jumlah yang bersahaja dan ragam sajian yang

    cukup banyak menyimbulkan bahwa eksploitasi sumberdaya kelautan di kawasan ini hanya boleh dilakukan secukupnya, tidak berlebihan dan tetap memperhatikan keseimbangan biodiversitasnya.

    Hampir semua masyarakat Bajo bekerja sebagai nelayan yaitu 462 jiwa atau (22,35%), yang diikuti oleh petani 105 jiwa (5,08%). Namun yang mengejutkan bahwa pengangguran di kawasan ini cukup tinggi yaitu 941 jiwa atau 45,52%. Tingginya angka pengangguran tersebut terkait dengan fenomena pengangguran tersembunyi, yakni mereka yang bekerja sendiri tidak dianggap sebagai bekerja, karena tidak mempunyai majikan dan jam kerjanya tidak ditentukan. Kepadatan bangunan di kawasan Kabalutan dapat dikatakan relatif tinggi walaupun tidak merata persebarannya.

    Bangunan yang menempati kawasan yang sejajar garis pantai atau bangunan yang menempati zona atas air inilah yang terus berkembang dengan cepat. Menurut hasil observasi, jarak bangunan satu dengan yang lain kurang lebih dua meter. Jumlah keseluruhan bangunan rumah pada kawasan tersebut 417 unit, menempati area seluas 132.605,1m2, atau 32 unit/Ha. Rata-rata jumlah penghuni bangunan adalah 2-3 keluarga.

    Bangunan tempat tinggal masyarakat Bajo dapat dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yaitu tipe kecil yang hanya mempunyai 2 3 ruangan dengan bahan penutup atap terbuat dari daun nipah atau rumbia, sedangkan dindingnya terbuat dari pelepah daun silar. Tipe medium pada umumnya mempunyai 3-4 kamar dimana dindingnya terbuat dari papan kayu. Tipe besar secara umum mempunyai jumlah kamar lebih dari 4, atap terbuat dari material metal (zinc dan alluminium), dan dinding terbuat dari kayu olahan.

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    144

    Gambar 2 Kepadatan Bangunan yang Tinggi

    Kepadatan bangunan yang tinggi akan banyak menimbulkan banyak masalah terkait dengan persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang dan gangguan terhadap kesehatan lingkungan. Jarak bangunan yang hanya 2 meter dan pengaturan tapak yang bersifat acak akan mengganggu intensitas penyinaran matahari ke dasar laut yang bermanfaat bagi fotosintesis biota laut.

    Proporsi terbesar nutrien yang diperlukan pertumbuhan karang berasal dari simbiosis unik antara karang dengan ribuan alga mikroskopis yang dalam bahasa Latin dinamakan zooxanthellae. Alga-alga tersebut menempel pada permukaan tipis karang yang sering disebut tissu koral (coral tissue). Selanjutnya algae akan menghasilkan energi dan oksigen yang sangat diperlukan pertumbuhan koral, dimana energi dan oksigen tersebut dihasilkan oleh algae melalui fotosintesis. Fotosintesis ini tentu berlangsung dengan baik setelah mendapatkan sinar matahari yang mencukupi. Pada saat yang sama algae mendapatkan perlindungan koral dari serangan dan gangguan predator, serta algae memanfaatkan karbon dioksida yang dihasilkan koral untuk keperluan fotosintesa. Simbiosis yang baik tersebut sangat efektif dan efisien, oleh karena itu koral dapat bertahan hidup dalam kondisi air laut miskin nutrisi.

    Banyak terumbu karang yang hidup bersimbiosis dengan biota laut lainnya dalam jumlah yang proporsional. Kalaupun terumbu karang dapat membentuk struktur raksasa seperti atol atau

    koral penahan, namun keberadaan biota yang lain, seperti rumput laut, organisme lain juga tetap diperlukan. Bencana alam badai, penambahan nutrien, peningkatan sedimentasi dapat menyebabkan perubahan dominasi atas terumbu karang oleh biota tertentu. Jika hal ini terjadi, maka dapat dikatakan bahwa kehidupan terumbu karang tidak sehat, jadi terumbu karang yang sehat adalah terumbu karang yang terdiri atas berbagai ragam biota laut (coraltrianglecenter.org | nature.org.|).

    Temperatur air laut 18-36 0C dan rantai kehidupan binatang koral dan alga yang terdapat di lingkungan permukiman akan berjalan dengan baik jika lingkungan perairan diproteksi secara memadai. Kepadatan bangunan yang tinggi dan jarak antar bangunan yang terlalu pendek akan banyak mengganggu siklus hidup ekosistem terumbu karang karena suplai sinar matahari untuk fotosintesis, sirkulasi udara, dan suplai air yang menjamin ketersediaan oksigen dan nutrien akan terganggu. Karenanya, pengendalian dan pengaturan pembangunan permukiman yang menempati habitat terumbu karang harus dilakukan dengan baik.

    Kawasan permukiman Suku Bajo memperlihatkan pola-pola yang membentuk kelompok sesuai dengan rumpun keluarga mereka. Secara morfologi, pola permukiman masyarakat Bajo mengikuti jalan penghubung antar daratan bukit sehingga berbentuk linier. Akhirnya garis linier dari permukiman tersebut membentuk huruf U. Keuntungan sosial pola U ini adalah bahwa masyarakat yang berjajar dan berhadapan satu

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    145

    sama lainnya terakomodasi interaksi sosial ekonominya. Pola U memberikan ruang yang luas dan kemudahan aksesibilitas transportasi dari kelompok permukiman yang satu ke kelompok lainnya.

    Pola permukiman linier yang membentuk huruf U tersebut dinamakan penduduk setempat sebagai hal atau teluk kecil yang menurut mereka merupakan tempat yang paling ideal karena

    memiliki keuntungan alamiah, yaitu memiliki terumbu karang yang baik, terlindung dari angin barat (kecepatan angin yang tinggi), ombak relatif tenang tetapi memiliki aliran air pasang surut yang baik dan lancar, area terlindung dari badai, memiliki akses yang baik untuk ke laut, ke area darat, ke pulau yang cukup besar yang mereka gunakan sebagai area untuk berkebun, serta ke sumber air tawar (gambar 3).

    Gambar 3 Hal di Pulau atau Kepulauan sebagai Kawasan Permukiman Suku Bajo

    Berangkat dari masalah ekologi, kearifan lokal, persyaratan tumbuh ekosistem terumbu karang, serta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ampana, maka disusunlah alternatif pengembangan atau penataan kembali permukiman dengan melakukan beberapa arahan antara lain pengaturan jarak bangunan dengan mempertimbangkan pergerakan udara dan cahaya matahari sebagai salah satu upaya untuk memberikan kemudahan sinar matahari dapat langsung mengenai dasar laut sehingga fotosintesa kehidupan biota laut dapat berjalan dengan normal. Pengembangan area permukiman baru di Desa Kabalutan digunakan pendekatan hibridisasi disain vernakular yang diambil dari Suku Bajo tersebut yang kemudian dipadukan dengan konsep modern. Dalam hal ini dikembangkan pola grid untuk penataan jalur transportasi (pejalan kaki berupa jembatan/titian) di lingkungan pemukiman baru. Pola grid dikembangkan dengan pertimbangan efektifitas dan nilai ekonomis lahan. Pola ini memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi dan memudahkan penataan fasilitas umum dan

    sosial pada simpul-simpul jalur transportasi pejalan kaki, tanpa mengubah kondisi sosial dan budaya setempat.

    Untuk mengurangi kepadatan bangunan di kawasan tertentu yang mengganggu perkembangan kehidupan biota air di bawahnya dilakukan penataan dengan pemindahan sebagian rumah ke cluster tertentu serta memberikan ruang antar bangunan yang lebih baik dengan perhitungan jarak 1 tinggi bangunan berdasarkan standar penataan bangunan hunian. Pengembangan permukiman baru merupakan penataan permukiman yang ditempatkan pada kawasan perairan dangkal dengan mempertimbangkan kemudahan aksesibilitas dengan permukiman yang sudah ada sekarang. Tingkat kedalaman air yang rendah merupakan pertimbangan untuk memudahkan pembangunan dan pendirian pondasi rumah. Area pengembangan permukiman baru tidak dilakukan di atas terumbu karang hal ini untuk mencegah efek perusakan dan gradasi lingkungan pada ekosistem kawasan.

    Akses ke laut

    Area pemukiman

    Akses ke darat

    Akses ke laut

    Kumpulan Pulau-pulau Kecil

    Hall

    Area berkebun berupa daratan pulau besar

    Area pemukiman

    Akses ke darat

    Hall

    Pulau

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    146

    Gambar 4 Penataan Permukiman Desa Kabalutan

    Nilai tradisional rencana tapak tetap dipertahankan sebagai dasar pembagian zona fungsi, misalnya penetapan zona hunian, zona publik/upacara ritual, zona adat, dan zona pendukung (tempat berkebun, mencari ikan atau sumber mata pencaharian). Berdasarkan

    pertimbangan tersebut maka penataan letak hunian mengikuti pola hunian tradisional agar kegiatan sosial yang telah menjadi tradisi tetap terjaga. Pola tersebut diungkapkan dalam model linier sebagaimana terlihat pada konsep di bawah.

    Gambar 5 Rencana Tapak dan Jalur Transportasi

    Jalur transpotasi perahu

    U

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    147

    Pola grid merupakan pola yang cukup universal dalam pengaturan lingkungan, pola ini terbentuk karena adanya kebutuhan suatu sistem yang berbentuk segi empat (grid iron) guna memberikan suatu bentuk geometri pada kawasan permukiman (Kostof,1991). Pemilihan pola grid didasarkan

    pada kemudahan akses bangunan yang satu dengan yang lain. Sistem ini mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis, serta memberikan resiko yang rendah terhadap kekuatan angin dan ombak yang dapat merusak.

    Gambar 6 Pola Linier Permukiman Suku Bajo dan Pengembangannya

    Pembangunan permukiman baru terletak pada tiga site yang didasarkan atas pertimbangan data kedalaman air yang berkisar 5-7 m. Bentuk struktur ruang yang digunakan ialah cluster. Kecenderungan pola ini mengarah pada pengelompokkan unit permukiman terhadap simpul penting yang berfungsi sebagai pengikat

    kelompok, seperti ruang terbuka komunal. Pada permukiman baru, nantinya akan dibuatkan akses transportasi perahu ke dalam dan ke luar kawasan permukiman dengan mempertimbangkan ketinggian air pasang-surut dan kedalaman habitat terumbu karang yang berkembang di sekitar permukiman tersebut (lihat Gambar 7).

    Gambar 7 Pola Grid Sirkulasi Jalan

    Jalur sirkulasi darat (jembatan/titian) ditata dengan menggunakan pola grid untuk memberikan aksesibilitas. Penempatan fasum dan fasos lebih mudah serta lebih efisien. Penempatan simpul-simpul lingkungan dapat memperkuat interaksi sosial

    Pola linier yang tetap dipertahankan dari pola pemukiman asli untuk

    menjaga kelestarian sosial budaya masyarakat

    Pola linier

    Pengelompokkan zona mengunakan pola grid agar

    pengunaan lahan efeisien dan ekonomis.

    BUKIT KARANG

    SMP

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    148

    Gambar 8 Rencana Pengembangan Permukiman yang Dikaitkan dengan Pengembangan Wisata

    Desa Kabalutan adalah sebuah desa yang berkarakter unik, yaitu dihuni oleh etnis Bajo dengan kebudayaan nelayan yang memiliki kearifan lokal. Hunian mereka pada umumnya berada di atas perairan atau lingkungan air (aquatic environment) dan di sekitar bukit-bukit karang yang dihubungkan oleh jembatan kayu, alat transportasi utama mereka adalah perahu.

    Keunikan ini merupakan aset wisata yang sangat berharga. Namun demikian dalam perkembangan yang terlihat selama ini, pada kawasan ini tidak ditemukan fasilitas wisata. Jika dilihat Rencana Tata Ruang Pengembangan Regionalnya (RTRW), pada masa yang akan datang kawasan ini akan dikembangkan sebagai kawasan wisata bersama dengan taman nasional laut dan keberadaan segi tiga terumbu karang dunia (Lauretta Burke, et al: --).

    Merujuk pada RTRW di atas, maka diperlukan bangunan yang menunjang aktivitas wisata. Salah satu kegiatan wisata yang sesuai dengan potensi alamnya adalah ekowisata (ecotourism) sebagai kegiatan wisata alam yang berdampak ringan. Ekowisata menurut The Ecotourism Society (1990)

    adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk.

    Arah pengelolaan ekowisata tersebut lebih difokuskan pada aspek pertumbuhan ekonomi daerah dan ekonomi kerakyatan, konservasi dan preservasi terhadap sumber daya alam, lingkungan, dan nilai budaya. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata, pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari para eco-traveller. Menurut UNEP (1980) ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan, yakni : 1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis

    yang tetap mendukung sistem kehidupan; 2. Melindungi keanekaragaman hayati; 3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies

    dan ekosistemnya.

    Untuk mengurangi permasalahan permukiman yang ada, akan dikembangkan sistem pemilahan

    U

  • Jurnal Permukiman Vol. 7 No. 3 November 2012 : 138-150

    149

    persampahan organik dan anorganik. Sampah organik dan sampah anorganik akan dipisahkan sesuai wadah sampah yang akan disediakan. Sampah anorganik dapat dimanfaatkan sebagai bahan daur ulang yang hasilnya dapat digunakan oleh masyarakat sebagai bahan kerajinan tangan yang diharapkan dapat menjadi aktivitas rumah tangga. Sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan ikan di karamba yang hampir dimiliki setiap penduduk. Untuk sistem pembuangan limbah cair domestik baik air hasil cucian pakaian dan air mandi (grey water) serta buangan WC (black water) direncanakan diolah dengan fasilitas MCK umum, sehingga proses pencucian tidak lagi dilakukan di rumah.

    Air bersih di Desa Kabalutan dialirkan dari pulau seberang yang berjarak kurang lebih 10 km melalui

    sistem perpipaan. Jaringan pipa di tanam di dasar laut dengan kedalaman laut berkisar pada 60-90 m, dialirkan menuju reservoir dengan kapasitas reservoir utama 30m3 dengan debit aliran 10 liter/detik. Dibangun juga kran umum sebanyak 12 buah dan reservoir pendukung (bak fiberplastik) kapasitas 1000 liter sebanyak 6 buah. Dengan jumlah penduduk 2.067 jiwa pada tahun 2007 seharusnya kawasan ini disediakan kran umum sebanyak 69 kran dengan standar pelayanan 30 orang/1 kran (standar SPABP).

    Sistem pemipaan air bersih di desa ini belum ditata dengan baik, pada beberapa bagian desa pipa tersebut diletakkan begitu saja di atas titian kayu atau permukaan tanah (Gambar 9).

    Gambar 9 Utilitas Permukiman Suku Bajo yang Ada

    Gambar 10 Rencana Penataan Utilitas Permukiman Suku Bajo

    Dalam rencana pengembangan pemukiman ke depan akan direncanakan penataan pipa air bersih dengan membuat gelagar pada konstruksi jembatan/titian yang berfungsi sebagai penguat konstruksi jembatan dan sekaligus berfungsi sebagai tempat perletakkan pipa dan pipa kabel listrik (Gambar 10). Sistem Utilitas pada gambar di atas sekaligus merupakan rencana penataan utilitas secara keseluruhan antara lain jaringan listrik, jaringan air bersih, dan jaringan pipa pembuangan air limbah.

    KESIMPULAN

    Kondisi ekologi pesisir Desa Kabalutan harus menjadi pertimbangan utama dalam pengembangan permukiman masyarakat Bajo saat sekarang dan pada masa yang akan datang. Pertimbangan ini terkait dengan kenyataan bahwa kehidupan masyarakat Bajo sangat tergantung pada aktivitas perikanan laut yang produktivitasnya sangat dipengaruhi oleh kondisi ekosistem terumbu karang. Persyaratan tumbuh terumbu karang merupakan aspek yang harus

  • Kajian Masalah Ekologis (Aris Prihandono)

    150

    dipahami dengan baik oleh masyarakat, perencana, pemerintah daerah, serta pihak-pihak luar yang berkeinginan untuk terlibat dalam aktivitas sosial ekonomi pada kawasan tersebut. Pemahaman ini penting karena pemeliharaan dan perbaikan ekosistem terumbu karang akan terkait dengan perubahan aspek kehidupan baik yang berhubungan langsung dengan aktivitas perikanan seperti : pelarangan penangkapan ikan menggunakan bom, bahan kimia, penambangan batu kapur di lautan; maupun aktivitas yang tidak berhubungan secara langsung seperti, penebangan liar pada hutan bakau yang ada pada zona di atasnya, pengaturan kepadatan bangunan rumah pada zona atas air, pengelolaan limbah domestik, pengaturan penambatan perahu, maupun penataan sarana dan prasarana permukiman.

    Mengingat kepadatan bangunan merupakan salah satu faktor utama yang berpengaruh pada ekosistem terumbu karang, maka rencana pengembangan zona permukiman baru dalam rangka relokasi kawasan yang padat tersebut merupakan langkah yang harus di dukung oleh semua pihak. Penerapan inovasi berupa pengawetan bahan bangunan, perbaikan sistem konstruksi, perbaikan disain rumah, metode pembuatan komponen bangunan dengan bio material, sistem sanitasi, merupakan salah satu upaya dari aspek ke-PU-an yang bertujuan untuk memperbaiki ekologi terumbu karang yang juga diharapkan dapat diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak.

    UCA