ref ca mammaeff
DESCRIPTION
gggggggTRANSCRIPT
REFERAT
KARSINOMA MAMMAE
Disusun oleh :
Andika Billy Setiadi
030.09.013
Pembimbing :
dr. Cahyo Novianto,SpB(K)Onk
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO
PERIODE 24 MARET-31 MEI 2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT KARSINOMA MAMMAE
Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Bedah
periode 24 Maret-31 Mei 2014
di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo
Disusun oleh:
Andika Billy Setiadi
030.09.013
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta
Menyetujui,
Dokter Pembimbing
dr. Cahyo Novianto,SpB(K)Onk
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha kuasa atas segala
limpahan rahmat dan karuniaNya,sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
“Karsinoma Mammae”. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah di RSAL Mintohardjo Jakarta.
Penulis menyadari bahwa referat ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak,untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-
sebesarnya kepada yang terhormat dr.Cahyo Novianto, SpB(K)Onk yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis selama menjalani kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah di RSAL
Mintohardjo Jakarta. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan akan pengetahuan dan pengalaman
penulis dalam penulisan referat ini,sehingga masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena
itu,penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan
referat ini. Akhirnya semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap pembaca
pada umumnya,amin.
Jakarta,Maret 2014
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………….i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….ii
Daftar Isi………………………………………………………………………………………….iii
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………………1
BAB II Pembahasan………………………………………………………………………….3
2.1. Anatomi Nasofaring……………………………………………………………..3
2.2. Fisiologi Nasofaring………………………………………………………………5
2.3. Etiologi…………………………………………………………………………..5
2.4. Patogenesis……………………………………………………………………….6
2.5. Gambaran Klinis………………………………………………………………….7
2.6. Diagnosis…………………………………………………………………………8
2.7. Diagnosis Banding……………………………………………………………12
2.8. Penatalaksanaan…………………………………………………………………13
2.9. Komplikasi……………………………………………………………………..14
2.10 . Prognosis…………………………….…………………………………………15
BAB III Kesimpulan….………………………………………………………………………16
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma Nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring
yang secara histologi jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai
kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas
ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan
perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran
darah dari arteri Faringealis Asenden atau arteri Maksilaris Interna. Angiofibroma kaya dengan
jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah
mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta
dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1,2
Angiofibroma Nasofaring paling sering ditemukan pada anak laki-laki prepubertas dan
remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma Nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun
sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak
sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua.
Angiofibroma Nasofaring jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor
kepala dan leher. Insiden Angiofibroma Nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada
pasien THT.1,2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada Angiofibroma Nasofaring dapat berupa hidung
tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%) yang
kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus
paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness,
pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita Angiofibroma
Nasofaring. Angiofibroma Nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati
karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
Diagnosis Angiofibroma Nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif
1
berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
Angiofibroma Nasofaring. 2,3
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Nasofaring
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa
struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga
hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior melalui bagian terbawah dari
palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan
korpus vertebra. Tuba Eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian
superior dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius.
Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan posterior torus
tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial
yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring.
Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner
pseudokompleks.4
Batas-batas nasofaring
Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga dengan
koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan
kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Dinding atas (superior) dan
belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput,
dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama
(tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap
nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba
Eustachius.5
Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior
terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring.Kantong ini sering
membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun
adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada
usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba
3
Eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah
masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada.5
Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan
dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus
faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding
lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang
dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapat pada
supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia
faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat
di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang
menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis
hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke
intrakranial.5
Gambar 1. Anatomi nasofaring5
2.2 Fisiologi Nasofaring
4
Nasofaring mempunyai beberapa fungsi yang penting, antara lain adalah sebagai berikut:6
1). Sebagai saluran udara yang berperan menghangatkan dan melembabkan udara di
hidung yang menuju ke laring dan trakea.
2). Melalui tuba Eustachius,nasofaring berperan sebagai ventilasi dari telinga tengah dan
menyeimbangkan tekanan udara antara kedua sisi membran timpani. Fungsi ini penting untuk
proses pendengaran.
3.) Nasofaring berperan dalam proses menelan,refleks muntah dan berbicara.
4.) Sebagai ruang resonansi dalam proses bersuara dan berbicara.
5.) Sebagai drainase untuk mukus yang disekresikan oleh hidung dan kelenjar nasofaring.
2.3. Etiologi
Penyebab dari Angiofibroma Nasofaring belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa
teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya teori-
teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal.7,8
Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa Angiofibroma Nasofaring terjadi karena
pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os
sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari
angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang
vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.
Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding
posterolateral atap rongga hidung.8,9
Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya
angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan
ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan
hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin
dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita Angiofibroma
5
Nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya
kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya
hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.8,9
Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai tumor vaskular yang
mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam bentuk pembuluh darah yang tidak
beraturan pada angiofibroma menyimpulkan bahwa tumor tersebut diakibatkan malformasi
pembuluh darah. Selain itu, ada pula yang menyatakan kemiripan angiofibroma dengan jaringan
erektil pada hidung dan menginterpretasikan angiofibroma sebagai hamartoma akibat dari
jaringan erektil kelamin yang terletak tidak pada tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa
tumor ini berasal dari sel paraganglion nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari arteri
maksilaris.8,9
2.4. Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh
darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi pembuluh vena
lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh
mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang
intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung,
mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral,
tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal
yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong
salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan
disebut “muka kodok”.1
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila
masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus
sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1
6
Gambar 2.Perjalanan penyebaran Angiofibroma Nasofaring10
2.5. Gambaran Klinis
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia.
Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba Eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia
hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada
muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan
hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat.
Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut.
Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor
mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila
merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa
ngantuk.11,12
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai
penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung atau
faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat penekanan
tulang tidak terlalu besar.12
2.6. Diagnosis
7
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto
polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung
tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi
pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala
lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2
Gambar 3. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan menyebabkan
deviasi septum nasi ke kanan13
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang
konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor
yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan
bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya
merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen
fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya
ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada
pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi
Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu
pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan
terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding
orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat
8
kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan
sekitarnya.1,4
Gambar 4. Gambaran Holman Miller CT Scan10
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan vaskularisasi
tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral. Kadang-kadang juga
sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi
berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.1
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2
Gambar 5. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum
embolisasi13
9
Gambar 6. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma setelah embolisasi13
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :1,3
- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang
orbita.
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus
kavernosus.
10
Klasifikasi menurut Fisch :1,3
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.
- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan
destruksi tulang.
- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah
parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa
pituitary.
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan fibrous
yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis.
Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit
mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma
nasofaring mudah berdarah.13
Gambar 7. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring13
2.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding angiofibroma nasofaring,antara lain:14,15
1. Polip Angiomatosa
11
Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai komponen
vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupakan tumor jinak dan mirip dengan angiofibroma
nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Kemungkinan adanya polip
angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum mempertimbangkan diagnose angofibroma, pada
pasien dewasa dan perempuan. Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan
sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi tulang, pendesakan
struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan eksofthalmus.14,15
Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di nasofaring, tidak
meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada angiografi
polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT scan polip tidak
menyangat atau hanya menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan jarang terjadi
kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.14,15
2. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa
nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma
nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai neoplasma agresif lokal
dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher. Tumor primer di dalam nasofaring
dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis kranii. Gejala klinis yang paling
sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung
tersumbat, otitis media, telinga berdenging,tuli dan diplopia. Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan dengan karakteristik variasi distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara.
Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan
lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.14,15
2.8. Penatalaksanaan
Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,
namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika
penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi
akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau
menyebabkan epistaksis menahun.1,4
12
Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena
resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi
tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau
kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas
ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi
prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan
elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik
radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor blocker
flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3
Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor
terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi
kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu
bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan
perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah
untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan
hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.16
Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat
testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan dalam pertumbuhan
angiofibroma nasofaring. Berdasarkan hasil penelitian Gates et al anti-androgenik seperti
flutamide ( 2-methyl-n-[4-nitro-3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide ) dapat mengurangi
pertumbuhan angiofibroma nasofaring dan penyusutan tumor hingga 44 %.9
Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun memiliki
efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.Terapi estrogen diberikan dengan
dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi
perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih
padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari
selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping
pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi
testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg /
13
hari selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan
stilbestrol.17
Ketergantungan angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen menjadikan terapi
anti androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk menghambat dan menekan plasma
testosteron. Terapi ini biasa diberikan pada kasus-kasus yang tumornya sulit diangkat sebersih
mungkin, seperti yang telah meluas ke intrakranial.9
2.9. Komplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),
perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadap struktur vital.
Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor sudah berekspansi ke intrakranial
atau pasca operasi basis cranii. Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive
bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang
terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.
Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf
mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant transformation), gangguan pertumbuhan,
panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.3
2.10 Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih
menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak memenuhi
rongga nasofaring lebih mudah diangkat daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah
umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang. Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan
tumor dapat diatasi dengan pembedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya
ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien
berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan
memiliki prognosis yang buruk.1
14
BAB III
KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik
jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat
mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis
kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.1,2
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan asal dan teori
ketidakseimbangan hormonal.7,8
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana
di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap
nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan
massa diatap rongga hidung posterior.1
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis
berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya.11,12
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto
polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi
hormonal atau radioterapi.1,2,4
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pembedahan dapat
dikatakan memiliki prognosis yang baik.1
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi AIN,
editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal
20 April 2007.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006. Available
from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso K, editors
Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346
5. Grooves J,Gray RF. Nasopharynx in : A Synopsis of Otolaringology. Fourth edition.
England:John Wright and Sons Ltd.1985:249
6. Dhingra PL. Disease of Pharynx. Disease of Ear, Nose and Throat 4th edition. New
Delhi: Elsevier, 2007; 223-7, 232-5.
7. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.
8. Schick B, Urbschat S. New Aspects of Pathogenesis of Juvenille Angiofibroma. Hosp
Med. 2004. May; 65 (5) : 269 – 73.
9. Nongrum HB, Thakar A, Gupta G, Gupta SD. Current Concepts in Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck Surgery. Journal of Ent Master Class.
Year Book 2009. Vol 2 Num 1. p 88 – 95
16
10. Putri IP. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Makalah Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Pekanbaru. 2013.
11. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W. Angiofibroma
Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta.1999.111
12. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid 1. Edisi
13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.
13. Mellyana,Anggraini F. Juvenile Angiofibroma Nasofaring. Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.
2012.
14. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angiomatous Polyp : A Condition Difficult
to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7
15. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal
Carcinoma, In: Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for
Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari
http://www.intechopen.com
16. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta.
17. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid Hormone Receptor Expression in
Nasopharyngeal Angiofibromas. Am J Clin Pathol 2006; 125: 832 – 37.
17