ref ca mammaeff

31
REFERAT KARSINOMA MAMMAE Disusun oleh : Andika Billy Setiadi 030.09.013 Pembimbing : dr. Cahyo Novianto,SpB(K)Onk KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO PERIODE 24 MARET-31 MEI 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Upload: danteallegrio

Post on 29-Dec-2015

38 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ggggggg

TRANSCRIPT

Page 1: Ref CA Mammaeff

REFERAT

KARSINOMA MAMMAE

Disusun oleh :

Andika Billy Setiadi

030.09.013

Pembimbing :

dr. Cahyo Novianto,SpB(K)Onk

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MINTOHARDJO

PERIODE 24 MARET-31 MEI 2014

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA 2014

Page 2: Ref CA Mammaeff

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT KARSINOMA MAMMAE

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Bedah

periode 24 Maret-31 Mei 2014

di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintohardjo

Disusun oleh:

Andika Billy Setiadi

030.09.013

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Menyetujui,

Dokter Pembimbing

dr. Cahyo Novianto,SpB(K)Onk

i

Page 3: Ref CA Mammaeff

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Allah Yang Maha kuasa atas segala

limpahan rahmat dan karuniaNya,sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul

“Karsinoma Mammae”. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas sebagai syarat untuk

menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah di RSAL Mintohardjo Jakarta.

Penulis menyadari bahwa referat ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai

pihak,untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-

sebesarnya kepada yang terhormat dr.Cahyo Novianto, SpB(K)Onk yang telah memberikan

bimbingan kepada penulis selama menjalani kepaniteraan klinik bagian ilmu bedah di RSAL

Mintohardjo Jakarta. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan referat ini.

Penulis menyadari masih banyaknya kekurangan akan pengetahuan dan pengalaman

penulis dalam penulisan referat ini,sehingga masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena

itu,penulis sangat mengharapkan segala kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan

referat ini. Akhirnya semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap pembaca

pada umumnya,amin.

Jakarta,Maret 2014

Penulis

ii

Page 4: Ref CA Mammaeff

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan……………………………………………………………………………….i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….ii

Daftar Isi………………………………………………………………………………………….iii

BAB I Pendahuluan……………………………………………………………………………1

BAB II Pembahasan………………………………………………………………………….3

2.1. Anatomi Nasofaring……………………………………………………………..3

2.2. Fisiologi Nasofaring………………………………………………………………5

2.3. Etiologi…………………………………………………………………………..5

2.4. Patogenesis……………………………………………………………………….6

2.5. Gambaran Klinis………………………………………………………………….7

2.6. Diagnosis…………………………………………………………………………8

2.7. Diagnosis Banding……………………………………………………………12

2.8. Penatalaksanaan…………………………………………………………………13

2.9. Komplikasi……………………………………………………………………..14

2.10 . Prognosis…………………………….…………………………………………15

BAB III Kesimpulan….………………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………17

iii

Page 5: Ref CA Mammaeff

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma Nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di daerah nasofaring

yang secara histologi jinak, namun secara klinis bersifat seperti tumor ganas karena mempunyai

kemampuan mendekstruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas

ke daerah sinus paranasal, pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan

perdarahan dan susah untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran

darah dari arteri Faringealis Asenden atau arteri Maksilaris Interna. Angiofibroma kaya dengan

jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah

mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta

dapat meluas ke intra kranial setelah mengerosi dasar tengkorak.1,2

Angiofibroma Nasofaring paling sering ditemukan pada anak laki-laki prepubertas dan

remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21 tahun dengan insidens terbanyak

antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma Nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun

sehingga tumor ini disebut juga Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak

sepenuhnya tepat, karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua.

Angiofibroma Nasofaring jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05% dari seluruh tumor

kepala dan leher. Insiden Angiofibroma Nasofaring diperkirakan antara 1 : 5.000-60.000 pada

pasien THT.1,2

Gejala klinik yang dapat ditemukan pada Angiofibroma Nasofaring dapat berupa hidung

tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering, diikuti epistaksis (45-60%) yang

kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus

paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness,

pembengkakan palatum serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita Angiofibroma

Nasofaring. Angiofibroma Nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati

karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.

Diagnosis Angiofibroma Nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif

1

Page 6: Ref CA Mammaeff

berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya

Angiofibroma Nasofaring. 2,3

2

Page 7: Ref CA Mammaeff

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Nasofaring

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa

struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring berhubungan dengan rongga

hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di bagian inferior melalui bagian terbawah dari

palatum molle. Sedangkan di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan

korpus vertebra. Tuba Eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian

superior dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus tubarius.

Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian superior dan posterior torus

tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial

yang membawa struktur syaraf dan pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring.

Nasofaring diliputi oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner

pseudokompleks.4

Batas-batas nasofaring

Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga dengan

koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan dengan

kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Dinding atas (superior) dan

belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput,

dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama

(tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap

nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba

Eustachius.5

Pada bagian tengah kelenjar ini yang tepatnya di bagian atas muskulus konstriktor superior

terdapat lekukan berbentuk kantong kecil yang disebut bursa faring.Kantong ini sering

membentuk kista dan meradang dan dikenal dengan bursitis dari Thornwaldt. Pada usia 2 tahun

adenoid sering mengalami hipertrofi dan hiperplasia, pertumbuhan ini menjadi lebih cepat pada

usia 3-5 tahun dan sering menyebabkan sumbatan pernafasan melalui hidung dan tuba

3

Page 8: Ref CA Mammaeff

Eustachius. Setelah usia 5 tahun besarnya relatif menetap dan akan mengalami involusi setelah

masa pubertas, akan tetapi jaringan limfoid masih tetap ada.5

Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan

dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus

faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina

faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding

lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang

dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapat pada

supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia

faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat

di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang

menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan kanalis

hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke

intrakranial.5

Gambar 1. Anatomi nasofaring5

2.2 Fisiologi Nasofaring

4

Page 9: Ref CA Mammaeff

Nasofaring mempunyai beberapa fungsi yang penting, antara lain adalah sebagai berikut:6

1). Sebagai saluran udara yang berperan menghangatkan dan melembabkan udara di

hidung yang menuju ke laring dan trakea.

2). Melalui tuba Eustachius,nasofaring berperan sebagai ventilasi dari telinga tengah dan

menyeimbangkan tekanan udara antara kedua sisi membran timpani. Fungsi ini penting untuk

proses pendengaran.

3.) Nasofaring berperan dalam proses menelan,refleks muntah dan berbicara.

4.) Sebagai ruang resonansi dalam proses bersuara dan berbicara.

5.) Sebagai drainase untuk mukus yang disekresikan oleh hidung dan kelenjar nasofaring.

2.3. Etiologi

Penyebab dari Angiofibroma Nasofaring belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa

teori telah diajukan oleh para ahli untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Pada dasarnya teori-

teori tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teori jaringan asal dan teori

ketidakseimbangan hormonal.7,8

Pada teori jaringan asal, dinyatakan bahwa Angiofibroma Nasofaring terjadi karena

pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional atau periosteum di daerah oksipitalis os

sfenoidalis. Diperkirakan bahwa kartilago atau periosteum tersebut merupakan matriks dari

angiofibroma. Pada akhirnya didapatkan gambaran lapisan sel epitelial yang mendasari ruang

vaskular pada fasia basalis dan dikemukakan bahwa angiofibroma berasal dari jaringan tersebut.

Sehingga dikatakan bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding

posterolateral atap rongga hidung.8,9

Sedangkan teori ketidakseimbangan hormonal menyatakan bahwa terjadinya

angiofibroma diduga karena adanya perubahan aktivitas pituitari. Hal ini menyebabkan

ketidakseimbangan hormonal yaitu adanya kekurangan hormon androgen dan atau kelebihan

hormon estrogen. Teori ini didasarkan adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin

dan usia penderita serta adanya hambatan pertumbuhan pada semua penderita Angiofibroma

5

Page 10: Ref CA Mammaeff

Nasofaring. Diduga tumor berasal dari periosteum nasofaring dikarenakan tidak adanya

kesamaan pertumbuhan pembentukkan tulang dasar tengkorak menyebabkan terjadinya

hipertropi di bawah periosteum sebagai reaksi terhadap hormonal.8,9

Selain dua teori di atas, ada yang berpendapat angiofibroma sebagai tumor vaskular yang

mirip dengan hemangioma. Adanya bermacam-macam bentuk pembuluh darah yang tidak

beraturan pada angiofibroma menyimpulkan bahwa tumor tersebut diakibatkan malformasi

pembuluh darah. Selain itu, ada pula yang menyatakan kemiripan angiofibroma dengan jaringan

erektil pada hidung dan menginterpretasikan angiofibroma sebagai hamartoma akibat dari

jaringan erektil kelamin yang terletak tidak pada tempatnya. Pendapat lain mengatakan bahwa

tumor ini berasal dari sel paraganglion nonkromafin yang terdapat di bagian akhir dari arteri

maksilaris.8,9

2.4. Patogenesis

Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat anyaman pembuluh

darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan gumpalan sel serta terisi pembuluh vena

lebar yang menumpuk di bagian pinggir. Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh

mendesak, dapat menginvasi orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang

intrakranial. Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral

koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap

nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan

massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung,

mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral,

tumor melebar kearah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan

mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa intratemporal

yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor mendorong

salah satu atau kedua bola mata maka akan tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan

disebut “muka kodok”.1

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan pterigomaksila

masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa serebri anterior atau dari sinus

sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1

6

Page 11: Ref CA Mammaeff

Gambar 2.Perjalanan penyebaran Angiofibroma Nasofaring10

2.5. Gambaran Klinis

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis

berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan penciuman, rinolalia, dan anosmia.

Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba Eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia

hebat terjadi bila tumor sudah meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada

muka, disfagi, proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan

hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan komplikasi berat.

Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan terhalang jika proses berlanjut.

Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret muko purulen. Jika pertumbuhan tumor

mencapai besar tertentu, maka wajah seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila

merenggang dan tampak eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa

ngantuk.11,12

Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor, sampai

penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar rongga hidung atau

faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan ini nekrosis akibat penekanan

tulang tidak terlalu besar.12

2.6. Diagnosis

7

Page 12: Ref CA Mammaeff

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto

polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung

tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi

pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut. Gejala-gejala

lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2

Gambar 3. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus maksilaris dan menyebabkan

deviasi septum nasi ke kanan13

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang

konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Bagian tumor

yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan

bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya

merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen

fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi.1

Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis

dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta pemeriksaan arteriografi. Pada

pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-posterior, lateral dan posisi

Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu

pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan

terlihat juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding

orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat

8

Page 13: Ref CA Mammaeff

kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan

sekitarnya.1,4

Gambar 4. Gambaran Holman Miller CT Scan10

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan vaskularisasi

tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna homolateral. Kadang-kadang juga

sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi

berkurang dan akan mempermudah pengangkatan tumor.1

Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan

kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2

Gambar 5. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma sebelum

embolisasi13

9

Page 14: Ref CA Mammaeff

Gambar 6. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma setelah embolisasi13

Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem

yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.

Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :1,3

- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring

- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring

dengan perluasan ke satu sinus paranasal.

- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.

- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa erosi ke tulang

orbita.

- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang minimal.

- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke dalam sinus

kavernosus.

10

Page 15: Ref CA Mammaeff

Klasifikasi menurut Fisch :1,3

- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa destruksi tulang.

- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal dengan

destruksi tulang.

- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau daerah

parasellar sampai sinus kavernosus.

- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum dan/atau fossa

pituitary.

Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan jaringan fibrous

yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah dengan dinding yang tipis.

Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi pada dinding pembuluh darahnya sedikit

mengandung elemen kontraktil otot yang normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma

nasofaring mudah berdarah.13

Gambar 7. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring13

2.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding angiofibroma nasofaring,antara lain:14,15

1. Polip Angiomatosa

11

Page 16: Ref CA Mammaeff

Polip angiomatosa adalah polip inflamatorik hidung yang mempunyai komponen

vaskuler dan fibrosa. Secara histologi merupakan tumor jinak dan mirip dengan angiofibroma

nasofaring. Polip tidak mempunyai predileksi jenis kelamin. Kemungkinan adanya polip

angiomatosa harus selalu dipikirkan sebelum mempertimbangkan diagnose angofibroma, pada

pasien dewasa dan perempuan. Gejala yang paling sering muncul adalah hidung tersumbat dan

sering mimisan. Pembesaran lesi secara perlahan dapat menyebabkan erosi tulang, pendesakan

struktur tulang di dekatnya, pipi bengkak dan eksofthalmus.14,15

Polip angiomatosa terletak terutama di fossa nasalis dan bukan di nasofaring, tidak

meluas ke fossa pterigopalatina, sinus sphenoidalis, maupun ke intra kranial. Pada angiografi

polip angiomatosa mempunyai tampilan hipovaskuler atau avaskuler. Pada CT scan polip tidak

menyangat atau hanya menyangat minimal. Polip dapat dieksisi dengan mudah dan jarang terjadi

kekambuhan. Angiografi dan embolisasi tidak diperlukan pada polip.14,15

2. Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma yang berasal dari lapisan epitel mukosa

nasofaring, dan merupakan tumor paling umum yang mengenai nasofaring. Karsinoma

nasofaring biasanya muncul dari fossa Rosenmuller dan dikenal sebagai neoplasma agresif lokal

dengan tingginya kejadian metastase ke limfonodi leher. Tumor primer di dalam nasofaring

dapat meluas ke palatum, rongga hidung, orofaring dan basis kranii. Gejala klinis yang paling

sering dirasakan adalah adanya benjolan di leher. Keluhan lain dapat berupa epistaksis, hidung

tersumbat, otitis media, telinga berdenging,tuli dan diplopia. Karsinoma nasofaring merupakan

keganasan dengan karakteristik variasi distribusi geografis dan etnis, terutama di Asia Tenggara.

Gambaran radiologi karsinoma nasofaring adalah asimetri fossa Rosenmuller, hilangnya lapisan

lemak di parapharyngeal space, destruksi tulang dan penebalan preoccipital space.14,15

2.8. Penatalaksanaan

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi,

namun ada buku yang menyebutkan bahwa tumor ini cenderung mengalami regresi ketika

penderita tumor ini masuk ke masa pubertas, jadi operasi diindikasikan jika ada komplikasi

akibat tumor ini seperti jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi saluran udara atau

menyebabkan epistaksis menahun.1,4

12

Page 17: Ref CA Mammaeff

Operasi tumor ini sendiri harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup, karena

resiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat dilakukan sesuai dengan lokasi

tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau

kombinasi dengan kraniotomi bila sudah meluas ke intrakranial. Untuk tumor yang sudah meluas

ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi

prabedah yakni dengan penanaman radium dan sinar rontgen yang dilanjutkan dengan

elektrokoagulasi atau dapat pula diberikan terapi hormonal meskipun hasilnya tidak sebaik

radioterapi. Pada pemberian hormonal terapi menggunakan testosterone receptor blocker

flutamide didapatkan penurunan staging pada staging I dan II sebesar 44%.3

Perlu dicatat bahwa pengangkatan tumor seringkali sulit dilakukan karena tumor

terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah pengangkatan tumor seringkali terjadi

kekambuhan. Cara lain yang dapat digunakan yaitu embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu

bahan) yang bisa menyebabkan terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan

perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah

untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi perdarahan

hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.16

Terapi hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat

testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengaruh hormon berperan dalam pertumbuhan

angiofibroma nasofaring. Berdasarkan hasil penelitian Gates et al anti-androgenik seperti

flutamide ( 2-methyl-n-[4-nitro-3{trifluoromethyl}phenyl] propanamide ) dapat mengurangi

pertumbuhan angiofibroma nasofaring dan penyusutan tumor hingga 44 %.9

Estrogen telah terbukti mengurangi ukuran dan vaskularisasi tumor, namun memiliki

efek samping feminisasi, dan resiko komplikasi kardiovaskuler.Terapi estrogen diberikan dengan

dosis 3 x 5 mg intramuskuler perhari selama sebulan, terbukti dapat mengurangi tendensi

perdarahan, memperkecil ukuran tumor 30-50% dan membuat konsistensi tumor menjadi lebih

padat. Dapat pula diberikan preparat progesteron yaitu dietilstilbestrol sebanyak 5 mg perhari

selama sebulan untuk meningkatkan maturasi dan mengurangi vaskularisasi. Efek samping

pemberian dietilstilbestrol adalah menurunnya kadar testosteron plasma dan dapat terjadi atropi

testis. Patterson menyarankan ethinyl estradiol sebagai regimen alternatif dengan dosisnya 1 mg /

13

Page 18: Ref CA Mammaeff

hari selama sebulan. Menurut hasil penelitian Patterson, estradiol lebih efektif dibandingkan

stilbestrol.17

Ketergantungan angiofibroma nasofaring terhadap hormon androgen menjadikan terapi

anti androgen seperti cyproterone acetate digunakan untuk menghambat dan menekan plasma

testosteron. Terapi ini biasa diberikan pada kasus-kasus yang tumornya sulit diangkat sebersih

mungkin, seperti yang telah meluas ke intrakranial.9

2.9. Komplikasi

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV),

perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury terhadap struktur vital.

Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila tumor sudah berekspansi ke intrakranial

atau pasca operasi basis cranii. Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive

bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang

terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-Ferguson.

Untuk komplikasi dari radioterapi Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf

mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant transformation), gangguan pertumbuhan,

panhipopituitarisme, dan nekrosis lobus temporalis.3

2.10 Prognosis

Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga lebih

menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil yang tidak memenuhi

rongga nasofaring lebih mudah diangkat daripada yang telah memenuhi rongga tersebut sesudah

umur 25 tahun pertumbuhan cenderung berkurang. Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan

tumor dapat diatasi dengan pembedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya

ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien

berusia lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan

memiliki prognosis yang buruk.1

14

Page 19: Ref CA Mammaeff

BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik

jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan

meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat

mudah berdarah yang sulit dihentikan. Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis

kelamin laki-laki prepubertas dan remaja.1,2

Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan asal dan teori

ketidakseimbangan hormonal.7,8

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana

di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa sepanjang atap

nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah membentuk tonjolan

massa diatap rongga hidung posterior.1

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan epistaksis

berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah

pembesarannya.11,12

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti x-foto

polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi

hormonal atau radioterapi.1,2,4

Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pembedahan dapat

dikatakan memiliki prognosis yang baik.1

15

Page 20: Ref CA Mammaeff

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi AIN,

editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses tanggal

20 April 2007.

3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006. Available

from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.

4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso K, editors

Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346

5. Grooves J,Gray RF. Nasopharynx in : A Synopsis of Otolaringology. Fourth edition.

England:John Wright and Sons Ltd.1985:249

6. Dhingra PL. Disease of Pharynx. Disease of Ear, Nose and Throat 4th edition. New

Delhi: Elsevier, 2007; 223-7, 232-5.

7. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 ; p 188 – 190.

8. Schick B, Urbschat S. New Aspects of Pathogenesis of Juvenille Angiofibroma. Hosp

Med. 2004. May; 65 (5) : 269 – 73.

9. Nongrum HB, Thakar A, Gupta G, Gupta SD. Current Concepts in Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck Surgery. Journal of Ent Master Class.

Year Book 2009. Vol 2 Num 1. p 88 – 95

16

Page 21: Ref CA Mammaeff

10. Putri IP. Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Makalah Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Pekanbaru. 2013.

11. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W. Angiofibroma

Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1. Jakarta.1999.111

12. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid 1. Edisi

13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.

13. Mellyana,Anggraini F. Juvenile Angiofibroma Nasofaring. Referat Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang.

2012.

14. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angiomatous Polyp : A Condition Difficult

to Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2011; 3(2): 93-7

15. Chan M, Bartlett E, Sahgal A, Chan S and Yu E. Imaging of Nasopharyngeal

Carcinoma, In: Carcinogenesis, Diagnosis, and Molecular Targeted Treatment for

Nasopharyngeal Carcinoma. Shih-Shun Chen (Ed.), 2012. InTech. Diunduh dari

http://www.intechopen.com

16. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat Kepaniteraan

Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Jakarta.

17. Montag AG, Tretiakova M, Richardson M. Steroid Hormone Receptor Expression in

Nasopharyngeal Angiofibromas. Am J Clin Pathol 2006; 125: 832 – 37.

17