ref gagal nafas
TRANSCRIPT
Referat Ilmu Kesehatan AnakGagal Nafas Pada Anak
Pembimbing:
dr. dr.H.Raddy Irmawan,SpA
Disusun oleh:
Hussain
11-2010-229
Fakultas Kedokteran Ukrida
Stase Ilmu Kesehatan Anak
RS Rajawali
Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
Peranan sistem pernapasan adalah untuk mempertahankan PO2, PCO2, dan pH
darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru,
jantung, dinding dada, otot pernapasan, dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di
medula oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas,
disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transpor oksigen hemoglobin,
dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal napas.1
Insidensi di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36% meninggal selama
perawatan. Morbiditas dan mortilitas meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan
adanya komorbiditas.2
Penelitian yang dilakukan Qian et al, dari total 13.070 perawatan di NICU, ada
1.722 (13,2%) kasus kegagalan pernapasan neonatus dengan sindrom gangguan
pernapasan, pneumoni, sepsis, dan sindrom aspirasi mekonium sebagai penyebab utama.
Untuk bayi yang bertahan sampai keluar perawatan, lama rata-rata penggunaan ventilasi
adalah 70 jam. Secara keseluruhan, kematian di rumah sakit karena kegagalan pernapasan
pada neonatus adalah 32,1%.10
BAB II
ISI
2.1 Definisi1,3,4,5
Gagal napas merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat ketidakmampuan
sistem pulmoner untuk mencukupi kebutuhan metabolisme (eliminasi CO2 dan
oksigenasi darah). Sistem pernapasan gagal untuk mempertahankan suatu keadaan
pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan
kebutuhan normal.
Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2
arterial (PaCO2) > 45 mmHg (ada yang mengatakan PaCO2 > 50 mmHg), kecuali
jika peningkatan PCO2 merupakan kompensasi dari alkalosis metabolic.
PaO2 < 60 mmHg, yang berarti ada gagal napas hipoksemia, berlaku bila
bernapas pada udara ruangan biasa (fraksi O2 inspirasi [F1O2] = 0,21), maupun saat
mendapat bantuan oksigen.
PCO2 > 45 mmHg yang berarti gagal napas hiperkapnia, kecuali ada
keadaan asidosis metabolic. Tubuh pasien yang asidosis metabolic secara fisiologis
akan menurunkan PaCO2 sebagai kompensasi terhadap PH darah yang rendah.
Tetapi jika ditemukan PaCO2 meningkat secara tidak normal, meskipun masih
dibawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolic, hal ini dianggap sebagai gagal
napas tipe hiperkapnia.
2.2 Etiologi1,3,5
Kegagalan paru dapat terjadi karena penyakit yang menyerang saluran
nafas,alveoli,membrane kapiler alveoli, atau sirkulasi pulmonal yang menyebabkan
hipoksemia dan hiperkapnea.
Kegagalan pompa respirasi, terjadi karena berbagai penyakit mulai dari pusat
pernafassan di otak sampai medulla spinalis bagian atas, nervus frenikus,dan otot dinding
dada, terutama menyebabkan hiperkapnea.
Jenis penyakit penyebab gagal nafas pada bayi / anak
penyebab Bayi / Anak
Jalan nafas bagian atas :
Faring
Laring
Trakea
Jalan nafas bagian bawah
Bronkus/bronkiolus
Alveoli
Kompresi pulmonal
Susunan saraf
Makroglosis
Hipertropi tonsil
Laringotrakeobronkitis
Epiglotis akut
Laringitis difterika
Edema/stenosis pasca intubasi
Benda asing
Bronkiolitis
Status asmatikus
Pneumonia
Kelainan jantung bawaan
Trauma
Luka bakar
Pneumonia
Trauma dada
Trauma
Ensefalitis
Takaran obat berlebihan
Status epileptikus
Sindrom Guillain-Barre
Faktor predisposisi5
Terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda dengan orang dewasa, yaitu :
1. Struktur anatomi
a. Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi tulang iga
yang kurang kokoh, letak iga lebih horisontal dan pertumbahan otot
interkostal yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada
terbatas.
b. Saluran pernafasan
Pada bayi dan anak relatif lebih besar dibandingkan dengan dewasa. Besar
trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus ½ dewasa, sedangkan
ukuran tubuh dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi bila terjadi sumbatan
atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan menurunkan luas saluran
pernafasan 75 %.
c. Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan ‘ elastic recoil ’ untuk
mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relatif lebih
besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli
akan bertambah sehingga akan menambah ‘ elastic recoil’.
2. Kerentangan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, pada anak
kerentangan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor
predisposisi gagal nafas.
3. Kelainan kongenital
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain
yang berhubungan dengan alat pernafasan.
4. Faktor fisiologis dan metabolik
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada
dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolisme akan meningkat mengakibatkan
kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut di capai dengan
menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori
dan air; Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena
pada bayi dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi
penimbunan asam organik sebagai hasil metabolisme anaerib akibatnya terjadi
asidosis.
2.3 Klasifikasi Gagal Napas1-5
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan
gagal napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas
akut dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit
sampai jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam
beberapa hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan
meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun
sedikit.
Temuan Klinis Penyebab Contoh
Tipe 1 (hipoksia, PaCO2↓,
PaO2 normal )
Gangguan ventilasi/perfusi Posisi (terlentang di tempat
tidur), sindrom distres
pernafasan akut (SDPA),
atelektasis,pneumonie,
emboli paru, displasia,
bronkopulmonal
Gangguan difusi paru Edema paru, SDPA,
pneumonie interstitiel,
malformasi atrio-vena paru,
malformasi adenomatoid
kongenital
Tipe 2 (Hipoksia,
Hiperkapnea, PaO2 ↓,
PaCO2 ↑)
Hipoventilasi Penyakit neuromuskular
(polio, GBS), trauma
kepala, sedasi, disfungsi
dinding dada (luka bakar),
kifosis, hiperreaktivitas
saluran nafas berat
a. Gagal Napas Hipoksemia / Gagal Napas Tipe I / Gagal Oksigenasi
Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapnia. Pasien tipe ini mempunyai nilai PaO2 yang rendah tetapi PaCO2
normal atau rendah. PaCO2 tersebut membedakannya dari gagal napas
hiperkapnia, yang masalah utamanya adalah hipoventilasi alveolar. Selain pada
lingkungan yang tidak biasa, dimana atmosfer memiliki kadar oksigen yang
sangat rendah, seperti pada ketinggian, atau saat oksigen digantikan oleh udara
lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi
parenkim paru atau sirkulasi paru. Contoh klinis yang umum menunjukkan
hipoksemia tanpa peningkatan PaCO2 ialah pneumonia, aspirasi isi lambung,
emboli paru, asma, dan ARDS.
1) Patofisiologi gagal napas hipoksemia
Hipoksemia dan hipoksia
Istilah hipoksemia menunjukkan PO2 yang rendah di dalam darah
arteri (PaO2) dan dapat digunakan untuk menunjukkan PO2 pada kapiler,
vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan
rendahnya kadar O2 darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam
hemoglobin.
Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan
atau efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan. Hipoksemia berat
akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terjadi akibat penurunan
penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah jantung, anemia, syok septic
atau keracunan karbon monoksida, dimana PaO2 dapat meningkat atau
normal.
Mekanisme hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,
yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh
campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi
rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan
di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki
kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah
vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah
PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru
dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO2 =
PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua
nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar,
atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur
dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena).
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO2, PCO2, PH2O,
dan PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan
pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar
menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila
darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan
gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO2 dan
PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan
barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan
rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar.
Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar
(PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi
alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia
akan terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian,
atau bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas
dimana sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan
PO2. Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2.
Perbedaan PO2 alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena
hipoventilasi.
Pencampuran Vena (Venous Admixture)
Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi,
yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar.
Perbedaan PO2 alveolar arterial meningkat dalam keadaan hipoksemia
karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara
ruangan, perbedaan PO2 alveolar arterial normalnya sekitar 10 dan 20
mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak.
Hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya
pencampuran vena, yang dikenal sebagai pirau kanan ke kiri (right-to-left-
shunt). Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur
dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya adalah percampuran arterial
dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru dengan PO2 diantara PAO2
dan PVO2. Pirau kanan ke kiri dapat terjadi karena: 1). Kolaps lengkap atau
atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan.
2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana
dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar
sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat
dalam pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika
diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai
PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika
PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi
pirau kanan ke kiri.
Ketidakseimbangan Ventilasi-Perfusi ( ventilation-perfusion mismatching =
V/Q mismatching)
Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena
tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi
pada pirau kanan ke kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat
ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke
area-area tersebut. Disisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat
ventilasi berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relative sedikit.
Darah yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif,
akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut
menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap
pertukaran gas antara kapiler-alveolus seringkali kompleks. Contoh dari
penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah sehingga
terjadi ketidaksesuaian V/Q adalah: Asma dan penyakit paru obstruktif
kronik lain, dimana variasi pada resistensi jalan napas cenderung
mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vascular paru seperti
tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah. Petunjuk akan
adanya ketidaksesuaian V/Q adalah PaO2 dapat dinaikkan ke nilai yang
dapat ditoleransi secara mudah dengan pemberian oksigen tambahan.
Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)
Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,
terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua
paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun
jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak
cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan
PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO2
sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler
melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek.
Beberapa keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen
dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru;
pulmonary alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.
2) Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari
gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial
meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus,
diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat
respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan
kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi
glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,
tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan
bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan
perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang
ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental,
terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang
lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,
seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia,
vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark,
aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada
gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien
dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat
diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada
hipoksemia yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang
menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.
b. Gagal Napas Hiperkapnia / Gagal Napas Tipe Ii / Gagal Ventilasi
Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai
kadar PaCO2 yang abnormal tinggi. Karena CO2 meningkat dalam ruang
alveolus, O2 tersisih di alveolus dan PaO2 menurun. Maka pada pasien biasanya
didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien
dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika penyakit utama mengenai bagian
nonparenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.
Penyakit paru obstruktif kronis yang parah sering mengakibatkan gagal napas
hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS
(Acute Respiratory Distres syndrome) berat dapat menunjukkan gagal napas
hiperkapnia.
1) Patofisiologi gagal napas hiperkapnia
Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses
metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari
kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO2 (VCO2) menukarkan
CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan VA adalah volume
udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar),
didapatkan rumus:
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VA (L/men) x 1__
863
Untuk output CO2 yang konstan, hubungan antara PaCO2 dan VA
menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO2 danVA berhubungan
terbalik. Jadi hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar,
dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveolar. Karena ventilasi
alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat
dengan menggunakan PaCO2 rumus diatas.
Ventilasi Semenit
Pada pasien dengan hipoventilasi alveolar, VA berkurang (dan PaCO2
meningkat). Meskipun VA tidak dapat diukur secara langung, jumlah total
udara yang bergerak masuk dan keluar kedua paru setiap menit dapat diukur
dengan mudah. Ini didefinisikan sebagai minute ventilation (ventilasi
semenit, VE, L/men). Konsep fisiologis menganggap bahwa VE merupakan
penjumlahan dari VA (bagian dari VE yang berpartisipasi dalam pertukaran
gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spce ventilation, VD) :
VE = VA + VD VA = VE - VD
VCO2 (L/men) = PaCO2 (mmHg) x VE (L/men) x (1-VD/VT)
863
VD/VTmenunjukkan derajad insufisiensi ventilasi kedua paru. Pada
orang normal yang sedang istirahat sekitar 30% dari ventilasi semenit tidak
ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru
proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT
meningkat juga.
Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat:
1. nilai VE dibawah normal.
2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.
3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara
dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut
berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi).
Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan
bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan
ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit
paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi
fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi
jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching).
Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme
hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan
menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam hampir semua
kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia
merangsang peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat
normal. Jadi V/Q mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia,
tetapi normokapnia dengan peningkatan VE.
2) Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat,
mekanismenya terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang
terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas
dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat
karena hiperkapnia akut.
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga
bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi
terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih
berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain
daripada nilai PaCO2 mutlak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.
Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan
hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau
menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas.
Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat
berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk
menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas
hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan
penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan
derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO2
alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula
mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular
(sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi.
Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan VD/VT dan karenanya
sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien
yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek dari
hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis,
pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala.
Tindakan Awal Gagal Nafas
Penilaian
Status mental
Tonus otot/ posisi tubuh
Gerakan dada
Upaya nafas
Warna kulit
Tindakan
Distress pernafasan
Sadar, agitasi, melawan
Normal, posisi tripod
Ada
Meningkat
Kemerahan atau pucat
Pendekatan segera, bekerja dengan tingkat
sedang, bantu anak dalam posisi nyaman,
beri O2, pengobatan berdasarkan evaluasi
selanjutnya
Penilaian
Status mental
Tonus otot/ posisi tubuh
Gerakan dada
Upaya nafas
Warna kulit
Tindakan
Gagal nafas
Agitasi hebat atau kurang responsif
Normal atau hipotonia
Ada
Sangat meningkat
Pucat, berbercak (mottled) atau sianosis
Gerak cepat, buka saluran nafas, hisap
lendir, berikan O2, segera berikan bantuan
ventilasi tekanan positif bila pasien tidak
membaik, pengobatan berdasarkan evaluasi
selanjutnya
Penilaian
Status mental
Tonus otot/ posisi tubuh
Gerakan dada
Upaya nafas
Warna kulit
Tindakan
Henti nafas
Tidak responsif
Atonia
Tidak ada
Tidak ada
Sianosis
Segera buka saluran nafas, hisap lendir,
berikan O2, segera berikan bantuan
ventilasi tekanan positif, nilai ulang
ada/kembalinya nafas spontan, pengobatan
berdasarkan evaluasi selanjutnya.
Dikutip dari: Alatas I, Hasan R 5
2.4 Diagnosis Gagal Napas Akut3,4,8
Tidak mungkin untuk memperkirakan tingkat hipoksemia dan hiperkapnia
dengan mengamati tanda dan gejala pasien. Gambaran klinis gagal napas sangat
bervariasi pada setiap pasien. Hipoksemia dan hiperkapnia yang ringan dapat pergi
tanpa disadari sepenuhnya. Kandungan oksigen dalam darah harus jatuh tajam
untuk dapat terjadi perubahan dalam bernafas dan irama jantung. Untuk itu, cara
mendiagnosa gagal napas adalah dengan mengukur gas darah pada arteri (arterial
blood gases, ABG), PaO2 dan PaCO2. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan hitung
darah lengkap untuk mengetahui apakah ada anemia, yang dapat menyebabkan
hipoksia jaringan. Pemeriksaan lain dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
underlying disease (penyakit yang mendasarinya).
2.5 Tatalaksana Gagal Napas Akut1,7,8,9
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care
area) di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
a. Dasar-dasar fisiologis terapi
Gagal napas hiperkapnea
Pada hiperkapnea berarti ada hipoventilasi alveolar, tatalaksana suportif
bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal, hingga diketahui dan
diterapi penyakit yang mendasari. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat
ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif, bisa
dengan penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase postural. Atau dengan
membuat jalan napas artifisial dengan selang endotrakeal atau trakeostomi. Alat
bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan ventilasi
alveolar yang normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis
ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, namun
pada pasien dengan hiperkapnea kronik harus hati-hati dalam menurunkan
hiperkapnia, karena koreksi PaCO2 hingga batas normal pada kasus tersebut dapat
menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam nyawa karena sudah terjadi
kompensasi berupa peningkatan kadar bikarbonat serum.
Hipoksemia sering ditemukan pada gagal napas hiperkapnia, terutama yang
didasari oleh penyakit paru, dan pemberian oksigen tambahan seringkali
dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan hiperkapnia, oksigen tambahan
dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau
botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada akan membaik seiring
dengan berjalannya waktu, dan penatalaksanaan bersifat suportif. Penyakit primer
yang membutuhkan terapi khusus ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit,
penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.
Gagal Napas Hipoksemia
Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik.
Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive
end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya
tidak didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan
menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk
diperhatikan, jika ada anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang
adekuat harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas
hipoksemik harus diatasi.
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana
area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat
meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan
hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena
dapat terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien
ARDS dengan edema paru nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi
(tengkurap), paru akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung.
Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi
abdomen.
Dasar pengobatan gagal napas dibagi menjadi pengobatan nonspesifik dan
yang spesifik. Umumnya diperlukan kombinasi keduanya. Pengobatan nonspesifik
adalah tindakan secara langsung ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas paru,
sedangkan pengobatan spesifik ditujukan untuk mengatasi penyebabnya.
b. Pengobatan Nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-
gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk.
Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi
penyakitnya.
Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:
1) Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2) Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a) Perbaiki jalan napas
b) Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and
mask), IPPB
3) Ventilasi kendali
4) Fisioterapi dada
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit
kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan
hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive
melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2),
menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34°C atau pemberian obat
pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian
oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka
tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi
kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.
Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi.
Alat Aliran O2 (L/men) Konsentrasi O2 (%)
Kateter nasal 2-6 30-50
Sungkup muka 4-12 35-65
Sungkup muka tipe venturi 4-8 24, 28, 35, 40
Ventilator Bervariasi 21-100
Inkubator 3-8 30-40
Venturi mask
Kateter nasal
Sungkup muka
Atasi Hiperkapnia, P erbaiki Ventilasi
Hiperkapnia diperbaiki dengan memperbaiki ventilasinya, dari cara
sederhana hingga dengan ventilator. Hiperkapnia berat serta akut akan
mengakibatkan gangguan PH darah atau asidosis respiratorik, hal ini harus diatasi
segera dan biasanya diperlukan ventilasi kendali dengan ventilator. Akan tetapi
pada gagal napas dari penyakit paru kronis yang menjadi akut kembali (acute on
chronic), keadaan hiperkapnia kronik dengan PH darah tidak banyak berubah
karena sudah terkompensasi oleh ginjal atau dikenal sebagai asidosis respiratorik
terkompensasi sebagian atau penuh.
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah
meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat
menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia,
gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan
tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
1) Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi
kepala mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih
belum menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple
airway maneuver), biasanya berhasil untuk mengatasi obstruksi jalan nafas
bagian atas. Sambil menunggu dan mempersiapkan pengobatan spesifik, maka
diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh benda asing, edema laring atau spasme
bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga diperlukan alat pembantu seperti pipa
orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
2) Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas
dapat dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth
to nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB
(Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan
melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator.
Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan
akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan napas sebanyak sesuai
yang diatur.
3) Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan
ventilator. Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum.
Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan.
Pasien diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada
perut dengan menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien
melakukan batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada
dan punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan
bantuan dengan ventilator.
c. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang
memerlukan persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau
bronkhoskopi. Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.
Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut
Etiologi Pengobatan Spesifik
1. Otak
- Neoplasma
- Epilepsi
- Hematoma Subdural
- Keracunan Morfin
- CVA
- Rawat Operasi
- Antikonvulsi
- Operasi
- Nalokson
- Rawat Intensif
2. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis
- Polyneuritis, demyelinisasi
- Analgesia spinal tinggi
- Pelumpuh otot
- Prostigmin, Piridostigmin
- Rawat dan bantuan napas
ventilasi terkendali
3. Dinding Thoraks dan
Diafragma
- Luka tusuk Thoraks
- Ruptur diafragma
- Operasi
- Operasi
4. Paru
- Asma
- Infeksi paru
- Benda asing
- Pneumothoraks,
hemathoraks
- Edema Paru
- ARDS
- Aspirasi
- Steroid, Bronkodilator
- Antibiotik
- Bronkhoskopi
- Drainase paru
- Diuretika, Ventilasi kendali
5. Kardiovaskuler
- Renjatan, Gagal jantung
- Emboli paru
- Obat-obatan
- Terapi cairan
6. Pasca bedah Thoraks - Bantuan napas
2.6 Aplikasi Klinis Ventilator2,9
Ventilasi mekanik dipergunakan pada berbagai keadaan, misal pada
pembedahan, pasca bedah dan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan
kegagalan pernafasan, baik yang diakibatkan oleh susunan saraf pusat, paru-paru
sendiri, atau otot-otot pernafasan.
2.6.1 Manfaat Pemasangan Ventilator
a. Mengatasi hipoksemia
b. Mengatasi asidosis respiratorik akut
c. Mengatasi distress pernafasan
d. Mencegah atau mengatasi atelektasis paru
e. Mengatasi kelelahan otot bantu pernafasan
f. Memudahkan pemberian sedatif atau blokade neuromuscular
g. Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik dan miokard
h. Menurunkan tekanan intrakranial
i. Menstabilkan dinding dada
2.6.2 Indikasi Pemasangan Ventilator
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal nafas atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal nafas. Kondisi yang mengarah ke gagal
mafas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi
keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia
walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di
mana PaCO2nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.
Nilai Analisis gas Darah
Nilai
0 1 2 3
PaO2 (mmHg) > 60 50-60 < 50 < 50
pH > 7,3 7,2-7,29 7,1-7,19 < 7,1
PaCO2 (mmHg) < 50 50-60 61-70 > 70
Skor > 3: memerlukan ventilator
Sumber: Mathai9
Hipoksemia
a. PaO2 <60 mmHg atau SatO2 <90% pada FiO2 >50%
b. Adanya ‘shunt’ (pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboli paru)
c. Adanya ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau percampuran darah
vena (pada asma dan PPOK)
d. Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2 (pada henti napas, gagal
napas akut)
e. Pada FiO2 rendah, tekanan barometric yang rendah, dan adanya toksin tertentu
(kebakaran, ketinggian tertentu, keracunan CO)
f. Keseimbangan difusi yang tak adekuat (anemia,, curah jantung yang tinggi,
umumnya ini adalah faktor yang memperburuk bukan faktor utama)
Hiperkapnia
PaCO2 >55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO2 dari keadaan awal yang
disertai asidosis. Hal ini dapat terjadi pada:
a. Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas kerja karena:
1) Compliance yang rendah (ARDS, luka bakar daerah dada, efusi pleura,
obesitas, pneumonia)
2) Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau sumbatan pada saluran
nafas)
b. Peningkatan VCO2 bersamaan dengan terbatasnya kapasitas kerja (diet, PPOK)
c. Peningkatan dead space (ruang rugi) yang memerlukan peningkatan ventilasi
bersamaan dengan keterbatasan kapasitas kerja
d. Penurunan kapasitas kerja
2.6.3 Aplikasi Ventilasi Mekanis
a. Volume Tidal
Dimulai dengan 10-12 ml/kgBB dan dapat dinaikkan 12-15 ml/kgBB
sesuai dengan respon penderita. Tujuannya untuk mengembangkan alveoli
secara optimal untuk mencegah atelektasis dan memperbaiki pertukaran gas.
Bila menggunakan PEEP, volume tidal dapat dikurangi.
b. Tekanan
Tekanan antara 35-40 cmH2O sebaiknya dihindarkan karena berbahaya
pneumotoraks. Bila terjadi kenaikan tiba-tiba dari tekanan inflasi, ini harus
dipikirkan adanya hambatan aliran gas dari ventilator. Bila kenaikan terjadi
pelan-pelan, ini kemungkinan paru-paru sudah menurun elastisitasnya.
c. FiO2
Diatur untuk menghindari bahaya, baik hipoksemia atau keracunan O2.
Hipoksemia merupakan bahaya yang lebih mendadak daripada keracunan O2
karena itu pada permulaann FiO2 dapat diberikan 100% (kecuali menggunakan
PEEP; FiO2 serendah mungkin). Kemudian FiO2 diturunkan bertahap untuk
mencapai PaO2 60-100 mmHg. Usahakan memakai FiO2 <40% untuk
mempertahankan PaO2 60-100 mmHg.
d. Frekuensi Nafas
Usahakan frekuensi 10-14 x/menit, karena kombinasi frekuensi tinggi
dan volume tidal yang tinggi akan membahayakan otak dan kardiovaskular.
e. Ruang Rugi (Dead Space)
Bila terjadi alkalosis respiratorik dapat ditambahkan ruang rugi 60-300
mL secara bertahap untuk mempertahankan PaCO2 30-40 mmHg atau dapat
dengan menurunkan volume tidal.
f. PEEP
Adalah salah satu cara memanipulasi siklus pernafasan untuk
memperbaiki oksigenisasi; dengan tekanan positif baik pada fase inspirasi
maupun ekspirasi. Pertimbangan pemakaian PEEP bila FiO2 > 50% diperlukan
untuk mencapai PaO2 > 60 mmHg.
PEEP mencegah kolaps alveoli selama fase ekspirasi; memperbesar
FRC; menurunkan pintasan intrapulmoner dan menaikkan PaO2. Bila PEEP > 8
cmH2O, hemodinamik harus dimonitor ketat dengan memasang Swan-Ganz
kateter. Ada kecenderungan memakai PEEP sejak awal ventilasi mekanis, ini
ternyata mengurangi risiko kegagalan pernafasan pada pasca bedah. Penting
untuk memonitor gas darah dan tanda-tanda vital lainnya bila memakai PEEP.
2.6.4 Komplikasi Dari Ventilasi Mekanik
Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara
matang. Sebanyak 75% pasien yang dipasang vemtilator umumnya memerlukan
alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam
maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari
ventilator) jadi lebih kecil.
a. Pengaruh pada Paru-paru
Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum,
pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumothorax. Puncak tekanan
pengisian paru yang tinggi (lebih besar dari 40 cmH2O) berhubungan dengan
peningkatan insiden barotraumas. Disfungsi sel alveolar timbul akibat tekanan
jalan nafas yang tinggi. Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan
atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan nafas lebih lanjut.
Tekanan jalan nafas yang tinggi juga mengakibatkan distensi berlebihan
alveolar (volutrauma), meningkatkan permeabilitas mikrovaskular dan
kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FiO2 lebih
besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel
sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya
nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder.
b. Pengaruh pada Kardiovaskular
Jantung, aorta, dan pembuluh darah pulmonal berada di dalam rongga
dada dan potensial dalam meningkatkan tekanan intratorakal. Hasilnya berupa
penurunan curah jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun,
disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung kiri. Penurunan curah
jantung akibat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien
hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan.
c. Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna
Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan
penurunan fungsio ginjal dengan penurunan volume urin dan ekskresi natrium.
Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung,
meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran
empedu. Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi
akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
2. Katyal P, Gajic O. Pathophysiology of Respiratory Failure and Use of Mechanical
Ventilation. Rochester, MN, USA. 2008.
3. Garna H, Nataprawira M. Gagal Nafas Pada Anak. Dalam: Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-III.Bandung:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Anak FKUP;2005.
4. Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
5. Alatas I, Hasan R. Kegagalan Pernafasan Akut. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Kesehatan Anak. FKUI; 2002.
7. Priestley M, Helfaer M. Approaches in the management of acute respiratory failure in
children. Curr Opin Pediatr. 2004
8. Ashok P, Clark A . Respiratory Distress and Failure. Dalam: Nelson Textbook of
Pediatric. Edisi ke-19. Philadelphia : WB Saunders, 2011.
9 Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI. 2007.
10. . Qian L, Liu C, Zhuang W, Guo Y, Yu J, Chen H, et al. Neonatal Respiratory Failure: A 12-Month Clinical Epidemiologic Study From 2004 to 2005 in China. Pediatrics 2008.