radioterapi pada tumor slkus superior pancoast
TRANSCRIPT
RADIOTERAPI PADA TUMOR SLKUS SUPERIOR
PANCOAST TUMOR
Disusun oleh :
Dr. Rosmita Ginting, Sp. Rad (K) Onk. Rad
NIP. 195602291983032003
UNIT RADIOTERAPI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT ADAM MALIK MEDAN
2016
Makalah
Tinjauan Pustaka
RADIOTERAPI PADA TUMOR SULKUS SUPERIOR
PANCOAST TUMOR
Dr. Rosmita Ginting, Sp.Rad (K) Onk.Rad
Unit Radioterapi
RS Haji Adam Malik
Medan
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Istilah tumor sulkus supenor paru sering digunakan dalam praktek klinis,
yang menggambarkan karsinoma paru bukan sel kecil yang timbul di apeks paru dan
mengmvasi dinding dada atau jaringan lunak di thoracic inlet tanpa
mempertimbangkan kompleksnya gejala yang timbul. Keterlibatan dinding dada
diatas termasuk costae 1-3, corpus vertebrae sekitar, plexus brachialis, pembuluh
darah subklavia, ganglion stellata, pleura parietal. 4,3,6, 8
Sedangkan istilah tumor Pancoast ditujukan pada karsinoma paru bukan sel
kecil yang timbul di apeks paru dan mengakibatkan tanda dan gejala yang dikenal
dengan sindroma Pancoast. Manifestasi tersebut yaitu nyeri di bahu dan lengan serta
sindroma Homer akibat invasi ganglion simpatis cervical. 4 Tahun 1924, dr. Henry
Pancoast mendefinisikan tumor sulcus paru sebagai massa yang tumbuh di thoracic
inlet yang menyebabkan manifestasi klinis karakteristik yaitu nyeri sesuai distribusi
sarafservikal8 atau thorakaI1-2. 3
Anatomi
Paru-paru dibagi menjadi dua, yaitu paru kanan dan kiri. Tiap paru dibagi
menjadi beberapa lobus yang dilapisi oleh pleura. Paru kiri dibagi menjadi lobus
superior dan inferior, yang dipisahkan oleh fissura mayor atau fissura oblik. Paru
kanan dibagi menjadi lobus superior, media, dan inferior, yang dipisahkan oleh fissura
mayor dan minor. Tiap lobus dibagi lagi menjadi segmen-segmen sesuai dengan unit
bronkhovaskular dan bronkhopulmoner. 9
Trakhea merupakan saluran nafas berbentuk tabung, mengalirkan udara dari
laring menuju bronkus. Trakhea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri
(setinggi carina). Trakhea dan bronkus utama kanan-kiri dilapisi oleh cincin-cincin
kartilago. 9
Bronkus utama kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus segmental yang
membagi lobus paru menjadi segmen-segmen. Bronkus segmental bercabang-cabang
lagi sampai menjadi bronkhiolus, yang tidak mengandung kartilago pada dindingnya.
Bronkhiolus bercabang menjadi bronkhiolus terminalis. Brokhiolus terminalis
bercabang menjadi asinus. Asinus berdiameter 5-6 mm, terdiri dari bronkhiolus
respiratorius, duktus alveolus, saccus alveolus dan alveoli. 9
Anatomi thoracic inlet perlu diketahui terutama untuk menentukan teknik
operasi pada tumor sulkus superior. Thoracic inlet dibagi menjadi 3 kompartemen,
yaitu anterior, media, dan posterior. (Tabel 1). 8
Tabel 1. Kompartemen Thoracic Inlet
Kompartemen Batas (sepanjang iga 1) Struktur
Anterior Sternum sampai tepi • m. sternocleidomastoideus dan m.
anterior m. scalenus omohyoid
anterior • v. jugularis dan subklavia beserta
cabangnya
Media m. scalenus anterior • m. scalenus anterior dan media
sampai batas posterior • a. subklavia dan cabangnya
m. scalenus media • n. phrenicus dan trunkus plexus
brachialis
Posterior Posterior m. scalenus • m. scalenus posterior
media • a. scapularis posterior
• nerve roots plexus brachialis, n.
thoracalis
longus, n. spinalis
accessorius, rantai safar simpatis,
ganglion stellata
• Foramen neural, corpus vertebrae
Mediastinum dibagi menjadi anterior, media dan posterior. Pada tumor sulkus
superior penting diketahui keterlibatan pembuluh darah besar pada medistinum. Bila
tumor terletak di paru kanan dapat menekan vena cava superior dan menyebabkan
sindroma vena cava superior. Selain itu perlu diperhatikan lokasi kelenjar getah
bening mediastinum. 9
Plexus brachialis dibentuk oleh divisi anterior nervus spinalis C5 sampai Thl,
dengan variasi kontribusi dari C4 yang membentuk roots. Roots dari plexus brachialis
berjalan antara m. scalenus anterior dan media berdekatan dengan a. subklavia. Roots
tersebut bersatu membentuk 3 trunkus, yaitu superior, media, dan inferior. Roots C5
dan C6 membentuk trunkus superior, roots C8- Thl membentuk trunkus inferior.
Trunkus media dibentuk oleh root C7. Penyatuan divisi anterior dan posterior trunkus
membentuk cord yang dinamakan berdasarkan letaknya terhadap a. subklavia, yaitu
lateral, posterior dan medial. Masing-rnasing cord bercabang memberikan innervasi
motorik dan sensorik ekstremitas atas. Sistem saraf simpatis yang terletak di bagian
superior mengatur dilatasi pupil, m. levator palpebra, kelenjar keringat, vasokonstriksi
pembuluh darah superfisial kulit dan vasodilatasi arteri profunda. 7,10
Etiologi dan Epidemiologi
Tumor sulkus superior pam hanya sebesar 1-3 % dari semua kanker pam.
Etiologi primer adalah karsinoma pam bukan sel kecil, terutama karsinoma sel
skuamosa atau adenokarsinoma. Hanya 3-5% merupakan karsinoma sel kecil. Namun
hanya 5 % dari kanker pam non small cell yang bermanifestasi sebagai tumor
Pancoast. Etiologi tersering dari tumor sulkus superior paru adalah karsinoma
bronkogenik yang timbul di dekat sulkus superior dan menginvasi struktur
ekstrathorakal. 3
Kanker pam bamyak terdiagnosis antara usia 40 sampai 70 tahun dengan
puncak usia 50-60 tahun. Hanya sebesar 2% terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.'
Angka insidens tumor paru pada laki-Iaki menurun, yaitu sebesar 86,5 per 100.000
orang pada tahun 1984, menjadi 69,8 di tahun 1998. Sedangkan pada era tahun 1990-
an, terdapat peningkatan insidensi kanker pam pada wanita yaitu sebesar 43,4 per
100.000 orang. Dari tahun 1992 sampai 1998, mortalitas kanker paru pada pria di
Amerika menurun signifikan yaitu sebesar 1,9% per tahun, sedangkan pada wanita
terjadi peningkatan sekitar 0,8% per tahun. 2
Faktor resiko kanker pam bukan sel kecil, yaitu : 2,3
• Merokok:
Berdasarkan data statistik sebesar 87% kanker pam terdapat pada perokok aktif.
Pada beberapa penelitian retrospektif, terdapat korelasi statistik antara frekuensi
kanker paru dan jumlah merokok perhari, cara merokok dengan menghisap dalam
rokok, dan durasi merokok. Dibandingkan dengan populasi yang tidak merokok,
perokok dengan jumlah rokok yang dihisap perhari kurang dari 40 batang per hari
memiliki resiko terkena kanker pam sebesar 10 kali. Dan pada perokok berat
dengan jumlah rokok yang dihisap per hari lebih dari 40 batang, memiliki resiko
sebesar 60 kali dari orang yang tidak merokok. Perokok pasif juga memiliki
kecenderungan yang sarna terpapar zat karsinogenik yang terdapat dalam rokok.
Setiap tahun, sekitar 3000 orang dewasa perokok pasif meninggal akibat kanker
pam.
• Terekspos elemen industri seperti asbestos, uranium, radiasi ionisasi dosis tinggi,
emas, dan nikel.
Patofisiologi
Tumor di sulkus superior sebagian besar terletak di luar paru dan menginvasi
dinding dada, nerve roots, trunkus inferior dariplexus brachialis, rantai saraf simpatis,
ganglion stelata, costae, dan tulang vertebrae. Tumor sulkus superior paru biasanya
menginvasi roots C8 dan Tl plexus bracialis dan menyebabkan kelemahan dan atrofi
otot tangan serta parastesi tangan. Bila ekstensi tumor mencapai rantai saraf simpatis
paravertebral dan ganglion stellata, maka timbullah sindrom Homer. Tumor sulkus
superior paru dapat meluas ke corpus vertebrae, menyebabkan kompresi corpus
vertebrae dan menginvasi canalis spinalis serta medulla spinalis. Timbulnya sindrom
paraneoplastik pada tumor sulkus superior paru berhubungan dengan histopatologi
tumor, yaitu karsinoma sel kecil. 3,6,7
Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul sesuai dengan lokasi tumor di sulkus superior atau
t.horacic in let. Gejaja klinis pada tumor sulkuss suopenior paru, yaitu : 3'56,7 ,
• Nyeri
Awalnya, nyeri lokal timbul di bahu dan tepi medial scapula. Nyeri dapat
meluas sepanjang distribusi n. ulnaris. Nyeri biasanya tidak berkurang, kadang
memerlukan narkotika untuk menghilangkan nyeri.
• Sindrom Horner yang terdiri dari ptosis, miosis, dan anhidrosis ipsilateral
wajah.
• Kelemahan dan atrofi otot tangan serta parastesi tangan.
• Sindrom paraneoplastik (jarang). Timbulnya sindrom paraneoplastik ini tidak
berhubungan dengan resektabilitas, namun berhubungan dengan karsinoma
sel kecil.
• Sindroma Pancoast
Karakteristik sindrom ini yaotu terdapatnya tumor maligna sulkus superior
dengan destruksi thoracic inlet dan keterlibatan plexus brachialis serta saraf
simpatis servikal, ganglion stellata dengan gejala nyeri berat regio bahu
ipsilateral yang radikular sepanjang axilla dan scapula sampai aspek ulnaris
otot-otot tangan, atrofi otot-otot tangan dan antebrachii, sindrom Homer, serta
kompresi pembuluh darah dengan edema.
• Adenopati supraklavikula
• Sindroma vena cava superior bila tumor menekan vena cava superior.
• Keterlibatan saraf phrenikus atau laringeal.
Staging Klinik
Deskripsi TNM pada karsinoma paru bukan sek kecil, sebagai berikut : 11
Tumor pirmer (T)
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan, atau terdapat sel maligna pada bilasan sputum
atau bronkus, namun tidak tervisualisasi pada peneitraan / bronkoskopi.
TO Tidak ada tumor primer.
Tis Karsinoma in situ
Tl Ukuran terbesar tumor < 3 em diliputi paru atau pleura viseral, tanpa invasi saluran
nafas di proksimal bronkus lobaris * pada bronkoskopi.
T2 Tumor dengan ukuran > 3 em, keterlibatan bronkus utama > 2 em distal dari karina,
invasi pleura viseral, berhubungan dengan ate1ektasis atau pneumonitis obstruktif
yang meluas ke regio hilus namun belum mengenai seluruh paru.
T3 Tumor dengan semua ukuran yang menginvasi langsung struktur : dinding dada
(termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinal, perikardium
parietal, atau tumor di bronkus utama < 2 em distaldari karina, tanpa invasi karina,
atau berhubungan dengan atelektasis / pneumonitis obstruktif seluruh paru.
T4 Tumor semua ukuran yang menginvasi : mediastinum, jantung, pembuluh darah
besar, trakhea, esofagus, corpus vertebrae, karina, atau tumor dengan efusi pleura
maligna atau efusi perikardial +, atau dengan tumor satelit di lobus ipsilateral.
Kelenjar Getah Bening Regional (N)
NX Kelenjar getah bening regional belum dapat ditentukan.
NO Tidak terdapat metastasis kelenjar getah bening regional.
N 1 Metastasis ke peribronkial ipsilateral dan atau kelenjar getah bening hilus ipsilateral
dan intrapulmoner dengan ekstensi langsung tumor primer.
N2 Metastasis ke kelenjar getah bening mediastinal ipsilateral dan atau subkarina.
N3 Metastasis ke kelenjar getah bening mediastinal kontralateral, hilus kontralateral,
scalenus ipsilateral/kontralateral, atau suprakalvikula.
Metastasis Jauh (M)
~"'{ Metastasis jauh belum dapat ditentukan.
MO Tidak terdapat metastasis jauh.
Ml Terdapat metastasis jauh. #
* Tumor superfisial semua ukuran yang tidak biasa dengan komponen invasif terbatas pada dinding
bronkus, yang meluas proksimal ke bronkus utama, diklasifikasikanjuga sebagai Tl. + Efusi pleura yang terjadi pada tumor pam kebanyakan karena tumor. Namun ada beberapa pasien
yang diperiksa sitologi cairan efusinya menunjukkan tidak terdapat sel tumor. Pada kasus ini, cairan tidak mengandung darah dan bukan eksudat. Bila efusi bukan karean tumor, efusi hams dieksklusi
dalam menentukan staging. Klasifikasi ini berlaku juga pada efusi perikardial. # Nodul metastasis yang tersebar pada lobus ipsilateral non tumor juga diklasifikasikan sebagai Tl.
Staging tumor paru berdasarkan TNM pada karsinoma paru bukan sel kecil, sebagai
berikut:
Stage
IA
IB IIA
lIB
IlIA
IIIB
IV
Definisi
Tl NOMO
T2 NO MO
Tl Nl MO
T2 NlMO
T3 NOMO
T3 NlMO
Tl N2MO
T2 N2MO
T2 N2MO
T4NOMO
T4NlMO
T4 N2MO
Tl N3MO
T2 N3 MO
T3 N3MO
T4 N3 MO
Setiap T, setiap N, Ml
Staging tumor sulkus supenor paru oleh American Joint Committee on Cancer
(AJCC) : 5
Stage
lIB
T (tumor)
T3
N (kelenjar getah bening)
NO
lIlA T3 Nl
T3 N2
IIIB Setiap T
T4
N3
Setiap N
Tumor sulkus superior diklasifikasikan sebagai stadium minimal lIB (T3NO)
karena menginvasi jaringan lunak ekstratorakal. Keterlibatan trunkus atau roots
plexus brachialis inferior minimal (saraf C8 dan Tl) digolongkan sebagai T3. Invasi
ekstensi tunkus / roots plexus brachialis (saraf C5 sampai C7), a/v. subklavia, corpus
vertebrae, medulla spinalis, trakhea, atau esofagus digolongkan sebagai T4. 12
Pemeriksaan Radiologis
Pencitraan memegang peranan penting dalam diagnosis dan staging tumor
sulkus superior, penentuan resektabilitas, teknik operasi, serta evaluasi respon terapi.
1,4
Foto polos dada
Foto polos dada tetap merupakan modalitas radiologi awal yang dilakukan pada
pasien yang dicurigai mengidap tumor paru, karena banyak tersedia, biaya yang
.• Massa di apeks paru, biasanya di perifertepi berspikula.
•
•
Destruksi tulang sekitar .
Tanpa atau disertai kelainan mediastinum.
rendah, serta dosis radiasi rendah. Namun karena lokasi tumor sulkus supenor
terletak di apeks paru, tumor ini sulit dideteksi pada foto toraks P A. Foto toraks top
lordotik juga dapat dilakukan untuk mendeteksi tumor sulkus superior paru ..1,12,13
Gambaran radiologis tumor sulkus superior paru pada foto polos dada yaitu : 6,12
• Penebalan unilateral atau asimetri apical cap> 5mm
..
Ultrasonografi (USG)
USG telah tebukti berguna untuk melihat lesi-lesi di pleura, paru perifer,
tumor mediastinal superior, dan lesi peridiafragma. Dengan kemajuan resolusi USG
dan teknik pungsi terpimpin (guiding), dapat dilakukan torakosentesis, drainase
kateter dan biopsi pada cairan atau massa intratorakal perifer. 14
Tranduser yang digunakan adalah tranduser linear atau sector 3,5 mHz. Pasien
dalarna posisi prone dengan scapula diekstensikan selateral mungkin. Transduser liner
digunakan di daerah interkostal posterior dan tranduser sektor di supraklavikula.
Kernudian dianalisa ukuran lesi, ekogenitas, bentuk dan adanya keterlibatan pleura
dan ekstrapelura. 14
USG dapat menentukan lokasi dan ekstensi tumor sulkus superior paru serta
sebagai guiding aspirasi atau biopsi. Tumor sulkus superior paru terlihat hipoekoik
homogen atau heterogen dengan sentral hiperekoik (nekrotik) dan kebanyakan
terletak di dalam (sekitar 4,7 em). Pemeriksaan di daerah supraklavikula berguna
untuk melihat keterlibatan kelenjar getah bening dan vaskuler di daerah
supraklavikula. 14
CT scan
CT scan merupakan modalitas utama untuk mengkonfirmasi adanya tumor
sulkus superior, staging, dan panduan dalam melakukan biopsi. CT dapat
memperlihatkan dengan jelas erosi tulang sekitar seperti di costae dan corpus
vertebrae, patensi pembuluh darah subklavia, dan keterlibatan pleura,. Namun
kemampuannya terbatas dalam mendeteksi ekstensi tumor ke foramen
neurovertebralis, canalis spinalis, keterlibatan plexus brachial is, serta tidak dapat
mendeteksi metastasis pada kelenjar getah bening yang berukuran normal serta
membedakan antara adhesi dan infiltrasi tumor. 1,12,13
Magnetic Resonance Imaging
:MRI merupakan modalitas yang optimal dalam evaluasi tumor sulkus
superior dan ekstensinya ke plexus brachialis, neural foramina, dan corpus vertebrae,
serta vaskuler sekitar dan menentukan resekstabilitas tumor. Kelebihannya yaitu
resolusi kontras yang baik, multiplanar, serta tidak menggunakan radiasi. :MRI
superior dibanding CT dalam melihat invasi tumor ke dinding dada, foramen
neurovertebral dan canalis spinalis, serta plexus brachialis. Kekurangan MRI yaitu
waktu pemeriksaan yang lebih lama memungkinkan terjarinya artefak gerakan dan
klaustrofobia. 1,4, 12,6, 13
Pemeriksaan komprehensif dengan menggunakan sekuens TI-T2WI pada
thorcic inlet potongan sagital, axial, dan koronal. Potongan sagital Tl WI memberikan
informasi diagnostik yang penting dan secara optimal memperlihatkan m. scalenus,
komponen plexus brachialis dan pembuluh darah subkalvia dan pleura apikal dan
hams dilakukan pertama kali. Kontras gadollinium biasanya digunakan untuk melihat
invasi vaskuler atau intraforaminal, pada pasien yang mendapat terapi neoadjuvan,
dan kecurigaan rekurensi setelah terapi definitif. :MRI terutama digunakan untuk
evaluasi tumor primer dan ekstensi ke jaringan lunak sekitar, terutama jaringan saraf
12
Kontraindikasi reseksi tumor sulkus superior berdasarkan pencitraan sebagai
berikut: 12
• Kontraindikasi absolut :
o
o
o
o
Invasi plexus brachialis pada level diatas nervus Thl.
Invasi corpus vertebrae> 50%.
Invasi esofagus atau trakhea.
Metastasis j auh
o Metastasis kelenjar getah bening N2 (mediastinal)
(supraklavikula kontralateral).
atau N3
• Kontraindikasi relatif :
o Invasi a. Subklavia
o Invasi corpus vertebrae <50%.
o Ekstensi intraforaminal
o Invasi a. carotis komunis atau a. vertebralis
o Metastasis kelenjar getah bening Nl (hilus ipsilateral) atau N3
(supraklavikula ipsilateral).
Skintigrafi Tulang
Berguna untuk melihat keterlibatan tulang akibat tumor clan melihat metastasis
jauh pada tulang lainnya. 6
Positron Emission Tomography (PET)
PET banyak digunakan dalam penentuan staging karsinoma paru bukan sel
kecil secara umum. Pada tumor sulkus superior paru, PET/CT berguna untuk
mendeteksi metastasis kelenjar getah bening pada kelenjar yang berukuran normal,
metastasis pleura dan metastasis jauh pada pasien karsinoma bronkogenik.
Pemeriksaan ini direkomendasikan pada semua pasien tumor sulkus supenor yang
resektabel. PET/CT juga dapat mendeteksi tumor rekuren setelah terapi definitif. Pada
pasien diatas terdapat peningkatan aktivitas FDG yang dapat menuntun biopsi untuk
mengkonfirmasi rekurensi tumor. 1,4
Bronkoskopi
Bronkhoskopi merupakan pemeriksaan primer untuk diagnosis kanker trakhea
atau karsinoma bronkogenik dengan menggunakan scope fiber optik. Scope yang
fleksibel dapat memperlihatkan trakheobronkial proksimal sampai bronkus
sub segmental 2-3. Bila tumor terlihat secara endoskopi, maka angka diagnostik positif
dari brushing bronkus dan biopsi lebih dari 90%. Dengan bronkoskopi, lesi perifer
dapat dicapai dengan sikat sitologi, jarum atau forceps biopsi. Pemeriksaan ini efektif
pada lesi dengan diameter lebih besar dari 2 em. 15
Karena letak tumor sulkus superior pam yang unik, pemeriksaan bronkoskopi
dan sitologi hanya efektif menegakkan diagnosis pada 10-20% kasus. Biopsi jarum
perkutaneus dengan ultrasonografi atau CT guided cukup baik untuk menegakkan
diagnosis dibandingkan bronkoskopi. 6
Mediastinoskopi
Metastasis ke kelenjar getah bening terdapat pada 20% pasien tumor sulkus
superior. Mediastinoskopi sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang bisa
direseksi, sebagai staging dan menentukan ekstensi diseksi kelenjar getah bening saat
operasi. 12 Angka ketahanan hidup 5 tahun pada tumor sulkus superior pam dengan
keterlibatan kelenjar getah bening N2,3 sebesar kurang dari 10%.6,8
HISTOPATOLOGI
Karena letak tumor sulkus superior pam di daerah apikal peri fer, penegakan
diagnosis histologi sulit dilakukan dengan metode konvensional bronkoskopi maupun
sputum sitologi. Sehingga beberapa pasien perlu dilakukan transthoracal needle
aspiration, mediastinoskopi, biopsi kelenjar getah bening leher atau thorakotomi
biopsi."
Klasifikasi histologi kanker pam epithelial menurut WHO yaitu : 2
• Karsinoma sel skuamosa
• Karsinoma sel keeil
• Adenokarsinoma: asinar, papiler, brankhioloalveolar, solid, eampuran
• Karsinoma sel besar : karsinoma sel besar neuroendokrin
• Karsinoma adenoskuamosa
• Karsinoma dengan elemen pleomorfik, sarkomatoid, sarkoomatous
• Tumor karsinoid
• Karsinoma jenis kelenjar liur
• Karsinoma yang tidak terklasifikasi
Klasifikasi kanker pam yang banyak digunakan dalam klinik berdasarkan
kecenderungan metastasis dan respon terhadap terapi adalah : 2
• Karsinoma sel keeil
Sering metastasis, respon baik dengan kemoterapi.
• Karsinoma bukan sel keeil
Jarang metastasis, kurang reponsifterhadap kemoterapi.
Proporsi relatif jenis histologi kanker pam, yaitu : 2
• Kasinoma sek skuamosa : 25-40%
• Adenokarsinoma
• Karsinoma sel kecil
• Kasinoma sel besar
: 25-40%
: 20-25%
: 10-15%
Karsinoma sel skuamosa biasanya tumbuh sebagai massa intraluminer. namun
dapat juga tumbuh eepat menembus dinding bronkus dan menginfiltrasi jaringan
peribronkhial ke daerah canna atau mediastinum. Tumor dapat tumbuh di
intraparenkim berbentuk bunga kol yang mendesak jaringan paru sekitarnya.
Gambaran makroskopis tumor ini berwarna abu-keputihan, konsistensi kenyal sampai
keras. Bila tumor berukuran besar, terdapat area hemoragik fokal atau nektrosis.
Terkadang fokus nekrotiknya menjadi kavitas. Tumor ini sering mengerosi epitel
bronkus, sehingga dapat didiagnosis dari pemeriksaan sitologi sputum, lavase cairan
bronkhioloalveolar, atau aspirasi jarum halus.'
Karsinoma sel skuamosa banyak ditemukan pada laki-laki dan berhubungan
erat dengan kebiasaan merokok. Gambaran histologinya yaitu terdapat keratinisasi
dan atau jembatan interseluler. Keratinisasi dapat berbentuk squamous pearls atau sel
individual dengan sitoplasma eosinofilik padat. Gambaran ini prominen pada tumor
yang berdiferensiasi baik, mudah terlihat namun tidak ekstensif pada tumor yang
berdiferensiasi sedang dan sedikit pada tumor yang berdiferensiasi buruk. Aktivitas
mitosis tinggi pada tumor yang berdiferensiasi buruk. Biasanya karsinoma sel
skuamosa tumbuh di sentral dari bronkhi segmental ataupun sub segmental, namun
dapat pula ditemui di perifer. 2
Adenokarsinoma merupakan tumor ganas epitelial dengan diferensiasi
glandula atau produksi musin oleh sel tumor. Pola pertumbuhan adenokarsimoma
bervariasi, yaitu asinar, papiler, bronkhioalveolar, atau solid dengan produksi musin.
Adenokarsinoma adalah jenis sel kanker paru terbanyak pada wanita dan pasien yang
tidak merokok. Biasanya terletak di perifer, dan ukuran lebih kecil, serta pertumbuhan
lebih lambat dibanding karsinoma sel skuamosa, namun cepat bermetastasis luas.
Sekitar 80% mengandung musin. Pada jenis non musin terdapat sel kolumner, peg-
shaped, atau kuboid, sedangkan pada jenis musin terdapat sel kolumner tinggi dengan
musin sitoplasma atau intra alveolar, tumbuh sepanjang septa alveolar. 2
Adenokarsinoma terdapat pada 60% pasien tumor sulkus superior. 16
Karsinoma sel kecil memiliki gambaran histologi sel epitel kecil dengan
sitoplasma scant, tepi sel tidak tegas, kromatin inti granuler hyalus (salt and pepper
pattern), dan tidak terdapat inconspicuous nucleoli). Selnya berbentuk bulat, oval,
spindle, dan prominen nuclear molding. Aktivitas mitosis tinggi. Nekrosis sering
terjadi dan biasanya ektensif Karsinoma sel kecil berhubungan erat dengan merokok,
hanya sebesar 1% pada pasien yang tidak merokok. Kanker ini dapat timbul di
bronkus utama maupu perifer paru. Kanker ini merupakan kanker tumor yang paling
agresif, metastasis jauh dan tidak dapat disembuhkan dengan operasi. 2
Karsinoma sel besar memiliki inti yang besar, anak inti yang prominen, dan
sitoplasma sedang. Dapat menggambarkan karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma yang tidak terklasifikasi (undifferentiated) yang tidak dapat dikenali
secara mikroskopik. Salah satu variasi histologinya adalah karsinoma neuroendokrin,
yang memberikan gambaran organoid nesting, trabekular, rosette-like, dan gambaran
palisade. 2
Sekitar 10% kanker pam memiliki gambaran histologi campuran dari 2 atau
lebih jenis sel-sel di atas. Akurasi diagnostik pemeriksaan sitologi sputum tergantung
dari keahlian sitopatologis. Umumnya, sputum positif pada kurang dari 20% pasien
kanker pam perifer, yaitu pada kanker yang terletak lebih dari 2-3 cm dari hilus pada
foto toraks dan tidak terlihat secara endoskopi. Kanker pam sentral dapat positif >
50% pada pemeriksaan sitologi sputum. 2,15
Diagnosis
Diagnosis tumor sulkus superior pam ditegakkan dengan : 13,15
• Analisis sitologi sputum sebesar sekitar 11-20 %.
• Bronkoskopi fiberoptik 30 - 40 %
• Biopsi jarum transthorakal perkutaneus merupakan prosedur yang paling
sensitif, dilakukan dengan guiding fluoroskopi, ultrasonografi ataupun CT
dengan keberhasilan 95%.
• Thorakotomi dilakukan bila cara yang tersebut diatas tidak berhasil.
Penatalaksanaan
Tumor sulkus superior pam merupakan tantangan bagi ahli onkologi toraks.
Kemajuan teknologi pencitraan, teknik operasi, dan radioterapi tidak membawa
perubahan angka ketahanan hidup pada tumor sulkus superior pam selama 40 tahun
ini. 4,6
Operasi
Reseksi tumor sulkus superior pam idealnya mencakup lobektomi dengan dinding
dada yang terlibat. Operasi terdiri dari pendekatan posteriolateral, transklavikular
anterior, sternotomi parsial, dan kombinasi vertebrektomi dan kombinasi rekonstruksi
dinding dada bila terdapat keterlibatan corpus vertebrae. Mortalitas akibat operasi
pada tumor sulkus superior pam dalam penelitian multi institusional (SWOG) sebesar
1,2% dan morbiditas antara 7-38%. Komplikasi perioperasi primer yaitu pneumonia
dengan hipotesis kontrol nyeri yang buruk dan instabilitas dinding dada menyebabkan
menurunnya refleks batuk dan retensi sekret. Fisioterapi dada dan analgesik yang
adekuat secara signifikan menurunkan insidensi komplikasi ini. Komplikasi lainnya
adalah fistula bronkopleural, infeksi luka operasi, hemotoraks, chylotoraks, serta
emboli paru. Komplikasi vaskuler adalah punzsi atau robekan serta trombosis vena
subklavia. Sindrom horner dapat disebab kan oleh simpatektomi high dorsal root, dan
disfungfsi n. ulnaris akibat kerusakan pada C8 atau Tl. 6
Reseksi tumor sulkus superior pam total bila memenuhi kriteria sebagai berikut : 17
• Tepi sayatan bebas tumor secara mikroskopik.
• Tidak ada ekstensi kelenjar getah bening ekstrakapsuler
• Tidak ada penyebaran ke kelenjar getah bening mediastinum.
Radiasi Radioterapi telah digunakan sebagai modalitas tunggal ataupun terapi
multimodal. Paulson menggunakan radiasi preoperatif yang dilanjutkan operasi
reseksi pada 18 pasien yang dipublikasikan pertama kali tahun 1966. Monoterapi
menunjukkan hasil yang buruk, dengan angka ketahanan hidup 5 tahun pernah
dilaporkan sebesar 23%. Variasi dosis, teknik sinar, dan staging, dan kurangnya
laporan mengenai morbiditas 'yang berhubungan dengan terapi menyebabkan
efektifitas radioterapi pada tumor sulkus superior sulit dinilai. 6
Faktor yang penting dalam merencanakan radioterapi untuk tumor sulkus
superior adalah resektabilitas tumor, lokasi, dan letaknya terhadap organ sekitar
seperti esofagus, plexus brachial is, dan medulla spinalis. 4
Berikut skema algoritma staging dan terapi pada tumor sulkus superior : 6
Berikut dosis radiasi yang biasa diterapkan pada karsinoma paru bukan sel kecil :
4,13,18
• Radiasi preoperatifdengan kemoterapi : 30-50 Gy dalam 15-25 fraksi. ,,;'
• Radiasi definitif pada kanker paru stadium III inoperabel dengan kemoterapi
60-70 Gy dalam 30-35 fraksi.
• Radiasi ajuvan post operasi :
o Batas sayatan tidak bebas tumor: 60 Gy dalam 30 fraksi.
o Metastasis kelenjar getah bening mediastinal (2:: N2) : 50 Gy dalam 25
fraksi.
o Invasi dinding dada (T3-T4) : 50-60 Gy dalam 25-30 fraksi.
• Radiasi paliatif
Terapi radiasi saja (paliatif) dapat mengurangi rasa sakit pada 75-90% pasien.
Selain itu radiasi paliatif dapat mengurangi hemoptisis, batuk, dyspnoea akibat
obstruksi bronkus oleh tumor, disfagia akibat kompresi kelenjar getah bening
mediastinal pada esofagus, sindroma vena cava superior akibat penekanan
massa. Radiasi paliatif ekstratorakal dilakukan untuk menangani lesi
metastasis akibat kanker paru, seperti otak, medulla spinalis, dan tulang.
Radiasi preoperatif dapat membersihkan tumor bed dimana suplai darah masih
baik. Sel tumor lebih sensitif terhadap radiasi pada keadaan tekanan oksigen yang
lebih tinggi yaitu di perifer tumor paru yang vaskularisasinya banyak. Radiasi
preoperatif diberikan ke tumor primer dan jaringan sekitar di regio supraklavikula
ipsilateral. Radiasi preoperatif diberikan pada pasien stadium III A dengan kelenjar
getah bening mediastinal yang positif, invasi pleura mediastinalis, tumor sulkus
superior paru, invasi mediastinum, pembuluh darah besar, trakhea dan dengan
keterlibatan kelenjar getah bening supraklavikula. 19
Keuntungan radiasi preoperatif pada tumor sulkus superior, yaitu : 4,6,19
• Mengecilkan ukuran tumor sehingga memungkinkan dilakukannya reseksi
total.
• Kontrol tumor lokal.
• Mengurangi seeding sel tumor pada operasi.
• Kontrol sistem limfatik lokoregional sehingga mengurangi terjadinya
metastasis.
• Mengurangi rasa nyeri.
Kekurangan radiasi preoperatif, yaitu : 4,6,19
• Tidak semua sel tumor termasuk dalam lapangan radiasi (mikrometastasis).
• Komplikasi post operasi meningkat.
• Waktu operasi tertunda.
Lapangan radiasi tumor sulkus superior meliputi tumor, kelenjar getah bening
supraklavikula, mediastinal, dan hilus, serta korpus vertebrae yang terlibat. Teknik
penyinaran yang dilakukan dapat berupa opposing anterior-posterior maupun oblik
tergantung tumor primer, ekstensinya, serta keterlibatan organ sekitar. Organ beresiko
. pada radiasi tumor pam yaitu jaringan pam normal, esofagus, medulla spinalis, serta
jantung. 15,20
Komplikasi radiasi pada organ sekitar, yaitu : 6,15,21
• Jaringan pam normal sekitar : pneumonitis radiasi.
Biasanya muncul antara bulan pertama dan ketiga setelah radiasi, namun bisa
pula muncul pada 6 bulan setelah radiasi. Keluhan penderita berupa batuk non
produktif, sesak, takikardi, dan demam. Insidensi pneumonitis radiasi pada
pasien yang mendapat radiasi sebesar 0-20%. Angka kejadian pneumonitis
sebesar 8% bila dosis total> 20 Gy dan 24% bila dosis total < 20Gy.
• Esofagus: esofagitis.
Gejala biasanya timbul pada minggu kedua sampai keempat radiasi dengan
keluhan disfagia. Komplikasi ini berhubungan dengan dosis. Esofagus normal
dapat mentoleransi dosis sampai 60 Gy. Kemoterapi dapat menambah
insidensi dan memperberat komplikasi ini. Esofagitis akut akan membaik
setelah radioterapi selesai. Esofagitis kronik jarang terjadi, dan biasanya
memerlukan dilatasi bila sudah terjadi striktur.
• Saraf: sindroma Lhermitte dan melitis.
Komplikasi ini jarang terjadi (kurang dari 5% kasus). Sindroma Lhermitte
biasanya terjadi pada 6 bulan pertama setelah radiasi dan dapat sembuh
sendiri. Myelitis radiasi bersifat ireversibel. Oleh karena itu dosis radiasi pada
medulla spinalis hams dibatasi. Dosis toleransi pada medulla spinalis sebesar
45-50 Gy dan pada plexus brachialis sebesar 60 Gy.
• Jantung: perikarditis, iskemia miokard, dan efusi perikardial.
Yang terbanyak dari komplikasi jantung adalah perikarditis, namun hanya
sebesar 5% dari komplikasi radiasi secara keseluruhan. Dosis toleransi jantung
sebesar 40-60 Gy.
• Kulit: eritema dan deksuamasi.
Pemberian kemoterapi dapat memperberat komplikasi ini.
Teknik radioterapi modern dapat memberikan dosis radiasi yang lebih tinggi
dan akurat pada tumor tanpa meningkatkan morbiditas terutama efek pada organ dan
jaringan sehat sekitar, diantaranya dengan menggunakan teknik 3D konformal,
Intensity-Modulated Radiotherapy (IMRT) dan stereotaktik radioterapi. 6,18
Teknik 3D konformal dilakukan dengan menggunakan CT scan pada
treatment planning. Sedangkan pada IMRT, sinar dalam lapangan radiasi dapat
bergerak secara dinamik saat radiasi. Pada teknik stereotaktik, radiasi diberikan pada
dosis tinggi pada tumor yang berkuran kecil dan berbatas tegas. 18
Informasi morbiditas jangka lama brakiterapi pada tumor sulkus superior tidak
diketahui karena teknik ini tidak banyak tersedia. 6
Kemoterapi
Kemoterapi dapat digunakan sebagi terapi neoajuvan sebelum operasi maupun
radiasi, bersamaan dengan radiasi (concurrent), ajuvan, maupun paliatif. 6
Kemoterapi dapat menghambat mikrometastasis dan menyebabkan regresi tumor
paru. 19 Regimen yang banyak digunakan untuk karsinoma paru bukan sel kecil yaitu
cisplatin dan etoposide serta cisplatine dan vinblastine. Karena bersifat toksik pada
sistem hematologi, pada beberapa pasien pemberian kemoterapi dapat dihentikan
ataupun ditunda sebelum dosis total tepenuhi. 6,15
Terapi Multimodalitas
Saat ini, terapi multimodalitas merupakan terapi standar pada pasien tumor
sulkus superior. 4 Kombinasi kemoterapi, radiasi, dengan operasi dapat mengurangi
mikrometastasis yang dilakukan oleh kemoterapi dan mengecilkan massa tumor oleh
radiasi dan kemoterapi, sehingga reseksi komplit dapat dilakukan. Kekurangan terapi
neoadjuvant adalah reaksi toksik yang dapat meningkatkan morbiditas atau kematian
dan penundaan operasi, serta meningkatkan komplikasi dan angka kematian operasi.
Operasi reseksi dilakukan dalam waktu 4-6 mmggu pasca kemoradiasi. 4,19
Kemoterapi saja kurang efektif dibandingkan kemoradioterapi dalam mengurangi rasa
nyeri, yang penting dalam terapi neoajuvan tumor sulkus superior. 4
PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan tumor sulkus superior berhubungan dengan beberapa -
faktor klinis. Faktor yang berhubungan dengan prognosis yang buruk yaitu invasi
kelenjar getah bening mediastinum, vertebrae atau pembuluh darah besar, terdapatnya
sindrom Homer, batas sayatan tidak bebas tumor, dan metastasis. Faktor klinis yang
berhubungan dengan prognosis ketahanan hidup yang baik yaitu keadaan umum yang
baik, penurunan berat badan < 5% berat badan total, serta tercapainya kontrol lokal
dan nyeri yang berkurang setelah terapi. 13,16
Pasien yang tidak diterapi memiliki rerata ketahanan hidup 10-14 bulan
setelah diagnosis. Pasien dengan lesi T4 memiliki prognosis yang buruk dengan angka
ketahanan hidup 5 tahun 9-11 %. Rekurensi lokal post operasi dilaporkan sebesar 23-
38% dengan tempat tersering di plexus brachialis, foremen neuralis, corpus vertebrae,
dan vena subklavia. Tempat metastasis tersering adalah otak dan tulang. Metastasis
otak terutama pada pasien dengan hasil histopatologi tumor sel besar diferensiasi
buruk dan adenokarsinoma. Pasien dengan reseksi tumor inkomplit memiliki
prognosis yang sarna dengan pasien yang tidak direseksi. 13,16
Terapi radiasi neoajuvan memiliki rerata ketahanan hidup sekitar 7-31 bulan
dan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 20-35%. Relaps dalam bentuk metastasis
jauh sering terjadi setelah terapi. 13 Beberapa penelitian prospektif dan retrospektif
menunjukkan angka harapan hidup 5 tahun pada tumor sulkus superior yang diterapi
multimodalitas operasi dan radiasi pre-post operasi sebesar 26-47%.4
Pada penelitian prospektif terbesar oleh Southwestern Oncology
Group(SWOG), yang meneliti kombinasi kemoradiasi pada 110 pasien tumor sulkus
superior yang potensial resektabel (T3/T4, NOINI), menunjukkan angka harapan
hidup 5 tahun sebesar 44% pada semua pasien yang menjalani kemoradiasi dan 54%
pada pasien yang tumornya berhasil direseksi total dengan median survival pada
kelompok pertama 33 bulan dan kelompok 2 sebesar 94 bulan. 4
SWOG juga mengevaluasi peran kemoterapi concurrent cisplatin dan
etoposide dengan radiasi 45 Gy selama 5 minggu diikuti 2 siklus kemoterapi pada
pasien tumor sulkus superior paru dengan mediastinoskopi negatif. Hasilnya dapat
dilakukan reseksi total pada 92%. Dari 66% pasien yang dioperasi, 36% mengalami
respon komplit secara patologi, 30% dengan minimal mikroskopis. Angka ketahanan
hidup 2 tahun sebesar 55% pada semua pasien dan 70% pada pasien dengan reseksi
total. 6
Pada pasien yang tidak dapat dioperasi tanpa metastasis (prognosis baik),
dianjurkan terapi kemoradiasi concurrent .. 22
Berikut grafik angka harapan hidup 5 tahun pada tumor Pancoast berdasarkan terapi :
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang laki-laki usia 55 tahun yang dirujuk dari IRNA A
lantai 6 ke depatemen radioterapi untuk diradiasi neoajuvan. Pasien datang berobat ke
RSCM dengan keluhan utama nyeri bahu kiri selama 4 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Pasien sedang dalam terapi OAT bulan ke 5 dan sudah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis pam putus obat selama 4 bulan di tahun 2004. Pasien
memiliki riwayat kebiasaan merokok selama > 30 tahun, 1 bungkus per hari. Sampai
saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara TB pam dengan tumor sulkus
superior pam. Di Canada, terdapat satu kasus TB pam bersamaan dengan tumor
Pancoast yang diterapi radiasi paliatif untuk mengurangi nyeri. Pada pasien tersebut
juga terdapat riwayat merokok berat, setelah 9 bulan pasca radiasi ukuran lesi
mengecil, sehingga dapat dilakukan operasi. 23 Faktor resiko kanker pam pada pasien
laporan kasus ini yaitu riwayat merokok. Hubungan antara merokok dan kanker pam
sudah tertegakkan secara epidemiologi maupun ilmiah, yaitu karena terdapatnya
bahan karsinogenik dalam rokok. 24
Dari pemeriksaan foto toraks pertama tanggal 9 Juni 2007 ditemukan
gambaran TB pam lama aktif dan perpadatan di lapangan atas pam kiri, tepi ireguler,
disertai penarikan hilus kiri ke kranial dan trakhea ke kiri. Terdapat pula penebalan
apical cap kiri. Gambaran ini mencurigakan adanya proses keganasan pam. Hasil
pemeriksaan foto toraks selanjutnya dan CT scan pada pasien tersebut menunjukkan
gambaran tumor sulkus superior kiri disertai destruksi costae 2,3,4 posterior kiri serta
sisi kiri corpus vertebrae Th 2,3,4 disertai tuberkulosis pam lama aktif. Destruksi
corpus vertebrae Th3 sisi kiri mencapai 50%. Terdapat pula destruksi pada arcus
posterior corpus vertebrae dan foramen neuralis kiri vertebrae Th3,4. Batas lesi
dengan esofagus sebagian tidak jelas, sehingga tidak menyingkirkan adanya infiltrasi
pada esofagus, walaupun tidak didapatkan keluhan disfagia. Batas lesi dengan trakhea
masih jelas, belum terdapat tanda infiltrasi pada trakhea. Tidak didapatkan
pembesaran kelenjar getah bening mediastinal, hilus maupun supraklavikula dan
tanda keterlibatan pembuluh darah subklavia dan a. carotis komunis.
Pada pemeriksaan bone scan terdapat peningkatan aktivitas pada vertebrae
Th2,3,4, costae 2 kiri posterior, dan costae 4 kiri lateral dikarenakan destruksi akibat
infiltrasi massa tumor, dan tidak didapatkan metastasis pada tulang-tulang lain.
Pemeriksaan MR1 sebaiknya dilakukan sebelum terapi untuk melihat invasi plexus
brachial is serta memastikan keterlibatan esofagus, yang bila positif maka pasien
kontraindikasi untuk reseksi.
Pada waktu itu, belum dapat ditegakkan jenis sel tumor paru seeara
mikroskopis dengan eara pengambilan sputum, sitologi transthorakal biopsi, maupun
sitologi bronkus dan biopsi bronkus dengan cara bronkoskopi. Hal ini diperkirakan
disebabkan oleh terambilnya jaringan riekrotik pada sediaan sitologi, dimana jaringan
nekrotik terlihat dominan pada CT scan toraks. Pasien dikonsulkan ke bagian bedah
toraks dan diputuskan untuk dilakukan radiasi neoajuvan sebelum open biopsy bila
perlu reseksi. Bedasarkan hasil Chest meeting tanggal 10 Desember 2007 dari klinis
dan radiologis diputuskan sesuai dengan keganasan paru dan direncanakan untuk
radioterapi neoajuvan.
Pada pemeriksaan fisik di radioterapi ditemukan kelenjar getah bening supraklavikula
kiri, ukuran 1 em, mobile, batas tegas, tepi reguler. Pasien diberikan radiasi ekterna
neoajuvan dengan total dosis 50 Gy, 2 Gy/fraksi. Lapangan radiasi meliputi tumor
primer (paru kiri atas) dan kelenjar getah bening daerah mediastinal, hilus kiri dan
supraklavikula kiri. Teknik penyinaran APIP A dengan pesawat Cobalt 60 sampai
dosis 40 Gy. Dilakukan foto toraks setelah radiasi 40 Gy, yang bila dibandingkan
dengan foto tanggal 6 Desember 2007, ukuran tumor stqa, infiltrat di parakardial kiri
berkurang, destruksi costae 2,3,4 stqa. Lalu dilakukan blok medulla spinalis, radiasi
dilanjutkan sampai 50 Gy. Setelah radiasi 50 Gy, keluhan nyeri punggung kiri sedikit
berkurang, dan batuk berdahak berkurang, serta tidak tampak lagi pembesaran
kelenjar getah bening supraklavikula kiri.
Kemudian pasien dikonsulkan ke bedah toraks kemudian dikirim untuk
pemeriksaan CT scan toraks evaluasi pasca radiasi. Dari hasil evaluasi CT scan pasca
radiasi, terlihat ukuran dan perluasan tumor relatif stqa, dan jaringan nek...rotik
bertambah, dengan adanya infiltrasi ke vertebrae, diputuskan tidak dapat direseksi dan
dikirim ke radiologi untuk dilakukan transthorakal biopsi (TTB) dengan CT guided.
TTB dilakukan di daerah perifer tumor yang masih padat. Hasil histopatologi TTB
dari departemen patologi anatomi adalah karsinoma sel skuamosa. Hal ini sesuai
dengan faktor resiko yang dimiliki pasien yaitu jenis kelamin laki-laki dan kebiasaan
merokok. Dan dari pemeriksaan bronkoskopi juga ditemukan massa intraluminer B2.
Pada karsinoma sel skuamosa biasanya tumbuh di intraluminer sentral dan dapat
menyebabkan atelektasis atau pneumonia. 15,20
Pasien kemudian diputuskan untuk diterapi kemoradiasi paliatif Pasien
diradiasi kembali dengan rencana total dosis 70 Gy. Hal ini sesuai dengan total dosis
radiasi pada tumor sulkus superior inoperabel. Karena jarak antara penyinaran
terakhir yaitu 25 Januari 2008 sampai 14 April 2008, maka pasien hams menjalani
penyinaran sampai 48 x. Pasien memulai radiasi yang ke 26x tanggal 15 April 2008.
Pasien juga menialaniJcemoterapi kombinasi intravena cisplatin (had ke 1) dan
etoposide (hari ke 1-3) pada tanggal 24 April 2008. Setelah dikemoterapi pasien
merasa lemah, dan hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Mei 2008 menunjukkan
toksisitas hematologi (Hb = 9,4 g/dL, Leukosit = 200 /uL, trombosit = 38.000 /uL)
dan kerontokan rambut. Hal ini sesuai dengan efek samping kemoterapi dengan
etoposide yaitu terdapar toksisitas hematologi. Pada beberapa pasien tumor sulkus
superior yang menjalani terapi multimodalitas dengan kemoradiasi neoajuvan
kemudian tidak bisa dioperasi. Hal ini mungkin dikarenakan progresi tumor karena
waktu atau komorbitidas akibat terapi induksi.i" Karena hasil laboratorium tidak
memenuhi syarat radiasi, maka radiasi pada pasien dihentikan. Saat itu pasien sudah
menjalani radiasi yang ke 40x. Pasien kemudian dirujuk ke hematologi onkologi dan
dirawat inap. Kemudian pasien tidak melanjutkan kemoradiasi.
Pasien kontrol ke departemen hematologi onkologi tanggal 1 Juli 2008 dengan
keadaan umum lemah, mual, demam kadang-kadang, dan sulit makan. Pasien
kemudian dirawat inap karena pneumonia dan intake sulit. Hasil laboratorium : Hb =
9,1 g/dL, Leukosit = 25.400 /uL, trombosit = 194.000 /uL. Pasien tidak kontrollagi ke
departemen radioterapi karena keadaan umum yang lemah dan menolak melanjutkan
kemoradiasi. Dilakukan foto toraks PA tanggal 2 Juli 2008, dibandingkan dengan foto
sebelumnya tampak ukuran tumor bertambah besar dan destruksi costae 2,3,4 sedikit
bertambah. Gambaran ini menunjukkan progresivitas tumor tanpa terapi apapun
selama sekitar 1,5 bulan. Pada penelitian Komaki dkk, kontrol tumor lokal pada asien
tumor sulkus superior pam berhubungan dengan ukuran tumor. Pada pasien ini ukuran
tumor cukup besar dan tidak menunjukkan respon yang baik terhadap radiasi. Anga
kesintasan hidup 5 tahun pada pasien tumor sulkus usperior pam yang hanya
menerima radiasi saja sebesar 9% dan kontrol lokal 51%. Sedangkan pada pasien
yang menerima dosis radiasi 66 Gy atau lebih dengan kombinasi kemoterapi memiliki
angka kesintasan hidup 5 tahun sebesar 33%. 25
Pasien meninggal dalam perawatan tanggal 31 Juli 2008 karena sesak dan
pada EKG terdapat fibrilasi ventrikel. Pada pemeriksaan EKG didapatkan RBBB,
sehingga kemungkinan penyebab kematian pada pasien ini karena insufisiensi koroner
akut. Selain itu, terdapat riwayat merokok lama pada pasien ini. Kemungkinan lain
penyebab kematian pada pasien ini yaitu emboli pam. Insidensi emboli pam pada
keganasan yaitu 4%. Emboli ini terutama diakibatkan oleh kelainan koagulopati. Pada
penelitian Gladish, insidensi emboli pam pada keganasan yang tertinggi terdapat pada
tumor ginekologi yaitu 15%, sedangkan kanker paru sebesar 7%. 26
Prognosis pada pasien ini buruk karena adanya gap antara radiasi neoajuvan
dan radiasi paliatif selama 80 hari, tidak lengkapnya total dosis radiasi dan kemoterapi
yang direncanakan, keadaan umum pasien yang lemah, serta invasi ke vertebrae.
RANGKUMAN
Terapi multimodalitas yang terdiri dari operasi, radiasi, dan kemoterapi
sebaiknya menjadi terapi standart pada pasien tumor sulkus superior paru. Radioterapi
dapat digunakan sebagai terapi definitif maupun paliatif. Pencitraan berperan dalam
menentukan staging maupun pilihan terapi serta penentuan teknik operasi maupun
radiasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Schaefer C, Prokop M. New imaging techniques in the treatment guidelines for lung
cancer. Eur Respir J 2002; 19: Suppl. 35, 71s-83s
2. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran pathologic basis of disease.
Philadelphia:Elsevier Saunders,2005;p.757-764
3. Bhimji S. Pancoast tumor. 2006. Available from
http://www.emedicine.com/med/topic3576.htm
4. Bruzzi IF, Komaki R, Walsh GL, Truong MT, Gladish GW, Munden RF, Erasmus
JJ.Imaging of non-small cell lung cancer of the superior sulcus part 1 : anatomy,
clinical manifestations, and management. RadioGraphies 2008; 28:551-560
5. D'Silva KJ. Pancoast syndrome. 2007. Available from:
http://www.emedicine.com/med/topic3418.htm
6. Archie VC, Thomas Jr CR. Superior sulcus tumors: a mini-review. The Oncologist
2004;9:550-555
7. Aquino SL, Duncan GR, Hayman LA. Nerves of the thorax.: atlas or normal and
pathologic findings. RadioGraphics 2001; 21: 1275--128]
8. Detterbeck FC. Changes in the treatment of pancoast tumors. Ann Thorac Surg
2003;75: 1990 -7)
9. Grainger RG, Allison D, Adam A, Dixon AK. Grainger & Allison's diagnostic
radiology a textbook of medical imaging. Edinburgh:Churchill Livingstone,
2001;p.283-302
10. Wittenberg KH, Adkins Me. MR imaging of nontraumatic brachial plexopathies
frequency and spevctrum findings. RadioGraphies 2000; 20:1023-1032
11. Hansell DM, Armstrong P, Lynch D, McAdams HP. Imaging of the diseases of the
chest. 4th ed.Philadelphia:Elsevier Mosby,2005 ;p. 785-811
12. Bruzzi IF, Komaki R, Walsh GL, Truong MT, Gladish GW, Munden RF, Erasmus
JJ.lmaging of non-small cell lung cancer of the superior sulcus part 2: initial
staging and assessment of resectability and therapeutic response. RadioGraphies
2008; 28:561-572
13. Arcasoy SM, Jett JR. Superior pulmonary sulcus tumors and Pancoast's syndrome.
The New England Journal of Medicine Nov 1997;11:1370-1376
14. Yang PC, Lee LN, Luh KT, Kuo SH, Yang SP. Ultrasonography of Pancoast tumor.
Chest 1988;94:124-128
15. Ginsberg RJ, Vokes EE, Rosenzweig KR. Non-small sell lung cancer. In : Freeman
S, Rhyner S, Snyder A, Harris S, Scaramuzzo TA, Langford K, et al. Cancer
principles & practice of oncology. 6th ed. Philadelphia:Lippincott Williams &
. Wilkins,2001;p.925-974
16. Breathnach OS. Non-small cell lung cancer. In Abraham J, Allegra CJ. Bethesda
handbook of clinical oncology. Philadelphia.Lippincott Wiliams &
Wilkins,200 1;p.42-43
17. Marra A, Eberhardt W, Pottgen C, Theegarten D, Korfee S, Gauler T, et al.
Induction chemotherapy, concurrent chemoradiation and surgery for Pancoast
tumour. Eur Respir J 2007; 29: 117-127
18. Kong FM, Bradley JD, Martel M, Senan S. Cancers of the thorax. In:Khan FM.
Treatment planning in radiation oncology.Z'" ed. Philadelphia:Lippincott
Williams& Wilkins,2007;p. 4 50-462
19. Faber LP. Current status of neoadjuvant therapy for non-small cell lung cancer.
Chest 1994;106:355-358
20. Dobbs J. Practical radiotherapy planning.J'" ed. London:Arnold,1999;p.175-185
21. Kwa SL, Lebesque N, Theuws JC et al. Radiation pneumonitis as a function of
mean lung dose: an analysis of pooled data of 540 patients. Int J Radiat Oncol Biol
Phys 1998;42:1-9
22. Alberts WM. Diagnosis and management of lung cancer executive summary. Chest
2007; 132: 1-19
23. Gonzalez AV, Sirois C, Fraser RS, Gruber J. An unexpected response to
radiotherapy. Chest 2005;128: Suppl. 4, 451s
24. McPhee SJ, Papadakis MA. Current Medical Diagnosis & Treatment 2009. 48th
Edition. Philadelphia: McGraw-Hill, 2009; section 39.
25. Perez CA. Brady LW, Halperin EC, Schmidt-Ullrich RK. Principles and practice of
radiation oncology. 4th Edition. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,
2004;p.1201-1241
26. Gladish GW. Chloe DH, Marom EM, Sabloff BS, Broemeling LD, Munden RF.
Incidental pulmonary emboli in incologic patients prevalence, CT evaluation, and
natural history. Radiology 2006;240:246-255.