rabies.docx
DESCRIPTION
MakalahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebagai makhluk hidup, manusia dilengkapi dengan suatu sistem imunitas, dimana
sistem ini merupakan suatu sistem pertahanan tubuh manusia dari berbagai macam
kuman. Kuman yang masuk ke dalam tubuh mampu mengganggu sistem imunitas
manusia, sehingga ketika sistem imunitas manusia sedang menurun, kuman langsung
mampu menimbulkan penyakit.
Kuman dapat masuk ke dalam tubuh manusia dapat, melalui berbagai cara. Salah satunya
adalah melalui luka. Luka dapat terjadi oleh berbagai macam faktor. Di dalam makalah
ini akan dibahas mengenai kuman yang masuk akibat adanya luka gigitan dari anjing
yang telah diberi antiseptik namun karena sang penderita bermain di kubangan air,
lukanya kembali mengeluarkan nanah.
Maka dari itu diperlukan suatu pemahaman bagaimana sistem imunitas kita mengatasi
berbagai macam infeksi.
I.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a) Agar dapat mengetahui macam-macam luka dan bagaimana cara mengatasinya.
b) Agar dapat mengetahui bagaimana proses terjadinya nekrosis dan beberapa faktornya.
c) Agar dapat mengetahui tentang infeksi rabies dan penanganannya
Infeksi dan Imunitas 1
BAB II
PEMBAHASAN
Skenario
Seoranga anak laki-laki berusia 22 tahun tiba-tiba digigit anjing liar saat sedang bermain di luar rumah hingga mengalami luka terbuka pada kaki kanannya. Sang ibu segera membersihkan luka anaknyadengan antiseptic tetapi keesokan harinya anak tersebut bermain di kubangan air. Beberrapa hari kemudian luka tersebut mengeluarkan nanah.
Identifikasi Istilah yang Tidak Diketahui
Antiseptic : senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan yang hidup seperti pada permukaan kulit dan membran mukosa.
Rumusan masalah
Yang menjadi rumusan masalah berdasarkan skenario tujuh adalah :
1. Luka terbuka karena digigit anjing liar
2. Bermain di kubangan air menyebabkan luka yang belum tertutup tersebut
mengeluarkan nanah.
Hipotesis
Berdasarkan rumasan masalah di atas maka yang menjadi hipotesis adalah luka terbuka harus
disterilkan dan dirawat agar tidak terkontaminasi oleh bakteri atau mikroba lainnya dan luka
bernanah di sebabkan masuknya organisme lain kedalam luka.
Infeksi dan Imunitas 2
Mind Map
Infeksi dan Imunitas 3
Proses terjadinya
nekrosisRabies
Gejala Klinis Prognosis
Patogenesis Penanganan Faktor Penyebab
Luka Terbuka
dan Bernanah
Macam Jenis LukaProses Penyembuhan
Primer Sekunder
Penanganan Luka
Medika Mentosa
Non Medika Mentosa
II.1 Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang
berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan virus rabies yang teramsuk genus Lyssa-virus,
famili Rhabdoviridae dan mengionfeksi manusia melalui sekret yang terinfeksi pada
gigitan binatang. Di Indonesia terkenal dengan penyakit anjing gila.1
Etiologi
Virus rabies merupakan prototipe dari genus Lyssa-virus, famili Rhabdoviridae. Dari
genus Lyssa-virus ada 11 jenis virus yang antigenik mirip virus rabies dan yang
menginfeksi manusia adalah virus rabies, Mokola, Duvenhage dan European bat lyssa-
virus. Virus rabies termasuk golongan virus RNA. Virus RNA berbentuk peluru dengan
ukuran 180x75 nm, single stranded RNA, terdiri dari kombinasi nukleo-proteinyang
berbentuk koil heliks yang tersusundari fosfoprotein dan polimerisasi RNA. Selubung
virus terdiri dari lipid, protein matriks dan glikoprotein. Virus rabies inaktif pada
pemanasan: pada temperatur 560c waktu paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi
lembab pada temperatur 370c dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan
deterjen, sabun, etanol 45%, solusi jodium. Virus rabies dan virus lain yang sekeluarga
dengan rabies diklasifikasikan menjadi 6 genotipe 1, Mokola genotipe 3, Duvenhage
genotipe 4, dan European bat lyssa-virus genotip 5 dan 6. 1
Transmisi
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing, kucing, kera,
serigala, kelelawar dan ditularkan pada manusia melalui gigitan binatang atau kontak
virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun melalui membran mukosa. Kulit
yang utuh merupakan barrier pertahanan terhadap infeksi. Transmisi dari manusia
kemanusia belum pernah dilaporkan. Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan
masuknya virus lewat luka pada kulit. Paling sering infeksi terjadi melalui gigitan anjing,
tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang terinfeksi. Cara
infeksi yang lain adalah melalui inahalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies
pada orang yang mengunjungi gua kelelawar tanpa ada gigitan. Dapat pula kontak virus
rabies pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies yang
masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan transplantasi
kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies. 1
Infeksi dan Imunitas 4
Patogenesis dan Patologi
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama 2 minggu virus menetap pada
tempat masuk dan di jaringan otot di dekatnya virus berkembang biak atau langsung
mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tanpa menujukkan perubahan fungsinya.
Selubung virus menjadi satu dengan membran protein ribonukleus dan memasuki
sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post sinaptik pada
neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar
secara sentriperal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran
aksoplasmamdncapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak.
Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3mm/jam ke susunan saraf pusat (medula
spinalis dan otak) melalui cairan serebrospinal. Di otak virus menyebar secara luas dan
memperluas diri dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam
serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun saraf otonom. Penyebaran
selanjutnya dari SSpP ke saraf perifer termasuk serabut saraf otonom, otot skeletal, otot
jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, pankreas. Pada tahap berikutnya virus
akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga
tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain
dan medula spinalis pada rabiestipe furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe
paralitik. Perubahan patologi berupa degenerasi sel ganglion infiltrasi sel, mononuklear,
dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis. Dijumpai Negri bodies
yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear
dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada
seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipotalamussel Purkinje
serebrum, ganglia dorsalis medula spinalis. 1
Gejala Klinis
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa bervariasi antara 7hari-7
tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-
kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa
inkubasi boasanya lebih pendek daripada orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi
oleh dalam dan besarnya gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf
pusat), derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari dan pada ekstremitas 46-78 hari. 1
Infeksi dan Imunitas 5
Pada manusia, gejal klinis terdiri dari 4 stadium, yaitu:
1. Gejala prodromal non-spesifik
2. Ensefalitis akut
3. Disfungsi batang otak
4. Koma dan kematian
Stadium Prodromal
Stadium ini berlangsung 1-4 hari dan biasanya tidak ditemukan gejala spesifik.
Umumnya disertai gejala respirasi atau abdominal yang ditandai oleh demam, mengigil,
batuk, nyeri menelan, nyeri perut, sakit kepala, malaise, mialgia, mual, muntah, diare dan
nafsu makan menurun. Geajala yang lebih spesifik yaitu adanya gatatal dan parastesia
pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%). Stadium prodromal dapat
berlangsung sampai 10 hari, kemudian penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik
akut yang dapat berupa furious atau paralitik. Mioedema dijumpai pada stadium
prodromal dan menetap selama perjalanan penyakit. 1
Stadium neurologi akut
Dapat berupa gejala furious atau paralitik. Pada gejala furious penderita menjadi
hiperaktif, disorientasi, mengalami halusinasi, atau bertingkah laku aneh. Setelah
beberapa jam-hari, gejala hiperaktif menjadi intermiten setiap 1-5 menit berupa periode
agitasi, ingin lari, menggigit disela periode tenang. Keadaan hiperaktif terjadi karena
adanya rangsangan dari luar seperti suara, sinar, tiupan udara dan rangsangan lainnya
yang menimbulkan kejang sehingga menimbulkan fobia terhadap rangsangan tersebut.
Tanda-tanda klinis yang dapat dijumpai berupa hiperaktifitas, halusinasi, gangguan
kepribadian, mengismus, lesi saraf kranialis, fasikulasi otot dan gerakan-gerakan
involunter, fluktuasi suhu badan, dilatasi pupil. Lesi pada nukleus amigdaloid
memberikan gejala libido yang meningkat , priapimus dan orgasme spontan. Gejala
otonomik pada stadium ini diantaranya adalah dilatasi pupil yang ireguler, peningkatan
lakrimasi, hipertermia, takikardia, hipotensi postural, hipersalivasi. Gejala lain dalam
fase neurologik akut ialah demam, fasikulasi otot, hiperventilasi dan konvulsi. Gejala
stadium eksitasi dapat berlangsung sampai penderita meninggal. Kematian poaling sering
terjadi pada stadium ini. Bila stadium ini dapat terlewati, penderita masuk stadium
paralitik. 1
Infeksi dan Imunitas 6
Apabila penderita tidak meninggal, 20% penderita akan masuk stadium paralitik yang
ditandai oleh demam dan sakit kepala, paralisis, pada ekstremitas yang digigit, mungkin
difus atau simetri, atau dapat menyebar secara ascenden seperti pada sindroma Guillain-
Barre, kaku duduk dapat dijumpai. Pada stadium paralitik dapat tidak ditemui gejala
hidrofobia, aerofobia, hiperaktifitas dan kejang. Pada keadaan ini kesadaran dapat utuh,
akan tetapi memburuk secara gradual menjadi bingung, disorientasi, paraplegia,
gangguan menelan, kelumpuhan pernafasan dan akhirnya meninggal. Seluruh
manifestasi neurologik akut terjadi selama 2-7 hari dengan fase paralitik lebih panjang. 1
Stadium Koma
Apabila tak terjadi kematian pada stadium neurologik, penderita dapat mengalami koma.
Koma dapat terjadi dalam 10 hari setelah gejala rabies tampak dan dapat berlangsung
hanya beberapa jam smapai berbulan-bulan tergantung dari penanganan intensif. Pada
penderita yang tak ditangani, penderita dapat meninggal setelah terjadi koma. Beberapa
komplikasi dapat terjadi dan menyebabkan kematian. Sampai saat ini hampir
keseluruhan penderita rabies meninggal, hanya ada 4 laporan penderita ensefalitis rabies
hidup. 1
Komplikasi
Bebrbagai komplikasi dapat terjadi pada pendrita rabies dan biasanya timbul pada fase
koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra-kranial; kelainan
pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormon antidimetik
(SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia/
hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering
bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi
komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi
pernafasan terjadi pada fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung
kongestif, dehidrasi dan gangguan otonomik. 1
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada penyakit rabies tidak spesifik. Pada awal dari penyakit
hemoglobin normal dan sedikit menurun pada perjalanan penyakit; leukosit antara 8000-
13000/mm3 dengan 6-8% monosit yang atipik, namun leukositosis 20.000-30.000/mm3
sering dijumpai; trombosit biasanya normal. Pada urinalisis dijumpai albuminuria dengan
Infeksi dan Imunitas 7
peningkatan sel leukosit pada sedimen. Pada cairan serebro spinal (CSS) dapat dijumpai
gambaran ensefalitis, peningkatan 70/mm3, tekanan CCS dapat normal atau meningkat;
protein dan glukosa normal. Selama minggu pertama perjalanan penyakit cairan
serebrospinal normal pada 40% penderita. Limfositik pleiositosis ringan biasanya
terjadidan protein total meningkat lebih dari 200mg/dL. Pada EEG secara umum
didapatkan gelombang lambat dengan penekanan aktivitas dan paroksismal spike.
Computed tomography scanning(CT) dan MRI (magneti resonance imaging) pada otak
normal. 1
Isolasi virus sangat baik dilakukan pada hari pertama dari bahan yang berasal dari saliva,
hapusan tenggorokan, trakea, kornea, sampel biopsi kulit/ otak, cairan serebrospinal, dan
kadang-kadng urin. Isolasi virus kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari bahan-
bahan tersebut setelah 10-14 hari sakit; hal ini berhubungan dengan adanya neutralizing
antibodies. 1
Deteksi neutralizing antibody dalam serum penderita yang tidak divaksinasi dapat
dipakai sebagai alat dignostik. Terdapatnya antibodi dalam cairan serebrospinal juga
menegaskan diagnosis tetapi muncul 2-3 hari lebih lambat dibandingkan dengan antibodi
serum dan kurang bermanfaaat pada awal penyakit, namun dipakai untuk mengevaluasi
respons antibodi pada serum dan CCS sesudah vaksinasi yang memberikan kadar tinggi
(padaCCS kadarnya 2-25% dari serum). Pada kasus tertentu antibodi dapat tidak
terbentuk sampai hari ke-24. Fluorescent antibodies test (FAT) dengan cepat
mengidentifikasi antigen virus rabies di jaringan otak, sedimen cairan serebrospinal, urin,
bahkan setelah tehnik isolasi virus tidak berhasil. Sensitivitas test ini 60-100%. FAT
pada hapusan kornea sangat tidak sensitif untuk digunakan karena sering terjadi positif
palsu. Pada awal penyakit (minggu I) FAT pada dari kulit di leher merupakan tes yang
paling sensitif walaupun dapat terjadi focus inhibition test (RFFIT) untuk mendeteksi
antibodi spesifik, dimana hasil diperoleh dalam waktu 48 jam. 1
Pada 71-90% penderita rabies ditemukan negri bodies yang khas untuk penyakit tersebut,
yang bersifat asidofilik, berbentuk bulat dan pada yang klasik terdapat butir-butir
basofilik didalamnya Negri bodies dapat dilihat melalui pemeriksaan histologis biopsi
jaringan otak penderita post-mortem dan jaringan otak hewan terinfeksi atau hewan yang
diinokulasi dengan virus rabies. Deteksi RNA virus rabies seperti juga pada infeksi virus
Infeksi dan Imunitas 8
lainnya, dapat dilakukan melalui pemeriksaan Reverse-Transcriptase Polymerase Chain
Protection (RT-PCR). 1
Penanganan Rabies
Tidak ada terapi untuk penderita yang sudah menunjukkan gejala rabies; penanganan
hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung dan gagal nafas.
Walaupun tindakan perawatan intensif umumnya dilakukan, hasilnya tidak
menggembirakan. Perawatan intensif hanyalah metode untuk memperpanjang dan bila
mungkin menyelamatkan hidup pasien dengan mencegah komplikasi respirasi dan
kardiovaskuler yang sering terjadi. Isolasi penderita penting segera setelah didiagnosis
ditegakkan untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang dapat menimbulkan spasme
otot ataupun untuk mencegah penularan. Staf rumah sakit perlu menghindarkan diri
terhadap penularan virus dari air liur, urin, air mata, cairan lain, dan yang paling
berbahaya adalah kontak dengan mukosa atau kulit yang terluka khususnya akibat
gigitan dengan universal precaution (memakai sarung tangan dan sebagainya). Virus
tidak menular melalui darah dan tinja. Yang penting dalam pengawasan penderita rabies
adalah terjadinya hipoksia, aritmia, gangguan elektrolit, hipotensi, edema serebri. 1
Penderita rabies dapat diberikan obat-obat sedatif dan analgesik secara adekuat untuk
memulihkan ketakutan dan nyeri yang terjadi. Penggunaan obat-obat anti serum, anti
virus, interferon, kortikosteroid ini hampir tidak menyebabkan perkembangan dalam
penanganan kasus rabies. Jackson menuliskan perlunya penanganan kasus rabies secara
lebih agresif yaitu dengan pemberian vaksin antirabies, imunoglobin (monoklonal).
Antiviral agent yang dianjurkan adalah ribavirin, interferon alfa, dan ketamin. 1
Pencegahan
Untuk mencegah infeksi virus rabies pada penderita yang terpapar dengan virus rabies
melalui kontak ataupun gigitan binatang pengidap atau tersangka rabies harus dilakukan
perawatan luka yang adekuat dan pemberian vaksin anti rabies dan imunoglobulin.
Vaksinasi rabies perlu pula dilakukan terhadap individu yang berisiko tinggi tertular
rabies. 1
Infeksi dan Imunitas 9
Penanganan Luka
Pengobatan lokal luka gigitan adalah faktor penting dalam pencegahan rabies. Luka
gigitan harus segera dicuci dengan sabun, dilakukan debridemen dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii atau larutan ephiran 0,1%. Luka
akibat gigitan binatang penular rabies tidak dibenarkan untuk dijahit kecuali bila keadaan
memaksa dapat dilakukan jahitan situasi. Profilaksis tetanus dapat diberikan dan infeksi
bakterial yang berhubungan dengan luka gigitan perlu diberikan antibiotik. 1
Vaksinasi
Vaksinasi Post-exposure
Dasar vaksinasi ini adalah neutralyzing antibody terhadap virus rabies dapat segera
terbentuk dalam serum setelah masuknya virus ke dalam tubuh dan sebaikny aterdapat
dalam titer yang cukup tinggi selama setahun sehubungan dengan panjangnya inkubasi
penyakit. Neutralyzing antibody tersebut dapat berasal dari imunisasi pasif dengan
serum anti rabies atau secara aktif diproduksi oleh tubuh oleh karena imunisasi aktif. 1
Secara garis besar ada 2 tipe vaksin anti rabies (VAR) yaitu: Nerve tissue vaksin (NTV
yang dapat berasal dari otak hewan dewasa seperti kelinci, kambing, domba dan monyet
atau dari otak bayi hewan mencit seperti Suckling Mouse Brain Vaccine (SMBC); Non
Nerve Tissue Vaccine yang berasal dari telur itik bertunas (Duck Embryo Vaccine=
DEV) dan vaksin yang berasal dari biakan jaringan seperti HDCV dan PVRV. 1
Vaksinasi pre-exposure
Untuk menghindari infeksi virus rabies, disamping pemberian VAR setelah mendapat
gigitan binatang tersangk rabies, pencegahan lebih dini juga dapat dilakukan dengan
memberikan suntikan yang sama tetapi dengan waktu, cara dan dosis yang berbeda
melaluiprofilaksis pre-eksposure (pra paparan). 1
Individu yang berisiko tinggi untuk kontak dengan virus rabies seperti dokter hewan,
pekerja di kebun binatang, petugas karantina hewan, penangkap binatang, petugas
laboratorium yang bekerja dengan virus rabies, dokter dan perawat yang berkunjung ke
daerah endemis rabies seperti Meksiko, Thailand, Filipina, India, Sri Lanka dianjurkan
untuk mendapatkan pencegahan pre-exposure. VAR diberikan dengan dosis 1 ml secara
intramuskuler pada hari 0, 7 dan 28 lalu booster setelah 1 tahun dan tiap 5 tahun. 1
Infeksi dan Imunitas 10
Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% apabila virus sudah
mencapai sistem saraf dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan dilaporkan
10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga sekarang belum ada
pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis rabies selalu fatal karena sekali gejala
rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari sesudahnya berbagai akibat
gagal napas/ henti jantung ataupun generalisata. Berbagai penelitian dari tahun 1986
sampai 2000 yang melibatkan lebih 800 kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara
endemis yang segera mendapatkan perawatan luka, pemberian VAR dan SAR,
mendapatkan angka survival 100%.1
II.2 Etiologi luka
1. Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misal
yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura
seterah seluruh pembuluh darah yang luka diikat (Ligasi). 2,3
2. Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan
dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak. 2,3
3. Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang
biasanya dengan benda yang tidak tajam. 2,3
4. Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau
yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil. 2,3
5. Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau
oleh kawat. 2,3
6. Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya
pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya
lukanya akan melebar. 2,3
7. Luka Bakar (Combustio) 2,3
8. Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar atau hewan
piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan yang ganas dan pemakan
daging, yaitu dalam usaha untuk membela diri. 2,3
Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping luas
yang berat. 2,3
Infeksi dan Imunitas 11
II.3 Macam-macam jenis luka
Menurut tingkat kontaminasi terhadap luka
1. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana tidak terjadi
proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan, pencernaan, genital
dan urinari tidak terjadi. Luka bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika
diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal; Jackson – Pratt). Kemungkinan
terjadinya infeksi luka sekitar 1% – 5%.2,3
2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalam
kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi
luka adalah 3% – 11%.2,3
3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat
kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau
kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi
nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% – 17%.2,3
4. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka. 2,3
Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi
pada lapisan epidermis kulit. 2,3
Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan
epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda
klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. 2,3
Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi
kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi
tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis,
dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu
lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. 2,3
Infeksi dan Imunitas 12
Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan
tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas. 2,3
II.4 Proses Penyembuhan
Penyembuhan luka berlangsung secara berturutan melalui beberapa fase seperti berikut:
Induksi inflamasi oleh jejas inisial
Pembentukan jaringan granulasi dan reepitelialisasi.
Pengendapan dan remodeling matriks ekstrasel dengan kontraksi luka.
Stadium penyembuhan luka.4,5
Fase peradangan/inflamatori
Segera setelah luka dan berakhir 3-4 hari
Dua proses utama ialah hemostasis dan fagositosis
Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat konstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan
pembentukan bekuan darah di daerah luka
Bekuan darah dibentuk oleh platelet yang menyaipkan matriks fibrin yang menjadi
kerangka bagi pengambilan sel.
Scab (keropeng) juga dibentuk di permukaan luka.
Di bawah scab, sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel sebagai barier antara
tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.
Memerlukan pembuluh darah dan respon seluler untuk mengangkat benda asing dan
jaringan mati.
Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang
diperlukan pada proses penyembuhan. Daerah luka tampak merah dan bengkak.
Leukosit terutamanya neutrofil berpindah ke daerah interstitial yang ditempati
makrofag yang keluar lebih kurang 24 jam setelah luka.
Makrofag menelan mikroorganisme dan sel debris melalui fagositosis.
Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang
pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.
Fase Proliferatif
Dimulai selama stadium peradangan dan berlanjut selama sekitar 21 hari.
Infeksi dan Imunitas 13
Tepi luka tampak merah muda cerah dan ridge penyembuhan terbentuk 5 sampai 7
hari setelah insisi.
Terjadi tiga kejadian utama yaitu epitelisasi, neovaskularisasi dan sintesis kolagen.
Epitelisasi dimulai dalam 24 jam setelah insisi. Mitosis sel basal dan migrasi sel basal
marginal bekerja sama untuk memjembatani celah yang tercipta oleh insisi.
Dalam 48 jam, keseluruhan daerah telah dire-epitelisasi.
Neovaskularisasi terjadi akibat angiogenesis. Proses ini dimulai 2 hari setelah operasi
dan mencapai aktivitas puncak dalam 7 hari.
Sel-sel endotel pembuluh yang ada berproliferasi untuk membentuk kapiler baru yang
menyebabkan tepi luka tampak berwarna merah muda terang.
Fibroblast dengan cepat mensintesis kolagen dan bahan dasar (ground substance) dan
puncak produksi berlangsung dari hari ke-5 sampai ke-7.
Kolagen jaringan nonluka cukup kuat tetapi kolagen yang baru terbentuk terdiri atas
serat berukuran kecil dan kurang teratur serta lemah.
Kekuatan peregangan kolagen ini meningkat dengan cepat setelah hari ke-5.
Fase pematangan
Dimulai sekitar 21 hari setelah insisi dan dapat berlangsung setahun atau lebih.
Kolagen yang dihasilkan lebih tebal dan kompak. Serat-seratnya mulai membentuk
ikatan silang. Kedua ini meningkatkan kekuatan peregangan luka.
Remodeling kolagen yang bermakna terjadi selama stadium ini, disertai pembentukan
dan penyerapan jaringan parut.
Reabsorpsi kelebihan kolagen akan menimbulkan remodeling jaringan parut,
meningkatkan kelenturannya dan menyebabkan kontraksi luka.
Mekanisme kontraksi lebih disebabkan oleh kontraksi miofibroblas yang terdapat di
seluruh tubuh terutama terpusat di sekitar luka terbuka.
Remodeling berlangsung lebih lama pada orang muda
Penyembuhan luka pada kulit menunjukkan prinsip-prinsip perbaikan untuk sebagian
besar jaringan tubuh. Epitel akan dibangun kembali dan hanya sedikit pembentukan parut
pada luka yang sangat superficial. Pada jejas yang lebih luas, mungkin tidak sempurna
hasilnya secara fungsional. 4,5
Infeksi dan Imunitas 14
Luka kulit sembuh melalui proses penyembuhan primer atau penyembuhan sekunder.
Proses penyembuhan tersebut pada dasarnya merupakan proses yang sama namun
perbedaannya lebih karena sifat luka itu sendiri yaitu dari segi keluasannya. 4,5
Penyembuhan Primer (luka dengan kedua tepi yang bertemu) 4,5
Penutupan dengan primary intention digunakan untuk luka bersih yang tepi-
tepinya dapat dengan tepat didekatkan satu sama lain. Penyembuhan berlangsung secara
sisi-ke-sisi. Luka insisi bedah yang bersih dengan kedua tepi yang dirapatkan akan
mengurangi kematian sel dan menyebabkan gangguan membrane basalis yang minimal.
Proses penyembuhannya merangkumi beberapa tahap yaitu:
0 jam: Luka insisi terisi oleh bekuan darah.
3 hingga 24 jam: Sel-sel neutrofil menginfiltrasi bekuan.
24 hingga 48 jam: sel-sel epitel bermigrasi dari bagian tepi luka dengan menumpuk
membrane basalis; proliferasi terjadi minimal.
Hari ke-3: Sel-sel neutrofil digantikan oleh makrofag. Jaringan granulasi mulai muncul.
Hari ke-5: Ruang bekas insisi terisi oleh jaringan granulasi; neovaskularisasi dan
proliferasi epitel terjadi maksimal; fibril kolagen mulai terlihat.
Minggu ke-2: Inflamasi, edema dan peningkatan vaskularitas telah mereda; proliferasi
fibroblast menyertai pengendapan kolagen yang terus terjadi.
Bulan ke-2: Jaringan parut kini terdiri atas jaringan ikat tanpa inflamasi yang tertutup
oleh epidermis yang utuh. Kekuatan pada luka untuk menghadapi regangan akan terus
bertambah.
Penyembuhan sekunder (luka dengan kedua tepi yang terpisah) 4,5
Penutupan dengan secondary intention digunakan untuk luka yang menyebabkan
kehilangan jaringan misalnya ulkus kulit dan pembersihan luka bakar jika aproksimasi
tepi-tepi luka tidak memungkinkan.
Keadaan ini terjadi ketika kehilangan jaringannya lebih luas. Respons inflamasi yang
terjadi tampak lebih besar, dan jaringan granulasinya jauh lebih banyak; pada keadaan ini
terdapat pengendapan jaringan parut yang sangat besar dan epidermis yang menutupinya
tampak tipis. Penyembuhan terjadi melalui pembentukan jaringan granulasi yang
berjalan dari bawah ke atas. Yang paling signifikan, penyembuhan sekunder ditandai
oleh kontraksi luka yaitu ukuran defek akan berkurang secara nyata dibandingkan ukuran
Infeksi dan Imunitas 15
semula dan keadaan ini terutamanya terjadi melalui aktivitas kontraktil sel-sel
miofibroblas. 4,5
Faktor yang mempengaruhi penyembahan luka.
1. Usia, Semakin tua seseorang maka akan menurunkan kemampuan penyembuhan
jaringan. 2,3
2. Infeksi, Infeksi tidak hanya menghambat proses penyembuhan luka tetapi dapat juga
menyebabkan kerusakan pada jaringan sel penunjang, sehingga akan menambah
ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang maupun kedalaman luka. 2,3
3. Hipovolemia, Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan
menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. 2,3
4. Hematoma, Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan
yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga
menghambat proses penyembuhan luka. 2,3
5. Benda asing, Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari
serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu
cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus”). 2,3
6. Iskemia, Iskemi merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat
dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu
adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri. 2,3
7. Diabetes, Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi
penurunan protein-kalori tubuh. 2,3
8. Pengobatan, Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh
terhadap cedera,• Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan, Antibiotik : efektif
diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang
spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat
koagulasi intravaskular. 2,3
Infeksi dan Imunitas 16
II.5 Penanganan Luka
Penatalaksanaan/Perawatan Luka (Medikamentosa dan Nonmedikamentosa)
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi
luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka,
pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan. 2,3
a. Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).
b. Tindakan antiseptik, prinsipnya untuk mensucihamakan kulit. Untuk melakukan
pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik
seperti:
Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2 menit).
Halogen dan senyawanya
o Yodium, merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum luas dan dalam
konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam
o Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine), merupakan kompleks
yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak merangsang, mudah dicuci
karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap.
o Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk antiseptik
borok.
o Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa biguanid
dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna, mudah larut dalam air,
tidak merangsang kulit dam mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung.
Oksidansia
o Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan fungisida agak lemah berdasarkan
sifat oksidator.
o Perhidrol (Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk mengeluarkan kotoran dari
dalam luka dan membunuh kuman anaerob.
Logam berat dan garamnya
o Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat menghambat pertumbuhan bakteri dan
jamur.
o Merkurokrom (obat merah) dalam larutan 5-10%. Sifatnya bakteriostatik
lemah, mempercepat keringnya luka dengan cara merangsang timbulnya kerak
(korts)
Infeksi dan Imunitas 17
Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan turunan
aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%. Kegunaannya
sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka terinfeksi.
Dalam proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan
cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepat
akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan
meningkatkan biaya perawatan. Pemilihan cairan dalam pencucian luka harus cairan
yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan antiseptik yang telah dijelaskan
diatas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline.
Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifat
fisiologis, non toksik dan tidak mahal..
Non Medika Mentosa
Pembersihan Luka
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan
mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari terjadinya infeksi; membuang
jaringan nekrosis dan debris. Pencucian luka yang seksama 2 hingga 3 kali sehari akan
membuang sekret yang tercemar bakteri. 2,3
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu:
Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati
dan benda asing.
Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
Berikan antiseptik
Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal
Bila perlu lakukan penutupan luka
Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam
boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak berbatas
tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam atau per tertiam. Benang dapat
dibedakan menjadi dapat diserap dan tidak dapat diserap. Benang yang dapat diserap
merupakan material sintetis seperti asam poliglikolat atau material biologis seperti
Infeksi dan Imunitas 18
“catgut” biasa. Benang yang dapat diserap biasanya dibenamkan. Benang yang tidak
dapat diserap digunakan untuk kulit , dan dapat digunakan pada jaringan subkutan,
fasia dan memperbaiki orgain lain. 2,3
Penutupan Luka
Adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses
penyembuhan berlangsung optimal. Hindari penutupan primer pada luka terinfeksi dan
meradang, luka kotor, gigitan hewan dan manusia, luka remuk yang berat dan
terabakan. Penutupan plester menurunkan risiko terinfeksi dibanding penjahitan dan
dapat dipertimbangkan untuk luka berisiko tinggi. 2,3
Pembalutan
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada penilaian
kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap penguapan, infeksi,
mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam proses penyembuhan, sebagai
fiksasi dan efek penekanan yang mencegah berkumpulnya rembesan darah yang
menyebabkan hematom. 2,3
Pemberian Antibiotik
Prinsipnya pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka
terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
Pengangkatan Jahitan
Jahitan diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu pengangkatan
jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis pengangkatan luka, usia,
kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi. 2,3
II.6 Nekrosis
Akibat jejas yang paling ekstrim ialah kematian sel (cellular death). Kematian sel dapat
mengenai seluruh tubuh (somatic death) atau kematian umum dan dapat pula setempat,
terbatas mengenai suatu daerah jaringan teratas atau hanya pada sel-sel tertentu saja.
Kematian sel dan kematian jaringan pada tubuh yang hidup dapat disebut nekrosis.
Kematian sel/jaringan dapat dikenali karena sel/jaringan menunjukkan perubahan-
perubahan tertentu. Istilah nekrobiosis digunakan untuk kematian yang sifatnya
Infeksi dan Imunitas 19
fisiologik dan terjadi terus-menerus (kontinu). Nekrobiosis misalnya terjadi pada sel-sel
daah dan epidermis.6
Secara makroskopik jaringan nekrotik menunjukkan perangai yang berubah. Jaringan
atau alat tubuh yang nekrotik tidak tampak segar lagi, melainkan keruh. Sering perangai
juga berbeda-beda bergantung kepada jenis jaringan sehingga dibeda-bedakan
bermacam-macam nekrosis seperti pekijuan, gumma, dll. Secara mikroskopik jaringan
nekrotik seluruhnya berwarna kemerahan dan tidak mengambil zat warna hematoksilin.
Sering pucat. Sering pada jaringan nekrotik diletakkan kapur sehingga terlihat bercak-
bercak kebiruan. Jaringan nekrotik merupakan rangsang bagi jaringan sehat sekitarnya,
karena itu sekeliling nekrotik tampak hiperemik dan bersebukan sel radang. Pada
nekrosis perubahan terutama tampak pada inti, berbeda dengan degenerasi yang
perubahannya hanya terdapat pada sitoplasma. 6
Perubahan inti diantaranya ialah:
Hilangnya gambaran khromatin.
Inti menjadi keriput, tidak vesikuler lagi.
Inti tampak lebih padat, warnanya gelap hitam (pyknosis)
Inti terbagi atas fragmen-fragmen, robek (karyorrhexis)
Inti tidak lagi mengambil warna banyak karena itu pucat, tidak nyata (karyolysis)
Akhirnya seluruh jaringan menjadi suatu masa amorf, granuler tanpa inti atau
meninggalkan bayangan-bayangan kerangka sel dan akhirnya menghilang sama sekali.
Penyebab Nekrosis
1. Iskhemi
Iskhemi dapat terjadi karena perbekalan (suppply) oksigen dan makanan untuk suatu
alat tubuh terputus. Ishkemi terjadi pada infark, yaitu kematian jaringan akibat
penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan dapat terjadi akibat pembentukan
trombus. Penyumbatan mengakibatkan anoxia. Nekrosis terutama terjadi apabila
daerah yang terkena tidak mendapat pertolongan sirkulasi kolateral. Nekrosis lebih
mudah terjadi pada jaringan-jaringan yang bersifat rentan terhadap anoxia. Jaringan
yang sangat rentan terhadap anoxia adalah otak. 6
2. Agens biologik
Infeksi dan Imunitas 20
Toksin bakteri dapat mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah dan
trombosis. Toksin ini biasanya berasal dari baktri-bakteri yang virulen, baik endo
maupun eksototoksin. Bila toksin kurang keras, biasanya hanya mengakibatkan
radang. Virus dan parasit dapat mengeluarkan berbagai enzim dan toksin, yang secara
langsung atau tidak langsung mempengaruhi jaringan, sehingga timbul nekrosis. 6
3. Agens kimia
Dapat eksogen maupun endogen. Meskipun zat kimia merupakan juga zat yang biasa
terdapat pada tubuh, seperti natrium dan glukosa, tetapi kalau konsetrasinya tinggi
dapat menimbulkan nekrosis akibat gangguan keseimbangan osmotik sel. Beberapa
zat tertentu dalam konsentrasi yang rendahsudah dapat merupakan racun dan
mematikan sel., sedang zat lain baru menimbulkan kerusakan jaringan bila
konsentrasinya tinggi. 6
Juga berbagai jaringan bervariasi sifatnya terhadap zat-zat kimia. Sel epitel tubulus
ginjal misalnya mudah tusak oleh alloxan, demikian juga pulau-pulau Langerhans,
terutama sel-sel beta. Zat lain akan merusak jaringan pada tempat zat tersebut masuk
ke dalam tubuh dan jaringan tempat zat tersebut dikeluarkan. 6
Terkenal ialah gas yang digunakan dalam perang (a.l mustard gas). Zat tersebut akan
merusak jaringan paru-paru. Zat lain yang juga bersifat racun, misalnya gas
chloroform, tidak merusak paru-paru. Setelah diabsorbsi oleh tubuh, kemudian
merusak parenchym hati. Sublimat yang sering digunakan untuk bunuh diri, merusak
lambung dan sel tubulus ginjal. Produk-produk metabolisme tubuh sendiri dapat
bertindak sebagai racun, karena itu disebut sebagai autointoksikasi. 6
4. Agen fisik
Trauma, suhu yang sangat ekstrim, baik panas maupun dingin, tenaga listrik, cahaya
matahari, radiasi. Kerusakan sel dapat terjadi karena timbul kerusakan protoplasma
akibat ionisasi atau tenaga fisik, sehingga timbul kekacauan tata kimia protoplasma
dan inti. 6
5. Kerentanan (hypersensitivty)
Infeksi dan Imunitas 21
Kerentanan jaringan dapat timbul spontan atau secara didapat (acquired) dan
menimbulkan reaksi imunologik. Pada seseorang yang hipersensitif terhadap obat-
obatan sulfa dapat timbul nekrosis pada epitel tubulus ginjal apabila ia makan obat-
obatan sulfa. Juga dapat timbul nekrosis pada pembuluh-pembuluh darah. Dalam
imunologi dikenal reaksi Schwartzman dan reaksi Arthus. 6
Macam jenis nekrosis
1. Necrosis coagulativa
Protoplasma tampak seperti membeku akibat koagualsi protein. Terjadi pada nekrosis
iskhemik akibat putusnya perbekalan darah. Daerah yang terkena menjadi padat, pucat
dikelilingi oleh daerah yang hemoragik. 6
Mikroskopik tampak inti-inti yang piknotik . sesudah beberapa sisa inti menghilang,
sitoplasma tampak berbutir, berwarna merah tua. Sampai beberapa minggu rangka sel
masih dapat dilihat, tetapi kemudian sel akan melarut, lisis dan menghilang. Necrosis
coagulativa dapat juga terjadi akibattoksi bakteri, misalnya pada typhus abdominalis,
pada diphteria, pneumonia dan infeksi keras lainnya. Akibat berbagai toksin yang
dibentukoleh bakteri virulen timbul degenerasi dan akhirnya nekrosis pada sel otot
seran lintang. Mula-mula sel otot membengkak, sitoplasma menjadi homogen, seran
lintang menghilang, inti piknotik, seluruh sel menjadi suatu masa protein yang
diselubungi sisa membran sel yang hanya tampak membayang dan akhirnya
menghilang. 6
Pada syphilis stadium III, sarang nekrosis yang disebut gumna, sebenarnya tidak lain
daripada necrosis coagulativa. 6
2. Necrosis colliquativa
Terjadi dalam waktu yang lebih cepat, akibat pengaruh enzim-enzim yang bersifat
litik. Sering terjadi pada jaringan otak. Nekrosis mencair ini juga dapat terjadi pada
jaringan yang mengalami infeksi bakteiologik yang membentuk nanah (piogenik).
Pada infeksi ini dibentuk berbagai enzim proteolitik oleh bakteri yang merusak
jaringan. 6
3. Necrosis caseosa
Infeksi dan Imunitas 22
Infeksi bakteri tuberkulosis dapat menimbulkan sarang-sarang nekrosis dengan
membentuk suatu masa yang rapuh, berbutir, berlemak, putih kuning seperti keju. 6
Mikroskopik nampak sebagai masa eosinofilik amorf, tanpa sisa struktur sama sekali.
Necrosis caseosa juga dapat terjadi pada infeksi lain seperti tularemia,
lymphogranuloma venereum dan pada berbagai infeksi jamur. 6
4. Gangren
Iskhemi disertai superimpoksi bakteri saprofitik mengakibatkan necrosis gangrenosa.
Proses biasanya dimulai dengan infeksi bakteri. Akibat gangguan perbekalan darah
karena sel-selnya membengkak, kemudian terjadi iskhemi. Masuknya kuman
saprofitik yang hidup baik pada jaringan iskhemik, melanjutkan proses sehingga
terjadi gangren. Proses seperti ini sering terjadi pada appendix sehingga terjadi
appendicitis gangrenosa. 6
5. Nekrosis enzimatik
Destruksi jaringan pankreas dapat mengakibatkan dikeluarkannya lipase dan enzim-
enzim lain, yang kemudian mempengaruhi jaringan sekitar. Lipase menghidrolisis
lemak daripada jaringan lemak. Asam lemaknya keluar dari sel, meninggalkan sel
kosong dan hanya tinggal kerangkanya saja. Asam lemak yang terlepas kemudian
bereaksi dengan alkali membentuk sabun yang nampak sebagai benda-benda putih
sebagai kapur. 6
6. Nekrosis fibrinoid
Bukan nekrosis sesungguhnya. Disinggung juga karena sering disebut dan
berhubungan dengan persoalan imunitas, karena dibentuknya banguna-banguna
menyerupai fibrinpada jaringan ikat atau dinding pembuluh darah. Struktur ini tidak
jelas apakah merupakan depolimerisasi kolagen ataukah perubahan substansi dasar,
nukleoprotein ataukah hanya suatu presipitasi fibrin, atau gamma globulin yang
terjadi pada suatu daerah yang mengalami reaksi antigen-zat anti. 6
BAB III
PENUTUP
Infeksi dan Imunitas 23
III.1 Kesimpulan
Dalam melakukan penanganan luka harus dilakukan segera dengan pemberian
antiseptik. Penanganan luka harus dilakukan secara steril dan luka harus dirawat agar
tidak terkontaminasi dengan bakteri atau mikroba lainnya.
Luka bernanah merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman-kuman
yang masuk melalui luka tersebut.
Infeksi dan Imunitas 24