rabies

28
BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Februari 2015 Referat Neurologi RABIES Oleh : Nama : Siti Nurul Ain bte Dulmat NIM : C 111 11 860 Residen Pembimbing : dr. Wahyuni Zubeidi DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF 1

Upload: cik-cahaya-mata

Post on 07-Dec-2015

9 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

NeurologyMedicine

TRANSCRIPT

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN Februari 2015

Referat Neurologi

RABIES

Oleh :

Nama : Siti Nurul Ain bte Dulmat

NIM : C 111 11 860

Residen Pembimbing : dr. Wahyuni Zubeidi

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

1

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Pengesahan ............................................................................................................

I. PENDAHULUAN............................................................................................. 1

II. ANATOMI......................................................................................................... 2

III. DEFINISI........................................................................................................... 6

IV. ETIOLOGI......................................................................................................... 6

V. EPIDEMIOLOGI............................................................................................... 6

VI. PATOFISOLOGI............................................................................................... 7

VII. GEJALA KLINIS.............................................................................................. 10

VIII. DIAGNOSIS...................................................................................................... 11

IX. DIAGNOSIS BANDING................................................................................... 12

X. PENATALAKSANAAN................................................................................... 13

XI. VAKSINASI ………………………………………………………………….. 14

XII. PENCEGAHAN................................................................................................ 15

XIII. PROGNOSIS..................................................................................................... 16

XIV. KESIMPULAN.................................................................................................. 16

Daftar Pustaka

Lampiran

2

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Rabies adalah suatu penyakit sistem saraf pusat (SSP) yang bersifat fatal dan bertanggung

jawab untuk sekitar 60.000 kematian per tahun di seluruh dunia, sehingga menurut WHO,

rabies menduduki peringkat 12 daftar penyakit yang mematikan. Penyebabnya adalah

virus neurotropik yang terdiri dari nonsegmented, RNA untai negatif yang terkandung

dalam amplop berbentuk peluru. Virus rabies (RV) adalah 1 dari 7 serotipe yang

termasuk dalam genus Lyssavirus dan keluarga Rhabdoviridae. Cara yang paling umum

dari entri RV pada manusia adalah kulit atau selaput lendir, di mana virus ini dimasukkan

ke dalam otot dan jaringan subkutan melalui gigitan, menjilat atau menggaruk oleh

hewan RV terinfeksi. Penyakit ini dapat hadir dengan satu dari dua bentuk klinis. Dalam

80%-85% kasus rabies, manifestasi patologis di CNS adalah encephalomyelitis akut.

Bentuk ini dikenal sebagai klasik atau ensefalitis rabies. Antara gejala-gejala rabies klasik

ini termasuk penyakit anjing gila, kejang faring, dan hiperaktif yang bisa menyebabkan

kelumpuhan, koma dan kematian. Rabies paralitik adalah bentuk klinis kurang umum

dan ditandai dengan perkembangan kelemahan otot yang flaccid. Kematian pada kedua

jenis kasus rabies ini adalah kerana berlaku disfungsi neuronal disebabkan terjadinya

penghambatan protein yang diperlukan untuk menjaga fungsi saraf secara tiba-tiba.

3

II. ANATOMI

Figure 1:Gambar bahagian-bahagian yang terdapat pada otak manusia.

SEREBRI

Otak merupakan bagian depan dari sistem saraf pusat yang mengalami perubahan

dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh 3 selaput otak yang disebut meningen

(duramater, arachnoid, dan piamater) dan berada di dalam rongga tengkorak (1)

Bagian-bagian otak:

Hemisferium serebri

Kedua hemisferium serebri, yang membentuk bagian otak yang terbesar,

dipisahkan oleh fisura longitudinalisserebri yang dalam. Permukaan hemisferium serebri

terdapat alur-alur atau parit-parit yang dikenal sebagai fissura dan sulcus. Bagian otak

yang terletak di antara alur-alur ini dinamakan konvolusi atau gyrus. Fissura lateralis

serebri (fissura Sylvii) memisahkan lobus temporalis dari lobus frontalis. (1)

Bagian-bagian serebri yang utama:

4

Lobus Frontalis: Di sini terletak pusat pengatur gerakan di bawah sadar dari otot-otot

rangka pada sisi tubuh berlawanan, dan impuls saraf berjalan sepanjang akson sel saraf

dalam traktus (jaras) kortikobulbaris dan kortikospinalis menuju nuklei nervus

serebrospinalis. Lesi iritatif pada daerah tersebut dapat menyebabkan kejang, yang

dimulai dengan kejang fokal dan kemudian meluas meliputi kelompok otot besar,

gangguan kesadaran dan kelemahan atau paralisis konvulsi. Lesi destruktif pada daerah

tersebut akan menghasilkan paresis kontralateral pada otot yang sesuai.

Lobus Parietalis: Pada girus post sentralis terletak korteks proyeksi sensorik primer

untuk penerimaan sensasi umum yang berasal dari radiatio thalamika dan membawa

sensibilitas dari kulit, otot, sendi serta tendo pada sisi tubuh berlawanan.

Lobus Occipitalis: Pada lobus ini terletak korteks reseptif visual (penglihatan)

Lobus Temporalis: Pada gyrus temporalis transversus terletak pusat penerimaan

rangsang pendengaran

Insula: Insula ini terbenam di dalam fissura lateralis serebri dan dapat diperlihatkan

dengan memisahkan tepi fissura sebelah atas bawah.

Rhinencephalon:Mencakup bagian-bagian yang berhubungan dengan persepsi

olfaktorius (penciuman/ penghidu)

DIENSEFALON

Bagian ini mencakup thalamus dengan korpus genikulatum, epitalamus,

subthalamus dan hipotalamus. Thalamus merupakan struktur penentu bagi persepsi

bebrapa tipe sensasi. Hipotalamus yang terletak di sebelah ventral thalamus dan

membentuk lantai serta dinding inferior lateral dari ventrikel III. Kerusakan pada regio

hipotalamus dapat menghasilkan berbagai macam gejala termasuk Diabetes Insipidus,

Obesitas, Distrofi sexual, Somnolen, Kehilangan nafsu sex dan kehilangan pengendalian

temperatur. (1)

MESENSEFALON

Merupakan bagian otak yang pendek dan terletak diantara pons dan hemisferium

serebri. Di sisi terletak nukleus saraf kranialis okulomotorius (n.III) dan troklearis (n.IV)

yang berperan dalam gerakan bola mata. (1)

PONS

5

Terletak di sebelah ventral serebelum dan anterior medula. Pada pons ini terletak

inti dari saraf kranialis trigeminus (n.V), abdusens (n.VI), fasialis (n.VII), dan

vestibularis-koklearis (n.VIII). Lesi di daerah batang otak dapat menyebabkan gejala

yang dapat dihubungkan dengan terlibatnya lintasan motorik dan sensorik yang melewati

lesi tersebut, terutama dengan terlibatnya nuklei saraf kranialis yang berada dalam daerah

lesi. (1)

MEDULA OBLONGATA

Merupakan bagian batang otak yang berbentuk pyramid diantara medula spinalis

dan pons. Pada medula oblongata terletak nukleus saraf kranialis glossofaringeus (n.IX),

vagus (n.X), assesorius (n.XI), dan hipoglossus (n.XII). (1)

SEREBELUM

Terletak pada fossa posterior tengkorak di belakang pons dan medulla, dipisahkan

dengan serebrum yang berada dibagian superior oleh perluasan duramater yaitu tentorium

serebeli. Fungsi serebelum ini antara lain mempertahankan posisi tubuh mengendalikan

otot-otot antigravitasi dari tubuh, dan mengerem pada gerakan di bawah kemauan,

terutama gerakan yang memerlukan pengawasan dan penghentian serta gerakan halus

dari tangan. (1)

Figure 2: Gambar bahagian-bahagian yang terdapat pada otak manusia.

6

SISTEM VENTRIKEL

Di dalam substansia otak terdapat suatu sistem komunikasi yang terdiri atas 4

buah rongga (ventrikel) yang terisi cairan serebrospinalis. (1)

SISTEM PEREDARAN DARAH

Pada dasarnya sistem peredaran darah arteri ke otak terdiri 2 golongan yaitu:

sepasang peredaran darah karotis pada bagian depan dan vertebrobasilaris pada bagian

belakang. Arteria karotis ini masuk ke dalam rongga tengkorak melalui kanalis karotikus

dan kemudian bercabang menjadi arteria serebri media dan arteria serebri anterior.

Arteria vertebralis cabang dari arteria subclavia memasuki otak melalui foramen

magnum, di bagian dorsal batang otak menyatu menjadi arteria basilaris dan kemudian

berakhir menjadi dua arteri serebri posterior. Pada dasar otak cabang-cabang dari

keduanya membentuk anastomosis (hubungan) yang disebut Circulus Willisi. Pada

peredaran darah balik (vena), aliran darah vena akan bermuara ke dalam sinus-sinus

duramater, sinus merupakan saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur

duramater. Dalam keadaan fisiologik jumlah darah yang mengalir ke otak ialah 50-60 ml

per 100 gram otak permenit. Jadi untuk berat otak dewasa 1200-1400 gram diperlukan

aliran darah 700-840 ml/menit.(1)

Figure 3: Gambar Circulus Willisi

7

BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Rabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang susunan saraf pusat serta dapat

menyebabkan kematian. Ia bersifat zoonosis artinya penyakit rabies dapat menular dari

hewan ke manusia, melalui gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) seperti anjing, kucing,

kera dan monyet. Penyakit rabies disebut juga penyakit anjing gila kerana virus penyakit

rabies ditularkan ke manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi penyakit rabies

umumnya oleh anjing (2) (3)

II. ETIOLOGI

Rabies disebabkan oleh virus RNA dari genus Lyssavirus, family Rhabdoviridae,

virus berbentuk seperti peluru yang bersifat neurotropis, menular dan sangat ganas.

Reservoir utama rabies adalah anjing domestik. Virus rabies adalah single stranded RNA,

berbentuk seperti peluru berukuran 180x75um. Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip

Lyssavirus dimana genotip 1 merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia.

Virus ini bersifat labil dan tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif

bila terpapar sinar matahari, sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit,

pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinektan, serta

alcohol 70%. (4)

III. EPIDEMIOLOGI

Rabies menjadi salah satu perhatian utama pada sector kesehatan masyarakat di

beberapa negara di Asia. Penyakit ini bersifat endemis di Indonesia menyerang 24 dari 33

propinsi yang ada dan rata-rata 150-300 kasus kematian manusia akibat rabies setiap

tahunnya. Kasus rabies pertama kali dilaporkan di Jawa Barat pada kerbau tahun 1884,

pada aning tahun 1889, dan pada manusia tahun 1894. Rabies merupakan salah satu

penyakit yang menadi prioritas secara nasional..(5) Sampai saat ini rabies telah menyebar

hampir diseluruh kepulauan di Indonesia, kecuali provinsi NTB, provinsi NTT ( kecuali

Pulau Flores dan Pulau Lembata), Maluku dan Maluku Utara (kecuali Ternate dan

Ambon), provinsi Irian Jaya Barat, Papua, provinsi DKI Jakarta, provinsi Jawa Timur,

provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi Jawa Tengah dan sebahagian pulau-pulau

8

di sekitar Sumatera. Sepanjang tahun 2008-2010 telah terjadi kasus rabies di daerah

bebas seperti di pulau Bali, kabupaten Garut, kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten

Cianjur, kabupaten/kota Sukabumi, kabupaten Lebak di provinsi Banten dan Kota

Gunungsitolai di pulau Nias.

Tiga belas kabupatan/kota dari 23 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan pernah

dilaporkan teradi kasus rabies, dengan rata-rata kasus tertinggi per tahun berurutan adalah

kabupaten Tana Toraja, kabupaten Maros, Kota Makassar dan kabupaten Pangkep. Kota

Makassar memiliki wilayah strategis sebagai ibukota propinsi Sulawesi Selatan dan

merupakan pintu gerbang pusat perdagangan, pariwisata, lalu lintas hewan dan

produknya di kawasan Indonesia Timur. Kota Makassar berpotensi menyebarkan

penyakit ke daerah lain jika penanggulangan rabies tidak dilakukan sebaik-baiknya (6)

IV. PATOFISIOLOGI

Figure 4: Patofisiologi rabies pada manusia.

Penularan rabies dapat terjadi dalam berbagai cara antara lain, melalui gigitan

penderita rabies yang memiliki virus rabies pada salivanya, secara perinhalasi virus rabies

9

memakan jaringan yang terinfeksi serta infeksi transplasental. Walaupun terdapat

berbagai cara penularan yang mungkin teradi namun penularan melalui gigitan penderita

rabies adalah yang paling umum ditemui. (2)

Virus rabies dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka atau kontak

langsung dengan permukaan mukosa. Virus tidak bias masuk kedalam kulit yang utuh.

Risiko infeksi rabies oleh gigitan adalah 5%-80%, 50 kali lebih besar dari mendapat

infeksi dengan cara goresan. (7)

Virus Rabies bermigrasi di sepanjang saraf perifer (melalui sistem transportasi

aksonal cepat) terhadap SSP sekitar 50-100mm per hari. Gerakan ini adalah secara

retrograde, yang menunjukkan infeksi ini adalah melalui saraf sensorik dan motorik.

Figure 5: Virus rabies adalah bersifat neuro invasif kerana ia mampu untuk bermigrasi ke sistem saraf pusat melalui transportasi aksonal retrograde dan menyebar secara transyanaptik. Virus rabies menyebar dari tempat postsinaptik ke tempat presinaptik melaui reseptor-mediated endositosis.

Setelah virus memasuki SSP, ia menyebar dengan cepat ke substansia grisea.

Akan terdapat perubahan inflamasi tetapi hanya ada beberapa perubahan degeneratif yang

melibatkan neuron dan terdapat bukti terjadi kematian neuron. Hasil studi membawa

kepada konsep bahawa disungsi neuron –bukan dari kematian neuron- adalah

10

bertanggungjawab untuk gejala klinis untuk penyakit rabies. Dasar kepada perubahan

perilaku, termasuk agresi, tidak dipahami dengan baik. Selepas infeksi SSP terjadi, ada

penyebaran secara sentrifugal di sepanjang saraf perifer ke jaringan lain, termasuk

kalenjar ludah, hati, otot, kulit, kalenjar adrenal dan hati. Replikasi virus rabies dalam sel

asinar pada kalenjar ludah adalah hasil dari ekskresi virus dalam air liur hewan rabies.

Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain (otak tengah) dan medulla spinalis

pada rabies tipe furious (buas) dan medulla spinalis pada tipe paralitik.

Dijumpai negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama

protein ribonuklear dan fragmen organella selular seperti ribosome. (8)

Figure 6: patofisiologi penyakit rabies secara skematik.

V. GEJALA KLINIS

11

Selepas berlaku fase mase inkubasi asimptomatik, gejala klinis rabies berlangsung

melalui tiga fase umum; fase prodromal, fase neurologic akut, dan fase koma atau

kematian. (8)

PROGRESI GEJALA KLINIS INFEKSI VIRUS RABIES

FASE DURASI TANDA DAN GEJALA

Masa Inkubasi 1-3 Bulan Tiada

Prodromal 1-7 hari Demam, malaise, sakit kepala,mual, muntah, gelisah,

parestesia fokal, nyeri

Fase Neurologik Akut

Ensephalitik

(80%)

1-7 hari Demam, bingung, halusinasi, hiperaktif, pharyngeal

spasm (hidrofobia/aerofobia), kejang

Paralitik (20%) 2-10 hari Ascending flaccid paralisis

Koma/kematian 1-14 hari Tiada

Table 1: Progresi Gejala Klinis Infeksi Virus Rabies

Gejala klinis bagi infeksi rabies dimulai dengan gejala prodromal yang tidak

spesifik, termasuk demam, malaise, sakit kepala, mual dan muntah. Gelisah atau agitasi

bisa juga terjadi. Parestesia, nyeri atau pruritus di lokasi gigitan hewan penular rabies

berlaku pada hampir 50%-80% pasien. Luka biasanya telah sembuh pada saat ini dan

gejala-gejala ini mungkin menandakan infeksi yang terjadi pada local dorsal root atau

cranial ganglia sensoris (8) .

Setelah timbul gejala prodromal, gambaran klinis rabies akan berkembang menadi

salah satu dari 2 bentuk yaitu ensefalitik (furious) atau paralitik (dumb). Bentuk

ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi, agitasi, bingung, halusinasi,

spasme muscular, meningismus, postur epistotonik, kejang dan dapat timbul paralisis

fokal. Gejala patogonomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia, tampak saat penderita

diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah penderita. Keinginan

12

untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat spasme otot aring dan laring yang bisa

menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia timbul akibat adanya spasme

otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak saraf penghambat nukleus

ambigus yang mengendalikan inspirasi. Pada pemeriksaan fisik, temperature dapat

mencapai 39oC. Abnormalitas pada sistem saraf otonom mencakup pupil dilatasi

irregular, meningkatnya lakrimasi, salivasi, keringat dan hipotensi postural.

Gejala kemudian berkembang berupa manifestasi disfungsi batang otak.

Keterlibatan saraf cranial menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis optic,

dan kesulitan menelan yang khas. Kombinasi salivasi berlebihan dan kesulitan dalam

menelan menyebabkan gambaran klasik, yaitu mulut berbusa. Disfungsi batang otak yang

muncul pada awal penyakit membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya. Bentuk

paralitik lebih jarang dijumpai. Pada bentuk ini tidak ditemukan hidrofobia, aerofobia,

hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awalnya berupa ascending paralysis atau kuadriparesis.

Kelemahan lebih berat pada ekstremitas tempat masuknya virus. Gejala meningeal (sakit

kepala, kaku kuduk) dapat menonjol walaupun kesadaran normal. Pada kedua bentuk,

pasien akhirnya akan berkembang menjadi paralisis komplit, kemudian menjadi koma,

dan akhirnya meninggal yang umumnya karena kegagalan pernafasan. Tanpa terapi

intensif, umumnya kematian akan terjadi dalam 7 hari setelah onset penyakit (9).

VI. DIAGNOSIS

Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik. Seperti

temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal menunukkan

pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa umumnya

normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes, tidak beisa

dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kasus rabies

antara lain deteksi antibody spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus

atau RNA. Specimen yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva dan

biopsy kulit. Pada pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang

masih segar diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri (Negri’s

bodies) pada jaringan otak pasien, meskipun hasil kurang dari 80% kasus. Tidak adanya

badan Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan inklusi

13

sitoplasma berbentuk oal atau bulat, yang merupakan gumpalan nukleokapsid virus.

Ukuran badan Negri bervariasi, dari 0.25 sampai 27 um, paling sering ditemukan di sel

pyramidal Ammon’s horn dan sel Purkinje serebelum.

Figure 7: Badan Negri di dalam sitoplasma sel Purkinje serebelum.

Rabies perlu di pertimbangkan jika terdapat indikator positif seperti adanya gejala

prodromal nonspesifik sebelum onset gejala neurologik, terdapat gejala dan tanda

neurologik ensefalitis atau mielitis seperti disfagia, hidrofobia, paresis dan gejala

neurologik yang progresif disertai hasil tes laboratorium negatif terhadap etiologi

ensefalitis yang lain (4).

VII. DIAGNOSIS BANDING

Bentuk paralitik rabies didiagnosis banding dengan sindrom Gullain Barre. Pada

sindrom Gullain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah sensorik dan motorik,

dengan kesadaran masih membaik. Spasme tetanus dapat dibedakan dengan rabies

dengan adanya trismus dan tidak adanya hidrofobia (4).

14

Diagnosis rabies tidak sulit dilakukan jika seseorang pasien itu sudah diketahui

mempunyai riwayat digigit oleh hewan yang terbukti atau diduga memiliki rabies dan

memiliki gejala klinis hiperaktif dan hidrofobia. Walaupun, tidak mempunyai riwayat

digigit hewan yang terbukti atau diduga memiliki rabies atau gejala klinis, hidrofobia,

masih terdapat sedikit perbedaan awal antara rabies dengan ensefalitik yang lain seperti

ensefalitik yang disebabkan oleh virus herpes dan arbovirus. Walaupun pasien dengan

tetanus memiliki kontraksi otot mirip dengan yang terlihat pada pasien dengan rabies,

kontraksi tetanus lebih lama dan selalunya mempengaruhi otot-otot masseter dan

belakang, daerah yang tidak terpengaruh dengan rabies. Selain itu, pasien dengan tetanus

tidak mengalami hidrofobia dan CSF mereka selalu normal.

Rabies paralitik mungkin sulit untuk dibedakan dengan penyakit paralitik

neurologis lainnya, seperti polio, yang mana pasien polio biasanya tidak mempunyai

gangguan sensorik dan tidak ada demam setelah manifestasi neurolgik bermula (9).

VIII. PENATALAKSANAAN

Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure Prophylaxis), yaitu (1)

perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan (3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan

pertama yang harus dilaksanakan adalah membersihkan luka dari saliva yang

mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan cara dibasuh dengan sabun

dan air mengalir selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan diberi antiseptic

(merkurokrom, alcohol 70%, povidon-iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1%

centrimonium bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu sekali,

maka dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di

sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan secara intramuscular ditempat

yang jauh dari tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu dipertimbangkan pemberian

serum/vaksin antitetanus, antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.

Rekomendasi WHO mencegah raies tergantung adanya kontak:

1) Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit yang

intak karena tidak terpapar, tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat

dipercaya,

15

2) Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada luka, garukan

atau lecet, luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki. Untuk luka resiko rendah

diberikan VAR sahaja.

3) Kategori 3: jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala, leher),

luka pada jari tangan/kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang banyak/

atau ada kontak dengan kelawar, maka gunakan VAR dan SAR.

Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak

dengan hewan penghidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue

culture vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti

human diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell

rabies vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell

vaccine (PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985 (10).

IX. VAKSINASI

Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering dalam

vial dan pelarut sebanyak 0.5 ml dalam syringe. Dosis dan cara pemberiannya sesudah

digigit; cara pemberiannya adalah disuntikkan secara intramuscular di daerah deltoideus/

lengan atas kanan dan kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu 0.5ml dengan 4 kali

pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian

dan hari ke 21 satu kali pemberian. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan

SAR sesudah digigit; cara pemberiannya sama di atas. Dosis untuk anak dan dewasa

sama yaitu dasar 0.5ml dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian

sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian. Ulangan

0.5ml sama pada anak dan dewasa pada hari ke 90.

Depkes menganjurkan pemberian Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) dengan

regimen 2-1-1. Vaksin disuntikkan secara intramuscular di deltoid atau di anterolateral

paha (pada anak yang lebih kecil). Cara pemberiannya adalah diberikan 2 dosis sekaligus

pada hari ke 0 dan satu dosis diberikan masing-masing pada hari ke 7 dan 21. Vaksin

tidak boleh diberikan di area gluteal karena buruknya respon antibody yang didapat. Jika

VAR diberikan bersama dengan SAR, VAR diberikan dengan cara yang sama dan

diulang pada hari ke 90. Pada daerah dengan keterbatasan vaksin dan biaya, vaksin dapat

16

diberikan secara intradermal. Dengan cara ini, volume dan biaya vaksin dapat dikurangi

60-80%.

Serum heterolog (Kuda) mempunyai kemasan bentuk vial 20ml (1ml=100 IU).

Cara pemberian; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya

disuntikkan intramuscular. Dosis 40 Iu/KgBB diberikan bersamaan dengan pemberian

VAR hari ke 0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu. Serum homolog, mempunyai

kemasan bentuk vial 2 ml (1ml=150 IU). Cara pemberian; disuntikkan secara infiltrasi

disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intramuscular. Dosis 20 Iu/KgBB

diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan sebelumnya dilakukan

skin test (10).

X. PENCEGAHAN

Kasus zoonosis yaitu penyakit menular dari hewan ke manusia, cara

penanganannya dan pencegahannya ditujukan pada hewan penularnya. Pada manusia,

vaksin rutin diberikan kepada orang-orang yang pekerja dengan resiko tinggi, seperti

dokter hewan, pawang binatang, peneliti khusus hewan dan lainnya .

Selain itu pencegahan rabies pada hewan dapat dilakukan dengan cara :

1) Memelihara anjing dan hewan lainnya dengan baik dan benar. Jika tidak dipelihara

dengan baik dapat diserahkan ke Dinas Peternakan atau para pecinta hewan.

2) Mendaftarkan anjing ke Kantor Kelurahan/Desa atau Petugas Dinas Peternakan

setempat.

3) Pada hewan virus rabies dapat ditangkal dengan vaksinasi secara rutin 1-2 kali

setahun tergantung vaksin yang digunakan, ke Dinas Peternakan, Pos Kesehatan

Hewan atau Dokter Hewan Praktek

4) semua anjing/kucing yang potensial terkena, divaksin setelah umur 12 minggu, lau 12

bulan setelahnya, dilanjutkan dengan tiap 3 tahun dengan vaksin untuk 3 tahun, untuk

kucing harus vaksin inaktif

5) Penangkapan/eliminasi anjing, kucing, dan hewan lain yang berkeliaran di tempat

umum dan dianggap membahayakan manusia.

6) Pengamanan dan pelaporan terhadap kasus gigitan anjing, kucing, dan hewan yang

dicurigai menderita rabies.

17

7) Penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit rabies.

XI. PROGNOSIS

Rabies hampir selalu dapat dicegah jika imunisasi diberikan dalam waktu 2 hari

selepas gigitan. Jika terlambat, peluang untuk mencegah penyakit dari bertambah parah

berkurang. Namun, imunisasi masih bisa efektif bahkan ketika diberikan beberapa

minggu atau bulan setelah gigitan tetapi harus sebelum munculnya gejala.

Setelah gejala muncul, peluang untuk hidup adalah kecil. Koma dan kematian

terjadi 3 sampai 20 hari setelah timbulnya gejala. Karena hampir 100% dari individu

yang telah timbulnya gejala, meninggal dunia. Rabies memiliki salah satu tingkat

kematian tertinggi dari penyakit menular (8).

BAB III

KESIMPULAN

Rabies adalah infeksi akut yang menyerang sistem saraf pusat manusia dan

mamalia dengan mortalitas 100%. Penyebabnya adalah virus rabies yang termasuk genus

Lyssavirus, family Rhabdoviridae. Rabies adalah penyakit zoonosis, penularan melalui

jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, dan kera.

Walaupun telah tersedia vaksin rabies yang efektif dan aman bagi manusia dan hewan

untuk pencegahan, sampai saat ini rabies masih menjadi masalah kesehatan diberbagai

negara termasuk Indonesia. Mortalitas rabies dapat dikurangi bila penyakit ini cepat

diketahui dan disertai penatalaksanaan yang cepat dan tepat.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. L.Nowinski W. Chapter 2 Introduction to Brain Anatomy 2011.2. Sopi IIPB. Distribusi Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (HPR) di Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2008. Jurnal Penyakit Bersumber Binatang. 2013;1.3. Calvin Iffandi SKW, Wayan Batan. Sebaran Umur Korban Gigitan Anjing Diduga Berpenyakit Rabies pada Manusia di Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 2013;2.4. Tanzil K. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. EJournal WIDYA Kesehatan dan Lingkungan. 2014;1.5. Dhony Kartika Nugroho P, Diarmitha IK, Tum S, Schoonman L. Analisa Data Surveilans Rabies (2008-2011) di Propinsi Bali,Indonesia. Outbreak,Surveillance and Inestigation Reports. 2013;6(2):8-12.6. Sri Utami BS. Identifikasi Virus Rabies Pada Anjing Liar di Kota Makassar. J Sain Vet. 2010;28.7. Consales C.A BVL. Rabies Review: Immunopathology, Clinical Aspects and Treatment. Journal of Venomous Animals and Toxins including Tropical Disease. 2007.8. Chapter 188: Rabies and Other Rhabdovirus Infections. Harrison's Internal Medicine: McGraw-Hill's.9. Neil R. Miller FBW, William Fletcher Hoyt. Clinical Neuro-Ophthalmology 2005.10. Guide for Post Exposure Prophylaxis. World Health Organization; [cited 2015 22 February]; Available from: http://www.who.int/rabies/human/postexp/en/.

19