pterygium

25
Pterygium I. DEFINISI Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. 1,2,3 Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4 II. EPIDEMIOLOGI Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 0 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40 0 . 5

Upload: rahadiyan-hadinata

Post on 19-Oct-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

b

TRANSCRIPT

Pterygium I. DEFINISIPterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.1,2,3Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. 4

II. EPIDEMIOLOGIPterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah luas2. Mengganggu visus3. Mengganggu pergerakan bola mata4. Masalah kosmeti 5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di antaranya adalah:81. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium(Gambar dikutip dari kepustakaan 8)

Amniotic membrane transplantation Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu teknik gafting dengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem cells dan cornea transient amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 9

6.1 IndikasiA.Eksisi pterigiumsetelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui pendekatan primer, diberikan graft dengan sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan injeksi steroid intraoperatif pada defek jaringan yang mengitarinya. 9B.Rekonstruksi permukaan konjungtivaselain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk pembedahan scar dan symblepharon. AMT juga dapat digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus konjungtivokalasis, scleral melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya menyatakan bahwa trabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran amniotik. 9C.Defisiensi stem sel Limbalmembran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial, membran amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. 9Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di laboratorium pada membran amniotik lalu mentransplantasikan jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen.96.2 ProsedurBanyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan okuler.96.3 ResikoJaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat. Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril, ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol. Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak ada laporan mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. 9X. DIAGNOSIS BANDINGPterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.10, 11Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.10,11

XI. KOMPLIKASI Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut:6,12Pra-operatif: 1. Astigmat Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat. 2. Kemerahan3. Iritasi4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif: Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. 12Pasca-operatif:Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina.2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea3. Pterygium rekuren.

XII. PROGNOSIS Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion6

DAFTAR PUSTAKA1. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of Pterygium. Opthalmic Pearls.20102. Caldwell, M. Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23]. Available from : www.eyewiki.aao.org/Pterygium3. Riordan, Paul. Dan Witcher, John. Vaughan & Asburys Oftalmologi Umum: edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.4. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.5. Laszuarni. Prevalensi Pterygium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.6. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 October 23] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview7. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi 8. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from : http://www.dokter-online.org/index.php.htm .9. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from : http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant10. Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York : Thieme Stutgart. 200011. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In: External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 36612. Anonim. Pterygium. [online] 2007. [cited 2011 October 23]. Available from : http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/963/follow-up/complications.html