tinjauan pustaka pterygium

22
TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi 1. Anatomi Mata 2. Anatomi Konjungtiva Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu : - Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari tarsus. - Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya. - Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi 2 Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

Upload: nisa-ucil

Post on 09-Aug-2015

163 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Anatomi Mata

2. Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata bagian

belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva ini

mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel goblet.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar digerakkan dari

tarsus.

- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera dibawahnya.

- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi 2

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya

sehingga bola mata mudah bergerak

3. Anatomi kornea

Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan

lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan.

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :

1. Epitel

- Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih;

satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis

sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel

basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan makula okluden;

ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

-epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

-Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak

teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.

- Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada

permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini

bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-

kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas

terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat

kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. membrane descement

- merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel

endotel dan merupakan membran basalnya.

- bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.

5. Endotel

- berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40µm. endotel melekat

pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf

nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea,

menembus membrane bowman melepaskan selubung schwannya. Seluruh lapis epitel

dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah

limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa endotel

terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak

mempunyai daya regenarasi.

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di sebelah

depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri

pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

B. PTERIGIUM

1. Definisi  

Pterigium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga, mirip

daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini biasanya

terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea.

Asal kata pterygium dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini

mengacu pada pertumbuhan pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Temuan

patologik pada konjungtiva, lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.

Kasus Pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung pada lokasi

geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan

kering. Insiden pterygium di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. Insiden

tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah

umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda

dibandingkan dengan pasien usia tua.

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

2. Etiologi dan Faktor Resiko

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara

panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma,

radang, dan degenerasi.

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet

sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter .

- Radiasi ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan sinar

matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan

sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya waktu di luar rumah, penggunaan

kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.

- Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan

berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium,

kemungkinan diturunkan secara autosom dominan.

- Faktor lain.

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan

pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat

ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Yang juga menunjukkan adanya

“pterygium angiogenesis factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis

sebagai terapi. Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel

tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

3. Patofisiologi

Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet,

debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi

yang menjalar ke kornea

Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama

untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva

akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi

inferior.

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak

dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung,

bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat

pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan

pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.

Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi

fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen

abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan

hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan

tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan

oleh elastase.

Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang

basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E . Berbentuk ulat atau

degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang

degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel

diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik

dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

4. Gejala Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan

sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain:

mata sering berair dan tampak merah

merasa seperti ada benda asing

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium tersebut

pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan aksis visual

sehingga tajam penglihatan menurun.

Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata.

5. Pemeriksaan Fisik dan Klasifikasi

Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata (sclera) pada

limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan kornea. Sclera dan selaput

lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari iritasi dan peradangan.

Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :

Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya ke arah

kantus

Apex (head), bagian atas pterygium

Cap, bagian belakang pterygium

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir

pterygium.

Keterangan: A) Cap, B) Head, C) Body

Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :

Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan beberapa

infiltrat di kornea di depan kepala pterygium

Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,

membentuk membran tetapi tidak pernah hilang

Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh

pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4 (Gradasi klinis menurut  Youngson ):

Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea

Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm

melewati kornea

Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran

pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu

penglihatan.

Pembagian lain pterygium, yaitu :

Tipe 1 : Meluas kurang dari 2 mm di atas kornea. Timbunan besi (ditunjukkan

dengan Stocker’s line) dapat terlihat di epitel kornea bagian anterior/depan

pterygium. Lesi/jejas ini asimtomatis, meskipun sebentar-sebentar dapat

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

meradang (intermittently inflamed). Jika memakai soft contact lens, gejala

dapat timbul lebih awal karena diameter lensa yang luas bersandar pada

ujung kepala pterygium yang sedikit naik/terangkat dan ini dapat

menyebabkan iritasi.

Tipe 2 : Melebar hingga 4 mm dari kornea, dapat kambuh (recurrent) sehingga perlu

tindakan pembedahan. Dapat mengganggu precorneal tear film dan

menyebabkan astigmatisme.

Tipe 3 : Meluas hingga lebih dari 4 mm dan melibatkan daerah penglihatan (visual

axis). Lesi/jejas yang luas (extensive), jika kambuh, dapat berhubungan

dengan fibrosis subkonjungtiva dan meluas hingga ke fornik yang terkadang

dapat menyebabkan keterbatasan pergerakan mata.

Perbedaan pterygium dan pinguecula serta klasifikasi pterygium

6. Diagnosa

Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu atau kedua

mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama

bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan

penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat

melaporkan sejarah paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.11

Test: Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi terpengaruh.

Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan pterygium tersebut.11

Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak dapat dilalui oleh sonde

seperti pada pseudopterigium.

7. Diagnosa Banding

1. Pinguekula

Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna

kekuningan. Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan

dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang

terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan

insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang

dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar

ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

2. Pseudopterigium

Merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan

dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea. Pertumbuhannya

mirip dengan pterygium karena membentuk sudut miring atau Terriens marginal

degeneration. Selain itu, jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva

bulbi pun menuju kornea. Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium

merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti pada trauma,

trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Pada

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing dengan

muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada

limbus, sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium tidak

didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang

interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.

8. Terapi

a. Konservatif

Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang

mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid

3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak

dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada

kornea.

b. Bedah

Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat

mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk

menurunkan angka kekambuhan.  Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan

hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka

kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus

pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

Indikasi Operasi

1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil

3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena

astigmatismus

4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan, dibuktikan

dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah

digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan

yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama

untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari

kornea yang mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan

parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan

sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89

persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.

2. Teknik Autograft Konjungtiva

Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan setinggi 40

persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan

autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas

sclera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk

hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan

Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan

orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia

merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterygium dan telah

dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.

  

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah

kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran amnion

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa itu

adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat peradangan dan

fibrosis dan epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat beragam pada

studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7 persen untuk pterygia primer dan

setinggi 37,5 persen untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari teknik

ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar konjungtiva. Membran

Amnion biasanya ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal menghadap

ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah

menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion

menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam

autografts konjungtiva.

c. Terapi Tambahan

 Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah, dan terapi

medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi

telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi ini,

namun ada komplikasi dari terapi tersebut.

 

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya untuk

menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang

aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi

intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes

mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan

MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.

Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena menghambat

mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari

angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk nekrosis scleral ,

endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah mendorong dokter untuk tidak

merekomendasikan terhadap penggunaannya.1

Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan pemberian:

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari, bersamaan

dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6

minggu.

2. Mitomycin C 0,04% (o,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan

dengan salep mata dexamethasone.

3. Sinar Beta

4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam selama 6

minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik Chloramphenicol, dan steroid

selama 1 minggu.

11. Komplikasi

1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:

- Gangguan penglihatan

- Mata kemerahan

- Iritasi

- Gangguan pergerakan bola mata.

- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea

- Dry Eye sindrom

2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:

- Rekurensi

- Infeksi

- Perforasi korneosklera

- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan

- Korneoscleral dellen

- Granuloma konjungtiva

- Epithelial inclusion cysts

- Conjungtiva scar

- Adanya jaringan parut di kornea

- Disinsersi otot rektus

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan. Eksisi bedah memiliki

angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%. Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan

penggunaan autograft dari konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi

12. Pencegahan

Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti nelayan, petani yang

banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar

matahari.

13. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada

hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien dapat beraktivitas kembali

setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang

dengan conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi

pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti

riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata

sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

DAFTAR PUSTAKA

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA pterygium

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2007. hal:2-6, 116 – 117

Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6. Philadelphia: Butterworth

Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill Livingstone ; 1996. p.142

Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit Airlangga

Surabaya. 2006. hal: 102 – 104

Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John P. Whitcher edisi 17 Jakarta :

EGC, 2009 Hal 119