- pterygium

36
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. D Umur : 41 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan Suku Bangsa : Makassar Agama : Islam Alamat : Pulau Komodo No. 47 Pekerjaan : IRT Tanggal Pemeriksaan : 15 Juli 2013 No. Rekam Medik : 617196 Tempat Pemeriksaan : RSWS Pemeriksa : dr. A II. ANAMNESIS Keluhan utama : Rasa Mengganjal Pada Mata Kanan Anamnesis Terpimpin : Dirasakan secara perlahan- lahan sampai terasa ada sesuatu yang menutupi bola mata hitam sejak kurang lebih 9 bulan yang lalu, nyeri (-), Mata merah (-), rasa berpasir pada mata (-), rasa mengganjal pada mata (-), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (+) 1

Upload: ahdir

Post on 16-Sep-2015

121 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

REFARAT MATA AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIENNama:Ny. DUmur:41 TahunJenis Kelamin:PerempuanSuku Bangsa:MakassarAgama:IslamAlamat:Pulau Komodo No. 47Pekerjaan:IRTTanggal Pemeriksaan:15 Juli 2013No. Rekam Medik:617196Tempat Pemeriksaan:RSWSPemeriksa:dr. A

II. ANAMNESISKeluhan utama:Rasa Mengganjal Pada Mata KananAnamnesis Terpimpin:Dirasakan secara perlahan-lahan sampai terasa ada sesuatu yang menutupi bola mata hitam sejak kurang lebih 9 bulan yang lalu, nyeri (-), Mata merah (-), rasa berpasir pada mata (-), rasa mengganjal pada mata (-), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (+) kadang-kadang, rasa silau (-), penglihatan kabur (-), riwayat pasien sering terpapar sinar matahari, debu atau asap kendaraan bermotor (+)Riwayat penggunaan kacamata (-)Riwayat trauma (-)Riwayat Hipertensi (-),Diabetes Melitus (-) Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-)Riwayat penyakit yang sama pada keluarga (-)Riwayat pengobatan (+) di Luwuk Bungai, Diberi Obat tetes mata ( pasien lupa akan nama obatnya ).

III. PEMERIKSAANSTATUS GENERALISKeadaan Umum : Komposmentis, Sakit Sedang, Gizi BaikTekanan darah : 120/80 mmHgPernapasan : 24x/menitNadi : 80x/ menit Suhu : 36,9oC

A. Inspeksi PEMERIKSAANODOS

PalpebraEdema (-)Edema (-)

Apparatus lakrimalisHiperlakrimasi (-)Hiperlakrimasi (-)

SiliaSekret (-)Sekret (-)

KongjungtivaTampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, Hiperemis (-)Hiperemis (-)

Bola mataNormalNormal

KorneaJernihJernih

Bilik Mata DepanKesan NormalKesan Normal

IrisCoklat, Kripte (+)Coklat, Kripte (+)

PupilBulat, Sentral Bulat, Sentral

LensaJernihJernih

Mekanisme muscularKe segala ArahKe segala Arah

B. PalpasiPALPASIODOS

Tensi Okuler TnTn

Nyeri tekan (-)(-)

Massa tumor (-) (-)

Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaranTidak ada pembesaran

C. Tonometri Tidak dilakukan pemeriksaan

D. Visus VOD = 6/19 pH 6/19 ( tidak dapat dikoreksi )VOS = 6/6

E. Campus VisualTidak dilakukan pemeriksaan

F. Color Sense Tidak dilakukan pemeriksaan

G. Light SenseTidak dilakukan pemeriksaan

H. Penyinaran oblikODOS

KonjungtivaTampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, Hiperemis (-)Hiperemis (-)

KorneaJernihJernih

Bilik Mata DepanKesan NormalKesan Normal

IrisCoklat, Kripte (+)Coklat, Kripte (+)

PupilBulat, Sentral, RC (+)Bulat, Sentral, RC (+)

LensaJernihJernih

I. Slit lampSLOD:Konjungtiva hiperemis (-), Tampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, komea jernih, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih.SLOS:Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa jernih.

J. DiafanoskopiTidak dilakukan pemeriksaan

K. OftalmoskopiTidak dilakukan pemeriksaan

L. RESUMEPerempuan 41 tahun, datang ke poliklinik mata RSWS dengan keluhan rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan secara perlahan- lahan sejak 9 bulan yang lalu, dan membesar secara perlahan-laha, nyeri (-), Mata merah (-), rasa berpasir pada mata (-), rasa mengganjal pada mata (-), air mata berlebih (-), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal (+) kadang-kadang, rasa silau (-), penglihatan kabur (-), riwayat pasien sering terpapar sinar matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)Pada pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi tampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada Konjungtiva OD, pada pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada palpasi tidak ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD didapatkan pada konjungtiva hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih. Pada OS didapatkan konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), dan lensa jernih

M. DiagnosaOD Pterigium Stadium III

N. TerapiRencana operasi OD Eksisi Pterigium O. Prognosis Quo ad vitam: Bonam Quo ad sanationem: Bonam Quo ad visam : Bonam Quo ad kosmeticum: Bonam

P. Diskusi Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan keluhan rasa mengganjal pada mata kanan yang dirasakan secara perlahan-lahan sejak kurang lebih 9 bulan yang lalu, ada rasa gatal (+) kadang-kadang, riwayat pasien sering terpapar sinar matahari,debu dan asap kendaraan bermotor (+)Pada pemeriksaan oftalmologi pada inspeksi tampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks mencapai pupil pada Konjungtiva OD, pada pemeriksaan visus VOD 6/19 dan VOS 6/6. Pada palpasi tidak ditemukan kelainan. Penyinaran oblik dan Slit lamp pada OD didapatkan pada konjungtiva tampak selaput berbentuk segitiga di bagian nasal dengan apeks melewati mencapai pupil.Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien menderita OD Pterigium Stadium IIIPterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh mejalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea.Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar kedaerah kornea. Penyebab pterigitun belum dapat dipahami secara jelas,diduga merupakan suatu fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,pengeringan dan tingkungan dengan angin yang banyak. Pterigium banyak dijumpai di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar,sehingga kemungkinan pencetusnya adalah rangsangan dari udara panas,juga bagi orang yang kering berkendaraan motor tanpa helm penutup atau kacamata, nelayan, dan petani.Pada pasien ini pterygium sudah mencapai stadium III karena pterygiumnya sudah mencapai pupil Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah teknik graft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap paling bagus dalam menurunkan rekurensi pterigium.Diharapkan agar pasien sedapat mungkin mengindari faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan debu serta rajin merawat dan menjaga kebersihan kedua mata.Oleh sebab itu, dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau topi pelindung bila keluar rumah

PTERIGIUM

I. DEFENISIPterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah lipatan sayap pada konjungtiva yang merambah pada kornea dari kedua sisi dalam fisura intrapalpebra. Pterigium juga suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang muncul pada konjungtiva, tumbuh terarah dan menginfiltrasi permukaan kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium pertama kali dijelaskan oleh Susruta ( India ), ahli bedah mata yang pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea dan dalam kasus lanjut mengaburkan pusat optik kornea.(1-5)Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.(6)Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi.(7)

II. EPIDEMIOLOGIPterigium merupakan kelainan mata yang umum dibanyak bagiandunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis dalam peri-khatulistiwa garis lintang 37o utara dan selatan khatulistiwa.(8)Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk (2002) melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13 utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensi orang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6,9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semua ras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.(9)Secara umum studi lain pterigium, prevalensi pterigium di Sumatera meningkat seiring bertambahnya usia. Hal yang jarang terjadi untuk seseorang menderita pterigium sebelum usia 20 tahun. Pasien yang usianya lebih dari 40 tahun memiliki prevalensi tertinggi untuk terjadinya pterigium, sementara pasien berusia 20-40 tahun dilaporkan memiliki insiden tertinggi terjadinya pterigium. Beberapa studi dimana pterigium ditemukan lebih banyak pada laki-laki.(9,10)Tingkat rekurensi pada pasca ekstirpasi di Indonesia berkisar 35% - 52%. Data di RSCM angka rekurensi pterigium mencapai 65,1% pada penderita dibawah usia 40 tahun dan sebesar 12,5% diatas 40 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa kekambuhan pasca transplantasi limbal sel sebesar 14% dan kekambuhan pasca bare sclera sebesar 60%.(3)

III. ANATOMI KONJUNGTIVAKonjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.(1,2)

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian: (2,11)1. Konjungtiva palpebralis.Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya. Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks. 2. Konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar pada sclera dan melekat lebih erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel kornea. Terdapat sebuah dataran tinggi 3 mm dari konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal.3. Konjungtiva fornix.Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya. Konjungtiva fornix ini melekat secara longgar dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.(2)1. Epitel.Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel berlapis gepeng.2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis. Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar, yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi mukus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan ikat sub conjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).(2)

Gambar 1.Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris, konjungtiva forniks, konjungtiva palpebralis. (Dikutip dari kepustakaan 11)

Gambar 2.Vaskularisasi Konjungtiva. (Dikutip dari kepustakaan 2)

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena kongjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profunda dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.(12)

IV. ETIOLOGIEtiologi pterigium sepenuhnya tidak diketahui. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang tinggal di iklim panas. Oleh karena itu, anggapan yang paling mungkin adalah pengaruh efek berkepanjangan faktor lingkungan seperti terpapar sinar matahari (sinar ultraviolet), panas, angin tinggi dan debu. Baru-baru ini, beberapa virus juga memiliki disebut-sebut sebagai faktor etiologi.(1-3,7)Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat dalam patogenesis pterigium.(7,8)

V. FAKTOR RESIKOFaktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.(13)1. Radiasi ultravioletFaktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah ekspoure sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan poliferasi sel. Letak lintang, waktu diluar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.2. Faktor genetikBeberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan berdasarkan penilitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.3. Faktor lainIritasi kronik atau inflamasi terjadi di dareah limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadi limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis pterigium.

VI. KLASIFIKASIPterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:(13)1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:(13)a. Tipe I: Lesi meluas 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:(13,14)a. Stadium 1:Invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus kornea.b. Stadium 2: Lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.c. Stadium 3:Lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil, vaskularisasi yang jelas.d. Stadium 4:Pertumbuhan telah melewati pupil.3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:(2)a. Pterigium progresif:Tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)b. Pterigium regresif:Tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:(13)a. T1 (atrofi):Pembuluh darah episkleral jelas terlihat.b. T2 (intermediet):Pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.c. T3 (fleshy, opaque): Pembuluh darah tidak jelas.5. Vaskuler : Pterygium tebal,merah,progresif,ditemukan pada anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah) Membrannaceus : Pterygium tipis seperti plastik,tidak terlalu merah,terdapat pada orang tua.

Gambar 3. Pterigium. (Dikutip dari kepustakaan 10)

STADIUM ISTADIUM II

STADIUM IVSTADIUM III

Gambar 4. Stadium Pterigium. (Dikutip dari kepustakaan 11)VII. PATOFISIOLOGI Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel. Radiasi sinar UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53, sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali. Matriks metalloproteinase (MMP) dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue remodeling, dan angiogenesis yang menjadi ciri pterigium, serta perusakan lapisan Bowmandan invasi pterigium ke dalam kornea.(1,5,6,8)Sinar UV menyebabkan mutasi pada gene suppressor tumor P53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di epitel limbal.(13)Mutasi pada gen P53 atau family P53 pada sel basal limbal juga menyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF- melalui jalur p53-Rb-TGF-. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF-. Banyaknya sekresi TGF- oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam perubahan jaringan dan ekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9, MTI-MMP, dan MT2-MMP, yang menyebabkan terputusnya perlekatan hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke segala arah menuju ke adjacent dan limbal corneal, limbus, dan membrane konjungtiva. Karena produksi TGF- oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai tambahan, TGF- yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian, sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalur TGF--bFGF untuk memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP 1 dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.(15)Tseng dkk (1990) juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem sel. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem sel, terjadi conjungtivalization pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membrane basement dan pertumbuhan jaringan fibrotic. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem sel. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem sel di daerah interpalpebra.(8,13)

VIII. GAMBARAN KLINISPterigium lebih sering terjadi pada pria tua yang melakukan pekerjaan di luar rumah. Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral. Penyakit ini muncul sebagai lipatan segitiga konjungtiva yang mencapai kornea, biasanya di sisi nasal, tetapi juga dapat terjadi di sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea anterior disebut garis Stocker. Pterigium terdiri dari tiga bagian : (2)a. Apeks (bagian apikal pada kornea),b. Collum (bagian limbal), danc. Corpus (bagian scleral) membentang antara limbus dan yang canthusPterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.(2,11)

IX. DIAGNOSIS 1. Anamnesis. Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, gangguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya.(13)2. Pemeriksaan fisik.Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler pada permukaan kojungtiva. Pterigium dapat memberikan gambaran vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.(2,13)3. Pemeriksaan penunjang.Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.(13)

X. PENATALAKSANAANKarena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan pterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi antihistamin atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.(5)Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan yang mengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil, tunggu sampai melintasi disisi lain), (3) diplopia karena gangguan digerakan okular.(2)Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi.(8) Indikasi pembedahan pterigium McReynold, yaitu:(10,16)a. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm.b. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.c. Mata terus berair dan terasa mengganjal.d. Visus menurun.e. Telah memasuki daerah pupil atau melewati limbus.f. Alasan kosmetik.g. Mengganggu pergerakan bola mata.h. Mendahului operasi intra okuler.

Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium.(2,4,8,13)1. Bare sclera: Pada teknik ini tidak ada jahitan atau benang absorable yang digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke superfisial sklera dan meninggalkan suatu daerah sclera terbuka. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 60%.2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.3. Sliding flap: dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi.5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan.

Gambar 5.Tehnik operasi pada pterigium.A. Bare sclera, B. Simple closure, C. Sliding Flaf, D. Rotation Flap, E. Conjungtival graf(Dikutip dari kepustakaan 2)

Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar 30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:(2,8)1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi.2. Post poerasi beta iradiasi.3. Conjungtival autograft.4. Limbal and limbalconjunctival transplantation.5. Amniotic membrane transplantation.6. Cultivated conjunctival transplantation.7. Lamellar keratoplasty.8. Fibrin glue.

XI. DIAGNOSIS BANDINGPterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigiumadalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.(2)Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan di bagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq, sedangkan pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. Pterigium juga dapat didiagnosa banding dengn pinguikula yang memiliki gambaran klinis lesi kekuningan menyerupai lemak dengan perkembangan yang stasioner berbentuk segitiga dari nasal ke temporal limbus.(16,17)

XII. KOMPLIKASIKomplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia, distorsi penurunan visus dan skar pada konjungtiva, kornea dan otot rektus medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya jaringan parut. Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata meskipun jarang terjadi.(4,10)Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan / atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani.(10)Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft konjungtiva/limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi.(10)

XIII. PROGNOSISPenglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak nyaman pada hari pertama post operasi dapat ditoleransi. Kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.(13)Pesien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahri yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.(13)

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. p: 2-10, 116-72. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA, editors. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age International. 2007. p. 51 - 82.3. Swastika AM, Inakawati S. Perbedaan Kekambuhan Paska Ekstirpasi Pterigium Metode Bare Sclera Dengan Transpalantasi Limbal Stem Sel. Medical Faculty of Diponegoro University. 2008; p:1-18.4. Raju KV, Chandra A, Doctor R. Management of Pterigium- A Brief Review. Kerala Journal of Ophthamology. 2008;10(4):63-5.5. Jharmarwala M, Jhaveri R. Pterigium: A New Surgical Technique. Journal Of The Bombay Ophthamologists Association. 2008;11(4):129-30.6. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Ptrygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011;178(2):817-27.7. Dzunic B, Jovanovic P, et al.Analysis of pathohistologicalcharacteristics of pterigium. BOSNIAN JOURNAL OF BASIC MEDICAL SCIENCE. 2010;10(4):308-13.8. Ang KPL, Chua LLJ, Dan HTD. Current concepts and techniques in pterigium treatment. Curr Opin Ophthalmol. 2006;18: 308313.9. Gazzard G, Saw MS, et al. Pterigium in Indonesia: prevalence, severity, and risk factors.Br J Ophthalmol .2002;86:134146.10. Fisher PJ. Pterigium. Updated: 2012. Available from: URL:http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed June 15, 201311. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG, Recker D, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas 2nd ed. New York: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.12. Riordan P, Eva. Anatomi & Embriologi Mata. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Widya Medika. Jakarta. 2007. p: 1-27, 11913. Laszuarni.Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Updated : 2009. Available from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed July 15 ,2012.14. Sharma KA, Wali V, Pandita A. Cornea-Conjungtival Auto Grafting in Pterigium Surgery. Postgraduate Department of Opthalmology, Govt. Medical College, Jammu. 2004;6(3):149-52.15. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT. Pterygia Pathogenesis: Corneal Invasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal Ephitelial Basal Cells. Arch Ophthamol. 2001;119:695-706.16. Drakeiron. Pterigium. 2008 December. [cited 2013 15 Juli]. Available from: http://drakeiron.wordpress.com/prosedures/pterigium.html.17. Jacobs JM, Hawes MJ. Ophthalmic Pathology and Intraocular Tumors. Section 4. American Academy Of Ophthalmology; 2011-2012.p.58

13