psikologi-agama.docx
DESCRIPTION
agamaTRANSCRIPT
ASPEK PSIKOLOGI DALAM BERAGAMA
1. Motivasi Beragama
Motivasi beragama disini dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat kejiwaan. Manusia dalam melakukan suatu perbuatan itu
karena adanya dorongan ataupun ketertarikan, Dibawah ini ada 4
motivasi dari segi psikologi yang menjadi penyebab orang
termotivasi dalam beragama, yaitu:
a) Agama dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi
frustrasi
b) Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan
dan tata tertib masyarakat
c) Agama sebagai sarana untuk memuaskan
intelektual-kognitif
d) Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan1
a. Agama dijadikan sebagai sarana untuk mengatasi
frustrasi
Manusia selalu dihadapkan dengan masalah
keduniawian seperti masalah harta benda, kehormatan,
perlindungan dan cinta. Psikologi disini mengobservasi
bahwa kefrustrasian dapat menimbulkan perilaku
keagamaan.2 Orang yang frustrasi tidak jarang mulai
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat religi, dengan
begitu mereka berusaha mengatasi frustrasinya.
Pandangan sigmund Freud (1856-1939) mengenai
timbulnya agama sebagai suatu gejala kebudayaan. Pada
hemat Freud agama pada hakikatnya ditimbulkan oleh
pengalaman frustasi. Ada beberapa frustrasi yang menjadi
penyebab berkelakuan beragama, seperti :
1 Nico Syukur, pengalaman dan motivasi beragama, Jakarta 1982, hal. 742Ibid., hal. 75
1
Frustrasi karena alam
Frustrasi karena hidup kemasyarakatan
Frustrasi karena merasa bersalah
Frustrasi karena maut3
b. Agama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan
tata tertib masyarakat
Motivasi disini menekankan pada kebutuhan manusia
akan suatu instansi yang menjaga atau menjamin
berlangsungnya ketertiban dalam hidup moral dan
sosial.banyak orang menjadikan agama dalam pendidikan
untuk mencapai suatu tujuan manusiawi, yaitu tujuan etis
atau sosial. Manusia wajib untuk hidup bermoral, bukan
hanya karena kehendak Allah, tetapi juga demi dirinya
sendiri begitupun karena suara hatinya yang mengatakan
demikian.
c. Agama sebagai sarana untuk memuaskan intelektual-
kognitif
Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa keinginan
intelekdipuaskan oleh agama karena sebagian intelek
manusia bersifat rasional yang keinginannya ialah
menangkap dan menguasai apa yang dikenalnya tersebut.
Sedangkan yang diketahui manusia dalam hal agama adalah
yang Illahi yang justru tidak dapat dikuasai dan tidak dapat
ditangkap olehnya.
Agama memang dapat memberi jawaban atas
kesukaran intelektual-kognitif yang sejauh ini
dilatarbelakangi oleh keinginan dan kebutuhan manusia
akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menempatkan
3Ibid., hal. 78
2
diri secara berarti dan bermakna ditengah-tengah kejadian
alam semesta.
Misalnya pertanyaan-pertanyaan vital dan
pondamental yang diajukan manusia segala zaman: “Dari
mana aku ini? Apa tujuanku? Mengapa aku ada?” dengan
pertanyaan inilah agama dapat menjawab dengan lebih jelas
daripada filsafat atau ilmu pengetahuan. Dari segi ini, agama
dapat dijadikan sebagai sarana untuk memuaskan intelek.4
d. Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud disini adalah ketakutan
yang tidak ada obyeknya (ghaib), seperti takut begitu saja,
perasaan cemas hati. Jenis ketakutan inilah yang paling
penting untuk psikologi agama. Ketakutan tanpa obyek disini
lebih membingungkan manusia daripada ketakutan yang
ada obyeknya.
Psikologi menghubungkan agama dan ketakutan:
“agama merupakan pengungsian bagi manusia yang
ketakutan”. Tetapi bukan hanya agama yang berfungsi
sebagai tempat pengungsian dan perlindungan dari
ketakutan eksistensial, selain agama orang juga dapat
melarikan diri dalam kesenian, politik, karya sosial ataupun
kesibukan sehari-hari.
Seperti pertanyaan-pertanyaan diatas menyebabkan
manusia merasa takut dan merasa kosong, manusia berani
menghadapi kekosongan tersebut meskipun merasa takut,
ketakutan ini yang menunjukkan kesadaran seseorang
bahwa dirinya hanyalah makhluk biasa. Dengan demikian
ketakutan mempersiapkan manusia menerima kebenaran
agama sebagai kabar yang menggembirakan.
4Ibid., hal. 105
3
Dari beberapa uraian diatas, sangat jelas bahwa
betapa pentingnya agama bagi seseorang. Setiap orang
membutuhkan agama, meskipun kebutuhan akan agama
timbul saat seseorang mengalami beberapa goncangan
dalam kehidupannya sehingga menuntut orang tersebut
mengimani agama yang diyakininya. Dari adanya dorongan-
dorongan diatas seseorang dapat tertarik dan melakukan
kegiatan religi (agama). Agama disini seperti halnya agama
yang fungsional, meskipun tidak seharusnya demikian,
tetapi pada realita yang ada sekarang ini itulah yang terjadi.
2. Intelegensi Beragama
Intelegensi (kecerdasan) merupakan istilah umum
yang banyak digunakan dalam kaitan dalam proses
pengamatan, berfikir, memahami, dan memecahkan
masalah, kecepatan dan ketepatan menguasai situasi serta
memperoleh pengetahuan.5
Pada dasarnya kesadaran beragama merupakan hasil
dari peranan fungsi kejiwaan yakni motivasi, emosi dan
intelegensi. Motivasi disini berfungsi sebagai daya
penggerak mengarahkan kehidupan mental. Emosi berfungsi
melandasi dan mewarnai jiwa sedangkan Intelegensi disini
berfungsi yang mengorganisasi dan mempolakan kejiwaan
sehingga menghasilkan kesadaran dalam beragama.6
Agama juga melibatkan seluruh fungsi jiwa-raga
manusia, maka kesadaran agama mencakup aspek-aspek
afektif, konatif, kognitif dan motorik. Aspek kognitif disini
nampak dalam keimanan dan kepercayaan.
Keimanan seseorang akan berkembang sejalan
dengan perkembangan fungsi kognitif, dari kepercayaan
5 Abdul Aziz, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung 1995, hal 1426ibid hal 49
4
yang bersifat magis mencari kekuatan luar untuk dirinya,
menuju kepercayaan yang memanusiakan tuhan. Kemudian
sampai pada keimanan yang tidak hanya bersifat
emosiaonal tetapi juga sesuai dengan realitas yang objektif,
pemikiran, pandangan, dan pengalaman ketuhanan yang
logik.
Intelegensi disini adalah salah satu faktor yang
mempengaruhi tercapainya kematangan kesadaran
beragama seseorang yang meliputi kematangan alam
perasaan, kehidupan motivasi, pengalaman hidup, dan
keadaan lingkungan sosial budaya.
Seseorang yang telah mempunyai pengetahuan dalam
masalah beragama, begitupun dalam memecahkan masalah
mereka selalu berpegang pada agama, sikap inilah yang
disebut Intelegensi Beragama. Mereka yang seperti inilah
mempunyai keyakinan dan kepercayaan dalam beragama,
sehingga mampu mengorganisasi dan mempola jiwa mereka
dalam beragama dan mewujudkan kesadaran beragama
yang matang.
Kecerdasan seseorang dalam beragama merupakan
ciri-ciri pribadi seorang muslim yang mantap, ini telah
dibuktikan Rosulullah dalam membina, mendidikan para
sahabat dan membentuk kepribadian para sahabat sehingga
mereka memiliki kepribadian yang mantap. Nabi dan para
sahabat selalu menggunakan pikirannya untuk memikirkan
strategi, taktik dan teknik penyerangan, politik dan
kemasyarakatan.
3. Sikap Beragama
Vergote mendefinisikan istilah “sikap ” secara psikologis
sebagai berikut: suatu keadaan batin yang mengandung pendirian
5
dan keyakinan terhadap seseorang ataupun sesuatu hal, dan yang
diungkapkan secara lahir dalam kata-kata serta tingkah laku.7
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks
antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindak
keagamaan seseorang. Walaupun sikap terbentuk karena
pengaruh lingkungan, namun faktor individu itu sendiri ikut pula
menentukan. Menurut Siti Partini, pembentukan sikap dan
perubahan sikap dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: 1. Faktor
internal, berupa kemampuan menyeleksi dan menganalisis
pengarah yang datang dari luar termasuk minat dan perhatian. 2.
Faktor eksternal, berupa faktor diluar individu yaitu pengaruh
lingkungan yang diterima. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap keagamaan yaitu:
1. Faktor Internal Heriditas
Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Saw “Tiap-
tiap anak dilahirkan diatas Fitrah, maka ibu bapaknya-
lah yangmendidiknya menjadi orang yang beragama
yahudi, nasrani dan majusi”. Pada dasarnya manusia
lahir dalam keadaan fitrah (potensi beragama), hanya
faktor lingkungan (orang tua) yang mempengaruhi
perkembangan fitrah beragama anak. Dari sini, jiwa
keagamaan anak berkaitan erat dengan hereditas
(keturunan) yang bersumber dari orangtua, termasuk
keturunan beragama. Faktor keturunan beragama
inididasarkan atas pendapat ulama mesir Ali Fikri, dia
berpendapat bahwakecenderungan nafsu itu berpindah
dari orang tua secara turun-temurun.Oleh karena itu
anak merupakan rahasia dari orang tuanya.Manusia
sejak awal perkembangannya berada di dalam garis
keturunandari keagamaan orang tua.
7Op. Cit., hal 92
6
2. Faktor Eksternal
Manusia memiliki potensi dasar yang dapat
dikembangkan sebagai makhluk yang beragama.
Potensi yang dimiliki manusia secara umum disebut
fitrah beragama atau hereditas. Sebagai potensi, maka
perlu adanya pengaruh dari luar diri manusia,
pengaruh tersebut berupa pemberian pendidikan
(bimbingan, pengajaran, dan latihan). Faktor ekstern
yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan adalah lingkungan dimana individu itu
hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
Lingkungan Keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi anak,oleh karena itu peranan
keluarga dalam menanamkan kesadaran beragama
anak sangatlah dominan.
Lingkungan Sekolah merupakan lembaga
pendidikan formal yangmempunyai program yang
sistemik dalam melaksanakan bimbingan,pengajaran,
dan latihan kepada siswa agar mereka berkembang
sesuaidengan potensi secara optimal, baik menyangkut
aspek fisik, psikis,(intelektual dan emosional), social,
maupun moral-spiritual.
Lingkungan Masyarakat setelah menginjak usia
sekolah, sebagian besar waktu siswadihabiskan
disekolah dan masyarakat. Dalam masyarakat,
anakmelakukan interaksi sosial dengan teman
sebayanya atau anggotamasyarakat lainnya. Maka dari
itu perkembangan jiwa keagamaan anaksangat
bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga
masyarakatitu sendiri.
4. Tingkah Laku Keagamaan
7
Perilaku atau tingkah laku menurut Prof. Dr. H. Jalaluddin
dalam bukunya Psikologi Agama adalah sebagai berikut:
Perilaku ditentukan keseluruhan pengalaman yang disadari oleh
pribadi. Kesadaran merupakan sebab dari tingkah laku. Artinya,
bahwa apa yang dipikir dan dirasakan individu itu menentukan
apa yang akan dikerjakan.
Pembentukan sikap keagamaan dapat mengahasilkan
bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Para ahli didik melihat adanya peran sentral para orang tua
sebagai pemberi dasar jiwa keagamaan. Pengenalan ajaran
agama pada anak sejak usia dini akan berpengaruh dalam
membentuk kesadaran dan pengalaman agama pada diri anak.
Karenanya, Rasul menempatkan peran orang tua pada posisi
sebagai penentu bagi pembentukan sikap dan pola tingkah laku
keagamaan seorang anak. Setiap anak dilahirkan atas fitrah
dan tanggung jawab kedua orang tuanyalah untuk menjadikan
anak itu Nasrani, Yahudi atau Majusi.8
5. Ketaatan Beragama
Taat dapat diartikan sebagai disiplin, tertib, dan teratur.
Umat yang taat terhadap ajaran agamanya, berarti umat yang
secara disiplin, tertib, dan teratur menjalankan ibadah dan
takwa. Takwa terhadap ajaran agama memiliki arti patuh
terhadap ajaranNya dan menjahui segala laranganNya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketaatan
beragama seseorang bisa dilihat dari usia, latar belakang
pendidikan, lingkungan hidup dimana dia tinggal, interaksi
sosial kemasyarakatan, ekonomi dan lain-lain.
8Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: 2008., hal 243-244
8
9