psikiatri

26
Aspek Psikiatri Pada Pasien HIV-AIDS Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan psikiatri (kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Gangguan ini mungkin berupa penyakit yang ditemukan pada masyarakat umum; depresi, gangguan bipolar, penyalahgunaan alkohol, skizofrenia, dan diagnosis psikiatri lain adalah umum. Di sisi lain, gangguan ini mungkin terkait langsung atau tidak langsung dengan HIV. Untuk mencapai keseimbangan medis, psikiatri, dan sosial yang memadai, sering kali pasien dengan HIV harus menghadapi gangguan psikiatri yang menempatkan mereka pada risiko terhadap infeksi HIV (misalnya penyalahgunaan narkoba suntikan atau gangguan bipolar); yang terkait dengan diagnosis HIV atau laju HIV-nya (misalnya depresi, gangguan kegelisahan, atau demensia); atau yang terkait dengan terapi antiretroviral atau terapi lain yang diperlukan (misalnya mimpi yang nyata atau penurunan konsentrasi yang dialami oleh beberapa pasien pada waktu memulai efavirenz). Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada orang yang hidup dengan HIV (Odha) adalah antara 30% sampai 60% dan dihubungkan dengan pemakaian narkoba dan nilai Karnofsky yang memburuk.

Upload: aldyangri

Post on 08-Aug-2015

64 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Psikiatri

Aspek Psikiatri Pada Pasien HIV-AIDS

Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti

pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan

psikiatri (kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Gangguan ini mungkin berupa

penyakit yang ditemukan pada masyarakat umum; depresi, gangguan bipolar,

penyalahgunaan alkohol, skizofrenia, dan diagnosis psikiatri lain adalah umum. Di

sisi lain, gangguan ini mungkin terkait langsung atau tidak langsung dengan HIV.

Untuk mencapai keseimbangan medis, psikiatri, dan sosial yang memadai, sering kali

pasien dengan HIV harus menghadapi gangguan psikiatri yang menempatkan mereka

pada risiko terhadap infeksi HIV (misalnya penyalahgunaan narkoba suntikan atau

gangguan bipolar); yang terkait dengan diagnosis HIV atau laju HIV-nya (misalnya

depresi, gangguan kegelisahan, atau demensia); atau yang terkait dengan terapi

antiretroviral atau terapi lain yang diperlukan (misalnya mimpi yang nyata atau

penurunan konsentrasi yang dialami oleh beberapa pasien pada waktu memulai

efavirenz).

Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada

orang yang hidup dengan HIV (Odha) adalah antara 30% sampai 60% dan

dihubungkan dengan pemakaian narkoba dan nilai Karnofsky yang memburuk.

Meskipun masalah psikiatri karena kerusakan organik adalah umum pada awal

epidemi AIDS, sejak adanya HAART, sindrom tanpa sebab organik menjadi lebih

umum. Banyak penelitian yang diterbitkan berdasarkan pada data sebelum HAART.

Perbedaan ini mungkin penting karena kelompok yang diteliti telah diperluas dengan

memasukkan kelompok yang sebelumnya tidak dilibatkan (misalnya kaum minoritas

dan wanita). Lagi pula, ada peningkatan dalam perbandingan pasien yang

menggunakan narkoba suntikan sebagai faktor risiko, dan penyebab stres yang dapat

memicu gangguan psikiatri tertentu yang telah berubah karena perubahan penjalanan

penyakit. Makalah baru-baru ini berupaya menanggapi beberapa masalah ini.

Page 2: Psikiatri

Gangguan psikiatri pada Odha telah dikaitkan dengan perilaku

disfungsional, termasuk hubungan seks tidak terlindung, dan penurunan dalam mutu

hidup. Lagi pula, kelainan ini mungkin mengganggu kemampuan pasien untuk

memulai dan mematuhi rejimen antiretroviralnya dan mungkin mengakibatkan

kegagalan pengobatan. Dokter yang mengobati pasien dengan infeksi HIV perlu

menyadari permasalahan psikiatri dan psikososial yang rumit, dan kadang kala tidak

kentara, yang dihadapi pasien HIV. Penilaian psikiatri, yang menilai kesejahteraan

pasien saat itu dan risikonya terhadap masalah psikiatri di masa mendatang, harus

menjadi baku untuk setiap pasien yang terinfeksi HIV. Sebagian besar penyakit

psikiatri yang dialami dapat diobati dan, jika tidak sembuh, setidaknya dikendalikan,

dan ini merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan HIV dan

memperbaiki mutu hidup pasien secara keseluruhan. Di samping penilaian dan

pengobatan psikiatri, tambahan psikoterapi, konseling kerja sosial, dan dukungan

sebaya mungkin bermanfaat untuk menghadapi masalah pokok seperti

penyalahgunaan narkoba atau alkohol yang terus-menerus, ketunawismaan, dan

pertengkaran keluarga, dan mungkin membantu memperbaiki kepatuhan dan

menurunkan perilaku berisiko.

Dalam rangkaian tulisan ini, kami akan membahas beberapa penyakit

psikiatri, dengan memberikan beberapa informasi umum tetapi terutama pada

penelitian baru-baru ini sehubungan dengan kemajuan dalam diagnosis atau

pengobatan.

a. Depresi

Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan

penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk

menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian

depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari

yang ada di dalam masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit pada

Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara

tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui

Page 3: Psikiatri

perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut. Secara umum telah

terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan

tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi

depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya

buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi,

berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari

penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin

biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi perkembangan

depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal. Sebagaimana diagnosis depresi

parah dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat

sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan

bersalah atau tidak berharga, memikirkan kematian, dan gejala neurovegetatif.

Bahkan bila gambaran semacam ini dilakukan, penyebab medis sebaiknya diselidiki

dan diobati sebelum memulai pengobatan dengan antidepresan.

Banyak pasien datang ke dokter di klinik kami mengeluhkan “depresi” yang

sebetulnya anemia parah, hipogonadisme, tidak tumbuh dengan baik, atau penyakit

sistemik sejenis yang lainnya. Tambahan pula, suasana hati yang tertekan atau depresi

parah dapat disebabkan oleh berbagai pengobatan. Berbagai penelitian menunjukkan

bahwa pengobatan depresi parah pada Odha adalah aman dan efektif. Dukungan dan

konseling yang memungkinkan pasien menghadapi dan menyelesaikan atau

menyesuaikan diri terhadap kejadian yang menyebabkan stres dalam hidup seperti

masalah keuangan, kekerasan fisik, dan pertentangan dalam keluarga yang dilakukan

sendiri mungkin membantu mengendalikan depresi dan memperbaiki mutu hidup.

Terapi kelompok telah terbukti berguna untuk depresi ringan sampai menengah,

tetapi pengobatan farmakologi tampaknya diperlukan untuk depresi yang lebih parah

terkait dengan HIV. Aliran utama pengobatan farmakologi mencakup tricyclic

antidepressant (TCA), selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), dan beberapa

antidepresan atypical. Obat-obatan ini mempunyai berbagai macam riwayat efek

samping, masa paro, dan interaksi dengan obat lain dan karena itu sebaiknya dipilih

Page 4: Psikiatri

dengan pertimbangan yang hati-hati sesuai dengan keluhan somatik dan rejimen

pengobatan tertentu lainnya dari pasien. Misalnya, jika pasien menderita diare kronis

dan neuropati periferal, TCA mungkin lebih dipilih daripada SSRI karena SSRI lebih

mungkin memperburuk diare dan TCA terbukti efektif dalam mengobati neuropati

periferal. Akhirnya, meskipun depresi yang berarti disebabkan oleh kekurangan

neurokognitif yang berkaitan dengan laju HIV, memulihkan kekurangan itu dengan

HAART mungkin berakibat pada perbaikan bermakna bagi rasa sejahtera pasien.

b. Psikosis

Psikosis dan HIV tampaknya kurang dipelajari dibanding depresi. Psikosis

merupakan istilah generik untuk satu dari sejumlah perwujudan gejala penyakit

pikiran. Gejala psikosis dapat menjadi bagian dari sindrom besar depresi yang parah,

skizofrenia, mania pada gangguan bipolar, atau penyakit obsessive-compulsive yang

ekstrim. Membedakan penyakit ini adalah sulit, biasanya diperlukan konsultasi dan

pemantauan psikiatri. Gejala psikosis dapat menyebabkan terlambat di diagnosis,

ketegangan hubungan antara dokter dan pasien, serta pemahaman yang rendah

tentang penyakit, pengobatan, dan prognosis. Pengobatan penyakit psikosis

mencakup psikoterapi, dan obat antipsikosis atau neuroleptik. Peningkatan dukungan

sosial dan konseling kelompok dapat memberikan dampak yang berarti pada jiwa

pasien dengan riwayat psikosis. Pada satu penelitian kecil, peningkatan konseling

kelompok mengakibatkan peningkatan dalam pemakaian kondom dan penurunan

hubungan seks yang tidak aman pada kelompok pasien yang tunawisma dengan

penyakit psikosis kronis dan penyakit penyalahgunaan zat. Sebagaimana dengan obat

antidepresan, obat antipsikosis sebaiknya dipilih dengan mengingat riwayat efek

samping dan interaksi obat. Haloperidol, mungkin obat antipsikosis yang paling

umum diresepkan, dan neuroleptik lain dengan kemampuan tinggi, lebih mungkin

menyebabkan efek ekstrapiramidal, khususnya gejala Parkinson, pada orang dengan

infeksi HIV. HIV merupakan virus neurotropik yang mempengaruhi daerah

subkortikal otak termasuk ganglia basal. Kekerasan dan kekakuan pada pemeriksaan

Page 5: Psikiatri

fisik pasien dengan penyakit motor-kognitif menggambarkan dampak ini. Jadi,

menghindari obat neuroleptik potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang

berpotensi rendah, seperti tioridazin, adalah bijaksana. Obat antipsikosis baru, seperti

risperidon dan olanzapin, tampaknya dapat diterima lebih baik pada orang dengan

HIV. Khusus olanzapin tampak mempunyai lebih sedikit efek samping Parkinson.

Satu-satunya penelitian double-blind obat neuroleptik pada orang dengan HIV dan

delirium berkesimpulan bahwa haloperidol dan klorpromazin efektif pada dosis

rendah dalam mengobati delirium.

Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang

tidak biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam

kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan dalam proses

dan isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran, biasanya

karena gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya.

Sebagaimana halnya gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh

pengobatan (misalnya asiklovir), kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini,

penyebab medis yang mendasarinya perlu diketahui dan diobati.

c. Kelainan Bipolar

Kelainan bipolar mempunyai prevalensi selama hidup kurang lebih 0,4%

hingga 1,6%. Perwujudan mania mencakup suasana hati yang meningkat, meluap,

atau lekas marah; grandiosity; peningkatan tenaga dan berkurangnya kebutuhan akan

tidur; kemampuan bicara tertekan; pikiran cepat; bertindak sesuai kata hati; dan

kemungkinan berkhayal, berhalusinasi, dan gejala psikosis lain yang jelas. Mania

sebagai gejala yang tampak atau sebagai akibat dari HIV tercatat mengalami

peningkatan secara bermakna pada pasien dengan AIDS. Dokter umum sebaiknya

waspada terhadap tanda mania atau hipomania yang tidak kentara, yang dapat

diakibatkan kelainan bipolar, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, laju AIDS, atau

pengobatan. Jika tidak diobati, mania dan hipomania dapat mengarah kepada, antara

lain, perilaku menghancurkan sendiri, ketidakpatuhan, atau seks tidak aman.

Page 6: Psikiatri

Pengobatan terdiri dari obat yang menstabilkan suasana hati (misalnya litium

karbonat, asam valproat, karbamazepin, dan mungkin gabapentin). Obat ini harus

dipilih berdasarkan obat-obatan yang sudah digunakan di masa lalu serta penerimaan

tubuh terhadap obat dari pasien yang bersangkutan. Tambahan obat neuroleptik

sering kali diperlukan, khususnya saat mania berkembang penuh dengan psikosis.

Dalam penelitian percontohan baru-baru ini, Ellen dan rekan-rekannya mencapai

tanggapan yang baik dengan obat neuroleptik dan mendukung gagasan bahwa pasien

yang sakit secara medis dengan mania dapat memberikan tanggapan yang lebih baik

terhadap obat neuroleptik dibanding terhadap obat penstabil suasana hati.

d. Penyakit Kegelisahan

Pasien sering kali merasa gelisah saat menjadi sakit dan menemui dokter.

Juga umum bagi dokter mengamati pasiennya gelisah dan mengartikan perilaku,

keadaan, atau keluhan pasien (seperti insomnia) sebagai tanda-tanda kegelisahan.

Tentu saja, kegelisahan adalah bagian dari penyakit medis dan biasanya menyertai

suatu spektrum mulai dari gejala yang tidak mengganggu sampai gangguan perilaku

dan penyakit pikiran yang bermakna. Walaupun sebagian orang mungkin mengalami

kegelisahan subsindrom, penelitian menunjukkan prevalensi kegelisahan pada

kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan

kegelisahan mencakup gangguan penyesuaian yang ringan, gangguan panik, fobia,

obsessive-compulsive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan

yang menyeluruh. Jika pasien mengalami kriteria tersebut, atau dokter umum

mencurigai, salah satu penyakit ini, rujukan pada psikiatri merupakan langkah yang

tepat.

Reaksi kegelisahan pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang

mendalam, ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian,

dan ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada

sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik. Perwujudan

Page 7: Psikiatri

penyakit kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan

baru atau penyakit akut.

Penanganan gangguan kegelisahan tergantung pada luas dan sifat penyakit

tertentu dan gejala yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup membantu,

khususnya dalam keadaan hubungan konseling. Intervensi farmakologi sebaiknya di

bawah pengawasan psikiater. Benzodiazepin adalah pengobatan utama untuk

meredakan gejala jangka pendek atau gejala yang hilang timbul, seperti serangan

panik yang jarang, tetapi secara umum sebaiknya tidak dipakai pada pasien dengan

riwayat penyalahgunaan alkohol atau benzodiazepin atau untuk mengobati masalah

tidur yang kronis. Beberapa antidepresan telah disetujui untuk mengobati berbagai

gangguan kegelisahan, termasuk serangan rasa panik, penyakit obsessive-compulsive,

dan fobia sosial. Juga, buspiron, sebuah antiolitik nonbenzodiazepin, disetujui untuk

gangguan kegelisahan yang menyeluruh dan telah terbukti bermanfaat pada orang

dengan AIDS. Obat ini tidak menimbulkan kecanduan, dan karena memakan waktu

beberapa hari sampai beberapa minggu untuk bekerja, obat ini tidak bermanfaat untuk

kegelisahan yang akut.

Beberapa obat, gangguan metabolik, dan hipoksia dapat memperburuk

gejala kegelisahan. Jadi, seperti halnya semua gejala psikiatri dalam kelompok yang

sakit secara medis, penyebab organik yang mendasarinya sebaiknya dibedakan dan

diobati. Akatisia, keinginan untuk terus bergerak, adalah efek samping dari

pengobatan neuroleptik dan pada pasien yang mengalami kegelisahan, pemakaian

neuroleptik sering kali dikira sebagai antiemetik, seperti klorpromazin atau

proklorperazin. Ini dapat diredakan dengan menurunkan dosis, mengganti obat, atau

menambahkan dosis rendah benzodiazepin, obat antikolinergik, atau penghambat beta

(ß-blocker).

HIV adalah virus neurotropik. Ia memasuki susunan saraf pusat (SSP) pada

tahap awal infeksi dan merupakan penyebab dari banyak, tetapi tentu tidak semua,

gejala neurologi dan psikiatri yang merupakan aspek umum penyakit HIV. Penyakit

Page 8: Psikiatri

mental organik yang dihubungkan dengan infeksi HIV berada di antara bidang

neurologi dan psikiatri karena sering kali gejala yang terlihat terutama adalah

psikiatri, walaupun ada patologi neurologi organik yang bermakna. Oleh karena itu,

pengetahuan dasar perwujudan klinis keterlibatan HIV dalam SSP adalah penting

dalam membuat diagnosis lengkap dan tepat terhadap penyakit psikiatri pasien.

Penyakit psikiatri yang dikaitkan dengan infeksi HIV, sebelumnya sudah

ditinjau ulang pada pembahasan di atas. Sisa tulisan ini terutama mengenai penyebab

organik tertentu dari penyakit psikiatri pada pasien yang terinfeksi HIV, terutama

demensia terkait HIV (HIV-associated dementia – HAD). Ini merupakan topik

penting, karena 90% pasien AIDS mempunyai tanda penyakit SSP saat diotopsi dan

65% sampai 80% pasien AIDS yang dirawat inap mengembangkan salah satu tipe

penyakit mental organik selama dirawat inap. Artikel ini tidak akan mencoba

meninjau ulang semua penyebab penyakit psikiatri atau neurologi organik pada

pasien yang terinfeksi HIV. Infeksi oportunistik, seperti toksoplasmosis dan

kriptokokosis; penyakit SSP; penyakit metabolik dan elektrolit; sifilis; dan obat-

obatan semuanya dapat menyebabkan penyakit SSP dan disfungsi yang bermakna

pada kelompok pasien ini. Mengesampingkan adanya penyakit ini akan dianggap

sebagai bagian penilaian baku bagi pasien dengan HIV dan perubahan status mental.

Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perwujudan gejala infeksi

SSP HIV, termasuk "penyakit mental organik," beraneka ragam dan kadang-kadang

membingungkan. Karena kebingungan ini, World Health Organization (WHO) dan

American Academy of Neurology mengusulkan agar dibuat penjelasan dalam

bidang ini. Dalam artikel ini, "penyakit mental organik" akan berarti HAD, delirium,

dan penyakit organik yang mempunyai gejala yang menyerupai psikosis atau

skizofrenia dan gejala afeksi (perasan dan emosi yang lunak). HAD akan mencakup

kondisi yang secara umum disebut AIDS dementia complex (ADC) dan HIV minor

cognitive-motor disorder (MCMD).

a. Demensia Terkait HIV

Page 9: Psikiatri

Istilah “demensia terkait HIV” (HIV associated dementia – HAD)

mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada

SSP. HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada

bagian akhir spektrum yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat

mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit

yang didefinisikan AIDS. Di sisi lain dari spektrum ini adalah MCMD terkait HIV;

ini menggambarkan gejala yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia

karena gejala ini tidak mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna.

Kejadian dan prevalensi ADC berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi

dan kelompok yang diteliti. Penelitian sebelum HAART menyatakan bahwa hingga

20% pasien dengan AIDS mengalami demensia HIV dan kejadian tahunan setelah

berkembang menjadi AIDS kurang-lebih 7%. Penelitian yang lebih baru kurang jelas

mengenai kejadian ADC pada masa HAART, tetapi penelitian di Australia

menyimpulkan bahwa ADC meningkat sesuai dengan perbandingan dari penyakit

yang didefinisikan AIDS dan sedikitnya sebagian dari peningkatan ini berhubungan

dengan rendahnya daya tembus obat antiretroviral terhadap SSP.

ADC adalah demensia subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara

tersembunyi. Sebagai demensia subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif

fokal, seperti afasia, apraksia, dan agnosia. Gejala motor biasanya menyeluruh. ADC

mempunyai tahapan dari 0 sampai 4, dengan tahap 0 adalah fungsi mental dan motor

yang normal, dan tahap 4 merupakan tahap akhir, dengan kekurangan kognitif dan

motor yang parah.

Secara khas, pasien yang menderita HAD mula-mula mengeluhkan

terjadinya penurunan kognitif yang ringan, seperti mental yang lamban dan sulit

untuk berkonsentrasi, mengingat, dan menyelesaikan tugas. Pada titik ini, hasil

pemeriksaan sederhana untuk mengetahui keadaan mental biasanya normal, tetapi

beberapa kemunduran psikomotor mungkin terlihat. Gejala motor dapat mencakup

mudah kikuk atau gaya berjalan seperti sempoyongan serta refleks-refleks primitif

dari hidung (snout), genggaman (grasp), telapak tangan (palmomental), serta

Page 10: Psikiatri

pergerakan jari yang melambat dan kesulitan untuk mengatur gerakan mata. Dalam

perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian kepada

teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya, gejala ini

mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan

pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC.

Gejala HAD, yang awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada

kemerosotan menyeluruh fungsi kognitif, perlambatan psikomotor yang parah,

paraparesis, dan tidak dapat menahan untuk buang air kecil dan air besar. Kesadaran

terjaga kecuali untuk hipersomnia (sering sangat mengantuk). Diagnosis HAD

biasanya dibuat berdasarkan riwayat, penilaian klinis, dan menyingkirkan penyebab

perubahan status mental lain yang dapat diobati. Penggambaran jarang membantu

kecuali sebagai penolong dalam menyingkirkan penyebab lain. CT dan MRI secara

umum menunjukkan atrofi yang merata dengan sulkus yang meluas dan pembesaran

bilik jantung, tetapi penemuan ini tidak berkaitan dengan status klinis. Tomografi

positron emission (PET) bisa memperlihatkan hipermetabolisme subkortikal pada

tahap dini dan hipometabolisme kortikal dan subkortikal pada tahap berikutnya. EEG

mungkin normal atau menunjukkan perlambatan yang merata, khususnya pada tahap

lanjut. Dalam penelitian terhadap orang HIV-positif nondemensia, hasil CT foton

tunggal berkaitan dengan disfungsi kognitif.

Sebagaimana yang dinyatakan, pemeriksaan sederhana keadaan mental

jarang berguna dalam mendiagnosis ADC. Sebenarnya, deretan tes neuropsikiatri

yang lebih luas diperlukan tetapi biasanya di luar jangkauan praktis dari sebagian

besar layanan klinis. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa keluhan

subyektif pasien yang bergejala mencerminkan hilangnya kognitif yang objektif dan

tidak dapat dijelaskan melalui gangguan depresi psikiatri. Sedikitnya satu penelitian

menyimpulkan bahwa pada orang yang bergejala, tidak ada hubungan antara keluhan

yang subjektif dan fungsi kognitif, tetapi keluhan ini terkait dengan afeksi dan

suasana hati. Skala demensia HIV lebih praktis, yang terdiri dari empat subset yang

Page 11: Psikiatri

mengukur keterampilan kognitif dan motor dan dapat dilakukan pada pasien yang

rawat inap atau pun pasien rawat jalan saat kunjungan ke dokter.

Pada masa sebelum HAART, sedikit yang dapat dilakukan untuk

menghentikan laju HAD. Namun, selama beberapa tahun terakhir, ada peningkatan

bermakna dalam pemahaman neuropatogenesis penyakit HIV di otak serta dampak

obat antiretroviral pada SSP dan penyerapannya ke dalam SSP. Dengan peningkatan

pemahaman tentang patogenesis, ada sejumlah bukti yang terus berkembang yang

mendukung pengobatan infeksi HIV yang mendasarinya. Tinjauan ulang terhadap

penelitian yang menunjukkan perbaikan penyakit HIV di otak dengan HAART jauh

di luar cakupan artikel ini; namun, berdasarkan data ini, terapi antiretroviral dengan

obat yang dapat menembus SSP secara optimal (AZT, ddI, d4T, nevirapine,

efavirenz, indinavir) sebaiknya diteruskan secara agresif sebagai sarana untuk

memperlambat, atau dalam beberapa kasus, membalik arah laju HAD. Tentu saja,

karena kepatuhan adalah hal yang tidak mungkin pada pasien dengan HAD tahap apa

pun, sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap pengobatan termasuk terapi

dengan pengawasan langsung (directly observed therapy--DOT).

Psikostimulan (pemolin, metilfenidat, dekstoamfetamin) mungkin berguna

untuk mengobati apatis dan perlambatan psikomotor. Antidepresan sebaiknya dipakai

untuk mengobati depresi yang terjadi bersamaan, tetapi antidepresan trisiklik

sebaiknya dihindari karena adanya kekhawatiran yang meningkat sehubungan dengan

delirium antikoligernik.

Ada angka kesakitan lain yang bermakna pada pasien dengan penyakit

psikiatri yang terkait HIV (depresi, mania, delirium) dan HAD. Meskipun demikian,

cukup sulit untuk membuat diagnosis dari depresi utama pada pasien dengan

gangguan kognitif, motor, dan perilaku. Sebaiknya jangan dianggap atau disimpulkan

bahwa ada depresi yang mendasarinya atau karena pasien mengalami ADC atau

MCMD, lalu ia mengalami depresi. Diagnosis depresi pada orang yang mempunyai

gejala medis dan neurologis sebaiknya dibuat oleh ahli jiwa yang sudah terbiasa

dengan penyakit dan perwujudan dari depresi itu sendiri.

Page 12: Psikiatri

b. Delirium

Delirium adalah nama generik untuk keadaan jiwa umum dengan banyak

penyebab. Pasien AIDS yang dirawat inap berisiko lebih tinggi untuk mengalami

delirium dengan kejadian 30% sampai 40%. Delirium juga ditemukan waktu

serokonversi HIV. Tidak seperti demensia, serangan delirium biasanya akut, dan

pasien dibawa ke rumah sakit sebagai akibat dari perubahan status keadaan mental.

Gejala pada pasien mungkin keliru dikira memburuknya demensia atau penyakit jiwa

yang sudah ada sebelumnya.

Delirium ditandai dengan adanya gangguan pada ketajaman dan kesadaran,

dan ketidakmampuan untuk menghadapi rangsangan luar atau berkonsentrasi. Ini

bertambah besar dan melemah, tetapi semua gejala mungkin tidak berubah-ubah

secara serempak. Pasien sering kali memperlihatkan gerak-gerik psikomotor –

kegiatan motor berulang tanpa arti seperti mengumpat pada seprai atau baju – atau

memainkan peranan atau menanggapi gangguan persepsi. Halusinasi visual dan

paranoia adalah umum, karena disorientasi dan gangguan siklus tidur-bangun.

Pengobatan delirium berdasarkan pada pengobatan terhadap penyebab yang

mendasarinya. Etiologi sering kali mengandung berbagai unsur atau rumit. Misalnya,

pasien dengan pneumonia Pneumocystis jiroveci mungkin demam dan/atau kurang

oksigen, mungkin memakai kortikosteroid, dan mungkin mengalami gangguan

metabolik secara bersamaan. Perawatan harus termasuk dukungan terhadap pasien

dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penyalahgunaan zat atau

gejala lepas zat juga mengacaukan gambaran klinis.

Sementara pengobatan harus dimulai secepatnya karena kemungkinan

delirium berhubungan dengan keparahan dan kematian, penilaian harus

memperhatikan pengamatan oleh berbagai staf. Sifat yang naik-turun dari gangguan

ini dapat menyesatkan. Perangkat penilaian yang bermanfaat mencakup pemeriksaan

kesehatan mental sederhana, uji draw-a-cube atau draw-a-clock face, dan Memorial

Delirium Assessment Scale.

Page 13: Psikiatri

Di samping mengobati penyebab dasarnya, pendekatan baku terhadap

pengobatan bersifat farmakologi dan lingkungan. Sebaiknya upaya dibuat untuk

mengurangi rangsangan yang tidak berhubungan, sering-sering mengorientasi pasien,

dan berikan benda atau orang yang dikenal di sekitarnya. Pengobatan berdasar gejala

dengan obat hampir selalu diperlukan, terutama pada kasus yang parah. Obat

neuroleptik merupakan pengobatan utama farmakologi dan dapat diberikan secara

oral, dalam otot, atau intravena. Dosis awal sebaiknya rendah, dan harus diperhatikan

untuk menghindari memburuknya antikolinergi. Olanzapin cukup berguna untuk efek

samping Parkinson meski angka kejadiannya rendah. Haloperidol berguna karena

dapat diberikan melalui tiga cara yang disebutkan di atas dan telah terbukti berguna

terhadap delirium pada pasien kanker. Benzodiazepin sebaiknya dihindari karena

terbukti memperburuk delirium pada pasien AIDS.

c. Gejala Seperti Psikosis dan Perubahan Perilaku

Ada laporan mengenai psikosis dan penyakit perilaku organik yang terkait

HIV. Prevalensi penyakit ini tidak diketahui. Sewell dan rekan-rekannya meneliti 20

pasien yang terinfeksi HIV dengan serangan baru psikosis tanpa delirium,

penyalahgunaan zat, atau peristiwa psikosis sebelumnya dan membandingkannya

dengan 20 pasien HIV yang nonpsikosis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang

psikosis lebih mungkin mempunyai riwayat menyalahgunakan atau ketergantungan

obat hipnosis/pereda rasa sakit atau obat perangsang. Peneliti menyimpulkan bahwa

serangan baru psikosis sebagian mungkin merupakan perwujudan dari HAD awal.

Penulis lain menyetujui jika serangan baru psikosis pada pasien yang terinfeksi HIV

tampaknya terkait dengan HAD.

Mania dan sindrom mania juga terkait dengan penyakit HIV. Penelitian

baru-baru ini mengamati mania terkait HIV dan terapi AZT serta menemukan, setelah

tiga tahun, AZT membantu melindungi terhadap berkembangnya mania tetapi mania

merupakan pertanda HAD.

Bila pasien mempunyai psikosis atau mania terkait HIV, mengobati HIV

adalah utama. Namun, HAART tidak boleh dipakai sampai penyulit ini

Page 14: Psikiatri

ditanggulangi. Pengobatan psikosis atau mania dapat dicapai dengan obat antipsikosis

dan penstabil suasana hati. Konsultasi dan kerja sama psikiatri biasanya diperlukan

untuk keadaan ini.

d. Progressive Multifocal Leukoencephalopathy (PML)

PML adalah penyulit neurologi dari sindrom penurunan kekebalan yang

merusak dan sering disebut sebagai contoh dari keadaan yang sering kali

mengacaukan diagnosis dan mungkin keliru dianggap sindrom psikiatri primer. PML

adalah infeksi SSP oleh virus JC dan menyebabkan daerah demielinasi pada MRI.

Tidak ada penampakan patognomonik, tetapi pasien sering menunjukkan hilangnya

neurologi multifokal. Kehilangan ini mungkin tidak multipel, dan pasien juga dapat

memperlihatkan perubahan status mental yang parah, termasuk delirium, hilangnya

kemampuan kognitif, sikap yang labil atau psikosis, dan perubahan kepribadian.

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat, mengesampingkan penyakit SSP lain,

menemukan gambaran MRI yang khas, dan mendeteksi virus JC melalui polymerase

chain reaction (PCR) dalam cairan serebrospinal. Pada pasien yang PCR-negatif,

biopsi otak umumnya dianjurkan bila PML dicurigai. Tidak ada pengobatan yang

menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan HAART umumnya dianjurkan. Bukti

mengesankan bahwa HAART mungkin merupakan pengobatan untuk dan juga

melindungi terhadap PML, tetapi juga ada bukti yang bertentangan; pasien dengan

PML yang mengalami perbaikan kekebalan dengan HAART tidak mengalami

perbaikan secara neurologi. Penatalaksanaan ini bersifat mengurangi gejala.

Kesimpulan

Artikel ini merupakan tinjauan singkat dari penyakit otak organik terkait

HIV. Penulis lain juga telah meninjau ulang bidang ini, tetapi sebelum masa HAART.

Sekarang, meskipun ada peningkatan dalam kesadaran terhadap kerumitan SSP,

peningkatan dalam pemahaman neuropatologi, dan perbaikan pengobatan, penyakit

otak organik tetap menyulitkan gambaran klinis penyakit HIV dan untuk

memperkirakan hasil negatif. Waktu menilai pasien dengan perubahan status mental

Page 15: Psikiatri

dan mempertimbangkan diagnosis berbeda, penting untuk mengingat penyakit lain

yang mungkin mempengaruhi diagnosis, dan yang dapat diobati dan bersifat

sementara. Infeksi oportunistik bersifat umum dan dapat diobati, tetapi interaksi obat,

pemakaian narkoba ilegal atau rekreasional, dan penyebab tekanan psikososial

sebaiknya dipertimbangkan tidak hanya sebagai etiologi yang mungkin tetapi juga

sebagai unsur yang dapat memperburuk atau bahkan membantu mendiagnosis HAD.

Penatalaksanaan proses demensia apa pun mencakup dukungan lingkungan

dan sosial di samping penatalaksanaan gejala farmakologi. Merawat orang yang

mengalami demensia yang berkembang, memburuk, atau bahkan yang stabil biasanya

melelahkan secara emosional, fisik, dan keuangan. sering kali pendukung menderita

kelelahan, burnout (jenuh), dan depresi, dengan perasaan tidak berdaya dan rasa

bersalah. Merupakan tantangan psikologis untuk berdukacita atas kehilangan

kepribadian pasangan atau orang yang dicintai sambil terus merawat orang tersebut

secara fisik dan emosional. Perawatan yang luas di rumah adalah penting. Orang

tersebut juga sering memerlukan perawatan yang terampil di rumah.

Karena pasien kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan dengan

bijaksana dan pertimbangan yang baik, kemungkinan perkembangan HAD sebaiknya

dibahas dengan pasien waktu mereka masih sehat. Walaupun sering kali sulit untuk

menghadapi masalah kehilangan kecakapan atau penyulit yang mungkin sangat

merusak, melakukan hal demikian dapat bermanfaat. Pasien mungkin perlu dibantu

untuk membuka pintu perencanaan kemungkinan atau kepastian, memilih wali

perawatan kesehatan, dan bahkan untuk membahas ketakutan dan kegelisahannya

mengenai kemerosotan mental. Pembahasan ini bermanfaat tidak hanya untuk pasien

tetapi juga untuk anggota keluarga.

Penyakit otak organik kadang-kadang merupakan salah satu dari ketakutan

terbesar dari pasien HIV kita. Kehilangan kepribadian dan kemampuan mental sering

kali disamakan dengan kehilangan rasa sebagai orang dan martabat. Penting untuk

membantu pasien dan keluarganya merencanakan kemungkinan ini dengan ilmu

pengetahuan dan harapan serta cita-cita yang realistis.

Page 16: Psikiatri

DAFTAR PUSTAKA

Goldenberg, David et all. 2006. Terjemahan dari Psychiatry and HIV Part 1-2.

WartaAIDS: Jakarta.

Yayasan Spiritia. 2000. Gangguan Psikiatri Pada Pasien HIV-AIDS.

www.spiritia.or.id, diakses pada tanggal 31 Desember 2011