psikiatri
TRANSCRIPT
Aspek Psikiatri Pada Pasien HIV-AIDS
Telah diketahui sejak lama bahwa orang yang hidup dengan HIV, seperti
pasien lain dengan penyakit kronis, mungkin mengalami suatu bentuk gangguan
psikiatri (kejiwaan) selama perjalanan penyakitnya. Gangguan ini mungkin berupa
penyakit yang ditemukan pada masyarakat umum; depresi, gangguan bipolar,
penyalahgunaan alkohol, skizofrenia, dan diagnosis psikiatri lain adalah umum. Di
sisi lain, gangguan ini mungkin terkait langsung atau tidak langsung dengan HIV.
Untuk mencapai keseimbangan medis, psikiatri, dan sosial yang memadai, sering kali
pasien dengan HIV harus menghadapi gangguan psikiatri yang menempatkan mereka
pada risiko terhadap infeksi HIV (misalnya penyalahgunaan narkoba suntikan atau
gangguan bipolar); yang terkait dengan diagnosis HIV atau laju HIV-nya (misalnya
depresi, gangguan kegelisahan, atau demensia); atau yang terkait dengan terapi
antiretroviral atau terapi lain yang diperlukan (misalnya mimpi yang nyata atau
penurunan konsentrasi yang dialami oleh beberapa pasien pada waktu memulai
efavirenz).
Penelitian menunjukkan bahwa prevalensi gangguan psikiatri parah pada
orang yang hidup dengan HIV (Odha) adalah antara 30% sampai 60% dan
dihubungkan dengan pemakaian narkoba dan nilai Karnofsky yang memburuk.
Meskipun masalah psikiatri karena kerusakan organik adalah umum pada awal
epidemi AIDS, sejak adanya HAART, sindrom tanpa sebab organik menjadi lebih
umum. Banyak penelitian yang diterbitkan berdasarkan pada data sebelum HAART.
Perbedaan ini mungkin penting karena kelompok yang diteliti telah diperluas dengan
memasukkan kelompok yang sebelumnya tidak dilibatkan (misalnya kaum minoritas
dan wanita). Lagi pula, ada peningkatan dalam perbandingan pasien yang
menggunakan narkoba suntikan sebagai faktor risiko, dan penyebab stres yang dapat
memicu gangguan psikiatri tertentu yang telah berubah karena perubahan penjalanan
penyakit. Makalah baru-baru ini berupaya menanggapi beberapa masalah ini.
Gangguan psikiatri pada Odha telah dikaitkan dengan perilaku
disfungsional, termasuk hubungan seks tidak terlindung, dan penurunan dalam mutu
hidup. Lagi pula, kelainan ini mungkin mengganggu kemampuan pasien untuk
memulai dan mematuhi rejimen antiretroviralnya dan mungkin mengakibatkan
kegagalan pengobatan. Dokter yang mengobati pasien dengan infeksi HIV perlu
menyadari permasalahan psikiatri dan psikososial yang rumit, dan kadang kala tidak
kentara, yang dihadapi pasien HIV. Penilaian psikiatri, yang menilai kesejahteraan
pasien saat itu dan risikonya terhadap masalah psikiatri di masa mendatang, harus
menjadi baku untuk setiap pasien yang terinfeksi HIV. Sebagian besar penyakit
psikiatri yang dialami dapat diobati dan, jika tidak sembuh, setidaknya dikendalikan,
dan ini merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan HIV dan
memperbaiki mutu hidup pasien secara keseluruhan. Di samping penilaian dan
pengobatan psikiatri, tambahan psikoterapi, konseling kerja sosial, dan dukungan
sebaya mungkin bermanfaat untuk menghadapi masalah pokok seperti
penyalahgunaan narkoba atau alkohol yang terus-menerus, ketunawismaan, dan
pertengkaran keluarga, dan mungkin membantu memperbaiki kepatuhan dan
menurunkan perilaku berisiko.
Dalam rangkaian tulisan ini, kami akan membahas beberapa penyakit
psikiatri, dengan memberikan beberapa informasi umum tetapi terutama pada
penelitian baru-baru ini sehubungan dengan kemajuan dalam diagnosis atau
pengobatan.
a. Depresi
Gangguan depresi dan penyesuaian diri yang parah mungkin merupakan
penyulit psikiatri HIV yang paling luas yang telah diteliti. Walaupun sulit untuk
menemukan kesepakatan dalam kepustakaan mengenai prevalensi dan kejadian
depresi yang pasti pada Odha, ada kesepakatan bahwa angkanya lebih tinggi dari
yang ada di dalam masyarakat umum. Diagnosis depresi juga bisa menjadi sulit pada
Odha, seperti pada sebagian besar kelompok berpenyakit medis, tetapi berbagai cara
tampaknya sama-sama efektif asal ahli psikiatri yang menilainya mengetahui
perwujudan psikiatri dan somatik tertentu dari penyakit tersebut. Secara umum telah
terbukti bahwa penyakit HIV berhubungan dengan tekanan sosial dan kehidupan
tertentu, seperti stigma (cap buruk), yang mungkin mempengaruhi seseorang menjadi
depresi. Depresi pada Odha juga dikaitkan dengan perasaan bahwa kesehatannya
buruk, rasa sakit kronis, dan kehilangan daya ingat serta konsentrasi. Namun, depresi,
berbeda dengan kesedihan atau kecil hati, bukan merupakan dampak alami dari
penyakit. Lamanya suasana hati yang lesu, kegelisahan, atau kemarahan mungkin
biasanya menjadi bagian dari penyesuaian terhadap penyakit, tetapi perkembangan
depresi yang parah bukanlah sesuatu yang normal. Sebagaimana diagnosis depresi
parah dihubungkan dengan berbagai penyakit, suasana hati yang lesu harus dilihat
sebagai bagian dari kumpulan gejala seperti rasa senang yang hilang, perasaan
bersalah atau tidak berharga, memikirkan kematian, dan gejala neurovegetatif.
Bahkan bila gambaran semacam ini dilakukan, penyebab medis sebaiknya diselidiki
dan diobati sebelum memulai pengobatan dengan antidepresan.
Banyak pasien datang ke dokter di klinik kami mengeluhkan “depresi” yang
sebetulnya anemia parah, hipogonadisme, tidak tumbuh dengan baik, atau penyakit
sistemik sejenis yang lainnya. Tambahan pula, suasana hati yang tertekan atau depresi
parah dapat disebabkan oleh berbagai pengobatan. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan depresi parah pada Odha adalah aman dan efektif. Dukungan dan
konseling yang memungkinkan pasien menghadapi dan menyelesaikan atau
menyesuaikan diri terhadap kejadian yang menyebabkan stres dalam hidup seperti
masalah keuangan, kekerasan fisik, dan pertentangan dalam keluarga yang dilakukan
sendiri mungkin membantu mengendalikan depresi dan memperbaiki mutu hidup.
Terapi kelompok telah terbukti berguna untuk depresi ringan sampai menengah,
tetapi pengobatan farmakologi tampaknya diperlukan untuk depresi yang lebih parah
terkait dengan HIV. Aliran utama pengobatan farmakologi mencakup tricyclic
antidepressant (TCA), selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), dan beberapa
antidepresan atypical. Obat-obatan ini mempunyai berbagai macam riwayat efek
samping, masa paro, dan interaksi dengan obat lain dan karena itu sebaiknya dipilih
dengan pertimbangan yang hati-hati sesuai dengan keluhan somatik dan rejimen
pengobatan tertentu lainnya dari pasien. Misalnya, jika pasien menderita diare kronis
dan neuropati periferal, TCA mungkin lebih dipilih daripada SSRI karena SSRI lebih
mungkin memperburuk diare dan TCA terbukti efektif dalam mengobati neuropati
periferal. Akhirnya, meskipun depresi yang berarti disebabkan oleh kekurangan
neurokognitif yang berkaitan dengan laju HIV, memulihkan kekurangan itu dengan
HAART mungkin berakibat pada perbaikan bermakna bagi rasa sejahtera pasien.
b. Psikosis
Psikosis dan HIV tampaknya kurang dipelajari dibanding depresi. Psikosis
merupakan istilah generik untuk satu dari sejumlah perwujudan gejala penyakit
pikiran. Gejala psikosis dapat menjadi bagian dari sindrom besar depresi yang parah,
skizofrenia, mania pada gangguan bipolar, atau penyakit obsessive-compulsive yang
ekstrim. Membedakan penyakit ini adalah sulit, biasanya diperlukan konsultasi dan
pemantauan psikiatri. Gejala psikosis dapat menyebabkan terlambat di diagnosis,
ketegangan hubungan antara dokter dan pasien, serta pemahaman yang rendah
tentang penyakit, pengobatan, dan prognosis. Pengobatan penyakit psikosis
mencakup psikoterapi, dan obat antipsikosis atau neuroleptik. Peningkatan dukungan
sosial dan konseling kelompok dapat memberikan dampak yang berarti pada jiwa
pasien dengan riwayat psikosis. Pada satu penelitian kecil, peningkatan konseling
kelompok mengakibatkan peningkatan dalam pemakaian kondom dan penurunan
hubungan seks yang tidak aman pada kelompok pasien yang tunawisma dengan
penyakit psikosis kronis dan penyakit penyalahgunaan zat. Sebagaimana dengan obat
antidepresan, obat antipsikosis sebaiknya dipilih dengan mengingat riwayat efek
samping dan interaksi obat. Haloperidol, mungkin obat antipsikosis yang paling
umum diresepkan, dan neuroleptik lain dengan kemampuan tinggi, lebih mungkin
menyebabkan efek ekstrapiramidal, khususnya gejala Parkinson, pada orang dengan
infeksi HIV. HIV merupakan virus neurotropik yang mempengaruhi daerah
subkortikal otak termasuk ganglia basal. Kekerasan dan kekakuan pada pemeriksaan
fisik pasien dengan penyakit motor-kognitif menggambarkan dampak ini. Jadi,
menghindari obat neuroleptik potensi tinggi dan menggunakan alternatif yang
berpotensi rendah, seperti tioridazin, adalah bijaksana. Obat antipsikosis baru, seperti
risperidon dan olanzapin, tampaknya dapat diterima lebih baik pada orang dengan
HIV. Khusus olanzapin tampak mempunyai lebih sedikit efek samping Parkinson.
Satu-satunya penelitian double-blind obat neuroleptik pada orang dengan HIV dan
delirium berkesimpulan bahwa haloperidol dan klorpromazin efektif pada dosis
rendah dalam mengobati delirium.
Psikosis dan delirium dapat sulit dibedakan, khususnya bagi dokter yang
tidak biasa dengan penyakit psikiatri atau delirium. Delirium adalah perubahan dalam
kesadaran dan ketajaman, dibanding dengan psikosis, yaitu perubahan dalam proses
dan isi pikiran dan juga dapat melibatkan perubahan dalam kesadaran, biasanya
karena gangguan konsentrasi atau penilaian akibat gejala psikosis lainnya.
Sebagaimana halnya gejala depresi, penyakit psikosis dapat diperburuk oleh
pengobatan (misalnya asiklovir), kelainan metabolik, atau infeksi. Dalam keadaan ini,
penyebab medis yang mendasarinya perlu diketahui dan diobati.
c. Kelainan Bipolar
Kelainan bipolar mempunyai prevalensi selama hidup kurang lebih 0,4%
hingga 1,6%. Perwujudan mania mencakup suasana hati yang meningkat, meluap,
atau lekas marah; grandiosity; peningkatan tenaga dan berkurangnya kebutuhan akan
tidur; kemampuan bicara tertekan; pikiran cepat; bertindak sesuai kata hati; dan
kemungkinan berkhayal, berhalusinasi, dan gejala psikosis lain yang jelas. Mania
sebagai gejala yang tampak atau sebagai akibat dari HIV tercatat mengalami
peningkatan secara bermakna pada pasien dengan AIDS. Dokter umum sebaiknya
waspada terhadap tanda mania atau hipomania yang tidak kentara, yang dapat
diakibatkan kelainan bipolar, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, laju AIDS, atau
pengobatan. Jika tidak diobati, mania dan hipomania dapat mengarah kepada, antara
lain, perilaku menghancurkan sendiri, ketidakpatuhan, atau seks tidak aman.
Pengobatan terdiri dari obat yang menstabilkan suasana hati (misalnya litium
karbonat, asam valproat, karbamazepin, dan mungkin gabapentin). Obat ini harus
dipilih berdasarkan obat-obatan yang sudah digunakan di masa lalu serta penerimaan
tubuh terhadap obat dari pasien yang bersangkutan. Tambahan obat neuroleptik
sering kali diperlukan, khususnya saat mania berkembang penuh dengan psikosis.
Dalam penelitian percontohan baru-baru ini, Ellen dan rekan-rekannya mencapai
tanggapan yang baik dengan obat neuroleptik dan mendukung gagasan bahwa pasien
yang sakit secara medis dengan mania dapat memberikan tanggapan yang lebih baik
terhadap obat neuroleptik dibanding terhadap obat penstabil suasana hati.
d. Penyakit Kegelisahan
Pasien sering kali merasa gelisah saat menjadi sakit dan menemui dokter.
Juga umum bagi dokter mengamati pasiennya gelisah dan mengartikan perilaku,
keadaan, atau keluhan pasien (seperti insomnia) sebagai tanda-tanda kegelisahan.
Tentu saja, kegelisahan adalah bagian dari penyakit medis dan biasanya menyertai
suatu spektrum mulai dari gejala yang tidak mengganggu sampai gangguan perilaku
dan penyakit pikiran yang bermakna. Walaupun sebagian orang mungkin mengalami
kegelisahan subsindrom, penelitian menunjukkan prevalensi kegelisahan pada
kelompok orang HIV-positif berkisar kurang lebih 25% sampai 40%. Gangguan
kegelisahan mencakup gangguan penyesuaian yang ringan, gangguan panik, fobia,
obsessive-compulsive, stres setelah trauma, penyakit stres yang akut, dan kegelisahan
yang menyeluruh. Jika pasien mengalami kriteria tersebut, atau dokter umum
mencurigai, salah satu penyakit ini, rujukan pada psikiatri merupakan langkah yang
tepat.
Reaksi kegelisahan pada Odha sering kali mencakup rasa khawatir yang
mendalam, ketakutan, dan prihatin terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian,
dan ketidakpastian mengenai penyakitnya. Reaksi ini kerap kali mengarah kepada
sulit tidur dan berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik. Perwujudan
penyakit kegelisahan lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama pengobatan
baru atau penyakit akut.
Penanganan gangguan kegelisahan tergantung pada luas dan sifat penyakit
tertentu dan gejala yang diperlihatkan. Psikoterapi sering kali cukup membantu,
khususnya dalam keadaan hubungan konseling. Intervensi farmakologi sebaiknya di
bawah pengawasan psikiater. Benzodiazepin adalah pengobatan utama untuk
meredakan gejala jangka pendek atau gejala yang hilang timbul, seperti serangan
panik yang jarang, tetapi secara umum sebaiknya tidak dipakai pada pasien dengan
riwayat penyalahgunaan alkohol atau benzodiazepin atau untuk mengobati masalah
tidur yang kronis. Beberapa antidepresan telah disetujui untuk mengobati berbagai
gangguan kegelisahan, termasuk serangan rasa panik, penyakit obsessive-compulsive,
dan fobia sosial. Juga, buspiron, sebuah antiolitik nonbenzodiazepin, disetujui untuk
gangguan kegelisahan yang menyeluruh dan telah terbukti bermanfaat pada orang
dengan AIDS. Obat ini tidak menimbulkan kecanduan, dan karena memakan waktu
beberapa hari sampai beberapa minggu untuk bekerja, obat ini tidak bermanfaat untuk
kegelisahan yang akut.
Beberapa obat, gangguan metabolik, dan hipoksia dapat memperburuk
gejala kegelisahan. Jadi, seperti halnya semua gejala psikiatri dalam kelompok yang
sakit secara medis, penyebab organik yang mendasarinya sebaiknya dibedakan dan
diobati. Akatisia, keinginan untuk terus bergerak, adalah efek samping dari
pengobatan neuroleptik dan pada pasien yang mengalami kegelisahan, pemakaian
neuroleptik sering kali dikira sebagai antiemetik, seperti klorpromazin atau
proklorperazin. Ini dapat diredakan dengan menurunkan dosis, mengganti obat, atau
menambahkan dosis rendah benzodiazepin, obat antikolinergik, atau penghambat beta
(ß-blocker).
HIV adalah virus neurotropik. Ia memasuki susunan saraf pusat (SSP) pada
tahap awal infeksi dan merupakan penyebab dari banyak, tetapi tentu tidak semua,
gejala neurologi dan psikiatri yang merupakan aspek umum penyakit HIV. Penyakit
mental organik yang dihubungkan dengan infeksi HIV berada di antara bidang
neurologi dan psikiatri karena sering kali gejala yang terlihat terutama adalah
psikiatri, walaupun ada patologi neurologi organik yang bermakna. Oleh karena itu,
pengetahuan dasar perwujudan klinis keterlibatan HIV dalam SSP adalah penting
dalam membuat diagnosis lengkap dan tepat terhadap penyakit psikiatri pasien.
Penyakit psikiatri yang dikaitkan dengan infeksi HIV, sebelumnya sudah
ditinjau ulang pada pembahasan di atas. Sisa tulisan ini terutama mengenai penyebab
organik tertentu dari penyakit psikiatri pada pasien yang terinfeksi HIV, terutama
demensia terkait HIV (HIV-associated dementia – HAD). Ini merupakan topik
penting, karena 90% pasien AIDS mempunyai tanda penyakit SSP saat diotopsi dan
65% sampai 80% pasien AIDS yang dirawat inap mengembangkan salah satu tipe
penyakit mental organik selama dirawat inap. Artikel ini tidak akan mencoba
meninjau ulang semua penyebab penyakit psikiatri atau neurologi organik pada
pasien yang terinfeksi HIV. Infeksi oportunistik, seperti toksoplasmosis dan
kriptokokosis; penyakit SSP; penyakit metabolik dan elektrolit; sifilis; dan obat-
obatan semuanya dapat menyebabkan penyakit SSP dan disfungsi yang bermakna
pada kelompok pasien ini. Mengesampingkan adanya penyakit ini akan dianggap
sebagai bagian penilaian baku bagi pasien dengan HIV dan perubahan status mental.
Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perwujudan gejala infeksi
SSP HIV, termasuk "penyakit mental organik," beraneka ragam dan kadang-kadang
membingungkan. Karena kebingungan ini, World Health Organization (WHO) dan
American Academy of Neurology mengusulkan agar dibuat penjelasan dalam
bidang ini. Dalam artikel ini, "penyakit mental organik" akan berarti HAD, delirium,
dan penyakit organik yang mempunyai gejala yang menyerupai psikosis atau
skizofrenia dan gejala afeksi (perasan dan emosi yang lunak). HAD akan mencakup
kondisi yang secara umum disebut AIDS dementia complex (ADC) dan HIV minor
cognitive-motor disorder (MCMD).
a. Demensia Terkait HIV
Istilah “demensia terkait HIV” (HIV associated dementia – HAD)
mencakup spektrum luas perwujudan psikiatri dan neurologi dari infeksi HIV pada
SSP. HAD mencakup berbagai derajat gejala kognitif, motor, dan perilaku. Pada
bagian akhir spektrum yang parah ini terdapat ADC, satu kondisi yang dapat
mengakibatkan kerusakan SSP secara bermakna dan ini merupakan suatu penyulit
yang didefinisikan AIDS. Di sisi lain dari spektrum ini adalah MCMD terkait HIV;
ini menggambarkan gejala yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk demensia
karena gejala ini tidak mengganggu kegiatan sehari-hari secara bermakna.
Kejadian dan prevalensi ADC berbeda-beda, tergantung dari tahap infeksi
dan kelompok yang diteliti. Penelitian sebelum HAART menyatakan bahwa hingga
20% pasien dengan AIDS mengalami demensia HIV dan kejadian tahunan setelah
berkembang menjadi AIDS kurang-lebih 7%. Penelitian yang lebih baru kurang jelas
mengenai kejadian ADC pada masa HAART, tetapi penelitian di Australia
menyimpulkan bahwa ADC meningkat sesuai dengan perbandingan dari penyakit
yang didefinisikan AIDS dan sedikitnya sebagian dari peningkatan ini berhubungan
dengan rendahnya daya tembus obat antiretroviral terhadap SSP.
ADC adalah demensia subkortikal, dan perkembangannya terjadi secara
tersembunyi. Sebagai demensia subkortikal, biasanya tidak disertai gejala kognitif
fokal, seperti afasia, apraksia, dan agnosia. Gejala motor biasanya menyeluruh. ADC
mempunyai tahapan dari 0 sampai 4, dengan tahap 0 adalah fungsi mental dan motor
yang normal, dan tahap 4 merupakan tahap akhir, dengan kekurangan kognitif dan
motor yang parah.
Secara khas, pasien yang menderita HAD mula-mula mengeluhkan
terjadinya penurunan kognitif yang ringan, seperti mental yang lamban dan sulit
untuk berkonsentrasi, mengingat, dan menyelesaikan tugas. Pada titik ini, hasil
pemeriksaan sederhana untuk mengetahui keadaan mental biasanya normal, tetapi
beberapa kemunduran psikomotor mungkin terlihat. Gejala motor dapat mencakup
mudah kikuk atau gaya berjalan seperti sempoyongan serta refleks-refleks primitif
dari hidung (snout), genggaman (grasp), telapak tangan (palmomental), serta
pergerakan jari yang melambat dan kesulitan untuk mengatur gerakan mata. Dalam
perilaku, menarik diri dari pergaulan, apatis, atau berkurangnya perhatian kepada
teman atau kegemaran mungkin terjadi. Terutama pada awal terjadinya, gejala ini
mungkin keliru dianggap depresi bila mereka benar-benar menunjukkan
pseudodepresi yang umum terjadi pada pasien dengan ADC.
Gejala HAD, yang awalnya mungkin ringan, dapat melaju kepada
kemerosotan menyeluruh fungsi kognitif, perlambatan psikomotor yang parah,
paraparesis, dan tidak dapat menahan untuk buang air kecil dan air besar. Kesadaran
terjaga kecuali untuk hipersomnia (sering sangat mengantuk). Diagnosis HAD
biasanya dibuat berdasarkan riwayat, penilaian klinis, dan menyingkirkan penyebab
perubahan status mental lain yang dapat diobati. Penggambaran jarang membantu
kecuali sebagai penolong dalam menyingkirkan penyebab lain. CT dan MRI secara
umum menunjukkan atrofi yang merata dengan sulkus yang meluas dan pembesaran
bilik jantung, tetapi penemuan ini tidak berkaitan dengan status klinis. Tomografi
positron emission (PET) bisa memperlihatkan hipermetabolisme subkortikal pada
tahap dini dan hipometabolisme kortikal dan subkortikal pada tahap berikutnya. EEG
mungkin normal atau menunjukkan perlambatan yang merata, khususnya pada tahap
lanjut. Dalam penelitian terhadap orang HIV-positif nondemensia, hasil CT foton
tunggal berkaitan dengan disfungsi kognitif.
Sebagaimana yang dinyatakan, pemeriksaan sederhana keadaan mental
jarang berguna dalam mendiagnosis ADC. Sebenarnya, deretan tes neuropsikiatri
yang lebih luas diperlukan tetapi biasanya di luar jangkauan praktis dari sebagian
besar layanan klinis. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa keluhan
subyektif pasien yang bergejala mencerminkan hilangnya kognitif yang objektif dan
tidak dapat dijelaskan melalui gangguan depresi psikiatri. Sedikitnya satu penelitian
menyimpulkan bahwa pada orang yang bergejala, tidak ada hubungan antara keluhan
yang subjektif dan fungsi kognitif, tetapi keluhan ini terkait dengan afeksi dan
suasana hati. Skala demensia HIV lebih praktis, yang terdiri dari empat subset yang
mengukur keterampilan kognitif dan motor dan dapat dilakukan pada pasien yang
rawat inap atau pun pasien rawat jalan saat kunjungan ke dokter.
Pada masa sebelum HAART, sedikit yang dapat dilakukan untuk
menghentikan laju HAD. Namun, selama beberapa tahun terakhir, ada peningkatan
bermakna dalam pemahaman neuropatogenesis penyakit HIV di otak serta dampak
obat antiretroviral pada SSP dan penyerapannya ke dalam SSP. Dengan peningkatan
pemahaman tentang patogenesis, ada sejumlah bukti yang terus berkembang yang
mendukung pengobatan infeksi HIV yang mendasarinya. Tinjauan ulang terhadap
penelitian yang menunjukkan perbaikan penyakit HIV di otak dengan HAART jauh
di luar cakupan artikel ini; namun, berdasarkan data ini, terapi antiretroviral dengan
obat yang dapat menembus SSP secara optimal (AZT, ddI, d4T, nevirapine,
efavirenz, indinavir) sebaiknya diteruskan secara agresif sebagai sarana untuk
memperlambat, atau dalam beberapa kasus, membalik arah laju HAD. Tentu saja,
karena kepatuhan adalah hal yang tidak mungkin pada pasien dengan HAD tahap apa
pun, sangat diperlukan adanya pengawasan terhadap pengobatan termasuk terapi
dengan pengawasan langsung (directly observed therapy--DOT).
Psikostimulan (pemolin, metilfenidat, dekstoamfetamin) mungkin berguna
untuk mengobati apatis dan perlambatan psikomotor. Antidepresan sebaiknya dipakai
untuk mengobati depresi yang terjadi bersamaan, tetapi antidepresan trisiklik
sebaiknya dihindari karena adanya kekhawatiran yang meningkat sehubungan dengan
delirium antikoligernik.
Ada angka kesakitan lain yang bermakna pada pasien dengan penyakit
psikiatri yang terkait HIV (depresi, mania, delirium) dan HAD. Meskipun demikian,
cukup sulit untuk membuat diagnosis dari depresi utama pada pasien dengan
gangguan kognitif, motor, dan perilaku. Sebaiknya jangan dianggap atau disimpulkan
bahwa ada depresi yang mendasarinya atau karena pasien mengalami ADC atau
MCMD, lalu ia mengalami depresi. Diagnosis depresi pada orang yang mempunyai
gejala medis dan neurologis sebaiknya dibuat oleh ahli jiwa yang sudah terbiasa
dengan penyakit dan perwujudan dari depresi itu sendiri.
b. Delirium
Delirium adalah nama generik untuk keadaan jiwa umum dengan banyak
penyebab. Pasien AIDS yang dirawat inap berisiko lebih tinggi untuk mengalami
delirium dengan kejadian 30% sampai 40%. Delirium juga ditemukan waktu
serokonversi HIV. Tidak seperti demensia, serangan delirium biasanya akut, dan
pasien dibawa ke rumah sakit sebagai akibat dari perubahan status keadaan mental.
Gejala pada pasien mungkin keliru dikira memburuknya demensia atau penyakit jiwa
yang sudah ada sebelumnya.
Delirium ditandai dengan adanya gangguan pada ketajaman dan kesadaran,
dan ketidakmampuan untuk menghadapi rangsangan luar atau berkonsentrasi. Ini
bertambah besar dan melemah, tetapi semua gejala mungkin tidak berubah-ubah
secara serempak. Pasien sering kali memperlihatkan gerak-gerik psikomotor –
kegiatan motor berulang tanpa arti seperti mengumpat pada seprai atau baju – atau
memainkan peranan atau menanggapi gangguan persepsi. Halusinasi visual dan
paranoia adalah umum, karena disorientasi dan gangguan siklus tidur-bangun.
Pengobatan delirium berdasarkan pada pengobatan terhadap penyebab yang
mendasarinya. Etiologi sering kali mengandung berbagai unsur atau rumit. Misalnya,
pasien dengan pneumonia Pneumocystis jiroveci mungkin demam dan/atau kurang
oksigen, mungkin memakai kortikosteroid, dan mungkin mengalami gangguan
metabolik secara bersamaan. Perawatan harus termasuk dukungan terhadap pasien
dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penyalahgunaan zat atau
gejala lepas zat juga mengacaukan gambaran klinis.
Sementara pengobatan harus dimulai secepatnya karena kemungkinan
delirium berhubungan dengan keparahan dan kematian, penilaian harus
memperhatikan pengamatan oleh berbagai staf. Sifat yang naik-turun dari gangguan
ini dapat menyesatkan. Perangkat penilaian yang bermanfaat mencakup pemeriksaan
kesehatan mental sederhana, uji draw-a-cube atau draw-a-clock face, dan Memorial
Delirium Assessment Scale.
Di samping mengobati penyebab dasarnya, pendekatan baku terhadap
pengobatan bersifat farmakologi dan lingkungan. Sebaiknya upaya dibuat untuk
mengurangi rangsangan yang tidak berhubungan, sering-sering mengorientasi pasien,
dan berikan benda atau orang yang dikenal di sekitarnya. Pengobatan berdasar gejala
dengan obat hampir selalu diperlukan, terutama pada kasus yang parah. Obat
neuroleptik merupakan pengobatan utama farmakologi dan dapat diberikan secara
oral, dalam otot, atau intravena. Dosis awal sebaiknya rendah, dan harus diperhatikan
untuk menghindari memburuknya antikolinergi. Olanzapin cukup berguna untuk efek
samping Parkinson meski angka kejadiannya rendah. Haloperidol berguna karena
dapat diberikan melalui tiga cara yang disebutkan di atas dan telah terbukti berguna
terhadap delirium pada pasien kanker. Benzodiazepin sebaiknya dihindari karena
terbukti memperburuk delirium pada pasien AIDS.
c. Gejala Seperti Psikosis dan Perubahan Perilaku
Ada laporan mengenai psikosis dan penyakit perilaku organik yang terkait
HIV. Prevalensi penyakit ini tidak diketahui. Sewell dan rekan-rekannya meneliti 20
pasien yang terinfeksi HIV dengan serangan baru psikosis tanpa delirium,
penyalahgunaan zat, atau peristiwa psikosis sebelumnya dan membandingkannya
dengan 20 pasien HIV yang nonpsikosis sebagai kelompok kontrol. Pasien yang
psikosis lebih mungkin mempunyai riwayat menyalahgunakan atau ketergantungan
obat hipnosis/pereda rasa sakit atau obat perangsang. Peneliti menyimpulkan bahwa
serangan baru psikosis sebagian mungkin merupakan perwujudan dari HAD awal.
Penulis lain menyetujui jika serangan baru psikosis pada pasien yang terinfeksi HIV
tampaknya terkait dengan HAD.
Mania dan sindrom mania juga terkait dengan penyakit HIV. Penelitian
baru-baru ini mengamati mania terkait HIV dan terapi AZT serta menemukan, setelah
tiga tahun, AZT membantu melindungi terhadap berkembangnya mania tetapi mania
merupakan pertanda HAD.
Bila pasien mempunyai psikosis atau mania terkait HIV, mengobati HIV
adalah utama. Namun, HAART tidak boleh dipakai sampai penyulit ini
ditanggulangi. Pengobatan psikosis atau mania dapat dicapai dengan obat antipsikosis
dan penstabil suasana hati. Konsultasi dan kerja sama psikiatri biasanya diperlukan
untuk keadaan ini.
d. Progressive Multifocal Leukoencephalopathy (PML)
PML adalah penyulit neurologi dari sindrom penurunan kekebalan yang
merusak dan sering disebut sebagai contoh dari keadaan yang sering kali
mengacaukan diagnosis dan mungkin keliru dianggap sindrom psikiatri primer. PML
adalah infeksi SSP oleh virus JC dan menyebabkan daerah demielinasi pada MRI.
Tidak ada penampakan patognomonik, tetapi pasien sering menunjukkan hilangnya
neurologi multifokal. Kehilangan ini mungkin tidak multipel, dan pasien juga dapat
memperlihatkan perubahan status mental yang parah, termasuk delirium, hilangnya
kemampuan kognitif, sikap yang labil atau psikosis, dan perubahan kepribadian.
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat, mengesampingkan penyakit SSP lain,
menemukan gambaran MRI yang khas, dan mendeteksi virus JC melalui polymerase
chain reaction (PCR) dalam cairan serebrospinal. Pada pasien yang PCR-negatif,
biopsi otak umumnya dianjurkan bila PML dicurigai. Tidak ada pengobatan yang
menyembuhkan, tetapi pengobatan dengan HAART umumnya dianjurkan. Bukti
mengesankan bahwa HAART mungkin merupakan pengobatan untuk dan juga
melindungi terhadap PML, tetapi juga ada bukti yang bertentangan; pasien dengan
PML yang mengalami perbaikan kekebalan dengan HAART tidak mengalami
perbaikan secara neurologi. Penatalaksanaan ini bersifat mengurangi gejala.
Kesimpulan
Artikel ini merupakan tinjauan singkat dari penyakit otak organik terkait
HIV. Penulis lain juga telah meninjau ulang bidang ini, tetapi sebelum masa HAART.
Sekarang, meskipun ada peningkatan dalam kesadaran terhadap kerumitan SSP,
peningkatan dalam pemahaman neuropatologi, dan perbaikan pengobatan, penyakit
otak organik tetap menyulitkan gambaran klinis penyakit HIV dan untuk
memperkirakan hasil negatif. Waktu menilai pasien dengan perubahan status mental
dan mempertimbangkan diagnosis berbeda, penting untuk mengingat penyakit lain
yang mungkin mempengaruhi diagnosis, dan yang dapat diobati dan bersifat
sementara. Infeksi oportunistik bersifat umum dan dapat diobati, tetapi interaksi obat,
pemakaian narkoba ilegal atau rekreasional, dan penyebab tekanan psikososial
sebaiknya dipertimbangkan tidak hanya sebagai etiologi yang mungkin tetapi juga
sebagai unsur yang dapat memperburuk atau bahkan membantu mendiagnosis HAD.
Penatalaksanaan proses demensia apa pun mencakup dukungan lingkungan
dan sosial di samping penatalaksanaan gejala farmakologi. Merawat orang yang
mengalami demensia yang berkembang, memburuk, atau bahkan yang stabil biasanya
melelahkan secara emosional, fisik, dan keuangan. sering kali pendukung menderita
kelelahan, burnout (jenuh), dan depresi, dengan perasaan tidak berdaya dan rasa
bersalah. Merupakan tantangan psikologis untuk berdukacita atas kehilangan
kepribadian pasangan atau orang yang dicintai sambil terus merawat orang tersebut
secara fisik dan emosional. Perawatan yang luas di rumah adalah penting. Orang
tersebut juga sering memerlukan perawatan yang terampil di rumah.
Karena pasien kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan dengan
bijaksana dan pertimbangan yang baik, kemungkinan perkembangan HAD sebaiknya
dibahas dengan pasien waktu mereka masih sehat. Walaupun sering kali sulit untuk
menghadapi masalah kehilangan kecakapan atau penyulit yang mungkin sangat
merusak, melakukan hal demikian dapat bermanfaat. Pasien mungkin perlu dibantu
untuk membuka pintu perencanaan kemungkinan atau kepastian, memilih wali
perawatan kesehatan, dan bahkan untuk membahas ketakutan dan kegelisahannya
mengenai kemerosotan mental. Pembahasan ini bermanfaat tidak hanya untuk pasien
tetapi juga untuk anggota keluarga.
Penyakit otak organik kadang-kadang merupakan salah satu dari ketakutan
terbesar dari pasien HIV kita. Kehilangan kepribadian dan kemampuan mental sering
kali disamakan dengan kehilangan rasa sebagai orang dan martabat. Penting untuk
membantu pasien dan keluarganya merencanakan kemungkinan ini dengan ilmu
pengetahuan dan harapan serta cita-cita yang realistis.
DAFTAR PUSTAKA
Goldenberg, David et all. 2006. Terjemahan dari Psychiatry and HIV Part 1-2.
WartaAIDS: Jakarta.
Yayasan Spiritia. 2000. Gangguan Psikiatri Pada Pasien HIV-AIDS.
www.spiritia.or.id, diakses pada tanggal 31 Desember 2011