prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangrove (wilayah studi...

29
PROSPEK DAN KENDALA PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BERBASIS PEMBUDIDAYAAN MANGROVE (Wilayah Studi Kabupaten Karawang) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi Bandung Oleh RAHADIAN FEBRY MAULANA NIM: 24011021 (Program Studi Pembangunan)

Upload: rahadian-febry-maulana

Post on 12-Jun-2015

740 views

Category:

Environment


14 download

DESCRIPTION

Second Proposal

TRANSCRIPT

PROSPEK DAN KENDALA PEMBANGUNAN WILAYAH

PESISIR BERBASIS PEMBUDIDAYAAN MANGROVE

(Wilayah Studi Kabupaten Karawang)

TESIS

Karya tulis sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Magister dari

Institut Teknologi Bandung

Oleh

RAHADIAN FEBRY MAULANA

NIM: 24011021

(Program Studi Pembangunan)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2012

Bab 1

Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan beriklim tropik yang terbesar di dunia

dengan jumlah pulau 17.504 pulau (28 pulau besar dan 17.475 pulau kecil). Luas

wilayah laut Indonesia mencapai 5,9 juta Km2 serta memiliki garis pantai

terpanjang kedua di dunia setelah Canada yaitu 81.000 Km. Oleh karena itu,

negeri ini dikaruniai wilayah pesisir yang sangat luas, dengan kekayaan alam dan

keanekaragaman ekosistem khas daerah tropik. Kekayaan alam dan

keanekaragaman ekosistem tersebut terbentuk antara lain karena karakteristik

khas yang dimiliki oleh wilayah pesisir, dimana pesisir :

1. Merupakan wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada

di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil

keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) ketiga aspek di

atas;

2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan

unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;

3. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan

sumber zat organik penting dalam rantai makanan kehidupan darat dan

laut; dan

4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan

yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan.

Kekayaan alam termasuk ekosistem didalamnya berpotensi menyimpan

sumberdaya yang dapat diolah menjadi barang dan jasa sebagai modal dalam

melakukan pembangunan. Adapun potensi dan pemanfaatan sumberdaya di

wilayah pesisir, baik sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya

ruang, dan energi kelautan dapat dilihat pada tabel 1.1 dan tabel 1.2 berikut ini.

2

Tabel 1.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati dan Non Hayati Wilayah Pesisir

Sumberdaya Hayati Sumberdaya Non HayatiPemanfaatan Sumberdaya

Perikanan

1. Perikanan

tangkap

2. Perikanan

budidaya

3. Ekosistem

Padang lamun

4. Ekosistem Hutan

Mangrove

5. Ekosistem

Terumbu karang

1. Mineral

a. La

han pesisir

b. Pe

rairan dangkal

2. Pertambangan

& energi

a. Po

tensi sumberdaya

minyak & gas

b. Pe

manfaatan sumberdaya

minyak & gas

1. Perikanan darat

a. Budidaya

air tawar

b. Budidaya

tambak

c. Perairan

umum

2. Perikanan laut

a. Ikan

b. Udang

c. Binatang

lunak,dll

Sumber : Aferieda, 2004.

Tabel 1.2 Potensi dan Pemanfaatan Sumber daya Ruang dan Energi Kelautan

Wilayah Pesisir

Pariwisata Bahari Industri Maritim Energi Kelautan

1. Potensi

pariwisata bahari

2. Pemanfaatan

pariwisata

1. Potensi

industri maritim

2. Pemanfaatan

industri maritim

a. Gala

ngan kapal

b. Indu

stri penunjang

c. Indu

stri pelayaran

3. Armada

Kapal

1. Potensi energi

kelautan

a. Konversi

energi panas samudera

b. Panas

bumi

c. Pasang

surut

d. Endapan

gambut

2. Peluang

pemanfaatan Energi Nir

konvensional

a. Ocean Thermal

Energy Convention (OTEC)

b. Energi kinetik dari

gelombang pasang surut dan

3

Pariwisata Bahari Industri Maritim Energi Kelautan

arus

c. Konversi energi dari

perbedaan salinitas

d. Energi gambut

Sumber : Aferieda, 2004.

Dalam perspektif pembangunan kewilayahan, mentransformasikan sumberdaya di

wilayah pesisir menjadi potensi dan kemudian menjadi barang dan jasa, yang

ditujukan untuk mencapai tiga tujuan inti pembangunan adalah suatu keniscayaan.

Sumberdaya tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup,

meningkatkan standar hidup, serta untuk memperluas rentang pilihan ekonomis

dan sosial bagi setiap individu dan bangsa, agar terbebas dari ketergantungan

terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Merujuk pada karakteristik wilayah pesisir yang telah disampaikan di muka, maka

wilayah pesisir memiliki kompleksitas yang tinggi dan sangat rentan terhadap

perubahan, baik perubahan kondisi pada aspek lingkungan, maupun perubahan

kondisi pada aspek sosial, ekonomi dan politik. Jumlah penduduk yang terus

bertambah menjadi salah satu pendorong perubahan ke empat aspek di atas.

Pertambahan penduduk tentu disertai dengan peningkatan kebutuhan ekonomi,

sehingga kebutuhan terhadap pemanfaatan ruang dan sumberdaya semakin besar,

sementara jumlahnya cenderung berkurang dan tidak bertambah. Kondisi tersebut

mengakibatkan over exploitation yang dapat berimplikasi pada kerusakan

lingkungan.

Pertumbuhan penduduk yang sulit diprediksi dan jumlah sumberdaya yang

terbatas serta ekosistem pesisir yang kompleks, sangat rentan terhadap

ketidakpastian dan konflik kepentingan yang berpotensi menyebabkan kerusakan

lingkungan yang menyebabkan terhambatnya tujuan pembangunan.

Kerusakan lingkungan pesisir yang terjadi di Indonesia antara lain adalah

hilangnya sebaran hutan mangrove akibat pemanfaatan yang tidak memperhatikan

4

kelestarian lingkungan. Pada awalnya, hutan mangrove digunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk pesisir pada skala lokal, seperti

kayu bakar, pembangunan rumah, dan tempat nelayan menangkap ikan. Namun,

ketika jumlah penduduk di wilayah pesisir semakin padat, maka dorongan

ekonomi semakin tinggi, sehingga hutan mangrove tidak hanya dimanfaatkan

sebagai pemenuhan kebutuhan skala lokal, melainkan diekploitasi untuk

menyumbang keuntungan ekonomi skala nasional dengan cara konversi menjadi

lahan tambak perikanan.

Hilangnya sebaran hutan mangrove di beberapa pantai Indonesia telah

menimbulkan fenomena kerusakan lingkungan, seperti abrasi pantai, intrusi air

laut, sedimentasi dan hilangnya habitat ikan di sekitar pantai, fenomena ini sangat

mudah ditemukan pada wilayah pesisir, terutama yang memiliki kepadatan

penduduk tinggi. Kerusakan tersebut akan meningkatkan tekanan ekologis

terhadap ekosistem pesisir dan laut sehingga mengakibatkan hilangnya potensi

sumberdaya dan ancaman musibah bagi penduduk di wilayah pesisir.

Untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan pesisir, terutama pada hutan

mangrove, maka diperlukan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan

berkelanjutan dapat diartikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan

generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhannya, atau pemanfaatan sumberdaya yang saling tidak

menghancurkan yang dikelola dalam jangka waktu yang lama.

Pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan tercantum dalam Undang-

Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, yang

menyebutkan bahwa wilayah pesisir beserta kekayaan sumber daya alam yang

terkandung didalamnya harus dikelola secara berkelanjutan. Untuk

mewujudkannya, maka diperlukan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut

secara terpadu, yang harus mengandung lima komponen (SULASDI, 2012), yaitu:

1. Ekonomi, Sosial, Budaya, dan Hukum2. Kewilayahan3. Ekosistem

5

4. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)5. Oseanografi dan Estuari

Pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu harus dilaksanakan, karena

selama ini cenderung dilaksanakan secara parsial berdasarkan kepentingan

sektoral. Pada hutan mangrove, pengelolaan hanya berorientasi pada keuntungan

ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan

untuk masa depan. Oleh karena itu, sebelum luasan hutan mangrove semakin

menyempit, maka orientasi pengelolaan hutan mangrove harus dirubah.

Sebagai Negara kepulauan didaerah tropik, Indonesia memiliki 47 jenis mangrove

(Kementrian Lingkungan Hidup, 2004), dan hampir 30% dari total hutan

mangrove di dunia atau sekitar 4,25 juta hektar. Hutan mangrove merupakan

tumbuhan yang hidup di wilayah pesisir pantai pada lahan – lahan rawa berair

payau yang terletak pada garis pantai atau di teluk – teluk yang terlindung dari

gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai.

Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki fungsi

yang strategis, yang tidak hanya bermanfaat bagi keseimbangan lingkungan

pesisir dan laut, tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hutan mangrove

merupakan ekosistem yang memiliki fungsi beragam, antara lain fungsi fisik,

fungsi ekologi dan fungsi ekonomis, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel

1.3 di bawah ini.

Tabel. 1.3 Fungsi Hutan Mangrove

No. Fungsi Fisik Fungsi Ekologi Fungsi Ekonomis

1. Menjaga garis pantai agar tetap stabil Sebagai tempat

pembenihan alami ikan,

udang, kerang, dan jenis

ikan lainnya

Sumber bahan bakar

(arang, kayu bakar)

2. Melindungi pantai dan tebing sungai Tempat bersarang

burung ‐ burung

Bahan bangunan

(balok, atap rumah,

tikar)

3. Melindungi pantai dari erosi laut Menjadi habitat alami Budidaya perikanan

6

(abrasi) bagi berbagai jenis biota dan lahan pertanian.

4. Menjadi wilayah penyangga terhadap

rembesan air laut (Intrusi)

Sebagai mata rantai

penghubung kehidupan

ekosistem laut dengan

ekosistem daratan

Sebagai bahan baku

tekstil (serat sintetis),

makanan obat‐obatan,

minuman, (alcohol),

bahan mentah kertas,

bahan ekspor,

perdagangan dan

bentuk ekonomis

lainnya.

5. Mengolah bahan limbah

Sumber: Data diolah dari Soni Mohson Sosialisasi Penyuluhan Mangrove Information Center

2010

Dari semua fungsi hutan mangrove, yang paling menonjol dan sulit tergantikan

oleh ekosistem lain adalah fungsi ekologi sebagai mata rantai penghubung

kehidupan ekosistem laut dan ekosistem daratan. Hutan mangrove menghasilkan

bahan pelapukan (serasah) yang menjadi sumber makanan penting bagi udang,

kepiting, zooplankton, inveterbrata kecil dan hewan pemakan pelapukan lainnya.

Jenis – jenis hewan tersebut kemudian menjadi sumber makanan bagi hewan

pemakan daging, baik di daratan maupun lautan.

Oleh karena itu, hutan mangrove dapat menjadi tempat pembenihan alami

berbagai jenis ikan dan biota laut. Tanpa merusak keberadaan hutan mangrove,

kebutuhan penduduk untuk memperoleh ikan sebenarnya dapat tercukupi, namun

hal itu terjadi ketika hutan mangrove berada dalam kondisi baik. Bertolak dari

fungsi ekologis hutan mangrove, sudah seharusnya budidaya hutan mangrove

dilakukan. Selain itu, hutan mangrove juga berpotensi dikelola sebagai ekowisata

pesisir yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi, sehingga penduduk

wilayah pesisir dapan mendapatkan keuntungannya.

Namun hingga saat ini sebagian besar masyarakat lebih memilih mengkonversi

hutan mangrove menjadi areal tambak perikanan, karena dianggap dapat

menghasilkan keuntungan ekonomi lebih instan dan lebih besar untuk diperoleh

dalam waktu dekat daripada jika mangrove dibudidayakan.

7

Berdasarkan hasil inventarisasi Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan

Perhutanan Sosial pada tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia adalah

sekitar 8,6 juta hektar. Pada tahun 2006, luas hutan mangrove mengalami

pengurangan, menjadi sekitar 6,8 juta hektar (Ditjen RLPS). Adapun data luas dan

sebaran hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2006 dapat dilihat pada tabel 1.4

di bawah ini.

Tabel 1.4 Luas dan sebaran lahan bervegetasi mangrove di Indonesia

No ProvinsiKondisi Baik

(Ha)

Kondisi

Kerusakan

Sedang (Ha)

Kondisi

Rusak (Ha)Luas Total (Ha)

1. NAD 43.670 218.257 160.876 422.703

2. SUMUT 35.995,83 47.645,41 280.939,71 364.581,15

3. RIAU 4.298,85 123.869,52 133.116,96 261.285,33

4. KEPRI 6.772,59 25.446,33 146.198,63 178.417,55

5. JAMBI 35.450,93 16.919,95 196,00 52.566,88

6. SUMBAR - - - 61.534,00

7. SUMSEL 208.387,69 350.184,42 1.134.540,0 1.693.112,11

8. BABEL 69.224,84 87.238,69 117.229,29 273.692,82

9. BENGKULU - - - -

10. LAMPUNG 639.936 140.108 86.105 866.149

11. BANTEN 71,95 1.108,53 0 1.180,48

12. DKI 220,84 39,09 0 259,93

13. JABAR 239,96 1.412,82 742,08 13.883,20

14. JATENG 544,00 4.039 46.107 50.690

15. JATIM 10.531,87 84.290,01 177.408,42 272.230,30

16. BALI 1.760,6 201,5 253,4 2.215,5

17. NTB 8.471,95 8.128,07 1.756,86 18.356,88

18. NTT 10.839,10 21.971,89 7.829,86 40.640,85

19. SULUT 9.863,62 7.621,58 14.800,66 32.384,49

20. GORONTALO 6.769,43 7.857,65 18.307,54 32.934,62

8

No ProvinsiKondisi Baik

(Ha)

Kondisi

Kerusakan

Sedang (Ha)

Kondisi

Rusak (Ha)Luas Total (Ha)

21. SULTENG 9.338,86 6.633,21 13.649,49 29.621,56

22. SULBAR 0 1.570,0 1.430,0 3.000,00

23. SULSEL 5.238 5.248 18.492 28.978

24. SULTRA 50.640,76 21.723,55 1.984,49 74.348,82

25. KALSEL 10.124,00 78.778,00 27.922,00 116.824,00

26. KALTENG 2.258,560 0 28.239,15 30.497,71

27. KALBAR 162.222,33 10.949,00 169.428,79 342.600,12

28. KALTIM 225.105 328.696 329.578 883.379

29. MALUKU 12.228,0 115.807,0 0 128.035,00

30. MALUKU UTARA 16.373,0 24.198,0 3.316,0 43.887,00

31. PAPUA BARAT 319.557 104.189 6.858 430.604

32. PAPUA 832.855 169.741 5.221 1.007.817

Total 2.098.954,58 1.873.764,526 2.846.421,329 6.892.261,595

Sumber : Ditjen RLPS 2006

Cara pandang terhadap hutan mangrove yang masih sebatas mengutamakan

kemanfaatan ekonomi jangka pendek tanpa memperhatikan efek jangka

panjang/kelestariannya menjadi salah satu faktor pendorong kerusakan/hilangnya

hutan mangrove di Indonesia. Apabila harga udang melonjak di pasaran

internasional, maka hutan mangrove akan dipandang sebagai lahan potensial

untuk dikonversi menjadi tambak udang dengan jumlah besar. Ketika harga arang

cukup menarik di pasaran, maka kegiatan membuat arang dianggap dapat

menyerap tenaga kerja dan menambah pendapatan nelayan, maka perhitungan

ekonomi jangka pendek akan memberi justifikasi bagi pengolahan hutan

mangrove untuk arang. Adapun gambaran konversi hutan mangrove menjadi area

tambak dapat dilihat pada gambar 1.1 di bawah ini.

9

Sumber: Wetlands International

Gambar 1.1 Konversi hutan mangrove menjadi areal tambak.

Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Indonesia salah satunya berada di

Kabupaten Karawang. Pesisir Kabupaten Karawang terletak di bagian utara

Provinsi Jawa Barat dan memiliki hutan mangrove yang tersebar di sembilan

kecamatan, yaitu Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Cibuaya, Pedes,

Cilembar, Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan. Namun sebaran

hutan mangrove yang terbesar berada di Kecamatan Tirtajaya, Cibuaya, Cilebar

dan Cilamaya, sedangkan di kecamatan-kecamatan lainnya hanya bersifat

setempat dengan jumlah pohon yang hanya tinggal beberapa batang saja.

Pengelolaan hutan mangrove di Kabupaten Karawang dibagi menjadi dua

kawasan, yaitu hutan mangrove yang berada dikawasan hutan dan hutan

mangrove yang berada diluar kawasan hutan. Menurut Undang-Undang No 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, tumbuhan mangrove yang berada dikawasan

hutan dikelola oleh Kementrian Kehutanan sebagai hutan lindung dan hutan

konservasi, sementara mangrove yang berada diluar kawasan hutan

pengelolaannya diserahkan pada pemerintah daerah sebagai daerah produksi, yang

sebagian besar dipergunakan untuk area pertambakan.

10

Adanya dorongan peningkatan produksi perikanan oleh Dinas Kelautan dan

Perikanan mendorong konversi areal hutan mangrove menjadi pertambakan terus

berlangsung hingga saat ini. Peningkatan produksi perikanan tersebut menjadi

target setiap tahunnya, karena sekitar 26% dari total Produk Domestik Bruto

(Gross National Product/GDP) Indonesia berasal dari kegiatan di wilayah pesisir

dan laut, yang didalamnya terdapat hasil perikanan tambak pada lahan mangrove.

Adapun potensi hutan mangrove di Kabupaten Karawang dapat dilihat pada tabel

1.5 di bawah ini.

Tabel 1.5 Potensi hutan mangrove di Kabupaten Karawang

11

Sumber : Karawang Dalam Angka 2011

Sebagai salah satu komponen ekosistem wilayah pesisir, hutan mangrove

memiliki korelasi yang tinggi dengan komponen ekosistem lainnya. Kerusakan

hutan mangrove secara langsung akan berpengaruh terhadap keseimbangan

ekosistem keseluruhan. Lebih jauh lagi, kerusakan hutan mangrove akan

mengancam keselamatan penduduk di wilayah pesisir Karawang, sehingga proses

pembangunan di wilayah pesisir Kabupaten Karawang dapat terhambat.

Oleh karena itu, pemanfaatan hutan mangrove dengan cara budidaya menjadi

suatu langkah bijaksana dalam upaya melestarikan hutan mangrove untuk masa

yang akan datang, sehingga pada akhirnya keuntungan yang dihasilkan dari hutan

mangrove dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara berkelanjutan.

I.2 Rumusan Masalah

12

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas dapat diamati bahwa

hutan mangrove memiliki fungsi yang penting didalam konteks pembangunan

wilayah pesisir dan laut, maka keberadaannya harus dijaga dan dilestarikan.

Hampir seluruh hutan mangrove yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten

Karawang dikonversi untuk keperluan tambak. Hal tersebut dilakukan karena

keuntungan ekonomi jangka pendek yang diperoleh sangat besar dan lebih instan.

Secara tidak langsung, konversi hutan mangrove menjadi areal pertambakan telah

menutup akses generasi yang akan datang dalam memperoleh keuntungan dari

wilayah pesisir khususnya hutan mangrove.

Padahal Provinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah No.6 Tahun

2011 tentang Pengurusan Hutan Mangrove dan Hutan Pantai, yang menyebutkan

bahwa hutan mangrove sebagai penyangga kehidupan harus diurus dan dikelola,

dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan

masyarakat generasi saat ini dan masa yang akan datang. Namun diduga peraturan

daerah tersebut belum dijalankan dengan baik, karena terbukti pengrusakan hutan

mangrove di Kabupaten karawang saat ini masih terjadi.

Menurut Kepala Bidang Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)

Kabupaten Karawang Durohim Suarli, yang dikutip dalam Republika edisi 08

Februari 2013, menyebutkan bahwa 54 persen hutan mangrove di Kabupaten

Karawang dalam kondisi rusak parah, yaitu sekitar 5.400 ha. Sedangkan

kerusakan relatif sedang mencapai 3.953 ha, kemudian yang kondisinya baik

hanya tersisa 629 ha.

Berbagai tantangan dan hambatan muncul dalam pengelolaan hutan mangrove,

antara lain karena hutan mangrove berada pada lingkungan yang sangat kompleks,

sehingga rentan terhadap berbagai perubahan lingkungan, baik perubahan

lingkungan alamiah, maupun perubahan lingkungan akibat intervensi manusia.

Dalam konteks ini, maka pengelolaan hutan mangrove harus dilakukan dengan

mempertimbangkan keberlanjutannya.

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian

dapat dirumuskan sebagai berikut.

13

1. Bagaimana dampak kerusakan hutan mangrove saat ini terhadap lima

komponen pembangunan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Karawang.

2. Bagaimana prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis

pembudidayaan mangrove di Kabupaten Karawang.

3. Bagaimana model matriks korelasi pembangunan wilayah pesisir yang

berkelanjutan berbasis pembudidayaan mangrove di Kabupaten Karawang.

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk;

1. Mengidentifikasi dampak kerusakan hutan mangrove saat ini terhadap

lima komponen pembangunan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten

Karawang.

2. Mengidentifikasi prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir

berbasis pembudidayaan mangrove di Kabupaten Karawang.

3. Memformulasikan model matriks korelasi pembangunan wilayah pesisir

secara terpadu di Kabupaten Karawang berbasis pembudidayaan

mangrove.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan kontribusi pustaka kepada pemerintah daerah Kabupaten

Karawang dalam meminimalisir kerusakan hutan mangrove dengan cara

pembudidayaan mangrove.

2. Memberikan kritik yang membangun dan saran bagi perencanaan,

pelaksanaan atau pengembangan dalam pembangunan wilayah pesisir dan

laut secara terpadu dalam perspektif pembangunan berkelanjutan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

14

Lokasi penelitian ini secara administratif terletak di Kabupaten Karawang, yang

meliputi delapan Kecamatan di wilayah pesisir yang ditumbuhi pohon mangrove,

yaitu Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Cibuaya, Cilebar, Tempuran,

Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan. Namun, sebaran hutan mangrove yang

terbesar berada di Kecamatan Tirtajaya, Cibuaya, Batujaya dan Pakisjaya. Untuk

lebih jelasnya mengenai ruang lingkup wilayah dapat dilihat pada gambar1.2 di

bawah.

Sedangkan, ruang lingkup substansi dalam penelitian ini akan dibahas mengenai

bagaimana pengaruh kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Karawang terhadap

komponen-komponen utama sistem pembangunan wilayah pesisir dalam

perspektif pembangunan berkelanjutan. Data yang diperlukan adalah peta

informasi geospasial, renstra pesisir, serta data primer berupa wawancara dengan

instansi yang mengelola hutan mangrove, yakni Dinas Kehutanan Provinsi Jawa

Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, BPLHD Provinsi Jawa

barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang, Ditjen KP3K

Departemen Kelautan dan Perikanan, Perum Perhutani KPH Purwakarta.

Kemudian mengidentifikasi mengenai perubahan, kompleksitas, ketidakpastian

dan konflik yang muncul dalam pembudidayaan hutan mangrove, sehingga

prospek dan kendala dapat tergambarkan.

15

Sumber : Hasil olahan dari Bappeda Kabupaten Karawang

Gambar 1.2 Peta Kabupaten Karawang

I.6 Metodologi Penelitian

16

Metode dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahapan kegiatan utama, yaitu :

1. Studi pendahuluan tentang indikator-indikator pembangunan wilayah

pesisir, konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut dalam perspektif

pembangunan berkelanjutan, perbandingan konsep pembangunan

konvensional yang diduga masih dijalankan di Kabupaten Karawang

dengan Konsep pembangunan berkelanjutan, potensi dan pemanfaatan

sumber daya pesisir dan laut, fungsi hutan mangrove sebagai ekosistem

wilayah pesisir, Tahapan tersebut terdapat pada Bab II dan Bab III.

2. Identifikasi dan analisis tentang prospek dan kendala pembudidayaan

hutan mangrove di Kabupaten Karawang melalui data-data yang diperoleh

baik dalam bentuk data primer maupun sekunder. Kemudian tahap

rekomendasi kebijakan dapat dibuat setelah tahap analisis selesai dibuat.

Kebijakan budidaya untuk menanggulangi masalah kerusakan hutan

mangrove dan meminimalisir dampaknya terhadap masyarakat sekitar

pantai maupun pada sistem pembangunan wilayah pesisir dan laut. Tahap

ini terdapat pada Bab IV dan Bab V.

3. Berdasarkan pembahasan pada tahap (2), dapat dibuat suatu kesimpulan

dan saran.

Data yang digunakan dalam menganalisis berasal dari survei primer dan survei

sekunder. Survei data primer diperoleh secara langsung dari lapangan dengan

menggunakan teknik wawancara dan observasi. Sedangkan survei data primer

diperoleh dari jurnal, buku, laporan-laporan yang diperoleh dari instansi-instansi

pemerintah terkait dengan pengelolaan hutan mangrove, perpustakaan dan

lainnya.

Setelah menganalisis prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis

pembudidayaan hutan mangrove. Kemudian dibuat matriks korelasi tentang kaitan

lima komponen wilayah pesisir dan laut dengan kerusakan hutan mangrove yang

terjadi, sehingga dapat dirumuskan model pembangunan berkelanjutan

berbasiskan pembudidayaan mangrove dengan mengacu kepada prospek dan

kendala yang ada. Adapun penjelasan dalam bentuk visualisasi skematik dapat

dilihat pada gambar 1.3 di bawah ini.

17

Gambar 1.3 Visualisasi Skematik Alur Pikir Penelitian

18

I.7 Sistematika Penulisan

Hasil dari penelitian tesis ini akan disusun dengan sistematika yang akan

dijabarkan dalam bab penulisan sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini memberikan gambaran mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan, sasaran, dan manfaat penelitian, metode penelitian serta

ruang lingkup penelitian.

Bab II Konsep Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut

Bab ini berisi mengenai perbandingan Konsep pembangunan wilayah pesisir

dan laut dalam perspektif pembangunan berkelanjutan dengan

Pembangunan Konvensional yang masih Dijalanjan saat ini, Identifikasi

Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, komponen-kompoen dalam Sistem

pembangunan wilayah pesisir dan laut, Keterkaitan antara komponen-

komponen sistem pembangunan wilayah pesisir dan laut dengan kerusakan

hutan mangrove.

Bab III Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut

Bab ini berisi identifikasi potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh

masyarakat maupun wilayah di Kabupaten Karawang yang mempunyai

peluang dapat dikembangkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan

berbasis budidaya hutan mangrove.

Bab IV Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut di Kabupaten Karawang

Bab ini berisi profil wilayah penelitian, kebijakan pembangunan wilayah

pesisir dan laut Kabupaten Karawang, kondisi eksisting komponen-

komponen sistem pembangunan pesisir dan laut yang terdiri ekonomi,

sosial, budaya, hukum, kewilayahan, ekosistem, Daerah aliran sungai,

oseanografi, estuary, dan pantai. Serta menelaah Kebijakan-Kebijakan

terkait hutan mangrove.

Bab V Prospek dan Kendala Pembudidayaan Mangrove dalam Perspektif

Pembangunan Berkelanjutan di Kabupaten Karawang

19

Pada bab ini akan dibahas analisis matriks korelasi dampak kerusakan

hutan mangrove terhadap lima komponen pembentuk pembangunan

wilayah pesisir dan laut secara terpadu.

Bab VI Penutup

Bab ini berisi mengenai kesimpulan dari pembahasan-pembahasan

sebelumnya serta saran-saran mengenai hasil penelitian.

20