prosiding2010-3.4_

8
EFISIENSI PENGGUNAAN PENGGORENG HAMPA DALAM MENEKAN PEMBENTUKAN AKRILAMIDA PADA PRODUK MAKANAN YANG DIGORENG Nurdi Setyawan, Widaningrum, Kun Tanti Dewandari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian ABSTRAK Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil amida) adalah salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan pewarna. Akrilamida dipercaya dapat menyebabkan penyakit kanker pada sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus tiap tahun di Swedia. Hasil penelitian terhadap hewan uji, akrilamida terbukti menyebabkan kanker. Berdasarkan studi hewan coba, akrilamida diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan sel-sel saraf dan gangguan reproduksi pada hewan coba serta pemberian akrilamida dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumor. Gangguan kesehatan yang disebabkan akrilamida terjadi karena dampak genotoksik dan karsinogeniknya. Akrilamida dapat ditemukan dalam berbagai makanan yang dipanggang dalam tanur atau digoreng. Pembentukan akrilamida akibat pemanasan pada suhu tinggi terdapat pada makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti keripik kentang, kentang goreng, pop corn, sereal, dan biskuit. Akrilamida tidak ditemukan pada makanan dengan pemanasan pada suhu di bawah 120°C. Teknologi penggorengan hampa memungkinkan proses penggorengan pada suhu di bawah 120°C karena penurunan titik didih air. Proses perubahan fase dari air menjadi uap terjadi lebih cepat pada tekanan rendah daripada tekanan tinggi pada suhu yang sama. Air yang berada pada ruang bertekanan rendah dapat mendidih pada suhu rendah. Penurunan tekanan diperoleh dengan cara mengeluarkan udara dari ruang penggorengan dengan menggunakan suatu pompa vakum. Penurunan tekanan dapat mengurangi kerusakan akibat panas selama penggorengan. Pada tekanan atmosfir, titik didih air 100 o C dan titik didih minyak 120 200 o C, dengan penurunan tekanan maka titik didih air akan turun di bawah 100 o C, sehingga memungkinkan proses penggorengan berlangsung pada suhu kurang dari 100 o C. Teknologi penggorengan hampa berpotensi pada pengolahan makanan berbasis produk hortikultura seperti keripik sayuran dan keripik buah-buahan. Kata kunci : penggorengan hampa, akrilamida, produk makanan AKRILAMIDA Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil amida) adalah salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan pewarna (Anonim 1994; 1985). Rumus molekul akrilamida adalah C3H5NO dengan bobot molekul : 71,08 dan kelarutan dalam g/100 ml pelarut pada suhu 30°C : air 215,5; aseton 63,1; benzen 0,346; etanol 66,2; kloroform 2,66; metanol 15,5; nheptan 0,0068. Titik lebur : 84,5°C; titik didih : 87°C (2 mmHg), 105°C (5mmHg), 125°C (25 mmHg); tekanan penguapan: 0,009 kPa (25°C); 0,004 kPa (40°C); dan 0,09 kPa (50°C) (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976). Struktur kimia akrilamida ditunjukkan pada Gambar 1.

Upload: adam-maulana

Post on 20-Oct-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hh

TRANSCRIPT

Page 1: prosiding2010-3.4_

EFISIENSI PENGGUNAAN PENGGORENG HAMPA DALAM MENEKAN PEMBENTUKAN AKRILAMIDA PADA PRODUK MAKANAN YANG DIGORENG

Nurdi Setyawan, Widaningrum, Kun Tanti Dewandari

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

ABSTRAK

Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil amida) adalah

salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan pewarna. Akrilamida

dipercaya dapat menyebabkan penyakit kanker pada sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus tiap tahun di Swedia.

Hasil penelitian terhadap hewan uji, akrilamida terbukti menyebabkan kanker. Berdasarkan studi hewan coba,

akrilamida diketahui berpotensi menyebabkan kerusakan sel-sel saraf dan gangguan reproduksi pada hewan coba

serta pemberian akrilamida dalam jangka panjang dapat menyebabkan tumor. Gangguan kesehatan yang

disebabkan akrilamida terjadi karena dampak genotoksik dan karsinogeniknya. Akrilamida dapat ditemukan dalam

berbagai makanan yang dipanggang dalam tanur atau digoreng. Pembentukan akrilamida akibat pemanasan pada

suhu tinggi terdapat pada makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi seperti keripik kentang, kentang goreng,

pop corn, sereal, dan biskuit. Akrilamida tidak ditemukan pada makanan dengan pemanasan pada suhu di bawah

120°C. Teknologi penggorengan hampa memungkinkan proses penggorengan pada suhu di bawah 120°C karena

penurunan titik didih air. Proses perubahan fase dari air menjadi uap terjadi lebih cepat pada tekanan rendah

daripada tekanan tinggi pada suhu yang sama. Air yang berada pada ruang bertekanan rendah dapat mendidih pada

suhu rendah. Penurunan tekanan diperoleh dengan cara mengeluarkan udara dari ruang penggorengan dengan

menggunakan suatu pompa vakum. Penurunan tekanan dapat mengurangi kerusakan akibat panas selama

penggorengan. Pada tekanan atmosfir, titik didih air 100oC dan titik didih minyak 120 – 200

oC, dengan penurunan

tekanan maka titik didih air akan turun di bawah 100oC, sehingga memungkinkan proses penggorengan berlangsung

pada suhu kurang dari 100oC. Teknologi penggorengan hampa berpotensi pada pengolahan makanan berbasis

produk hortikultura seperti keripik sayuran dan keripik buah-buahan.

Kata kunci : penggorengan hampa, akrilamida, produk makanan

AKRILAMIDA

Akrilamida (2-Propenamida, etilen karboksiamida, akrilik amida, asam propeonik amida, vinil

amida) adalah salah satu bahan organik yang biasa digunakan untuk memproduksi plastik dan bahan

pewarna (Anonim 1994; 1985). Rumus molekul akrilamida adalah C3H5NO dengan bobot molekul :

71,08 dan kelarutan dalam g/100 ml pelarut pada suhu 30°C : air 215,5; aseton 63,1; benzen 0,346;

etanol 66,2; kloroform 2,66; metanol 15,5; nheptan 0,0068. Titik lebur : 84,5°C; titik didih : 87°C (2

mmHg), 105°C (5mmHg), 125°C (25 mmHg); tekanan penguapan: 0,009 kPa (25°C); 0,004 kPa (40°C);

dan 0,09 kPa (50°C) (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976). Struktur kimia akrilamida ditunjukkan pada

Gambar 1.

Page 2: prosiding2010-3.4_

Gambar 1. Struktur kimia akrilamida

Zat ini juga biasa digunakan untuk menjernihkan air minum. Sejak tahun 1950, akrilamida

diproduksi dengan cara hidrasi akrilonitril dan terdapat dalam bentuk monomer sedang poliakrilamida ada

dalam bentuk polimer (Anonim 1994; 1985). Secara fisikokimia, akrilamida merupakan senyawa kimia

berwarna putih, tidak berbau, berbentuk kristal padat yang sangat mudah larut dalam air dan mudah

bereaksi melalui reaksi amida atau ikatan rangkapnya. Monomernya cepat berpolimerisasi pada titik

leburnya atau di bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam larutan bersifat stabil pada suhu kamar dan

tidak berpolimerisasi secara spontan. (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976).

Pada umumnya, akrilamida yang terdapat di alam adalah buatan manusia, berasal dari residu

monomer yang dilepaskan dari poliakrilamida untuk perawatan air minum karena tidak seluruh akrilamida

terkoagulasi dan tetap berada di air sebagai pencemar. Akrilamida terdistribusi dengan baik dalam air

karena kelarutannya yang tinggi dalam air. Akrilamida dapat menetap hingga berhari-hari, berminggu-

minggu, bahkan berbulan-bulan di daerah sungai atau pesisir pantai dengan aktivitas mikroba yang

rendah. Kecil kemungkinannya terakumulasi pada ikan (Anonim 1985; FDA 2004; Anonim 1976).

Absorbsi dari akrilamida melalui saluran pernafasan, saluran cerna, dan kulit. Pada

pendistribusiannya, akrilamida terdapat dalam kompartemen sistem tubuh dan dapat menembus selaput

plasenta. Pada urin tikus, telah ditemukan metabolit, seperti asam merkapturat dan sistein-s-

propionamida. Glisidamida, merupakan metabolit utama dari akrilamida, yaitu epoksida yang lebih

dicurigai dapat menyebabkan penyakit kanker dan bersifat genotoksik pada hewan coba daripada

akrilamida. Akrilamida dan metabolitnya terakumulasi dalam sistem saraf dan darah. Akrilamida dicurigai

lebih bersifat neurotoksik

dibandingkan dengan glisidamida. Pada ginjal, hati dan sistem reproduksi pria juga terjadi

akumulasi. Berdasarkan percobaan pada hewan, akrilamida diekskresikan dalam jumlah besar melalui

urin dan empedu sebagai metabolitnya. Diketahui terdapat akrilamida dalam air susu tikus yang sedang

menyusui. Data-data farmakokinetika akrilamida pada manusia masih sedikit, namun antara manusia dan

hewan mamalia belum terdapat data yang dengan pasti menunjukkan perbedaan dari keduanya (Anonim

1985; FDA 2004; Anonim 2002; Friedman 2003).

PEMBENTUKAN AKRILAMIDA DALAM MAKANAN

Asparagin yaitu asam amino utama yang mempunyai struktur mirip dengan akrilamida, dan diduga

senyawa tersebut yang paling berperan dalam pembentukan akrilamida. Hasil penelitian yang sama juga

ditemukan oleh pemerintah Kanada dan pabrik Procter and Gamble Co. Keduanya sama-sama

mencurigai adanya hubungan antara asparagin dengan pencetus kanker (Friedman 2003).

Akrilamida ditemukan pada beberapa makanan tertentu yang dalam proses dan pembuatannya

menggunakan suhu tinggi, dengan meningkatnya pemanasan dan bertambahnya waktu, dapat

meningkatkan kadar akrilamida. Akrilamida tidak terbentuk pada suhu di bawah 120°C. Peneliti Swedia

mendapatkan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida yang sangat besar pada makanan yang digoreng

(keripik kentang, median 1.200 μg/kg; kentang goreng 450 μg/kg), dan makanan yang dipanggang

(sereal dan roti 100-200 μg/kg) (Anonim 1985; FDA 2004; Harahap 2005).

Page 3: prosiding2010-3.4_

Mekanisme terbentuknya belum dapat diketahui dengan pasti, diperkirakan meliputi reaksi dari

berbagai macam kandungan dalam makanan, seperti karbohidrat, lemak, protein dan asam amino, serta

berbagai macam komponen lainnya dalam jumlah yang kecil. Mekanisme pembentukan akrilamida yang

mungkin dan telah dikemukakan oleh peneliti antara lain (Anonim 2002; Kendall P 2005):

1. Terbentuk dari akrolein atau asam akrilat hasil degradasi karbohidrat, lemak, atau asam

amino bebas, seperti alanin, asparagin, glutamin, dan metionin yang memiliki stuktur mirip

dengan akrilamida.

2. Terbentuk langsung dari asam amino.

3. Terbentuk dari dehidrasi atau dekarboksilasi beberapa asam organik tertentu seperti

asam laktat, asam malat, dan asam sitrat.

Studi sistematik tentang pembentukan akrilamida belum dapat dipastikan, kemungkinan terbesar

melalui reaksi campuran. Studi juga dipersulit dengan sifat dari akrilamida yang mudah menguap dan

mudah bereaksi sehingga dapat hilang setelah terbentuk. Akrilamida dianggap reaksi samping dari reaksi

Maillard, yakni reaksi yang berlangsung antara asam amino dengan gula pereduksi (glukosa, fruktosa,

ribosa, dan lain-lain) atau sumber karbonil lainnya. Asparagin, merupakan asam amino dalam makanan

yang bereaksi dengan gula pada suhu tinggi (Anonim 2002; Kendall P 2005).

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada populasi umum, rata-rata asupan

akrilamida melalui makanan berada pada rentang 0,3–0,8 μg/kg BB/hari. Uni Eropa dan WHO

menetapkan standar maksimum akrilamida pada air minum 0,5 μg/liter. Pada kadar itu, saluran

pencernaan mampu menyerap dan mengeluarkannya dari tubuh melalui urin dalam beberapa jam

kemudian. Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1992 dan WHO pada tahun 1985 telah

membatasi kadar akrilamida dalam air minum sebesar 0,5 μg/liter (ppb). Office of Environmental Health

Hazard Assesment (OEAHHA), salah satu divisi EPA yang berlokasi di California, Amerika Serikat telah

menetapkan bahwa 0,2 μg/hari akrilamida tidak bersifat sebagai agen pencetus kanker. (Anonim 1985;

FDA 2004). Dosis tinggi akrilamida pernah dilakukan uji toksisitas. Hasil yang diperoleh adalah dosis

antara 800-2.700 µg/hari bagi orang dewasa merupakan yang terendah, tapi di sisi lain sudah mampu

meningkatkan mutasi gen pada tikus percobaan (Yusuf 2007).

EFEK AKRILAMIDA PADA MANUSIA DAN HEWAN

Akrilamida bersifat iritan dan toksik. Efek lokal berupa iritasi pada kulit, dan membran mukosa.

Iritasi lokal pada kulit ditunjukkan dengan melepuhnya kulit disertai dengan warna kebiruan pada tangan

dan kaki, efek sistemik berhubungan dengan paralisis susunan saraf pusat, tepi, dan otonom sehingga

dapat terjadi kelelahan, pusing, mengantuk, dan kesulitan dalam mengingat (Anonim 1994; 1985; 2002;

2002).

Berdasarkan uji klinis, ditunjukkan bahwa paparan akut dosis tinggi akrilamida memicu tanda-tanda

dan gejala gangguan saraf pusat, sedangkan paparan akrilamida dalam jangka waktu yang lama dengan

dosis yang lebih kecil dapat memicu gangguan pada sistem saraf tepi. Setelah paparan terhadap

akrilamida dihentikan, gangguan-gangguan tersebut dapat berkurang, tetapi dapat bertahan hingga

berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002).

Akrilamida meningkatkan kemungkinan terjadinya tumor paru-paru pada tikus. Akrilamida dapat

meningkatkan timbulnya tumor kelenjar payudara pada tikus betina. Pada tikus jantan dapat memicu

degenerasi tubulus seminiferus dan aberasi kromosom spermatosit serta menurunkan kadar testoteron

dan prolaktin. Dengan pemberian secara oral, topikal, dan intraperitonial akrilamida dapat memicu kanker

Page 4: prosiding2010-3.4_

kulit (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa pada hewan uji akrilamida

dapat mengganggu tingkat kesuburan, dan mengakibatkan keguguran (Yusuf 2007).

Akrilamida memiliki suatu sistem jenuh elektrofil yang dapat bereaksi dengan pusat nukleofil.

Gugus protein dan asam amino menjadi target reaksi utama karena mempunyai pusat nukleofil.

Pengikatan akrilamida dengan protein pada hemoglobin, menjadi penyebab aksi toksisitas pada jaringan

tersebut (Harahap 2006).

Akrilamida, dimasukkan dalam kategori grup 2A yaitu senyawa yang hampir dipastikan

menyebabkan kanker pada manusia (karsinogenik). Hal tersebut dikarenakan jumlah peserta yang

diikutsertakan dalam penelitian masih belum memadai untuk suatu uji epidemiologik. Berdasarkan data

yang ada, belum ada data epidemiologik yang menunjukkan bahwa paparan akrilamida dapat

menyebabkan kanker. (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002). Di Swedia, akrilamida diyakini dapat

menyebabkan penyakit kanker pada sekitar 2% (100-700 dari 45.000) kasus tiap tahun. Gangguan

kesehatan yang disebabkan akrilamida terjadi karena dampak genotoksik dan karsinogeniknya (Anonim

1997; FDA 2004).

TEKNOLOGI PENGGORENGAN

Secara proses, penggorengan mempunyai kemiripan dengan pengeringan. Perbedaan mendasar

antar penggorengan dan pengeringan adalah dalam medium pemanas yang digunakan. Penggorengan

menggunakan minyak goreng, sedangkan pengeringan umumnya menggunakan udara panas.

Berdasarkan pada suhu suhu minyak goreng, proses penggorengan dibedakan menjadi dua, yakni (i)

penggorengan dengan suhu rendah (suhu 130-170°C) dan (ii) penggorengan dengan suhu tinggi (suhu

180-200°C).

Metode penggorengan suhu rendah biasanya dilakukan dengan teknik shallow frying. Teknik ini

digunakan untuk penggorengan produk dengan permukaan luas dan tidak memerlukan pemanasan yang

intensif. Umumnya teknik ini banyak dilakukan di rumah tangga. Variasi teknik penggorengan dengan

prinsip shallow frying ini adalah saute frying (menumis), yaitu teknik menggoreng produk pangan dengan

sedikit minyak/lemak dan dilakukan pengadukan terus menerus. Dengan teknik shallow frying proses

pindah panas umumnya terjadi secara konduksi dari permukaan panas menembus lapisan minyak dan

langsung ke bahan dalam satu arah. Pada penggorengan shallow frying, lapisan minyak umumnya tidak

terlalu tebal, dengan ketebalan bervariasi tergantung pada ketidakteraturan permukaan.

Metode penggorengan suhu tinggi lebih populer dengan istilah deep fat frying. Sebagaimana

namanya, proses ini dilakukan dengan cara merendamkan produk pangan pada minyak goreng bersuhu

tinggi, dimana bahan menerima panas dari seluruh permukaan bahan, sehingga menghasilkan warna

dan penampakan yang seragam. Deep fat frying cocok untuk semua bahan pangan, dan banyak

digunakan di industri makanan ringan, industri mi instan, nugget, dan lain-lain.

Proses pindah panas dalam penggorengan bahan pangan akan terjadi dari logam panas ke minyak

dan akhirnya ke bahan yang digoreng, sehingga suhu permukaan bahan akan meningkat secara cepat

dan akhirnya akan terjadi penguapan air. Uap air akan mengalami pindah massa ke minyak dan akhirnya

ke udara. Dalam pengamatan praktis, terjadinya pindah massa uap air ini terlihat sebagai proses

mendidih dimana terjadi gelembung-gelembung uap air keluar dari minyak (bubbling). Proses bubbling ini

identik dengan proses pengeringan, dimana proses ini terjadi pada titik didih air (100°C pada tekanan

atmosfir). Selama proses bubbling masih terjadi, maka suhu produk masih berkisar pada suhu 100°C.

Proses penggorengan dibagi menjadi 4 tahapan proses, yaitu (1) proses pemanasan awal, (2)

proses evaporasi (pendidihan air, khususnya dipermukaan); (3) proses evaporasi dengan laju menurun

Page 5: prosiding2010-3.4_

(falling rate), karena di permukaan telah terbentuk kerak yang menghalangi proses pindah massa uap air;

dan (4) berakhirnya proses evaporasi (bubble endpoint).

Terjadinya tahap-tahap proses penggorengan ini berbeda-beda untuk masing-masing produk.

Untuk produk yang basah, pada tahap ke-2 (proses evaporasi) akan berlangsung lebih lama

dibandingkan yang terjadi pada produk kering. Pada tekanan atmosfir maka proses evaporasi (bubbling)

ini terjadi pada suhu didih air (100°C). Pada suhu sekitar 100°C inilah air di permukaan bahan mulai

mendidih berubah menjadi uap air dan dimulailah proses pengeringan dengan cara yang mirip dengan

proses pengeringan. Proses penguapan ini menyebabkan bagian permukaan lebih kering daripada

bagian dalam bahan, sehingga terjadilah perpindahan air dari dalam bahan yang masih basah menuju

permukaan.

Bubbling akan berlangsung terus selama masih ada air di permukaan, sampai akhirnya proses

perpindahan air tidak mampu lagi mengimbangi proses penguapan sehingga permukaan menjadi

kehabisan air, sehingga suhu permukaan mulai meningkat lebih besar dari 100°C dan terbentuklah kerak.

Pada kondisi ini laju penguapan mulai menurun memasuki tahap falling rate, suhu permukaan bahan

meningkat, sedangkan suhu internal bahan mulai meningkat mendekati 100°C, dimana pada titik tersebut

proses penguapan terus terjadi. Uap yang terjadi di bagian internal bahan ini akan keluar melewati kerak

yang telah terbentuk di bagian luarnya.

Kerak pada permukaan bahan memiliki struktur rongga dan sistem kapiler-kapiler dengan ukuran

beranekaragam. Selama kapiler tersebut masih bisa dilalui uap air, proses penguapan akan bisa

berlangsung sampai bahan tersebut kering (tidak ada lagi air yang diuapkan). Namun demikian, bisa saja

karena pemanasan terjadi pada suhu tinggi, maka kerak yang terbentuk berupa kerak yang pajal, yang

sulit dilalui oleh uap air. Jika terjadi hal tersebut, maka penguapan akan berhenti dan menghasilkan

produk goreng yang kering (dan keras) di bagian permukaan, tetapi masih basah di bagian dalam.

Hal penting yang juga perlu dikontrol adalah selama rongga-rongga pada produk pangan yang

tadinya diisi oleh air, akan menjadi kosong dan pada saatnya akan diisi oleh minyak goreng panas,

sehingga akan meningkatkan kadar minyak pada produk akhir. Proses ini biasanya terjadi paad bagian

akhir dari siklus penggorengan, khususnya dimulai pada saat akhir tahap falling rate. Jumlah minyak

yang terserap oleh produk tentunya sangat dipengaruhi oleh jenis produk itu sendiri.

Periode waktu yang diperlukan oleh produk untuk melewati tahap-tahap proses penggorengan

tersebut sampai akhirnya mencapai tingkat penggorengan sempurna sangat dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain : (a) bahan (jenis, ukuran, jumlah, kadar air, dan suhu); (b) minyak (jenis, jumlah, dan

suhu); dan (c) tingkat penggorengan yang dikehendaki (warna, tekstur dan karakter lain produk goreng

yang dihasilkan).

Pengaruh suhu penggorengan

Penggorengan bisa dilakukan pada suhu minyak antara 150-200°C, namun di industri jasa boga

penggorengan dilakukan pada suhu 160 -190°C. Suhu penggorengan hendaknya dipilih dengan

mempertimbangkan jenis minyak yang digunakan karakter produk goreng yang dihasilkan. Pada kisaran

suhu penggorengan 160 -190°C kebanyakan produk jenis produk pangan akan mengalami proses

penggorengan dengan cepat dan mampu menghasilkan produk dengan warna kuning keemasan yang

menarik, tekstur yang crispy, dan kualitas flavor yang baik, dengan jumlah absorpsi minyak sekitar 8-25%

(tergantung dari karakteristik bahan).

Pemilihan suhu yang berbeda akan dihasilkan produk dengan karakteristik yang berbeda pula.

Penggunaan suhu penggorengan yang lebih rendah akan menyebabkan waktu penggorengan semakin

lama, warna produk semakin terang, flavor khas produk goreng kurang terbentuk dan minyak yang

Page 6: prosiding2010-3.4_

diabsorbsi akan lebih banyak. Sebaliknya, penggunaan suhu yang lebih tinggi akan memberikan

kecenderungan yang sebaliknya, yaitu waktu penggorengan lebih cepat, warna lebih gosong, cenderung

terbentuk flavor gosong (over cooked) dan penyerapan minyak yang lebih rendah. Namun penggunaan

suhu minyak yang terlalu tinggi bisa menyebabkan proses pembentukan kerak goreng (crust) secara

lebih cepat, proses pindah massa terhambat, proses bubbling segera terhenti, sehingga menghasilkan

produk yang keras dan gosong di permukaan tetapi basah bahkan mungkin mentah (under cooked) di

bagian dalamnya. Ilustrasi ini menunjukkan betapa pentingnya pemilihan suhu penggorengan yang tepat

untuk menghasilakn karakteristik produk yang tepat pula.

Jika diperlukan, proses penggorengan bisa dilakukan secara bertahap. Bahan digoreng pada suhu

rendah terlebih dulu dan kemudian digoreng pada suhu yang lebih tinggi. Penggorengan bertahap bisa

dilakukan secara batch dengan dua jenis penggorengan, bisa pula dilakukan secara kontinyu dengan

menggunakan multi-zone fryer. Penggorengan pada suhu rendah terlebih dulu dimaksudkan agar proses

penguapan air terjadi di bagian dalam bahan dan uap air mudah keluar dari bahan sebelum terbentuk

kerak yang akan menghambat laju pindah massa uap air. Dengan demikian akan dihasilkan produk

dengan bagian dalam yang lebih kering. Selanjutnya dilakukan penggorengan pada suhu yang lebih

tinggi untuk memperoleh tekstur, warna permukaan dan flavor yang dikehendaki.

Pengaruh tekanan

Pada umumnya proses penggorengan dilakukan pada kondisi terbuka yang berarti proses

pemanasan terjadi pada tekanan atmosfir. Proses penggorengan bisa juga dilakukan dengan pengaturan

tekanan, baik dengan menggunakan tekanan tinggi maupun tekanan vakum. Pengaturan tekanan akan

secara langsung berpengaruh pada proses evaporasi. Semakin tinggi tekanan yang diberikan maka

proses evaporasi akan berlangsung pada suhu yang lebih tinggi. Sebaliknya proses penggorengan pada

kondisi vakum akan menyebabkan proses evaporasi berlangsung pada suhu rendah.

PELUANG TEKNOLOGI PENGGORENGAN VAKUM UNTUK MENEKAN PEMBENTUKAN

AKRILAMIDA

Penurunan tekanan akan menyebabkan penurunan suhu evaporasi. Pada tekanan vakum sekitar 3

kPa, misalnya air akan mempunyai titik didih pada sekitar suhu 25°C. Pada proses penggorengan vakum,

suhu evaporasi ini tentunya sedikit di atas 25°C karena pengaruh padatan pada produk. Jika produk yang

digoreng tersebut telah berada pada suhu sekitar 25°C pula, maka produk tersebut tidak memerlukan

waktu yang panjang untuk memulai proses evaporasi (pengeringan), dan karena hal ini terjadi pada suhu

rendah maka proses-proses pengerakan (crust formation) belum dimulai. Pembentukan kerak biasanya

dimulai ketika mulai terjadi proses-proses gelatinisasi pati dan/ atau denaturasi protein, yang umumnya

terjadi pada suhu diatas 80°C dan akan semakin cepat pada suhu yang lebih tinggi.

Karena proses evaporasi terjadi pada suhu lebih rendah maka penggorengan vakum juga bisa

dilakukan pada suhu minyak yang lebih rendah (tekanan vakum akan menyebabkan penurunan titik asap

minyak). Pada tekanan vakum (3-16 kPa atau 0,03-0,16 atm) penggorengan bisa dilakukan pada suhu

minyak sekitar 118-150°C. Menurut Setyawan (2007), suhu penggorengan vakum 80-90°C pada

pengolahan buncis kering dan suhu penggorengan vakum 60-70°C pada pengolahan produk wortel

kering menghasilkan produk yang paling baik.

Dengan sistem penggorengan semacam ini, produk-produk pangan yang rusak dalam

penggorengan (seperti buah-buahan dan sayuran) akan bisa digoreng dengan baik, menghasilkan

Page 7: prosiding2010-3.4_

produk yang kering dan renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti halnya yang

terjadi pada penggorengan biasa. Umumnya, penggorengan dengan tekanan rendah akan menghasilkan

produk dengan tekstur lebih renyak (lebih kering), warna yang lebih menarik. Selain itu, penggorengan

vakum menghasilkan produk dengan kandungan minyak yang lebih sedikit dan lebih parus (lebih ringan)

dan umumnya mempunyai daya rehidrasi yang lebih baik. Secara khusus, penggorengan vakum

berpotensi untuk mengurangi pembentukan akrilamida pada produk goreng, karena akrilamida tidak

terbentuk pada suhu di bawah 120°C.

Hasil penelitian Granda, et.al. (2004) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan penggorengan

tradisional (kondisi Atmosfer), penggorengan vakum mampu mengurangi pembentukan akrilamida dalam

keripik kentang sampai sekitar 94%. Irisan kentang yang digoreng dengan penggorengan vakum suhu

118°C menghasilkan keripik kentang dengan kadar akrilamida rendah, warna kuning keemasan dan

tekstur sesuai yang diinginkan dibandingkan dengan keripik kentang yang digoreng dengan alat

penggoreng tradisional. Kombinasi suhu minyak selama penggorengan juga berpengaruh pada

pembentukan akrilamida secara signifikan pada keripik kentang. Pembentukan akrilamida mengalami

penurunan yang signifikan dalam keripik kentang yang digoreng pada suhu yang diturunkan dari 180°C

sampai 150°C untuk metode tradisional dan 140°C menjadi 118°C pada penggorengan vakum.

Penurunan suhu penggorengan dari 180°C menjadi 165°C mampu mengurangi pembentukan akrilamida

dalam keripik kentang sebesar 51% selama penggorengan tradisional dan sebesar 63% dari 140°C

menjadi 125°C pada penggorengan vakum. Bertambahnya waktu penggorengan meningkatkan

konsentrasi akrilamida untuk semua suhu dan metode penggorengan (tradisional maupun vakum),

namun pengaruhnya lebih besar untuk produk yang digoreng dengan alat tradisional disbanding dengan

penggorengan vakum.

Menurut FAO dan WHO, untuk mencegah kemungkinan terjadinya risiko akibat akrilamida

diantaranya (Anonim 1994; 1985; 2002; 2002) :

a. Pola makan yang seimbang dan bervariasi, seperti sayur-mayur dan buah-buahan, dan

menghindari atau mengurangi makanan yang diduga mengandung akrilamida.

b. Makanan tidak dimasak dengan suhu yang terlalu tinggi, hanya dengan suhu yang cukup untuk

menghancurkan mikroorganisme patogen.

KESIMPULAN

1. Sistem penggorengan hampa (vakum) menghasilkan produk-produk pangan yang kering dan

renyah, tanpa mengalami kerusakan nilai gizi dan flavor seperti halnya yang terjadi pada

penggorengan biasa dan warna yang lebih menarik.

2. Penggorengan vakum menghasilkan produk dengan kandungan minyak yang lebih sedikit dan

lebih parus (lebih ringan) dan umumnya mempunyai daya rehidrasi yang lebih baik.

3. Penggorengan vakum berpotensi untuk mengurangi pembentukan akrilamida pada produk goreng,

karena akrilamida tidak terbentuk pada suhu di bawah 120°C.

Page 8: prosiding2010-3.4_

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1994. International Agency for Research on Cancer (IARC) –Summaries and Evaluations (Acrylamide). http://www.inchem.org/documents/iarc/vol60/m60-11.html,

3 Januari 2006,pukul 14.09. Anonim. 1997. Acrylamide (Group 2A). http://www.cie.iarc.fr/htdocs/monographs/vol60/m60-11.htm. Anonim. Environmental Health Criteria for Acrylamide. Geneva: World Health Organization, 1985: 8-42. Anonim. Health Implications of Acrylamide in Food: Report of a Joint FAO/WHO Consultation. Geneva,

Swiss: World Health Organization (WHO), 2002: 39 hlm. Anonim. Health implications of acrylamide in food:report of joint FAO/WHO consultation. Genewa: World

Health Organization, June 2002. Anonim. The Merck Index 9th Edition. Rahway NJ: Merck & Co. Inc.,1976. Friedman M. Chemistry, Biochemistry, and Safety of Acrylamide. A Review. 2003. J. Agric. Food. Chem

51, 4504-4526. Granda C, Moreira RG and Tichy SE. Reduction of Acrylamide Formation in Potato Chips by Low-

Temperature Vacuum Frying. Journal of Food Science. 2004; 69(8): E405-411. Harahap Y, Harmita, Simanjuntak B. Optimasi Penetapan Kadar Akrilamida yang Ditambahkan ke dalam

Keripik Kentang Simulasi secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2005; II(3): 154-163.

Harahap Y, Harmita, Simanjuntak B. Pembentukan Akrilamida dalam Makanan dan Analisisnya. Majalah

Ilmu Kefarmasian. 2006; III(3): 107 – 116. Kendall P. Popcorn An All American snack. www.popcorn.org/int/fsf/popcornreport.pdf. 25 Juni 2005

pukul 16.00. Setyawan N, Widaningrum, Setyabudi DA, Shaffah M, Siswadi, dkk. Teknologi Pengolahan Sayuran

Kering Siap Santap (Dried Vegetables Chips Processing Technology). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2007.

U.S. Food and Drug Administration (FDA, 2004). Explatory Data on Acrylamide in Food. U.S. FDA,

CFSAN/Office of Plant & Dairy Foods, March 2004. http://www.cfsan.fda.gov/~dms/acrydata.html, 11.

Yusuf D. 2007. Makanan Gorengan Pembawa Kanker. http://www.senior.co.id. Diakses 15 September 2008.