pros.fding lokakarya nasionai dudidaya tanaman

44
ISBN: 978-979-8507-144 PROS.fDING LOKAKARYA NASIONAI DUDIDAYA TANAMAN KARET 2006 Medan, 4 - 6 Septernber 2006 Penyunting : Sumannadji. NmhawatySiagian AidiDaslin Istianto Irwan Suhendry Tuti Kustyanti

Upload: buiduong

Post on 31-Dec-2016

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ISBN: 978-979-8507-144

PROS.fDINGLOKAKARYA NASIONAI DUDIDAYA

TANAMAN KARET 2006Medan, 4 - 6 Septernber 2006

Penyunting :

Sumannadji.NmhawatySiagian

AidiDaslinIstianto

Irwan SuhendryTuti Kustyanti

PENERBITBALAI PENELITIAN SUNGEI PUTŒ,

PUSAT PENELITIAN KARET

..

Kotak PosTeleponFaximilee-mail

1415 Medan 20001(061) 7980045(061) [email protected]

Singkatan judu! :Pros. Lok. Nas. Budidaya Tanaman Karet 2006

DAFTAR SUSUNAN PANITIALOKAKARYANASIONALBUDIDAYA TANAMAN KARET 2006

Medan. 4 - 6 September 2006

xii

PelindungKetuaSekretarisAn~ota

Panitia Pelaksana (OC)KetuaWakil KetuaSekretarisWakil Sekretarîs

Bendahara

Seksi-seksiMakalah

Persidangan dan Dokumentasi

Pameran, Sponsor. Dana

Kunjungan Lapangan

Konsumsi dan Kesenian

: Dr. Ir. Didiek Hadjar Goenadi. M.Sc.: Dr. Ir. Chairil Anwar. M.Sc.

Dr. Karyudi: 1. Ir. Amal Bhakti Pulungan. MM.

2. Ir. Batara Girsang. MM.3. Dr. Gede Wibawa. M.Sc.4. Dr. M.Prama Yufdy. M.Sc.5. Ir. H.Syarifullah Harahap. M.Si.

Dr. KaryudiIr.Aidi Daslîn Sagala, MS.Dr. Ir. Sumannadji, MS.Ir. Tuti Kustyanti, MS.

: Mrizal A.R.

: Ir. Nurhawaty Siagian, MS.Ir. Maurid OmpusungguRadîte Tistama. M.Si.Serafina T.R..SP.. MP.

Ir. Irwan SuhendryArief Rachmawan, S.Si.Suhennanto Agung Wibowo, STP.

Ir. Istianto. MS.Ir. Haposan MuntheDra.Darwini SitompulIr. Sujatno

Ir. SupriyantoHeri Husnan. SP.Priyo Adi Nogroho. SP

Dra, Sekar WoelanErnita Bukit. SP.HartiniNinik Hendrika

-Susunan panitfa

Akollil.'dasi. Transportasi. Umum

Ul1m PerumusKetua~Sekretaris

Anggota

: Yusid SopianDrs. Tuk1diSyafrlzal Ray. B.Sc.Aidfi RahmatNurainum Siregar. SE

: Dr. M.Supriadi. MS.Dr. Surnarmadji. MS.Ir. Istlanto. MS.Dr. Thomas Wijaya. M. Agr.Sc.Ir. TIIS Siregar, MS.Dr.Hananto Hadi. MS.Ir. Sudiharto. MS.

xi

PELUANG APLIKASI STEK MIKRO (MICROCUTTlNG)UNTUK PERBANYAKAN BATANG BAWAII

KLONAL PAnA TANAMAN KARET

Nurhaimi-HARIS Il, SISWANTOIl, SUMARMADJI 2), Hananto HADPl,Radite TISTAMA 2) dan Marc-Philippe CARRON3)

1) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan21 Pusat Penelitian Karet

3) French Agricultural Research Centre for International Development.(CIRAD), Montpellier, Perancis

Ringkasan

Perbanyakan tanaman karet (Hevea brasüiensis, Muell. Arg.) melaluiteknik okulasi dengan cara menempelkan mata tunas batang atas ke batangbawah masih merupakan cara perbanyakan klonal yang umum digunakan.Batang atas dengan karakter yang baik dan sesuai diperoleh melalui pro­gram pemuliaan dan kemudian diperbanyak secara klonal. Akan tetapi batangbawah umumnya menggunakan tanaman asal biji. Penggunaan tanaman asalbiji sebagai batang bawah memiliki kelemahan, antara Iain ketersediaanbiji tidak mencukupi tergantung musim serta jenis klon sebagai sumberbiji. Di samping itu batang bawah asal biji dapat menyebabkan ketidakseragaman serta adanya masalah inkompatibilitas dengan batang atas. yangdapat menurunkan produksi tanaman.. Perbanyakan klonal tanaman karetmelalui teknologi mi.crocutüng yang berbasis kultur in vitro dimulai di Perancis(CIRAD) sejak tahun 1980-an. Tanaman yang dihasilkan telah sampai padatabap pengujian lapang dan terbukti memiliki akar tunggang dan akar lat­eral yang baik. Selama dua tahun pertama penyadapan, produksinya 20%lebih tinggi (kg karet keringjpohon) dibandingkan dengan tanaman klon yangdiperbanyak mdalui okulasi. Dengan demikian teknologi tersebut memilikipeluang aplikasi, baik untuk perbanyakan klonal batang bawah maupunbatang atas. Semenjak tahun 2005 keIjasama penelitian telah dimulai antaraBalai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), PusatPenelitian Karet dan ClRAD (Perancis) yang bertujuan untuk adaptasi danimplementasi teknologi microcutüng sesuai lingkungan dan bahan tanam yangterdapat di Indonesia. Peluang aplikasi memungkinkan apabila beberapamasalah utama dapat diatasi. Masalah tersebut yaitu tingginya tingkatkontaminasi, terutama pada tahap kultur primer (primary culture) di daerahberiklim tropis seperti Indonesia, adanya perbedaan respon tanaman sebagaisumber eksplan pada lingkungan kultur, serta tingglnya tingkatkematianplantlet dalam proses aklimatisasi. Beberapa masaiah tersebut telahdiupayakan solusinya melalui adaptasi teknologi dalam rangka keIjasamapenelitian. Tulisan ini merupakan rangkuman dari kemajuan penelitianmicrocutting hmaman karet secara umum serta hasil yang telah dicapai dalamkerjasama penelitian untuk membuka peluang penggunaannya dalamperbanyakan batang bawah klonal tanaman karet.

Kata kunci: Hevea brasüiensis. mi.crocutüng, multiplikasi, batang bawah

107

Pros. Lok. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

PENDAHULUAN

Permintaan bahan tanam karet untuk keperluan peremajaan sertapembukaan areal baru semakin meningkat belakangan ini. Hal tersebut dipicuoleh membaiknya harga karet di pasar dunia. mencapai 2,3 US dolar/kg karetkering, yakni meningkat hampir 4 kali lipat dibandingkan dengan harga ditahun 2003. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan bahan tanam untukkeperluan tersebut sulit dicapai.

'--;i

iSampai saat ini penyediaan bahan tanam karet klonal dengan sistem'okulasi masih merupakan cara propagasi terbaik pada tanaman karet. Batangatas dengan karakter yang diinginkan diperoleh melalui proses seleksi dalamprogram pemuliaan dan kemudian diperbanyak secara klonal melalui teknikokulasi. sedangkan batang bawah umurnnya rnerupakan tanarnan' asal biji.Kelemahan utama penggunaan seedling sebagai batang bawah adalahketersediaan biji tidak mencukupi karena tergantung musim dan jenis klonserta adanya variasi batang bawah. Di samping itu sering ditemukaninkompatibilitas batang bawah dengan klon batang atas sehingga kombinasitersebut kurang mampu menarnpilkan potensi produksi dan karakter unggullainnya secara maksirnal (Buttery. 1961; Madjid, 1974; Abbas & Ginting. 1981;Ng et aL, 1982). Oleh karena itu rneskipun rnelalui program pemuliaan telahdihasilkan klon karet generasi ke ernpat dengan potensi produksi sekitar 3.500kg/hajtahun (Azwar & Suhendry, 1998; Azwar etaL, 2000) dan dengan karaktersekunder yang baik (Woelan et aL. 2000). namun potensi tersebut tidak dapatditampilkan secara optimal.

Bahan tanarn yang seragam dan tersedia tanpa tergantung musim dapatdiperoleh melalui perbanyakan klonal. Untuk itu teknik mikro-propagasiberbasis kultur in vitro aseptik dapat dilakukan rnelalui proses organogenesis,embriogenesis somatik dan microcutting (Trigiano & Gray, 1999). dimana duametode terakhir telah berhasil baik pada tanarnan karet (Carron et aL. 1998;Lardet et al.. 1994). Keberhasilan teknologi microcutting dan embriogenesissomatik membuka peluang penerapannya dalam perbanyakan klonal tanamankaret. Melalui teknologi microcutting batang bawah klonal seragam dengankualitas baik dan tidak tergantung musirn serta sesuai dengan kondisilingkungan pertanaman karet di Indonesia dapat dihasilkan. Di samping ituteknik tersebut rnembuka peluang untuk rnenyeleksi genotipe batang bawahyang vigor. tahan kekeringan serta toleran terhadap berbagai penyakitperakaran pada tanaman karet. Cara tersebut juga dapat dimanfaatkan untukperbanyakan non-konvensional klon batang atas unggul sehingga akandiperoleh klon utuh yang didukung oleh perakarannya sendiri,

Berdasarkan haltersebut di atas sejak pertengahan tahun 2005.kerjasama penelitian telah dimulai antara Balai Penelitian BioteknologiPerkebunan Indonesia (BPBPI) dan Pusat Penelitian Karet. yakni dua institusipenelitian di bawah koordinasi Lernbaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPl),dengan French Agrieultural Research Centerfor International Development(CIRAD), Perancis. KeIjasama tersebut pada tahap awal bertujuan untuk

108

aplikasi stek mikro Wltuk perbanyakan batang bawah klonal pada tanaman karet

plementasikan teknologi microcutting dalam perbanyakan batang bawahtanaman karet. dan pada tahap lanjut dalam perbanyakan klon utuhtanam karet unggul. Tullsan ini merupakan rangkuman dari kemajuan

tian microcutting tanaman karet secara umum serta hasil yang telahai dalam rangka keIjasama penelltian tersebut untuk membuka peluang

naannya dalam perbanyakan batang bawah klonal tanaman karet.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MICROCVTTINGDALAMPERBANYAKAN KLONAL TANAMAN KARET

~", Dari berbagai cara perbanyakan tanaman secara klonal, setek (cutting)~ lil'êrupakan cara yang relatif sederhana dibandingkan dengan teknik lainnyai' ~perti penyambungan (grafting) atau penempelan mata tunas (budding).~. lÎëfstimewaan setek selain merupakan perbanyakan vegetatif adalah bahan" Ûffiam yang dihasilkan merupakan klon utuh (whole clone) karena tidak

memerlukan batang bawah seperti pada proses penyambungan ataupenempelan. Bahan tanam yang diperoleh melalui setek jauh lebih seragamdisebabkan tidak terdapat pengaruh batang bawah yang umumnya berasal daribljt. Akan tetapi aplikasi setek pada tanaméilD: karet dewasa terkendala karenatingkat keberhasilan rendah serta kesulltan mendapatkan akar tunggang,sehingga tanaman rentan terhadap kekeringan dan angin (Webster, 1989).Oleh karena itu cara perbanyakan yang digunakan adalah melalui okulasiatau budding yaitu dengan menempelkan mata tunas batang atas ke batangbawah sehingga bersifat semi vegetatif karena masih memerlukan batangDawah untuk mendukung klon batang atas.

Perbanyakan klonal tanaman karet melalui kultur in vitro untukmendapatkan klon utuh. baik melalui teknologi microcutting maupunembriogenesis somatik telah dirintis sejak tahun 1980-an oleh tim penelitidari ClRAD-Perancis (Enjalric & Carron, 1982). Teknologi microcutting dapatdimanfaatkan untuk perbanyakan klon-klon terseleksi dan dilaporkanmemi1iki keunggulan karena berpeluang untuk meningkatkan keseragamanserta produktivitas tanaman (Carron & Enjalric, 1983). Teknologi tersebutmerupakan salah satu bentuk spesifik dari organogenesis karena dapatmenghasilkan tunas (shoots) dari jaringan meristem yang terdapatpada sumberbaban tanam (eksplan).

Pada awal pelaksanaannya hambatan utama keberhasilan teknologimicrocutting berkaitan dengan kemampuan untuk menekan tingkatkontaminasi pada fase kultur primer, dimana eksplan pada fase tersebut berasaldari bahan tanam yang dipelihara di rumah kaca. Kesulitan dilaporkansemakin meningkat di daerah dengan kelembaban tinggi seperti Pantai Gading(Ivory- Coast) dan Asia Tenggara (Enjalric et aL, 1988), dimana tanaman karetbanyak dibudidayakan. Daerah beriklim tropis dengan kelembaban tinggitersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan kontaminanberupa jamur dan bakteri sehingga sering menjadi faktor pembatas utama

109

Pros. Lok. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

untuk keberhasilan proses microcutting. Untuk menekan tingkat kontaminasl.·~pra-kondisi terhadap sumber eksplan atau tanaman induk (mother plants) di,'rumah kaca yang dikombinasikan dengan perlakuan disinfektan dan bahan,antimikroba serta dengan menyeleksi eksplan pada tanaman induk. temyatatcukup efektif (Enjalric et aL 1988). Pemberian fungisida secara teratur terhadap~tanaman induk juga merupakan salah satu cara untuk menekan tingkat;kontaminasi. '

Di samping itu. keberhasilan teknologi microcutting juga ditentukan olehkesesuaian komposisi media tumbuh yang digunakan selama periode kultur.Ketidak-seimbangan unsur mineraI pada tahap inisiasi. multiplikasi maupunaklimatisasi berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangantunas. Lardet et al.. (1994) melaporkan bahwa selama fase multiplikasi helaian

- daun pada tunas menjadi tipis dan tangkai daun berwarna kuning pucat sertaterkadang muncul gejala nekrosis pada ujung daun. Umumnya tunas dengangejala yang demikian gagal membentuk perakaran.

Lardet et al.. (1994) melaporkan analisis terhadap tunas yang dihasilkanpada fase kultur primer menunjukkan bahwa kandungan P. K. Na. Cl dan Znmeningkat, sedangkan kandungan Ca. Mg. Fe dan Cu berkurang. Pada fasetersebut rasio N/P. N/K. Mg/P dan K/Na sangat rendah. sedangkan rasio KIMg. K/P dan K/Ca sangat tinggi. Pada fase multiplikasi komposisi minera!pada tunas juga tidak seimbang dibandingkan dengan komposisi mineral padatanaman induknya. dimana rasio N/P dilaporkan sangat rendah. rasio K/Casangat tinggi, sedangkan rasio K/Na cenderung normal. Selama fase perakarandan aklimatisasi komposisi mineraI cenderung kembali seimbang. namun tetapteIjadi defisiensi pada beberapa nutrien.

Ketidakseimbangan komposisi minerai selama fase kultur primer danmultiplikasi mengarah pada ketersediaan kandungan air di dalam sel.Beberapa nutrien seperti K dan Ca berperan langsung dalam regulasi statusair di dalam sel tanaman. sedangkan defisiensi Cu menyebabkan kematianjaringan meristem sehingga mengganggu perkembangan daun. Dengandemikian rasio K/Ca yang tinggi dan kandungan Cu yang rendah pada tunaskemungkinan besar berperan dalam munculnya gejala seperti nekrosis.Berdasarkan pengetahuan yang diperoleh pada setiap fase pertumbuhan kulturin vitro tim CIRAD telah memantapkan prosedur microcutting tanaman karetdengan komposisi media tumbuh yang disesuaikan untuk setiap tahapankultur.

Dengan menggunakan klon IRCA 18 sebagai sumber eksplan. sepanjan~

tahun 1991 - 1992 telah dihasilkan sebanyak 10.000 plantlet. 89% di antaranyamembentuk perakaran pada awal proses aklimatisasi (Carron etaL. 2000; 2003).Sebanyak 110 plantlet kemudian diteruskan untuk pengujian lapang. Selama3 tahun pertama di lapangan dilaporkan bahwa pertumbuhan vitroplant asami.crocutting tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan tanaman okulasinya

110

, Peluang aplikasi stek mikro Wltuk perbanyakan batang bawah klonal pada tanaman karet,,-

'ontroI). Hanya pada tahun ke-4 dan seterusnya laju perturnbuhan vitroplantèbih tinggi dibandingkan tanaman okulasi dan pada tahun ke-5 lingkar'atangnya lebih tinggi 6%, yang diukur pada ketinggian 1 m di atas permukaanr ah. Pada 2 tahun pertama penyadapan dilaporkan produksi pohon asal

c ocutting 20% lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman okulasinya. Di'amping itu tanaman microcutting dewasa di lapang menunjukkan;ertumbuhan yang seragam dan apabila diamati setiap tanarnan asal}nicrocutting memiliki bentuk konikal pada batang bagtan bawah. Bentuk',ersebut menunjukkan perbedaan dengan tanaman dewasa yang diperbanyak~.melaluiokUlasi, dimana pada daerah pertautan batang atas dan batang bawah.teIjadi pele1?aran lingkaran batang.

Aplikasi teknologi microcutting tentunya memerlukan penyesuaianterhadap lingkungan dan bahan tanamyang digunakan sebagai sumber eksplan.Carron et al., (2003) rnengemukakan bahwa hasil penelitian yang telahdipublikasikan adalah spesifik untuk klon IRCA 18. Klon atau genotipe karetyang Iain bisa saja memberikan respon berbeda terhadap perlakuan selamaproses m.icrocutting. Di samping Uu, Tan (1995) juga mengemukakan bahwaefek metode propagasi sangat beIVariasi tergantung genotipe yang digunakan.Oleh karena Uu proses adaptasi umumnya diperlukan untuk klon atau genotipeyang berbeda.

PROSES TEKNOLOGI MlCROCUTTING PADA TANAMAN KARET

Berdasarkan "Technical Notes" dari Cirad, produksi tanaman karet klonalmelalui teknologt microcutting dilakukan melalui 5 fase, secara garis besaradalah sebagai berikut : "

Fase 1: Kulturawal/kulturprimer(Inmalculture/Primary culture)

Fase ini meliputi pernilihan bahan tanam, sterilisasi, dan pernisahaneksplan dari bahan tanam tersebut. Pada tahap ini bahan tanarn sebagaisumber eksplan adalah tanaman seedling muda di rumah kaca yang telahmemiliki dua unit payung daun dengan tinggi sekitar 50 cm dari daerahpertautan okulasi dan daun telah tumbuh sempuma. Dalam hal ini eksplanadalah nodal yang memiliki mata tunas (axillary buds) yang terdapat disepanjangbatang tanaman.

Pada fase ini sterilisasi merupakan tahapan penting yang perlu mendapatperhatian khusus karena sering menjadi faktor pembatas dalarn keberhasilanaplikasi teknologt m.icrocutting. Sterilisasi dilaksanakan hanya pada awal kulturprimer dan dilakukan secara bertahap disebabkan bahan tanam sebagaisumber eksplan dipelihara di lingkungan rumah kaca yang tidak sepenuhnyabisa diupayakan steril.

III

Pros. Lok. Nas. Budidaya Tanaman Karet 2006

Sebagai salah satu cara mikropropagasi yang merupakan bentuk khususdari organogenesis, penerapan teknologi microcutting melibatkan pembentukantunas dari jartngan meristem yakni axillary buds, yang umumnya memilikidominansi apikal. Untuk itu dominansi tersebut perlu dihilangkan, umumnyadilakukan melalui perendaman eksplan selama beberapa jam dalam media

.cair yang mengandung zat pengatur tumbuh, sebelum eksplan tersebutdikulturkan pada media padat. Kultur primer memerlukan waktu antara 4 - 6minggu.

Fase 2 : Multiplikasi

Fase multiplikasi dapat dibedakan atas multiplikasi awal, yang merupakansubkultur pertama setelah kultur primer. serta multiplikasi tahap lanjut yangmerupakan subkultur kedua dan seterusnya. Pada fase multiplikasi awal,bahan tanam adalah eksplan dari tanaman seedling muda yang memasukitahap akhir pada kultur primer. Dengan demikian eksplan dapat terdiri atas3 macam, yakni : (i) 'stock explant: (S), yaitu eksplan awal pada kultur primeryang berasal dari rumah kaca, (ii) 'nodal explanf (N), yaitu eksplan yangdiperoleh dari batangyang tumbuh selama kultur primer, dan (iii) 'shoots' (511,yaitu eksplan berupa tunas yang tumbuh dari axillary buds selama proses kuiturprimer.

Multiplikasi dilaksanakan melalui pemisahan masirig-masing jeniseksplan pada setiap akhir periode kultur dan kemudian dikulturkan kembalipada media yang sesuai. Tahapan ini dapat dilakukan secara berulang-ulang,yang ditujukan untuk memperbanyakjumiah tanaman. Umumnya setiap tahapmultiplikasi memerlukan waktu 3 - 4 minggu.

Fase 3 : Pengkondisian tunas (hardeningJ

Hardening atau pengkondisian tunas dilakukan untuk menguatkan daunjtunas sebelum sampai pada tahap induksi perakaran. Bahan tanam pada faseini adalah tunas yangberasal dari proses multiplikasi. Hardening pada tanamankaret asal microcutting dilakukan dengan mentransfer tunas secara utuh kedalam media yang mengandung arang aktif di dalam suatu 'Jar' atau botol.Umumnya setiap botol dapat memuat sekitar 10 tunas dan kemudian aerasidiberikan secara teratur, dapat secara aktif ataupun secara pasif. Untukpengkondisian tunas diperlukan waktu antara 3 - 4 minggu.

Fase 4 : Induksi dan inisiasi perakaran

Bahan tanam adalah tunas yang telah melalui tahap hardening. Fase initerdiri atas 2 tahap, yaitu induksi perakaran yang bertujuan untuk merangsangpembentukan akar serta inisiasi perakaran yang. bertujuan untuk merangsang

112

, .

/UlUl9 aplikasi stek mikro Wltuk perbanyakW1 batang bawah klonal pada tanaman karet

anjangan akar. Induksi perakaran dilaksanakan dengan cara merendamian ujung tunas yang telah dipotong miring pada media cair yanggandung zat pengatur tumbuh dan kemudian kultur cair tersebut disimpan

kondisi tanpa cahaya selarna 3 hari. Inisiasi perakaran dilakukan dalamia padat yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh dengan pencahayaan

. selarna 10 hari. Pada tahap akhir rase ini. tunas biasanya belummbentuk perakaran namun kalus telah terbentuk di bagian basal.aman dengan kondisi dernikian telah siap untuk diaklimatisasi. dimana

an umurnnya akan terbentuk selarna proses aklimatisasi tersebut.

Secara keseluruhan. proses aklimatisasi di rumah kaca terdiri atas 5,i,b.thap yang berkesinambungan. yang dimulai dari tahap pembentukan'iJerakaran. hardening (pengkondisian tunas). pra-naungan. naungan danpembibitan. Dua tahap pertama memerlukan penutup dan pemberianpengkabutan untuk menjaga agar kelembaban tetap tinggi. sedangkan tigatahap berikutnya tanpa penutup dan tanpa pengkabutan.

Pada proses aklimatisasi. [ungisida mulai diberikan secara teratur dengandosis yang disesuaikan dengan tahap perkembangan tanaman untukmenghindari serangan jarnur. Di sarnping itu. pemupukan juga Dari ke limatahapan tersebut. pemupukan tidak diberikan hanya pada tahap pembentukanperakaran. narnun pemupukan mulai diberikan pada tahap hardening danseterusnya dengan dosis yang disesuaikan. Untuk setiap tahapan tersebutdiperlukan waktu tertentu. dimana tahap pembentukan perakaranmemerlukan waktu 3 rninggu. hardening 2 rninggu. pra-naungan 2 rninggu.naungan antara 2 - 4 rninggu. dan pembibitan antara 3 - 12 bulan.

PERKEMBANGAN APLIKASI TEKNOLOGI MICROCUITING

Aplikasi teknologi microcutting memerlukan beberapa aktivitas penelitiansebelum teknologi tersebut dapat digunakan untuk produksi batang bawahklonal tanaman karet secara komersil. Aktivitas tersebut adalah :1. Seleksi tanarnan karet seedling (genotipe) untuk sumber eksplan (mother

planfj.2. Adaptasi teknologi microcutting untuk lingkungan dan bahan tanam lokal.3. Seleksi genotipe yang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro.4. Seleksi genotipe yang sesuai untuk diokulasikan dengan berbagai klon

batang atas.

Dari ke-4 aktivitas tersebut di atas. 3 di antaranya sedang dilaksanakandan hasil yang dicapai diuraikan berikut im.

113

Pros. Lok. Nas. Budidaya TanalTlon Karel 2006

1. Seleksi tanaman karet seedling untuk sumber eksplan (mother plant)

Selama lebih dari satu abad. pemuliaan tanaman karet ditujukan untukmenghasilkan klon batang atas dengan karakter yang dünginkan. Selamakurun waktu tersebut telah dihasilkan berbagai klon batang atas dan sebagianbesar di antaranya memiliki karakter yang baik sehubungan dengan produksi "..,'lateks. ketebalan kulit batang. jumlah pembuluh lateks. bentuk tajuk. sertatoleransi terhadap berbagai penyakit utama pada daun dan batang karet.Kriteria yang dijadikan dasar untuk seleksi batang atas tersebut tidakisepenuhnya sesuai untuk batang bawah sehingga klon batang atas yang 1tersedia saat ini belum tentu merupakan kandidat yang baik untuk batangbawah.

Hibrid dari berbagai tetua yang berbeda dianggap merupakan sumberyang baik untuk memilih genotipe yang sesuai sebagai batang bawah. O1ehkarena itu kerjasama penelitian ini dimulai dengan melakukan seleksiterhadap suatu populasi tanaman karet asal biji dari beberapa klon karet yangtersedia. Seleksi tahap awal lebih diarahkan kepada penampakan morfologitanaman. namun seleksi pada masa yang akan datang denganmempertimbangkan juga beberapa faktor penting lainnya seperti resistensiterhadap penyakit utama pada perakaran tanaman karet serta toleransiterhadap kekeringan.

Berdasarkan pemikiran tersebut telah dilakukan seleksi awal padaluasan areal sekitar 2 hektar di Kebun Percobaan Balai Penelitian SungeiPutih. Pusat Penelitian Karet. Areal tersebut ditanami dengan biji karet yangberasal dari 3 klon. yaitu klon GT 1. RRIM 600 dan PB 260. yang umumdigunakan sebagai batang bawah. Jumlah seluruh tanaman adalah sekitar43.000 tanaman (Gambar lA) dan dari jumlah tersebut telah diseleksisebanyak 100 genotipe tanaman terbaik atau sekitar 0.20 % dari keseluruhantanaman yang ada. Seleksi dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 5bulan. berdasarkan penampakan morfologi tanaman. tinggi tanaman dandiameter batang (Gambar lB).

Pada tahap awal dipilih tanaman yang vigor serta tinggi batang minimaladalah 120 cm. Semua tanaman yang memenuhi kriteria tersebut kemudiandiseleksi lebih lanjut berdasarkan diameter batang sehingga pada akhirnyaterseleksi sebanyak 100 genotipe tanaman yang memiliki diameter antara1.30 cm- 1.85 cm.

Untuk menyiapkan bahan tanam yang cukup dalam aplikasi teknologimicrocutting. sebanyak 100 genotipe tanaman karet yang telah diseleksi tersebutdiperbanyak atau dibuat duplikatnya dengan cara mengokulasikan mata tu­nas yang berasal dari masing-masing genotipe pada batang bawah konvensional.berupa tanaman asal biji. Teknik okulasi yang digunakan adalah okulasi hijau(Pre-green budding technique) (Gambar 2 A) dan pada tahap ini dibuat sebanyak10 duplikat tanaman untuk setiap genotipe terpilih.

114

Peluang aplikasi stek mikro Wltuk perbanyakan batang bawah klonal pada tanaman karet

Gambar 1. Tanaman karet asal biji klon GT 1, RRIM 600 dan PB 260(A) Tanaman umur 5 bulan. (B)-Contoh tanaman terseleksi

Sekitar 6 minggu setelah pelaksanaan okulasi. setiap tanaman yangberhasil di okulasi (Gambar 2 A) dipotong sehingga menghasilkan stum (bahantanam karet) (Gambar 2 B). Sebanyak 3 duplikat stum dari masing-masinggenotipe (300 tanaman) ditanam di rumah kaca BPBPI di Bogor (Gambar 2 Cl. 1duplikat (100 tanaman) ditanam di rumah kaca CIRAD-Montpellier (Perancis)(Gambar 2 D) dan 6 duplikat(600 tanaman) ditanam di rumah kaca BalaiPenelitian Sungei Putih. sehingga jumlah total adalah 1000 tanaman. Disamping itu. tanaman induk (mother plants) dipelihara di Balai PenelitianSungei Putih.

Keseluruhan bahan tanam tersebut dipelihara di rumah kaca dan dapatdigunakan sebagai sumber eksplan apabila minimal telah memiliki satupayung daun. dan masing-masing daun telah tumbuh sempuma. Akan tetapiuntuk memperoleh jumlah eksplan yang cukup. umumnya digunakan bahantanam yang telah memiliki dua payung daun.

2. Adaptasi teknologi microcutting untuk lingkungan dan bahan tanamlokal

Aplikasi teknologi microcutting untuk perbanyakan klonal tanaman karetmemungkinkan apabila beberapa masalah utama dapat diatasi. Masalahtersebut antara Iain adalah tingginya tingk.at kontaminasi di daerah beriklimtropis seperti Indonesia, baïk pada tahap kultur primer (primmy culture) maupuntahap multiplikasi serta tingginya"tingk.at kematian plantlet dalam prosesaklimatisasi sehingga sulit memperoleh bahan tanam asal microcutting dipembibitan.

115

Pros. Lole. Nos. Budidaya Tanaman Karet 20G6

Gambar2. Duplikasi bahan tanam karet dari 100 genotipe terpilih. (A)­Tanaman pada tahap 3-4 minggu setelah okulasi. (B) - Bahantanam karet berupa stum pada saat awal penanaman. (C) - Bahantanam karet setelah umur 2 bulan (BPBPI-Bogor). (0) - Bahan tanamkaret setelah umur 3 bulan (CIRAD-Montpellier-Perancis)

Dpaya untuk menekan tingkat kontaminasi pada kultur primermemerlukan pengaturan dan pemeliharaan yang intensif terhadap tanamansumber eksplan di rumah kaca. Menurut Enjalric et aL (1988), kontrol kondisiaseptik pada kultur primer di daerah tropis dapat dilakukan melalui beberapaupaya, seperti meminimalkan kontak langsung tanaman induk (sumbereksplan) dengan lingkungan luar rumah kaca serta menyeleksi eksp1anberdasarkan umur, posisi dan ukurannya pada tanaman induk. Di sampingitu. pemberian fungisida secara teratur juga merupakan salah satu cara untukmenekan tingkat kontaminasi.

Dengan memperhatikan persyaratan kondisi seperti tersebut di atas.telah dilakukan kultur primer (Initial/Primary Culture) terhadap 79 genotipedari 100 genotipe tanaman karet terseleksi dalam rangka evaluasi tingkatkontaminasi dan mengamati pertumbuhan eksplan. Dari masing-masinggenotipe digunakan 7-41 eksplan. tergantungjumlah mata tunas yang diperolehdari setiap genotipe sehinggajumlah keseluruhan eksplan pada kultur primeradalah 1425. Dari jumlah tersebut. sebanyak 583 eksp1an (41%) ter­kontaminasi. 184 eksplan 03%) mati. dan 658 eksp1an (46%) sehat (Tabel 1).

116

·.

Pelua11g aplikasi stek mikro untuk perbanyakan batang bawah klonal pada tanaman karet

Jumlah dan panjang tunas yang terbentuk pada fase kultur primerbervariasi. mulai dari 1 tunas sampai 3 tunas (majemuk) dengan panjangtunas antara 2-8 cm (Gambar 3).

Tabel 1. Kondisi eksplan pada kultur primer

Kultur primer Eksplan %

Kontaminasi 583 40.9Mati 184 12.9Sehat 658 46,2

Gambar 3. Tunas yang terbentuk pada kultur primer. (A) Tunas tunggal,(B) Tunas majemuk. (C) Tunas tunggal dan panjang

Eksplan yang sehat dan menunjukkan pertumbuhan yang baïk dalamkultur primer selanjutnya memasuki tahap multiplikasi melalui subkulturpada media baru. Berbeda dengan tahap kultur primer dimana eksplan hanyaberupa 'stock explanf (S) yaitu eksplan original yang berasal dari tanaman dirumah kaca. eksplan yang diperoleh pada tahap multiplikasi ada 3 macam.yaitu 'stock explant' (S). 'nodal explant' (N) dan 'shoot explant' (ST). Masing­masing eksplan akan berkembang lebih lanjut. dimana eksplan S akanmembentuk tunas-tunas baru. eksplan N umumnya akan membentuk kalusterlebih dulu pada bagian yang bersenb!han dengan media dan selanjutnyamembentuk tunas. sedangkan eksplan ST akan membentuk 'stock' barumelalui pembentukan kalus pada bagian basal batang.

Melalui pemisahan eksplan S. N dan ST dari 658 tanaman sehat padakultur primer diperoleh sebanyak 653 eksplan pada subkultur pertama tahapmultiplikasi. masing-masing terdiri atas 433 eksplan S. 26 eksplan N dan 194eksplan ST (Tabel 2). Tingkat kontaminasi keseluruhan eksplan tersebut

117

Pros. Lok. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

mencapai sekitar 14,4%, sedangkan tingkat kontaminasi masing-masingjellis:eksplan. tertinggi pada eksplan N (34.6%) dan relatif sama antara eksplan Sidan ST. yakni masing-masing 13,4% dan 13.9%) (TabeI2).

Tabel2. Tingkat kontaminasi berbagai eksplan pada tahap multiplikasi

Subkultur pertama Eksplan Kontaminasi %

SI (Stockexplwlt) 433 58 13,4NI (Nodal explant) 26 9 34.6STI (Shootexplant) 194 27 13.9

Total 653 94 14.4

Tingkat kontamina~i yang mencapai sekitar 41% pada tahap kulturprimer dan 14% pada tahap multiplikasi masih relatiftinggi. Menurut Carron(komunikasi pribadi), maksimal tingkat kontaminasi pada kultur primeradalah 30% dan pada tahap multiplikasi adalah 5%. Dengan demikian masihdiperlukan upaya untuk menekan tingkat kontaminasi sampai pada batasyang ditolerir. dan akan .dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktorseperti penggunaan bahan pencuci eksplan pada tahap kl1tur primer sertapeningkatan sanitari. baik pada di lingkungan rumah kaca maupun dilingkungan laboratorium.

Tunas yang diperoleh pada tahap multiplikasi dapat diperbanyak terusmenerus melalui subkultur berulang selama periode waktu tertentu. Sebelummemasuki tahap induksi perakaran. tunas tersebut diberi perlakuan khususterlebih dahulu untuk menguatkan daun (hard.ening). Kondisi tersebut dicapaimelalui pemberian cahaya pada siang hari dan tanpa cahaya pada malam hanserta dengan mengurangi kelembaban dari waktu ke waktu. Hardenin~

tanaman karet asal microcutting dilakukan dengan mentransfer tunas ke dalammedia yang mengandung arang aktif di dalam suatu 'Jar' atau botol yang bisamemuat sekitar 10 tunas serta dengan memberikan aerasi secara akti:ataupun secara pasif.

Proses hardening yang telah dilaksanakan merupakan kombinasi antarépenggunaan media yang mengandung arang aktif dengan aerasi secara aktiselama 2 x 15 menit per hari. Contoh 'Jar' yang digunakan di laboratoriurrCIRAD (Perancis) serta penampakan tanaman dalam proses hardening disajikarpada Gambar 4.

Pada tahap akhir proses hardening yang memerlukan waktu sekitar 3 - L

minggu. daun akan terlihat lebih kuat dan lebih tebal sehingga scsuai untulmasuk ke fase berikutnya yakni induksi perakaran.

Induksi perakaran untuk tunas karet asal microcutting dilaksanakaIdengan menggunakan media cair yang mengandung zat pengatur tumbuh lBidan NAA. Perendaman bagian basal batang yang telah dipotong atau dihilangkaJkalusnya dilakukan selama 3 hari dalam media tersebut untul

Ils

· '

Peluang aplikasi stek mikro WltuJc perbanyakW1 batang bawah k/onal pada tanaman /caret

%

40,912.946.2

583184658

EksplanKultur primer

KontaminasiMatiSehat

Jumlah dan panjang tunas yang terbentuk pada fase kultur primerbervariasi, mulai dari 1 tunas sampai 3 tunas (majemuk). dengan panjang

d tunas antara 2-8 cm (Gambar 3).

Tabel 1. Kondisi eksplan pada kultur primer

Gambar3. Tunas yang terbentuk pada kultur primer. (A) Tunas tunggal,(B) Tunas majemuk, (C) Tunas tunggal dan panjang

Eksplan yang sehat dan menunjukkan pertumbuhan yang baik dalamkultur primer selanjutnya memasuki tahap multiplikasi melalui subkulturpada media barn. Berbeda dengan tahap kultur primer dimana eksplan hanyaberupa 'stock explanf (5) yaitu eksplan original yang berasal dari tanaman dirumah kaca, eksplan yang diperoleh pada tahap multiplikasi ada 3 macam,yaitu 'stock explant' (5). 'nodal expiant' (N) dan 'shoot explant' (Sn. Masing­masing eksplan akan berkembang lebih lanjut, dimana eksplan 5 akanmembentuk tunas-tunas barn. eksplan N umumnya akan membentuk kalusterlebih dulu pada bagian yang bersentuhan denganmedia dan selanjutnyamembentuk tunas. sedangkan eksplan ST akan membentuk 'stock' barumelalui pembentukan kalus pada bagian basal batang.

Melalui pemisahan eksplan S. N dan ST dari 658 tanaman sehat padakultur primer diperoleh sebanyak 653 eksplan pada subkultur pertama tahapmultiplikasi, masing-masing terdiri atas 433 eksplan S. 26 eksplan N dan 194eksplan ST (Tabel 2). Tingkat kontaminasi keseluruhan eksplan tersebut

119

Pros. Lok. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

Fase selanjutnya yaitu inisiasi perakaran dilaksanakan dalam mediapadat yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh dan dilakukan selama5-10 hari. Pada tahap akhir fase tersebut, biasanya perakaran belum terlihatpada masing-masing plantlet namun inisiasi kalus sudah dapat diamati.Pembentukan dan perkembangan perakaran umumnya teIjadi selarna prosesaklimatisasi.

Aklimatisasi telah dilaksanakan terhadap 79 plantlet dalam media tumbuhyang mengandung cocopeat, tanah, pupuk kandang dan pasir. Aklimatisasitahap awal dilaksanakan di dalam kotak kaca yang tertutup rapat di rumahkaca (Gambar6 Al, setelah 3 minggu akar terbentuk pada sebagian besar plant­Jet (Gambar 6 B) dan kemudian tanarnan dipindahkan ke pot dengan volumelebih besar (Gambar 6 C). Setelah 6 bulan tanaman asal microcutting tumbuhbaik di pembibitan dan dapat diperlakukan sama seperti tanarnan hasil.perbanyakan konvensional (Gambar 6D).

Gambar 6. Fase aklimatisasi plantlet karet asal microcutting, (A) Plantlet dalamkotak kaca dengan bagian atas ditutup plastik, (B) Akar terbentuksete1ah 3 minggu, (C) Penampakan plantlet setelah 3 minggu dalammedia untuk aklimatisasi, (D) Tanaman karet asal microcutting dipembibitan

120

Peh/aIlg aplikasi stek mikro untuk perbanyakan ba.tang bawah klonal pada tanaman karet

Secara gans besar. proses aklimatisasi terdiri atas aklirnatisasi di rumahdan aklimatisasi di pembibitan. dan masing-masing terdiri atas beberapa

pan. Setiap tahapan memerlukan kondisi yang berbeda. Inisiasi perakaranerlukan kelembaban tinggi sehingga kontainer untuk penyimpanan plant­

- blasanya tertutup rapat. Sedangkan perlakuan pemupukan tidak dlperlukan'ada tahap ini. Pada tahap hardening. kelembaban tinggi masih diperlukan., un secara bertahap penutup kontainer bisa dlbuka untuk menyesuaikan

ngan lingkungan di rumah kaca. Di samping ltu perlakuan pemupukanulai diberikan ke setiap tanaman.

Aklimatlsasi di pembibitan dilaksanakan dengan memberikan sinarmatahari secara tidak langsung yaitu dengan meletakkan tanaman di bawahnaungan pohon. Pada tahap lanjut pemeliharaan tanaman/bibit sama sepertieni€liharaan bibit secara konvensional. Kedua tahap aklimatisasi diembibltan tersebut memerlukan pemupukan secara teratur untuk men­

'dapatkan kondisi pertumbuhan yangoptimal. Datajumlah plantlet serta kondisiplantlet pada setiap tahap dalam aklimatisasi disajikan dalam Tabel 3.

~Tabel 3. Kondisi plantlet karet asal perbanyakan microcutting pada beberapatahap aklimatisasi di rumah kaca dan pembibitan

Jumlah Kotak kaca Sungkup plastik Pernbibitanplantet Mati Hidup Mati Hidup Mati Hidup

79 9 70 16 54 17 37(l1,4) (88.6) (22.9) (77.1) (31,5) (68.5)

Perneliharaan plantlet dalarn kotak kaca dilaksanakan dalam kondisikelernbaban tinggi. dimana kotak kaca sepenuhnya tertutup rapat. Akan tetapisetelah dipindah ke sungkup plastik secara bertahap sungkup dibuka dalamjangka waktu tertentu dan di pembibitan pemeliharaan dilakukan sama sepertipemeliharaan bibit konvensional.

3. Seleksi genotipe yang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro

Dan penelitian yang telah dilakukan oleh Cirad diketahui bahwa responsetiap genotipe/klon terhadap lingkungan kultur in vitro sangat bervanasi.Beberapa genotipe/klon berespon baik sehingga tingkat perturnbuhan di dalamku1tur tersebut tinggi. n~ungenotipe/klon tertentu kurang responsifsehinggatumbuh sangat lambat atau bahkan tidak tumbuh. Berdasarkan hal tersebutdi atas. diperlukan seleksi pada tahap awal untuk rnenentukangenotipe yangakan dijadikan sebagai surnber eksplan di dalam aplikasi teknologi microcutting.

Saat ini seleksi sedang dilakukan terhadap 100 genotipe tanaman karetterpilih yang telah diperoleh pada tahap awal penelitian. Seleksi dilakukan

121

Pros. Laie. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

berdasarkan jumlah eksplan yang sehat selama fase kultur primer dan jumlahtunas yang diperoleh pada subkultur pertama. Data sementara menunjukkan12 genotipe menghasilkan tunas 50% atau lebih (TabeI4).

Tabe14. Persentase pembentukan tunas beberapa genotipe tanaman karetmelafui teknologi microcutting

J unùah eksplan Eksplan sehat PembentukanGenotipe awal (%) tunas(%)

5 25 40,0 80,018 17 70.6 50,022 17 47,1 87,538 7 57,1 50.047 10 40.0 50,063 14 57,1 62.570 12 50.0 83.377 18 50,0 55.683 10 60,0 50.091 24 66,7 50,097 ~ 9 66,7 66,7

100 24 54,2 53,8

Proses seleksi genotipe yang responsif terhadap perlakuan kultur masihberlangsung sampaisaat ini, bertujuan untuk menyeleksi sekitar 50 genotipeyang akan dikembangkan untuk berbagai pengujian di rumah kaca dan lapang.Dari 50 genotipe tersebut akan diseleksi 10 genotipe terbaik untukdikembangkan sebagai sumber batang bawah klonal.

KESIMPULAN

Penyediaan batang bawah klonal tanaman karet terasa semakindiperlukan sehubungan dengan keterbatasan yang ditemui di lapang. baik darisegi ketersediaan maupun dari segi kualitas batang bawah yang ada. Di antarateknik kultur in vitro, teknologi microcutting yang dikembangkan oleh ClRADuntuk tanaman karet berpeluang dimanfaatkan karena setiap tahapan prosedurtelah dipahami. Melalui teknologi tersebut dapat diperoleh bahan tanam karetklonal yang memiliki sistem perakaran menyerupai perakaran tanaman seed­Ling sehingga sesuai untuk digunakan dalam perbanyakan batang bawah klonal.

Untuk mengimplementasikan teknologi microcutting dalam perbanyakanbatang bawah klonal saat ini dilakukan adaptasi berdasarkan bahan tanamdan kondisi lingkungan di Indonesia. Hasil sementara menunjukkan bahwateknologi tersebut sangat layak untuk diaplikasikan. Meskipun tingkatkontaminasi relatif masih tinggi dibandingkan dengan yang direkomendasi­kan. namun dari bahan yang tidak terkontaminasi multiplikasi dapatdilakukan terus menerus. Adaptasi terhadap fase-fase selanjutnya seperti

122

11

, ,

Peluang aplikasi stek mikro Wltuk perbanyakan batang bawah klonal pada tanaman karet

hardening, induksi perakaran serta aklimatisasi memberikan hasil yang baik.5eleksi genotipe karet telah menghasilkan 12 genotipe yang responsif terhadapperlakuan kultur sehingga untuk selanjutnya genotipe tersebut dapatdiperbanyak melalui aplikasi rotin untuk mendapatk.an bahan tanam asalmicrocutting yang akan digunakan untuk pengujian okulasi dengan klon batangatas.

DAFTARPUSTAKA

Abbas S.S., S. Ginting. 1981. Influence of rootstock and scion on girth incre­ment in rubber trees. BuletinBalaiPenelitianPerkebunanMedan 12: 145­152.

Azwar R, I. Suhendry. 1998. Kemajuan pemuliaan karet dan dampaknyaterhadap peningkatan produktivitas. Pros. LokakaryaPemuliaanKaret 1998dan Diskusi Nas. Prospek Karet Alam Abad 21; Medan, 8 - 9 Desember.Medan : Puslit Karet.

Azwar R. Aidi-Daslin, I. Suhendry, S. Woelan. 2000. Quantifying genetical andenviron-mental factors in detenhining rubber crop productivity. Proc 1ndRubb Confand IRRDB 5ymp; Bogor, 12-14 Sept 2000. Bogor: Ind Rubb ResInst.

Buttery RB. 1961. Investigation into the relationship between stock and scion'in Hevea. Journal ofthe RubberReseachlnstitute ofMalaya, 17:46-76.

Carron MP, F. Enjalric F. 1983. Perspectives du microbouturage de l'Hevea, brasiliensis. Caoutchoucs etplastiques, 627/628: 65-68.

Carron MP., L. Lardet, BG. Dea BG. 1998. Hevea micropropagation somaticembryogenesis. Plantation Recherche, Development 5(3}: 187-194.

Carron MP., L. Lardet, A. Leconte, C. Boko, BG. Dea BG and J. Keli. 2003. Fieldgrowth rubber yield of Hevea brasiliensis (Muel. Arg.) from budded versusvitro micropropagated plant from clone IRCA 18. Proc l st15 onAccl. & EstabMicroprop. Plants. Eds: AS Economou & PE Read. Acta Hort 616, ISHS.2003.

Carron MP., Y. Le Roux. J. Tison, BG. Dea, V. Caussanel, J. Clair, J. Keli. 2000.Compared root system architextures in seedlings and in vitro p1antlets ofHevea brasiliensis, in the initial years of growth in the field. Plant & Sail,223 (l /2): 73 - 85.

Enjalric F., MP. Carron. 1982. Microbouturage in vitro dejeunes plants d"Heveabrasiliensis. C. R. Acad. Sc. Paris, Serie III: 259-264.

Ênjalric F., MP. Carron, L. Lardet. 1988. Contamination ofprimary cultures intropical areas: The case of Hevea brasiliensis. Acta HorticLÙturae 225: 57­65.

123

Pros. Lok. Nos. Budidaya Tanaman Karet 2006

Lardet L. M. Bes, F. Enjalric F, MP. Carron. 1994. Mineral imbalance in HeveabrasUiensis microcutting: relation with in vitro multiplication and accli­matization. J. Plant Nutrit. 17(12): 2135-2150.

Madjid A. 1974. Bahan tanam karet unggul untuk peremajaan. MenaraPerkebunan 42(5) : 267-269.

Ng AP, Ho CY, Sultan MO, Ooi CB, Lew HL, Yoon PK. 1982. Influence of sixrootstock on growth and yield of six scion clones of Hevea brasUiensis,Proe. ofthe RubberReseachlnstitute ofMalaysiaPlanters' Conference, KualaLumpur 1981: 134-15l.

Tan H. 1995. Variability of cuttings and buddings in three Hevea cultivars. J.NaturalRubberRes. 10: 1-7.

Trigiano RN., DJ. Gray. 1999. Plant Tissue Concepts and Laboratory rocedures,2nd edition, CRC Press: 87-96; 119-124.

Webster CC. 1989. Propagation. planting andprwling. In : Webster CC. BaulkwillWJ, editors. Rubber. Singapore : Longman Singapore Publishers (Pte) Ud.

Woelan S.. R. Azwar R. 1. Suhendry. Aidi-Daslin. and MI Lasminingsih. 2000.Agronomie characteristics of IRR series rubber clones. Proe. IndonesianRubb. Con.f. and IRRDB Symp; Bogor. 12-14 Sept 2000. Bogor: Ind RubbRes Inst.

124

'1,

Ci-après le texte du draft qui correspond à cette communication. Je propose de le garder pour deux raisons :

- présente une traduction en anglais du titre et du résumé;

- présente des photos couleurs qui ne sont que mal reproduites et/ou identifiables sur la communication publiée.

Marie-Christine Lambert Le 8 juillet 2009

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

Peluang Aplikasi Stek Mikro (Microcutting) untuk Perbanyakan Batang Bawah Klonal Pada Tanaman Karet

Nurhaimi-Haris 1) *, Siswanto1), Sumarmadji 2), Hananto Hadi 3),

Radite Tistama 2) dan Marc-Philippe Carron 4)

1) Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan, Jalan Taman Kencana 1, Bogor 16151

2) Balai Penelitian Sungei Putih, PO Box 1415, Medan 20001 3) Balai Penelitian Getas, PO Box 804, Salatiga 50702

4) French Agricultural Research Centre for International Development (CIRAD), Montpellier, Perancis

Ringkasan Perbanyakan tanaman karet (Hevea brasiliensis, Muell. Arg.) melalui teknik okulasi dengan cara menempelkan mata tunas batang atas ke batang bawah masih merupakan cara perbanyakan klonal yang umum digunakan. Batang atas dengan karakter yang baik dan sesuai diperoleh melalui program pemuliaan dan kemudian diperbanyak secara klonal. Akan tetapi batang bawah umumnya menggunakan tanaman asal biji disebabkan belum ditemukan teknik perbanyakan klonal yang sesuai. Penggunaan tanaman asal biji sebagai batang bawah memiliki kelemahan, antara lain ketersediaan biji tidak mencukupi tergantung musim serta jenis klon sebagai sumber biji. Di samping itu batang bawah asal biji dapat menyebabkan ketidak seragaman serta adanya masalah inkompatibilitas dengan batang atas, yang dapat menurunkan produksi tanaman. Perbanyakan klonal tanaman karet melalui teknologi microcutting yang berbasis kultur in vitro dimulai di Perancis (CIRAD) sejak tahun 1980-an. Tanaman yang dihasilkan telah sampai pada tahap pengujian lapang dan terbukti memiliki akar tunggang dan akar lateral yang baik. Selama dua tahun pertama penyadapan, produksinya 20% lebih tinggi (kg karet kering/pohon) dibandingkan dengan tanaman klon yang diperbanyak melalui okulasi. Dengan demikian teknologi tersebut memiliki peluang aplikasi, baik untuk perbanyakan klonal batang bawah maupun batang atas. Semenjak tahun 2005 kerjasama penelitian telah dimulai antara Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), Pusat Penelitian Karet dan CIRAD (Perancis) yang bertujuan untuk adaptasi dan implementasi teknologi microcutting sesuai lingkungan dan bahan tanam yang terdapat di Indonesia. Peluang aplikasi memungkinkan apabila beberapa masalah utama dapat diatasi. Masalah tersebut yaitu tingginya tingkat kontaminasi, terutama pada tahap kultur primer (primary culture) di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, adanya perbedaan respon tanaman sebagai sumber eksplan pada lingkungan kultur, serta tingginya tingkat kematian plantlet dalam proses aklimatisasi. Beberapa masalah tersebut telah diupayakan solusinya melalui adaptasi teknologi dalam rangka kerjasama penelitian. Tulisan ini merupakan rangkuman dari kemajuan penelitian microcutting tanaman karet secara umum serta hasil yang telah dicapai dalam kerjasama penelitian untuk membuka peluang penggunaannya dalam perbanyakan batang bawah klonal tanaman karet. [Kata kunci: Hevea brasiliensis, karet, microcutting, multiplikasi, batang bawah]

Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Budidaya Tanaman Karet, 4-5 September 2006, di Medan, Sumatera Utara.

1

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

2

Summary

Possibility of microcutting application for propagation of clonal rootstocks on rubber tree

Clonal propagation with budding system through grafting buds from scion onto rootstocks is the usual way for rubber (Hevea brasiliensis, Muell. Arg.) propagation. Scions with good characters were obtained through breeding program and then propagated clonally, while rootstocks usually in form of seedling material due to the lack of an appropriate multiplication technique. In fact, the used of seedling as a rootstock, face on some constrains such as limited seeds due to seed season and suitable clone as a source of seeds. Besides, seedling will produced un-uniform rootstock which significantly influenced production loss as a cause of growth inferiority of scion as well as of incompatibility between scion and rootstock. Clonal propagation of rubber plant through microcutting technology which based on in vitro culture had been started at CIRAD (France) since 1980. Recently, CIRAD has completely mastered all process in rubber microcutting technique and proved the produced plants developed taproot and lateral root system in the field. In two first year tapping, the production of microcutting plants were 20% higher (kg dry rybber/tree) than those from conventional one. It seems that microcutting will be a new way to propagate clonal material of rubber plant. Since 2005, a research collaboration had been started by three parties, including Indonesian Biotechnology Research Institute for estate Crops (IBRIEC), Indonesian Rubber Research Institute (IRRI) and French Agricultural Research Centre for International Development (CIRAD). The aim of this collaboration is to adapt and to implement microcutting technology based on Indonesian environment and plant materials. The feasibility to implement microcutting technique depend on the succesful to overcome some constraint which usually face in this technique, such as high level of contamination especially in primary culture stage, difference response of plant materials to culture environment, and high level of death plant during acclimatization process. This paper summarizes some research progress on rubber microcutting and some results from collaborative research to show the possibility of their application in propagation of clonal rootstock in rubber plant. [Key words: Hevea brasiliensis, rubber plant, microcutting, multiplication, clonal rootstock] PENDAHULUAN

Permintaan bahan tanam karet untuk keperluan peremajaan serta pembukaan areal

baru semakin meningkat belakangan ini. Hal tersebut dipicu oleh membaiknya harga

karet di pasar dunia, mencapai 2,3 US dolar/kg karet kering, yakni meningkat hampir 4

kali lipat dibandingkan dengan harga di tahun 2003. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan

bahan tanam untuk keperluan tersebut sulit dicapai.

Sampai saat ini penyediaan bahan tanam karet klonal dengan sistem okulasi

melalui penempelan mata tunas batang atas (scion) ke batang bawah (rootstock) masih

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

3

merupakan cara propagasi terbaik pada tanaman karet. Batang atas dengan karakter yang

diinginkan diperoleh melalui proses seleksi dalam program pemuliaan dan kemudian

diperbanyak secara klonal melalui teknik okulasi, sedangkan batang bawah umumnya

merupakan tanaman asal biji (seedling) disebabkan belum ditemukan sistem perbanyakan

klonal yang sesuai. Kelemahan utama penggunaan seedling sebagai batang bawah adalah

ketersediaan biji tidak mencukupi karena tergantung musim dan jenis klon serta adanya

variasi batang bawah. Di samping itu sering ditemukan inkompatibilitas batang bawah

dengan klon batang atas sehingga kombinasi tersebut kurang mampu menampilkan

potensi produksi dan karakter unggul lainnya secara maksimal (Buttery, 1961; Madjid,

1974; Abbas & Ginting, 1981; Ng et al, 1982). Oleh karena itu meskipun melalui

program pemuliaan telah dihasilkan klon karet generasi ke empat dengan potensi produksi

sekitar 3.500 kg/ha/tahun (Azwar & Suhendry, 1998; Azwar et al, 2000) dan dengan

karakter sekunder yang baik (Woelan et al, 2000), namun potensi tersebut tidak dapat

ditampilkan secara optimal.

Bahan tanam yang seragam dan tersedia tanpa tergantung musim dapat diperoleh

melalui perbanyakan klonal. Untuk itu teknik mikropropagasi berbasis kultur in vitro

aseptik dapat dilakukan melalui proses organogenesis, embriogenesis somatik dan

microcutting (Trigiano & Gray, 1999), dimana dua metode terakhir telah berhasil baik

pada tanaman karet (Carron et al. 1998; Lardet et al. 1994). Keberhasilan teknologi

microcutting dan embriogenesis somatik membuka peluang penerapannya dalam

perbanyakan klonal tanaman karet. Melalui teknologi microcutting batang bawah klonal

seragam dengan kualitas baik dan tidak tergantung musim serta sesuai dengan kondisi

lingkungan pertanaman karet di Indonesia dapat dihasilkan. Di samping itu teknik

tersebut membuka peluang untuk menyeleksi genotipe batang bawah yang vigor, tahan

kekeringan serta toleran terhadap berbagai penyakit perakaran pada tanaman karet. Cara

tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan non-konvensional klon batang atas

unggul sehingga akan diperoleh klon utuh yang didukung oleh perakarannya sendiri.

Berdasarkan hal tersebut di atas sejak pertengahan tahun 2005, kerjasama

penelitian telah dimulai antara Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia

(BPBPI) dan Pusat Penelitian Karet, yakni dua institusi penelitian di bawah koordinasi

Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI), dengan French Agricultural Research

Center for International Development (CIRAD), Perancis. Kerjasama tersebut pada tahap

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

4

awal bertujuan untuk mengimplementasikan teknologi microcutting dalam perbanyakan

batang bawah klonal tanaman karet, dan pada tahap lanjut dalam perbanyakan klon utuh

bahan tanam karet unggul. Tulisan ini merupakan rangkuman dari kemajuan penelitian

microcutting tanaman karet secara umum serta hasil yang telah dicapai dalam rangka

kerjasama penelitian tersebut untuk membuka peluang penggunaannya dalam perbanyakan

batang bawah klonal tanaman karet.

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MICROCUTTING DALAM PERBANYAKAN

KLONAL TANAMAN KARET

Dari berbagai cara perbanyakan tanaman secara klonal, setek (cutting) merupakan

cara yang relatif sederhana dibandingkan dengan teknik lainnya seperti penyambungan

(grafting) atau penempelan mata tunas (budding). Keistimewaan setek selain merupakan

perbanyakan vegetatif adalah bahan tanam yang dihasilkan merupakan klon utuh (whole

clone) karena tidak memerlukan batang bawah seperti pada proses penyambungan atau

penempelan. Bahan tanam yang diperoleh melalui setek jauh lebih seragam disebabkan

tidak terdapat pengaruh batang bawah yang umumnya berasal dari biji. Akan tetapi

aplikasi setek pada tanaman karet dewasa terkendala karena tingkat keberhasilan rendah

serta kesulitan mendapatkan akar tunggang, sehingga tanaman rentan terhadap kekeringan

dan angin (Webster, 1989). Oleh karena itu cara perbanyakan yang digunakan adalah

melalui okulasi atau budding yaitu dengan menempelkan mata tunas batang atas ke batang

bawah sehingga bersifat semi vegetatif karena masih memerlukan batang bawah untuk

mendukung klon batang atas.

Perbanyakan klonal tanaman karet melalui kultur in vitro untuk mendapatkan klon

utuh, baik melalui teknologi microcutting maupun embriogenesis somatik telah dirintis

sejak tahun 1980-an oleh tim peneliti dari CIRAD-Perancis (Enjalric & Carron, 1982).

Teknologi microcutting dapat dimanfaatkan untuk perbanyakan klon-klon terseleksi dan

dilaporkan memiliki keunggulan karena berpeluang untuk meningkatkan keseragaman

serta produktivitas tanaman (Carron & Enjalric, 1983). Teknologi tersebut merupakan

salah satu bentuk spesifik dari organogenesis karena dapat menghasilkan tunas (shoots)

dari jaringan meristem yang terdapat pada sumber bahan tanam (eksplan).

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

5

Pada awal pelaksanaannya hambatan utama keberhasilan teknologi microcutting

berkaitan dengan kemampuan untuk menekan tingkat kontaminasi pada fase kultur primer,

dimana eksplan pada fase tersebut berasal dari bahan tanam yang dipelihara di rumah

kaca. Kesulitan dilaporkan semakin meningkat di daerah dengan kelembaban tinggi

seperti Pantai Gading (Ivory Coast) dan Asia Tenggara (Enjalric et al. 1988), dimana

tanaman karet banyak dibudidayakan. Daerah beriklim tropis dengan kelembaban tinggi

tersebut sangat sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan kontaminan berupa jamur

dan bakteri sehingga sering menjadi faktor pembatas utama untuk keberhasilan proses

microcutting. Untuk menekan tingkat kontaminasi, pra-kondisi terhadap sumber eksplan

atau tanaman induk (mother plants) di rumah kaca yang dikombinasikan dengan perlakuan

disinfektan dan bahan antimikroba serta dengan menyeleksi eksplan pada tanaman induk,

ternyata cukup efektif (Enjalric et al. 1988). Pemberian fungisida secara teratur terhadap

tanaman induk juga merupakan salah satu cara untuk menekan tingkat kontaminasi.

Di samping itu, keberhasilan teknologi microcutting juga ditentukan oleh

kesesuaian komposisi media tumbuh yang digunakan selama periode kultur. Ketidak-

seimbangan unsur mineral pada tahap inisiasi, multiplikasi maupun aklimatisasi

berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tunas. Lardet et al. (1994)

melaporkan bahwa selama fase multiplikasi helaian daun pada tunas menjadi tipis dan

tangkai daun berwarna kuning pucat serta terkadang muncul gejala nekrosis pada ujung

daun. Umumnya tunas dengan gejala yang demikian gagal membentuk perakaran.

Lardet et al. (1994) melaporkan analisis terhadap tunas yang dihasilkan pada fase

kultur primer menunjukkan bahwa kandungan P, K, Na, Cl dan Zn meningkat, sedangkan

kandungan Ca, Mg, Fe dan Cu berkurang. Pada fase tersebut rasio N/P, N/K, Mg/P dan

K/Na sangat rendah, sedangkan rasio K/Mg, K/P dan K/Ca sangat tinggi. Pada fase

multiplikasi komposisi mineral pada tunas juga tidak seimbang dibandingkan dengan

komposisi mineral pada tanaman induknya, dimana rasio N/P dilaporkan sangat rendah,

rasio K/Ca sangat tinggi, sedangkan rasio K/Na cenderung normal. Selama fase perakaran

dan aklimatisasi komposisi mineral cenderung kembali seimbang, namun tetap terjadi

defisiensi pada beberapa nutrien.

Ketidak-seimbangan komposisi mineral selama fase kultur primer dan multiplikasi

mengarah pada ketersediaan kandungan air di dalam sel. Beberapa nutrien seperti K dan

Ca berperan langsung dalam regulasi status air di dalam sel tanaman, sedangkan defisiensi

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

6

Cu menyebabkan kematian jaringan meristem sehingga mengganggu perkembangan daun.

Dengan demikian rasio K/Ca yang tinggi dan kandungan Cu yang rendah pada tunas

kemungkinan besar berperan dalam munculnya gejala seperti nekrosis. Berdasarkan

pengetahuan yang diperoleh pada setiap fase pertumbuhan kultur in vitro tim CIRAD telah

memantapkan prosedur microcutting tanaman karet dengan komposisi media tumbuh yang

disesuaikan untuk setiap tahapan kultur.

Dengan menggunakan klon IRCA 18 sebagai sumber eksplan, sepanjang tahun

1991 – 1992 telah dihasilkan sebanyak 10.000 plantlet, 89% di antaranya membentuk

perakaran pada awal proses aklimatisasi (Carron et al., 2000; 2003). Sebanyak 110

plantlet kemudian diteruskan untuk pengujian lapang. Selama 3 tahun pertama di

lapangan dilaporkan bahwa pertumbuhan vitroplant asal microcutting tidak berbeda nyata

dengan pertumbuhan tanaman okulasinya (kontrol). Hanya pada tahun ke-4 dan

seterusnya laju pertumbuhan vitroplant lebih tinggi dibandingkan tanaman okulasi dan

pada tahun ke-5 lingkar batangnya lebih tinggi 6%, yang diukur pada ketinggian 1 m di

atas permukaan tanah. Pada 2 tahun pertama penyadapan dilaporkan produksi pohon asal

microcutting 20% lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman okulasinya. Di samping itu

tanaman microcutting dewasa di lapang menunjukkan pertumbuhan yang seragam dan

apabila diamati setiap tanaman asal microcutting memiliki bentuk konikal pada batang

bagian bawah. Bentuk tersebut menunjukkan perbedaan dengan tanaman dewasa yang

diperbanyak melalui okulasi, dimana pada daerah pertautan batang atas dan batang bawah

terjadi pelebaran lingkaran batang.

Aplikasi teknologi microcutting tentunya memerlukan penyesuaian terhadap

lingkungan dan bahan tanam yang digunakan sebagai sumber eksplan. Carron et al.,

(2003) mengemukakan bahwa hasil penelitian yang telah dipublikasikan adalah spesifik

untuk klon IRCA 18. Klon atau genotipe karet yang lain bisa saja memberikan respon

berbeda terhadap perlakuan selama proses microcutting. Di samping itu, Tan (1995) juga

mengemukakan bahwa efek metode propagasi sangat bervariasi tergantung genotipe yang

digunakan. Oleh karena itu proses adaptasi umumnya diperlukan untuk klon atau genotipe

yang berbeda.

PROSES TEKNOLOGI MICROCUTTING PADA TANAMAN KARET

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

7

Berdasarkan “Technical Notes” dari Cirad, produksi tanaman karet klonal melalui

teknologi microcutting dilakukan melalui 5 fase, secara garis besar adalah sebagai berikut

:

Fase 1 : Kultur awal/kultur primer (Initial culture/Primary culture)

Fase ini meliputi pemilihan bahan tanam, sterilisasi, dan pemisahan eksplan dari

bahan tanam tersebut. Pada tahap ini bahan tanam sebagai sumber eksplan adalah

tanaman seedling muda di rumah kaca yang telah memiliki dua unit lingkaran daun

dengan tinggi sekitar 50 cm dari daerah pertautan okulasi dan daun telah tumbuh

sempurna. Dalam hal ini eksplan adalah nodal yang memiliki mata tunas (axillary buds)

yang terdapat disepanjang batang tanaman.

Pada fase ini sterilisasi merupakan tahapan penting yang perlu mendapat perhatian

khusus karena sering menjadi faktor pembatas dalam keberhasilan aplikasi teknologi

microcutting. Sterilisasi dilaksanakan hanya pada awal kultur primer dan dilakukan secara

bertahap disebabkan bahan tanam sebagai sumber eksplan dipelihara di lingkungan rumah

kaca yang tidak sepenuhnya bisa diupayakan steril.

Sebagai salah satu cara mikropropagasi yang merupakan bentuk khusus dari

organogenesis, penerapan teknologi microcutting melibatkan pembentukan tunas dari

jaringan meristem yakni axillary buds, yang umumnya memiliki dominansi apikal. Untuk

itu dominansi tersebut perlu dihilangkan, umumnya dilakukan melalui perendaman

eksplan selama beberapa jam dalam media cair yang mengandung zat pengatur tumbuh,

sebelum eksplan tersebut dikulturkan pada media padat. Kultur primer memerlukan waktu

antara 4 – 6 minggu.

Fase 2 : Multiplikasi

Fase multiplikasi dapat dibedakan atas multiplikasi awal, yang merupakan

subkultur pertama setelah kultur primer, serta multiplikasi tahap lanjut yang merupakan

subkultur kedua dan seterusnya. Pada fase multiplikasi awal, bahan tanam adalah eksplan

dari tanaman seedling muda yang memasuki tahap akhir pada kultur primer. Dengan

demikian eksplan dapat terdiri atas 3 macam, yakni : (i) ‘stock explant’ (S), yaitu eksplan

awal pada kultur primer yang berasal dari rumah kaca, (ii) ‘nodal explant’ (N), yaitu

eksplan yang diperoleh dari batang yang tumbuh selama kultur primer, dan (iii) ‘shoots’

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

8

(ST), yaitu eksplan berupa tunas yang tumbuh dari axillary buds selama proses kultur

primer.

Multiplikasi dilaksanakan melalui pemisahan masing-masing jenis eksplan pada

setiap akhir periode kultur dan kemudian dikulturkan kembali pada media yang sesuai.

Tahapan ini dapat dilakukan secara berulang-ulang, yang ditujukan untuk memperbanyak

jumlah tanaman. Umumnya setiap tahap multiplikasi memerlukan waktu 3 – 4 minggu.

Fase 3 : Pengkondisian tunas (hardening)

Hardening atau pengkondisian tunas dilakukan untuk menguatkan daun/tunas

sebelum sampai pada tahap induksi perakaran. Bahan tanam pada fase ini adalah tunas

yang berasal dari proses multiplikasi. Hardening pada tanaman karet asal microcutting

dilakukan dengan mentransfer tunas secara utuh ke dalam media yang mengandung arang

aktif di dalam suatu ‘Jar’ atau botol. Umumnya setiap botol dapat memuat sekitar 10

tunas dan kemudian aerasi diberikan secara teratur, dapat secara aktif ataupun secara pasif.

Untuk pengkondisian tunas diperlukan waktu antara 3 – 4 minggu.

Fase 4 : Induksi dan inisiasi perakaran

Bahan tanam adalah tunas yang telah melalui tahap hardening. Fase ini terdiri atas

2 tahap, yaitu induksi perakaran yang bertujuan untuk merangsang pembentukan akar serta

inisiasi perakaran yang bertujuan untuk merangsang pemanjangan akar. Induksi perakaran

dilaksanakan dengan cara merendam bagian ujung tunas yang telah dipotong miring pada

media cair yang mengandung zat pengatur tumbuh dan kemudian kultur cair tersebut

disimpan dalam kondisi tanpa cahaya selama 3 hari. Inisiasi perakaran dilakukan dalam

media padat yang tidak mengandung zat pengatur tumbuh dengan pencahayaan normal,

selama 10 hari. Pada tahap akhir fase ini, tunas biasanya belum membentuk perakaran

namun kalus telah terbentuk di bagian basal. Tanaman dengan kondisi demikian telah siap

untuk diaklimatisasi, dimana perakaran umumnya akan terbentuk selama proses

aklimatisasi tersebut.

Fase 5 : Aklimatisasi dan Pembibitan

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

9

Secara keseluruhan, proses aklimatisasi di rumah kaca terdiri atas 5 tahap yang

berkesinambungan, yang dimulai dari tahap pembentukan perakaran, hardening

(pengkondisian tunas), pra-naungan, naungan dan pembibitan. Dua tahap pertama

memerlukan penutup dan pemberian pengkabutan untuk menjaga agar kelembaban tetap

tinggi, sedangkan tiga tahap berikutnya tanpa penutup dan tanpa pengkabutan.

Pada proses aklimatisasi, fungisida mulai diberikan secara teratur dengan dosis

yang disesuaikan dengan tahap perkembangan tanaman untuk menghindari serangan

jamur. Di samping itu, pemupukan juga Dari ke lima tahapan tersebut, pemupukan tidak

diberikan hanya pada tahap pembentukan perakaran, namun pemupukan mulai diberikan

pada tahap hardening dan seterusnya dengan dosis yang disesuaikan. Untuk setiap

tahapan tersebut diperlukan waktu tertentu, dimana tahap pembentukan perakaran

memerlukan waktu 3 minggu, hardening 2 minggu, pra-naungan 2 minggu, naungan

antara 2 – 4 minggu, dan pembibitan antara 3 – 12 bulan.

PERKEMBANGAN APLIKASI TEKNOLOGI MICROCUTTING DALAM KERANGKA KERJASAMA PENELITIAN

Aplikasi teknologi microcutting memerlukan beberapa aktivitas penelitian sebelum

teknologi tersebut dapat digunakan untuk produksi batang bawah klonal tanaman karet

secara komersil. Aktivitas tersebut adalah :

1. Seleksi tanaman karet seedling (genotipe) untuk sumber eksplan (mother plant).

2. Adaptasi teknologi microcutting untuk lingkungan dan bahan tanam lokal.

3. Seleksi genotipe yang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro.

4. Seleksi genotipe yang sesuai untuk diokulasikan dengan berbagai klon batang atas.

Dari ke-4 aktivitas tersebut di atas, 3 di antaranya sedang dilaksanakan dan hasil

yang dicapai diuraikan berikut ini.

1. Seleksi tanaman karet seedling (genotipe) untuk sumber eksplan (mother plant)

Selama lebih dari satu abad, pemuliaan tanaman karet ditujukan untuk

menghasilkan klon batang atas dengan karakter yang diinginkan. Selama kurun waktu

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

tersebut telah dihasilkan berbagai klon batang atas dan sebagian besar di antaranya

memiliki karakter yang baik sehubungan dengan produksi lateks, ketebalan kulit batang,

jumlah pembuluh lateks, bentuk tajuk, serta toleransi terhadap berbagai penyakit utama

pada daun dan batang karet. Kriteria yang dijadikan dasar untuk seleksi batang atas

tersebut tidak sepenuhnya sesuai untuk batang bawah sehingga klon batang atas yang

tersedia saat ini belum tentu merupakan kandidat yang baik untuk batang bawah.

Hibrid dari berbagai tetua yang berbeda dianggap merupakan sumber yang baik

untuk memilih genotipe yang sesuai sebagai batang bawah. Oleh karena itu kerjasama

penelitian ini dimulai dengan melakukan seleksi terhadap suatu populasi tanaman karet

asal biji dari beberapa klon karet yang tersedia. Seleksi tahap awal lebih diarahkan kepada

penampakan morfologi tanaman, namun seleksi pada masa yang akan datang dengan

mempertimbangkan juga beberapa faktor penting lainnya seperti resistensi terhadap

penyakit utama pada perakaran tanaman karet serta toleransi terhadap kekeringan.

Berdasarkan pemikiran tersebut telah dilakukan seleksi awal pada luasan areal

sekitar 2 hektar di Kebun Percobaan Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet.

Areal tersebut ditanami dengan biji karet yang berasal dari 3 klon, yaitu klon GT 1, RRIM

600 dan PB 260, yang umum digunakan sebagai batang bawah. Jumlah seluruh tanaman

adalah sekitar 43.000 tanaman (Gambar 1A) dan dari jumlah tersebut telah diseleksi

sebanyak 100 genotipe tanaman terbaik atau sekitar 0,20 % dari keseluruhan tanaman

yang ada. Seleksi dilakukan pada saat tanaman berumur sekitar 5 bulan, berdasarkan

penampakan morfologi tanaman, tinggi tanaman dan diameter batang (Gambar 1B).

10

BA

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

Gambar 1. Tanaman karet asal biji klon GT 1, RRIM 600 dan PB 260. (A)- Tanaman umur 5 bulan. (B)-Contoh tanaman terseleksi. Pada tahap awal dipilih tanaman yang vigor serta tinggi batang minimal adalah 120

cm. Semua tanaman yang memenuhi kriteria tersebut kemudian diseleksi lebih lanjut

berdasarkan diameter batang sehingga pada akhirnya terseleksi sebanyak 100 genotipe

tanaman yang memiliki diameter antara 1,30 cm – 1,85 cm.

Untuk menyiapkan bahan tanam yang cukup dalam aplikasi teknologi

microcutting, sebanyak 100 genotipe tanaman karet yang telah diseleksi tersebut

diperbanyak atau dibuat duplikatnya dengan cara mengokulasikan mata tunas yang berasal

dari masing-masing genotipe pada batang bawah konvensional, berupa tanaman asal biji.

Teknik okulasi yang digunakan adalah okulasi hijau (Pre-green budding technique)

(Gambar 2 A) dan pada tahap ini dibuat sebanyak 10 duplikat tanaman untuk setiap

genotipe terpilih.

11

BA

C D

Gambar 2. Duplikasi bahan tanam karet dari 100 genotipe terpilih. (A) – Tanaman pada tahap 3-4 minggu setelah okulasi. (B) – Bahan tanam karet berupa stum pada saat awal penanaman. (C) – Bahan tanam karet setelah umur 2 bulan (BPBPI-

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

12

Bogor). (D) – Bahan tanam karet setelah umur 3 bulan (CIRAD-Montpellier- Perancis). Sekitar 6 minggu setelah pelaksanaan okulasi, setiap tanaman yang berhasil di

okulasi (Gambar 2 A) dipotong sehingga menghasilkan stum (bahan tanam karet) (Gambar

2 B). Sebanyak 3 duplikat stum dari masing-masing genotipe (300 tanaman) ditanam di

rumah kaca BPBPI di Bogor (Gambar 2 C), 1 duplikat (100 tanaman) ditanam di rumah

kaca CIRAD-Montpellier (Perancis) (Gambar 2 D) dan 6 duplikat (600 tanaman) ditanam

di rumah kaca Balai Penelitian Sungei Putih, sehingga jumlah total adalah 1000 tanaman.

Di samping itu, tanaman induk (mother plants) dipelihara di Balai Penelitian Sungei Putih.

Keseluruhan bahan tanam tersebut dipelihara di rumah kaca dan dapat digunakan

sebagai sumber eksplan apabila minimal telah memiliki satu unit lingkaran daun, dan

masing-masing daun telah tumbuh sempurna. Akan tetapi untuk memperoleh jumlah

eksplan yang cukup, umumnya digunakan bahan tanam yang telah memiliki dua unit

lingkaran daun.

2. Adaptasi teknologi microcutting untuk lingkungan dan bahan tanam lokal

Aplikasi teknologi microcutting untuk perbanyakan klonal tanaman karet

memungkinkan apabila beberapa masalah utama dapat diatasi. Masalah tersebut antara

lain adalah tingginya tingkat kontaminasi di daerah beriklim tropis seperti Indonesia, baik

pada tahap kultur primer (primary culture) maupun tahap multiplikasi serta tingginya

tingkat kematian plantlet dalam proses aklimatisasi sehingga sulit memperoleh bahan

tanam asal microcutting di pembibitan.

Upaya untuk menekan tingkat kontaminasi pada kultur primer memerlukan

pengaturan dan pemeliharaan yang intensif terhadap tanaman sumber eksplan di rumah

kaca. Menurut Enjalric et al. (1988), kontrol kondisi aseptik pada kultur primer di daerah

tropis dapat dilakukan melalui beberapa upaya, seperti meminimalkan kontak langsung

tanaman induk (sumber eksplan) dengan lingkungan luar rumah kaca serta menyeleksi

eksplan berdasarkan umur, posisi dan ukurannya pada tanaman induk. Di samping itu,

pemberian fungisida secara teratur juga merupakan salah satu cara untuk menekan tingkat

kontaminasi.

Dengan memperhatikan persyaratan kondisi seperti tersebut di atas, telah

dilakukan kultur primer (Initial/Primary Culture) terhadap 79 genotipe dari 100 genotipe

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

tanaman karet terseleksi dalam rangka evaluasi tingkat kontaminasi dan mengamati

pertumbuhan eksplan. Dari masing-masing genotipe digunakan 7 - 41 eksplan, tergantung

jumlah mata tunas yang diperoleh dari setiap genotipe sehingga jumlah keseluruhan

eksplan pada kultur primer adalah 1425. Dari jumlah tersebut, sebanyak 583 eksplan (41

%) terkontaminasi, 184 eksplan (13 %) mati, dan 658 eksplan (46 %) sehat (Tabel 1).

Tabel 1. Kondisi eksplan pada kultur primer

Eksplan % Kultur primer (Primary culture) 1425 100.0

Kontaminasi 583 40.9 Mati 184 12.9 Sehat 658 46.2

Jumlah dan panjang tunas yang terbentuk pada fase kultur primer bervariasi, mulai

dari 1 tunas sampai 3 tunas (majemuk) dengan panjang tunas antara 2 – 8 cm (Gambar 3).

A B C

Gambar 3. Tunas yang terbentuk pada kultur primer. (A) Tunas tunggal, (B) Tunas majemuk, (C) Tunas tunggal dan panjang

Eksplan yang sehat dan menunjukkan pertumbuhan yang baik dalam kultur primer

selanjutnya memasuki tahap multiplikasi melalui subkultur pada media baru. Berbeda

dengan tahap kultur primer dimana eksplan hanya berupa ‘stock explant’ (S) yaitu eksplan

13

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

14

original yang berasal dari tanaman di rumah kaca, eksplan yang diperoleh pada tahap

multiplikasi ada 3 macam, yaitu ‘stock explant’ (S), ‘nodal explant’ (N) dan ‘shoot

explant’ (ST). Masing-masing eksplan akan berkembang lebih lanjut, dimana eksplan S

akan membentuk tunas-tunas baru, eksplan N umumnya akan membentuk kalus terlebih

dulu pada bagian yang bersentuhan dengan media dan selanjutnya membentuk tunas,

sedangkan eksplan ST akan membentuk ‘stock’ baru melalui pembentukan kalus pada

bagian basal batang.

Melalui pemisahan eksplan S, N dan ST dari 658 tanaman sehat pada kultur primer

diperoleh sebanyak 653 eksplan pada subkultur pertama tahap multiplikasi, masing-

masing terdiri atas 433 eksplan S, 26 eksplan N dan 194 eksplan ST (Tabel 2). Tingkat

kontaminasi keseluruhan eksplan tersebut mencapai sekitar 14,4%, sedangkan tingkat

kontaminasi masing-masing jenis eksplan, tertinggi pada eksplan N (34,6%) dan relatif

sama antara eksplan S dan ST , yakni masing-masing 13,4% dan 13,9%) (Tabel 2).

Tabel 2. Tingkat kontaminasi berbagai eksplan pada tahap multiplikasi

Subkultur pertama Eksplan Kontaminasi % S1 (Stock explant) 433 58 13,4N1 (Nodal explant) 26 9 34,6ST1 (Shoot explant) 194 27 13,9

Total 653 94 14,4

Tingkat kontaminasi yang mencapai sekitar 41% pada tahap kultur primer dan 14%

pada tahap multiplikasi masih relatif tinggi. Menurut Carron (komunikasi pribadi),

maksimal tingkat kontaminasi pada kultur primer adalah 30% dan pada tahap multiplikasi

adalah 5%. Dengan demikian masih diperlukan upaya untuk menekan tingkat kontaminasi

sampai pada batas yang ditolerir, dan akan dilakukan dengan mempeetimbangkan

beberapa faktor seperti penggunaan bahan pencuci eksplan pada tahap kultur primer serta

peningkatan sanitari, baik pada di lingkungan rumah kaca maupun di lingkungan

laboratorium.

Tunas yang diperoleh pada tahap multiplikasi dapat diperbanyak terus menerus

melalui subkultur berulang selama periode waktu tertentu. Sebelum memasuki tahap

induksi perakaran, tunas tersebut diberi perlakuan khusus terlebih dahulu untuk

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

menguatkan daun (hardening). Kondisi tersebut dicapai melalui pemberian cahaya pada

siang hari dan tanpa cahaya pada malam hari serta dengan mengurangi kelembaban dari

waktu ke waktu. Hardening tanaman karet asal microcutting dilakukan dengan

mentransfer tunas ke dalam media yang mengandung arang aktif di dalam suatu ‘Jar’ atau

botol yang bisa memuat sekitar 10 tunas serta dengan memberikan aerasi secara aktif

ataupun secara pasif.

Proses hardening yang telah dilaksanakan merupakan kombinasi antara

penggunaan media yang mengandung arang aktif dengan aerasi secara aktif selama 2 x 15

menit per hari. Contoh ‘Jar’ yang digunakan di laboratorium CIRAD (Perancis) serta

penampakan tanaman dalam proses hardening disajikan pada Gambar 4.

A B

Gambar 4. Proses hardening pada planlet karet asal microcutting. (A) – Kontainer untuk proses hardening. (B) – Planlet karet dalam proses hardening.

Pada tahap akhir proses hardening yang memerlukan waktu sekitar 3 – 4 minggu,

daun akan terlihat lebih kuat dan lebih tebal sehingga sesuai untuk masuk ke fase

berikutnya yakni induksi perakaran.

Induksi perakaran untuk tunas karet asal microcutting dilaksanakan dengan

menggunakan media cair yang mengandung zat pengatur tumbuh IBA dan NAA.

Perendaman bagian basal batang yang telah dipotong atau dihilangkan kalusnya dilakukan

selama 3 hari dalam media tersebut untuk mengakumulasikan zat pengatur tumbuh pada 15

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

bagian basal yang dipotong. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pemotongan

bagian basal batang dilakukan pada posisi miring sehingga memperbesar peluang untuk

menginduksi perakaran pada bagian ujung bawah batang (Gambar 5).

CA B

Gambar 5. Fase induksi perakaran plantlet (tunas) karet asal microcutting. (A) – Proses pemotongan bagian basal batang yang mengandung kalus. (B) – Penempatan plantlet dalam media cair. (C) – Sejumlah plantlet karet pada fase induksi perakaran.

Fase selanjutnya yaitu inisiasi perakaran dilaksanakan dalam media padat yang

tidak mengandung zat pengatur tumbuh dan dilakukan selama 5 – 10 hari. Pada tahap

akhir fase tersebut, biasanya perakaran belum terlihat pada masing-masing plantlet namun

inisiasi kalus sudah dapat diamati. Pembentukan dan perkembangan perakaran umumnya

terjadi selama proses aklimatisasi.

Aklimatisasi telah dilaksanakan terhadap 79 plantlet dalam media tumbuh yang

mengandung cocopeat, tanah, pupuk kandang dan pasir. Aklimatisasi tahap awal

dilaksanakan di dalam kotak kaca yang tertutup rapat di rumah kaca (Gambar 6 A), setelah

3 minggu akar terbentuk pada sebagian besar plantlet (Gambar 6 B) dan kemudian

tanaman dipindahkan ke pot dengan volume lebih besar (Gambar 6 C). Setelah 6 bulan

tanaman asal microcutting tumbuh baik di pembibitan dan dapat diperlakukan sama seperti

tanaman hasil perbanyakan konvensional (Gambar 6D).

Secara garis besar, proses aklimatisasi terdiri atas aklimatisasi di rumah kaca dan

aklimatisasi di pembibitan, dan masing-masing terdiri atas beberapa tahapan. Setiap

tahapan memerlukan kondisi yang berbeda. Inisiasi perakaran memerlukan kelembaban

tinggi sehingga kontainer untuk penyimpanan plantlet biasanya tertutup rapat. Sedangkan 16

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

perlakuan pemupukan tidak diperlukan pada tahap ini. Pada tahap hardening, kelembaban

tinggi masih diperlukan, namun secara bertahap penutup kontainer bisa dibuka untuk

menyesuaikan dengan lingkungan di rumah kaca. Di samping itu perlakuan pemupukan

mulai diberikan ke setiap tanaman.

A

B C

D Gambar 6. Fase aklimatisasi plantlet karet asal microcutting. (A) - Plantlet dalam kotak kaca dengan bagian atas ditutup plastik. (B)- Akar terbentuk setelah 3 minggu. (C) – Penampakan plantlet setelah 3 minggu dalam media untuk aklimatisasi. (D) – Tanaman karet asal microcutting di pembibitan.

17

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

18

Aklimatisasi di pembibitan dilaksanakan dengan memberikan sinar matahari secara

tidak langsung yaitu dengan meletakkan tanaman di bawah naungan pohon. Pada tahap

lanjut pemeliharaan tanaman/bibit sama seperti pemeliharaan bibit secara konvensional.

Kedua tahap aklimatisasi di pembibitan tersebut memerlukan pemupukan secara teratur

untuk mendapatkan kondisi pertumbuhan yang optimal. Data jumlah plantlet serta kondisi

plantlet pada setiap tahap dalam aklimatisasi disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Kondisi plantlet karet asal perbanyakan microcutting pada beberapa tahap aklimatisasi di rumah kaca dan pembibitan.

Rumah kaca

Kotak kaca Sungkup plastik

Pembibitan Jumlah plantlet

Mati

(%)

Hidup

(%)

Mati

(%)

Hidup

(%)

Mati

(%)

Hidup

(%)

79 9

(11,4)

70

(88,6)

16

(22,9)

54

(77,1)

17

(31,5)

37

(68,5)

Pemeliharaan plantlet dalam kotak kaca dilaksanakan dalam kondisi kelembaban

tinggi, dimana kotak kaca sepenuhnya tertutup rapat. Akan tetapi setelah dipindah ke

sungkup plastik secara bertahap sungkup dibuka dalam jangka waktu tertentu dan di

pembibitan pemeliharaan dilakukan sama seperti pemeliharaan bibit konvensional.

3. Seleksi genotipe yang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro

Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Cirad diketahui bahwa respon setiap

genotipe/klon terhadap lingkungan kultur in vitro sangat bervariasi. Beberapa

genotipe/klon berespon baik sehingga tingkat pertumbuhan di dalam kultur tersebut tinggi,

namun genotipe/klon tertentu kurang responsif sehingga tumbuh sangat lambat atau

bahkan tidak tumbuh. Berdasarkan hal tersebut di atas, diperlukan seleksi pada tahap awal

untuk menentukan genotipe yang akan dijadikan sebagai sumber eksplan di dalam aplikasi

teknologi microcutting.

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

19

Saat ini seleksi sedang dilakukan terhadap 100 genotipe tanaman karet terpilih

yang telah diperoleh pada tahap awal penelitian. Seleksi dilakukan berdasarkan jumlah

eksplan yang sehat selama fase kultur primer dan jumlah tunas yang diperoleh pada

subkultur pertama. Data sementara menunjukkan 12 genotipe menghasilkan tunas 50%

atau lebih (Tabel 4).

Tabel 4. Persentase pembentukan tunas beberapa genotipe tanaman karet melalui teknologi microcutting

Genotipe

Jumlah eksplan

awal Eksplan sehat

(%)

Pembentukan tunas (%)

5 25 40.0 80.018 17 70.6 50.022 17 47.1 87.538 7 57.1 50.047 10 40.0 50.063 14 57.1 62.570 12 50.0 83.377 18 50.0 55.683 10 60.0 50.091 24 66.7 50.097 9 66.7 66.7

100 24 54.2 53.8

Proses seleksi genotipe yang responsif terhadap perlakuan kultur masih

berlangsung sampai saat ini, bertujuan untuk menyeleksi sekitar 50 genotipe yang akan

dikembangkan untuk berbagai pengujian di rumah kaca dan lapang. Dari 50 genotipe

tersebut akan diseleksi 10 genotipe terbaik untuk dikembangkan sebagai sumber batang

bawah klonal.

KESIMPULAN

Penyediaan batang bawah klonal tanaman karet terasa semakin diperlukan

sehubungan dengan keterbatasan yang ditemui di lapang, baik dari segi ketersediaan

maupun dari segi kualitas batang bawah yang ada. Di antara teknik kultur in vitro,

teknologi microcutting yang dikembangkan oleh CIRAD untuk tanaman karet berpeluang

dimanfaatkan karena setiap tahapan prosedur telah dipahami. Melalui teknologi tersebut

dapat diperoleh bahan tanam karet klonal yang memiliki sistem perakaran menyerupai

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

20

perakaran tanaman seedling sehingga sesuai untuk digunakan dalam perbanyakan batang

bawah klonal.

Untuk mengimplementasikan teknologi microcutting dalam perbanyakan batang

bawah klonal saat ini dilakukan adaptasi berdasarkan bahan tanam dan kondisi lingkungan

di Indonesia. Hasil sementara menunjukkan bahwa teknologi tersebut sangat layak untuk

diaplikasikan. Meskipun tingkat kontaminasi relatif masih tinggi dibandingkan dengan

yang direkomendasikan, namun dari bahan yang tidak terkontaminasi multiplikasi dapat

dilakukan terus menerus. Adaptasi terhadap fase-fase selanjutnya seperti hardening,

induksi perakaran serta aklimatisasi memberikan hasil yang baik. Seleksi genotipe karet

telah menghasilkan 12 genotipe yang responsif terhadap perlakuan kultur sehingga untuk

selanjutnya genotipe tersebut dapat diperbanyak melalui aplikasi rutin untuk mendapatkan

bahan tanam asal microcutting yang akan digunakan untuk pengujian okulasi dengan klon

batang atas.

Daftar Pustaka

Abbas BS, Ginting S. 1981. Influence of rootstock and scion on girth increment in rubber trees. Buletin Balai Penelitian Perkebunan Medan 12: 145-152.

Azwar R, Suhendry I. 1998. Kemajuan pemuliaan karet dan dampakanya terhadap peningkatan produktivitas. Pros. Lokakarya Pemuliaan Karet 1998 dan Diskusi Nas. Prospek Karet Alam Abad 21; Medan, 8 - 9 Desember. Medan : Puslit Karet.

Azwar R, Aidi-Daslin, Suhendry I, Woelan S. 2000. Quantifying genetical and environ-mental factors in determining rubber crop productivity. Proc Ind Rubb Conf and IRRDB Symp; Bogor, 12-14 Sept 2000. Bogor : Ind Rubb Res Inst.

Buttery RB. 1961. Investigation into the relationship between stock and scion in Hevea. Journal of the Rubber Reseach Institute of Malaya, 17:46-76.

Carron MP, Enjalric F. 1983. Perspectives du microbouturage de l’Hevea brasiliensis. Caoutchoucs et plastiques, 627/628: 65-68.

Carron MP, Lardet L, Dea BG. 1998. Hevea micropropagation somatic embryogenesis. Plantation Recherche, Development 5(3): 187-194.

Carron MP, Lardet L, Leconte A, Boko C, Dea BG and Keli J. 2003. Field growth rubber yield of Hevea brasiliensis (Muel. Arg.) from budded versus vitro micropropagated plant from clone IRCA 18. Proc 1st IS on Accl. & Estab Microprop. Plants. Eds : AS Economou & PE Read. Acta Hort 616, ISHS.2003.

Carron MP, Le Roux Y, Tison J, Dea BG, Caussanel V, Clair J, Keli J. 2000. Compared root system architextures in seedlings and in vitro plantlets of Hevea brasiliensis, in the initial years of growth in the field. Plant & Soil, 223 (1/2): 73 – 85.

National Workshop on Rubber Cultural Practices, Indonesian Rubber Research Institute, Medan – Indonesia, 4 – 6 september 2006

21

Enjalric F, Carron MP. 1982. Microbouturage in vitro de jeunes plants d’’Hevea brasiliensis. C. R. Acad. Sc. Paris, Serie III: 259-264.

Enjalric F, Carron MP, Lardet L. 1988. Contamination of primary cultures in tropical areas: The case of Hevea brasiliensis. Acta Horticulturae 225: 57-65.

Lardet L, Bes M, Enjalric F, Carron MP. 1994. Mineral imbalance in Hevea brasiliensis microcutting: relation with in vitro multiplication and acclimatization. J. Plant Nutrit. 17(12): 2135-2150.

Madjid A. 1974. Bahan tanam karet unggul untuk peremajaan. Menara Perkebunan 42(5) : 267-269.

Ng AP, Ho CY, Sultan MO, Ooi CB, Lew HL, Yoon PK. 1982. Influence of six rootstock on growth and yield of six scion clones of Hevea brasiliensis, Proc. of the Rubber Reseach Institute of Malaysia Planters’ Conference, Kuala Lumpur 1981: 134-151.

Tan H. 1995. Variability of cuttings and buddings in three Hevea cultivars. J. Natural Rubber Res. 10: 1-7.

Trigiano RN , Gray DJ. 1999. Plant Tissue Concepts and Laboratory Procedures, 2nd edition, CRC Press: 87-96; 119-124.

Webster CC. 1989. Propagation, planting and pruning. In : Webster CC, Baulkwill WJ, editors. Rubber. Singapore : Longman Singapore Publishers (Pte) Ltd.

Woelan S, Azwar R, Suhendry I, Aidi-Daslin, and Lasminingsih M. 2000. Agronomic characteristics of IRR series rubber clones. Proc. Indonesian Rubb. Conf. and IRRDB Symp; Bogor, 12-14 Sept 2000. Bogor : Ind Rubb Res Inst.