proses perceraian pegawai negeri sipil dan...
TRANSCRIPT
PROSES PERCERAIAN
PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983
JO PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
Rizki Fadli Robi
NIM 1112044100017
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERISTAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
Dbjlk {4d f*dc s}!id etr Hlh
ls]iibukuh$krysljsyidLn!ruFko tus rid&roi dai hry omc
cgisylnrHid.ym]1.h,&na
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
PERSEMBAHAN
Penelitian (Skripsi) ini penulis persembahkan kepada :
Ayahanda (Abah) Drs. H. I. T. Taufiqurrohim, MA
Dan Ibunda (Mamah) Hj. Nihayatul Masruroh, SH
Yang telah murni tulus menyayangi dan memberikan yang terbaik untuk anak‐
anaknya.
Kakakku yang saya banggakan Erly Syarifurrizal, SH.I
Adikku tersayang Nita Anisatul Azizah
Adinda Andi Ilham Nur Putri, SH
Semoga kelak Allah SWT mempersatukan kita semua di surga‐Nya, Amin
Kawan-kawan seangkatan dan seperjuangan
serta Almamaterku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
v
ABSTRAK
Rizki Fadli Robi. 1112044100017. Proses Perceraian Pegawai Negeri Sipil Dan
Pejabat Negara Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Program Studi Hukum Keluarga.
Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. 1437 H/2016 M. x +106 halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perceraian antara
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara dalam Peraturan Perundang-Undangan
di Indonesia, serta mengetahui perbandingan proses perceraian antara Pegawai
Negeri Sipil dengan Pejabat Negara. Menggunakan teknik pengumpulan data
berupa mempelajari data-data dan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan
dengan bersumber pada bahan-bahan primer, sekunder dan tersier yang berkaitan
dengan permasalahan yang penulis bahas. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, dan jenis penelitian yang digunakan adalah Kepustakaan (Library
Research).
Dari penelitian yang sudah penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa
proses perceraian Pegawai Negeri Sipil telah diatur secara jelas dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan proses perceraian Pejabat Negara belum sepenuhnya diatur dalam
peraturan ini. Bila Pegawai Negeri Sipil diwajibkan meminta izin kepada Pejabat
atau atasannya terlebih dahulu sebelum melakukan perceraian, berbeda dengan
Pejabat Negara. Pejabat Negara diwajibkan meminta izin kepada atasannya yang
dalam hal ini terbagi ke dalam tiga macam, pertama ada yang diwajibkan meminta
izin kepada Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan perceraian. Kedua, ada
yang diwajibkan meminta izin kepada Menteri Dalam Negeri, dan ketiga ada yang
diwajibkan meminta izin kepada Kepala Daerah. Selain itu, bagi Pejabat Negara
yang melanggar peraturan tidak diatur secara jelas hukumannya sebagaimana
Pegawai Negeri Sipil yang sudah diatur hukumannya dalam Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
Melihat permasalahan di atas, perlu kiranya membuat perubahan dan
melengkapi kekurangan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
Kata kunci : Perceraian, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Negara.
Daftar Pustaka (1973 – 2015)
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala kemuliaan hanyalah bagi Allah SWT, sumber segala hikmah dan
ilmu pengetahuan, shalawat dan salam bagi Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW,
karena berkahnya, maka penelitian (skripsi) ini dapat saya selesaikan. Penelitian
(skripsi) ini berjudul:
“Proses Perceraian Pegawai Negeri Sipil Dan Pejabat Negara Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990”
Tujuan penelitian ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua
pihak, maka penulisan penelitian sebagai tugas akhir ini tidak akan selesai tepat
pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih
yang tidak terhingga kepada keluarga, bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara
yang langsung maupun tidak langsung telah memberikan bekal ilmu pengetahuan
dan bimbingan serta petunjuk, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya, yaitu:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, P.hD., Dekan Fakutas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., dan Arif Purkon, MA., selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Kamarusdiana, S. Ag, MH., selaku dosen pembimbing yang
senantiasa membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan
penelitian (skripsi) ini.
4. Rosdiana, MA., selaku dosen penasehat akademik yang senantiasa
memberikan nasehat dan membimbing penulis semasa perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu Dosen, serta Staff yang telah memberikan ilmunya kepada
penulis.
6. Abah dan Mamah atas jasa-jasanya, kesabaran, do’a, dan tidak pernah
lelah dalam mendidik serta memberi rasa sayang yang tulus dan ikhlas
kepada penulis semenjak kecil.
7. Mas N dan Dek Nita, kakak dan adik yang penulis banggakan.
8. Andi Ilham Nur Putri, SH yang senantiasa meluangkan waktunya untuk
memberikan do’a, dorongan dan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan penelitian (skripsi) ini.
9. Teman-teman seperjuangan di kontrakan Gang Bentong (Barra, Iman,
Afif, Rifki, dan Fadli) yang selalu mendukung setiap langkah dalam
perjalanan pendidikan penulis di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Serta semua pihak yang telah membantu, semoga atas bantuannya kepada
penulis dapat menjadi amal shaleh yang diterima Allah SWT. Amiin.
viii
Akhirnya Penulis berharap, semoga dengan terselesaikannya penulisan
karya ilmiah ini merupakan titik awal tanggung jawab penulis sebagai insan
akademisi hukum yang selalu bertindak dan berbuat berdasarkan hukum, dan
semoga penulisan penelitian (skripsi) ini dapat bermanfaat bagi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada khususnya dan bermanfaat bagi semua
pihak pada umumnya.
Amiin-amiin yaa robbal’alamin.
Jakarta, 30 Juni 2016
Rizki Fadli Robi
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 12
C. Rumusan Masalah .......................................................................... 12
D. Pembatasan Masalah ...................................................................... 13
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 13
1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
2. Manfaat Penelitian ................................................................... 13
F. Study Review Terdahulu ................................................................ 15
G. Metode Penelitian ........................................................................... 17
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 21
BAB II PERCERAIAN DAN KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN PEJABAT NEGARA DALAM HUKUM
A. Perceraian ...................................................................................... 24
1. Pengertian Perceraian ............................................................. 24
2. Dasar Hukum Perceraian ........................................................ 26
3. Macam- Macam Perceraian .................................................... 31
B. Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara ..................................... 36
1. Pegawai Negeri Sipil .............................................................. 36
2. Pejabat Negara ....................................................................... 42
x
C. Teori Azas Persamaan di Hadapan Hukum dalam Masalah
Perceraian ...................................................................................... 47
BAB III KETENTUAN PERCERAIAN DALAM PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 JO PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990
A. Proses Perceraian di Indonesia ...................................................... 54
B. Ketentuan Perceraian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 ...... 61
1. Sejarah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990……………….61
2. Ketentuan Perceraian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990………………………………………………………….65
BAB IV STUDI PERBANDINGAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DAN PEJABAT NEGARA
A. Pemberlakuan Asas Persamaan di Hadapan Hukum dalam Proses
Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara ………….. 76
B. Kedudukan Pejabat Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990…...81
C. Perbandingan Proses Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara …………………………………………………………... 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 97
B. Saran .............................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 101
LAMPIRAN ....................................................................................................... 105
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang tidak
dapat hidup sendiri dan saling bergantung satu sama lain. Sifat saling
ketergantuangan ini sudah ada sejak lahir hingga meninggal dunia, bahkan di
akhirat pun manusia sebenarnya juga masih membutuhkan bantuan orang lain,
yaitu do’a untuk membantu mengurangi beban dosa selama di dunia. Selain itu
manusia diciptakan berpasangan laki-laki dan perempuan, agar mereka dapat
berhubungan satu sama lain sehingga mencintai, menghasilkan keturunan dan
hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk dari
Rasul-Nya yaitu perkawinan.1
Manusia adalah makhluk yang lebih diutamakan oleh Allah SWT
dibandingkan dengan makhluk lainnya. Allah SWT telah menetapkan adanya
aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan adanya aturan-aturan yang tidak
boleh dilanggar sehingga manusia tidak boleh berbuat semaunya, seperti binatang
kawin dengan lawan jenisnya atau tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan
perantara angin.2
Hal senada juga dikatakan oleh Sayyid Sabiq, bahwa perkawinan
merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah, baik
1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 45. 2 H. A. S. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989), h. 1.
2
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang
dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak,
dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan
perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Demi menjaga
kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai
dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur
secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab-qabul
sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang
menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri seks,
memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak
laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.3
Perkawinan atau dengan kata lain disebut juga dengan pernikahan yang
berasal dari kata dasar “nikah”, mempunyai pengertian secara bahasa yaitu
mengumpulkan, atau sebuah pengibaratan akan sebuah hubungan intim dan akad
sekaligus, yang di dalam syariat berarti sebuah akad yang mengandung
pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, dengan berhubungan intim,
menyentuh, mencium, memeluk, dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan
termasuk mahram dari segi nasab, sesusuan, dan keluarga.4
Pengertian
perkawinan lainnya menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
3 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2003), h.
11. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie
Al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 38.
3
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki.5
Pengertian perkawinan secara bahasa juga dapat dibaca dalam beberapa
kamus di antaranya Kamus Umum Bahasa Indonesia, kawin diartikan dengan (1)
perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri; nikah (2) (sudah) beristri
atau berbini (3) dalam bahasa pergaulan artinya bersetubuh. Pengertian senada
juga dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kawin diartikan dengan (1)
menikah (2); cak bersetubuh (3); berkelamin (untuk hewan).6
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Islam membangun kehidupan keluarga (dalam perkawinan yang sah)
atas dasar dua tujuan: pertama, menjaga keluarga dari kesesatan. Kedua, untuk
menciptakan wadah yang bersih sebagai tempat lahir sebuah generasai yang
terdiri di atas landasan yang kokoh dan teratur tatanan sosialnya.7
Tujuan perkawinan juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, yang bila kita rasakan adalah sangat ideal, karena tujuan perkawinan
itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tetapi sekaligus terdapat adanya
5 Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh, Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 37.
6 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h.
398. 7 Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulallah: Poligami dalam Islam vs
Monogami Barat, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h. 8-9. Lihat juga Yayan
Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta:
Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 174.
4
suatu pertautan bathin antara suami dan isteri yang ditujukan untuk membina
suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan
sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Yang menjadi tujuan dasar setiap
pembentukan rumah tangga, yaitu disamping untuk mendapat keturunan yang
saleh, adalah untuk dapat hidup tenteram, adanya suasana sakinah yang disertai
rasa kasih sayang.8
Sebuah Perkawinan yang lahir dari akad yang suci, menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi di antara laki-laki dan perempuan. Maka konsekuensi-
konsekuensi yang ada wajib untuk dilaksanakan dan hak suami isteri wajib
ditunaikan. Pelaksanaan kewajiban dan penunaian tanggung jawab oleh masing-
masing suami isteri merupakan suatu yang dapat mewujudkan kedamaian dan
ketenangan jiwa. Dari itu, kebahagian suami isteri akan tercipta.9
Kebahagiaan keluarga hanya bisa diperoleh pasangan suami-isteri yang
sudah matang dalam berfikir, setelah melalui manis getir perjuangan hidup dan
didukung dengan prinsip-prinsip berkeluarga yang benar sebagai landasan utama
bagi perjalanan hidup rumah tangga. Siapa pun sulit mendapatkan keharmonisan
rumah tangga, apalagi orang awam yang tidak memahami betul arti kehidupan
suami-isteri kecuali seksual fisik (hubungan badan) saja.10
Kehidupan suami isteri
hanya bisa tegak kalau ada dalam ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik,
dan masing-masing pihak menjalankan kewajibannya dengan baik. Tetapi
8Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 96. 9 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Jilid 3, diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Aulia
Rahma, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 411. 10
Ali Hasan Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian salah Siapa?Bimbingan dalam
Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Penerjemah Mudhar Ahmad Assegaf dan Hasan Shaleh,
Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Lentera Baristama, 2001), h. 12.
5
adakalanya terjadi suami membenci isteri atau isteri membenci suaminya. Dalam
keadaan seperti ini Islam berpesan dengan obat penawar yang dapat
menghilangkan sebab-sebab terjadinya atau timbulnya rasa kebencian.11
Membina sebuah rumah tangga dan menjadikannya sebagai keluarga
yang sakinah, mawadah, dan warahmah, jelas tidak segampang yang dibayangkan.
Membangun keluarga yang demikian membutuhkan proses yang panjang dan
proses untuk mencapainya sudah diatur dalam hukum Islam yaitu yang
berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits, serta ditambah dengan hukum positif
(peraturan perundang-undangan) yang berlaku di Indonesia. Keluarga sakinah
bukan berarti keluarga yang diam tanpa masalah, namun lebih kepada adanya
keterampilan untuk mengelola konflik yang terjadi di dalamnya.
Pada dasarnya tidak jarang kita temukan dalam sebuah perkawinan
selamanya berjalan lurus. Terkadang dapat terjadi pertengkaran hebat yang dapat
menyebabkan keretakan rumah tangga.12
Percekcokan yang sudah tidak dapat
diatasi dan perselisihan yang semakin hari semakin tidak terkendali. Di mana
antara satu pihak dengan yang lainnya saling menyalahkan dan jika terus
dipertahankan maka akan menimbulkan masfsadat (madharat) bagi suami dan
isteri. Maka Islam memberikan solusi melalui penetapan talaq (perceraian)
sebagai obat untuk perselisihan kekeluargaan ketika obat selainnya tidak
bermanfaat.13
Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai tentunya dengan
11
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah : Fikih Sunnah 8, Terjemahan oleh Moh Thalib, Cet.
Ke-1, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), h. 92. 12
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1995), h. 121. 13
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nur Khozin, (Jakarta:
Amzah, 2012), h. 330.
6
alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci Allah SWT.14
Hal
ini sebagaimana diatur dalam hadits dari Ibnu Umar menurut riwayat Abu Daud,
Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim, sabda Nabi yang berbunyi “ perbuatan
halal yang paling dibenci Allah adalah talaq”.15
Talak merupakan sebuah istitusi yang digunakan untuk melepaskan
sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat
putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam Undang-
Undang Perkawinan.16
Putusnya suatu perkawian tidak serta merta terjadi begitu saja, harus
ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam dan hukum positif. Para
ulama klasik membahas putusnya perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam
lembaran kitab al-fiqih al-islami wa‟adillatuh, yaitu sebagai berikut:
1. Menurut mazhab Hanafiyah, sebab-sebabnya adalah islamnya salah satu
dari suami atau isteri, murtad, khiyar, tidak adanya kesetaraan dan suami
atau isteri hilang dan tidak adanya kabar.
2. Mazhab Malikiyah, sebab-sebabnya putusnya perkawinan adalah talak,
khulu‟, khiyar/fasakh, „ila, murtad, dan perpisahan yang disebabkan tidak
adanya kesetaraan (kafa’ah) antara suami isteri.
3. Adapun menurut mazhab Syafi’iyah, sebab-sebabnya adalah talak, khulu‟,
fasakh, khiyar, nusyuz, „ila, zihar, dan li‟an.
14
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), h. 102. 15
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003), h. 124. 16
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No.1/1974 Sampai KHI, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 207.
7
4. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah, yaitu karena khulu‟, murtad, aib,
islamnya salah satu dari suami atau isteri, „ila dan li‟an.17
Sedangkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, alasan-alasan perceraian
meliputi:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan (pemboros, pemakai obat-obat
terlarang).
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama (2) dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya (pergi tanpa kabar berita).
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.18
7. Suami melanggar taklik talak;
17
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie
Al-Kattani, h. 59. 18
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 6 alasan perceraian. Lihat Abdul
Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 17.
8
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.19
Fenomena yang terjadi saat ini, angka perceraian semakin tinggi baik
dari cerai talak yang diajukan oleh suami maupun gugatan cerai yang diajukan
oleh isteri. Berdasarkan data yang didapat dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia, angka perkara perceraian yang masuk di Peradilan Agama sebesar
1.162.25420
paling tinggi jika dibandingkan dengan perkara lain yang masuk di
Badan-Badan Peradilan21
yang ada di bawah Mahkamah Agung. Lebih parahnya
lagi, di tahun 2013 BKKBN menyatakan tingkat perceraian di Indonesia sudah
menempati urutan tertinggi se Asia Pasifik, dan di tahun-tahun berikutnya jumlah
perceraian tetap semakin meningkat. Melihat data pernikahan dan perceraian di
Indonesia yang dirilis oleh Kementrian Agama RI, tampak pernikahan relatif tetap
di angka dua juta dua ratusan ribu setiap tahun, sementara perceraian selalu
meningkat hingga tembus di atas tiga ratus ribu kejadian setiap tahunnya.22
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha
semaksimal mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka
perceraian kepada titik yang paling rendah. Pembuat undang-undang ini
menyadari bahwa perceraian dilakukan tanpa kendali dan sewenang-wenang akan
19
Alasan perceraian nomor 7 dan 8 merupakan alasan perceraian yang terdapat dalam
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dalam pasal ini terdiri atas 8 alasan perceraian dengan
ketentuan alasan nomor 1 sampai 6 sama dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 20
http://putusan.mahkamahagung.go.id/semua, diakses pada hari Jum’at, 29 Januari
2016. 21
Badan-Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah Peradilan
Umum, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama. 22
http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-jam_54f357
c07455137a2b6c7115, diakses pada hari Jum’at, 29 Januari 2016.
9
mengakibatkan kehancuran bukan saja kepada suami istri tersebut, tetapi juga
kepada anak-anak yang mestinya harus diasuh dan dipelihara dengan baik.23
Melihat akibat dari perceraian yang tidak terkendali, maka untuk
menekan angka perceraian dibuat sebuah aturan pemberatan dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang sudah dua kali
diamandemen oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 65 ayat (1) yang disebutkan bahwa:
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”.24
Di Indonesia telah dikeluarkan beberapa peraturan pelaksana tentang
Perceraian. Salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Peraturan pemerintah ini secara jelas
mengatur teknis atau prosedur tentang izin perkawinan dan perceriaan bagi
Pegawai Negeri Sipil.
Definisi mengenai pegawai negeri sipil dapat kita temui pada Undang-
undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang telah
dirubah dengan Undang-undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
23
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:
Kencana, 2012), h. 8. 24
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000), h. 369.
10
Undang-Undang ini telah dicabut dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang di dalam Pasal 1 ayat (3)
menyebutkan definisi tentang pegawai negeri sipil, yaitu: “warga negara
Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara
tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan”.
Selain istilah pegawai negeri sipil dalam penyelenggaraan suatu
pemerintahan negara, kita juga sering menemukan istilah pejabat negara.
Keduanya sama-sama diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun dalam
memahaminya kita sering menyamakannya. Padahal, keduanya mempunyai
definisi, kedudukan, tugas dan wewenang yang berbeda.
Pejabat negara yang dimaksud tersebut disebutkan dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Pasal 121, yang
meliputi:
1) Presiden dan Wakil Presiden;
2) Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3) Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
4) Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
5) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung
serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali
hakim ad hoc;
6) Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
7) Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
8) Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
11
9) Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
10) Menteri dan jabatan setingkat menteri;
11) Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
12) Gubernur dan wakil gubernur;
13) Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
14) Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berbicara tentang proses perceraian, pegawai negeri sipil secara tegas
dan jelas telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Sedangkan pejabat negara hingga
saat ini belum secara tegas diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Karena hal inilah lahir suatu pertanyaan apakah dalam hal peraturan perceraian
pejabat negara disamakan dengan pegawai negeri sipil?
Oleh sebab itu, dengan adanya permasalahan hukum ini sudah
seharusnya para pakar hukum khususnya pembuat undang-undang menjawab dan
menyelesaikannya, dikarenakan kedudukan, tugas dan wewenang keduanya
sangatlah berbeda.
Berdasarkan permasalahan dan uraian di atas penulis tertarik untuk
mengangkatnya dalam penelitian skripsi yang berjudul “PROSES
PERCERAIAN ANTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN PEJABAT
NEGARA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10
TAHUN 1983 Jo PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN
1990”.
12
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah di atas, muncul beberapa
pertanyaan yang perlu penjelasan lebih supaya permasalahan yang ada tidak
menimbulkan perbedaan persepsi. Oleh karena itu, penulis merangkum beberapa
pertanyaan ke dalam identifikasi masalah, sebagaimana di bawah ini:
1. Apa pengertian dari Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara?
2. Siapa saja yang dapat disebut sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara?
3. Apa perbedaan antara Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara?
4. Bagaimana proses perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983?
5. Apakah sama proses perceraian Pejabat Negara dan Pegawai Negeri Sipil?
6. Bagaimana peraturan perundang-udangan di Indonesia mengatur mengenai
perceraian Pejabat Negara?
C. Rumusan Masalah
Dari pertanyaan yang terdapat dalam identifikasi masalah, penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara
dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia?
2. Apa perbedaan proses perceraian antara Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara?
13
D. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang dibahas penulis tidak melebar sehingga dapat
mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penulis akan
membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut adalah Proses
Perceraian yang dilakukan hanya oleh Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara,
bukan masyarakat umum dan peraturan yang dimaksud adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi
tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
b. Mengetahui proses perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.
c. Mengetahui perbedaan proses perceraian antara Pegawai Negeri Sipil
dan Pejabat Negara.
2. Manfaat Penelitian
Berawal dari rumusan penelitian yang telah dijelaskan diatas,
terdapat beberapa manfaat yang diinginkan penulis, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
1) Memperkaya ilmu penulis di bidang Ilmu Hukum, khususnya
Hukum Keluarga.
14
2) Mengelaborasikan ilmu yang diperoleh penulis di perkuliahan
dengan fakta hukum yang terjadi di saat ini.
3) Menambah khasanah keilmuan di bidang Hukum Keluarga bagi
pembacanya.
4) Menambah referensi bagi kajian Hukum Keluarga, yang mana
penulis sangat berharap agar penelitian skripsi ini memberikan
gambaran yang jelas mengenai Perbandingan Proses Perceraian
antara Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
b. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian skripsi ini terbagi menjadi tiga,
yaitu :
1) Bagi Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
rujukan bagi pemerhati hukum, khususnya mahasiswa mengenai
perbandingan proses perceraian antara Pegawai Negeri Sipil dan
Pejabat Negara.
2) Bagi Masyarakat Umum
Penelitian ini diharapkan agar masyarakat lebih memahami
bagaimana perbandingan proses perceraian antara Pegawai
Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
3) Bagi Pemerintah
Secara praktis penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan
gagasan kepada pemerintah mengenai perbandingan proses
perceraian antara Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
15
F. Study Review Terdahulu
Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan
diteliti tersebut adalah sudah dibahas atau belum sama sekali.25
Mengenai study
review terdahulu, penulis belum menemukan penelitian yang mengangkat masalah
ini, kebanyakan dari penelitian yang ada hanyalah analisa terhadap perceraian
Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan Kepolisian. Yang mana semuanya itu sudah
diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Sedangkan,
untuk perceraian Pejabat Negara penulis belum menemukan penelitian yang
mengangkat masalah ini.
Hal inilah yang menjadikan dasar bahwa penelitian ini termasuk
penelitian baru, sehingga dengan perbedaan penelitian yang baru dalam penulisan
skripsi ini nantinya tidak akan menimbulkan kecurigaan plagiasi.
Beberapa study review terdahulu yang penulis dapatkan, diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1. Inayah Maily Ridho, S1 Peradilan Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014, dengan judul: Perceraian Anggota Polri (Studi atas Peraturan
Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 dan Implementasinya di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan).
Penelitian ini membahas tentang pengaturan perkawinan dalam masalah
perceraian yang berlaku khusus bagi anggota Polri (yangmana menurut UU
ASN Nomor 5 Tahun 2014 Polri termasuk dalam PNS/ASN) serta
bagaimana implementasinya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
25
Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardhan, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosialisasi,
(Jakarta: Postekkom Dikbud dan CV Rajawali, 1984), h. 80.
16
2. Isnatun, S1 Ahwal Syahsiyah, IAIN Walisongo Semarang, 2010, dengan
judul : Penyelesaian Pembagian Gaji Pegawai Negeri Sipil Terhadap
Bekas Istri Yang Diserahkan Pada Atasan Atau Instansi Terkait Pasca
Perceraian.
Penelitian ini membahas tentang pertimbangan hukum pemberian gaji PNS
terhadap bekas istri yang diserahkan kepada instansi atau atasan terkait
pasca perceraian. Dan mengenai efektifitas putusan Pengadilan Agama
Semarang tentang pemberian gaji PNS terhadap bekas istri yang diserahkan
kepada instansi atau atasan terkait pasca perceraian.
3. Siti Nurul Midayanti, S1 Ahwal Al-Syakhsiyyah, STAIN Salatiga, 2012,
dengan judul : Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 Jo PP Nomor 45
Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian Bagi PNS di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2010.
Penelitian ini membahas tentang penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada
Tahun 2010.
4. Desniar Yusmawati, S1 Fakultas Hukum, Universitas Jember, 2012, dengan
judul : Perceraian Seorang Pegawai Negeri Sipil Tanpa Adanya Surat
Izin Cerai dari Atasannya (Studi Putusan Nomor :
5194/Pdt.G/2009/Pa.Bwi)
Penelitian ini penulis membahas tentang pengaturan perceraian seorang
PNS, apakah menggunakan surat izin cerai dari atasannya atau tanpa adanya
17
surat izin cerai dari atasannya perceraian masih tetap dapat dilangsungkan.
Dengan memberikan kesimpulan bahwa perceraian PNS harus dengan surat
izin cerai dari atasannya.
Dari penelitian yang ingin penulis bahas yaitu tentang “Proses
Perceraian antara Pegawai Negeri Sipil dengan Pejabat Negara menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990”. Melihat semua referensi yang menjadi review study
terdahulu pada penelitian ini, maka terdapat perbedaan dengan penelitian
sebelumnya, yaitu sebagai berikut :
1. Skripsi pertama, hanya membahas mengenai pengaturan perkawinan dalam
masalah perceraian yang berlaku khusus bagi anggota Polri.
2. Skripsi kedua, hanya membahas pengaturan mengenai pembagian nafkah
bagi bekas istri Pegawai Negeri Sipil (PNS).
3. Skripsi ketiga, membahas mengenai implementasi PP Nomor 10 Tahun
1983 jo PP Nomor 45 Tahun 1990 di Pengadilan Agama Salatiga pada
Tahun 2010.
4. Skripsi keempat, membahas mengenai pengaturan perceraian PNS, apakah
harus menggunakan surat izin cerai dari atasannya atau tidak.
G. Metode Penelitian
Mengingat dalam karya ilmiah, metode penelitian merupakan strategi
yang utama dan mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan
metode adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang akan
18
diteliti.26
Selain itu, metode penelitian juga menguraikan tentang cara kerja yang
sistematis yang dilakukan untuk mencapai tujuan.27
Berikut metode penelitian
yang penulis gunakan dalam penelitian skripsi ini:
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang diteliti.28
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif.29
Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan.30
Dimana penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan
valid tentang sebuah peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian.
Penelitian ini juga dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis
dan bahan-bahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undang yang
berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini
26
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1997), h. 27. 27
Afifi Fauzi Abbaz, Metodologi Penelitian, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h.
214. 28
Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), h. 4. 29
Dalam penelitian hukum normatif biasanya hanya merupakan studi dokumen, yakni
menggunakan peraturan perundang-undangan, keputusan hakim pengadilan, teori-teori hukum
dan pendapat-pendapat sarjana hukum terkemuka. Itulah sebabnya digunakan analisis secara
kualitatif (analisis normatif-kualitatif), karena datanya bersifat kualitatif. Lihat Afifi Fauzi Abbas,
Metode Penelitian, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h. 155. Lihat juga Suratman, Philips
Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 51. 30
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 23.
19
adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam
memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori
baru.
3. Sumber Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif ini terdiri dari
data primer, sekunder, dan tersier.
a. Data Primer
Data primer berupa peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukum perbandingan proses perceraian antara Pejabat Negara dengan
Pegawai Negeri Sipil, yang meliputi:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil; dan
4) Kompilasi Hukum Islam.
b. Data Sekunder
Data sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan data primer,31
berupa tulisan atau pendapat para pakar hukum
tentang permasalahan hukum keluarga yang terdapat dalam buku-buku,
31
Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-1,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 118.
20
makalah, dan jurnal hukum. Sumber data sekunder diperoleh dari hasil
penelusuran pustaka dan dokumentasi di berbagai lembaga atau instansi.
c. Data Tersier
Data Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.32
Misalnya: Kamus
Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan lain-lain.
4. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Perundang- Undangan
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah
suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang
berkaitan dengan peraturan perceraian, diantaranya:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan
4) Kompilasi Hukum Islam.
b. Pendekatan Komparatif
Pendekatan ini dilakukan dengan cara membandingkan
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yang mengatur
tentang perceraian Pejabat Negara dengan Pegawai Negeri Sipil.
32
Suratman, Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.
67.
21
Peraturan perundang-undangan yang dipakai dalam penulisan skripsi ini
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah melalui kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan membaca buku-buku atau literatur yang relevan dengan
topik masalah dalam penelitian ini.33
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis. Analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap
data primer, sekunder dan tersier dengan mengunakan pola pikir deduktif
yaitu menganalisis teori tentang perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara yang terdapat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
jo Peraturan Pemerinta Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
H. Sistematika Penulisan
Sistematikan penulisan memuat uraian dalam membentuk essay
(deskripsi) yang menggambarkan alur logis dari bangun bahasa laporan penelitian
33
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Yogyakarta:
Rineka Cipta, 2002), h. 197.
22
mulai dari bab pendahuluan sampai dengan bab penutup.34
Untuk memberikan
gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka penulis memberikan
sistematikanya secara garis besar, sebagai berikut:
Bagian awal skripsi: sampul, lembar berlogo, halaman judul,
persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan, motto dan
persembahan, prakata, Abstract, daftar isi, serta daftar lampiran.
Bagian isi skripsi terdiri atas:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini merupakan Pendahuluan yang menguraikan alasan
pemilihan judul, Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Review Study Terdahulu serta mencangkup Metodologi
Penelitian dan Sistematika Penulisan yang merupakan gambaran
atau kerangka penulisan skripsi ini.
BAB II PERCERAIAN DAN KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DAN PEJABAT NEGARA DALAM HUKUM
Bab ini penulis menguraikan pembahasan perihal: a. Perceraian; b.
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara; c. Teori Azas Kesamaan
di hadapan Hukum dalam Masalah Perceraian.
34
Afifi Fauzi Abbas, Metode Penelitian, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010), h. 215.
23
BAB III KETENTUAN IZIN PERCERAIAN MENURUT
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 Jo
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990
Bab ini penulis menguraikan pembahasan perihal: a. Proses
Perceraian di Indonesia; b. Sejarah Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990; c.
Ketentuan tentang Izin Perceraian dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990.
BAB IV STUDI PERBANDINGAN PERCERAIAN ANTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN PEJABAT NEGARA
MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10
TAHUN 1983 Jo PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45
TAHUN 1990.
Dalam bab ini penulis membahas perihal: a. Kedudukan Pejabat
Negara; b. Perbandingan Proses Perizinan Perceraian Pegawai
Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
BAB V PENUTUP
Dalam bab ini penulis akan menuliskan Kesimpulan pembahasan
pokok permasalahan yang diangkat, serta Saran-saran yang
merupakan bahan penutup dari seluruh materi yang dibahas dalam
skripsi ini.
24
BAB II
PERCERAIAN DAN KEDUDUKAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN
PEJABAT NEGARA DALAM HUKUM
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan
oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan
kerukunan, kedamaian, dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan
perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah
perceraian.35
Perceraian atau putusnya perkawinan dalam istilah fiqih disebut
“talak” atau “furqah”36
, berasal dari kata طك-طك-طاللب yang artinya
bercerai.37
Kamus Al Munawwir memberikan definisi bahasa lafaz طالق
dengan arti melepaskan ikatan.38
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerangkan
arti talak adalah perceraian antara suami dan istri atau lepasnya ikatan
perkawinan.39
Pengertian serupa juga terdapat dalam buku karya Wahbah Al-
35
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 229. 36
Furqoh berarti bercerai, lawan dari kumpul. Lihat Kamal Muchtar, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 156. 37
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al Quran, 1973), h. 239. 38
Ali Mutahar, Kamus Al-Mutahar Arab-Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta: Hikmah,
2005), h. 719. 39
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cet. Ke-1, Edisi
4, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 942.
25
Zuhaili yang berjudul Al-Fiqh Al-Islami Wa‟adillatuh yang mendefinisikan
talak menurut bahasa dengan arti melepaskan ikatan atau menceraikan.40
Sedangkan pengertian talak secara istilah, sebagaimana disebutkan
oleh para ulama mazhab, yaitu sebagai berikut:
a. Mazhab Hanafi dan Hambali
Mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung
atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Adapun yang
dimaksud secara langsung adalah tanpa terikat dengan sesuatu dan
hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tesebut dinyatakan suami.
Sedangkan yang dimaksud di masa yang akan datang adalah berlakunya
hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal.
b. Mazhab Syafi’i
Mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafad talak atau
yang semakna dengan lafad itu.
c. Mazhab Maliki
Mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan
gugurnya kehalalan hubungan suami istri.41
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
Pasal 38 memasukkan istilah perceraian sebagai sebab putusnya perkawinan,
yang dalam bunyi pasalnya “Perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian dan atas keputusan Pengadilan. Menurut Kompilasi Hukum Islam
40
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah, Abdul Hayyie
Al-Kattani, h. 356. 41
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam, Cet.
Ke-3, Jilid 5, (Jakarta: PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994), h. 53.
26
Pasal 117 dinyatakan: "talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129, 130, 131."
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa talak merupakan pemutus hubungan antara suami istri dan
menjadi sebab gugurnya hak dan kewajiban antara keduanya. Meskipun dalam
pengucapannya talak menggunakan lafad tertentu atau berbeda, namun
penekanannya dimaksudkan dengan tujuan yang sama yaitu untuk terpisahnya
hubungan suami istri atau putusnya hubungan perkawinan.
2. Dasar Hukum Perceraian
Perceraian yang benar dan sah selalu didasarkan pada dasar hukum
yang telah ditetapkan dan diatur oleh hukum, baik hukum Islam maupun
hukum positif. Adapun dasar hukum perceraian dalam hukum Islam terdapat
dalam dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadits diantaranya sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 yang berbunyi:
شئب إب ب آرز ى أ رأخزا ال ذ عشف أ رسشخ ثئدسب فئسبن ث شرب اطالق
ره دذد ث ب افزذد ب ف فال جبح ع فئ خفز أب مب دذد ا أ خبفب أب مب دذد ا
حاجمش /2: 229) ) اظب فأئه زعذ دذد ا ا فال رعزذب
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
27
b. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 230 yang berbunyi:
أ زشاجعب إ ظب أ بع فئ طمب فال جبح ثعذ دزى رىخ صجب غش فئ طمب فال رذ
حاجمش /2: 230) ) ع جب م ره دذد ا مب دذد ا
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
c. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 231 yang berbunyi:
ضشاسا ال رسى عشف ث عشف أ سشد ث فأسى أج اسبء فجغ إرا طمز
ب عى ذ ا ااروش ع ا ض ال رزخزا آبد ا فس فع ره فمذ ظ زعزذا
حاجمش /2: 231) ) شء ع ثى ا اعا أ ارما ا خ عظى ث اذى اىزبة أضي عى
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada
Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Ayat-ayat di atas merupakan dalil tentang tata cara perceraian
menurut Islam, yang memberikan makna bahwa talak yang disyariatkan Allah
SWT ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus,
dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak
pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua.42
Apabila
42
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 197.
28
suami ingin kembali/rujuk selama itu masih pada talak satu dan kedua, maka
istri masih halal baginya untuk dirujuk. Namun, hal ini tidak berlaku pada talak
ketiga. Karena bila suami ingin merujuk kembali istrinya pada talak ketiga,
istri tersebut harus terlebih dahulu menikah dengan laki-laki lain yang
kemudian mereka bercerai. Semua ketentuan ini, harus dilakukan dengan cara
yang ma‟ruf, sebagaimana telah disebutkan dalam ayat di atas.
d. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Thalaq (65) : 1 yang berbunyi:
سثى ال رخشج ارما ا أدصا اعذح عذر اسبء فطم إرا طمز ـأہب اج
فس فمذ ظ زعذ دذد ا ره دذد ا خ ج ثفبدشخ إب أ أر ال خشج ثر
ذذس ثعذ ره أشا (اطال ق /65: 1) ا ال رذسي ع
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah
kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka
dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.
Maksud ayat di atas adalah jika ingin menceraikan istri-istri kalian
maka ceraikanlah mereka pada saat menghadapi masa iddah. Hanya saja istri
yang diceraikan menerima iddah apabila perceraiannya setelah ia suci dari haid
atau nifas dan sebelum digauli.43
e. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Thalaq (65) : 2 yang berbunyi:
ا اشبدح أل ى ي عذي ذا ر أش عشف ث عشف أ فبسل ث فأسى أج فئرا ثغ
خشجب (اطال ق /65: 2) جع زك ا اخش ا ثب ؤ وب رى عظ ث
43
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta: AMZAH, 2010), h. 335.
29
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu
tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan
itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”.
Ayat di atas menerangkan tentang kehadiran dua orang saksi dalam
pengucapan talak dan juga ayat tersebut secara jelas menyuruh mengemukakan
kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian, namun ulama Jumhur tidak
mewajibkannya, akan tetapi hukumnya hanyalah sunnah.44
Dasar hukum talak menurut hadits, yaitu:
ع ش اث ع سض ب ا سسي لبي: لبي ع ذبي أثغض, س ع اهلل صى ا ذ ا ع .اطبق ا
( ا د أث س , دا اث , بج صذذ أث سجخ, اذبو (إسسب دبر
Artinya:“Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah
talak (perceraian). (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah, Hadits ini dishahihkan
oleh Hakim, namun Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal).45
ع ش اث ع سض ب ا , ع طك أ شأر - ا ذ ف - دبئض سسي ع ع اهلل صى ا
ش فسأي س سسي ع س ع اهلل صى ا : فمبي? ره ع ب ش شاجع , ف ب ث سى دزى
ش , رط , رذض ث ش ث , رط ث سه شبء إ , ثعذ أ ثعذ طك شبء إ س أ عذح فزه, ش از ا أ
ا ب رطك أ زفك) .اسبء (ع
Artinya: “Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang haid
pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar
menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian
menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu bila ia
menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau
menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa iddahnya
44
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129. 45
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Terjemah Bulughul Maram, Hadits Nomor:
1098, (Jakarta: Pustaka Imam Adz-Dzahabi, 2007), h. 525.
30
yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk menceraikan istri".
(HR. Muttafaq Alaihi).46
Sedangkan dasar hukum perceraian menurut hukum positif, yaitu
sebagai berikut:
Ketentuan normatif khususnya perceraian terkandung dalam Bab
VIII Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di
dalamnya mengatur putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, yang
diuraikan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 4147
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974. Pasal 38 menjelaskan perceraian dapat terjadi karena beberapa
alasan,48
dan Pasal 39 menjelaskan bahwa perceraian secara sah menurut
peraturan hanya dapat dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan.49
Kemudian
Pasal 40 menjelaskan tentang penegasan tata cara gugatan
perceraian.50
Sedangkan Pasal 41 menjelaskan tentang akibat putusnya
perkawinan.
Pasal-Pasal di atas merupakan dasar hukum dalam masalah
perceraian yang kemudian diperjelas dengan Pasal 14 sampai dengan Pasal 36
46
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram,Hadits Nomor:
1099, h. 525. 47
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 86. 48
Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas
keputusan Pengadilan 49
Pasal 39
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak,
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri,
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersebut. 50
Pasal 40
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat Pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri.
31
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan hal-hal teknis lainnya diatur dalam
Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.51
Perceraian dalam hukum positif, juga diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 11352
dan Pasal 11453
. Sebelum adanya peraturan-
peraturan di atas keluar, peraturan mengenai perceraian sesungguhnya telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang termuat dalam Pasal
199.54
3. Macam-Macam Perceraian
a. Talak
Pengertian talak menurut bahasa adalah putusnya ikatan
perkawinan, terbagi menjadi 2 macam yaitu talak raj‟i dan talak ba‟in.
Talak raj‟i adalah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan
membolehkan suami untuk kembali kepada istrinya selama masih dalam
masa iddahnya tanpa akad baru.55
Pasal 118 KHI juga menerangkan, talak
raj‟i adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak rujuk selama istri
dalam masa iddah. Apabila dia berkehendak untuk kembali dalam
51
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,
h. 86. 52
Pasal 113: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas
Putusan Pengadilan. 53
Pasal 114: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. 54
Pasal 199 KUHPerdata: 1) Karena kematian, 2) Karena keadaan tidak hadir si
suami atau si istri, selama sepuluh tahun diikuti dengan perkawinan baru istrinya/suaminya, 3)
Karena putusan hakim setelah ada perpisahan meja dan ranjang dan pembukuan pernyataan
bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam register catatan sipil atau BS (Burgerlijk Stan), 4)
Karena perceraian. 55
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah Khairul
Amru Harahap dan Faisal Saleh, h. 413.
32
kehidupan dengan mantan suami atau istrinya, dalam bentuk talak ini cukup
mengucapkan rujuk kepada suami.56
Sedangkan, yang dimaksud dengan talak ba‟in adalah talak yang
tidak memberikan kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali istri
yang telah ditalaknya.57
Talak ba‟in dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Talak ba‟in shugra
Adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan
bekas suaminya meskipun dalam iddah. Talak ba‟in shugra sebagaimana
tersebut pada ayat (1) adalah :
a) Talak yang terjadi qabla al dukhul;
b) Talak dengan tebusan atau khuluk;
c) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.58
2) Talak ba‟in kubra
Adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan
itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan habis masa iddahnya.59
56
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h.
220. 57
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, h. 431. 58
Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam. 59
Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam.
33
b. Khuluk
Adalah talak bentuk perceraian atas persetujuan suami istri yaitu
dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada istri dengan tebusan harta atau
uang dari pihak istri yang menginginkan cerai dengan khuluk tersebut.60
Pengertian lain dari khuluk atau yang disebut juga dengan cerai
gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang
diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami)
menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan
tersebut.
Ketentuan mengenai khuluk ini diatur dalam Pasal 132 KHI, yang
bunyi pasalnya adalah (1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau
kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi
tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami. (2) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar
negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.
c. Syiqaq
Adalah krisis memuncak yang terjadi antara suami istri
sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat
dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan
kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.61
Perselisihan ini diselesaikan
60
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. Ke-2, (Jakarta: UI Press, 1974), h.
115. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 231. 61
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h. 241.
34
oleh dua orang hakam yaitu, seorang hakam dari pihak suami dan seorang
hakam dari pihak istri.62
Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat bain, antara
bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah
yang baru.63
d. Fasakh
Adalah perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang
dianggap berat oleh suami istri atau keduanya sehingga mereka tidak
sanggup untuk melakukan kehidupan suami istri dalam mencapai
tujuannya.64
Pengertian lainnya dari fasakh adalah perceraian yang berlaku
diantara suami dan istri disebabkan timbul sesuatu yang boleh membatalkan
akad nikah.65
Pada dasarnya hukum fasakh ini adalah mubah atau boleh, tidak
disuruh dan tidak pula dilarang, namun bila melihat kepada keadaan dan
bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian. Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batalnya perkawinan dalam 7
pasal, diantaranya pada Pasal 22 yang berbunyi: Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Kemudian diatur pula dalam Peraturan
62
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987), h. 188. 63
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, h. 241. 64
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 194. 65
Kasmuri Slamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Paduan Perkawinan,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 28.
35
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana bagi Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan juga dijelaskan dalam KHI Pasal 70.66
e. Taklik-Talak
Takhlik talak adalah perceraian yang dilakukaan karena salah satu pihak
telah melanggar ketentuan yang terdapat di dalam sighot taklik talak (KHI
Pasal 8, 46 ayat (2) dan 51).
f. Zihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum zihar, ila‟ dan li‟an adalah
perbuatan kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi ungkapan
yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum berdampak
memutuskannya.
Zihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi
memfungsikan istrinya sebagai istri walaupun masih tetap diikat. Seperti
pernyataan “kamu seperti punggung ibuku sendiri”, sambil memulai sikap
tidak bersedia lagi menggauli istrinya. Begitu juga dengan ila‟ yang
merupakan kebiasaan orang jahiliyah yaitu pihak laki-laki bersumpah
mengenai hubungannya sebagai suami terhadap istrinya sendiri bahwa ia
tidak akan menggaulinya lagi.67
Sedangkan li‟an adalah saling menyatakan bahwa bersedia
dilaknat Allah setelah mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri
yang dikuatkan oleh sumpah dengan menyebut nama Allah yang dilakukan
oleh suami istri tersebut, karena salah satu pihak bersikeras menuduh pihak
66
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 244. 67
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 143.
36
yang lain melakukan perbuatan zina, atau suami tidak mengakui anak yang
sedang dikandung atau dilahirkan oleh istrinya sebagai anaknya dan pihak
lain menolak tuduhan tersebut, sedangkan masing-masing pihak tidak
mempunyai alat bukti yang dapat diajukan kepada hakim.68
B. Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara
1. Pegawai Negeri Sipil
a. Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Sesuai dengan lingkup struktural pemerintah Negara Indonesia
sebagai salah satu organisasi, maka lingkup kepegawaian pun dapat dibagi
atas beberapa jenis pegawai sebagai sumber daya manusia dari pemerintah
Negara Indonesia, termasuk pegawai negeri sipil sebagai bagian dari
pegawai negeri. Definisi pegawai negeri sipil pun tidak dapat dipisahkan
dari pengertian pegawai negeri itu sendiri.69
Logemann dengan menggunakan kriteria yang bersifat materill
dan mencermati hubungan antara negara dengan pegawai negeri,
memberikan pengertian pegawai negeri, “setiap pejabat yang mempunyai
hubungan dinas dengan negara”.70
Pegawai Negeri Sipil, menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, “Pegawai” berarti “orang yang bekerja pada
pemerintah (perusahaan dan sebagainya), sedangkan “Negeri” berarti negara
68
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Ikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), h.
143. Lihat juga Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), h. 58. 69
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta:
Media Sarana Press, 1986), h. 26. 70
Muchsan, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), h. 12.
37
atau pemerintah. Jadi bila kedua kata tersebut digabungkan artinya adalah
orang yang bekerja pada Pemerintah atau Negara.71
Sedangkan pengertian pegawai menurut beberapa ahli lainnya,
yaitu sebagai berikut:
1) Menurut Buchari Zainun, Pegawai adalah kata benda berupa orang-
orang atau sekelompok orang yang mempunyai status tertentu, karena
pekerjaannya pegawai pun dalam bahasa Jawa dari kata gawai atau
kerja.72
2) Menurut Widjaja A.W, Pegawai adalah merupakan tenaga kerja
manusia jasmaniah maupun rohaniah (mental dan pikiran) yang
senantiasa dibutuhkan dan oleh karena itu menjadi salah satu modal
pokok dalam usaha kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu
(organisasi).73
3) Menurut Musanef, Pegawai adalah mereka yang secara langsung
digerakkan oleh seorang manajer untuk bertindak sebagai pelaksana
yang akan menyelenggarakan pekerjaan sehingga menghasilkan karya-
karya yang diharapkan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi yang
telah ditetapkan.74
Pengertian di atas jika dikaitkan dengan keberadaan Negara
sebagai suatu organisasi, maka yang dimaksud dengan pegawai negeri
71
W. J. S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), h. 702. 72
Zainun, Buchari. Administrasi dan Managemen Kepegawaian Pemerintah Negara
Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1995), h. 98. 73
Widjaja A.W, Administrasi Kepegawaian, (Jakarta: Rajawali, 2006), h. 113. 74
Musanef, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1984),
h. 5.
38
adalah yang akan melaksanakan tugas-tugas pemerintah dan tugas
pembangunan. Dalam konteks ini, pegawai negeri dapat dikatakan sebagai
pekerja atau staf pada organisasi pemerintah maupun instansi perusahaan
milik negara dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan yang
diatur dan sesuai dengan peraturan pemerintah yang telah ditetapkan.75
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang merupakan undang-undang baru
pengganti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, pengertian dari Pegawai Negeri yaitu:
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah
warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai
Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan.
Dari pasal di atas PNS dapat diabstraksikan mempunyai beberapa
unsur yaitu:
1) WNI yang memenuhi syarat tertentu;
2) Diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian; dan
3) Dipekerjakan untuk menduduki jabatan pemerintahan.
b. Jenis Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara mempunyai pengertian baru yang belum
diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
75
Musanef, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, hlm 75.
39
Pokok-Pokok Kepegawaian. Pengertian baru yang dimaksud di sini adalah
bahwa Pegawai Negeri Sipil disebut sebagai Aparatur Sipil Negara76
.
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut ASN dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, dibagi ke dalam 2 jenis, yaitu:
1) PNS; dan
2) PPPK77
.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 disebutkan, dalam posisi jabatan
ASN, selain diisi dari Pegawai ASN, juga diisi oleh prajurit TNI dan
anggota Kepolisian Negara RI.
Pembagian jenis ini berbeda dengan yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, yang
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pegawai Negeri78
dibagi menjadi:
1) Pegawai Negeri Sipil;
2) Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terdiri dari:
1) Pegawai Negeri Sipil Pusat; dan
2) Pegawai Negeri Sipil Daerah.
76
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai
negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
pemerintah. 77
Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK
adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan
perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. 78
Pembagian jenis ini tidak diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Namun dijelaskan dalam Pasal 20 yang menyebutkan bahwa
posisi jabatan ASN selain diisi dari Pegawai ASN, juga diisi oleh prajurit TNI dan anggota
Kepolisian Negara RI.
40
Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang
gajinya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. PNS
tersebut bekerja pada Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen,
Kesekretariatan Lembaga Negara, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi
Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk
menyelenggarakan tugas lainya.79
Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah
Pegawai Negeri Sipil daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang gajinya
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan bekerja
pada Pemerintahan daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.80
Pembagian jenis Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Daerah dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tidak disebutkan lebih rinci, hanya
disebutkan dalam Pasal 135, yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, PNS Pusat dan PNS Daerah disebut sebagai Pegawai ASN”.
Selain pembagian jenis PNS di atas, dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 83 Jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil,
yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu
1) Pegawai Bulanan di samping pensiun;
2) Pegawai Bank milik Negara;
3) Pegawai Badan Usaha milik Negara;
4) Pegawai Bank milik Daerah;
79
Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
h. 36. Lihat juga Harmon Harun, Himpunan UU Kepegawaian, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 19. 80
Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, h. 11.
41
5) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
6) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di Desa;
c. Hak dan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil dalam menjalankan tugasnya berkedudukan
sebagai unsur aparatur negara memiliki hak dan kewajiban yang melekat
dalam dirinya. Pegawai Negeri Sipil berkewajiban melayani kebutuhan
masyarakat umum sesuai tugas yang diberikan oleh undang-undang
kepadanya. Hal ini sebagai balas jasa kepada pemerintah yang memberikan
hak berupa gaji serta tunjangan yang besarnya disesuaikan dengan tingkat
kepangkatan dari masing-masing pegawai. Berdasarkan Pasal 21 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014, hak-hak Pegawai Negeri Sipil meliputi:
1) Gaji, tunjangan, dan fasilitas;
2) Cuti;
3) Jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
4) Perlindungan; dan
5) Pengembangan kompetensi.
Sedangkan Kewajiban Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal
23 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, yang meliputi:
1) Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
pemerintah yang sah;
2) Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa;
42
3) Melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang
berwenang;
4) Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran,
kesadaran, dan tanggung jawab;
6) Menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan
dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar
kedinasan;
7) Menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia
jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
8) Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Pejabat Negara
Berbicara mengenai pejabat negara tidak lepas dari pembahasan
istilah-istilah lain dalam Ilmu Pemerintahan. Hal ini untuk mempermudah
mengerti istilah pejabat negara dan agar tidak menimbulkan salah pengertian
antara istilah pejabat negara dengan istilah lain dalam Ilmu Pemerintahan yang
dari suku katanya hampir sama. Istilah lain yang dimaksud di sini adalah
pejabat pemerintahan, pejabat publik dan pejabat politik, yang oleh banyak
orang sering salah mengartikan dan bahkan menyamakan antara arti pejabat
negara dengan ketiga istilah tersebut.
43
Sebagai pengantar untuk dapat membedakan istilah-istilah di atas,
perlu diketahui dahulu pengertian pejabat negara dengan jelas dan benar.
Pengertian pejabat negara sendiri telah jelas diatur dan disebutkan dalam Pasal
122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
yang termasuk kategori Pejabat Negara adalah sebagai berikut:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung
serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali
hakim ad hoc;
f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
j. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
l. Gubernur dan wakil gubernur;
m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
44
Dari pasal tersebut, dapat kita ketahui dengan jelas bahwa Pejabat
Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara
lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.
Selanjutnya, mengenai pengertian dari istilah-istilah lain dalam Ilmu
Pemerintahan akan dijelaskan masing-masing, sebagai berikut:
a. Pejabat Pemerintahan
Secara etimologis, Pejabat Pemerintahan terdiri dari kata pejabat dan
pemerintahan. Pengertian pejabat dapat kita temukan dalam Kamus Bahasa
Indonesia, yaitu: pegawai pemerintah yang memegang jabatan tertentu.81
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pejabat berarti pegawai
pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur) pimpinan.82
Utrecht dalam
salah satu tulisannya menyatakan bahwa: penjabat adalah seseorang yang
mewakili suatu jabatan, yakni menjalankan suatu lingkungan pekerjaan tetap
guna kepentingan negara.83
Sedangkan kata pemerintahan, dapat dibedakan dalam pengertian
luas maupun sempit. C.F. Strong mengartikan pemerintahan dalam arti luas
sebagai organisasi negara yang utuh dengan segala alat kelengkapan negara
yang memiliki fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dengan kata lain,
negara dengan seluruh alat kelengkapannya merupakan pengertian
81
Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003). 82
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-
2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). 83
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: 1957), h.
144.
45
pemerintahan dalam arti yang luas. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam
arti yang sempit, hanya mengacu pada satu fungsi saja, yakni fungsi
eksekutif.84
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui perbedaan antara
pejabat negara dengan pejabat pemerintahan. Pengertian pejabat negara akan
merujuk pada pengertian pemerintahan dalam arti yang luas. Sedangkan
pengertian pejabat pemerintahan akan mengacu pada pengertian pemerintahan
dalam arti yang sempit, atau pejabat yang berada pada lingkungan
pemerintahan saja, yakni cabang kekuasaan eksekutif.
Lebih jelasnya, pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan
kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara
beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung. Pejabat-pejabat
tersebut menjalankan fungsinya untuk dan atas nama negara. Sedangkan
pengertian pejabat pemerintahan adalah pejabat yang lingkungan kerjanya
berada pada lembaga yang menjalankan fungsi administratif belaka atau lazim
disebut sebagai pejabat administrasi negara,85
lebih tepatnya hanya berada pada
lingkungan eksekutif.
b. Pejabat Publik
Secara etimologis, Pejabat Publik terdiri dari kata pejabat dan publik.
Pengertian pejabat sebagaimana dijelaskan di atas, sedangkan pengertian
84
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-
pejabat-pemerintahan, diakses pada hari Selasa, 2 Februari 2016. 85
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-
pejabat-pemerintahan, diakses pada hari Selasa, 2 Februari 2016.
46
publik sendiri dalam KBBI, diartikan dengan orang banyak atau umum.86
Jadi
berdasarkan pengertian tersebut, penulis mengartikan pejabat publik adalah
pegawai pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan
pelayanan atau mengurusi kepentingan orang banyak atau umum.
c. Pejabat Politik
Menurut Miftah Thoha, “istilah jabatan politik baru kita kenal
setelah era reformasi ini karena banyak jabatan itu berasal dari kekuatan partai
politik. Dahulu pada zaman pemerintahan Orde Baru jabatan itu dikenal
sampai sekarang dengan istilah jabatan negara, pejabatnya disebut pejabat
negara. Ketika itu dalam pemerintahan Orde Baru tidak dikenal jabatan politik.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada zaman Orde Baru
jabatan politik dapat dipersamakan dengan jabatan negara (pejabat negara)”.87
Penulis sendiri menyimpulkan pengertian pejabat politik adalah jabatan yang
berasal dari unsur partai politik atau pemilihan maupun pengangkatannya
berasal dari partai politik.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pengertian “pejabat publik” berbeda secara substansial dengan istilah “pejabat
politik”, sebab jabatan publik tidak selalu diisi melalui proses pemilihan umum
atau layaknya mekanisme pemilihan pejabat melalui proses politik. Namun
dapat juga diisi melalui pengangkatan dengan model dan prosedur tertentu.
86
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ke-
2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). 87
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
395:kaburnya-pengertian-istilah-pejabat-negara&catid=12:artikel&Itemid=85, diakses pada hari
Selasa, 9 Februari 2016.
47
Selain itu, oleh karena beragamnya istilah tersebut di atas, dapat
disimpulkan juga bahwa pada dasarnya istilah “pejabat publik” berbeda dengan
pengertian “pejabat negara” dan “pejabat politik”. Sebab cakupan pengertian
“pejabat publik” lebih luas dari kedua istilah lainnya, dan mencakup kedua
istilah tersebut.88
C. Teori Azas Persamaan di hadapan Hukum dalam Masalah Perceraian
Azas Persamaan di hadapan hukum (equality before the law),
mempunyai makna equality yang berarti persamaan hak. Apabila asas ini
dihubungkan dengan fungsi peradilan, artinya adalah setiap orang mempunyai hak
dan kedudukan yang sama di hadapan sidang pengadilan. Asas ini selaras dengan
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang berbunyi : "Setiap orang, tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang rnenjamin
pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar".
Dalam hukum acara perdata asas ini dikenal dengan “audit et alteram
partern” atau ”eines mannes rede istkeines mannes rede, man sli sie horen alle
beide”, yang berarti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan sama
88
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=
395:kaburnya-pengertian-istilah-pejabat-negara&catid=12:artikel&Itemid=85, diakses pada hari
Selasa, 9 Februari 2016.
.
48
dan adil, masing-masing harus diberi kesempatan yang sama dalam memberikan
pendapatnya.89
Asas persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu prinsip
fundamental untuk rnenghormati harkat dan martabat manusia. Karenanya
pengakuan terhadap berlakunya asas ini telah diatur secara tegas dan telah
mendapat jaminan atau perlindungan dari UUD 1945, yang jelasnya diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Selain itu,
dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Di lingkungan Peradilan Agama, asas ini diatur dalam Pasal 58 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”.
Setiap orang yang berperkara di muka sidang pengadilan adalah sama
hak dan kedudukannya di hadapan hukum, sehingga tidak ada pembedaan yang
bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun
diskriminasi kategoris. Bentuk dari diskriminasi normatif adalah membedakan
aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak berperkara, sedangkan yang
89
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 352.
49
dimaksud dengan diskriminasi kategoris adalah membedakan-bedakan perlakuan
pelayanan berdasarkan pada status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin, dan
budaya.90
Sehubungan dengan asas equality ini, maka dalam praktik pengadilan,
terdapat tiga patokan yang fundamental, yaitu:
1. Persamaan hak atau derajat dalam proses persidangan atau “equality before
the law”.
2. Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau “equal protection on the law”.
3. Mendapatkan hak perlakukan di bawah hukum atau “qual justice under the
law”.
Ketiga patokan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dicerai-
pisahkan. Penerapannya tidak sama secara sendiri-sendiri. Ketiganya harus
diterapkan serempak dan bersama-sama. Dengan perkataan lain, ketiganya
merupakan rangkaian fundamen yang harus diterapkan secara utuh dalam satu
kesatuan yang tak terpisahkan.91
Pemberlakuan asas persamaan di hadapan hukum mencakup seluruh
aspek hukum yang ada di Indonesia, salah satunya mengenai masalah perceraian.
Peraturan yang mengatur mengenai perceraian bagi setiap warga negara diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUPA), dan
bagi warga muslim berlaku juga Kompilasi Hukum Islam. Dengan adanya
peraturan ini, maka negara melalui pembuat undang-undangnya telah
90
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), h. 37. 91
Sulaikin Lubis, Et Al, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h. 74.
50
menyamakan hukum tentang perceraian bagi setiap warga negaranya. Namun,
dalam pemberlakuaannya terdapat pengecualian yaitu bagi Pegawai Negeri Sipil
selain peraturan perceraian dalam UUPA juga berlaku peraturan khusus yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Pegawai
Negeri Sipil adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara dan Abdi Masyarakat
dan menurut keyakinan bangsa Indonesia semua manusia (termasuk PNS) adalah
Abdi Tuhan Yang Maha Esa.92
Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri adalah
penting dan menentukan, karena Pegawai Negeri adalah unsur aparatur Negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka usaha
mencapai tujuan nasional.93
Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan kepatuhan terhadap hukum,
Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk taat pada pemimpin yang dalam
hal ini taat dan patuh juga terhadap hukum yang telah dikeluarkan oleh pemimpin.
Sebagaimana yang tercantum dalam QS. An-Nisa (4) : 59 yang berbunyi :
ى فئ ربصعز ف شء فشد أ األش أطعا اشسي ا أطعا ا آ ب از ب أ إى ا
ثب رأباشسي إ وز رؤ أدس اخش ره خش ا /4: 59)اسبء) .
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
92
Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h.
22. 93
Asep Muslim, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pegawai Negeri Sipil,
(Bandung: Fokus media, 2007), h. 51.
51
Selain itu dalam Hadits juga diterangkan, yaitu:
ذى دذثب سذد دذثب سعذ ث ذ ع عج بفع دذث ا عجذ ع ا سض ا ع ع صى اج ا
ع ع لبي س شء عى اطبعخ اس ا س ب ا أدت ف ب وش ش عصخ ؤ ش فئرا ث عصخ أ فب ث
ع ) . طبعخ ب س ا ) س اجخبسي س
Artinya: “Nabi SAW bersabda : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada
umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun
yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah
berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. (HR. Bukhari dan Muslim)”.
Pegawai Negeri Sipil diharapkan dapat menyelenggarakan tugas
pemerintahan dan pembangunan nasional dengan baik tanpa adanya gangguan-
gangguan dari masalah-masalah perkawinan, serta Pegawai Negeri Sipil dapat
menjadi teladan yang baik bagi masyarakat sebagaimana yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang perkawinan
yang berlaku bagi semua Warga Negara Indonesia baik untuk berbagai agama
maupun golongan baik laki-laki maupun wanita dan tentu didalamnya juga
termasuk Pegawai Negeri Sipil. Namun, disamping itu pemerintah menerapkan
Peraturan Pemerintah khusus untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yang kemudian dirubah sebagian menjadi
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil.94
94
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta: 1994),h. 356.
52
Diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 diharapkan agar Pegawai Negeri
Sipil dapat memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi
teladan yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan
kehidupan berkeluarga. Sehubungan dengan contoh dan keteladanan yang harus
diberikan oleh Pegawai Negeri Sipil kepada bawahannya dan masyarakat, maka
kepada Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi, salah
satunya melalui peraturan ini.
Mengenai perbedaan atau kekhususan peraturan perceraian antara
Pegawai Negeri Sipil dengan warga negara (sipil), bila kita merujuk pada Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang
ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan-undangan
di atasnya. Maka, melihat ketentuan ini Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 lah
yang layak dipakai, karena kedudukannya lebih tinggi (Lex Superior Derogate
Lex Inferior) dari pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Hal ini berlaku bila Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Namun, di sisi lain Pegawai Negeri Sipil merupakan unsur aparatur
Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan
secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh
kesetiaan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini Pegawai
53
Negeri Sipil harus tunduk dan patuh (mentaati) peraturan yang mengatur tentang
Pegawai Negeri Sipil, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai peraturan yang mengatur masalah
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Maka dari itu, dalam pemberlakuannya Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tidak
menggunakan asas Lex Superior Derogate Lex Inferior, melainkan menggunakan
asas Lex Specialis Derogate Lex Generalis. Maksudnya adalah bahwa Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 merupakan Peraturan Khusus (Lex Specialis) yang mengatur tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dari Undang-Undang yang
mengatur Pegawai Negeri Sipil Secara Umum (Lex Generalis) yaitu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sehingga dalam hal
ini berlaku azas Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, dimana Pegawai Negeri
Sipil harus tunduk dan patuh (mentaati) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 sebagai aturan khusus yang
mengatur tentang perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil disamping
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur tentang perkawinan dan
perceraian secara umum.
54
BAB III
KETENTUAN PERCERAIAN DALAM
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 Jo PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990
A. Proses Perceraian di Indonesia
Proses atau tata cara perceraian yang berlaku di Indonesia hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan95
, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini sejalan
dengan prinsip atau asas dalam Undang-Undang Perkawinan untuk mempersulit
terjadinya perceraian. Pengajuan perceraian dapat dilakukan oleh kedua belah
pihak, baik oleh suami maupun istri. Sebagaimana aturan yang berlaku, bahwa
perceraian di Indonesia terdiri dari dua jenis, yaitu: Cerai Talak yang diajukan
oleh pihak suami dan Cerai Gugat yang diajukan oleh pihak istri. Selain itu, tata
cara pengajuan perceraian dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan
(Pasal 118 HIR).
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian ke pengadilan
diatur secara jelas dalam Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA)96
, yaitu
sebagai berikut:
95
Perceraian yang dilakukan oleh muslim diajukan ke Pengadilan Agama, sedangkan
non-muslim diajukan ke Pengadilan Negeri. 96
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian
diubah dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009.
55
1. Cerai Talak
a. Permohonan Ijin Ikrar Talak (Cerai Talak) harus diajukan oleh suami
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
Termohon, kecuali apabila Termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa ijin Pemohon (Pasal 66 ayat (2)
UUPA);
b. Dalam hal Termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Pemohon (Pasal 66 ayat (3) UUPA);
c. Dalam hal Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 66 ayat (4) UUPA);97
d. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak (Pasal 66 ayat (5) UUPA).
2. Cerai Gugat
a. Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat,
kecuali apabila Penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa ijin Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UUPA);
97
Masrum M Noor, Peradilan Agama Penegak Syari‟ah Tertentu di Indonesia,
(Banten: Pengadilan Tinggi Agama Banten, 2015), h. 8.
56
b. Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, diajukan kepada
Pengadilan Agama yang meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat
(2) UUPA);
c. Dalam hal Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UUPA).98
Surat permohonan99
yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan ke
kepaniteraan Pengadilan Agama (surat permohonan diajukan pada sub
kepaniteraan permohonoan).
Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, panitera melakukan
penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara sudah dilakukan
sebelum perkara didaftarkan100
. Misalnya dalam membuat surat permohonan,
kepaniteraan dibolehkan memberikan arahan pada pemohon apabila dalam
permohonan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam
permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petitum dan positanya jelas,
98
Masrum M Noor, Peradilan Agama Penegak Syari‟ah Tertentu di Indonesia, h. 9.
Lihat juga Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 233. 99
Permohonan Cerai Talak memuat: nama, umur, dan tempat kediaman Pemohon dan
Termohon, serta alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 67 UUPA). 100
Penelitian yang dilakukan oleh Kepaniteraan Pengadilan Agama meliputi dua hal:
(1) Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas dan benar mulai dari identitas pihak-
pihak, bagian posita dan tentang petitumnya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petitum
dan sebagainya; (2) Apakah perkara tersebut termasuk kewenangan Pengadilan Agama, baik
kewenangan relative maupun kewenangan absolut. Lihat Roihan A. Rasyid, Hukum Acara
Peradilan Agama, Ed. Ke-1, Cet. Ke-1, (Jakarta: Rajawali, 1991), h. 73.
57
seperti ada petitum namun tidak didukung oleh posita berarti permohonan tidak
jelas.101
Jika hal tersebut terjadi maka permohonan tersebut terlebih dahulu
harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam meneliti
berkas permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan
membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta
resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan. Dengan disertai saran
misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup siap untuk disidangkan”.102
Kemudian pemohon ke Meja I (termasuk di dalamnya Kasir) untuk
menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi
untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan Pasal 193 Rbg /
Pasal 128 ayat (1) HIR / Pasal 90 ayat (1) UUPA, yang meliputi:
1. Biaya kepaniteraan dan biaya materai;
2. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah;
3. Biaya pemeriksaan setempat dan tindakan lain hakim;
4. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan
yang berkenaan dengan perkara tersebut.103
Ketentuan di atas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan
untuk mengajukan permohonan cerai secara prodeo (cuma-cuma).
101
Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Cet. Ke-4, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), h. 76. 102
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. Ke-2, Cet. Ke-8, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001), h. 129. 103
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
Ed. Ke-1, Cet. Ke-1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 10.
58
Ketidakmampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari
Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu,
pemohon menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat permohonan dan surat
SKUM yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat permohonan tersebut
dimasukkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada Wakil
Panitera untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.104
Setelah terdaftar, permohonan diberi nomor perkara kemudian diajukan
kepada Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima permohonan maka
ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut105
. Pada
prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh majelis hakim, maka
ketua menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang
hakim anggota.106
Ketua Majelis Hakim yang telah ditunjuk dengan surat ketetapannya
dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan107
.
Ketua Majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam
persidangan. Pasal 121 HIR, untuk membantu Majelis Hakim dalam
104
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari‟ah di Indonesia, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 14. Lihat juga Chatib Rasyid
dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 65. Dan Musthofa Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama, Ed. 1.
Cet. 1, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 56. 105
Pasal 121 HIR jo. Pasal 93 UUPA. Lihat juga M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari‟ah di Indonesia, Ed. Ke-1, Cet. Ke-1,
(Jakarta: Kencana, 2005), h. 118. Penunjukan Majelis Hakim selambat-lambatnya dalam watu 10
(sepuluh) hari kerja sejak perkara didaftarkan. Lihat Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi 2010. 106
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Cet. Ke-6, (Jakarta: SInar Grafika, 2004), h. 39. 107
Dalam menetapkan hari sidang, dimusyawarahkan dengan para anggota Majelis
Hakim. Lihat Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi
Revisi 2010.
59
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam
hal ini Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti.108
Berkaitan dengan pemanggilan para pihak, maka harus dilakukan
dengan cara yang resmi dan patut, yaitu sebagaimana berikut ini:
1. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil di tempat tinggalnya109
;
2. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal;
3. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya;
4. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan
memeriksa perkara yang bersangkutan;
5. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.110
Selanjutnya masuk pada proses pemeriksaan perkara, yang dilakukan di
depan sidang pengadilan dengan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata
sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama Pasal 54: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan
Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang
108
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana,
2006), h. 214. Lihat juga Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Edisi Revisi 2010. 109
Tenggang waktu antara panggilan para pihak dengan hari sidang minimal 3 hari
kerja. 110
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h. 40. Lihat juga Buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi 2010.
60
berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini”.111
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat checking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa
mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian112
, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Pemohon ataupun termohon, hakim harus
sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum
dilanjutkan ketahap pemeriksaan.113
Persidangan dinyatakan tertutup untuk umum
tidak berlaku pada saat sidang putusan, karena putusan harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 81 UUPA).
Sebelum masuk ke tahap pemeriksaan, pihak pemohon membacakan
dahulu surat permohonannya, dan selanjutnya pada tahap dari termohon, pihak
termohon diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala
kepentingannya terhadap pemohon melalui hakim. Pada tahap replik pemohon
kembali menegaskan isi permohonannya yang dilakukan oleh termohon dan juga
mempertahankan diri atas sanggahan-sanggahan yang disangkal termohon.
Kemudian pada tahap duplik, termohon dapat menjelaskan kembali jawabannya
yang disangkal oleh pemohon.
111
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 202. 112
Perdamaian atau mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator (PERMA
Nomor 1 Tahun 2008). Sebelum masuk pada sidang pemeriksaan para pihak, terlebih dahulu para
pihak dihadapkan untuk dilakukan mediasi. Bila mediasi berhasil, maka perkara yang diajukan
telah selesai. Namun bila gagal, maka akan berlanjut ke sidang pemeriksaan para pihak. 113
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h. 41.
61
Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat
memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap
pembuktian, pemohon dan termohon mengajukan semua alat-alat bukti yang
dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak
menilai alat bukti pihak lawannya.
Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan
pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan
dalam putusan114
dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.115
B. Ketentuan Perceraian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
1. Sejarah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil disahkan pada tanggal
21 April 1983 di Jakarta, oleh Presiden Repulik Indonesia yang saat itu dijabat
oleh Soeharto dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Repulik
Indonesia yang dijabat oleh Soedarmono, S.H.
114
Putusan Peradilan Agama diambil dalam musyawarah Majelis Hakim. Tata cara
rapat permusyawaratan majelis dapat berpedoman pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung
RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 tentang pemberlakuan buku II Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan (khusus Peradilan Agama). Lihat Masrum M
Noor, Peradilan Agama Penegak Syari‟ah Tertentu di Indonesia, h. 18. 115
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata, h. 41. Lihat juga Chatib Rasyid dan
Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama, h. 77-95.
Dan Musthofa Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama, h. 115-117.
62
Pemerintah mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 sebagai sebuah peraturan khusus bagi kelompok warga negara Indonesia
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Dibentuknya peraturan ini adalah wujud
penegakan disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil dalam lingkup kehidupan
berkeluarga, selain itu Pegawai Negeri Sipil sebagai pelaksana aparatur negara
diharapkan dapat menjadi contoh dan teladan yang baik bagi bawahannya dan
warga negara lainnya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam latar
belakang atau konsideran angka 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 yang berbunyi:
2. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada
bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam
masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
3. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil
dalam melakukan perkawinan dan perceraian, dipandang perlu untuk
menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai izin perkawinan dan
perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Selain itu, disebutkan juga dalam penjelasan umum Peraturan
Pemerintah tersebut, bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur
Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang
baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat melaksanakan
kewajibannya.
63
Agar dalam melaksanakan kewajibannya yang demikian itu tidak
terganggu oleh masalah-masalah keluarga, maka perlu dibentuk peraturan
khusus yang mengatur mengenai perkawinan dan perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
Selanjutnya, dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan dan
menegakkan disiplin Pegawai Negeri Sipil serta memberikan kepastian hukum
dan rasa keadilan dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983. Oleh karena itu, pemerintah pada
tanggal 6 September 1990 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Disahkan juga oleh Presiden Soeharto dan diundangkan oleh Menteri
Sekretaris Negara Repulik Indonesia yang dijabat oleh Moerdiono.
Perubahan ini dilakukan atas beberapa alasan yang tercantum dalam
penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, yaitu sebagai
berikut:
a. Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 tidak jelas. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
seharusnya terkena ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 dapat menghindar, baik secara sengaja maupun tidak, terhadap
ketentuan tersebut.
b. Disamping itu adakalanya pula Pejabat tidak dapat mengambil tindakan
yang tegas karena ketidakjelasan rumusan ketentuan Peraturan
64
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi
peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-sendiri. Oleh karena itu
dipandang perlu melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau
mengubah beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tersebut.
c. Beberapa perubahan yang dimaksud adalah mengenai kejelasan tentang
keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian,
larangan bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat, pembagian gaji sebagai akibat terjadinya
perceraian yang diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua
belah pihak.
d. Perubahan lainnya yang bersifat mendasar dan lebih memberi kejelasan
terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 ialah
mengenai pengertian hidup bersama yang tidak diatur sebelumnya.
Dalam Peraturan Pemerintah ini di samping diberikan batasan yang lebih
jelas, juga ditegaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan
hidup bersama dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria
yang bukan suaminya sebagai suami tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dijatuhi salah satu
hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30
Tahun 1980.
e. Mengingat faktor penyebab pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 berbeda-beda maka sanksi terhadap pelanggaran
65
yang semula berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil, dalam Peraturan Pemerintah ini
diubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah, Nomor 30 Tahun 1980, hal mana dimaksudkan untuk lebih
memberikan rasa keadilan.
f. Mereka yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, apabila melanggar ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah
ini, dikenakan pula hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
Demikian alasan-alasan yang menjadi dasar perubahan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983, yang selanjutnya peraturan tersebut
dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
2. Ketentuan Perceraian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
Perceraian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 di atur lebih lanjut mengenai
petunjuk pelaksanaannya dalam Surat Edaran Nomor: 48/SE/1990 tentang
66
Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 sebagai
berikut116
:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian, wajib memperoleh
ijin tertulis atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat.
2. Pegawai Negeri Sipil baik pria maupun wanita yang akan melakukan
perceraian dan berkedudukan sebagai penggugat, wajib memperoleh ijin
tertulis lebih dahulu dari pejabat.
Contoh :
a. Saudara Amir seorang Pegawai Negeri Sipil mempunyai istri bernama
Tuti. Saudara Amir bermaksud akan menceraikan istrinya. Untuk
melaksanakan maksudnya tersebut, Saudara Amir yang berkedudukan
sebagai penggugat wajib memperoleh ijin tertulis lebih dahulu dari
Pejabat. Setelah memperoleh ijin tertulis tersebut, ia harus
mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan setempat.
b. Saudari Isti seorang Pegawai Negeri Sipil mempunyai suami bernama
Anto. Saudari Isti bermaksud akan mengajukan gugatan perceraian
terhadap suaminya. Untuk melaksanakan maksudnya tersebut saudari
Isti yang berkedudukan sebagai penggugat wajib memperoleh ijin
tertulis lebih dahulu dari Pejabat. Setelah memperoleh ijin tertulis
tersebut, ia harus mengajukan gugatan perceraian melalui pengadilan
setempat.
116
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peratutan Pelaksanaannya di Negara Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 660-661.
67
3. Pegawai Negeri Sipil baik pria maupun wanita yang akan melakukan
perceraian dan berkedudukan sebagai tergugat, wajib memberitahukan
secara tertulis adanya gugatan dari suami atau istrinya melalui saluran
hirarki kepada Pejabat untuk mendapatkan surat keterangan, dalam waktu
selambat-lambatnya enam hari kerja setelah ia menerima gugatan
perceraian yang dibuat menurut contoh sebagaimana tersebut dalam
Lampiran I.
Contoh :
a. Saudari Tuti seorang Pegawai Negeri Sipil telah menerima gugatan
cerai dari suaminya bernama Amir melalui pengadilan setempat.
Dalam hal demikian, saudari Tuti yang berkedudukan sebagai tergugat
wajib memberitahukan secara tertulis adanya gugatan dari suaminya
tersebut kepada Pejabat untuk mendapatkan surat keterangan untuk
melakukan perceraian dalam jangka waktu selambat-lambatnya enam
hari kerja.
b. Saudara Rano seorang Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 31 Oktober
1990 telah menerima gugatan cerai dari istrinya bernama Ari melalui
pengadilan setempat. Dalam hal demikian, saudara Rano yang
berkedudukan sebagai tergugat wajib memberitahukan secara tertulis
adanya gugatan kepada Pejabat untuk mendapatkan surat keterangan
untuk melakukan perceraian selambat-lambatnya tanggal 7 Nopember
1990.
Catatan : Tanggal 4 Nopember 1990 adalah hari libur.
68
4. Suami istri yang akan melakukan perceraian dan keduanya berkedudukan
sebagai Pegawai Negeri Sipil baik dalam satu lingkungan instansi maupun
pada departemen/instansi yang berbeda, masing-masing Pegawai Negeri
Sipil tersebut wajib memperoleh ijin tertulis atau surat keterangan lebih
dahulu dari Pejabat.
Contoh :
a. Saudara Imam mempunyai istri bernama Nuri, keduanya Pegawai
Negeri Sipil pada Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Saudara
Imam bermaksud akan menceraikan istrinya. Untuk melaksanakan
maksudnya tersebut saudara Imam yang berkedudukan sebagai
penggugat wajib memperleh ijin tertulis lebih dahulu dari Kepala
BAKN. Setelah memperoleh ijin tertulis tersebut, ia harus mengajukan
gugatan perceraian melalui pengadilan setempat. Saudari NURI yang
berkedudukan sebagai tergugat wajib memperoleh surat keterangan
untuk melakukan perceraian dari Kepala BAKN.
b. Saudari Fatimah seorang Pegawai Negeri Sipil pada Departemen
Tenaga Kerja mempunyai suami bernama Dulah seorang Pegawai
Negeri Sipil pada Pemda Tingkat I Jawa Barat. Saudari Fatimah
bermaksud akan mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya
melalui pengadilan setempat. Untuk melaksanakan maksudnya
tersebut, saudari Fatimah yang berkedudukan sebagai penggugat wajib
memperoleh ijin tertulis lebih dahulu dari Menteri Tenaga Kerja.
Saudara Dulah yang berkedudukan sebagai tergugat wajib
69
memperoleh surat keterangan untuk melakukan perceraian dari
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat.
5. Pegawai Negeri Sipil hanya dapat melakukan perceraian apabila ada
alasan yang sah, yaitu salah satu alasan atau lebih alasan sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina.
b. Salah satu pihak menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar
disembuhkan .
c. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-
turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah serta tanpa
memberikan nakfah lahir maupun batin atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
Contoh :
1) Saudara Indra (swasta) dengan istrinya bernama Rima (Pegawai
Negeri Sipil ) antara keduanya telah terjadi percekcokan. Akibat
percekcokan tersebut saudara Indra telah meninggalkan rumah
tanpa sepengetahuan maupun ijin istri, dan selama meninggalkan
istrinya yang bersangkutan tidak lagi memberikan nafkah baik lahir
maupun batin. Dalam hal demikian apabila Saudari Rima akan
melakukan perceraian, harus menunggu dua tahun berturut-turut
sejak kepergian suaminya.
2) Saudari Tina seorang Pegawai Negeri Sipil bersuamikan Saudara
Anton seorang pilot di salah satu perusahaan penerbangan di
Indonesia. Pada tanggal 30 September 1990 saudara Anton
70
melakukan penerbangan dari Jakarta ke Kalimantan namun pada
waktu yang telah ditentukan ternyata pesawat tersebut tidak
diketahui secara pasti di mana mendaratnya. Setelah tim SAR
mencarinya selama tiga bulan ternyata pesawat tersebut tidak
diketemukan dan untuk sementara dinyatakan hilang. Dalam hal
ini, apabila saudari Tina akan melakukan perceraian harus
menunggu dua tahun berturut-turut sejak suaminya dinyatakan
hilang.
d. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman
yang lebih berat secara terus-menerus setelah perkawinan
berlangsung.
e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik
lahir maupun batin yang membahayakan pihak lain;
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
6. Alasan perceraian sebagaimana dimaksud dalam angka 5 di atas, harus
dikuatkan dengan bukti sebagaimana yang ditentukan dalam angka III
angka 2 Surat Edaran Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara
Nomor 08/SE/1983 tanggal 26 April 1983.
7. Tata cara penyampaian pemberitahuan adanya gugatan perceraian dari
suami/istri tersebut dilaksanakan sebagaimana halnya penyampaian surat
permintaan ijin perceraian.
71
8. Setiap atasan dan pejabat yang menerima surat pemberitahuan adanya
gugatan perceraian harus melaksanakan tugas dan wewenangnya seperti
dalam hal menerima permintaan ijin perceraian, yaitu wajib merukunkan
kembali kedua belah pihak dan apabila perlu dapat memanggil atau
meminta keterangan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
9. Untuk membantu Pejabat dalam melaksanakan kewajibannya agar
dibentuk Tim Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 di lingkungan masing-
masing.
10. Pejabat harus memberikan surat keterangan untuk melakukan perceraian
kepada setiap Pegawai Negeri Sipil yang menyampaikan surat
pemberitahuan adanya gugatan, menurut contoh sebagaimana tersebut
dalam Lampiran II.
11. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan Pejabat tidak juga menetapkan
keputusan yang sifanya tidak mengabulkan atau tidak menolak permintaan
ijin untuk melakukan perceraian atau tidak memberikan surat keterangan
untuk melakukan perceraian kepada Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan, maka dalam hal demikian Pejabat tersebut dianggap telah
menolak permintaan ijin perceraian yang disampaikan oleh Pegawai
Negeri Sipil bawahannya.
12. Apabila hal tersebut dalam angka 11 di atas ternyata semata-mata
merupakan kelalaian dari Pejabat, maka pejabat yang bersangkutan
dikenakan hukuman disiplin.
72
13. Apabila usaha untuk merukunkan kembali tidak berhasil dan perceraian itu
terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria, maka ia wajib
menyerahkan bagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-
anaknya.
14. Pegawai Negeri Sipil yang diwajibkan menyerahkan bagian gajinya untuk
penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, wajib membuat pernyataan
tertulis, menurut contoh sebagaimana tersebut dalam Lampiran III.
15. Hak atas bagian gaji untuk bekas istri sebagaimana dimaksud dalam angka
13 tidak diberikan, apabila perceraian terjadi karena istri terbukti telah
berzina dan atau istri terbukti telah melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap suami dan atau istri
terbukti menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan
dan atau istri terbukti telah meninggalkan suami selama dua tahun
berturut-turut tanpa ijin suami dan tanpa alasan yang sah atau karena hal
lain di luar kemampuannya.
16. Meskipun perceraian terjadi atas kehendak istri yang bersangkutan, haknya
atas bagian gaji untuk bekas istri tetap diberikan apabila ternyata alasan
istri mengajukan gugatan cerai karena dimadu, dan atau karena suami
terbukti telah berzina, dan atau suami terbukti telah melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap istri, dan atau
suami terbukti telah menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang sukar
disembuhkan dan atau suami terbukti telah meninggalkan istri selama dua
73
tahun berturut-turut tanpa ijin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya.
17. Yang dimaksud dengan gaji adalah penghasilan yang diterima oleh suami
dan tidak terbatas pada penghasilan suami pada waktu terjadinya
perceraian.
18. Bendaharawan gaji wajib menyerahkan secara langsung bagian gaji yang
menjadi hak bekas istri dan anak-anaknya sebagai akibat perceraian, tanpa
lebih dahulu menunggu pengambilan gaji dari Pegawai Negeri Sipil bekas
suami yang telah menceraikannya.
19. Bekas istri dapat mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara
langsung dari Bendaharawan gaji, atau dengan surat kuasa, atau dapat
meminta untuk dikirimkan kepadanya.
20. Apabila ada gugatan perceraian yang diajukan oleh pihak istri dan setelah
dilakukan upaya merukunkan kembali oleh Pejabat tidak berhasil, maka
proses pemberian ijin agar diselesaikan secepatnya mematuhi dan sesuai
dengan ketentuan jangka waktu yang telah ditentukan.117
Selanjutnya petunjuk pelaksanaan perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil yang menduduki jabatan tertentu, adalah sebagai berikut:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian dan Pegawai
Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang yang berkedudukan
sebagai :
117
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.
699.
74
a. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung,
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank
Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib memperoleh ijin lebih
dahulu dari Presiden.
b. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Wakil
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dan Walikota di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta serta Walikota Administratif, wajib
memperoleh ijin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri;
c. Pimpinan / Direksi Bank Milik Negara dan Pimpinan Badan Usaha
Milik Negara, wajib memperoleh ijin lebih dahulu dari Presiden ;
d. Pimpinan/Direksi Bank Milik Daerah dan Pimpinan Badan Usaha
Milik Daerah, wajib memperoleh ijin lebih dahulu dari Kepala Daerah
Tingkat I/ Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
e. Anggota Lembaga Tertinggi / Tinggi Negara wajib memperoleh ijin
lebih dahulu dari Menteri / Pimpinan instansi induk yang
bersangkutan;
f. Kepala Desa, Perangkat Kepala Desa dan Petugas yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa wajib memperoleh
ijin lebih dahulu dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II yang
bersangkutan.
75
2. Tata cara permintaan ijin, begitu juga tentang ketentuan-ketentuan lain
yang harus dipenuhi dan ditaati adalah sama dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana tersebut dalam angka III, angka IV Surat Edaran Kepala
Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 tanggal 26
April 1983 dan angka II, III, IV Surat Edaran ini.
76
BAB IV
STUDI PERBANDINGAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN PEJABAT NEGARA
A. Pemberlakuan Asas Persamaan di Hadapan Hukum dalam Proses
Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara
Azas Persamaan di hadapan hukum (equality before the law),
mempunyai makna equality yang berarti persamaan hak. Apabila asas ini
dihubungkan dengan fungsi peradilan, artinya adalah setiap orang mempunyai hak
dan kedudukan yang sama di hadapan sidang pengadilan.118
Setiap orang yang berperkara di muka sidang pengadilan adalah sama
hak dan kedudukannya di hadapan hukum, sehingga tidak ada pembedaan yang
bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun
diskriminasi kategoris. Bentuk dari diskriminasi normatif adalah membedakan
aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak berperkara, sedangkan yang
dimaksud dengan diskriminasi kategoris adalah membedakan-bedakan perlakuan
pelayanan berdasarkan pada status sosial, ras, agama, suku, jenis kelamin, dan
budaya.119
Pemberlakuan asas persamaan di hadapan hukum mencakup seluruh
aspek hukum yang ada di Indonesia, salah satunya mengenai masalah perceraian.
Peraturan yang mengatur mengenai perceraian bagi setiap warga negara diatur
118
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h.
352. 119
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, h. 37.
77
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUPA), dan
bagi warga muslim berlaku juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Ketentuan normatif mengenai perceraian dalam UUPA terkandung
dalam Bab VIII yang di dalamnya mengatur putusnya perkawinan dan akibat
hukumnya, yang diuraikan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41.120
Pasal 38
menjelaskan perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan121
, dan Pasal 39
menjelaskan bahwa perceraian secara sah menurut peraturan hanya dapat
dilaksanakan di hadapan sidang Pengadilan.122
Kemudian Pasal 40 menjelaskan
tentang penegasan tata cara gugatan perceraian.123
Sedangkan Pasal 41
menjelaskan tentang akibat putusnya perkawinan.124
Sedangkan, dalam KHI perceraian diatur dalam BAB XVI yang terdiri
dari Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 berisi tentang ketentuan umum putusnya
120
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 86. 121
Pasal 38: Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian dan c. atas
keputusan Pengadilan 122
Pasal 39
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak,
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri,
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan tersebut. 123
Pasal 40
1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat Pasal ini diatur
dalam peraturan perundangan tersendiri. 124
Pasal 41: Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah, a) Baik ibu
atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan hak terhadap
anak-anak, Pengadilan memberi keputusan., b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua
biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut
memikul biaya tersebut.
78
perkawinan (perceraian) dan Pasal 129 sampai dengan Pasal 148 berisi tentang
tata cara Perceraian.
Dengan adanya peraturan ini, maka negara melalui pembuat undang-
undangnya telah melaksanakan asas persamaan di hadapan hukum tentang
perceraian bagi setiap warga negaranya. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat
pengecualian bagi Pegawai Negeri Sipil, selain peraturan perceraian dalam UUPA
dan KHI (bagi warga muslim) juga berlaku peraturan khusus yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Pengecualian pemberlakuan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil
dikarenakan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang menjadi dasar
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa Pegawai Negeri Sipil
merupakan unsur aparatur Negara yang diharapkan dapat memberikan contoh
yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan yang baik pada masyarakat,
termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga salah satunya
mengenai perkawinan dan perceraian. Oleh karena itu, asas persamaan di hadapan
hukum bagi Pegawai Negeri Sipil mengenai pemberlakuan hukum perceraian
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam) tidak
berlaku sepenuhnya karena menggunakan asas Lex Specialis Derogate Lex
Generalis. Maksudnya adalah bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 merupakan Peraturan
Khusus (Lex Specialis) yang mengatur tentang Perceraian bagi Pegawai Negeri
Sipil, dari Undang-Undang yang mengatur Perceraian secara Umum (Lex
79
Generalis) yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam. Sehingga dalam hal ini berlaku azas Lex Spesialis
Derogat Lex Generalis, dimana Pegawai Negeri Sipil harus tunduk dan patuh
(mentaati) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 45 tahun 1990 sebagai aturan khusus yang mengatur tentang perceraian
Pegawai Negeri Sipil disamping Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang
mengatur tentang perceraian secara umum.
Sedangkan bagi Pejabat Negara, pemberlakuan asas di hadapan hukum
mengenai perceraian disamakan dengan Pegawai Negeri Sipil, yaitu berlaku juga
asas Lex Spesialis Derogat Lex Generalis. Pejabat Negara harus tunduk dan patuh
(mentaati) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 45 tahun 1990 sebagai aturan khusus yang mengatur tentang perceraian
Pejabat Negara disamping Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang perceraian secara umum.
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara dalam pelaksanaan kepatuhan
terhadap hukum, Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk taat pada
pemimpin yang dalam hal ini taat dan patuh juga terhadap hukum yang telah
dikeluarkan oleh pemimpinnya. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. An-Nisa
(4) : 59 yang berbunyi :
ى فئ ربصعز ف شء فشد أ األش أطعا اشسي ا أطعا ا آ ب از ب أ إى ا
اخش ا ثب رأباشسي إ وز رؤ أدس /4: 59)اسبء). ره خش
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
80
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Selain itu dalam Hadits juga diterangkan, yaitu:
ذى دذثب سذد دذثب سعذ ث ذ ع عج بفع دذث ا عجذ ع ا سض ا ع ع صى اج ا
ع ع لبي س شء عى اطبعخ اس ا س ب ا أدت ف ب وش ش عصخ ؤ ش فئرا ث عصخ أ فب ث
ع ) . طبعخ ب س ا ) س اجخبسي س
Artinya: “Nabi SAW bersabda : Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada
umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun
yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah
berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. (HR. Bukhari dan Muslim)”.
Dalil di atas menjelaskan bahwa kewajiban bagi kita untuk mematuhi
dan menaati pemimpin sebagaimana kita taat pada Allah dan Rasul-Nya. Namun,
ketaatan pada pemimpin yang dimaksud dalam dalil di atas tidaklah mutlak.
Karena jika pemimpin memerintahkan pada perbuatan maksiat, kita tidak boleh
patuh dan taat.
Selain itu, dalam kaidah fiqih kita mengenal kaidah yang berkaitan
dengan Mashlahah Mursalah yaitu صبخ جت فبسذ دسء ا ا (meraih kemaslahatan
dan menolak kemafsadatan). Dalam kaidah ini bisa diambil pemahaman bahwa,
seluruh yang mashlahat diperintahkan oleh syari’at dan seluruh yang mafsadah
dilarang oleh syari’at.125
Berkenaan dengan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Karena peraturan ini
dikeluarkan bertujuan untuk kebaikan (kemaslahatan) bagi masyarakat khususnya
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara, selain itu juga agar Pegawai Negeri
125
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004), h. 27.
81
Sipil dan Pejabat Negara diharapkan dapat menjadi teladan yang baik bagi
masyarakat serta menghindarkan dari perilaku jahat atau pelanggaran yang
menyimpang. Maka, sudah sewajibnya Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara
patuh dan taat pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 sebagai aturan khusus yang mengatur tentang
perceraian, disamping Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam yang mengatur tentang perceraian secara umum.
B. Kedudukan Pejabat Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya dan dalam
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, bahwa yang termasuk kategori Pejabat
Negara, adalah :
1. Presiden dan Wakil Presiden;
2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah;
5. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta
ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad
hoc;
6. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi;
7. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
8. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
82
9. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
10. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
11. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
12. Gubernur dan wakil gubernur;
13. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan
14. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Kedudukan Pejabat Negara tersebut di atas dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, akan dijelaskan
sebagai berikut:
1. Presiden dan Wakil Presiden;
Presiden sebagai Pejabat Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mempunyai
kedudukan sebagai pihak yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
izin atau keputusan tentang diterimanya atau ditolaknya permohonan izin
perceraian yang dimintakan atau diajukan kepadanya. Hal ini tercantum dalam
Pasal 12 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 yang berbunyi, “(1) Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
83
wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden; dan (3) Pimpinan Bank Milik
Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara, wajib meminta izin lebih
dahulu dari Presiden.”
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tidak mengatur mengenai posisi Presiden
sebagai pihak yang akan melaksanakan perceraian, hanya sebagai pihak yang
memberikan izin perceraian terhadap bawahannya sebagaimana disebutkan
dalam peraturan pemerintah tersebut. Melihat hal ini, tentu akan timbul
pertanyaan bagaimana pengaturan perceraian yang berlaku bagi Presiden,
apakah perlu sebuah peraturan khusus untuk mengaturnya.
Presiden sebagai warga negara Indonesia, dalam menjalankan
kehidupan bernegara tidak lepas dari peraturan yang mengaturnya, yang mana
sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, salah satunya yang mengatur mengenai
hukum perkawinan dan perceraian, Presiden tunduk pada Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditambah dengan Kompilasi Hukum
Islam. Selain kedua peraturan tersebut, Presiden dalam proses perkawinan dan
perceraian sudah semestinya ada peraturan khusus yang mengaturnya
sebagaimana Pegawai Negeri Sipil dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Hal ini
dikarenakan melihat kedudukan Presiden sebagai kepala negara yang
merupakan simbol negara dan juga sebagai kepala pemerintahan serta pejabat
84
negara, yang sudah semestinya menjadi panutan/contoh yang baik untuk
bawahannya dan juga untuk seluruh warga negara Indonesia.
Wakil Presiden sebagai Pejabat Negara yang mempunyai posisi yang
tinggi dan istimewa yaitu membantu Presiden dalam menjalankan fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Wakil Presiden
tidak disebutkan secara tertulis, hanya disebutkan dengan Pimpinan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara yang mana Wakil Presiden termasuk ke dalamnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyebutkan kedudukan Wakil Presiden
sebagai pihak yang akan menjalankan perceraian diwajibkan untuk
mengajukan izin perceraian kepada Presiden terlebih dahulu.
Perlu digaris bawahi bahwa dijelaskan dalam Undang-Undang
Aparatur Sipil Negara (ASN), posisi sebagai Presiden, Wakil Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati/Walikota dan wakil Bupati/Walikota sama sekali tidak menjabat
sebagai pegawai negeri sipil atau telah mengundurkan diri dari posisi
sebelumnya sebagai pegawai negeri sipil bila ia pegawai negeri sipil.126
Hal ini
tentu berbeda dengan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, yang menyebutkan
posisi sebagai Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
126
Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara.
85
Daerah, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan wakil
Bupati/Walikota, masih disebut sebagai pegawai negeri sipil.127
2. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
Sebagaimana yang diatur dan disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan, bahwa yang termasuk Pimpinan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara adalah Presiden dan Wakil Presiden, Ketua dan wakil
ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketua dan wakil ketua Dewan
Perwakilan Rakyat, Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua
dan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Ketua dan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, Ketua dan wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990, kedudukan Pejabat Negara yang
menjabat sebagai Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dalam Peraturan
Pemerintah tersebut (kecuali Presiden) adalah sebagai pihak yang akan
melakukan perceraian yang diwajibkan untuk meminta izin perceraian ke
Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan perceraian.
Melihat peraturan yang disebutkan di atas, akan timbul beberapa
pertanyaan hukum atau permasalahan hukum sebagai berikut yaitu pertama,
apakah relevan pimpinan lembaga tinggi negara yang tidak diangkat atau
dipilih oleh presiden dan dari lembaga noneksekutif seperti MPR, DPR dan
DPD meminta izin perceraian kepada Presiden. Kedua, Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 hanya
127
Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai Negeri Sipil.
86
menyebutkan Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, tidak menyebutkan
atau mengatur bagaimana proses izin perceraian bagi anggota Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara seperti anggota MPR, DPR, DPD, ketua muda dan
hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada
semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc, anggota Mahkamah Konstitusi
anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini akan mengakibatkan kekosongan
hukum karena Pejabat Negara yang disebutkan dalam Undang-Undang
Aparatur Sipil Negara adalah termasuk anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara dan ini tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) atau
sekarang disebut dengan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian
(LPNK) terdiri dari 30 lembaga, yaitu sebagai berikut:
1) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI);
2) Badan Ekonomi Kreatif (BEK);
3) Badan Informasi Geospasial (BIG);
4) Badan Intelijen Negara (BIN);
5) Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla);
6) Badan Kepegawaian Negara (BKN);
7) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN);
8) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);
9) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG);
87
10) Badan Narkotika Nasional (BNN);
11) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
12) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT);
13) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI);
14) Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
15) Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten);
16) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM);
17) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT);
18) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas);
19) Badan Pertanahan Nasional (BPN);
20) Badan Pusat Statistik (BPS);
21) Badan SAR Nasional (Basarnas);
22) Badan Standardisasi Nasional (BSN);
23) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan);
24) Lembaga Administrasi Negara (LAN);
25) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);
26) Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP);
27) Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas);
28) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan);
29) Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg);
88
30) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).128
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyebutkan kedudukan dari Pimpinan
Lembaga Non Departemen (hanya pimpinan, tidak termasuk anggota) sebagai
pihak yang akan melakukan perceraian yang diwajibkan untuk meminta izin
perceraian terlebih dahulu kepada Presiden sebelum melakukan perceraian.
4. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
Komisi Yudisial adalah lembaga khusus yang bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.129
Sebagai Pejabat Negara, Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi
Yudisial belum disebutkan kedudukannya dan belum diatur secara jelas proses
izin perceraiannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
5. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
Komisi Pemberantasan Korupsi atau yang lebih dikenal dengan
singkatan KPK adalah lembaga khusus negara yang mempunyai tugas
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi. 130
128
http://www.menpan.go.id/daftar-kelembagaan, diakses pada hari Selasa,
tanggal 07 Juni 2016. 129
Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 130
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
89
Sebagai Pejabat Negara, Ketua dan wakil ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi belum disebutkan kedudukannya dan belum diatur
secara jelas proses izin perceraiannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
6. Menteri dan jabatan setingkat menteri;
Menteri dan jabatan setingkat menteri dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
berkedudukan sebagai pihak yang akan melakukan perceraian yang diwajibkan
untuk meminta izin perceraian terlebih dahulu kepada Presiden sebelum
melakukan perceraian. Selain itu, khusus untuk Menteri Dalam Negeri
mempunyai kedudukan lain juga yaitu sebagai pihak yang memberikan izin
terhadap permohonan atau permintaan izin perceraian yang diajukan oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk walikota di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif.
7. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyebutkan kedudukan Kepala
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah sebagai pihak yang akan
melakukan perceraian, yang diwajibkan untuk meminta izin perceraian terlebih
dahulu kepada Presiden sebelum melakukan perceraian.
8. Gubernur dan Wakil Gubernur;
90
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 menyebutkan kedudukan Gubernur adalah
sebagai pihak yang akan melakukan perceraian, yang diwajibkan untuk
meminta izin perceraian terlebih dahulu kepada Presiden sebelum melakukan
perceraian.131
Selain itu, Gubernur juga mempunyai kedudukan sebagai pihak
yang memberikan izin terhadap permohonan atau permintaan izin perceraian
yang diajukan oleh Pimpinan Bank Milik Daerah dan Pimpinan Badan Usaha
Milik Daerah.132
Sedangkan posisi Wakil Gubernur sebagai Pejabat Negara tidak
disebutkan kedudukannya dan tidak diatur secara jelas dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990.
9. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota;
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk walikota
di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 menyebutkan kedudukannya sebagai pihak yang akan melakukan
perceraian, yang diwajibkan untuk meminta izin perceraian terlebih dahulu
kepada Menteri Dalam Negeri sebelum melakukan perceraian.133
131
Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. 132
Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. 133
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
91
Sedangkan wakil bupati/wakil walikota tidak diatur secara jelas
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990.
10. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang yang
disebutkan dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 adalah Pimpinan Kesekretariatan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubenur Bank Indonesia dan Jaksa Agung.
Ketiganya disebutkan sebagai pihak yang akan melakukan perceraian, yang
diwajibkan untuk meminta izin perceraian terlebih dahulu kepada Presiden
sebelum melakukan perceraian.134
C. Perbandingan Proses Perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara
Berdasarkan penjelasan yang sudah dibahas di atas dan dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini mengacu pada Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai sumber perbandingan
kedudukan Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara. Kemudian Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai
sumber perbandingan proses perceraian Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara.
Maka dapat dilihat perbandingan keduanya terkait proses perceraian sebagaimana
disebutkan di bawah ini, yaitu:
134
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
92
1. Bahwa proses perceraian Pegawai Negeri Sipil sudah jelas dan tegas diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil. Pegawai Negeri Sipil dalam hal akan melakukan perceraian
terlebih dahulu diwajibkan meminta izin kepada Pejabat atau atasannya.
Sedangkan bagi Pejabat Negara, yang jelas mempunyai kedudukan
yang berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 hanya
diatur sebagian dan masih terdapat kekosongan hukum bagi Pejabat Negara
yang lain yang tidak disebutkan di dalam peraturan pemerintah ini. Selain itu
juga terdapat permasalahan hukum baru atau pertanyaan hukum baru terkait
kedudukan Pejabat Negara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 sebagaimana disebutkan di
atas.
Mengenai Pejabat Negara yang disebutkan dan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 adalah sebagai berikut:
a. Wakil Presiden yang termasuk Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara
diwajibkan terlebih dahulu untuk meminta izin kepada Presiden sebelum
melakukan perceraian.
b. Ketua dan wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang termasuk
Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu
untuk meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
93
c. Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat yang termasuk Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu untuk
meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
d. Ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah yang termasuk Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu untuk
meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
e. Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung yang termasuk Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu untuk
meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
f. Ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi yang termasuk Pimpinan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu untuk
meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;;
g. Ketua dan wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan yang termasuk
Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara diwajibkan terlebih dahulu
untuk meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
h. Menteri dan jabatan setingkat menteri diwajibkan terlebih dahulu untuk
meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan perceraian;
i. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan
sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diwajibkan terlebih
dahulu untuk meminta izin kepada Presiden sebelum melakukan
perceraian;
j. Gubernur diwajibkan terlebih dahulu untuk meminta izin kepada Presiden
sebelum melakukan perceraian;
94
k. Bupati/walikota diwajibkan terlebih dahulu untuk meminta izin kepada
Menteri Dalam Negeri sebelum melakukan perceraian;
l. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang (Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubenur Bank
Indonesia dan Jaksa Agung) diwajibkan terlebih dahulu untuk meminta izin
kepada Presiden sebelum melakukan perceraian.
Sedangkan Pejabat Negara yang tidak diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 adalah sebagai berikut:
a. Presiden;
Sebagai warga negara Indonesia dan Pejabat Negara, Presiden dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 tidak diatur proses perceraiannya. Hal ini
menimbulkan permasalahan hukum dan tidak menutup kemungkinan
walaupun berkedudukan sebagai Presiden tidak akan melakukan
perceraian.
b. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota Mahkamah
Konstitusi, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
Sebagai Pejabat Negara sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-
Undang Aparatur Sipil Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tidak mengatur
95
secara jelas bagaimana proses perceraian atau bagaimana dan kepada siapa
pengajuan izin perceraian diajukan.
c. Ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil
ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;
Sebagai Pejabat Negara Ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah
Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan
tidak diatur secara jelas bagaimana proses perceraian atau bagaimana dan
kepada siapa pengajuan izin perceraian diajukan.
d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial;
Sebagai Pejabat Negara Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial
tidak diatur secara jelas bagaimana proses perceraian atau bagaimana dan
kepada siapa pengajuan izin perceraian diajukan.
e. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi;
Sebagai Pejabat Negara Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak diatur secara jelas bagaimana proses perceraian atau
bagaimana dan kepada siapa pengajuan izin perceraian diajukan.
f. Wakil Gubernur;
Sebagai Pejabat Negara Wakil Gubernur tidak diatur secara jelas
bagaimana proses perceraian atau bagaimana dan kepada siapa pengajuan
izin perceraian diajukan.
g. Wakil Bupati/wakil walikotamadya
96
Sebagai Pejabat Negara Wakil Bupati/wakil walikotamadya tidak diatur
secara jelas bagaimana proses perceraian atau bagaimana dan kepada siapa
pengajuan izin perceraian diajukan.
2. Pegawai Negeri Sipil yang melanggar peraturan, yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 akan dijatuhi hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil. Sedangkan bagi Pejabat Negara, tidak diatur secara jelas mengenai
hukuman apabila Pejabat Negara melanggar peraturan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990.
Melihat perbandingan tersebut diatas dan juga permasalahan hukum
serta kekosongan hukum yang ada, perlu kiranya dibuat peraturan khusus yang
mengaturnya dan juga melengkapi peraturan yang kurang untuk memberikan
kepastian hukum yang jelas pada masyarakat, khususnya Pegawai Negeri Sipil
dan Pejabat Negara.
97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab di atas, maka
penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut, yaitu:
1. Pemberlakuan asas persamaan di hadapan hukum mengenai pengaturan
perceraian (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam) bagi Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara tidak
berlaku sepenuhnya karena berkaitan dengan berlakunya aturan khusus azas
Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, yaitu berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang
Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, sebagai
pelaksanaan terhadap kepatuhan pada hukum yang dikeluarkan pemimpin dan
berdasarkan pada kaidah fiqih Mushlahah Mursalah. Maka sudah sewajibnya
Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara patuh dan taat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 sebagai peraturan khusus mengenai perceraian, disamping Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam sebagai peraturan mengenai perceraian secara umum.
Kemudian mengenai proses perceraian Pegawai Negeri Sipil telah
diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
98
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Disebutkan dalam peraturan tersebut
bahwa dalam hal Pegawai Negeri Sipil yang ingin melakukan perceraian
terlebih dahulu diwajibkan untuk meminta izin kepada Pejabat atau atasannya.
Sedangkan bagi Pejabat Negara, belum sepenuhnya diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990. Proses pengajuan izin perceraian Pejabat Negara berbeda
dengan Pegawai Negeri Sipil. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990, proses pengajuan izin perceraian Pejabat Negara adalah
sebagai berikut:
a. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung,
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank
Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari
Presiden.
b. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta
izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
c. Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara,
wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
d. Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah,
wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
99
2. Perbedaan proses perceraian antara Pegawai Negeri Sipil dengan Pejabat
Negara adalah sebagai berikut :
a. Pengajuan izin perceraian
Pegawai Negeri Sipil diwajibkan untuk meminta izin kepada Pejabat atau
atasannya sebelum melakukan perceraian, sedangkan bagi Pejabat Negara
diwajibkan untuk meminta izin kepada atasannya yang dalam hal ini
terbagi ke dalam tiga macam. Pertama, ada yang diwajibkan untuk meminta
izin ke Presiden terlebih dahulu sebelum melakukan perceraian. Kedua, ada
yang diwajibkan untuk meminta izin ke Menteri Dalam Negeri terlebih
dahulu. Ketiga, ada yang diwajibkan untuk meminta izin ke Kepala Daerah
terlebih dahulu.
b. Pengaturan hukuman
Pegawai Negeri Sipil sudah diatur secara jelas dan tegas hukuman bagi
yang melanggar peraturan yaitu dijatuhi hukuman disiplin berat
sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Sedangkan bagi
Pejabat Negara belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
B. Saran
1. Melihat kedudukan antara Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara yang
berbeda, perlu kiranya dijelaskan lebih tegas dan jelas perbedaan kedudukan
keduanya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan
100
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990. Atau untuk Pejabat Negara dibuat
peraturan khusus yang mengatur mengenai proses perceraian Pejabat Negara.
2. Melihat masih terdapatnya kekosongan dan permasalahan hukum yang terdapat
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 1990 serta dikarenakan semakin berkembangnya pengertian
dan peraturan yang mengatur Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara, perlu
kiranya melengkapinya dengan membuat perubahan terhadap peraturan ini.
101
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana,
2006).
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta:
Kencana, 2012).
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Cet. Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2003).
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulallah: Poligami dalam Islam vs
Monogami Barat, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993).
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, Penerjemah
Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh.
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1995).
Afifi Fauzi Abbaz, Metodologi Penelitian, (Ciputat: Adelina Bersaudara, 2010).
Ahmad Kuzari, Nikah Sebagai Ikatan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995).
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012).
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Radar Jaya Offset, 2004).
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Terjemah Bulughul Maram, (Jakarta: Pustaka
Imam Adz-Dzahabi, 2007).
Ali Hasan Muhammad Makki Al-Amili, Perceraian salah Siapa?Bimbingan
dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Penerjemah Mudhar
Ahmad Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata
Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh,
UU No.1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004).
Ali Mutahar, Kamus Al-Mutahar Arab-Indonesia, Cet. Ke-1, (Jakarta: Hikmah,
2005).
Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga, (Jakarta: AMZAH, 2010).
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, diterjemahkan oleh Nur Khozin, (Jakarta:
Amzah, 2012).
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana, 2003).
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007).
Amirudin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-1,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha,
Ed. Ke-1, Cet. Ke-1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).
Asep Muslim, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pegawai Negeri Sipil,
(Bandung: Fokus media, 2007).
Assegaf dan Hasan Shaleh, Cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Lentera Baristama, 2001).
102
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,
1997).
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik
Pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2009).
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000).
Dendi Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Cet. Ke-1,
Edisi 4, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.
Ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam, Cet.
Ke-3, Jilid 5, (Jakarta: PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994).
Harmon Harun, Himpunan UU Kepegawaian, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004).
H. A. S. al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 1989).
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2008).
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1987).
Kasmuri Slamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Paduan
Perkawinan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998).
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir al Quran, 1973).
Masrum M Noor, Peradilan Agama Penegak Syari‟ah Tertentu di Indonesia,
(Banten: Pengadilan Tinggi Agama Banten, 2015).
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah
Syari‟ah di Indonesia, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syari‟ah di Indonesia, Ed. Ke-1, Cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2005).
Muchsan, Hukum Kepegawaian, (Jakarta: Bina Aksara, 1982).
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaannya di Negara Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007).
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahanan, Hukum
Perceraian, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. Ke-2, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005).
Moh. Mahfud MD, Hukum Kepegawaian Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988).
Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Cet. Ke-4, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2003).
Musanef, Manajemen Kepegawaian di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung,
1984).
103
Musthofa Sy, Kepaniteraan Peradilan Agama, Ed. 1. Cet. Ke-1, (Jakarta:
Kencana, 2005).
Poerwasunata, W.J.S, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003).
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama di Jakarta,
Ilmu Fiqih, Cet. Ke-2, (Jakarta: Departemen Agama, 1985).
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. Ke-1, Cet. Ke-1 (Jakarta:
Rajawali, 1991).
Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Ed. Ke-2, Cet. Ke-8, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2001).
Rahma, Cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Tinta Abadi Gemilang, 2013).
Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil,
(Jakarta: Media Sarana Press, 1986).
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan,
Cet. Ke-6, (Jakarta: SInar Grafika, 2004).
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Prenada Media, 2004).
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah : Fikih Sunnah 8, Terjemahan oleh Moh Thalib, Cet.
Ke-1, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996).
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009).
Sri Hartini, dkk, Hukum Kepegawaian Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2008).
Sri Mamudji, et al, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta, Rineka Cipta: 1994).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
(Yogyakarta: Rineka Cipta, 2002).
Sulaikin Lubis, Et Al, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006).
Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardhan, Rancangan Penelitian Kebijakan
Sosialisasi, (Jakarta: Postekkom Dikbud dan CV Rajawali, 1984).
Suratman, Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2013).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989). Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Jakarta: 1957).
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 9, Penerjemah, Abdul
Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011).
Widjaja A.W, Administrasi Kepegawaian, (Jakarta: Rajawali, 2006).
W. J. S Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986).
104
Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2012).
Zainun Buchari, Administrasi dan Managemen Kepegawaian Pemerintah Negara
Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1995).
Zakiah Darajat, Ilmu Fiqh,Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).
Sumber Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perizinan Bagi Pegawai Negeri Sipil
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008
Kompilasi Hukum Islam
Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Edisi
Revisi 2010.
Internet
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52f38f89a7720/pejabat-negara-dan-
pejabat-pemerintahan.
http://www.kompasiana.com/pakcah/di-indonesia-40-perceraian-setiap-
jam_54f357c07455137a2b6c7115.
http://www.menpan.go.id/daftar-kelembagaan.
http://putusan.mahkamahagung.go.id/semua, diakses pada hari Jum’at, 29 Januari
2016.
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&i
d=395:kaburnya-pengertian-istilah-pejabat-
negara&catid=12:artikel&Itemid=85.
L A M P I R A N
1 / 11
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1983
TENTANG
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 telah diatur ketentuan tentang perkawinan yang berlaku bagi
segenap warga negara dan penduduk Indonesia;
b. bahwa Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada
bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat,
termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c. bahwa dalam rangka usaha meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam
melakukan perkawinan dan perceraian, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Pemerintah mengenai izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun
Janda/Duda Pegawai (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2906);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3041);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran
Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153);
2 / 11
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun
1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri
Sipil Dalam Partai Politik dan Golongan Karya;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3176);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN
PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan
a. Pegawai Negeri Sipil adalah:
1. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1974;
2. Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil yaitu
(a) Pegawai Bulanan di samping pensiun;
(b) Pegawai Bank milik Negara;
(c) Pegawai Badan Usaha milik Negara;
(d) Pegawai Bank milik Daerah;
(e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah;
(f) Kepala Desa, Perangkat Desa, dan petugas yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di Desa;
b. Pejabat adalah :
3 / 11
1. Menteri;
2. Jaksa Agung;
3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;
6. Pimpinan Bank milik Negara;
7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara;
8. Pimpinan Bank milik Daerah;
9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah;
Pasal 2
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, wajib
memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi Pegawai Negeri
Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi.
Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih
dahulu dari Pejabat.
(2) Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diajukan
secara tertulis.
(3) Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan yang lengkap
yang mendasari permintaan izin perceraian itu.
Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib memperoleh
izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/
ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.
4 / 11
(3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari
bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diajukan secara
tertulis.
(5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), harus
dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristeri
lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat.
Pasal 5
(1) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada
Pejabat melalui surat tertulis.
(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam
lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk beristeri lebih dari
seorang, maupun untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memberikan
pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia
menerima permintaan izin dimaksud.
Pasal 6
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk melakukan perceraian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin
tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan
dari isteri/suami dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu
atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang
meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan
kembali suami isteri yang bersangkutan dengan cara memanggil mereka secara
langsung untuk diberi nasehat.
5 / 11
Pasal 7
(1) Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada alasan-
alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan dan ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin untuk bercerai karena alasan isteri mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, tidak diberikan oleh
Pejabat.
(3) Izin untuk bercerai tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan;
b. tidak ada alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat.
Pasal 8
(1) Apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil pria maka ia wajib
menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas isteri dan anak-anaknya.
(2) Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk
Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan, sepertiga untuk bekas isterinya, dan
sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.
(3) Apabila dari perkawinan tersebut tidak ada anak maka bagian gaji yang wajib
diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada bekas isterinya ialah setengah
dari gajinya.
(4) Apabila perceraian terjadi atas kehendak isteri, maka ia tidak berhak atas bagian
penghasilan dari bekas suaminya.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak berlaku, apabila isteri
meminta cerai karena dimadu.
(6) Apabila bekas isteri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan kawin lagi, maka
haknya atas bagian gaji dari bekas suaminya menjadi hapus terhitung mulai ia
kawin lagi.
6 / 11
Pasal 9
(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau
untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
wajib memperhatikan dengan seksama alasan alasan yang dikemukakan dalam
surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan.
(2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin
tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan
dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak
lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
(3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.
Pasal 10
(1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat
kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
(2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
(3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah
a. ada persetujuan tertulis dari isteri;
b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang
cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang
dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(4) Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan;
7 / 11
b. tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau
e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Pasal 11
(1) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat
apabila :
a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami;
b. bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anakanaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan; dan
c. ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anaknya.
(2) Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila:
a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri
Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya;
b. tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);
c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari
seorang yang berkedudukan sebagai :
(1) Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik
8 / 11
Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta
izin lebih dahulu dari Presiden.
(2) Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih
dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
(3) Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan
Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang
secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang
bersangkutan.
(4) Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib
meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pasal 13
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, untuk beristeri lebih dari seorang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1), atau untuk menjadi isteri kedua/ ketiga/keempat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka
waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin tersebut.
Pasal 14
Pejabat dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat lain dalam
lingkungannya, serendah-rendahnya Pejabat eselon IV atau yang dipersamakan dengan
itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4, sepanjang mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai
Negeri Sipil golongan II ke bawah atau yang dipersamakan dengan itu.
Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai
suami isteri tanpa ikatan perkawinan yang sah.
9 / 11
(2) Setiap atasan wajib menegur apabila ia mengetahui ada Pegawai Negeri Sipil
bawahan dalam lingkungannya yang melakukan hidup bersama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 17
Pegawai Negeri Sipil yang melakukan hidup bersama dengan wanita atau pria sebagai
suami isteri, dan setelah ditegur atasannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 masih
terus melakukannya, dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 18
Ketentuan Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019), Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3050), dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 19
Setiap Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya membuat dan memelihara
catatan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya masing-
masing.
Pasal 20
(1) Pejabat atau Pejabat lain yang ditunjuk olehnya menyampaikan salinan sah surat
pemberitahuan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tembusan
10 / 11
surat pemberian izin atau penolakan pemberiannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, kepada:
a. Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, sepanjang menyangkut
Pegawai Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka I dan angka 2 huruf
(a);
b. Pimpinan masing-masing Bank milik Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank
milik Daerah, dan Badan Usaha milik Daerah, sepanjang menyangkut Pegawai
Negeri Sipil dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (b), (c), (d), dan (e);
c. Bupati Kepala Daerah Tingkat II, sepanjang menyangkut Pegawai Negeri Sipil
dimaksud dalam Pasal 1 huruf a angka 2 huruf (f).
(2) Berdasarkan salinan dan tembusan surat-surat dimaksud dalam ayat (1) Kepala
Badan Administrasi Kepegawaian Negara, Pimpinan masing-masing Bank milik
Negara, Badan Usaha milik Negara, Bank milik Daerah, Badan Usaha milik
Daerah, serta Bupati Kepala Daerah Tingkat II, membuat dan memelihara :
a. catatan perkawinan dan perceraian;
b. kartu isteri/suami.
Pasal 21
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
Pasal 22
Ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh
Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
11 / 11
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 April 1983
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
1 / 7
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 1990
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN
1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka beristri lebih dari
seorang dan perceraian sejauh mungkin harus dihindarkan;
b. bahwa Pegawai Negeri Sipil adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan
abdi masyarakat yang harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam
tingkah laku, tindakan dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk menyelenggarakan kehidupan berkeluarga;
c. untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka kehidupan
Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan yang serasi, sejahtera,
dan bahagia, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
tugasnya tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam
keluarganya;
d. bahwa dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan dan menegakkan disiplin
Pegawai Negeri Sipil serta memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan
dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai
Negeri Sipil;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2 / 7
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3041);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Tahun
1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3050);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1975 tentang Wewenang Pengangkatan
Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Tahun 1975 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3058);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1980 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3176);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor
13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3250);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN
1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pasal I
Mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu :
1. Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
3 / 7
"Pasal 3
(1) Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib
memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari Pejabat;
(2) Bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau
bagi Pegawai Negeri Sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk
memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus mengajukan permintaan secara tertulis; (3)Dalam surat
permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan alasan yang lengkap
yang mendasarinya".
2. Mengubah ketentuan Pasal 4 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri
kedua/ketiga/keempat.
(3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara
tertulis.
(4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),
harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin
untuk beristri lebih dari seorang".
3. Mengubah ketentuan ayat (2) Pasal 5 sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(2) Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil
dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian dan atau untuk
beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan
meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka
waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin dimaksud”.
4 / 7
4. Mengubah ketentuan Pasal 8 sebagai berikut:
a. Diantara ayat (3) dan ayat (4) lama disisipkan satu ayat yang dijadikan
ayat (4) baru, yang berbunyi sebagai berikut:
"(4) Pembagian gaji kepada bekas istri tidak diberikan apabila alasan
perceraian disebabkan karena istri berzinah, dan atau istri melakukan
kekejaman atau penganiayaan berat baik lahir maupun batin terhadap
suami, dan atau istri menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi yang
sukar disembuhkan, dan atau istri telah meninggalkan suami selama
dua tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya ".
b. Ketentuan ayat (4) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (5) baru.
c. Mengubah ketentuan ayat (5) lama dan selanjutnya dijadikan ayat (6) baru
sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak berlaku,
apabila istri meminta cerai karena dimadu, dan atau suami berzinah,
dan atau suami melakukan kekejaman atau penganiayaan berat baik
lahir maupun batin terhadap istri, dan atau suami menjadi pemabuk,
pemadat, dan penjudi yang sukar disembuhkan, dan atau suami telah
meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut tanpa izin istri dan
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya".
d. Ketentuan ayat (6) lama selanjutnya dijadikan ketentuan ayat (7) baru.
5. Mengubah ketentuan ayat (1) Pasal 9 sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib memperhatikan
dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan
izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan."
6. Ketentuan Pasal II dihapuskan seluruhnya.
5 / 7
7. Ketentuan Pasal 12 lama dijadikan ketentuan Pasal 11 baru, dengan mengubah
ketentuan ayat (3) sehingga berbunyi sebagai berikut:
"(3) Pimpinan Bank Milik Negara dan pimpinan Badan Usaha Milik Negara,
wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden."
8. Mengubah ketentuan Pasal 13 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal
12 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan perceraian atau
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri lebih dari seorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dilakukan oleh Pejabat secara
tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia
menerima permintaan izin tersebut."
9. Ketentuan Pasal 14 lama selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal 13 baru.
10. Mengubah ketentuan Pasal 15 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal
14 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 14
Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan
istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa
ikatan perkawinan yang sah"
11. Mengubah ketentuan Pasal 16 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal
15 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
(1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/
ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1),
Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu selambat-
lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian, dan tidak
melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka
6 / 7
waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan
tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2)
dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai
Pegawai Negeri Sipil;
(3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang
melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
12. Mengubah ketentuan Pasal 17 lama dan selanjutnya dijadikan ketentuan Pasal
16 baru, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang menolak melaksanakan ketentuan pembagian gaji
sesuai dengan ketentuan Pasal 8, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil."
13. Sesudah Pasal 16 baru ditambah satu ketentuan baru, yang dijadikan Pasal 17
baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 17
(1) Tata cara penjatuhan hukuman disiplin berdasarkan ketentuan Pasal 15
dan atau Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini dilaksanakan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin
Pegawai Negeri Sipil;
(2) Hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun
1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil terhadap
pelanggaran Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 dan Peraturan
Pemerintah ini, berlaku bagi mereka yang dipersamakan sebagai Pegawai
7 / 7
Negeri Sipil menurut ketentuan Pasal 1 huruf a angka 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 6 September 1990
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 6 September 1990
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MOERDIONO