proses kreatif dinda natasya dalam dialog cinta …/proses... · mahasiswa jurusan sastra indonesia...
TRANSCRIPT
i
PROSES KREATIF DINDA NATASYA
DALAM DIALOG CINTA OASE SAMUDRA BIRU:
Sebuah Pendekatan Ekspresif
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
HIDAYATUR RIYANA
C0208067
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Perjuangan tak akan berhenti sebelum kaki menginjak pintu surga”
(Ali bin Abi Thalib)
“Karena begitu lembutnya, banyak cinta yang terlambat disadari.
Jangan pernah menyimpan kata-kata cinta pada orang yang kita sayangi jika tak
ingin kehilangan
Lebih baik cepat menyatakan bila cinta itu mulai terasa
Janganlah terlalu lama menyimpannya hingga kehilangan kesempatan untuk
mengatakan
Jangan tunda hingga cintamu mati
Akan menyedihkan jika akhirnya kita terpaksa hanya mencatatkan kata-kata cinta
itu pada pusarannya.
Karena belahan jiwamu hanya satu, dan temukanlah!!”
(Dinda Natasya)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
Umi dan Abi tercinta, abang
Zamrony dan adinda Al-Amalus
Sulwana yang kusayang.
Sahabat-sahabat yang telah
memberi motivasi kepada
peneliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama peneliti memanjatkan puji syukur kepada Allah
SWT atas limpahan nikmat, rahmat, inayah, hidayah dan karunia-Nya kepada
peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi
persyaratan guna melengkapi gelar sarjana sastra Jurusan Sastra Indonesia.
Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan
dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu, peneliti dengan segala
kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan
Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
3. Dra. Murtini, M.S. selaku dosen pembimbing bagi peneliti yang telah dengan
sabar memberikan bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi.
4. Drs. Wiranta, M.S. selaku dosen penelaah bagi peneliti yang telah membantu
sebagian proses penyusunan skripsi.
5. Kedua orangtuaku Umi dan Abi tersayang, atas dukungan materi dan kasih
sayang yang tak pernah putus sepanjang perjalanan hidup peneliti. Abang
Muhammad Zamrony, atas kasih dan nasihat terbaiknya untuk menjadikan
peneliti seorang muslimah berjiwa mulia dan adinda Al-Amalus Sulwana yang
cantik, tumbuhlah menjadi pribadi muslimah yang “utuh”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
6. Untuk sahabat-sahabat yang selalu setia memanjakan dan memberi motivasi,
M. Fuad, Kartina Devianti, mami Anna, dan warek-warek IPA 3.Juga sahabat-
sahabat di ranah juangku Anggraini, Farhana Aulia, Kusnul, Siti Kaswarini,
Yan Ayu dan Inas Adila.
7. Bunda Dinda Natasya, sebagai informan yang banyak memberikan informasi
dan wawasan guna membantu penyusunan skripsi, juga Om Yudi Kusumo
yang telah memberikan motivasi.
8. Seluruh keluarga besar kos Raihana dan kos Azzahra atas dukungan dan
kekeluargaannya selama ini.
9. Teman-teman Jurusan Sastra Indonesia UNS dan angkatan 2008 khususnya.
10. Teman-teman organisasi BEM FSSR dan BEM UNS kabinet Perlawanan.
11. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu peneliti dengan kerendahan hati menerima saran dan kritik
yang bersifat membangun. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia pada khususnya dan pembaca pada
umumnya. Terima kasih.
Surakarta, 20 Juni 2012
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .....................................................
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..............................................................
PERNYATAAN ....................................................................................................
MOTTO .................................................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................
HALAMAN LAMPIRAN……………………………………………………….
ABSTRAK ............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………..
B. Pembatasan Masalah ……………………………………………........
C. Perumusan Masalah…………………………………………..............
D. Tujuan Penelitian .................................................................................
E. Manfaat Penelitian ...............................................................................
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………..
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka ...................................……………………………….
1. Tinjauan Pengarang ……………………………………………….
2. Penelitian Terdahulu ……………………………………………...
B. Landasan Teori ............................……………………………………
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
ix
xii
xiii
1
6
7
7
7
8
10
10
13
16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
1. Pendekatan Ekspresif ……………………………………………..
2. Proses Kreatif ……………………………………………………..
C. Kerangka Pikir ……………………………………………………….
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .........………………………………………………...
B. Populasi dan Sampel .....................................………………………..
1. Populasi ......……………………………………………………...
2. Sampel .........................…………………………………………..
C. Data dan Sumber Data .........................................................................
1. Data .........………………………………………………………...
2. Sumber Data ..........................................……………………........
D. Teknik Pengumpulan Data ..................................................................
E. Teknik Pengolahan Data ......................................................................
1. Tahap Deskripsi Data ……………………………………………
2. Tahap Klasifikasi Data ...................................................................
3. Tahap Analisis Data .......................................................................
4. Tahap Interpretasi Data ..................................................................
F. Teknik Penarikan Kesimpulan .............................................................
BAB IV PEMBAHASAN
A. Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya ………………………
1. Tahap Persiapan …………………………………………………..
2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan/Meditasi) …………………..
3. Tahap Inspirasi/Munculnya Ide …………………………………..
4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan …………………
16
20
22
24
24
24
25
25
25
26
27
27
27
28
28
28
29
30
30
36
45
54
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
B. Konkretisasi Persoalan-persoalan Sosial dalam Dialog Cinta Oase
Samudra Biru ………………………….............................................
1. Hubungan Manusia dengan Tuhannya ……………………………
2. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja ……………………………
3. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia …………..
4. Konflik dengan Batinnya Sendiri …………………………………
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN ………………………………………………………….
B. SARAN ………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………
64
69
73
76
84
91
97
98
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
HALAMAN LAMPIRAN
Halaman
Lampiran I Wawancara Email Dinda Natasya………………………….... 100
Lampiran II Biodata dan Profil Dinda Natasya…………………………... 102
Lampiran III Transliterasi Wawancara Telepon Dinda Natasya…………. 106
Lampiran IV Foto-foto Kegiatan Dinda Natasya……………………….... 113
Lampiran V Profil Padepokan Lindu Aji………………………………… 114
Lampiran VI Beberapa Kisah dan Puisi Dialog Cinta Oase Samudra Biru 119
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengarang adalah pencipta karya sastra, sehingga kehadiran pengarang
erat kaitannya dengan penciptaan karya sastra yang berkualitas, yaitu karya sastra
yang mampu memunculkan keindahan bagi pembacanya. Pengarang
menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan pemikirannya untuk kemudian
diekspresikan ke dalam karya sastra.
Karya sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas
persoalan hidupnya, maka antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan
yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan
manusia yang di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan,
tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi mengenai manusia itu sendiri.
Sastra sebagai cabang kesenian mempunyai fungsi untuk memperjelas,
memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan
mereka. Dengan adanya penghayatan yang lebih baik terhadap kehidupannya,
manusia dapat berharap untuk menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera
(Sumardjo dan Saini, 1986:16). Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang
berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan (Sumardjo dan Saini, 1986:1).
Penelitian ini adalah model penelitian ekspresivisme, karena merupakan
studi sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya (kajian semi-
psikologis). Penelitian yang mengharuskan peneliti untuk berhubungan langsung
dengan pengarangnya. Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra diasumsikan sebagai
curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, kehendak, dan pengalaman batin
pengarang yang telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang
sehingga menjadi pendorong yang kuat bagi lahirnya karya sastra (Suwardi
Endraswara, 2011:29).
Kejadian atau peristiwa yang terjadi dituangkan oleh pengarang dengan
karya-karya ekspresif dalam setiap karyanya. Hal ini mengingat sebuah karya
sastra juga merupakan sebuah aktivitas proses kreatif pengarang, yaitu ketika
pengarang melukiskan watak dan pribadi tokoh yang ditampilkan atau
dihadirkannya dan menggambarkan tokoh yang dikehendakinya. Seorang
pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan segala persoalannya, baik
pengalaman pribadi maupun orang lain. Pengarang memegang peranan penting
dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra.
Demikian juga yang terdapat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru
Karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo. Penelitian ini difokuskan kajian pada
proses kepengarangan Dinda Natasya, meski karya tersebut ditulis berdua dengan
Anto Hprastyo. Hal itu karena Dinda Natasya lebih kuat dalam persoalan-
persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta pada karyanya. Anto HPrastyo yang
dikenal dengan nama Samudra Biru dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru,
merupakan kesatuan dari sang Oase yaitu Dinda Natasya. Pertemuan Dinda
Natasya dengan Samudra Biru di situs jejaring sosial facebook, telah memberi
banyak perubahan cara pandang Dinda Natasya terhadap dunia kepenulisan.
Tulisan-tulisan Samudra Biru dalam status akun facebooknya, menggelitik Dinda
Natasya untuk merespon dan mulai terpengaruh untuk menuliskan beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
komentar dalam bahasa cinta. Tidak pernah terpikir di benak keduanya bahwa
tulisan-tulisan itu sudah terkumpul banyak hingga kemudian melahirkan buku
Dialog Cinta Oase Samudra Biru jelang pertengahan tahun 2010.
Dinda Natasya sebagai pengarang mencoba memberikan gambaran
mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi
dalam kehidupan sosial manusia modern. Dinda Natasya yang terlahir dengan
nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih, kelahiran Salatiga, seorang
pribadi dengan profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia. Dinda Natasya adalah
orang pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”, dengan
keseharian sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat
permasalahan remaja dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan
cinta (Dinda Natasya menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta
tersebut dimaknai bahwa cinta itu sangat penting karena segala persoalan
kehidupan berawal dari hati dan perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi
penggerak utama kehidupan. Kesehariannya itu juga yang membuat Dinda
Natasya meminjam istilah dokter sebagai orang yang mampu menyembuhkan
penyakit, kemudian digunakan dalam penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta”
yang diasumsikan sebagai orang yang mampu menyembuhkan luka hati karena
persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta.
Dinda Natasya juga seorang penyiar di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan
siaran langsung setiap malam mengudarakan program Curhat mulai pukul 00.00-
02.00 WIB serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Bandung, Jogja,
Balikpapan dan 70 kota lain seluruh wilayah Indonesia. Persoalan-persoalan sosial
dari “pasien-pasien” dan pendengar setianya inilah yang juga menginspirasi Dinda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Natasya untuk menulis dan mengemas nasihat-nasihatnya dalam sebuah rangkaian
sajak atau puisi tanpa menggurui (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com,
tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Latar belakang kehidupan Dinda Natasya itulah yang menjadikan Dialog
Cinta Oase Samudra Biru ini menarik untuk diteliti dengan pendekatan ekspresif.
Selain itu juga karena menyajikan beberapa persoalan sosial yang disebabkan oleh
cinta berupa:
(1) hubungan manusia dengan Tuhannya dalam puisi Kalah (hal 70-71)
(2) hubungan cinta kasih antara remaja dalam puisi Puisi Para Mantan (hal 112)
dan Bingung (hal 111)
(3) hubungan dan konflik sosial antara sesama manusia dalam puisi Mimpi 18
hari (hal 15-16), Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18), KPK Untuk
Siapa Kau Ada? (hal 101), Kisah Seorang Pramuria (hal 19), Sombong (hal
68), dan Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106).
(4) konflik dengan batinnya sendiri, dalam puisi-puisi berikut: Cinta Tak Bertuan
Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka (hal 96), Romansa (hal 75), Dialog
Tanpa Suara (hal 64), dan Menunggu Cintaku 1 & 2 (hal 84-85).
Juga beberapa kisah dan puisi yang mendukung analisis dalam penelitian
ini yaitu kisah Tentang Cinta dan Persahabatan 1 dan 2 (hal 5-9), kisah Catatan
Lain Tentang Penjara (hal 12-14), Dialog Oase dan Samudra Biru 1 sampai 4
(hal 27-57), puisi Jatuh Hati (hal 74), puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun
Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (hal 78-79), Samudra Biru (hal 89), Menyapa
dengan Cinta (hal 93), dan Memilih Cinta (hal 98). Beberapa kisah dan puisi
tersebut yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Isi dari Dialog
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Cinta Oase Samudra Biru ini juga sarat akan unsur-unsur psikologi, namun
peneliti ingin mencoba untuk lebih mengungkap proses kreatif. Penelitian ini
bertitik tumpu pada proses kreatif dengan meneliti Dialog Cinta Oase Samudra
Biru untuk menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
Karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya. Dengan
sendirinya hanya orang yang jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan
sesuatu dari dalam dirinya. Manusia kosong tidak dapat mengekspresikan apa-
apa. Karya sastra seseorang mencerminkan isi kepribadian orang itu. Pribadi
sastrawan yang dalam pemikirannya, luas pandangannya, pekat perasaannya, suci
dan tulus hatinya, akan tercermin dalam karya-karya sastranya (Sumadjo dan
Saini, 1986:7). Jiwa yang berisi merupakan jiwa/manusia yang memiliki
kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan untuk diekspresikan, sedangkan
jiwa/manusia yang kosong adalah jiwa yang tidak memiliki kemampuan,
pengalaman, dan pengetahuan apapun untuk diekspresikan.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, prosa dan puisi, pada awalnya
berangkat dari imajinasi yang dituangkan dalam karya-karyanya. Pengarang
mencoba untuk mengkaji hidup dengan merespon dan menanggapi masalah-
masalah yang terdapat di lingkungannya. Puisi ekspresif adalah puisi lirik yang
menonjolkan ekspresi pribadi penyairnya. Perasaan, pemikiran, pandangan hidup,
lambang-lambang, dan persoalan yang dilontarkan dalam sajak adalah milik khas
penyairnya yang akan berubah pula kalau kepribadiannya juga berubah (Sumardjo
dan Saini, 1986:27).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan secara rinci alasan penelitian
adalah sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. Sebagai “dokter cinta”, bagaimana Dinda Natasya menyikapi persoalan-
persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, kemudian diangkat dalam
karyanya Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang mampu melahirkan pemikiran
kemanusiaan yang luar biasa dari seorang pengarang yang benar-benar
ekspresif.
2. Bagaimana persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam
Dialog Cinta Oase Samudra Biru dapat memikat pembaca dengan keindahan
kata-kata dan pesan yang disampaikan di dalamnya.
3. Analisis ini diperlukan guna menentukan konkretisasi dari persoalan-persoalan
sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru
yang dijadikan sampel untuk memahami aspek hidup dan kehidupan melalui
proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti menganalisis Dialog Cinta Oase
Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo dengan judul ”Proses
Kreatif Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru: Sebuah
Pendekatan Ekspresif”.
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini membatasi permasalahan pada proses kreatif
kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk
menemukan keekspresifannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap
persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses
penyempurnaan?
2. Bagaimanakah konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh
cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya?
D. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas, sehingga hasil dari
penelitian dapat diketahui. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Mendeskripsikan proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap
persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses
penyempurnaan.
2. Mendeskripsikan konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh
cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berhasil dengan baik dan dapat mencapai tujuan
penelitian secara optimal, mampu menghasilkan laporan yang sistematis dan
bermanfaat baik secara umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi
analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian
puisi Indonesia yang memanfatkan pendekatan ekspresif.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
mengaplikasikan teori sastra dan proses kreatif pengarang untuk
mengungkapkan keekspresifan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase
Samudra Biru.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak psikologis tersendiri
kepada pembaca dengan adanya pengungkapan proses kreatif, makna, dan
pesan yang tersirat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
b. Melalui pemahaman mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan
oleh cinta yang diungkap dalam penelitian ini, pembaca jadi mudah
berempati, dapat menjadikan persoalan orang lain sebagai pembelajaran,
dan memiliki semangat baru untuk menjalani hidup.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai
langkah-langkah penelitian sekaligus permasalahan yang dibahas dalam
penelitian. Sistematika penulisan dalam penelitian sebagai berikut.
Bab I merupakan pendahuluan. Pendahuluan ini mencakup latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menjelaskan tentang arah penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
yang berusaha mengamati proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam
menentukan keekspresifan Dinda Natasya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai
alasan-alasan atau latar belakang perlunya dilakukan penelitian ini.
Bab II merupakan kajian pustaka dan kerangka pikir yang terdiri dari
tinjauan pengarang berupa riwayat hidup pengarang dan studi terdahulu maupun
penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pendekatan ekspresif. Bab ini
juga membahas tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai
pendekatan ekspresif dan kerangka pikir.
Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian,
populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik
pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan. Data yang digunakan
bersumber dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru dan hasil wawancara dengan
Dinda Natasya.
Bab IV merupakan inti dari penelitian yaitu analisis data. Berupa analisis
proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa
pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan. Bab ini
juga menganalisis konkretisasi persoalan-persoalan sosial pada Dialog Cinta Oase
Samudra Biru dalam menenetukan keekspresifan Dinda Natasya.
Bab V adalah penutup yang berisi simpulan dan saran yang merupakan
akhir dari penelitian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan
lampiran yang berisi email hasil wawancara dan karya yang diambil dari Dialog
Cinta Oase Samudra Biru.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Pengarang
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri: Sang
Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan
pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek dan
Warren, 1993:82).
Begitu juga dalam penelitian ini yang mengkaji pendekatan ekspresif
pengarang melalui kepribadian dan kehidupan pribadi atau riwayat hidup
pengarang. Pendekatan ekspresif dalam penelitian ini juga dikaji melalui proses
kreatif kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
Dinda Natasya adalah Dokter Cinta kelahiran Salatiga, 16 Mei 1968, terlahir
dengan nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih. Seorang pribadi dengan
profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia, karena Dinda Natasya adalah orang
pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”. Dengan keseharian
sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat permasalahan remaja
dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan cinta (Dinda Natasya
menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta tersebut dimaknai bahwa
cinta itu sangat penting karena segala persoalan kehidupan berawal dari hati dan
perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi penggerak utama kehidupan.
Kesehariannya itulah yang membuat Dinda Natasya meminjam istilah dokter
sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit, kemudian digunakan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta” yang diasumsikan sebagai orang yang
mampu menyembuhkan luka hati karena persoalan-persoalan sosial yang di
sebabkan oleh cinta.
Setiap malam mengudara secara nasional sebagai narasumber dan juga
pembawa acara radio PDKTDOTCOM melalui PAS FM Radio Bisnis Jakarta
yang disiarkan secara langsung mulai pukul 00.00-02.00 WIB. Di waktu yang lain
sibuk menerima konsultasi langsung permasalahan remaja dan rumah tangga
sekaligus juga melayani pengobatan untuk umum di Klinik Dokter Cinta.
Pengobatan yang dilakukan Dinda Natasya yaitu berupa konsultasi langsung
dengan “pasien” mengenai persoalan hidupnya. Di klinik miliknya tersebut juga
menyediakan obat-obatan herbal yang baik untuk kesehatan jiwa dan raga. Dinda
Natasya juga sibuk di organisasi yang dipimpinnya yaitu Pondok Curhat Dinda
Natasya Indonesia. Dinda Natasya juga pernah bekerja sama dengan Yayasan
Padepokan Lindu Aji yang bergerak di bidang pendidikan dan olah raga, sosial
kemanusiaan, dan keagamaan (Padepokan Lindu Aji,
http://wspamungkassidoarjo.blogspot.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 13.00
WIB).
Dinda Natasya berpendapat jika seseorang sedang dilanda kedukaan di
dalam perjalanan hidupnya: rasa sendiri, bingung, kecewa dan putus asa mungkin
akan menjadi penyebab utama hancurnya sebuah kehidupan baik itu dalam hal
karir, prestasi maupun rumah tangga. Jika hati sedang gelap, pikiran tak bisa
digunakan dengan baik. Mata juga tak bisa melihat dengan baik, jika tak
menemukan orang-orang yang bisa dipercaya dan tak ada lagi solusi yang
ditemukan maka hal-hal yang muncul justru akan semakin memperburuk keadaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Akhirnya seseorang yang tengah putus asa lebih memilih mati saja karena sudah
tak sanggup menanggung penderitaan yang ada (Dinda Natasya,
http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Dinda Natasya adalah orang yang mampu melihat penderitaan “pasien”
tanpa harus mengatakannya. Jika “pasien” di dalam keterpurukan, namun di
hatinya tetap ada semangat untuk paling tidak berusaha menemukan seseorang
yang bisa memberinya dukungan tanpa menyalahkan tanpa menghakimi,
seseorang yang membuatnya tetap sadar dan terjaga untuk menghadapi masalah,
seseorang yang mampu membawa petunjuk sekaligus membantunya untuk
menghadapi bahkan melewati kedukaan dan penderitaan dengan ikhlas dan
sukses, tentunya hal itu akan sangat membantu (Dinda Natasya,
http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Dinda Natasya mampu menyembuhkan penderitaan “pasien” tanpa harus
bertemu dengannya. Dinda Natasya adalah sebuah pribadi, manis, baik hati, dan
tidak sombong yang dapat dijadikan teman, sahabat, kakak, Ibu, bahkan kekasih.
Dinda Natasya adalah orang yang mampu memberikan kesejukan bagi orang lain
hanya mulalui suara dan kata-katanya. Dinda Natasya mampu mengenali pribadi
karakter dan masalah yang dihadapi oleh seseorang hanya dari membaca
tulisannya. Karena semua kepekaan dan kebaikan hatinya itulah, Dinda Natasya
mampu menjadikan dirinya sebagai penerang dan penyejuk hati bagi siapa saja
yang datang padanya dengan membawa berbagai macam persoalan hidup.
Demikianlah pendapat Dinda Natasya tentang dirinya dan kehidupan (Dinda
Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30
WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Perempuan Jawa yang suka tirakat ini mudah beradaptasi, suka berbagi,
dan memiliki hobi di bidang sosial. Dinda Natasya juga berkarya sambil beramal
sekaligus belajar, karena itu mendengarkan dan mempelajari karakter orang lain
sudah menjadi kesenangan yang juga sudah menjadi bagian hidup Dinda Natasya.
Menjunjung tinggi tata krama, budaya dan budi pekerti, menikmati semua seni
budaya anak manusia tanpa terkecuali sebagai bagian dari ekspresi diri, cinta
terhadap sesama manusia dan lainnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kodrat
wanita adalah perhatian utama, menjadi wanita ratu rumah tangga itulah cita-
citanya. Seperti lilin yang bersinar sampai padam walau meleleh, seperti karang
tetap tegar diterpa ombak itulah semboyan hidup Dinda Natasya (Dinda Natasya
dan Anto HPrastyo, 2010:179).
Dinda Natasya menggunakan pemikirannya itu ke dalam kenyataan. Kini
semua catatan yang mewarnai di setiap perjalanannya tertuang di dalam bukunya
Dialog Cinta Oase Samudra Biru (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2).
Menariknya latar belakang kehidupan Dinda Natasya inilah yang dijadikan
landasan dalam penelitian ini untuk lebih mengungkap keekspresifan Dinda
Natasya melalui proses kreatif kepengarangannya.
2. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memaparkan penelitian dan analisis terdahulu yang telah
dipublikasikan diantaranya:
a. Skripsi Andry Khristian C0298008 (2006), Sastra Indonesia FSSR UNS.
Judul penelitian “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film
ELIANA, ELIANA”. Objek penelitian ini adalah skenario film “ELIANA,
ELIANA” oleh Riri Riza. Dengan rumusan masalah dalam penelitian (1)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Bagaimana “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film
ELIANA, ELIANA” ditinjau secara umum, yaitu mulai dari munculnya ide,
masa pengendapan, penulisan sampai proses penyempurnaan? (2) Bagaimana
“Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film “ELIANA,
ELIANA” ditinjau secara khusus, yaitu bagaimana proses pencarian tema,
amanat, penokohan, setting, dan alur?
Penelitian ini menggunakan teori proses kreatif. Menurut Mochtar Lubis
dalam skripsi Andry Kristian, kreativitas seorang sastrawan adalah
kemampuannya untuk menyuling manusia dan kehidupannya, pengalaman
masyarakat, sejarah bangsanya dan negerinya, lingkungan hidupnya,
kebudayaan dan sistem nilai bangsanya baik yang homogen maupun yang
beragam-ragam, dan kemudian menuangkannya dalam kerangka ciptaannya,
berbentuk puisi atau prosa, dan menandai ciptaannya ini dengan citra
kepribadiannya, keyakinannya, kejujurannya, nilai-nilai yang dipegangnya,
keberaniannya, kebenarannya, dan rasa keindahannya. Dari analisis ini dapat
disimpulkan beberapa hal: (1) ide cerita “ELIANA, ELIANA” tumbuh karena
ketertarikan Riri Riza tentang sosok wanita Minang yang dikenalnya, yaitu
istrinya. Proses penulisan skenario “ELIANA, ELIANA” Riri Riza dilakukan
dari bulan Juni 2000 sampai bulan Agustus dibantu Prima Rusdi. Tahapan
proses kreatif Riri Riza menganut Triangel System, yaitu sutradara, penulis
skenario dan produser film duduk dalam satu kursi. Pada tahap
penyempurnaan, dilakukan penajaman karakter, perubahan judul, dan
pemotongan adegan, (2) dalam menulis skenario film “ELIANA, ELIANA”, Riri
Riza banyak dipengaruhi oleh pengalaman kerjanya dan orang-orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
berada di sekelilingnya. Dalam cerita “ELIANA, ELIANA” Riri Riza ingin
menghadirkan persoalan alur cerita “ELIANA, ELIANA” hanya berkisar pada
pertemuan, pembicaraan, pertengkaran untuk mempertahankan harga diri yang
terjadi saat Eliana dan Bunda bertemu. Film karya Riri Riza tidak sedang
menjual mimpi, tidak ada jagoan, juga tidak ada tokoh utamanya menderita
kemudian menjadi pengusaha sukses pada ending. Setting yang dimunculkan
adalah “kawasan belakang” yaitu perkampungan kumuh, yang sempit, air
comberan, kamar kontrakan yang mirip kapal pecah, suasana toko-toko setelah
tutup, atau gudang tua dengan dinding yang penuh dengan grafiti di daerah
Kota Jakarta.
b. Skripsi Budi Waluyo C0294009 (2000), Sastra Indonesia FSSR UNS, dengan
judul “Obsesi Pengarang dalam Naskah Lakon Pedati Kita di Kubangan Karya
Hanindawan (Sebuah Pendekatan Ekspresif)”. Objek penelitian ini adalah
naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” karya Hanindawan yang berisi
tentang manusia-manusia yang berada di dalam kegelapan, kegulitaan dalam
kehidupan yang tak mampu dipahami oleh manusia yang berada di dalamnya.
Sumber data primer adalah naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” yang
diterbitkan oleh ISI Press Surakarta, sedangkan sumber data sekunder berasal
dari berbagai artikel dalam koran. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif yaitu suatu metode yang berusaha untuk menjabarkan apa yang
menjadi masalah, menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Pendekatan
yang digunakan adalah struktural yang dipadukan dengan pendekatan
ekspresif. Pendekatan struktural menurut Teeuw dalam skripsi Budi Waluyo
adalah pendekatan yang mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan ekspresif ialah pendekatan yang
memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis.
Pendekatan ini mendefinisikan puisi atau karya sastra sebagai sebuah ekspresi
curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang
bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya
(Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27).
Penelitian ini mengungkap tentang tinjauan ekspresif sebagai salah satu
cara untuk mendekati sastra. Peneliti berusaha mengupas pandangan pengarang
(Hanindawan) yang diwujudkan melalui naskah lakonnya. Untuk mengetahui
jiwa pengarang (yang tertuang dalam karyanya), dapat diketahui melalui
keterlibatan sosial, biografi pengarang, ideologi, sikap, dan posisi ekonomi.
Dari analisis dapat disimpulkan bahwa ekspresi pengarang dalam naskah lakon
ini meliputi lima hal yaitu: gaya bahasa dan gaya penulisan, obsesi tentang
kemerdekaan, pandangan tentang kemerdekaan ideal, obsesi tentang
kepemimpinan dan tentang kepemimpinan yang ideal.
B. Landasan Teori
1. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif menurut M. H. Abrams dalam bukunya The Mirror
and The Lamp: Romantic Theory and The Tradition menyimpulkan bahwa secara
umum kecenderungan utama teori ekspresif dapat dirangkum dengan cara ini:
sebuah hasil seni pada dasarnya sesuatu dari dalam yang dibuat eksternal, dari
hasil proses kreatif yang bekerja di bawah dorongan perasaan yang diwujudkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
dalam hasil kombinasi persepsi, pemikiran, dan perasaan seorang penyair (M. H.
Abrams, 1971:22).
Dalam koordinasi beberapa kritik seni Abrams memaparkan empat
elemen dalam situasi total suatu karya seni yang dideskriminasi dan dibuat
menonjol oleh satu sinonim atau lainnya, dalam hampir semua teori yang
bertujuan untuk menjadi komprehensif (M. H. Abrams, l971:6). Berkenaan
dengan itu Abrams mengatakan:
First, there is the work, the artist product itself. And since this is a human
product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist.
Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is
derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something
which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This
third element, whether held to consist of people and actions, ideas and
feelings, material things and events, or super-sensible essences, has
frequently been denoted by that word-all-work, „nature‟; but let us use the
more neutral and comprehensive term, universe, instead. For the final
element we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom
the work of art is addressed, or to whose attention, at any rate, it becomes
available (Abrams, l971:6).
Melalui teori di atas, kita mengetahui bahwa pertama, ada suatu karya
sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada
semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada penikmat
karya sastra (pembaca). Menurut Abrams keempat hal ini dapat dijadikan sebagai
teori perbandingan agar lebih mudah untuk menganalisis dalam ranah kritik seni
(M. H. Abrams, 1971:6-7).
Berdasarkan teori di atas, karya sastra dapat dipandang dari empat sudut
pandang: (a) mimetik (b) pragmatis (c) ekspresif dan (d) objektif (M. H. Abrams,
1971:8-29). Cara pandang terhadap karya sastra semacam itu dalam memahami
atau menelaah karya sastra bisa difokuskan pada: (a) penjelasan seni sebagai dasar
tiruan dari aspek-aspek alam adalah pendekatan mimetik, (b) efek karya sastra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
terhadap pembaca bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis,
(c) pengarang bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, dan
(d) karya sastra sebagai karya yang mandiri adalah pendekatan objektif. Tetapi
dalam penelitian ini kajian difokuskan pada teori pendekatan ekspresif.
Pendekatan ekspresif memandang karya sastra terutama dalam
hubungannya dengan penulis. Pendekatan ini mendefinisikan puisi/karya sastra
sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk
imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan
perasaan-perasaannya. Pendekatan ini cenderung untuk menimbang karya sastra
dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokannya dengan visium (penglihatan
batin) individual penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering pendekatan
itu melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan
pengalaman-pengalaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah
membukakan dirinya di dalam karyanya (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27).
Dalam proses penciptaan, karya sastra dapat dikatakan sebagai
pengalaman. Pengalaman di sini ialah jawaban (response) yang utuh dari jiwa
manusia ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan (realitas). Disebut
utuh karena tidak hanya meliputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga
kegiatan perasaan dan khayal atau imajinasi (Sumardjo dan Saini, 1986:10).
Menurut Mursal Esten dalam bukunya Kesusasteraan: Pengantar Teori
dan Sejarah bahwa seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang
ada dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif dapat berbentuk
peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-
bentuk realitas objektif yang ada dalam masyarakat. Apabila seorang pengarang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
merasa tidak puas dengan realitas objektif itu, mungkin saja pengarang lalu
merasa “gelisah”. Berangkat dari kegelisahannya itulah, pengarang dengan
caranya sendiri memprotes, memberontak, mendobrak realitas yang menurutnya
tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka
pengarang mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti
realitas objektif yang sementara ini ditolak pengarang. Hal inilah yang kemudian
diungkapkan melalui karya sastra yang diciptakan pengarang. Pengarang mencoba
untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang ditemukannya.
Pengarang ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap
sebagai masalah atau persoalan manusia (Mursal Esten, 1993:9).
Karya sastra dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka
keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra
tersebut. Karena sifatnya yang kreatif-imajinatif, karya sastra menyaran pada
dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra novel misalnya, menyuguhkan cerita.
Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita
itu merupakan hasil kreasi dari pengarangnya. Sebagai karya seni, karya sastra
diciptakan dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk
memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya (Fatchul Mu’in,
http://pbingfkipunlam.wordpress.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 15.30
WIB).
Karena sifatnya yang menghibur sehingga karya sastra tidak
menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral secara langsung, melainkan
mengajarkan kepada pembaca melalui keindahannya. Pesan moral disampaikan
oleh pengarang melalui keindahan karya sastra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2. Proses Kreatif
Proses kreatif seorang pengarang maupun penulis adalah ruang istimewa
yang tidak bisa diabaikan, karena hal itu menentukan mutu karya ciptaannya
(Naning Pranoto, 2011:30). Pengarang yang sering membicarakan proses
kreatifnya lebih suka menyinggung prosedur teknik yang dilakukan dengan sadar
daripada membicarakan “bakat alam”, atau pengalaman yang menjadi bahan
karya, atau karyanya sebagai cermin atau prisma dari pribadi mereka. Cukup jelas
alasan seniman-seniman yang sadar diri untuk menyatakan bahwa karya mereka
bersifat tidak personal. Jadi seakan-akan mereka memilih tema seperti seorang
editor yang menghadapi masalah estetika (Rene Wellek dan Austin Warren,
1993:101).
Hal yang menunjang dalam penelitian proses kreatif adalah biografi
pengarang, namun biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang
penciptaan karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari
hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan
intertektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi
yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif (Rene Wellek dan
Austin Warren, 1993:82).
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping
itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak
terlepas dari latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam
karya sastranya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:108). Proses kreatif meliputi
seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra
sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif (Wellek
dan Warren, 1993:97).
Williem Miller dalam buku Jakob Sumardjo yang berjudul Catatan Kecil
Tentang Menulis Cerpen memaparkan tentang berbagai pengalaman penulis
terkenal, yaitu menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi
gagasan. Banyak yang melakukan secara spontan, tetapi juga ada yang berkali-
kali mengadakan koreksi dan penulisan kembali. Artikel ini ditulis sekitar sejam,
tapi ada juga penulis yang melakukannya berhari-hari. Potensi dan tabiat orang
memang tidak sama. Namun dalam kerja menulis, cepat atau lamban, selalu
mengalami proses kreatif yang hampir sama (Jakob Sumardjo, 1997:69).
Dalam buku Jakob Sumardjo tersebut juga memaparkan bahwa terdapat
empat tahap proses kreatif menulis. Pertama, tahap persiapan, dalam tahapan ini
seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan
menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang
bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal
bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan.
Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini
gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang,
dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa
pengendapan ini biasanya konsentrasi penulis hanya pada gagasan itu saja. Di
mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya.
Ketiga, saat inspirasi (munculnya ide), tahapan inilah tahap yang
menggelisahkan. Inilah saat “Eureka” yakni saat yang tiba-tiba seluruh gagasan
menemukan bentuknya yang amat ideal. Gagasan dan bentuk ungkapnya telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
jelas dan padu. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tidak bisa ditunggu-
tunggu lagi. Kalau saat inspirasi ini dibiarkan lewat, biasanya bayi gagasan akan
mati sebelum lahir. Gairah menuliskannya lama-lama akan mati.
Keempat, tahap penulisan. Kalau saat inspirasi telah muncul maka
segeralah lari ke mesin tulis atau komputer atau ambil bolpoin dan segera
menulis. Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan
yang baik atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk
tulisan yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan
kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar,
masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini.
Kelima, tahap revisi. Setelah “melahirkan” bayi gagasan di dunia nyata
ini berupa tulisan, maka istirahatkanlah jiwa dan badan anda. Biarkan tulisan
masuk laci. Kalau saat-saat dramatis melahirkan telah usai dan otot-otot tak kaku
lagi, maka bukalah laci dan baca kembali hasil kasar dulu itu. Periksalah dan
nilailah berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang kau miliki. Buang bagian
yang dinalar tak perlu, tambahkan yang mungkin perlu ditambahkan (Jakob
Sumardjo, 1997:69-72).
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam mendeskripsikan penelitian ini dituangkan sebagai
berikut.
1. Berdasarkan rumusan masalah, dilakukan penelitian mengenai proses kreatif
Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang menentukan keekspresifan Dinda
Natasya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2. Penentuan klasifikasi karya-karya Dinda Natasya dalam tataran proses kreatif
yang dijadikan sampel untuk penelitian ini.
3. Tahap selanjutnya melakukan wawancara mendalam dengan narasumber, guna
mengetahui sisi kekhasan kepengarangan Dinda Natasya.
4. Tinjauan pengarang atau riwayat hidup pengarang juga dijadikan sebagai acuan
dalam penelitian ini.
5. Tahap akhir penelitian ini adalah analisis terhadap data-data untuk
mengerucutkan menjadi satu simpulan berupa proses kreatif Dialog Cinta
Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
Bagan
Kerangka Pikir Penelitian
Wawancara dengan Dinda Natasya
Riwayat hidup Dinda Natasya
Analisis proses kreatif dalam menentukan
keekspresifan Dinda Natasya
Klasifikasi karya Dinda Natasya
dalam tataran proses kreatif
Simpulan keekspresifan Dinda Natasya yang
didapat dari proses kreatif kepengarangannya
Proses Kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru
dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Atar Semi dalam
buku Suwardi Endraswara penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan
dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman
penghayatan terhadap interaksi antar-konsep yang sedang dikaji secara empiris
(Suwardi Endraswara, 2011:5).
Penelitian ini juga dilakukan dengan memenuhi ciri penting dari
penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain: (1) peneliti merupakan
instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2)
penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau
gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses
dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak
mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan
andalan utama (Suwardi Endraswara, 2011:5).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang
diperoleh dari sampel itu hendak digeneralisasikan (Sutrisno Hadi, 1983:70).
Populasi penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Adapun populasi
sampling dari penelitian ini adalah beberapa puisi dan kisah yang diambil dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang berkaitan erat dengan latar belakang
masalah.
1. Sampel
Sampel adalah sebagian individu yang diselidiki. Satu persoalan penting
yang dihadapi oleh seorang penyelidik jika ia hendak mengadakan research
sampling adalah bagaimana ia dapat memperoleh sampel atau sampel-sampel
yang dapat “mewakili” populasi. Tentulah yang dimaksud dengan “mewakili”
bukanlah duplikat atau “replika” yang cermat, melainkan hanya sebagai “cermin
yang dapat dipandang menggambarkan secara maksimal keadaan populasi
(Sutrisno Hadi, 1983:70). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive
sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-
sifat yang dipandang mempunyai sangkut paut dengan populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Sutrisno Hadi, 1983:82).
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sampel yang
disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu berkaitan dengan persoalan-persoalan
sosial yang disebabkan oleh cinta. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah
beberapa puisi dan kisah yang diambil dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang
berkaitan erat dengan latar belakang masalah sehingga mampu menentukan
masing-masing standar estetis untuk penelitian ini.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang digunakan adalah data kualitatif yaitu data yang disajikan
dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata
verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
sebaliknya; sering muncul dalam kalimat panjang lebar, yang lain singkat
melainkan perlu dilacak kembali maksudnya:dan banyak lagi ragamnya. Data kata
verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis
(Noeng Muhadjir, 1996:29). Data dapat berupa pemakaian bahasa (ungkapan,
kalimat, dan diksi), perilaku masyarakat, buku-buku, dokumen, arsip dan lain-
lain. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa kisah dan
puisi dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menentukan proses kreatif
pengarang dan keekspresifan Dinda Natasya.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan asal muasal data-data penelitian itu diperoleh
yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Data-data penelitian
itu juga berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Data-
data yang diperoleh dalam penelitian ini mempunyai sumber yang jelas dan pasti.
Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Informan
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan, yaitu Dinda Natasya.
Dinda Natasya dijadikan sumber data karena penelitian ini membicarakan
masalah proses kreatif penulisan sebuah karya. Sehingga informasi penulis
sangat penting dalam memberikan data-data yang diharapkan peneliti.
b. Kepustakaan
Sumber kepustakaan dalam penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase
Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto Hprastyo yang diterbitkan pada
tahun 2010 oleh Mata Aksara dan hasil wawancara dengan Dinda Natasya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan untuk
memperoleh data yang berkualitas. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini
adalah melalui penggolongan klasifikasi Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang
sesuai dengan tujuan penelitian dan wawancara terhadap pengarang (teknik kerja
sama dengan informan). Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh
data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan
individu maupun individu kelompok (Nyoman Kutha Ratna, 2010:222).
E. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data merupakan tahap analisis setelah seluruh data
terkumpul. Teknik analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran
logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan
sejenis itu (Tatang M. Amirin, 1990:95). Sesuai dengan penelitian ini yang berupa
penelitian kualitatif, maka teknik analisis data dari penelitian ini berupa
pendeskripsian data penelitian secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan beberapa tahapan yaitu sebagai berikut.
1. Tahap Deskripsi Data
Tahap deskripsi data bertujuan untuk membuat gambaran sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungannya dengan fenomena
yang diteliti.
Deskripsi data merupakan pendefinisian tentang pengertian-pengertian
yang berhubungan dengan karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:183).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2. Tahap Klasifikasi Data
Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan data-data yang telah
dideskripsikan sesuai dengan permasalahan.
Tahap klasifikasi data merupakan penggolongan yang memilah-milahkan
data sesuatu dengan kelompoknya, kategori pengelompokkan bersifat natura
(Suwardi Endraswara, 2011:154).
3. Tahap Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis dari segi proses kreatif pengarang
untuk menemukan keekspresifannya. Analisisnya berdasarkan tahap pengambilan
sampel untuk menentukan klasifikasi, penentuan konflik sosial dalam klasifikasi,
dan pengolahan data hasil wawancara terhadap objek penelitian.
Knox C Hill dalam buku Rachmat Djoko Pradopo memaparkan bahwa
karya sastra merupakan sebuah struktur kompleks, maka untuk memahaminya
perlu adanya analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-
unsurnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:93).
4. Tahap Interpretasi Data
Tahapan ini memberikan pemaknaan pada data yang telah dianalisis
dalam kesesuaian dengan tujuan penelitian tanpa mengurangi keobjektifannya.
Tahap ini adalah tahap untuk memberikan penjelasan arti bahasa sastra
dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada
kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya (Rachmat Djoko Pradopo,
1995:93).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
F. Teknik Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian diperoleh melalui data yang telah diolah,
dianalisis, dan dievaluasi pada rangkaian tahap sebelumnya. Teknik penarikan
kesimpulan ini melalui ragam induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang
berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari
fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum. Dalam generalisasi semacam ini sudah
tentu hal-hal atau peristiwa-peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi itu
masih termasuk dalam daerah generalisasi yang dianggap benar itu. Artinya, jika
suatu generalisasi dikenakan pada peristiwa-peristiwa khusus dari mana
generalisasi itu diambil, maka harus ada kococokan hakekat (Sutrisno Hadi,
1983:42).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya
1. Tahap Persiapan
Setiap pengarang memiliki cara masing-masing untuk melalui tahap
persiapan dalam proses penciptaan karya sastranya. Tahap persiapan tergantung
pada sejauh mana pemikiran dan pengalaman yang dialami oleh pengarang. Karya
sastra yang berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan pengarang juga tidak
terlepas dari peran pengarang dalam mengolah tahapan ini. Peran pengarang
sangat penting dalam mengolah dan mengembangkan pemikirannya untuk
kemudian dituangkan ke dalam karya sastra.
Tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa
yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis
adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu
adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat
teknis penulisan (Jakob Sumardjo, 1997:69-70).
Pada tahap ini Dinda Natasya memiliki gambaran akan bagaimana
karyanya nanti. Meski tidak banyak persiapan yang dilakukan Dinda Natasya
dalam proses perciptaan karya sastranya. Dinda Natasya menulis hanya karena
apa yang dilihat dan didengarnya. Dinda Natasya selalu menempatkan dirinya
pada posisi mereka yang menjadi inspirasinya agar dapat ikut merasakan apa yang
mereka rasakan. Dinda Natasya melakukannya dengan cara spontan. Bahkan ia
mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda Natasya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
begitu ada topik yang “dilemparkan” untuknya maka dengan cepat sajak-sajak
akan mengalir dari ucapannya. Hal ini disebabkan dari kebiasaan Dinda Natasya
sebagai penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah
(Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Spontan adalah serta merta; tanpa dipikir; atau tanpa direncanakan lebih
dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati, tidak karena dianjurkan dsb
(Dendy Sugono, 2008:1335). Kespontanan Dinda Natasya tersebut tercermin pada
puisi yang terdapat dalam judul dan lariknya. Seperti dalam puisi PadaMu (hal
72), Tak Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75). Judul-judul dan larik-larik yang
terdapat di dalamnya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan
karya-karyanya yang lain. Dinda Natasya mengungkapkan curahan hatinya tanpa
berpikir panjang. Berkaitan dengan pengertian spontan, hal itu menunjukkan
bahwa puisi tersebut memang merupakan puisi yang bersifat ekspresi spontan dari
Dinda Natasya. Berikut kutipan salah satu dari ketiga puisi di atas yang
menunjukkan ekspresi spontan dalam tulisannya.
ROMANSA
Di dinding kamarku
Putih susu
Diam memandang
Kala mataku pejam.
Disudut ranjangku
Bayang keemasan
Hangat menyusup
Saat tubuhku tergetar
Di langit-langit malamku
Romansa tertinggal
Penuh bisik lirih
Saat anganku terkenang
Wangi cendana membingkai indah
Wajah cinta dalam rona pelangi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Indah tercium
Walau hasrat tengah tenggelam
Wahai
Kidung asmarandana
Kau di sini
Tinggal di kamar hati
Menebar romansa asmara
Malam minggu sendiri.
Jakarta, 30 Januari 2010. (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75)
Meski demikian kespontanan Dinda Natasya tersebut juga berkaitan
dengan profesinya sebagai penyiar yang terbiasa berpikir cepat dan dapat
langsung mengungkapkan pendapatnya dengan cepat ketika ada topik yang
diberikan untuknya. Sama halnya ketika dalam tahap persiapan ini, Dinda Natasya
tidak memerlukan banyak persiapan untuk menulis. Karena sebagai penyiar yang
sudah cukup berpengalaman selama lebih dari 25 tahun, Dinda Natasya juga
banyak menyimpan pengalaman, baik itu dari dirinya maupun dari pendengarnya
atau orang lain (“pasien-pasiennya”). Kespontanan Dinda Natasya tersebut juga
diungkapkannya dalam kutipan hasil wawancara berikut.
Jadi, ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti
kalau sudah ada waktu, tidak lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu
pagi atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih ingat langsung
dibikin. Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan...
Karena Bunda dipakai siaran, dipakai siaran itu tidak menganggap. Beda ya,
jadi ga pakai laptop, kalau orang kan tulis dulu di .... terus pakai laptop.
Ngomongnya kita cepat ya kalau nulis, dalam hitungan menit kita harus
sudah, ada kasus hitungan menit, Bunda harus On Air lagi. Jadi kalau ada
ide sekelebat masuk ya langsung catat, sampaikan, nanti kan kalau itu
penting ke belakangnya itu baru dikembangkan di..di apa, ditulis lebih luas
gitu kan wawasannya ditambahin supaya membaca juga itu bisa jadi ilmu
gitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Dinda Natasya menggunakan pemikirannya dalam mempersiapkan tahap
ini untuk menciptakan karya-karyanya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru,
terutama persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Cinta dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
pengertian yang luas yaitu cinta kepada Tuhan, sesama mahkluk sosial, kisah
kasih pria dan wanita, orang tua kepada anak, dan sebagainya. Hal tersebut
tampak dalam kutipan berikut.
Ya Allah
Padamu bersimpuh di ujung sajadah
Menggenggam tasbih
Pejam tertunduk
Hingga basah mata
Mengigil ngilu
Merindui hadirmu di setiap waktuku
Engkaulah hidupku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:72)
Wujud cinta kepada Tuhan sangat terlihat dalam kutipan puisi PadaMu
di atas. Dinda Natasya mengungkapkan bahwa wujud cinta itu dilakukan dengan
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah sholat yang
diakhiri dengan membaca tasbih yang tampak dalam puisi tersebut merupakan
wujud nyata kecintaan Dinda Natasya pada Tuhannya. Wujud cinta Dinda
Natasya yang lain yaitu sesama mahluk sosial tampak dalam kutipan berikut.
...Boleh kau ingatkan belenggu atasku
Dan kau rantai kehidupanku
Tapi kemanakah nurani
Jika aku merasa belenggu ini bukan milikku
Kebebasan itu terbatas tipis
Apakah aku ini bersalah?
Apakah aku ini pendosa? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:102)
Persoalan sosial seperti yang tampak dalam kutipan puisi di atas
merupakan contoh tipisnya kecintaan antar-sesama makhluk sosial berupa
ketidakpedulian dengan bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya
untuk menghakimi sesamanya. Cinta dalam pengertian antar sesama makhluk
sosial juga tampak dalam kutipan puisi Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra
Biru dan Pandeka, yaitu “...Dan sesungguhnya cinta tak bertuan. Ia milik siapa
saja” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:96).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Maksud dari judul dan kutipan puisi yang saling berkaitan di atas adalah
cinta Dinda Natasya, Samudra Biru, dan Pandeka dapat dimiliki oleh siapa saja.
Hal ini barkaitan dengan profesinya sebagai “dokter cinta” yang menerima dengan
tangan terbuka bagi siapa saja yang datang padanya untuk mencurahkan isi
hatinya. Dinda Natasya selain menjadi pendengar setia, ia juga mampu memberi
kenyamanan dan kedamaian serta membantu memberi solusi semampunya kepada
“pasien-pasiennya”. Sebab itulah Dinda Natasya banyak dicintai oleh “pasien-
pasiennya” dan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan Samudra Biru
sebagai penulis, karena tulisan-tulisannya yang bersifat menghibur dan dapat
memberi nasihat-nasihat atau pesan secara tidak langsung.
Sebagian besar “pasien-pasien” Dinda Natasya datang dengan membawa
persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, termasuk persoalan
percintaan antara pria dan wanita. Hal tersebut tampak dalam kutipan puisi
Menyapa dengan Cinta (hal 93) berikut.
Aduhai
Betapa indah cinta menyapa dunia
Santunmu sesakkan dada
Bukan lembut buai angin menerpa ilalang
Senja itu milikku, biarlah kubingkai dengan hatiku...
(Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:93)
Pengertian cinta dalam kutipan di atas merupakan cerminan kisah
seseorang yang sedang jatuh cinta kepada lawan jenis atau dapat dikatakan mabuk
cinta. Mabuk adalah berbuat di luar kesadaran; sangat gemar (suka); tergila-gila;
sangat birahi; mabuk asmara (Dendy Sugono, 2008:852). Dalam kaitannya
dengan hal ini kisah percintaan tak selalu sesuai harapan, ada yang patah hati
karena cinta. Hal tersebut tampak dalam judul puisi Puisi Para Mantan, yang
mencerminkan tentang kisah cinta yang sudah berakhir sehingga orangnya disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
dengan mantan (misalnya mantan kekasih). Mantan adalah bekas (Dendy Sugono,
2008:514), sedangkan kekasih merupakan (orang) yang dicintai; buah hati (Dendy
Sugono, 2008:397). Jadi sebenarnya pengertian mantan kekasih tidak hanya
ditujukan untuk pacar tetapi juga merupakan istilah penyebutan bagi bekas atau
orang yang pernah dikasihi.
Pengertian cinta yang begitu luas sehingga tidak menutup kemungkinan
cinta hadir kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja. Termasuk cinta orang
tua kepada anaknya yang tidak pernah pudar dan tercermin dalam puisi berjudul
Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) dan Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun
Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79).
Dari judul puisinya saja sudah sangat terlihat bahwa Dinda Natasya ingin
menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua anaknya. Menuliskan puisi
khusus untuk anak-anak istimewanya itu. Cinta Dinda Natasya juga layaknya
cinta seorang ibu sepanjang masa, hal tersebut tampak dalam kutipan puisi
Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79),
yaitu“...May Allah bless you: little princess. Cinta ibu hidup dalam jiwamu tak
pernah mati” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:79).
Hal tersebut juga merupakan bentuk ungkapan atau penyataan cinta
Dinda Natasya untuk kedua anaknya. Pada larik “...May Allah bless you: little
princess” memiliki arti “...semoga Allah memberkahimu: putri kecil”, bermakna
bahwa Dinda Natasya mendoakan anaknya yang pada saat itu sedang berulang
tahun di usia 21 tahun. Meski putrinya telah memasuki usia dewasa Dinda
Natasya masih menganggapnya sebagai putri kecil atau “little princess” karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
rasa sayangnya yang tidak pernah berkurang sejak putrinya berusia dini hingga
dewasa.
Demikian itu pengertian cinta yang luas, cinta yang tak mengenal ruang,
jarak, dan waktu. Cinta yang dapat singgah di hati siapa saja, kapan saja, dan di
mana saja. Dinda Natasya mengemas pengertian-pengertian cinta itu ke dalam
larik-larik puisi yang apik dan penuh nasihat.
Dalam tahap persiapan ini Dinda Natasya banyak mendapat dorongan
dari pendengar pada acara siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta
dan orang-orang yang sudah sering membaca beberapa petikan tulisan Dinda
Natasya di status dinding akun facebook miliknya. Tuntutan dari orang-orang
terdekatnya itulah yang sedikit memaksa Dinda Natasya untuk membukukan
tulisan-tulisannya.
2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi)
Pengarang melalui tahap pengendapan dalam proses penciptaan karya
sastra sebelum akhirnya menuliskan apa yang telah menjadi gambaran pengarang.
Masa pengendapan adalah tahapan yang dilakukan dengan mencari,
mengumpulkan, mengolah, sekaligus memikirkan hal-hal yang dianggap perlu
untuk memperkuat ide pengarang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari tahapan-tahapan
tersebut adalah, (1) mencari adalah beusaha mendapatkan (menemukan,
memperoleh), (2) mengumpulkan adalah membawa sesuatu dan menyatukan
dengan yang lain agar dapat berkumpul, (3) mengolah adalah memasak
(mengerjakan, mengusahakan) sesuatu (barang dsb) supaya menjadi lain atau
lebih sempurna, dan (4) memikirkan di sini adalah mencari upaya untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi; mempertimbangkan;
merenungkan (Dendy Sugono, 2008:245-1073).
Pengertian-pengertian tersebut dalam kaitannya dengan masa
pengendapan merupakan tahapan yang harus dilalui sebelum pada akhirnya
menuliskan. Tidak sulit bagi Dinda Natasya untuk mencari dalam tahapan ini,
karena ia banyak mendapat inspirasi dari pengalaman hidup baik diri sendiri
maupun orang lain. Dari pengalaman pendengar dan “pasien-pasiennya” itu
dengan tidak disadari telah terkumpul banyak hal sehingga menjadi konsep
berpikir Dinda Natasya. Kemudian Dinda Natasya mengolahnya sekaligus
memikirkan dengan memilah-milah hal-hal yang dianggap perlu dalam
membagikan konsep berpikirnya tentang pengalaman-pengalaman tersebut ke
dalam tulisan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Salah satu
yang menjadi cerminan dari hal tersebut terdapat dalam pernyataan Dinda Natasya
dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yaitu Catatan Lain Tentang Penjara.
Terdapat suatu pernyataan tentang pengalaman Dinda Natasya yang menghasilkan
puisi Mimpi 18 Hari (hal 15) dan kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14)
itu sendiri, berikut kutipannya.
...Ini adalah pengalamanku ketika aku banyak mendengar suara-suara dari
balik penjara. Merasakan pahit getirnya kehidupan dan indahnya
persahabatan yang tersampaikan lewat forum curhat baik yang melalui
SMS, telepon pribadi ataupun yang online melalui acara di radio. Aku
seakan tinggal di dalam (ruang tahanan) selama 18 hari (Dinda Natasya dan
Anto HPrastyo, 2010:13).
Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini
gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang,
dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa
pengendapan ini biasanya konsentrasi penulis hanya pada gagasan itu saja. Di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya (Jakob
Sumardjo, 1997:70).
Pada beberapa karya Dinda Natasya merupakan curahan hatinya ketika
berhadapan atau merasakan suatu keadaan yang mengganggu pikirannya.
Menurutnya, menulis adalah cara pelampiasan untuk menjadikan perasaan dan
pikiran negatif menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dan juga dirinya secara
pribadi. Dinda Natasya mengaku tidak banyak melakukan proses pengendapan
selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang
disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran
Dinda Natasya atau tidak. Juga apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah
atau tidak oleh pembaca (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59
WIB).
Cara yang dilakukan Dinda Natasya tersebut merupakan kompensasi
sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis yaitu penyucian diri
yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan (Dendy
Sugono, 2008:635). Bentuk pelampiasan yang dilakukan Dinda Natasya ini
sebagai pengalihan dari pikiran negatifnya terhadap suatu keadaan yang kemudian
diolah dan dituangkan ke dalam tulisannya agar lebih bermanfaat untuk
pembacanya. Namun tidak semua pemikiran setiap pembaca itu sama, karena
pembaca memiliki cara pandang yang berbeda. Cara pandang tersebut juga
bergantung pada latar belakang kehidupan, wawasan, dan pengalaman hidup
pembaca sehingga mempengaruhi daya tangkap mereka. Dalam kaitannnya
dengan hal tersebut, peneliti dapat menangkap hal positif dari hasil bacaannya
sehingga dapat menjadi hal yang lebih bermanfaat dan dijadikan sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
pembelajaran tanpa mengalaminya secara langsung. Karena selain dari
pengalaman yang dialami oleh diri sendiri, kita juga dapat belajar dari
pengalaman orang lain. Bagi peneliti, orang yang tidak memiliki banyak
pengalaman bacaan, mungkin tulisan Dinda Natasya tersebut hanya sekedar
bacaan yang menghibur sehingga tetap bermanfaat.
Hal di atas tercermin dalam puisi Dinda Natasya yaitu Kalah (hal 70-71)
dan Puisi Para Mantan (hal 112-113), berikut kutipannya.
KALAH
Ya Allah
Engkau mengajariku cinta
Dalam kegalauan mencoba mencari
Apa makna yang telah kau beri
Tentang memberi dan menerima
Tentang ketulusan dan keikhlasan
Ya Allah
Hari ini aku tersesat jauh
Dalam perjalananku meraih cintamu
Seseorang datang menghadang langkahku
Aku gagal mendapatkanmu
Karena aku memberi seluruh cintaku
Dan menerima fatamorgana ini
Yang telah menjauhkanku darimu
Ya Allah
Inilah tipu muslihat cinta
Yang ku lihat adalah kesenangan dunia
Kebahagiaan semu yang ternyata membuatku menderita
Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu
Ya Allah
Jika akhirnya tangis dan sesal
Tak bisa lagi menolong
Siapakah yang akan selamatkanku dari siksa ini
Jika bukan karena kasih sayangmu
Ampunilah aku ya Tuhanku
Karena cinta ini telah membutakan matahatiku
Ya Allah
Bebaskan aku dari penjara cinta ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Biarkan aku kembali padamu
Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini
Karena mencintainya melebihi cintaku padamu
Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71).
Puisi di atas merupakan curahan hati Dinda Natasya yang menuliskan
tentang kekalahan manusia, ketika manusia itu kalah dalam menempatkan dirinya
di posisi sebagai manusia. Karena hidup, mati, rezeki, dan terutama jodoh adalah
milik Tuhan artinya manusia semestinya tunduk dan patuh terhadap takdir yang
menjadi kehendak Tuhan. Kemudian dalam puisi Kalah (hal 70-71), Dinda
Natasya mengemas bentuk kekalahan tersebut berupa kalahnya intuisi manusia
terhadap nafsunya sendiri. Dalam menulis puisi tersebut, Dinda Natasya banyak
melihat “kekalahan” orang-orang dalam menjalin hubungan, meski taat dalam
agamanya namun cinta mereka bisa mengalahkan keimanan. Misalnya manusia
lebih berani meninggalkan Tuhan untuk kekasihnya daripada meninggalkan
kekasihnya untuk Tuhan sehingga sama halnya dengan nekat meninggalkan
agama. Demikian yang diungkapkan Dinda Natasya dalam kutipan hasil
wawancara melalui telepon berikut.
Kalau di Kalah itu Bunda menuliskannya itu kekalahan manusia ketika ia
kalah menempatkan dirinya di posisinya sebagai manusia. Karena kalau
jodoh, mati, rejeki, itu milik Tuhan artinya kan manusia tunduk patuh sama
takdir sama kehendak-Nya kan. Nah, ketika kekalahan itu adalah kalah
karena intuisinya ya kalah sama nafsunya sendiri maka kekalahan itu kan
kekalahan mutlak. Karena ia tidak mungkin tidak bangkit, kecuali kalau
Tuhan sendiri yang datang menolong ya, ...
...Kalau bicara tentang menganalisa permasalahan remaja, percintaan yang
gagal, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ketuhanan yang
kemudian menjadi abu-abu ketika cinta masuk dan manusia menjadi Kalah
tadi kan. Ee akhirnya itu lebih berani meninggalkan Tuhan daripada ee apa
ya namanya, berani meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan. Kan lebih pada
nekat ninggalin agama (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Dinda Natasya merasa banyak manusia telah “mengkhianati” Tuhan
dengan mencintai seseorang melebihi cintanya kepada Tuhan sehingga ia merasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
tertekan dan bersalah atas apa yang terjadi dengan hatinya. Maka dari itu, puisi
tersebut juga merupakan doa yang disampaikan Dinda Natasya dalam memohon
ampun dan petunjuk kepada Tuhan agar manusia tersebut dapat kembali menjadi
makhluk yang bertakwa, yaitu terpeliharanya sifat diri untuk tetap tata
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; kesalehan hidup
(Dendy Sugono, 2008:1382). Seperti yang diungkapkan Dinda Natasya dalam
kutipan wawancara berikut.
Kemudian mungkin bisa menyerahkan, menyerah kalah „Ya Tuhan aku
kalah, dan aku kembalikan lagi kepada-Mu gitu, jangan sampai aku
meneruskan ini tapi dengan kemenangan yang salah‟ kan gitu. Jadi intinya
begitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Dari pergulatan pikiran negatif Dinda Natasya itulah, yang kemudian
Dinda Natasya mengolahnya ke dalam tulisan sehingga lebih bermanfaat untuk
pembacanya atau orang lain. Hal tersebut tentunya dengan tujuan agar pembaca
dapat mengambil sisi positif dari tulisan Dinda Natasya dan dapat dijadikan
sebagai pembelajaran dan doa. Seperti yang diungkapkan Dinda Natasya berikut.
“Semuanya itu adalah doa untuk pembicaraan permohonan pencerahan ya,
merujuk pada Tuhan. Untuk puisi Kalah semuanya begitu.” (Wawancara
Dinda Natasya, 31 Maret 2012)
Dalam pengetikan puisi Kalah tersebut, peneliti juga mengkritisi
penggunaan ejaan yang salah pada kata ganti “-Mu” dalam larik: “…Dalam
perjalananku meraih cintamu”, “…Aku gagal mendapatkanmu”, “…Yang telah
menjauhkanku darimu”, “…Karena cintaku telah melebihi persembahanku
padamu”, “…Jika bukan karena kasih sayangmu”, “…Biarkan aku kembali
padamu”, dan “…Karena mencintainya melebihi cintaku padamu” (Dinda
Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71). Kata ganti “-Mu” dalam larik-larik
puisi tersebut dituliskan dengan ejaan “m” kecil dan tanpa tanda hubung (-) di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
depan huruf “m”. Hal tersebut merupakan kesalahan editor dalam menafsirkan
puisi dari rekaman siar Dinda Natasya ke dalam tulisan saat menyusun buku
Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Karena seharusnya kata ganti tersebut ditulis
menggunakan huruf “m” kapital dengan tanda hubung (-) di depan huruf “m”
kapital. Jadi, kata ganti “-Mu” tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk semua
kebesaran dan segala milik Tuhan, sehingga “-Mu” adalah Tuhan. Hal tersebut
juga karena penulisan “Mu” tanpa tanda hubung (-) yang dilakukan oleh Dinda
Natasya dapat diartikan sebagai penyatuan yang sangat antara mahluk dan
Tuhannya. Berikut kutipan ungkapan hasil wawancara dengan Dinda Natasya.
Kalau dipenulisan, sorry, kalau Bunda itu kan menulis gunanya untuk
disiarkan ya. Di siaran itu tidak bisa dibaca antara “Mu” besar “Mu” kecil,
jadi kalau misalnya kitanya sudah disiarkan direkam kemudian di, ee
sesuatu yang direkam kemudian ditulis. Ejaan dibaca sama ejaan ditulis kan
tidak, tidak bisa dimengerti oleh orang yang mengedit...”
Bunda kan biasa menggunakan tulisan untuk siaran, untuk audio bukan
visual jadi karena kebiasaan bekerja di radio kadang-kadang orang selalu
akan salah menafsirkan kata-kata “Mu” besar “Mu” kecil kecuali kalo diapa
ya, ditunjukkan dalam kalimat yang memang diartinya ada perbedaan antara
menulis “Mu” besar dan “Mu” kecil. Semua kata “Nya”, “Mu” atau yang
menjadi nama dengan huruf besar pasti adalah katakan di Tuhan, kan gitu.
Ya, penafsiran editornya saya rasa yang berbeda (Wawancara Dinda
Natasya, 31 Maret 2012).
Kompensasi lain yang dilakukan oleh Dinda Natasya sebagai salah satu
penyeimbang untuk mendapatkan katarsis terdapat dalam puisi berikut.
PUISI PARA MANTAN
Untuk yang patah hati
: Bangun!
Dulu aku ada
Kau puja kau sayang kau cinta
Kini ku tak ada
Kau buang kau hina kau nista
Roda memang telah berputar
Musim telah berganti
Mana janji manismu, cinta setia sampai mati
Kini tak ada tersisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk
Aku memang pantas
Hanya mantanmu
Sakit teriris hati, sepi saat cinta pergi
Tapi aku sudah berusaha
Tak apa
Sendiri tanpamu tak buatku takut
Luka yang kau toreh tak membunuhku
Sedih itu tak sesatkan langkah
Memang mantanmu
Masih sang juara
Tak apa
Dulu kau tiada
Kujaga kubawa kuserta
Kini kau tiada
Kuterjaga kuasa kuberusaha
Roda kembali berputar
Musim kini milikku
Biarkan janji, tak harus setia untuk mati
Biarkan janji, tak perlu mati untuk setia
Semua hanya ada asa
Pergimu bangunkanku dari jatuh
Aku tak pantas
Memang tak pantas jika hanya meratap
Tak akan terkikis hati. Cinta sudah pergi
Aku selalu terjaga asa
Tak apa
Sendiriku kan salut taklukkanmu
Duka menoreh semangat, ini hidupku!
Sedih bawaku tempatkan lebih baik
Walau dulu mantanmu
Aku masih juara
Sungguh, tak apa! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112-113)
Dari puisi di atas Dinda Natasya mencoba mencurahkan pemikirannya
tentang kisah cinta seseorang yang sedang patah hati. Dinda Natasya
mengemasnya dalam bahasa yang ringan dan menyelipkan pesan di dalamnya
sehingga mampu membangkitkan semangat meski telah patah hati. Seperti dalam
kutipan berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
...Sendiri tanpamu tak buatku takut
Luka yang kau toreh tak membunuhku
Sedih itu tak sesatkan langkah
Memang mantanmu
Masih sang juara
Tak apa... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112)
Masa pengendapan yang dialami oleh Dinda Natasya memang
diasumsikan tidak memakan waktu yang lama, karena pengalamannya sebagai
penyiar selama lebih dari 25 tahun menjadi pendukung utama dalam terciptanya
Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Hal tersebut diakuinya karena bahasa yang
digunakan seorang penyiar adalah bahasa tutur, sehingga jarang menulis. Dinda
Natasya juga mengakui bahwa Dialog Cinta Oase Samudra Biru adalah buku
pertama dan untuk pertama kalinya ia menulis dan mencoba memindahkan apa
yang biasa disampaikan di udara ketika sedang siaran ke dalam tulisan (Dinda
Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:viii).
Pernyataan Dinda Natasya dalam bukunya tersebut juga didukung
dengan pernyataannya dalam email yang dikirimkan kepada peneliti. Berikut
kutipannya.
...Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan
begitu ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya
siaran yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap
suatu masalah. (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Hal tersebut juga yang melatarbelakangi kespontanitasan gaya menulis
Dinda Natasya. Banyaknya pengalaman yang mengendap dalam diri dan
pikirannya sehingga membuat Dinda Natasya seperti memiliki gudang gagasan
atau dapat dikatakan juga memiliki wawasan yang luas. Maka saat Dinda Natasya
ingin menulis atau diberi suatu topik sebagai bahan pembahasan, ia akan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
cepat mengutarakan dan mengeluarkan satu per satu pendapat dan curahan
hatinya.
3. Tahap Inspirasi atau Munculnya Ide
Karya sastra merupakan satu hal yang tidak terlepas dari proses kreatif
pengarangnya. Seorang pengarang melahirkan suatu karya sastra dengan
pemikirannya tentang suatu realitas objektif yang ada di sekitarnya. Setelah
melalui tahap persiapan dan pengendapan, maka dari pemikiran pengarang
tentang suatu realitas objektif tersebut akan memunculkan inspirasi atau ide untuk
kemudian dituangkan melalui tulisan-tulisannya. Seperti yang tampak pada
kutipan Kisah Seorang Pramuria berikut.
BERJALAN DI SEPANJANG Hayam Wuruk semua ada dijual. Termasuk
harga diri! Penjaja cinta mereka yang terpaksa menjual diri, terpaksa apa
terpaksa? Lha kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya! Ya
Allah HambaMu ini berjalan di tengah malam bekerja karena ibadah
kepadamu. Saya hanya ingin mencari makanan untuk sahur, bukan ingin
melihat kehidupan malam yang muram di Jakarta. Kuatkan langkahku...
(Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:19).
Puisi di atas merupakan contoh salah satu realitas objektif sebagai
inspirasi yang dituangkan ke dalam karya oleh Dinda Natasya. Realitas objektif
merupakan suatu kenyataan mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa
dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi (Dendy Sugono, 2008:975).
Realitas objektif tersebut tampak dalam Kisah Seorang Pramuria di atas yaitu
menggambarkan seorang pekerja seksual yang pada awalnya terpaksa melakukan
pekerjaan itu karena tuntutan ekonomi. Namun pada akhirnya menikmati
pekerjaan tersebut karena mudah dan cepat mendapatkan uang serta tidak capek.
Tahapan inspirasi, inilah tahap yang menggelisahkan. Inilah saat
“Eureka” yakni saat yang tiba-tiba seluruh gagasan menemukan bentuknya yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
amat ideal. Gagasan dan bentuk ungkapnya telah jelas dan padu. Ada desakan
kuat untuk segera menulis dan tak bisa ditunggu-tunggu lagi. Kalau saat inspirasi
ini dibiarkan lewat, biasanya bayi gagasan akan mati sebelum lahir. Gairah
menuliskannya lama-lama akan mati. Dalam tahap inspirasi atau munculnya ide
ini, Dinda Natasya juga melakukannya dengan spontan seperti pada tahapan-
tahapan sebelumnya. Hal tersebut tampak dalam kutipan hasil wawancara melalui
telepon berikut (Jakob Sumardjo, 1997:71).
Engga, biasanya ada ide dikit, ada ide langsung sedikit baru ditulis, ditulis
bentuk puisinya sesudahnya, jadi engga seketika. Yang seketika itu biasanya
ide, karena kan disaat seketika muncul. Kalo Bunda tuh ngeliat orang,
bicara sama orang, terus melihat berita atau wajah-wajahnya, kebetulan
mengalami sesuatu Bunda bisa merasakannya secara emosional jadi otak
masuk secara emosi seolah ikut terlibat, merasakan betul gitu, gitu kan. Jadi,
ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti kalo
sudah ada waktu, engga lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu pagi
atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih inget langsung dibikin.
Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan... (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret
2012).
Karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo dalam bukunya Dialog Cinta
Oase Samudra Biru banyak dipengaruhi dari orang-orang di sekitarnya. Awal
mula ketertarikan Dinda Natasya dalam dunia kepenulisan adalah bermula dari
pertemuannya dengan Anto HPrastyo atau dikenal dengan nama Samudra Biru
dalam buku Dinda Natasya melalui situs jejaring sosial facebook. Anto telah
banyak memberi perubahan cara pandang Dinda Natasya terhadap dunia tulis
menulis. Dalam siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta, cinta adalah
pokok bahasan utama yang harus selalu ada dalam setiap pembicaraan Dinda
Natasya. Tulisan-tulisan Anto dalam status akun facebooknya juga menggelitik
Dinda Natasya untuk merespon dan mulai terpengaruh untuk menuliskan
beberapa komentar dalam bahasa cinta (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
2010:viii). Bahasa cinta hanya merupakan istilah yang digunakan oleh Dinda
Natasya, karena yang dimaksudkan bahasa cinta adalah isi tulisan-tulisan Dinda
Natasya yang berkaitan erat dan membahas semua hal tentang cinta.
Dinda Natasya juga mendapatkan banyak inspirasi dari para pendengar
dan teman-teman facebooknya. Persoalan-persoalan yang diangkat oleh Dinda
Natasya sebagian besar merupakan persoalan dalam masa pubertas yang
kebanyakan mengenai persoalan tentang cinta. Persoalan-persoalan cinta inilah
yang kemudian berbias pada persoalan-persoalan sosial. Dinda Natasya banyak
mendapatkan pesan melalui SMS dan facebook dari pendengar dan teman-teman
facebooknya yang berisi tentang seputar kisah kasih mereka. Kisah-kisah itulah
yang menjadi salah satu inspirasi Dinda Natasya dalam memunculkan ide untuk
setiap karyanya. Dalam proses pemunculan ide Dinda Natasya juga banyak
membaca beraneka ragam status teman-teman facebooknya terutama para penulis
dan penyair yang sudah cukup dikenal banyak orang dan telah menerbitkan buku
(Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Masa pubertas biasanya terjadi di usia 13 tahun pada remaja putri dan 14
tahun pada remaja putra. Pada masa ini seorang anak mengalami masa peralihan
dari anak-anak ke masa remaja. Dalam masa peralihan ini anak-anak juga
mengalami pencarian jati diri dan melewati proses sebagai pendewasaan bagi
anak-anak. Pencarian jati diri biasa dilakukan dengan mencoba segala hal yang
berasal dari rasa ingin tahunya yang besar. Pendewasaan adalah proses, cara
perbuatan mendewasakan (Dendy Sugono, 2008:323). Sumber asli pengertian
masa pubertas menyebutkan seperti berikut.
Puberty: the achievement of full generative pouers, together with the
secondary sex characteristics assosiated therewith.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Puberty age: roughly, about age 14 in boys and 13 in girls, though with wide
variations.
Puberty rites: in cultural anthropology, the ceremonies of initiation whereby
the elders of tribe recognize the new status of these who have reached the
puberal growh stage (Harriman, 1963:146).
Pengertian masa pubertas di atas juga tercermin dalam puisi Dinda
Natasya berikut.
PUISI PARA MANTAN
Untuk yang patah hati
: Bangun!
Dulu aku ada
Kau puja kau sayang kau cinta
Kini ku tak ada
Kau buang kau hina kau nista
Roda memang telah berputar
Musim telah berganti (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112)
Dari judulnya saja puisi tersebut sebenarnya dapat diperuntukkan secara umum,
karena kata “mantan” di atas tidak hanya dimaksudkan sebagai “mantan
kekasih”, tapi dapat juga sebagai “mantan istri/suami”. Namun pada larik-lariknya
tampak Dinda Natasya ingin mempersembahkan puisinya untuk para remaja
“...Untuk yang patah hati : Bangun!” bahwa yang sedang mengalami kegagalan
dalam percintaan dan dirundung patah hati. Karena dalam masa pubertas tersebut,
remaja lebih mudah patah semangat hidupnya setelah mengalami patah hati oleh
karena pada usia ini mereka cenderung masih labil. Namun Dinda Natasya
mengemas nasihatnya dengan apik bahwa justru dengan patah hati seseorang
dapat kembali bangkit menjadi pribadi yang kuat. Seperti dalam kutipan “…Roda
memang telah berputar. Musim telah berganti” bahwa kesedihan akan berganti
dengan kebahagiaan karena roda kehidupan terus berputar. Pada larik tersebut
juga menunjukkan bahwa kesedihan pun dapat diolah menjadi power atau
kekuatan untuk menghadapi ujian hidup. Meski demikian, saat sedih tidak lantas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
seseorang dapat kembali bahagia, namun ada proses yang harus dilalui untuk
bahagia, tergantung orang tersebut memilih larut dalam kesedihan atau segera
bangkit. Dinda Natasya menggunakan puisi ini sebagai pengingat untuk remaja
agar mampu mengendalikan diri sehingga tidak lari pada hal-hal negatif dan dapat
segera bangkit dari kesedihan.
Dari judul puisi di atas juga dapat dilihat penggunaan tanda baca yang
belum lazim digunakan oleh kebanyakan penulis yaitu tanda titik dua (:) seperti
dalam larik “...Untuk yang patah hati : Bangun!”. Tanda titik dua (:) seharusnya
digunakan yaitu (1) pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian
atau pemerian, (2) tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian atau pemerian itu
merupakan pelengkap yang mengakhiri pernyataan, (3) dipakai sesudah kata atau
ungkapan yang memerlukan pemerian, (4) dipakai dalam teks drama sesudah kata
yang menunjukkan pelaku dalam percakapan, (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1993:43). Namun Dinda Natasya menuliskannya dalam
judul puisi yang berbeda dengan kefungsian tanda titik dua (:). Dinda Natasya
menggunakannya dengan maksud untuk memperkuat atau mempertegas kata-kata
“Bangun”, karena menurutnya itu adalah hal yang paling penting dari
keseluruhan isi puisi tersebut yaitu bangun dari keterpurukan yang disebabkan
oleh cinta. Dinda Natasya mengeksplorasi tanda titik dua (:) sebagai jeda
sekaligus penekanan untuk mempertegas kata setelahnya dan ia menjadikan itu
sebagai kekhasan kepenulisannya. Hal tersebut juga dapat dibuktikan dari
beberapa puisi berikut yang menggunakan tanda baca titik dua (:) secara tidak
lazim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
DIALOG OASE DAN SAMUDRA BIRU 3
Ia Symphoni agung dari langit
Bersahut merdu melagukan
: Cinta… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:46)
SAMUDRA BIRU
: Sungguh Kumerasa ini ada (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:89)
MEMILIH CINTA
Walau hati berkata
Lillahita‟ala: kupilih dia karena agamanya
Bagaimanapun pilihan harus diambil… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:98)
Dinda Natasya merupakan salah satu penulis yang dapat melahirkan
karya dengan spontan. Hal ini disebabkan dari kebiasaan Dinda Natasya sebagai
penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah. Jadi,
saat ide muncul Dinda Natasya dapat melakukannya dengan cara spontan pula.
Bahkan ia mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda
Natasya, begitu ada topik yang “dilemparkan” untuknya maka dengan cepat sajak-
sajak akan mengalir dari ucapannya (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul
21.59 WIB).
Kespontanan Dinda Natasya yang terjadi pada tahap persiapan juga
terjadi pada tahap ini. Namun dalam tahap ini kespontanan Dinda Natasya lebih
diolah untuk memunculkan ide. Kespontanan tersebut tentu tidak terjadi begitu
saja, melainkan telah banyak pengalaman yang mengendap dalam pemikiran
Dinda Natasya sehingga ketika ada topik yang berkaitan dengan pengalamannya,
maka ia akan dengan cepat mengutarakan pemikiran-pemikirannya tersebut. Hal
itu terbukti dalam beberapa puisi Dinda Natasya yaitu Dialog Cinta Oase dan
Samudra Biru 1 sampai dengan 4 (hal 27-57). Dinda Natasya memposisikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dirinya sebagai Oase dan Anto HPrastyo sebagai Samudra Biru. Berikut kutipan
salah satu dari puisi-puisi tersebut.
SAMUDRA BIRU:
Hai! Gadis di awan malam, kemarilah!
Agar kudapat berenang di telaga matamu
Lelahku luluh hilang terangkan terangkum angan malam
Hingga jelang di sepertiga jalan nanti
Kan kukecup nafasmu hingga didih darah dalam nadiku
OASE:
Kan kujawab segera wahai yang menunggu
Berenanglah engkau malam ini di telaga mataku
Tenggelamlah engkau di malamku
Sebab kini kupenuhi dunia dengan roh cinta jika saja kau mau... (Dinda
Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:27)
Begitu banyak remaja mengalami stress dan depresi. Tanpa disadari
mereka sudah terjebak di ranah kegilaan. Banyak remaja kehilangan konsentrasi,
pikiran kalut, mudah emosi, suka berbohong, berani dan durhaka kepada orang
tua, putus sekolah dan hamil di luar nikah, kehilangan masa depan dan semangat
hidup sehingga ingin bunuh diri. Banyak pula perbuatan mereka melanggar
kesusilaan serta hukum. Semua disebabkan oleh putus cinta (Dinda Natasya dan
Anto HPrastyo, 2010:1).
Hal-hal yang berkaitan dengan hal di atas tampak dalam kutipan puisi
Jatuh Hati (hal 74), yaitu “...Itulah kenapa aku tak mau. Jatuh hati..!” (Dinda
Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:74). Dari larik tersebut dapat dilihat bahwa
pengalaman buruk tentang percintaan di masa lalu dapat membuat seseorang atau
anak remaja menjadi berpikiran sempit, tidak bersemangat atau lemah sehingga
hampir kehilangan masa depan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Dinda Natasya juga merefleksikan persoalan tersebut dalam kisah
Tentang Cinta dan Persahabatan 1 (hal 5-6) dan kisah Tentang Cinta dan
Persahabatan 2 (hal 7-9). Berikut kutipannya.
...cemburu karena merasa diduakan. Kekhawatiran karena dikhianati. Kau
akan sakit hati karena ditinggalkan. Cinta membuatmu ingin memiliki. Cinta
menyuruhmu untuk menguasai. Cinta membuatmu ingin mengatur. Dan
cinta bisa membuatmu buta... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:5-6)
...Mencintai bukan harus memiliki
Apakah maksud ungkapan tersebut adalah tindakan penyelewengan,
perselingkuhan atau perbuatan dosa, jika kata „memiliki‟ diartikan sebagai
suatu ikatan hubungan... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:7)
Kutipan-kutipan kisah di atas mengungkapkan beberapa hal yang terjadi karena
cinta. Perasaan cinta mampu menguasai orang yang merasakannya sehingga hal-
hal tersebut dapat terjadi. Perasaan cinta yang dapat menimbulkan hal-hal negatif
berupa sakit hati, lemah sehingga patah semangat, dsb. Dari kutipan “Cinta
membuatmu ingin mengatur. Dan cinta bisa membuatmu buta...”, tampak sekali
bahwa perasaan cinta yang menguasai seseorang dapat membuat orang tersebut
menjadi buta atau tidak dapat melihat kebenaran atau kebaikan dalam suatu
hubungan. Orang yang sedang dibutakan oleh cinta juga menjadi over protective
atau terlalu melindungi pasangannya dan membatasi ruang gerak pasangan
sehingga terkadang akan menimbulkan cemburu yang berlebihan.
Namun perasaan cinta yang terkesan negatif tersebut tidak melulu buruk,
melainkan ada juga sisi positif darinya. Kesan negatif yang dimunculkan sesudah
orang merasa sakit hati dan lemah, maka akan timbul semangat baru dalam
kehidupan orang tersebut. Seperti yang tampak dalam kutipan puisi Puisi Para
Mantan (hal 112-113) berikut.
...Sendiriku kan salut taklukkanmu
Duka menoreh semangat, ini hidupku!
Sedih bawaku tempatkan lebih baik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Walau dulu mantanmu
Aku masih juara
Sungguh, tak apa! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:113)
Puisi di atas menyampaikan pesan bahwa kegagalan dalam suatu hubungan tidak
lantas membuat hidupnya berhenti. Karena semangat hidupnya orang akan dapat
segera bangkit dari keterpurukan.
Hasil dari “pembacaan” Dinda Natasya tentang realitas di sekitarnya
itulah yang dijadikannya sebagai pendukung pemikirannya. Kemudian hal
tersebut membuatnya selalu tergelitik untuk menuangkan segala hal yang menjadi
“kegelisahan” hatinya itu ke dalam karya sastra. Kegelisahan tersebut tertuang
dalam kutipan puisi Sombong (hal 68-69) berikut.
Wahai
Tak berotakkah kau
Bengis dan sombong
Keji picik menghujam perih
Di setiap laku dan ucapmu
Bak sumpah serapah
Pendusta penjilat nista
Jika tak disebut munafik
Sungguh kesal...
...Sisakan jiwa suci
Agar hidup lebih berarti
Bertobatlah segera
Sungguh mulia (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68-69).
Dinda Natasya merasa gelisah atas realitas objektif yang terjadi di
sekitarnya, yaitu orang-orang yang sombong dengan harta dan kekuasaannya agar
segera bertobat. Karena, harta dan kekuasaan tidak lantas menjadikan hidup
seseorang bahagia. Kutipan puisi tersebut juga mencerminkan persoalan-persoalan
sosial lain, Dinda Natasya merasa gelisah dan menyampaikan pesan agar segera
bertobat. Persoalan sosial lain yang tampak dalam puisi tersebut berupa
penggambaran orang yang munafik, pendusta, dan dari kutipan “...Keji picik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
menghujam perih. Di setiap laku dan ucapmu...” juga mencerminkan orang yang
licik karena kesombongannya akan harta dan kekuasaan yang dimilikinya.
Hal tersebut menggerakkan hati Dinda Natasya untuk mempersembahkan
seluruh waktu dan pikirannya untuk mereka. Tidak lain agar mereka mampu
berpikir positif, bermental andal dan selalu memiliki semangat, cita-cita yang
tinggi dengan segudang prestasi serta tidak mudah menyerah dalam berbagai
rintangan kehidupan. Dinda Natasya ingin memberikan sumbangsih untuk negeri
ini demi terciptanya generasi penerus bangsa yang lebih baik lewat tulisan dan
perannya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2).
4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan
Pada tahap ini, Dinda Natasya menuliskan dengan cepat dan spontan.
Barangkali jika tidak, maka kemungkinan besar ide yang baru saja muncul akan
cepat hilang atau mati. Bagi Dinda Natasya tidak perlu waktu berlama-lama lagi
untuk menuliskan ide atau gagasannya. Karena seperti yang telah dibahas dalam
tahapan inspirasi bahwa kespontanitasan Dinda Natasya yang lantas membuatnya
tidak membutuhkan waktu yang lama dalam penulisan sampai penyempurnaan.
Hal tersebut juga dikarenakan profesinya sebagai penyiar yang dituntut serba
cepat dalam berpikir dan lebih banyak bicara. Berikut kutipan hasil wawancara
Dinda Natasya yang mencerminkan hal di atas.
Iya, kayak gini, kadang-kadang kayak gini, kalau puisi seketika itu pada,
pada artinya mungkin bisa langsung lebih tajam ya karena kan seketika itu
kan murni, orisinil gitu. Tapi kalau digubah, kepentingannya kan estetika
untuk kepenyiarannya. Harus ada suara yang, untuk cara membacanya di
radio itu didengarkan itu nyaman, enak, lurus tidak kudruh atau ruwet gitu
loh. Jadi, sesuatu yang mudah dicerna dan enak untuk dinikmati walaupun
itu sebuah kalimat yang dibaca dengan bergaya kan gitu. Jadi kalo, puisi
mungkin Bunda kan tidak berpuisi seperti para puitis ee apa ya itu para ee
itulah seniman yang begitu puitis di panggung seperti itu ya karakternya.
Kalo Bunda kan suaranya betul-betul hanya karakter suaranya karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
menampilkan orang tanpa ee apa namanya ee figur ya, sosok, jadikan benar-
benar hanya duduknya sangat santai ya jadi penguasaan suara itu yang
penting (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Pada tahap penulisan, kalau saat inspirasi telah muncul maka segeralah
lari ke mesin tulis atau computer atau ambil bolpoin dan segera menulis.
Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan yang baik
atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk tulisan
yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan
kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar,
masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini (Jakob Sumardjo,
1997:71-72).
Namun bagi Dinda Natasya, dirinya tidak banyak melakukan proses
penyempurnaan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti. Apakah
pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan
oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak dan bisa dipahami atau dicerna dengan
mudah atau tidak oleh pembaca. Proses penyempurnaan yang dilakukan Dinda
Natasya ini juga terkait dengan tahap inkubasi atau pengendapan. Hal tersebut
tampak dalam kutipan email yang dikirimkan oleh Dinda Natasya kepada peneliti
berikut.
Saya termasuk orang yang bisa menulis secara spontan. Saya tak banyak
melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali
sambil meneliti apakah pesan yang saya tulis sesuai dengan maksud saya
atau tidak dan apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak.
Saya lebih cepat bicara dari pada menulis. Bisa seketika saya lakukan begitu
ada topik yang menggelitik pikiran saya. Mungkin kebiasaan saya siaran
yang menyebabkan saya terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu
masalah (Email Dinda Natasya, 03 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan tahap persiapan dan
dari kutipan email di atas, bahwa Dinda Natasya dapat menulis dengan spontan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Dinda Natasya menulis karena apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Dinda
Natasya mengaku kadang menempatkan dirinya sebagai mereka yang menjadi
objek pemikirannya dan berusaha ikut merasakan apa yang sedang mereka
rasakan. Terkadang Dinda Natasya menjadikan menulis hanya sebagai
kebiasaannya dalam memotret peristiwa, tetapi bukan menggunakan kamera
melainkan mata pena (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Kespontanan dari gaya kepenulisan Dinda Natasya tersebut telah menjadi
kekhasan tersendiri bagi Dinda Natasya sebagai seorang penulis yang berprofesi
penyiar dan konsultan persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Sedikit banyak
profesinya tersebut sangat mempengaruhi karena sebagai penyiar dan konsultan,
Dinda Natasya selain memiliki banyak pengalaman dan bertemu banyak orang, ia
juga banyak mendengarkan pengalaman-pengalaman atau kisah-kisah dari orang
lain tentang kehidupan mereka. Dari hal tersebut Dinda Natasya juga banyak
belajar dari pengalaman orang lain tanpa harus mengalaminya sendiri.
Pengalaman Dinda Natasya tersebut telah mengendap lama dalam batin
dan pikirannya sehingga saat Dinda Natasya diberi topik atau pertanyaan maka
akan dengan cepat Dinda Natasya mengekspresikan dalam bentuk puisi. Selain
itu, Dinda Natasya juga mengolah pengalaman-pengalaman tersebut menjadi
karya yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pembacanya seperti yang telah
dibahas dalam pembahasan sebelumnya.
Tidak banyaknya bahkan relatif tidak adanya proses penyempurnaan bagi
Dinda Natasya dalam tahap ini tampak dalam ungkapannya pada kutipan hasil
wawancara berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
ee..apa..ee ada sih, catetannya kalo tak copyin, tapi kalo diKalah itu ga ada
gantinya gitu, Kalah itu asli, asli sekali tulis langsung jadi tanpa ralat. Kalo
ga salah ada, kalau ga salah ada...
...atau mungkin satu aja, satu aja udah cukup kalo „Kalah‟ paling karena itu
coretan tangan ya. Kalau misalnya garis-garis atau apa itu (Wawancara
Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Kemudian berikut juga peneliti mencantumkan tulisan asli beberapa
puisi yang digunakan sebagai bukti kerelatifan tidak adanya proses
penyempurnaan, yaitu puisi Kalah (hal 70-71), Puisi Penjara Cinta, Lewat
Tengah Malam (17-18), dan puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
KALAH
Ya Allah
Engkau yang mengajariku cinta
Dalam kegalauan mencoba mencari
Apa makna yang telah kau beri
Tentang memberi dan menerima
Tentang ketulusan dan keikhlasan
Ya Allah
Hari ini aku tersesat jauh
Dalam perjalananku meraih cintamu
Seseorang datang menghadang
langkahku
Aku gagal mendapatkanmu
Karena aku memberi seluruh cintaku
Dan menerima fatamorgana ini
Yang telah menjauhkanku darimu
Ya Allah
Inilah tipu muslihat cinta
Yang kulihat adalah kesenangan dunia
Kebahagiaan semu yang ternyata
membuatku menderita
Karena cintaku telah melebihi
persembahanku padamu
Ya Allah
Jika akhirnya tangis dan sesal
Tak bisa lagi menolong
Siapakah yang akan menyelamatkanku
dari siksa ini
Jika bukan karena kasih sayangmu
Ampunilah aku ya Tuhanku
Karena cinta ini telah membutakan
matahatiku
Ya Allah
Bebaskanlah aku dari penjara cinta ini
Biarkan aku kembali padamu
Jangan kau hokum aku atas semua
kesalahan ini
Karena mencintainya melebihi cintaku
padamu
Seperti yang seharusnya
(Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:70-71)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
PENJARA CINTA, LEWAT
TENGAH MALAM
Jam satu lewat tengah malam
Ruang itu begitu sunyi
Kepala berat karena kantuk
Hatiku melayang entah kemana
Mencoba berjalan menembus lorong
Dinding tebal yang basah
Pintu yang terkunci
Gembok menggantung
Bisu
Angin kepayahan menyusup diantara
jeruji besi
Menghitung waktu yang terbuang di
kamat ini
Berapa lama lagi?
Wajah-wajah asing dating dan pergi
Cerita pilu anak manusia silih berganti
Aku merenung wajah siapa yang
masih kuingat
Samar-samar semua gambar memudar
Perasaanku bercampur aduk
Hampir hilang kesadaran
Antara mimpi dan kenyataan
Aku melihat neraca keadilan bergerak
Seiring robohnya tembok penjara
Jeruji besi meleleh
Pintu-pintu terbuka
Aku merasa tubuhku melayang di
atasnya
Hatiku bebas tak ada lagi beban
Ringan melepaskan pasungan
Terbang membawa kemenangan dan
kebenaran
Didalam tidurku wajah-wajah
tersenyum
Menyambut pejuang yang pulang
Jam satu dini hari
Diruang ini lewat tengah malam
Aku bahagia dengan keikhlasanku
Jakarta 9 Januari 2008
***
(Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:17-18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
KPK UNTUK SIAPA KAU ADA?
KPK, oh KPK
Apakah engkau ini sebenarnya
Seperti tsunami memporak-porandakan
tatanan
Begitu banyak kehidupan yang engkau
renggut
Begitu banyak harapan kau sirnakan
Apakah engkau ini musibah
Apakah engkau ini anugerah?
KPKku malang
Kemanakah nurani jika mata tak lagi
melihat
Kemanakah serunai jika telinga tak lagi
mendengar
Apakah engkau ini buta
Apakah engkau ini pekak?
Jika mulut tak lagi bicara
Inilah saatnya tangan menyeru hati
Lewat lukisan dalam belenggu kanvas
Tak bisa pergi tak bisa berlari
Namun anganku bebas mengembara
KPK, oh KPK
Aku bicara atas nama cinta
Ketika gerhana tiba dan gelap melanda
Kau tak akan mengalahkanku
Boleh kau ikatkan belenggu atasku
Dan kau rantai kehidupanku
Tapi kemanakah nurani
Jika aku merasa belenggu ini bukan
milikku
Kebebasan itu berbatas tipis
Apakah aku ini bersalah?
Apakah aku ini pendosa?
KPK, oh KPK
Jubah mana yang kau kenakan
Apakah kau ini malaikat
Apakah kau ini petunjuk
Kemanakah perginya sang penyeru
Pemberi ingat jiwa yang lupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Jika hari ini aku di sini terkunci
Kau ada di sana
Jika hari ini aku ada di sana
Kau di sini terkunci
Siapakah yang kuasa atas kebebasan?
Saat kau kalah maka aku yang menang
Saat kau meresa menang, maka aku
tetap menang
Karena hatiku bebas dari tekanan
Karena kebenaranku suci dari politisi
Karena kebebasanku adalah nurani
KPK, oh KPK
Kemanakah hatimu
Jika nurani terbelenggu jeruri besi
Dimanakah tempatmu?
Jika saja engkau bermata
Maka siapakah engkau ini sebenarnya
6 Januari 2008
(Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:101-103)
Tampak jelas dari perbandingan ketiga puisi di atas dan dari pemaparan
sebelumnya bahwa tidak banyak perubahan atau penyempurnaan yang dilakukan
oleh Dinda Natasya. Ada beberapa perubahan dalam teknis penulisan yaitu berupa
penggunaan tanda baca, eksplorasi tanda baca titik dua (:), dan perubahan kata.
Seperti pada judul puisi Kalah, yang dilakukan penghilangan dua tanda seru (!!)
dan tanda tiga titik (…) dari tulisan asli yaitu pada larik “Ya Allah…” pada saat
dicetak menjadi “Ya Allah”, hal tersebut merupakan perbedaan penulisan pada
tulisan asli dan pada saat dicetak. Tanda tiga titik (…) sebenarnya merupakan
tanda baca yang penting dalam larik puisi karena tanda tiga titik (…) dapat
dikatakan juga sebagai pendukung estetika dalam puisi. Dalam tulisan aslinya,
puisi Kalah dituliskan tidak berjarak atau tidak ada pembaitan, namun pada saat
dicetak lariknya ditulis dengan pembaitan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Begitu juga pada tulisan asli puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam,
judul dalam tulisan asli dituliskan tanpa tanda koma (,) namun pada cetakan
ditulis dengan tanda koma (,) yaitu ada di antara kata “Penjara Cinta” dan “Lewat
Tengah Malam”. Kemudian juga terdapat perbedaan pada judul tulisan asli dan
cetakan yaitu dalam tulisan asli “Penjara Cinta”dituliskan hanya pada huruf “P”
dan “C” saja yang menggunakan hurul kapital, sedangkan pada cetakan judulnya
ditulis dengan menggunakan huruf kapital semua “PENJARA CINTA, LEWAT
TENGAH MALAM”. Pada tulisan asli puisi tersebut lajur baitnya dituliskan tidak
berjarak atau dapat dikatakan tidak ada pembaitan, sedangkan pada cetakan
dituliskan berjarak atau terdapat pembaitan. Dalam puisi tersebut juga terdapat
penghilangan tanda tiga titik (…) pada larik “hatiku melayang entah kemana…”
dan “bisu…”, hal tersebut merupakan hal yang sama seperti pada puisi Kalah.
Kemudian dalam puisi tersebut terdapat penggantian kata yaitu pada larik tulisan
aslinya “…aku merasa diriku melayang di atasnya…” lalu pada saat dicetak
diganti dengan “aku merasa tubuhku melayang di atasnya…”. Penambahan kata
pada beberapa larik puisi, yaitu (a) pada larik tulisan aslinya “…hatiku bebas tak
ada beban…” lalu pada saat dicetak lariknya mengalami penambahan kata “lagi”
“…hatiku bebas tak ada lagi beban…”. (b) pada larik tulisan aslinya “…di ruang
ini…” lalu pada saat dicetak lariknya mengalami penambahan yaitu “…di ruang
ini lewat tengah malam…”. Selain itu juga terdapat penghilangan kata dalam
larik tulisan aslinya “…jam satu pagi dini hari…” lalu pada saat dicetak lariknya
mengalami penghilangan kata “pagi” yaitu menjadi “…jam satu dini hari”.
Sama halnya dengan kedua puisi di atas, puisi KPK Untuk Siapa Kau
Ada? ada penambahan tanda tanya (?) setelah pada kata “ada” yaitu “KPK
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
UNTUK SIAPA KAU ADA?”. Pada puisi tersebut juga terdapat penghilangan
tanda tiga titik (…) dalam beberapa larik puisi yang dapat dilihat pada halaman
depan dan terdapat pembaitan pada cetakan, tidak seperti tulisan aslinya yang
tidak terdapat pembaitan. Pada judul puisi tersebut juga terdapat perubahan yaitu
penghilangan tanda titik dua (:) yang seharusnya ada di antara kata “KPK” dan
“Untuk” saat dicetak. Kemudian dalam puisi tersebut juga terdapat satu
penggantian kata, yaitu pada larik sebelumnya adalah “…apakah engkau ini
anugerah…” kemudian diganti dengan “…apakah engkau ini pekak”.
Digantinya kata “anugerah” yang pada mulanya Dinda Natasya berkesan positif,
lalu karena persoalan sosial yang dicerminkan oleh puisi tersebut berkesan
mengkritisi kemudian Dinda Natasya mengubah arah berpikirnya menjadi
berkesan negatif dengan menggantinya menjadi “pekak”. Pada larik “KPK..oh
KPK” dalam tulisan asli dituliskan dengan tanda dua titik (..) setelah kata “KPK”,
namun terjadi perubahan pada saat dicetak yaitu diganti dengan tanda koma (,)
yaitu “KPK, oh KPK”. Terdapat juga penambahan kata dan tanda, larik dalam
tulisan aslinya “…Jubah mana kau kenakan…” kemudian ditambah dengan kata
“yang” di antara kata “mana” dan “kau” yaitu “…Jubah mana yang kau
kenakan…”. Selain itu juga terdapat kata yang diganti dalam tulisan aslinya yaitu
“…Boleh kau timpakan belenggu atasku…”, kemudian saat dicetak diganti
dengan “…Boleh kau ikatkan belenggu atasku…”. Demikianlah perbedaan-
perbedaan yang peneliti temukan saat membandingkan kedua tulisan, yaitu tulisan
asli dan tulisan yang telah dicetak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
B. Konkretisasi Persoalan-Persoalan Sosial dalam Dialog Cinta Oase
Samudra Biru
Sebagai pengarang, Dinda Natasya hidup di masyarakat beserta
kehidupan sosialnya. Dinda Natasya juga berhadapan dengan suatu kenyataan
yang ada dalam masyarakat (realitas objektif) berupa peristiwa-peristiwa, norma-
norma dan pandangan hidup. Banyaknya interaksi Dinda Natasya dalam
kehidupan sosialnya tersebut, seperti yang telah dikemukakan pada pembahasan
di halaman depan, membuatnya menjadi sangat peka terhadap realitas objektif
yang ada di sekitarnya. Terlebih lagi profesinya sebagai penyiar dan “dokter
cinta” yang banyak memberinya pengalaman dan inspirasi dari kisah-kisah
pendengar maupun “pasien-pasiennya. Persoalan-persoalan sosial yang diangkat
oleh Dinda Natasya dalam karyanya yaitu berupa persoalan-persoalan remaja
khususnya yang disebabkan oleh cinta, konflik keluarga, abnormalitas masyarakat
karena himpitan ekonomi serta ketidakadilan hukum negara. Persoalan-persoalan
sosial itulah yang kemudian dimunculkan sebagai karya sastra oleh Dinda
Natasya.
Dinda Natasya mengungkapkan apa yang dilihat dan didengarnya
melalui tulisan ke dalam karya. Dinda Natasya juga menuliskan pengalaman dan
pemikirannya tentang realitas objektif yang ada di sekitarnya. Persoalan sosial
atau masalah sosial merupakan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur
kebudayaan atau masyarakat, yang menghambat kehidupan kelompok sosial
(Soerjono Soekanto, 2002:358).
Masalah sosial juga timbul dari kekurangan-kekurangan dalam diri
manusia atau kelompok sosial yang bersumber pada faktor-faktor ekonomis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
(kemiskinan, pengangguran, dll), biologis (penyakit menular, keracunan makanan,
dsb), biopsikologis (penyakit syaraf, aliran sesat, dsb), dan kebudayaan
(perceraian,kenakalan remaja, kejahatan, dll). Setiap masyarakat mempunyai
norma yang bersangkut-paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik,
kesehatan mental, serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial.
Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala
abnormal yang merupakan masalah sosial (Soerjono Soekanto, 2002:360).
Masalah sosial muncul karena sebab-sebab dari individu sendiri
(intrinsik) dan luar individu (ekstrinsik). Masalah yang mula-mula
menggambarkan kondisi individu kemudian menjadi masalah yang menjelaskan
kondisi dari sistem di tempat masyarakat hidup yang mengancam nilai-nilai suatu
masyarakat sehingga berdampak pada sebagian besar anggota masyarakat. Sebab-
sebab ekstrinsik berasal dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Misalnya
persoalan individu sendiri (intrinsik) yang berupa persoalan konflik batin
seseorang dengan Tuhannya atau persoalan kebutuhan berupa desakan ekonomi.
Kemudian luar individu (ekstrinsik) misalnya persoalan sosial masyarakat di
mana pada suatu kondisi tertentu kedua persoalan tersebut dapat saling
mempengaruhi. Seperti perceraian, kemiskinan, pelanggaran, kejahatan, dan
abnormalitas masyarakat yang dapat pula penyebabnya berawal dari persoalan
individu (intrinsik) kemudian berkembang menjadi persoalan luar individu
(ekstrinsik). Misalnya himpitan ekonomi yang menuntut seseorang untuk dapat
melakukan kejahatan apa saja termasuk abnormalitas masyarakat, seperti yang
tampak dalam Kisah Seorang Pramuria (hal 19-22) berikut yang juga merupakan
cerminan persoalan sosial yang ada di lingkungan Dinda Natasya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
...Setiap malam bertemu dengan mereka. Dari sekedar pemandu karaoke,
tukang pijat (plus), hostess di klub malam dan diskotik serta pekerja sex dari
yang di hotel sampai yang tercecer di sepanjang jalan Hayam Wuruk (belum
yang nyelip di sudut warung gelap yang kumuh)... (Dinda Natasya dan Anto
HPrastyo, 2010:19-20).
Kisah di atas merefleksikan suatu realitas objektif tentang kehidupan
penjaja seks yang terjadi dalam masyarakat di jalan Hayam Wuruk. Sebagian
besar dari mereka terdesak oleh kebutuhan ekonomi atau karena kemiskinan dan
sebagian lain karena tidak memiliki pekerjaan. Seperti yang tampak dalam
kutipan “...kebanyakan perempuan yang saya temui, 90% terjun sebagai penjaja
cinta karena faktor ekonomi...” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:20).
Dari pekerjaan menjadi penjaja seks itu mereka juga tidak terhindarkan dari
penyakit-penyakit biologis maupun biopsikologis seperti dalam kutipan “(walau
resikonya juga besar, dari mulai penyakit kelamin, ancaman garukan dan juga
pemerasan dari germok masing-masing)” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:20). Penyakit biologis berupa penyakit kelamin dan biopsikologis berupa
kejahatan pemerasan dari germo atau muncikari mereka masing-masing.
Hal di atas merupakan karya Dinda Natasya yang merasa gelisah akan
ketidakpuasannya terhadap suatu realitas objektif. Berangkat dari kegelisahannya
itulah, Dinda Natasya dengan caranya sendiri memprotes, memberontak,
mendobrak realitas yang menurutnya tidak memuaskan atau penuh dengan
ketidakadilan. Berikut pengetian-pengertian hal di atas: (a) memprotes adalah
menyatakan tidak setuju; menyangkal menentang, (b) memberontak adalah
melawan; tidak mau menurut perintah; melawan pemerintah (kekuasaan dsb)
secara serentak, (c) mendobrak adalah menembus pertahanan; menghapuskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
secara berani dan tegas (tentang tradisi, adat, kebiasaan) (Dendy Sugono,
2008:180-1107).
Dinda Natasya mengekspresikan semua hal tersebut melalui beberapa
kutipan karyanya dalam puisi Mimpi 18 Hari (hal 15-16), puisi Sombong (hal 68-
69), dan puisi KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103) berikut.
MIMPI 18 HARI
Suatu hari terasa tubuh begitu letih
Deru kehidupan dunia membuat perih tak berasa lagi
Mata telinga mulut terkunci
Jantung berdegup kencang saat prahara datang
Aksi dorong mendorong memaksaku menyerah pada nasib
Dilorong kehidupan antara mimpi dan kenyataan
Dipintu kematian antara hukuman dan pengampunan
Kubiarkan tubuh ini terbaring
Menikmati mimpi 18 hari... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:15)
SOMBONG
Wahai
Tak berotakkah kau
Bengis dan sombong
Keji picik menghujam perih
Di setiap laku dan ucapmu
Bak sumpah serapah
Pendusta penjilat nista
Jika tak disebut munafik
Sungguh kesal
Wahai
Berlari menghindar maut
Sembunyilah dari kematian jika kau bisa
Bawa anak istrimu serta
Kemas semua harta benda dan tahta
Bawa jika kau bisa
Jika kau pergi akankah ada yang turut
Sungguh sombong… (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68)
KPK UNTUK SIAPA KAU ADA?
KPK, oh KPK
Apakah engkau ini sebenarnya
Seperti tsunami memporak-porandakan tatanan
Begitu banyak kehidupan yang kau renggut
Bagitu banyak harapan kau sirnakan
Apakah engkau ini musibah
Apa engkau ini anugerah? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:101)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Melalui puisi-puisi di atas Dinda Natasya menyuarakan kegelisahannya
dengan memprotes, memberontak, dan mendobrak menggunakan bahasa sebagai
media. Dinda Natasya memprotes karena merasa ada ketidakadilan dalam hukum
negara yang ditunjukkan dalam puisi Mimpi 18 Hari (hal 15-16) berikut “Dipintu
kematian antara hukuman dan pengampunan...”. Karena puisi tersebut juga
menggambarkan kepasrahan seseorang atas ketidakberdayaannya melawan hukum
yang tidak adil. Persoalan sosial lain yaitu adanya kesenjangan sosial berupa
kesombongan atas kekayaaan dan kekuasaan sehingga membuat seseorang
bersikap sewenang-wenang. Kekayaan dan kekuasaan itu tercermin dalam kutipan
“...Kemas semua harta benda dan tahta. Bawa jika kau bisa...”. Dinda Natasya
mengekspresikannya dengan memberontak atau melawan penguasa melalui
puisinya yang juga digunakan untuk mengingatkan para penguasa yang sombong
agar segera bertaubat. Kemudian juga persoalan sosial mengenai peran KPK yang
masih dipertanyakan dalam masyarakat luas. Peran Lembaga Pemberantasan
Korupsi yang seharusnya memberantas para koruptor, dewasa ini banyak media
mengabarkan justru menjatuhkan orang-orang yang sebenarnya tidak melakukan
kesalahan atau tidak terlibat dalam skandal korupsi menjadi tersangka. Maka dari
itu Dinda Natasya mencoba mendobrak atau menghapuskan tatanan yang sudah
ada secara berani untuk mengulas tentang peran KPK.
Selain mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif
yang ditemukannya. Dinda Natasya juga ingin berpesan kepada pihak-pihak lain
tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia tersebut.
Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang bersangkutan dapat mendengar dan
melihat kebenaran dengan benar. Namun bagi Dinda Natasya, ia hanya sekedar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
menuliskan dan meluapkan apa yang ada di sekitarnya dengan ikut merasakan apa
yang terjadi. Dinda Natasya juga tidak banyak berharap tulisannya akan dibaca
oleh pihak-pihak bersangkutan, namun dengan mengutarakan pendapatnya dengan
menuliskan ke dalam sebuah karya ia sudah merasa cukup.
Berkaitan dengan hal tersebut, telah diketahui dalam penelitian ini Dinda
Natasya menggunakan pemikirannya terhadap realitas objektif yang merupakan
cerminan perilaku masyarakat. Berikut terdapat 4 (empat) persoalan-persoalan
sosial yang disebabkan oleh cinta dan konkretisasinya dalam Dialog Cinta Oase
Samudra Biru yang dapat menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
1. Hubungan Manusia dengan Tuhannya
Pada suatu kondisi tertentu seseorang akan dapat merasakan kedekatan
yang intim dengan Tuhannya. Hubungan ini termasuk ke dalam persoalan sosial
karena seperti yang telah dikemukan di atas bahwa masalah sosial muncul dari
individu sendiri (intrinsik) yang kemudian menjadi masalah dan berdampak besar
bagi luar individu (ekstrinsik). Misalnya ketika dalam keadaan sedang sendiri di
malam hari yang hening seseorang merasa sedih, bersyukur dan bahkan bahagia,
ia tidak lagi merasa tertekan oleh persoalan hidupnya maka orang-orang di
sekitarnya pun akan merasa nyaman berkomunikasi dengannya.
Hal tersebut juga karena pada hakikatnya manusia memiliki hubungan
yang vertikal atau garis tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya dengan
Tuhannya sebagai mahluk ciptaan-Nya. Hubungan manusia dengan Tuhan dalam
posisi secara pribadi adalah cinta yang oleh kalangan ahli sufi dikategorikan
sebagai buah mahabbah (cinta) adalah rasa mahabbah (cinta) kepada Allah atau
Al-Uns yaitu puncak rasa suka cita dalam jiwa. Pada hakikatnya Uns adalah rasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
suka dan kegembiraan yang tiada tara karena terjadinya mukasyafah kepada
Tuhan dengan segala keindahan dan keparipurnaan-Nya saat taqarrub
(berdekatan) dengan Tuhan (Asrifin, 2001:195).
Kemudian karena cinta di sini kaitannya dengan keyakinan maka akan
berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya. Menurut Al-Ghazali, manakala
seorang hamba dibukakan pesona Al-Haq dan ia tenggelam di dalamnya maka itu
disebut wushul. Karena ia memandang kepada yang dipandang, maka tiada lain
kecuali Tuhan. Jika memandang pada cita-cita tujuannya, tiada pula cita-cita itu,
selain Tuhan. Hal tersebut karena wushul adalah buah dari musyahadah yaitu satu
penyaksian seorang hamba pada Al-Haq setelah terbukanya tirai (mukasyafah)
dan merasakan betapa terpesonanya hamba tersebut atas keagungan dan
keindahan-Nya. Kedua hal tersebut akan melahirkan satu keterpukauan,
ketertakjuban, keterpesonaan, dan keindahan yang merupakan satu kata yang
memiliki hubungan dekat dengan kata cinta (Asrifin, 2001:197). Itulah secara
teori, cinta di antara hubungan manusia dengan Tuhannya dalam posisi sosial.
Hubungan sosial yang melahirkan cinta karena Tuhan.
Tidak terlepas dengan Dinda Natasya juga merasakan hal yang sama.
Dinda Natasya adalah seseorang yang suka tirakat dan ia akan merasa teramat
dekat dengan Tuhannya saat melaksanakan dua rakaat pada sepertiga malam.
Karena di saat itulah ia merasa dapat berdoa dengan khusyuk untuk memohon
ampunan dan pertolongan sehingga Tuhan akan mengabulkan doa-doanya.
Kesehariannya itulah yang juga tercermin dalam beberapa karya-karyanya.
Tirakat merupakan menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang);
mengasingkan diri ke tempat yang sunyi (di gunung dsb) (Dendy Sugono,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
2008:1472). Dinda Natasya menjadi suka tirakat saat dirinya masih bekerja sama
dengan Padepokan Lindu Aji seperti yang telah di bahas pada pembahasan
sebelumnya. Dinda Natasya melakukan ritual pengasingan diri dan berendam di
air untuk mencari ketenangan dengan berusaha menyatukan jiwanya dengan alam.
Dinda Natasya menuliskan semua curahan hatinya itu ke dalam karyanya
sebagai kisah-kisah inspiratif yang mengandung motivasi perubahan, terutama
tentang sifat dasar manusia, ajaran budi luhur, dan keyakinan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dalam pengaruhnya terhadap cara orang bertahan hidup dan
menyelesaikan masalah (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59
WIB). Hubungan Dinda Natasya dengan Tuhannya tampak dalam puisi Kalah
(hal 70-71) dan PadaMu (hal 72). Dalam sepenggal puisi Kalah, Dinda Natasya
tampak merasa resah karena banyak “kekalahan” orang-orang dalam menjalin
hubungan yang nekat meninggalkan agama untuk kekasihnya, berikut kutipannya.
...Ya Allah
Bebaskan aku dari penjara cinta ini
Biarkan aku kembali padamu
Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini
Karena mencintainya melebihi cintaku padamu
Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:71)
Barangkali Dinda Natasya ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain
yaitu mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cintanya kepada Tuhan. Maka
dari itu, Dinda Natasya merasa telah ikut bersalah dan puisi tersebut dijadikan
sebagai doa olehnya untuk memohon ampunan bagi dirinya maupun orang lain.
Karena tidak seharusnya manusia mencintai sesuatu melebihi cintanya kepada
Sang Penciptanya.
Bagi Dinda Natasya, mencintai sesuatu atau seseorang melebihi cinta kita
kepada Tuhan, maka hanya akan ada penderitaan dan air mata di sepanjang hidup
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
kita. Oleh karena bahagia hanya dapat diraih dengan pemahaman cinta yang benar
dan harus bermuara pada sang pemilik cinta sejati yaitu Tuhan. Sebab Dialah
hakikat cinta yang sesungguhnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:x).
Rasa cinta Dinda Natasya pada Tuhannya juga tampak dalam puisi
PadaMu (hal 72) berikut.
Ya Allah
Padamu bersimpuh di ujung sajadah
Menggenggam tasbih
Pejam tertunduk
Hingga basah mata
Mengigil ngilu
Merindui hadirmu di setiap waktuku
Engkaulah hidupku
Bila nafas terucap namamu
Bila mati pula untukmu
Di sajadah biruku
Dalam tidur yang panjang
Biarlah jangan bangunkan
Karena hanya engkau yang bisa (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:72)
Dari puisi di atas, Dinda Natasya terlihat ingin menjadi manusia yang pandai
bersyukur, taat, dan menjadi muslimah sejati. Hatinya dipenuhi kepiluan akan
kerasnya kehidupan yang sedang dihadapinya, namun ia ikhlas menjalaninya.
Puisi tersebut mencerminkan keseharian Dinda Natasya yang merasa dapat begitu
dekat dengan Tuhannya ketika melaksanakan perintah dan kewajibannya sebagai
seorang muslim yaitu salat. Salat adalah salah satu cara terbaik yang
dilakukannya, kemudian melafazkan bacaan tasbih dan berdoa. Semua itu karena
Dinda Natasya sangat mencintai Tuhannya sebagai seorang hamba.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
2. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja
Dinda Natasya mendapat banyak pengetahuan dari pengalaman para
pendengar dan “pasien-pasiennya” tentang kisah seputar percintaan remaja yang
sedang mengalami masa pubertas yaitu masa peralihan dari anak-anak ke masa
remaja yang mencari jati diri. Mereka mengirimkan banyak pesan kepada Dinda
Natasya melalui SMS dan inbox di facebooknya yang berisi seputar kisah
percintaan mereka seperti hubungan antar teman dan kekasih. Selain itu kisah
tersebut tidak hanya didapat dari para remaja, tetapi juga kisah cinta dari
kehidupan rumah tangga suami istri, antara anak kepada orang tua dan sebaliknya.
Pada suatu kondisi seseorang yang sedang mengalami kegagalan dalam urusan
percintaan, maka akan sangat mempengaruhi suasana hati sehingga menjadi
“gelap” dan tidak dapat berpikir dengan baik. Mata juga tidak bisa melihat dengan
baik, jika tidak menemukan orang-orang yang bisa dipercaya dan tidak ada lagi
solusi yang ditemukan. Maka hal-hal yang muncul justru akan semakin
memperburuk keadaan.
Hal tersebut yang membuat Dinda Natasya terdorong untuk peduli dan
membantu meringankan beban mereka. Dinda Natasya menyediakan sebuah
rumah bagi mereka yang ingin didengar dan ingin bicara tentang kata hati. Rumah
ini adalah rumah solusi, sebuah pondok yang dipenuhi aroma cinta dan kasih
sayang. Sebuah pondok yang membiarkan semua penghuninya mencurahkan isi
hati tanpa rasa takut. Rumah ini bernama Pondok Curhat Dinda Natasya (Dinda
Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Beberapa realita percintaan tersebut juga tidak luput dari sentuhan Dinda
Natasya, tampak dalam kutipan puisi Puisi Para Mantan (hal 112-113) dan
Bingung (hal 111) berikut.
PUISI PARA MANTAN
...Mana janji manismu, cinta setia sampai mati
Kini tak ada tersisa
Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk
Aku memang pantas
Hanya mantanmu
Sakit teriris hati, sepi saat cinta pergi
Tapi aku sudah berusaha
Tak apa
Sendiri tanpamu tak buatku takut
Luka yang kau toreh tak membunuhku
Sedih itu tak sesatkan langkah
Memang mantanmu
Masih sang juara
Tak apa
Dulu kau tiada
Kujaga kubawa kuserta
Kini kau tiada
Kuterjaga kuasa berusaha
Roda kembali berputar
Musim kini milikku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:112-113)
Dari puisi tersebut, tampak Dinda Natasya ingin menyampaikan pesan
atau nasihat kepada pembacanya bahwa saat kisah cinta harus berakhir maka tidak
lantas membuat kita lemah, berhenti melangkah, meratapi yang telah terjadi, dan
terus mengingat masa lalu yang menyakitkan karena cinta. Seperti tampak dalam
larik “...Pergimu disaat ku jatuh sendiri terpuruk...” dan “Sakit Teriris hati, sepi
saat cinta pergi”. Tetapi dalam puisi tersebut juga terdapat larik menjadikan diri
kita sebagai pribadi yang tangguh terhadap cobaan sehingga dapat terus
melangkah menuju masa depan, yaitu “Tapi aku sudah berusaha”, “Sendiri
tanpamu tak buatku takut”, dan “Sedih itu tak sesatkan langkah”. Hal tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
juga tampak dalam bait “musim kini milikku...”, karena Dinda Natasya ingin
menunjukkan bahwa tidak ada kesedihan yang abadi, begitu juga dengan
kebahagiaan. Maka dari itu, setiap cobaan pasti akan ada hikmah sesudahnya dan
kesedihan akan berganti dengan kebahagiaan. Begitu juga dalam puisi Bingung
berikut.
Kau ini siapa sebenarnya
Memarahiku seenaknya hingga membuatku menangis
Mengatur kehidupanku hingga aku merasa terpasung
Kau, membuatku sungguh merasa takut
Kau anggap aku ini siapa
Memelukku begitu erat hingga membuatku sesak
Menyayangku begitu lembut
Hingga merasa tersanjung
Kau membuatku sungguh bingung
Kadang kau begitu cinta dan penuh perhatian
Tapi kemudian kau menghilang entah kemana
Kadang kau begitu jahat dan sombong
Tapi kemudian kau kembali dengan segenap rindu
Apa yang kau cari sebernarnya?
Apa yang kau inginkan dariku?
Aku tak tahu di manakah akan kau tempatkan diriku
Karena kau sungguh membuatku bingung (Dinda Natasya dan Anto
HPrastyo, 2010:111).
Dari puisi di atas, bait-baitnya mencerminkan kegelisahan seseorang
tentang suatu hubungan percintaan yang tidak jelas atau tanpa status yang
dialaminya. Kebimbangan yang dimunculkan disebabkan oleh suatu kehilangan
seseorang yang seolah datang dan pergi dikehidupannya. Hal tersebut membuat si
“aku” kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hubungan cinta
kasih antara pria dan wanita semacam ini banyak terjadi di lingkungan sosial
terutama kalangan yang sedang dalam masa pubertas. Oleh karena pada masa ini,
remaja cenderung masih labil dalam menyikapi suatu permasalahan dalam
hidupnya tertutama dalam hal cinta yang masih ingin tahu dan mencoba segala hal
seperti berganti-ganti pasangan atau pacar yang menurutnya cocok dengannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Dinda Natasya menyampaikannya ke dalam bahasa yang sederhana dan ingin
memperlihatkan bahwa ada hubungan percintaan yang gagal dan menjadi patah
hati. Namun setidaknya pengalaman tersebut akan membuat seseorang tidak akan
mengulang kegagalan yang sama setelahnya.
Nasihat-nasihat Dinda Natasya dalam setiap bait puisinya tersebut telah
mendapat ruang tersendiri di hati para pembacanya. Hal tersebut karena selain
sajaknya yang sederhana, juga pesan yang disampaikan merupakan realitas
objektif yang banyak terjadi dalam kehidupan setiap orang.
3. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia
Konfilk sosial ini banyak terjadi di kalangan masyarakat segala lapisan,
baik secara pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaan-
perbedaan misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, dan pola
perilaku, dan seterusnya. Hal tersebut juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu,
(a) perbedaan antara individu-individu, (b) perbedaan kebudayaan, (c) perbedaan
kepentingan, dan (d) perubahan sosial (Soerjono Soekanto, 2002:98-99).
Konflik juga merupakan proses yang terjadi ketika tindakan satu orang
menganggu tindakan orang lain. Potensi konflik meningkat bila dua orang
menjadi saling interdependen. Saat interaksi lebih sering terjadi dan mencakup
lebih banyak aktivitas dan isu, ada lebih banyak peluang terjadinya perbedaan
pendapat (Taylor, Shelley E. et.al. 2009:346).
Dari perbedaan pendapat tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya
komunikasi di antara keduanya. Namun Dinda Natasya memanfaatkan konflik-
konflik sosial ke dalam karyanya agar terarah ke arah yang lebih baik dengan
mengungkapkan konflik sosial bersamaan dengan menyampaikan pesan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
tersirat di dalamnya. Karena selain bergelut dalam dunia kepenyiaran, pendidikan
dan keagamaan, Dinda Natasya juga terjun dalam bidang sosial seperti
kemanusiaan. Dinda Natasya banyak berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya, baik itu rekan kerja, pasien, teman, keluarga, maupun orang-orang
yang baru ditemuinya. Dinda Natasya pun akhirnya banyak mengenali pribadi
karakter dan masalah yang dihadapi seseorang. Kemudian berdasarkan hal-hal
tersebut peneliti menyatakan bahwa konflik-konflik sosial yang terjadi jika dapat
disikapi dengan baik maka akan membuat manusia dapat lebih menghargai
perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan sosial. Sepanjang pertentangan tidak
berlawanan dengan pola-pola hubungan sosial di dalam struktur sosial yang
tertentu, maka pertentangan-pertentangan tersebut bersifat positif. Karena suatu
pertentangan dapat pula menghasilkan kerja sama, yang mana dengan terjadinya
pertentangan, masing-masing pihak akan mengadakan introspeksi dan kemudian
mengadakan perbaikan-perbaikan (Soerjono Soekanto, 2002:100-101).
Banyaknya kegiatan sosial yang dilakukan oleh Dinda Natasya dengan
berbagi, berkarya sambil beramal, membuatnya banyak belajar mendengarkan dan
mempelajari karakter orang lain (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,2010:179).
Seperti yang telah dipaparkan pada bagian depan. Beberapa hal yang berkaitan
dengan kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukannya dan keprihatinannya
terhadap suatu kondisi sosial yang buruk, diabadikan oleh Dinda Natasya melalui
sebagian tulisannya yaitu puisi Mimpi 18 hari (hal 15-16), Penjara Cinta, Lewat
Tengah Malam (hal 17-18), KPK Untuk Siapa Kau Ada? (hal 101-103), Kisah
Seorang Pramuria (hal 19-22), Sombong (hal 68-69), dan Untuk Kedua Puteraku
(hal 104-106).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Konflik sosial yang banyak diungkap oleh Dinda Natasya merupakan
cerminan dari rusaknya moral masyarakat itu sendiri. Meski begitu, ada juga
persoalan-persoalan sosial dalam ranah politik yang dialami oleh seseorang bukan
hasil dari ulahnya sendiri melainkan menjadi korban pemfitnahan atau kambing
hitam dari kesalahan orang lain, manipulasi hukum, dedikasi yang dipertanyakan
oleh lingkungannya, dan sebagainya. Hal tersebut tampak dalam puisi-puisi Dinda
Natasya berikut.
MIMPI 18 HARI
...Suatu pagi terbangun ditengah kebingungan
Dimana tubuhku terbaring
Tidurkah aku semalam ini
Mata telingan mulut terpana
Dilorong penjara seseorang memaksaku bangun
Dipintu besi berdiri orang-orang asing
Wajah-wajah polos senyum
Menyambut tubuh lemah ditempat yang begitu pengap
Selamat datang dunia mimpi
Ku nikmati rumah asing ini 18 hari... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:15)
PENJARA CINTA, LEWAT TENGAH MALAM
...Wajah-wajah asing datang dan pergi
Cerita pilu anak manusia silih berganti
Aku merenung
Wajah siapa yang masih ku ingat
Samar-samar semua gambar memudar
Perasaanku bercampur aduk
Hampir hilang kesadaran
Antara mimpi dan kenyataan
Aku melihat neraca keadilan bergerak
Seiring robohnya tembok penjara
Jeruji besi meleleh
Pintu-pintu terbuka... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:17-18)
Tampak dalam penggalan kedua puisi di atas yang menceritakan tentang
masih adanya ketidakadilan hukum negara. Bagi yang tidak bersalah justru
dipenjara, sedangkan yang bersalah tetap bebas dengan kekuasaannya. Terlihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
bahwa orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan, hanya dapat
menerima dengan pasrah apa yang terjadi padanya. Peristiwa buruk yang tidak
pernah disangkanya. Berharap hal itu akan segera berakhir bagaikan mimpi yang
akan segera berakhir saat kembali terjaga dari tidurnya.
Mereka yang lemah itu terus berharap, dengan berangan neraca keadilan
tetap bisa ditegakkan dan kebenaranlah yang akan menang. Oleh karena penjara
itu hampir membuat mereka lupa pada wajah-wajah di masa lalunya. Sepetak
ruang yang pengap, yang telah memupuskan harapan karena harus menjalani
hukuman yang entah kesalahan apa yang telah mereka perbuat. Lain halnya
dengan puisi berikut.
KPK UNTUK SIAPA KAU ADA?
...KPK, oh KPK
Apakah engkau ini sebenarnya
Seperti tsunami memporak-porandakan tatanan
Begitu banyak kehidupan yang kau renggut
Bagitu banyak harapan kau sirnakan
Apakah engkau ini musibah
Apa engkau ini anugerah?
....
KPK, oh KPK
Jubah mana yang kau kenakan
Apakah kau ini malaikat
Apakah kau ini petunjuk
Kemanakah perginya sang penyeru
Pemberi ingat jiwa yang lupa... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:101-102)
Suatu dedikasi dan peranan yang masih dipertanyakan oleh suatu
kalangan masyarakat tertentu. Apakah neraca keadilan yang dipegang oleh KPK
seutuhnya adalah kebenaran, hal tersebut juga masih menjadi pertanyaan. Hal ini
juga disebabkan adanya eksplorasi hukum ketika ternyata masih ada ketidakadilan
di dalam hukum yang diberlakukan oleh KPK, lalu masyarakat akan memandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
bahwa adanya KPK juga merupakan musibah bagi orang-orang yang jujur.
Kekuasaan juga masih digunakan di dalamnya, karena yang paling berkuasa yang
memegang wewenang dan dapat berlaku dengan sesuka hatinya.
Hal tersebut akhirnya membuat suatu wacana bahwa KPK akan
dibubarkan karena dianggap tidak begitu penting dan tidak banyak membantu
pemberantasan koruptor di negara ini karena justru banyak memenjarakan orang-
orang yang tidak bersalah. Meski begitu, hadirnya KPK untuk membasmi para
“tikus berdasi” atau koruptor di negara ini disambut hangat oleh sebagian
masyarakat lainnya. Kekuasaan-kekuasaan itu tampak dalam larik “Jubah mana
yang kau kenakan. Apakah kau ini malaikat?. Apakah kau ini petunjuk?”. Jubah
merupakan baju panjang (sampai di bawah lutut), berlengan panjang, seperti yang
dipakai orang Arab, padri, hakim (Dendy Sugono, 2008:590). Namun dalam
konteks larik puisi ini adalah jubah hitam yang juga biasanya digunakan oleh
hakim yang menunjukkan kekuasaannya sebagai pengambil keputusan tertinggi
dalam persidangan.
Berbeda dengan persoalan sosial yang terdapat dalam penggalan kisah
berikut. Sebuah kisah yang jauh dari bau politik, namun mereka merupakan
korban perpolitikan negara. Kisah ini adalah realitas objektif yang dilihat dan
dikenal dekat oleh Dinda Natasya yang kemudian diungkapkan ke dalam
karyanya. Mereka itu juga adalah “pasien-pasien” Dinda Natasya.
KISAH SEORANG PRAMURIA
...Setiap malam bertemu dengan mereka. Dari sekedar pemandu karaoke,
tukang pijat (plus), hostess di klub malam dan diskotik serta pekerja sex dari
yang di hotel sampai yang tercecer di sepanjang jalan Hayam Wuruk (belum
yang nyelip di sudut warung gelap yang kumuh).
Bahkan mereka para profesional, istri direktur, dan pejabat yang mencari
kepuasan batin diluar rumah, dari yang normal hingga pecinta sesama jenis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Mereka ini beberapa saya kenal walau tidak terlalu dekat namun saya
berusaha untuk tidak mengabaikan mereka
...
Dan mereka ini kebanyakan adalah pasien-pasien yang datang pada saya
dengan kasus yang sama yaitu masalah remaja dengan krisis kepercayaan
diri dan masalah rumah tangga dengan segala persoalan di dalamnya.
Ini bukanlah solusi yang dapat memperbaiki semua keadaan seperti yang
saya sampaikan di atas, hanya saja saya sangat berharap:
SEANDAINYA:
Semua laki-laki di dunia ini menjalankan tanggung jawab dan kewajibannya
sebagai kepala rumah tangga dengan benar dan sebaik-baiknya sesuai
tuntunan agamanya masing-masing dan konsekuen tentu tidak akan seperti
ini jadinya... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:19-20).
Dinda Natasya mengungkapkan keprihatinannya dan kepeduliannya
terhadap orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat”. Bagi Dinda Natasya,
itu bukanlah keinginan mereka yang sebenarnya. Tuntutan ekonomi yang
mencekik keluarga mereka, memaksa para perempuan itu menjual harga diri.
Mereka memilih jalan pintas yang pada mulanya terpaksa namun pada akhirnya
pun menikmatinya karena mudah dan cepat mendapatkan uang untuk memenuhi
kebutuhan ekonominya. Seperti yang tampak dalam kutipan lain dari kisah ini
“Penjaja cinta mereka yang terpaksa menjual diri, terpaksa apa terpaksa? Lha
kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya!” dan “Kebanyakan
perempuan yang saya temui, 90% terjun sebagai penjaja cinta karena faktor
ekonomi. Hanya sayangnya kemudian mereka malah menikmatinya karena
mudah, cepat dan tidak capek”.
Dinda Natasya berusaha untuk tidak mengabaikan mereka, menurutnya
toh mereka juga manusia yang berhak hidup. Hanya saja jalan kehidupan yang
mereka pilih itu salah di mata masyarakat. Pada larik “terpaksa apa terpaksa?
Lha kok wajahnya senang dan menikmati profesi begitu to ya!”, peneliti
menganalisisnya sebagai tuntutan profesinya sebagai “wanita penghibur” yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
diharuskan menunjukkan wajah cerianya untuk mempromosikan diri agar dapat
lebih menarik di hadapan lelaki “hidung belang”, meski di sisi lain sebenarnya
mereka mengalami tekanan batin akan hal tersebut. Kemudian saat mereka ingin
kembali ke jalan yang benar dan kehidupan yang normal, sebagian besar dari
mereka tidak dapat diterima kembali oleh tanggapan di masyarakat tertentu itu
sehingga mereka memilih untuk tetap melakukan pekerjaan itu. Hal tersebut
merupakan hasil eksplorasi oleh Dinda Natasya terhadap lingkungan yang ada di
sekitarnya sebagai “dokter cinta”. Eksplorasi penjelajahan lapangan dengan tujuan
memperoleh pengetahuan lebih banyak (tentang keadaan), terutama sumber-
sumber alam yang terdapat di tempat itu; penyelidikan; kegiatan untuk
memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru (Dendy Sugono, 2008:359).
Eksplorasi yang dilakukan Dinda Natasya ini bukan dengan terjun langsung ke
lapangan, namun justru mereka para pelaku penjaja seks itulah yang mendatangi
Dinda Natasya sebagai “pasien-pasiennya”.
Persoalan sosial ini terjadi juga tidak hanya karena ekonomi, namun
justru ada juga yang hanya untuk mencari kepuasan diri seperti kutipan berikut:
“Bahkan mereka para profesional, istri direktur, dan pejabat yang mencari
kepuasan batin diluar rumah,”. Tidak adanya keharmonisan dalam sebuah rumah
tangga adalah penyebab utamanya. Percintaan antara suami-istri yang tidak
dibangun dengan pondasi komunikasi yang kuat, maka akan mudah runtuh seperti
tampak dalam kutipan di atas.
Dinda Natasya juga mengungkapkan pemikirannya dalam kutipan kisah
di atas, bahwa hal tersebut dapat terjadi karena laki-laki yang seharusnya dapat
menjadi imam dan kepala keluarga yang baik untuk istri, anak, dan keluarganya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
namun justru mengabaikan tugas dan kewajibannya. Begitu juga dengan seorang
perempuan yang seharusnya menyadari fitrahnya sebagai seorang istri dan ibu.
Persoalan sosial lain yang banyak terjadi di masyarakat sebagai contoh
adalah seperti dalam kutipan puisi berikut.
SOMBONG
...Wahai
Berlari menghindar maut
Sembunyilah dari kematian jika kau bisa
Bawa anak istrimu serta
Kemas semua harta benda dan tahta
Bawa jika kau bisa
Jika kau pergi akankah ada yang turut
Sungguh sombong... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:68).
Puisi di atas dapat dikatakan merupakan sebagai cerminan realitas objektif yang
terjadi dalam lingkungan sosial kemanusiaan. Harta dan kekuasaan dapat
membuat orang lupa diri dan menjadi pribadi yang angkuh dan sombong. Padahal
harta dan kekuasaan bukanlah hal yang abadi, termasuk hidup ini. Setiap manusia
akan dimintai pertanggungjawabannya atas harta dan kekuasaan yang dimiliki
semasa hidupnya. Dinda Natasya ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang kekal
di dunia ini. Harta dan kekuasaan tidak akan dibawa mati, hanya amalan kebaikan
yang dapat menyelamatkan setiap manusia. Dinda Natasya selalu mengembalikan
segala persoalan-persoalan sosial tersebut kepada fitrah manusia dan Tuhan.
Banyaknya kegiatan-kegiatan sosial dan pekerjaan yang dilakukan Dinda
Natasya yang banyak menyita waktunya tidak lantas membuatnya melupakan
kodratnya sebagai wanita dan sebagai ibu. Karena menjadi wanita ratu rumah
tangga merupakan cita-citanya. Seperti lilin yang bersinar sampai padam walau
meleleh dan seperti karang yang tetap tegar walau diterpa ombak, itulah
semboyan hidupnya. Dinda Natasya melakukan perannya sebagai seorang ibu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
yang luar biasa dan mendidik kedua putranya dengan baik. Hal tersebut tampak
dalam penggalan puisi Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) sebagai berikut.
...Jika kini ibu hanya bisa memandangmu dari jauh
Antara ada yang tiada
Lebih bermakna dari tak ada!
Kenanglah ibu dalam jiwa kalian
Jika kalian merasa sendiri
Dan memang demikianlah hidup kalian selama ini
Ingatlah Ibu masih di sini bersama kalian
Walau hanya lewat belaian malam tanpa berwujud
Hanyalah suara
Semoga engkau dapat rasakan
Cinta dan kasih sayang Ibu selalu ada... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo,
2010:105)
Dinda Natasya ingin menyampaikan rasa kasih untuk kedua putra yang
sangat dicintainya itu. Pekerjaan yang menuntut Dinda Natasya untuk berada di
luar kota sehingga jauh dengan keberadaan anak-anaknya, tidak membuat rasa
cinta itu luntur. Justru Dinda Natasya semakin menanamkan cintanya kepada
kedua putranya melalui tulisan dan bait-bait doa untuk kebaikan keduanya yang
dipanjatkannya meski mereka sedang berjauhan. Dinda Natasya berjuang dalam
karirnya dan kedua putranya juga sedang berjuang di kota lain untuk
menyelesaikan pendidikan mereka. Bagi Dinda Natasya, jarak bukanlah halangan
untuk saling menyayangi dan mendoakan. Itulah bentuk cinta kasih Dinda
Natasya sebagai seorang ibu kepada kedua putranya.
4. Konflik dengan Batinnya Sendiri
Konflik dengan batinnya sendiri merupakan masalah sosial yang timbul
dari individu sendiri (intrinsik). Karena pada suatu kondisi tertentu seseorang
pasti pernah mengalami tekanan batin atau dapat dikatakan sebagai konflik
dengan batinnya sendiri. Bagi sebagian besar orang, hal ini akan sangat
menganggu kondisi psikis atau kejiwaan seseorang. Misalnya seseorang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
sedang dilanda kedukaan dalam perjalanan hidupnya berupa rasa bingung, merasa
sendiri, kecewa, dan putus asa yang mungkin akan menjadi penyebab utama
hancurnya sebuah kehidupan baik itu dalam hal karir, prestasi maupun rumah
tangga. Dalam kondisi frustrasi seperti itu seseorang tidak akan dapat berpikir
dengan baik dan tidak dapat menemukan solusi, kecuali dengan meminta bantuan
kepada orang lain untuk memberinya saran dan motivasi. Hal tersebut termasuk
sebagai pertentangan karena perasaan memegang peranan penting dalam
mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut sedemikian rupa. Perasaan mana
biasanya berwujud amarah dan rasa benci yang menyebabkan dorongan-dorongan
untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan
menghancurkan individu (Soerjono Soekanto, 2002:98).
Demikian juga dengan Dinda Natasya sebagai manusia biasa yang dapat
merasakan keresahan dan kegundahan di dalam hatinya setelah melihat dan
merasakan realitas objektif yang ada di sekitarnya. Namun Dinda Natasya dapat
melakukan pengontrolan terhadap dirinya sendiri dengan meluapkan segala yang
menjadi gangguan dalam pikirannya dengan mencurahkan ke dalam sebuah
tulisan. Hal tersebut juga merupakan sifat filantropi dari Dinda Natasya yaitu ia
lebih banyak memikirkan persoalan orang lain yang membutuhkan pemikirannya.
Dinda Natasya berharap, dengan membagi pikiran negatif dan pengalaman yang
dituliskannya tersebut dapat lebih bermanfaat untuk orang lain dan dirinya
pribadi. Karena dapat dijadikan sebagai pelajaran dan agar dapat lebih berempati
terhadap orang lain. Dinda Natasya juga selalu mengembalikan persoalan-
persoalan sosial termasuk konflik batin ini kepada Tuhan dan personal yang
mengalaminya untuk mendapat penyelesaian. Seperti yang telah diungkapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
pada pembahasan sebelumnya, karena hal ini juga berkaitan dengan hubungan
manusia itu sendiri dengan Tuhannya.
Pemikiran-pemikiran Dinda Natasya tersebut dapat dilihat dalam puisi-
puisi berikut: Cinta Tak Bertuan (hal 95-96), Romansa (hal 75), Dialog Tanpa
Suara (hal 64-65), dan Menunggu Cintaku 1 & 2 (hal 84-85).
CINTA TAK BERTUAN
Antara Oase, Samudra, dan Pandeka
...Samudra birumu tlah melayariku
Ke batas bibir langit
Layarku tersapa awan nan biru
Semoga ada pelangi yang berjejak dalam
Di aksara kita
Dan sesungguhnya cinta tak bertuan
Ia milik siapa saja (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:95-96)
Puisi di atas menggambarkan sosok Dinda Natasya yang memiliki
banyak cinta untuk orang-orang di sekitarnya. Meski mungkin awalnya Dinda
Natasya merasa bahwa cintanya yang tidak bertuan atau tidak dimiliki oleh
seseorang saja itu sebenarnya milik siapa. Namun pada akhirnya Dinda Natasya
tahu kemana ia harus membagi rasa kasihnya, yaitu kepada “pasien-pasiennya”,
teman, sahabat, orang tua, dan siapa saja yang mengenal dirinya. Cinta Dinda
Natasya mungkin memang tidak bertuan namun cintanya berhak dimiliki untuk
siapa pun. Hal itu dikarenakan perannya sebagai “dokter cinta” yang dibutuhkan
banyak orang yang sedang membutuhkan “pengobatan” untuk sembuh dari
penyakit hatinya mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta.
Konflik batin lainnya yang dialami oleh Dinda Natasya juga tampak
dalam kutipan puisi berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
ROMANSA
Di dinding kamarku
Putih susu
Diam memandang
Kala mataku pejam.
Disudut ranjangku
Bayang keemasan
Hangat menyusup
Saat tubuhku tergetar
Di langit-langit malamku
Romansa tertinggal
Penuh bisik lirih
Saat anganku terkenang
....
Malam minggu sendiri.
Jakarta, 30 Januari 2010 (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75)
Puisi tersebut merupakan curahan hati Dinda Natasya ketika sedang sendiri pada
malam minggu. Karena malam minggu merupakan kebudayaan para remaja untuk
mengunjungi kekasih mereka dan melewati malam bersama. Namun Dinda
Natasya melewatinya seorang diri. Dinda Natasya menyelami perasaannya untuk
merasakan indahnya kerinduan yang sedang dirasakannya. Tidak dapat dipungkiri
memang suasana malam yang hening dapat memutar kembali semua kenangan
dalam angan-angan seseorang. Episode-episode kehidupan yang telah dilewatinya
pun bisa kembali terkenang saat ia hendak tidur.
Pada suatu kondisi lain yang berbeda, Dinda Natasya mendapati konflik
batin yang luar biasa. Pergulatan batin yang dialaminya ini adalah bentuk betapa
besar cinta Dinda Natasya untuk orang-orang di sekitarnya sehingga mampu
membuat mereka jatuh cinta pada dirinya. Jatuh cinta dalam pengertian
menyayangi Dinda Natasya sebagai sosok ibu, kakak, dan sahabat atau teman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
dalam persaudaraan. Kebaikan hati dan keramahannya telah membuat banyak
orang jatuh hati pada sosoknya. Hal tersebut tampak dalam puisi berikut.
DIALOG TANPA SUARA
Dalam kutermangu rasanya aku mendengar seseorang bicara
padaku sepertinya marah sepertinya resah
Dindaa! Kamu ini kurang ajar!
Sungguh tak tahu malu, tak punya otak, tak punya perasaan
Apa yang ada dipikiranmu sampai kau tega melakukan ini.”
Kataku:
Oh, aku sedang malamun. Pikiranku kosong
Aku tidak melihatmu sebelumnya
Aku juga sudah berusaha menghindar
Kenapa kau berdiri di sana?
Jika tahu akan menyakitimu
Aku pun tak tega menabrakmu dengan sengaja…
…Dindaa! Kamu ini sungguh terlalu!
Dasar pencuri!...
Kataku:
Ah, jangan salahkan aku
Toh ini sebuah kecelakaan dan bukan tabrak lari
Aku juga bukan pencuri
Jika memang ada milikmu yang kubawa, itu bukan sengaja
Akan ku kembalikan jika kau minta
Dinda! Kamu memang keras kepala!
Kamu sengaja mencuri melukai
Kau pergi seenakmu tanpa merasa bersalah
Harusnya kau dihukum dan dipenjara!
Kataku:
Hhh, kenapa kau maki aku
Jika aku mencuri perhatianmu
Melukai hatimu dengan sengaja
Aku pasti akan merasa bersalah
Jika begitu, hukuman dan penjara
Justru akan membuatku ingin mencuri dan melukai
Karena itu jangan tuntut aku
Bebaskanlah aku.
Dinda!, Aku tak bisa
Karena hatiku yang terpenjara
Karena hatiku telah dihukum
Karena mencintaimu! (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:64-65)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Dialog batin Dinda Natasya tersebut merupakan salah satu cerminan
konflik batin yang juga pernah dialami oleh setiap orang. Namun dengan
persoalan yang berbeda tentunya. Ada semacam pergolakan pendapat di dalam
hati seseorang yang hanya dirinya sendiri yang dapat mengatasinya. Perasaan
bersalah, menyesal, kecewa, dan sejenisnya juga menjadi penyebab dalam
persoalan-persoalan semacam ini. Imajinasi dan hati bergulat untuk
memenangkan pemikiran logis untuk memikirkan apa yang harus dilakukan untuk
mengatasi persoalan tersebut.
Dinda Natasya sebagai “dokter cinta” tentu bukan hal yang sulit untuk
mengatasi konflik batinnya sendiri. Dinda Natasya justru menampilkan konflik
batin yang dialaminya tersebut ke dalam karyanya untuk menunjukkan bahwa
pikiran negatif dapat menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain jika disampaikan
dan diolah dengan bahasa yang apik. Agar pembaca juga dapat mengambil pesan
dari setiap bait-bait puisinya.
Masih dalam ranah persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh
cinta. Cinta dapat membuat setiap orang rela berkorban dan melakukan apa saja
untuk orang yang dicintainya termasuk menunggu dalam jangka waktu yang
cukup lama misalnya. Seperti yang tampak dalam kutipan puisi berikut.
MENUNGGU CINTAKU 1
Orang dicintai, karena dia memang dicintai!
Tak perlu ada alasan untuk mencintai
Jangan tanyakan kenapa aku menunggumu
Sebab aku melihat kau adalah bagian hidupku
Kau adalah sebagian dari takdirku
Aku ingin memberimu kebebasan
Untuk meraih mimpimu sepenuhnya
Sama seperti yang engkau berikan padaku... (Dinda Natasya dan Anto
HPrastyo, 2010:84)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Pada kondisi seseorang sedang menunggu pasti terselip harapan di
dalamnya. Orang yang dicintainya tersebut akan kembali dengan membawa
kebahagiaan, misalnya kesuksesan bagi orang yang sedang merantau jauh demi
cita-citanya. Dirasa Dinda Natasya mengkhususkan kedua puisinya ini untuk
kedua putranya yang juga sedang berjuang untuk meraih cita-cita masing-masing.
Meski Dinda Natasya sangat mencintai keduanya dan sebenarnya ingin selalu
dekat dengan mereka. Tidak lantas membuat Dinda Natasya mementingkan
keinginannya, namun justru rasa cintanya mengizinkan keduanya untuk meraih
kehidupan di masa depan yang lebih baik. Hal tersebut tampak dalam kutipan
puisi berikut.
MENUNGGU CINTAKU 2
...Raihlah tujuanmu dan wujudkan mimpimu
Jika aku menjadi bagian dari hidupmu
Maka engkau akan melihatku di sepanjang perjalananmu
Jika kau membawa hatiku dalam keyakinanmu
Maka aku akan bersabar
Aku akan menunggumu, dengan penuh harap dan cinta... (Dinda Natasya
dan Anto HPrastyo, 2010:85)
Dinda Natasya mencurahkan rasa cintanya ke dalam tulisan-tulisan
tersebut untuk kedua putranya. Di balik penantian Dinda Natasya sebagai seorang
ibu juga tersimpan harapan besarnya akan kesuksesan kedua putranya. Dalam
larik “…Maka engkau akan melihatku di sepanjang perjalananmu…”, Dinda
Natasya juga menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua putranya, rasa
cinta yang selalu ada meski tidak selalu bersama-sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan
jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut
simpulan dari penelitian ini.
1. Proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa
pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan yang
dijabarkan sebagai berikut.
a. Tahap Persiapan
Pada tahapan ini, Dinda Natasya memiliki gambaran bagaimana
karyanya nanti. Profesi Dinda Natasya sebagai penyiar dan “dokter cinta”
banyak berpengaruh terhadap karyanya sehingga dalam hal ini pun ia tidak
banyak melakukan persiapan, karena ia menulis apa yang dilihat dan
didengarnya. Dinda Natasya mengangkat persoalan-persoalan cinta dari para
pendengar dan “pasien-pasiennya” yang berbias pada persoalan sosial. Dinda
Natasya menempatkan dirinya pada posisi mereka agar dapat ikut merasakan
apa yang mereka rasakan sehingga ia mampu melakukannya secara spontan.
Kespontanitasannya tersebut terjadi karena profesinya sebagai penyiar dan
“dokter cinta” yang terbiasa berpikir cepat. Judul dan larik yang terdapat di
dalam puisinya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan
karya-karyanya yang lain, seperti tampak dalam puisi PadaMu (hal 72), Tak
Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
b. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi)
Pada masa pengendapan ini, Dinda Natasya tidak memakan waktu yang
lama. Hal itu karena profesinya sebagai penyiar selama lebih dari 25 tahun
dan perannya sebagai “dokter cinta” sehingga menyimpan banyak
pengalaman. Pengalaman ia dapatkan dari dirinya sendiri dan orang lain yaitu
pengalaman para pendengar dan “pasien-pasiennya”. Seperti tampak dalam
suatu pernyataan pada kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 13-14) yang
juga menghasilkan puisi Mimpi 18 Hari (hal 15).
Banyaknya pengalaman yang mengendap dalam diri dan pikirannya
tersebut membuat Dinda Natasya seperti memiliki gudang gagasan atau dapat
dikatakan juga memiliki wawasan yang luas. Maka saat Dinda Natasya ingin
menulis atau diberi suatu topik sebagai pembahasan, ia akan dengan cepat
mengutarakan satu per satu pendapat dan curahan hatinya.
c. Tahap Inspirasi atau Munculnya Ide
Pada tahapan ini kespontanitasan Dinda Natasya juga terjadi, namun
kespontanitasan itu kemudian diolah untuk memunculkan ide. Sama halnya
dengan tahapan sebelumnya, Dinda Natasya banyak mendapatkan inspirasi
dari para pendengar dan “pasien-pasiennya”. Selain itu, inspirasi juga
didapatkan dari hasil “pembacaan” Dinda Natasya tentang realitas objektif
yang terjadi di sekitarnya. Hal itu kemudian membuatnya tergelitik untuk
menuangkan segala hal yang menjadi “kegelisahan” hatinya ke dalam karya.
Kegelisahan tersebut tertuang dalam puisi Sombong (hal 68-69). Dalam
puisi tersebut Dinda Natasya merasa gelisah kemudian menyampaikan pesan
agar orang-orang yang sombong dengan harta dan kekuasaannya segera
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
bertobat. Persoalan sosial lain yang tampak berupa penggambaran orang yang
munafik, pendusta, dan dari kutipan “...Keji picik menghujam perih. Di setiap
laku dan ucapmu...” juga mencerminkan orang yang licik karena kekuasaan
dan kesombongannya akan harta yang dimilikinya.
d. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan
Pada tahapan ini, Dinda Natasya mengaku dirinya tidak banyak
melakukan proses penyempurnaan selain membaca kembali beberapa kali
sambil meneliti. Agar pesan yang disampaikan lewat tulisannya sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya dan bisa dipahami atau
dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Proses penyempurnaan yang dilakukan Dinda Natasya ini juga terkait
dengan tahap inkubasi atau pengendapan. Hal tersebut tampak dalam kutipan
email yang dikirimkan Dinda Natasya kepada peneliti,“…Saya tak banyak
melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali
sambil meneliti…” (Email Dinda Natasya, 03 Februari 2012 pukul 21.59
WIB). Kemudian peneliti juga memaparkan hasil perbandingan naskah asli
dan naskah yang telah dibukukan sebagai bukti pada pembahasan sebelumnya.
2. Dinda Natasya mengolah pemikirannya tentang realitas objektif di sekitarnya
menjadi karya sastra. Berikut 4 (empat) konkretisasi persoalan-persoalan sosial
yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang dapat
menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
a. Hubungan Manusia dengan Tuhannya
Persoalan ini lebih dikaitkan dengan kecintaan Dinda Natasya kepada
Tuhannya. Karena pada hakikatnya manusia memiliki hubungan vertikal atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
garis tegak lurus dari bawah ke atas atau sebaliknya dengan Tuhannya. Dinda
Natasya juga suka tirakat dan mendekatkan diri kepada Tuhannya dengan
menaati segala perintah dan larangan-Nya.
Rasa cinta Dinda Natasya pada Tuhannya tampak dalam puisi Kalah (hal
70-71) dan PadaMu (hal 72). Dalam puisi PadaMu Dinda Natasya terlihat
ingin menjadi manusia yang pandai bersyukur, taat, dan menjadi muslimah
sejati. Hatinya dipenuhi kepiluan akan kerasnya kehidupan namun ia ikhlas
menjalani. Puisi tersebut juga mencerminkan keseharian Dinda Natasya yang
merasa dapat begitu dekat dengan Tuhannya ketika melaksanakan salat dan
tirakat. Hal itu karena Dinda Natasya sangat mencintai Tuhannya sebagai
seorang hamba/manusia.
b. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja
Pada persoalan ini, Dinda Natasya banyak mengangkat pengalaman
pendengar dan “pasien-pasiennya” seputar kisah percintaan remaja dalam
melewati masa pubertas yang cenderung masih labil, yaitu masa peralihan dari
anak-anak ke masa remaja sebagai hasil karyanya.
Seperti yang tampak dalam puisi Bingung (hal 111) dan Puisi Para
Mantan (halaman 112-113). Dalam puisi Puisi Para Mantan Dinda Natasya
ingin menyampaikan pesan atau nasihat kepada pembacanya bahwa saat kisah
cinta berakhir maka tidak lantas membuat lemah, berhenti melangkah, dan
terus mengingat masa lalu yang menyakitkan karena cinta. Tetapi justru
menjadikan kesedihan sebagai kekuatan untuk diri kita menjadi pribadi yang
tangguh terhadap cobaan sehingga dapat terus melangkah menuju masa depan,
seperti dalam larik “…Sedih itu tak sesatkan langkah”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Dinda Natasya mengolah nasihatnya sedemikian rupa agar pembaca
mudah memahami maksud yang terkandung di dalamnya. Kemudian mampu
menjadikan kegagalan itu sebagai kekuatan untuk melangkah menuju masa
depan yang lebih baik dan tidak mengulang kesalahan yang menyebabkan
patah hati.
c. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia
Dalam hal ini, persoalan yang diungkapkan Dinda Natasya pada
karyanya yaitu, (1) cinta seorang ibu dan anak yang tidak mengenal jarak dan
waktu dalam karyanya seperti tampak pada puisi Untuk Kedua Puteraku (hal
104-106). (2) persoalan-persoalan sosial dalam ranah politik, berupa dedikasi
yang dipertanyakan oleh lingkungannya, manipulasi hukum sehingga terjadi
pemfitnahan terhadap orang yang sebenarnya tidak bersalah. Seperti yang
tampak dalam puisi Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18). (3)
Dinda Natasya juga mengungkap keabnormalan masyarakat, keprihatinan, dan
kepeduliannya terhadap orang-orang yang dianggap “sampah masyarakat”.
Abnormalitas masyarakat yang disebabkan oleh himpitan ekonomi tersebut
tampak dalam Kisah Seorang Pramuria (hal 19-22). Hal-hal itulah yang
menjadikan Dinda Natasya merasa “gelisah” sehingga membuatnya
memberontak dengan memprotes dan mengkritisi realitas objektif yang ada di
sekitarnya melalui karyanya.
d. Konflik dengan Batinnya Sendiri
Pada persoalan ini Dinda Natasya sebagai manusia biasa yang pernah
mengalami konflik dengan batinnya sendiri. Namun Dinda Natasya dapat
melakukan pengontrolan terhadap dirinya dengan meluapkan segala yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
menjadi gangguan dalam pikirannya dengan mencurahkan ke dalam tulisan.
Dinda Natasya berharap, dengan membagi pikiran negatif dan pengalaman
yang dituliskannya tersebut dapat lebih bermanfaat untuk orang lain dan
dirinya pribadi. Karena dapat dijadikan sebagai pelajaran dan agar dapat lebih
berempati terhadap orang lain. Itulah mengapa tulisan Dinda Natasya tidak
hanya dikhususkan untuk dirinya sendiri melainkan juga bagi orang lain. Hal
tersebut kemudian memunculkan sifat filantropi dari Dinda Natasya yaitu ia
lebih banyak memikirkan persoalan orang lain yang membutuhkan
pemikirannya. Dinda Natasya juga selalu mengembalikan persoalan-persoalan
sosial termasuk konflik batin ini kepada Tuhan dan personal untuk mendapat
penyelesaian.
Pada suatu kondisi tertentu Dinda Natasya pernah mengalami pergulatan
batin dalam bentuk betapa besar cinta Dinda Natasya untuk orang-orang di
sekitarnya sehingga mampu membuat mereka jatuh cinta pada dirinya. Jatuh
cinta dalam pengertian menyayangi Dinda Natasya sebagai sosok ibu, kakak,
dan sahabat atau teman dalam persaudaraan. Kebaikan hati dan keramahannya
telah membuat banyak orang jatuh hati pada sosoknya. Hal tersebut tampak
dalam puisi Dialog Tanpa Suara (hal 64-65). Dalam puisi tersebut ada
semacam pergolakan pendapat di dalam hatinya di mana hanya dirinya sendiri
yang dapat mengatasinya. Perasaan bersalah, menyesal, kecewa, dan
sejenisnya juga menjadi penyebab dalam persoalan-persoalan semacam ini.
Imajinasi dan hati bergulat untuk memenangkan pemikiran logis untuk
memikirkan apa yang harus dilakukan dalam mengatasi suatu persoalan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti memberikan saran sebagai
berikut.
1. Hasil penelitian dan pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosial yang
disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru telah memberi
dampak psikologis tersendiri kepada peneliti, yaitu peneliti dapat merasa lebih
peka terhadap lingkungan sekitar, mudah berempati, tidak menilai orang lain
hanya dari “luarnya” saja, dapat menjadikan persoalan orang lain sebagai
pembelajaran, dan memiliki semangat baru untuk menjalani hidup. Hal
tersebut diharapkan juga dapat dirasakan oleh pembaca setelah membaca
karya dan hasil penelitian.
2. Peneliti berharap akan ada peneliti lain yang juga meluaskan penelitiannya
dengan turut memberi apresiasi kepada pengarang pemula atau pengarang
yang belum “mapan”, yaitu demi membuka peluang bagi mereka dalam
memasuki ranah karya sastra dengan membantu memperkenalkan kualitas
tulisannya pada masyarakat seperti pada penelitian ini.
3. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini jauh dari hasil yang sempurna, maka
peneliti berharap ada penelitian lebih lanjut mengenai buku Dialog Cinta Oase
Samudra Biru. Karena selain belum banyak yang meneliti buku ini, juga dapat
dilakukan pengembangan penelitian dengan tinjauan yang lain, misalnya dari
sisi psikologi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user