proposal+penelitian draft 4 (1)

48
NILAI NUTRISI TEPUNG BIJI KARET (Hevea brasiliensis) DALAM PAKAN IKAN LELE (Clarias sp) PROPOSAL PENELITIAN Oleh: Mas Bayu Syamsunarno C151080201

Upload: jonathan-susanto-pendowo

Post on 26-Jul-2015

143 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

NILAI NUTRISI TEPUNG BIJI KARET (Hevea brasiliensis) DALAM PAKAN IKAN LELE (Clarias sp)

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:Mas Bayu Syamsunarno

C151080201

MAYOR ILMU AKUAKULTURSEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2009

Page 2: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan Lele (catfish) merupakan salah satu komoditas perikanan yang paling

banyakdibudidayakan oleh masyarakat Indonesi. Data Statistik Perikanan

Indonesia menunjukkan bahwa ikan lele (catfishes) menduduki peringkat nomor

tiga produksi budidaya ikan air tawar di Indonesia setelah ikan mas (carps) dan

nila (tilapias) (Anonimus, 2008). Wadah produksinya adalah kolam, keramba,

keramba jaring apung dan sawah. Jawa merupakan pusat produksi ikan lele. Jawa

Barat pada tahun 2000 menghasilkan 6.421 ton ikan lele dan meningkat 23.642

ton pada tahun 2006 (Anonimus, 2007).

Budidaya lele dikembangkan secara intensif dengan mengandalkan pakan

sebagai sumber pemacu pertumbuhan. Sekitar 40 – 60% biaya produksi

dicurahkan kepada pakan. Hal ini mendorong perkembangan industri pakan

komersial.

Pakan komersial ikan lele mengandung protein sekitar 24 – 26%. Tepung

ikan dan tepung kedele digunakan sebagai sumber utama protein pakan. Indonesia

tidak mampu memenuhi kebutuhan kedua bahan baku tersebut. Indonesia

mengimpor tepung ikan sebanyak 32.000 ton per bulan dan 40%nya digunakan

untuk keperluan pakan ikan (Kompas, 2005). Menurut Anonimus (2009), selama

tahun 2004 – 2008, impor bahan baku pakan ikan atau udang meningkat dari

96,12 juta ton menjadi 190,66 juta ton (22,28%). Pada tahun 2006, harga tepung

ikan di pasar internasional meningkat dari 600 USD per ton menjadi 1.500 USD

(Wawa, 2006).

Tepung bungkil kedelai dapat menggantikan sebagian peranan tepung ikan

(Suprayudi et al., 1999; Catacutan dan Pagador, 2004). Namun, tepung kedelai ini

masih diimpor. Indonesia mengimpor sekitar satu juta ton tepung kedelai per

tahun sejak tahun 2000 (Suara Pembaharuan, 2004) dan tahun 2005 mencapai 1,8

juta ton (Riady, 2006 dalam Abidin, 2006). Peningkatan harga tepung ikan dan

tepung kedele ini berdampak terhadap peningkatan harga pakan komersial secara

nyata. Namun, hal ini tidak diikuti oleh harga ikan. Kondisi demikian berpengaruh

terhadap kelangsungan usaha budidaya ikan di Indonesia, termasuk lele. Salah

1

Page 3: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

satu upaya pemecahannya adalah mencari bahan baku pakan yang dapat

menggantikan peran tepung ikan dan kedele dalam pakan.

Salah satu persyaratan suatu bahan dapat digunakan sebagai bahan baku

pakan adalah ketersediaannya yang melimpah, harganya relatif murah, mudah

dicerna oleh ikan, mempunyai kandungan nutrisi yang baik (protein) dan tidak

berkompetisi dengan manusia. Biji karet dapat digunakan sebagai salah satu

kandidat bahan baku pakan ikan.

Indonesia dikenal sebagai negara penghasil karet no 1 di dunia. Sekitar

tiga juta ha lahan ditanami kebun karet. Tanaman karet ini menghasilkan rata-rata

800 biji karet per pohon per tahun. Dalam setahun, pohon karet berbuah dua

periode. Setiap buah karet mempunyai 2 – 4 biji karet (Murni et al., 2008).

Artinya, Indonesia mampu menghasilkan 2,4 juta biji karet. Harga biji karet yang

diambil dari kebun karet masyarakat adalah Rp. 25,- per biji. Artinya, biji karet

mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi bahan baku pakan ikan.

Menurut Oyewusi et al. (2007), biji karet mengandung 10 – 22% protein

dan asam amino esensial. Biji karet telah diteliti di Indonesia untuk pakan ternak

hewan darat, namun belum diteliti untuk pakan ikan. Tepung biji karet yang

ditambahkan dengan metionin dalam ransum babi tidak memberikan konsumsi

pakan dan pertumbuhan yang optimal (Siagian et al., 1992). Menurut Arossi et al.

(1985) dalam Prawirodigdo (2007), penambahan tepng biji karet sampai 19%

dalam pakan masih layak untuk pertumbuhan ayam pedaging strain CP 707.

Untuk ikan, Eyo dan Ezechie (2004) telah mengamati pengaruh substitusi

tepung jagung dengan tepung biji karet pada benih ikan lele hibrid

(Heterobranchus bidorsalis x Clarias gariepinus). Selanjutnya, tepung biji karet

mampu memsubsitusi 10 - 20% tepung jagung untuk mamacu pertumbuhan lele

hibrid tersebut.

2

Page 4: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Perumusan Masalah

Ikan lele tergolong ikan omnivor yang mampu menerima pakan komersial

dengan baik. Pada kondisi lingkungan normal, pertumbuhan dan efisiensi ikan lele

dipengaruhi oleh pemberian pakan, daya cerna ikan terhadap pakan, rasio energi

dan protein pakan, kandungan protein pakan, rasio protein hewani dan nabati

pakan, susunan asam amino pakan dan zat anti-nutrien pakan.

Pakan komersial lele dengan berbagai merek banyak beredar di

masyarakat. Pakan komersial yang baik dicirikan oleh banyaknya masyarakat

menggunakan pakan tersebut. Kandungan protein pakan komersial untuk

pembesaran ikan lele berkisar 24 – 26%.

Tepung biji karet dapat digunakan sebagai subsitusi protein pakan

komersial dilihat dari sisi kandungan protein, ketersediaan dan harganya. Namun,

biji karet tersebut mengandung asam sianida yang dapat menghambat

pertumbuhan ikan. Asam sianida dalam biji karet dapat dihilangkan atau

dikurangi kandungannya melalui beberapa cara, yaitu perendaman (dipping)

selama 24 jam, pengukusan (steaming) pada suhu 100oC selama 6 jam,

penjemuran (drying) selama 12 jam di bawah sinar matahari atau kombinasi

antara pengukusan dengan penjemuran selama 12 jam.

Protein ikan pada kandungan optimal memberikan pertumbuhan maksimal

pada ikan, termasuk ikan lele karena susunan asam amino tepung ikan menyerupai

daging ikan (NRC, 1982). Penggunaaan protein pakan optimal ini dipengaruhi

oleh kesimbangan protein dan energi yang tepat dan penambahan unsur-unsur

vitamin dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan ikan, proses pembuatan pakan

dan penyimpannya serta pemberian pakan yang tepat dan penyediaan kondisi

lingkungan (air) yang baik. Tepung biji karet yang telah dihilangkan atau

dikurangi kandungan asam sianidanya dapat menggantikan sebagian atau

seluruhnya peranan protein pakan komersial. Indikatornya adalah kelangsungan

hidup, kecernaan pakan, pertumbuhan (protein, lemak dan energi), efisiensi

pakan, dan indeks hipatosomatik.

3

Page 5: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Perumusan Hipotesis

Tepung biji karet pada tingkat tertentu dalam pakan dapat dijadikan

sebagai subsitusi protein pakan komersial ikan lele (Clarias sp.).

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tepung biji karet dalam pakan

komersial ikan lele (Clarias sp.). Manfaat penelitian adalah menghasilkan bahan

baku alternatif dalam pakan komersial ikan lele (Clarias sp.).

4

Page 6: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrisi Ikan Lele

Protein diperlukan ikan untuk proses pertumbuhan, pemeliharaan jaringan

tubuh, pembentukan enzim dan beberapa hormon serta antibodi dalam tubuhnya

sehingga keberadaanya harus secara terus menerus disuplay dari makanan untuk

pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Halver, 1989; Furuichi, 1988). Bila

tidak dilengkapi dengan protein pakan yang cukup, terjadi penurunan

pertumbuhan bobot tubuh ikan karena ikan akan menarik kembali protein dalam

jaringan tubuhnya untuk pemeliharaan tubuh. Sebaliknya, jika ketersediaan

protein terlalu banyak atau kurang berimbang, maka protein akan digunakan

untuk membuat protein baru dan sisanya akan dikatabolisme untuk menghasilkan

energi (NRC, 1983). Watanabe (1988) menambahkan bahwa kelebihan protein

juga akan menyebabkan pembuangan nitrogen yang banyak ke dalam lingkungan

budidaya.

Kebutuhan setiap spesies ikan akan protein berbeda. Hal ini dipengaruhi

oleh jenis dan ukuran ikan, kondisi lingkungan, kualitas protein dan daya cerna

pakan (Cho et al., 1985). Menurut Halver (1976) dalam Kurnia (2002), pada suhu

air 24 0C, ikan channel catfish (Ictalurus punctatus) tidak tumbuh lebih baik pada

protein 35% dibandingkan dengan protein 25%, tetapi bila suhu air di atas 24 0C,

ikan akan tumbuh baik pada kadar protein 30 maupun 35%. Ikan lele (Clarias

batrachus) dapat tumbuh secara maksimum pada kadar protein pakan 30%

(Chuapoehuk 1987 dalam Harun 2007). African catfish (C. gariepenus)

membutuhkan kadar protein 40% (Hasan, 2000). Hasil penelitian Rebegnatar dan

Hidayat (1992) menunjukkan bahwa benih ikan lele dengan bobot 1,22 - 1,56 g

membutuhkan kandungan protein 30,99% dengan rasio energi protein di bawah

9,23 - 9,83 kkal/g protein. Lovell (1989) menambahkan bahwa total pengambilan

protein optimum bagi benih Channel catfish berkisar 25 - 36%.

Jumlah protein yang diperlukan dalam pakan secara langsung dipengaruhi

oleh komposisi asam amino pakan. Asam amino esensial adalah asam amino yang

tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga harus tersedia dalam pakan (NRC,

1983). Ikan membutuhkan 10 jenis asam amino esensial untuk menghasilkan

5

Page 7: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

pertumbuhan optimum, yaitu arginin, fenilalanin, histidin, isoleusin, lisin,

metionin, triptofan, treonin dan valin. Kebutuhan ikan seperti halnya hewan, tidak

memiliki kebutuhan protein yang mutlak tetapi memerlukan suatu campuran yang

seimbang antara asam amino esensial dan non esensial. Menurut NRC (1983),

kekurangan asam amino esensial akan mengakibatkan penurunan pertumbuhan.

Suprayudi et al. (1999) menambahkan bahwa retensi protein yang rendah

disebabkan oleh tingginya perbedaan komposisi asam amino esensial dalam

protein dibandingkan dengan komposisi asam amino esensial tubuh ikan.

Jumlah asam amino untuk pertumbuhan akan semakin menurun seiring

dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Jumlah asam amino yang dapat

digunakan untuk maintenance sangat tergantung dari kualitas protein, tingkat

asupan protein dan energi yang dapat dicerna serta keadaan fisiologi ikan itu

sendiri. Asam amino yang digunakan sebagai sumber energi akan dideaminasi dan

dilepaskan sebagai ammonia yang akan dikeluarkan melalui insang. Pakan yang

mempunyai kualitas protein yang baik akan menghasilkan ekskresi nitrogen yang

lebih sedikit dari pada pakan yang mempunyai kualitas yang buruk (Furuichi,

1988).

Lemak merupakan komponen organik yang terdiri dari asam lemak bebas,

fosfolipid, trigliserida, minyak lilin dan sterol. Lemak memiliki peranan penting

sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi

membrane atau jaringan sel yang penting bagi organ tertentu, membantu dalam

penyerapan vitamin yang larut dalam lemak dan untuk mempertahankan daya

apung tubuh (NRC, 1983). Mokoginta (1986) mengemukakan bahwa ikan lele

(Clarias batrachus) memerlukan asam linoleat dan asam linolenat masing-masing

sekitar 1,53 - 1,56% dan 0,60-0,73% dalam pakannya (bobot kering).

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi. Hastings (1976)

menyatakan bahwa karbohidrat dalam ransum ikan tropis yang dimanfaatkan

secara baik adalah 30%. Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi

untuk proses kehidupan normal. Peranan karbohidrat, selain sebagai sumber

energi, juga sebagai precursor berbagai hasil metabolit intermedier yang sangat

diperlukan untuk pertumbuhan, misalnya untuk biosintesis berbagai asam amino

esensial dan asam nukleat. Manfaat lain karbohidrat, termasuk lemak dalam pakan

6

Page 8: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

adalah dapat mengurangi penggunaan protein sebagai sumber energi yang dikenal

sebagai protein sparing effect. Terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat

dan lemak dapat menurunkan biaya produksi (pakan) dan mengurangi

pengeluaran limbah nitrogen ke lingkungan (Peres dan Teles, 1999).

Ikan-ikan air tawar dan ikan laut dapat mencerna karbohidrat. Kemampuan

ikan laut mencerna karbohidrat adalah sekitar 20%, sedangkan ikan air tawar

mampu mencerna di atas 20% dan 25 - 30% untuk ikan Ictalurus punctatus

(Wilson, 1994). Selanjutnya NRC (1993) mengemukakan bahwa pertumbuhan

fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat

dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai sumber energi non-protein.

Sumber Protein Nabati

Bahan baku pakan merupakan faktor utama yang harus tersedia dalam

pembuatan pakan. Bahan baku pakan pada umumnya dapat dibagi menjadi dua

golongan, yaitu bahan baku yang berasal dari tumbuhan (nabati) dan hewan

(hewani).

Seiring dengan peningkatan harga bahan baku dari hewan (tepung ikan)

maka bahan baku nabati sering digunakan sebagai bahan alternatif. Hal ini

tidaklah selalu berhasil karena mengakibatkan pertumbuhan dan efisiensi pakan

yang rendah karena menurunnya pallatabilitas pakan (Burel et al., 1998 dalam

Jobling et al., 2002). Faktor-faktor tersebut dipengaruhi oleh keseimbangan asam

amino esensial, ketersediaan fosfor yang rendah dan dampak metabolisme dari

faktor antinutrisi (Antinutritional Factors / ANFs) yang tidak diabaikan (Medale

et al., 1998; Alarcon, 1999 dalam Jobling et al., 2002). Beberapa protein nabati

kekurangan satu atau lebih asam amino esensial, sehingga penggunaan protein

nabati sebagai bahan baku utama pada pakan harus menyediakan suplemen asam

amino. Hal ini bertujuan supaya kandungan asam amino yang diberikan hampir

mendekati kebutuhan asam amino esensial oleh ikan (Jobling et al., 2002).

Berdasarkan penelitian, ikan lele mampu memanfaatkan bahan nabati

dalam pakan dengan baik. Mayasari (2005) menyatakan bahwa penggunaan bahan

nabati sebanyak 80% dalam pakan mampu memberikan kinerja pertumbuhan yang

relatif sama dengan pakan komersil.

7

Page 9: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Tepung Bungkil Kedelai (Soybean Meal / SBM)

Tepung kedelai merupakan salah satu bahan baku nabati yang memiliki

nilai nutrisi yang lebih baik dengan pola asam amino esensial yang dapat

memenuhi kebutuhan asam amino ikan bila dibandingkan sumber bahan baku

nabati lainnya (Muray, 2004). Asam amino pembatas pada tepung bungkil kedelai

adalah metionin dan lisin, sedangkan arginin dan phenilalanin mempunyai jumlah

yang cukup (Yamamoto et al., 1994 dalam Abidin, 2006). Namun menurut

Suprayudi et al. (1999), tepung kedelai juga memiliki keterbatasan nutrisi yang

terkait dengan rendahnya kecernaan dan energi, defisiensi mineral, kandungan

oligosakarida yang tidak tercerna dan faktor anti-nutrisi yang menyebabkan

penurunan pertumbuhan. Berdasarkan data yang tersedia, kecernaan asam amino

dari tepung bungkil kedelai oleh ikan channel catfish lebih baik dari pada

kecernaan proteinnya (Hertrampf dan Felicitas, 2000).

Tepung Biji Karet

Tepung biji karet merupakan salah satu bahan baku alternatif dari pakan

ikan. Keunggulan tepung biji karet adalah tepung biji karet dihasilkan dari biji

tanaman karet yang merupakan tanaman perkebunan yang paling banyak ditanam

di Indonesia, sehingga ketersediaannya dalam jumlah besar relatif terjamin. Selain

itu biji karet selama ini merupakan biji yang disia-siakan atau belum dimanfaatkan

dan tidak dapat dimakan langsung. Biji karet terdiri atas kulit luar yang keras dan

intinya banyak mengandung minyak (Murni et al., 2008).

Dilihat dari komposisi kimianya, kandungan protein tepung biji karet

sangatlah tinggi (Tabel 1 dan 2). Selain kandungan protein yang cukup tinggi,

pola asam amino biji karet juga sangat baik. Asam amino yang paling banyak

terkandung dalam tepung biji karet adalah asam glutamik, asam aspartik dan

leucine sedangkan methionine dan cystine merupakan kandungan asam amino

yang terendah (Tabel 3).

8

Page 10: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Tabel 1. Analisis proksimat tepung biji karet dan beberapa kandungan kimia (100 g berat kering)

Komposisi proksimat Kandungan (%)

Air (%) 3,6Abu (%) 3,4Protein (%) 27,0Lemak (%) 32,3BETN (%) 33.7Tiamin (µg) 450,0Asam nikotinat (µg) 2,5Akroten dan Tokoferol (µg) 250,0Sianida (mg) 330,0Sumber: Murni et al. (2008)

Tabel 2. Analisis proksimat tepung biji karet dari alam dan budidaya (berat kering)Komposisi (%) Biji karet alam Biji karet budidayaKadar Air 14,1 ± 7,0 2,6 ± 0,4Kadar abu kasar 9,7 ± 2,5 2,3 ± 0,2Kadar protein kasar 10,3 ± 1,7 21,9 ± 1,2Kadar lemak kasar 6,4 ± 1,1 15,8 ± 1,9BETN 73,7,4 ± 5,1 65,1 ± 5,2Sumber: Oyewusi et al. (2007).

Tabel 3. Susunan asam amino tepung biji karet dari alam dan budidaya (g/kg protein)Asam Amino Biji karet alam Biji karet budidayaGlutamic acid (Glu) 93.10 112.50 Aspartic acid (Asp) 76.00 80.40 Leucine (Leu) 51.60 71.90 Arginine (Arg) 46.00 51.10 Lysine (Lys) 39.50 49.90 Phenylalanine (Phe) 38.90 49.00 Glycine (Gly) 32.60 40.10 Valine (Val) 31.70 38.30 Isoleucine (Iso) 30.10 35.10 Tyrosine (Try) 29.00 33.80 Serine (Ser) 21.00 30.20 Alanine (Ala) 17.80 23.90 Histidine (His) 20.10 23.50 Threonine (Thr) 20.50 23.30 Proline (Pro) 20.20 18.10 Methionine (Met) 10.70 14.90 Cystine (Cys) 9.90 14.60 Sumber: Oyewusi et al. (2007).

9

Page 11: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Agar biji karet dapat dimanfaatkan maka harus diolah terlebih dahulu

menjadi konsentrat (Zuhra, 2006). Menurut George (1985), konsentrat adalah

hasil pemekatan fraksi protein biji karet yang kadar proteinnya sudah tinggi

menjadi lebih tinggi lagi. Dalam pembuatannya, fraksi protein akan lebih tinggi

kadarnya dengan cara mengurangi atau menghilangkan lemak atau komponen-

komponen non protein lain yang larut. Walaupun mempunyai kandungan nutrien

relatif baik, biji karet memiliki zat anti nutrien yaitu asam sianida (HCN) atau

prussic acid. Asam sianida merupakan salah satu racun yang tergolong kuat dan

sangat cepat cara bekerjanya (Murni et al., 2008). Zuhra (2006) menambahkan

bahwa asam sianida yang terkandung dalam biji karet dapat dihilangkan melalui

proses perendaman selama 24 jam dengan pergantian air yang sering dan atau

melalui perebusan terbuka.

Kecernaan pada Ikan

Dalam budidaya ikan dengan pemberian pakan, perlu mengetahui saat ikan

menerima pakan tersebut. Tingkat penerimaan dipengaruhi oleh napsu makan

ikan. Mekanisme napsu makan ini berkaitan erat dengan keliatan (Strech)

lambung dan kandungan metabolit darah (Vahl, 1979). Apabila kepenuhan

lambung menurun, lapar meningkat dan kemungkinan makan menjadi meningkat.

Tingkat lapar yang tinggi cendrung terjadi pada saat lambung mendekati kosong.

Brett (1971) mengatakan bahwa efektivitas pakan optimal terjadi pada tingkat

kurang dari konsumsi maksimal. Kandungan oksigen terlarut dan suhu air akan

mempengaruhi napsu makan ikan (Elliot, 1979).

Kecernaan merupakan kombinasi mekanik dan kimia pada proses

penghancuran pakan menjadi bentuk yang lebih sederhana yang siap diserap oleh

dinding usus dan masuk kedalam sistem pembuluh darah melalui proses

menggunakan enzim. Kemampuan cerna terhadap suatu jenis pakan bergantung

kepada kualitas dan kuantitas pakan, bahan pakan, kandungan gizi pakan, jenis

serta aktivitas enzim-enzim pencernaan pada sistem pecernaan ikan, ukuran dan

umur ikan serta sifat fisik dan kimia perairan (NRC, 1983).

Nutrient dari bahan yang berbeda mungkin dicerna dengan tingkat yang

berbeda. Hal ini berhubungan dengan sumber dan komposisi bahan-bahan

10

Page 12: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

makanan. Pakan yang berasal dari bahan nabati biasanya lebih sedikit dicerna

dibanding dengan bahan hewani. Bahan nabati umumnya memiliki serat kasar

yang sulit dicerna dan mempunyai dinding sel kuat yang sulit dipecahkan

(Hepher, 1988). Kecernaan pakan juga dipengaruhi oleh proses dan metode

pengolahan bahan-bahan tersebut, sebab dari beberapa bahan makanan yang perlu

penanganan khusus karena keberadaan zat inhibitor dalam bahan makanan,

contohnya pemanasan 127 – 204oC dapat meningkatkan kecernaan protein tepung

kedelai dari 45% menjadi 75% (NRC, 1993). Faktor penting yang mempengaruhi

kecernaan adalah komponen pakan. Mokoginta (1997) menyatakan bahwa

perbedaan komposisi bahan dan zat makanan dalam ransum dapat mempengaruhi

kecernaan protein dan total ransum.

Analisa kecernaan baik pada pakan maupun bahan pakan dapat dilakukan

dengan mengumpulkan feses. Selama pakan melalui saluran pencernaan, tidakn

semua pakan dicerna dan diserap. Bagian yang tidak dicerna dibuang dalam

bentuk feses (Hepherm 1988). Kecernaan pakan dan nutrient dapat ditentukan

dengan menggunakan indikator yang mempunyai sifat mudah diindentifikasi atau

tidak diserap sehingga dapat melewati salarun pencernaan. Bahan Cr2O3 dapat

digunakan sebagai indikator dalam menentukan kecernaan pakan dengan asumsi

semua khrom trioksida ikan melalui sistem pencernaan dan terlihat dalam feses

(NRC, 1983). Watanabe (1988) menyatakan bahwa Cr2O3 yang digunakan pada

pada penentuan kecernaan ikan adalah 0,5-1,0%.

11

Page 13: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

BAHAN DAN METODA

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Maret

2010 di Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rancangan Percobaan

Ada tiga rangkaian penelitian yang akan dilakukan, yaitu:

1. Percobaan tentang menghilangkan zat anti nutrien (asam sianida),

2. Percobaan tentang kecernaan dan

3. Percobaan tentang pertumbuhan ikan

1. Percobaan Pengurangan Asam Sianida

Percobaan akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga

perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuannya adalah perendaman, pengukusan,

pengeringan dan kombinasi pengukusan dan pengeringan. Perendaman akan

menggunakan kapur tohor. Parameter yang diuji adalah kandungan asam sianida

dalam bahan.

2. Percobaan Kecernaan Pakan pada Ikan Lele

Hasil terbaik dari percobaan pertama (1) akan digunakan pada uji

kercenaan ikan. Pakan uji adalah tepung biji karet yang diekstrak (BKE) dan tidak

diekstrak (BKTE) lemaknya. Ekstraksi kandungan lemak menggunakan etanol

BKE akan ditambahkan dalam pakan komersial ikan lele sebanyak 10, 20 dan

30%. BKTE akan ditambahkan dalam pakan komersial sebanyak 0, 10, 20 dan

30%. Pakan uji tersebut diberi 0,5% indikator kecernaan (Cr2O3). Lama percobaan

adalah 14 hari. Feses akan dikoleksi 30 – 60 menit setelah pemberian pakan.

Parameter yang diukur adalah kecernaan pakan, protein dan energi.

12

Page 14: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

3. Percobaan Pertumbuhan pada ikan Lele

Percobaan akan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga

perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuannya adalah BKE, BKTE (percobaan 2) dan biji

karet tanpa perlakuan (20% BKTP). Lama percobaan adalah 40 hari. Parameter

yang diuji adalah kelangsungan hidup, pertumbuhan relatif, efisiensi pakan,

retensi protein/lemak dan indeks hepatosomatik.

Pakan Uji

Biji karet yang digunakan berasal dari perkebunan karet di Desa Pondok

Meja, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi. Tepung biji

karet sebelum dan setelah diberi perlakuan akan dianalisis komposisi proksimat

dan asma aminonya sesuai dengan AOAC (Lampiran 1) serta zat anti nutrient

(asam sianida) dengan metode spectrofotometer.

Pakan komersial ikan lele dengan kandungan protein 24 – 26% akan

digunakan sebagai pakan uji. Pakan komersial tersebut akan ditepung dan

kemudian dianalisis proksimat. Tepung biji karet sesuai dengan perlakuan dan

Cr2O3 serta pakan komersial uji akan ditimbang sesuai dengan perlakuan,

dicampur secara merata, dicetak berbentuk pelet dengan diamter 3 mm dan

dikeringkan serta disimpan dalam kantong plastik berlabel sesuai dengan

perlakuan. Pakan uji tersebut kemudian akan dianalisis proksimat, kandungan

Cr2O3 dan kandungan asam sianidanya sesuai dengan perlakuan percobaan.

Ikan Uji

Hewan uji yang akan digunakan adalah ikan lele (Clarias spp) yang dibeli

dari petani ikan di Bogor. Ukuran ikan uji tersebut berkisar 10 - 11 cm. Jumlah

ikan lele uji tersebut adalah 1.200 ekor. Ikan uji akan dibawa dengan sistem

transportasi tertutup, yaitu dengan menggunakan kantung plastik yang berisi

oksigen. Setelah sampai di lokasi penelitian, ikan uji akan ditampung dalam tiga

buah bak bervolume 200 liter air dan diberi pakan komersial uji sekenyangnya

pada pagi, siang dan sore hari selama 10 – 14 hari sebagai proses aklimatisasi ikan

uji terhadap kondisi lingkungan percobaan.

13

Page 15: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Pemeliharaan Ikan Uji

1. Percobaan Pertumbuhan

Setelah dilakukan aklimatisasi, ikan uji akan dipuasakan selama 24 jam

untuk menghilangkan sisa pakan dalam saluran pencernaan ikan. Sebanyak 360

ekor ikan yang mempunyai ukuran relatif sama akan dipilih dan kemudian diukur

panjang total dan bobot individunya sebanyak 72 ekor. Ikan tersebut kemudian

akan dimasukan secara acak ke dalam 24 buah akuarium masing-masing dengan

kepadatan 25 ekor per akuarium. Untuk memenuhi kepadatan ikan 25 ekor per

akuarium, lima ekor ikan uji akan ditimbang bobotnya.

Akuarium yang akan digunakan berukuran 50 x 40 x 35 cm. Akuarium

akan disterilisasi dengan menggunakan kaporit. Kemudian, sistim resirkulisasi

dan aerasi akan dipasang. Bak penampungan sistim resirkulasi tersebut akan

dipasang heater untuk mempertahankan suhu air sekitar 30 – 31oC. Setiap

akuarium akan diisi air setinggi 80% dari total tinggi akuarium. Bagian atas

akuarium akan ditutupi oleh plastik sebagai upaya pencegahan ikan melompat.

Penambahan air dalam bak penampungan akan dilakukan pada saat volume air

berkurang sekitar 40% dari total volume air.

Ikan uji yang mati pada hari pertama akan diganti sesuai dengan bobot

ikan yang mati. Ikan uji akan diberi pakan uji secara satiasi (sekenyangnya)

selama 40 hari pada pagi (pukul 07.00-08.00), siang (12.00-13.00) dan sore hari

(17.00-18.00). Pada saat pemberian pakan, sistim aerasi dimatikan. Suhu air dan

jumlah pakan uji setiap pemberian pakan akan dicatat. Pakan yang diberikan

adalah berat pakan sebelum diberikan dikurangi dengan berat pakan tersisa. Ikan

yang mati selama masa pemeliharaan akan diamati dan ditimbang. Kotoran ikan

dalam wadah pemeliharaan akan disipon pada pagi dan sore hari sebelum

pemberian pakan dilakukan. Pada akhir masa pemeliharaan, bobot populasi akan

ditimbang per 5 (lima) ekor per wadah. Agar tidak stres selama proses

penimbangan, ikan akan dibius dengan menggunakan 2-phenoxy ethanol 0.5

mg/liter.

Sebelum dan setelah percobaan, ikan uji akan dikorbankan sebagai subyek

analisis proksimat. Tambahan, hati dan darah ikan uji sebelum dan setelah

percobaan juga akan diamati.

14

Page 16: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

2. Percobaan Kecernaan Pakan

Percobaan ini akan menggunakan tujuah akurium yang masing-masing

berkuruan 50 x 40 x 35 cm. Posisi akuarium akan dibuat miring dengan sudut 10 –

20o. Waring berbentuk segi empat yang berukuran lebih kecil dari akuarium dan

aerator akan dipasang pada setiap wadah uji. Akuarium tersebut akan diisi air

setinggi 25 cm dan kemudian diberi tutup agar ikan tidak melompat.

Setelah diaklimatisasi terhadap kondisi percobaan selama tujuh hari, ikan

uji akan ukur panjang dan bobotnya dan kemudian ditebar secara acak ke dalam

akuarium dengan kepadatan 25 ekor per akuarium. Pakan uji akan diberikan

kepada ikan sekenyangnya pada jam 08.00, 12.00 dan 16.00. Feses ikan akan

diambil dengan cara penyiponan 30 – 60 menit setelah pemberian pakan. Feses

tersebut akan ditampung dalam botol film berlabel dan kemudian dikeringkan

serta disimpan dalam suhu dingin (lemari es). Masa percobaan adalah 14 hari.

Pakan uji, ikan uji sebelum dan setelah percobaan serta feses akan

digunakan sebagai subyek analisis proksimat dan kandungan Cr2O3.

Analisis Kimia

Kadar air diukur dengan metoda pemanasan dalam oven pada suhu 105-

110 OC selama 4 (empat) jam. Kandungan protein akan dianalisis dengan metoda

Kjedahl, lemak dengan metoda ekstraksi menggunakan alat soxlet, kadar abu

melalui pemanasan sampel dalam tanur pada suhu 400-600OC. Kadar serat kasar

akan diukur dengan metoda pelarutan sampel dalam asam dan basa kuat serta

pemanasan. Kandungan energi diukur dengan metode perhitungan. Lemak tubuh

akan dianalisis dengan menggunakan metode Folch (Takeuchi, 1988). Kandungan

Cr2O3 akan dikur dengan menggunakan spektrofotometer yang memiliki panjang

gelombang 350 nm.

Pengamatan Histologi Hati

Histologi hati dilakukan untuk melihat terjadinya penumpukan lemak dan

perbedaan keadaan hepatosit pada setiap perlakuan. Pengambilan sampel hati

dilakukan pada akhir dan penelitian. Hati akan langsung diambil sesaat setelah

ikan mati dan dimasukkan dalam larutan Bouin. Pembuatan preparat histologi hati

15

Page 17: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

dilakukan dengan metode pewarnaan hematoksilin-eosin. Hasil histologi

selanjutnya akan diamati dengan mikroskop pada pembesaran 1000x.

Pengamatan Gambaran Darah

Gambaran darah dilakukan untuk melihat apakah pemberian tepung biji

karet dalam pakan dapat menimbulkan perubahan komposisi darah pada ikan uji.

Pengambilan darah dilakukan pada sebelum dan sesudah penelitian. Pengamatan

gambaran darah meliputi diferensial leukosit dengan pewarnaan giemsa, kadar

hemoglobin (Hb) dilakukan dengan metode Sahli, hematokrit, sel darah merah

(total eritrosit), sel darah putih (total leukosit), indeks fagositik dan titer antibodi

(bacterial agglutination). Prosedur gambaran darah tercantum pada Lampiran 2.

Parameter Uji

Kelangsungan Hidup.

Tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate, SR) akan dihitung

berdasarkan persamaan (Zonneveld et al., 1991):

Pertumbuhan Relatif

Pertumbuhan relatif (PR) akan dihitung dengan menggunakan rumus:

Notasi : Wt = Biomassa ikan akhir pemeliharaan(gram) W0 = Biomassa ikan awal pemeliharaan (gram)PR = Pertumbuhan relative (%)

Efisiensi Pakan

Efisiensi pakan (EP) akan dihitung dengan menggunakan rumus:

Notasi : Wt = bobot total ikan pada akhir pemeliharaan (gram) 16

SR (%) =∑ total ikan akhir (ekor)

x 100%∑ total ikan awal (ekor)

PR (%) =Wt – W0

x 100%/hariW0

EP (%) =[(Wt + Wd) – W0] x 100%

F

Page 18: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

W0 = bobot total ikan pada awal pemeliharaan(gram)Wd = bobot total ikan yang mati selama pemeliharaan

(gram)F = jumlah pakan yang diberikan (gram)

Retensi Protein (RP)/Lemak (L)

Nilai retensi protein/lemak akan dihitung berdasarkan persamaan

(Takeuchi, 1988):

Notasi : F = jumlah protein/lemak tubuh pada akhir pemeliharaan (gram)

I = jumlah protein/lemak tubuh pada awal pemeliharaan (gram)

P/L = jumlah protein/lemak yang dikonsumsi ikan (gram)

Kecernaan Protein dan Kecernaan Total

Kecernaan protein =

Kecernaan total =

Energi Tercerna = Ep - Ef x n n’

Notasi : a = % Cr2O3 dalam pakana’ = % Cr2O3 dalam fesesb = % protein dalam pakanb’ = % protein dalam fesesEp = Energi pakan (kkal/100 g)Ef = Energi feses (kkal/100 g)n = mg Cr2O3 / g pakann’ = mg Cr2O3 / g feses

17

RP/L (%) =(F - I)

x 100%P/L

Kecernaan energi =Energi tercerna

x 100%Energi pakan

Page 19: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Pengujian kinerja hati dan ginjal

Pengujian kinerja hati dan ginjal dilakukan untuk membandingkan

keadaan organ hati dan ginjal sebelum dan sesudah diberi pakan tepung biji karet

melalui warna, kadar lemak kering dan preparat histologis. Selanjutnya dilakukan

perhitungan nilai hepatosomatik indeks (HSI) untuk setiap perlakuan pada akhir

perlakuan.

Keterangan: * dalam bobot basah

Analisis Statistik

Parameter yang diukur akan dianalisis dengan menggunakan komputer

dengan program SPPS ver 11.0 for Windows. Perbedaan antar perlakuan dapat

diketahui melalui hasil pengujian menggunakan uji F (sidik ragam) dengan selang

kepercayaan 99 dan atau 95%. Apabila uji F memberikan hasil yang berbeda

nyata, dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

18

HSI =Bobot organ hati*

x 100%Bobot tubuh ikan uji*

Page 20: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z. 2006. Pengaruh kadar tepung bungkil kelapa sawit dalam pakan ikan lele (Clarias sp). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor.

Anonimus. 2007. Data statistik produksi perikanan tahun 2000-2007 di Jawa Barat. http://dinas perikanan provinsi jawa barat.com. 13 Juni 2009.

Anonimus. 2008. Data statistik budidaya perikanan Indonesia tahun 2007. Direktorat Jendral Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Anonimus. 2009. Sinkronisasi Kebijakan Pemerintah dan Stakeholder dalam Produksi Pakan Ikan untuk Mendukung Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya dalam Menghadapi dampak Krisis Global. Temu Pakan Nasional 19 - 20 Maret 2009. Bandung.

Breet, J. R. 1971. Satiation time, appetite and maximum food intake of sockeye salmon (Onchorhynchus nerka). J. Fish Res. Bd. Can., 28: 409-415.

Catacutan, M.R and R.M. Coloso. 1997. Growth of juvenile asian seabass, Lates calcarifer fed varying carbohydrates and lipid levels. Aquaculture, 149: 137-144.

Chuapoehuk, W. 1987. Protein requirement of walking catfish, Clarias batrachus (Linnaeus) fry. Aquaculture, 63 : 215-219.

Cho, C,Y., C.B. Cowey and T. Watanabe. 1985. Finfish nutrition in asia: methodological approaches to research and development. IDRC, Ottawa, 154 pp.

Elliot, J. M. 1979. The nutritional requirement of cultived warm water and cold water fish spesies. FAO, FIR: AQ/conf./76/R.31

Furuichi, M. 1988. Dietary requirement, p. 8-78. In Watanabe, T. (ed.). Fish nutrition and marinculture. Departement of aquatic bioscience. Tokyo University of Fisheries. JICA.

Halver, J. E. 1989. Fish nutrition. Academic Press, Inc. California. 113-149p

Hasan, M. R. 2000. Nutrition and feeding for sustainable aquaculture development in the third millennium. [Article]. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third millennium, Bangkok, Thailand. Bangkok. 36 pp

19

Page 21: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Hastings, W. H. 1976. Fish nutrition and fish feed manufacture, Rep. From FAO, FIR: AQ/Conf?76?R, 73. Rome, Italy. 13 p.

Hepher, B. 1988. Nutrition and ponds fishes. Cambridge University Press. Cambridge, New York.

Hertrampf, J. W dan Felicitas, P. P. 2000. Handbook on ingredients for aquaculture feeds. Londons. 192 - 218 pp.

Jobling, M. Gomez, E. Diaz, J. 2002. Feeds types manufacturer and ingredient 31-39 p in food intake fish (Houlihan D, Boujard T, Jobling, M.eds). Blackwell Science Ltd. Osney Mead. Oxford.

Kompas, 05 Agustus 2005. Limbah sawit bernilai ekonomis. http://www.kompas.com/kompas_cetak/060805/ekonomi/2860110.htm. [14 Juni 2009].

Lovell, R.T. 1989. Nutrition and feeding of fish. New York Van Nostrand Reinhold, p. 11-91.

Mayasari, N. 2005. Penggunaan metionin dan taurin pada kadar yang berbeda dalam pakan ikan lele dumbo. Skripsi. Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. 35 p.

Muray, D. D. 2004. Canola protein concentrate as a feed ingredient for salmonid fish. In: Cruz Suarez, L. E., Ricque Marie, D,.Nieto Lopez, M. G., Villarreal, D,. Scolzs, U. Y Gonzales, M. 2004. Avances an nutricion acuicola VII. Memories del VII symposium Internacionale de Nutriticion acuicola, 2004. Hermosillo, Sonora. Mexico.

Murni, R., Suparjo, Akmal, B. L. Ginting. 2008. Buku ajar teknologi pemanfaatan limbah untuk pakan. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi. Jambi.

Mokoginta, I. 1986. Kebutuhan ikan lele (Clarias batrachus Linn) akan asam-asam lemak linoleat dan linolenat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. 66 p.

___________. 1997. Kebutuhan nutrisi ikan gurame (Osphronemus gouramy Lac) untuk pertumbuhan dan reproduksi. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/4. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 3-8 p.

NRC. 1983. Nutrient requirement of warmwater fishes dan shellfishes (Rev. Ed.). Acad. Press. Washington DC. 86pp.

____. 1993. Nutrien requirement of fish. National academy of Science. Washington DC. 114pp.

20

Page 22: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Oyewusi, P. A, E.T. Akintayo and O. Olaofe. 2007. The proximate and amino acid composition of defatted rubber seed meal. Journal of Food, Agriculture & Environment Vol.5 (3&4): 115-118.

Peres, H. and Teles A. O. 1999. Effect of Dietary Lipid Level On Growth Performance and Feed Utilization By European Sea Bass Juvenil (Dicentrarchus labrax). Aquaculture, 179 : 325-334.

Eyo, J. E dan Ezechie C U. 2004. The effects of rubber (havea brasiliensis) seed meal based diets on diet acceptability and growth performance of heterobranchus bidorsalis (%) x clarias gariepinus (&) hybrid. Journal of Sustainable Tropical Agriculture Research (2004): Volume 10: 20 - 25.

Prawirodigdo, S. 2007. Urgensi evaluasi bahan pakan asli indonesia sebagai pilar utama untuk menopang usaha ayam lokal. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkayam-lkl05-20.pdf. [24 Juni 2009].

Rabegnatar, I. N. S. dan Wahyu H. 1992. Estimasi Perbandingan Optimal Energi dan protein Dalam Pakan Buatan Untuk Pembesaran Benih Ikan Lele (Clarias bratachus) Dalam Budidaya Keramba Jaring Apung. Pros. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar. Balai Penenlitian Perikanan Air Tawar. Bogor. 19-28 p.

Siagian, P. H., H. C. H. Siregar dan Saludink. 1992. Pengaruh penggunaan bungkil biji karet dalam ransum dengan penambahan metionin terhadap penampilan dan nilai karkas ternak babi. Abstrak. Fakultas Peternakan. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyaratkat, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suara Pembaharuan. 28 Agustus 2004. Kebutuhan pakan ternak pada 2010 capai 13 juta ton. Suara Pembaruan Daily. http://www.suara pembaharuan.com/news/2004/08/26ekonom/eko04.htm.[14 Juni 2009].

Suprayudi, M.A, Bintang M, Takeuchi T, Mokoginta I, and Sutardi T. 1999. Defatted soybean meal as an alternatif source to subtitute fish meal in the feed of giant gouramy (Osphronemus gouramy Lac.). Sanzoshoku. 47(4): 551-557.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory Work Chemical Evaluation of Dietary Nutrition. p. 179 – 229. In Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture JICA Textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.

Utomo, N.B.P et al. 1999. Pengkajian pemanfaatan bahan lokal untuk pengganti komponenen impor pada pakan ikan. Bogor: Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. 31 p.

21

Page 23: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Vahl, O. 1979. An hypothesis on the control of food intake in fish. Aquaculture, 17: 221-229.

Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Department of aquatic bioscience. tokyo university of fisheries. JICA. 223 pp.

Wawa, J.E. 2006. Tepung ikan naik 150 persen. Kompas Cyber media Jumat, 18 Agustus 2006. Jakarta.

Wilson, R.P. 1994. Utilization of dietary carbohydrate by fish. Aquaculture, 124: 76-80.

Zuhra, C. F. 2006. Karet. Karya Ilmiah. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan. 30 pp.

Zonneveld, N, Huisman E. A. Boon, J. H. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 p.

22

Page 24: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

23

Page 25: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat bahan pakan dan tubuh ikan

A. Kadar Protein

Tahap Oksidasi

1. Sampel ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam labu

Kjeldahl.

2. Katalis (K2SO4+CuSo4.5H2O) dengan rasio 9:1 ditimbang sebanyak 3

gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

3. 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan kemudian

labu tersebut dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion pada suhu 400oC selama

3-4 jam sampai terjadi perubahan warna cairan dalam labu menjadi hijau

bening.

4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilasi 100 ml. Kemudian

larutan dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades

sampai volume larutan mencapai 100 ml. Larutan sampel siap didestilasi.

Tahap Destilasi

1. Beberapa tetes H2SO4 dimsukkan ke dalam labu, sebelumnya labu diisi

setengahnya dengan akuades untuk menghindari kontaminasi oleh ammonia

lingkungan. Kemudian didihkan selama 10 menit.

2. Erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0.05 N dan ditambahkan 2 tetes indicator

methyl red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara

dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

3. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong

yang kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30%

lalu dimasukkan melalui corong tersebut dan ditutup.

4. Campuran alkaline dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10

menit terjadi pengembunan pada kondensor.

5. Labu erlenmeyer diturunkan hingga ujung pipa kondensor berada di leher

labu, diatas permukaan larutan. Kondensor dibilas dengan akuades selama 1-2

menit.

24

Page 26: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat........

Tahap Titrasi

1. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0.05 N.

2. Volume hasil titrasi dicatat.

3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko.

Kadar Protein (%) = 0.0007 * x (Vb – Vs) x 6.25 ** x 20 x 100%S

Keterangan : Vb = Volume hasil titrasi blanko (ml)

Vs = Volume hasil titrasi sampel (ml)

S = Bobot sampel (gram)

* = Setiap ml 0.05 NaOH ekivalen dengan 0.0007 gram Nitrogen

** = Faktor Nitrogen

B. Kadar Lemak

Metode ekstraksi Soxhlet

1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110o dalam waktu 1 jam.

Kemudian didiinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot

labu tersebut (X1)

2. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (A), dan dimasukkan ke dalam

selongsong tabung filter dan dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat

diletakkan di atasnya.

3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong

terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu.

4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water

bath sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening.

5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap.

6. Labu dan lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit,

kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2)25

Page 27: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat ........

Metode Folch

1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110oC selama 1 jam,

didinginkan dalam desikaotr selama 30 menit kemudian ditimbang (X1).

2. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas

homogenize dan ditambahkan larutan kloroform / methanol (20xA) , sebagian

disisakan untuk membilas pada saat penyaringan.

3. Sampel dihomogenizer selama 5 menit setelah itu disraing dengan vacuum

pump.

4. Sampel yang telah disaring tersebut dimasukkan dalamlabu pemisah yang

telah diberi larutan MgCl2 0.03 N(0.2xC), kemudian dikocok dengan kuat

minimal selama 1 menit kemudian ditutup dengan aluminium foil dan

didiamkan selama 1 malam.

5. Lapisan bawa yang terdapat dalam labu pemisah disaring ke dalam labu

silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroform / methanol yang

terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang

(X2)

Kadar Lemak (%) = X2 –X1 x 100%A

C. Kadar Air

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan

kemudian dimasukkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang

(X1)

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam

kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2)

Kadar Air (%) = (X1+A)-X2 x 100%A

26

Page 28: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

Lanjutan Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat ........

D. Kadar Abu

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan

kemudian dimasukkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam tanur pada suhu 600oC sampai

mnejadi abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan

ditimbang (X2)

Kadar Abu (%) = X2 –X1 x 100% A

E. Kadar Serat Kasar

1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC setelah

itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1)

2. Sampel ditimbang sebnayak 0.5 gram (A) dimasukkan kedalam

Erlenmeyer 250 ml

3. H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer kemudian

dipanaskan di atas pembakar Bunsen selama 30 menit. Setelah itu NaOH 1.5 N

sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer dan dipanskan kembali

selama 30 menit.

4. Larutan dan bahan yang telah dipanaskan kemudian disraing dalam corong

Buchner dan dihubungkan pada vacuum pump untuk mempercepat filtrasi.

5. Larutan dan bahan yang ada pada corong Buchner kemudaian dibilas

secara berturut-turut dengan 50 ml air panas, 50 ml H2SO4 0.3 N, 50 ml air

panas, dan 25 ml acetone.

6. Kertas saring dan isinya dimasukkan dalam cawan porselin, lalu

dipanaskan dalam oven 105-110oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam

desikator 5-15 menit dan ditimbang (X2).

27

Page 29: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

7. Setelah itu dipanaskan dalam tanur 600oC hingga berwarna putih atau

menjadi abu (± 4 jam). Kemudian dimasukkan dalam oven 105-110oC selama

15 menit, didinginkan dalam desikator selama 5-15 menit dan ditimbang (X3).

Kadar Serat Kasar (%) = (X2 – X1 – X3) x 100% A

Lampiran 2. Prosedur pengamatan gambaran darah ikan

A. Preparat Ulas Untuk Diferensial Leukosit

1. Pegang gelas obyek dengan telunjuk dan ibu jari.

2. Teteskan sedikit darah pada gelas obyek bersih bagian sebelah kanan.

3. Letakkan gelas obyek lain disebelah kiri tetesan darah membentuk sudut 300.

Tarik gelas obyek ke kanan sampai menyentuh darah tersebut.

4. Setelah darah menyebar sepanjang tepi gelas obyek kedua, dorong gelas obyek

kedua tersebut ke kiri dengan tetap membentuk sudut 300 agar didapat preparat

darah yang cukup tipis sehingga mudah diamati. Setelah itu ulasan dikering

udarakan.

Untuk memudahkan pengamatan maka darah dapat diwarnai dengan

pewarna Giemsa. Dimana prosedurnya adalah sebagai berikut:

1. Darah yang baru diulas di gelas obyek dikeringudarakan (fiksasi udara),

kemudian fiksasi dalam larutan methanol selama 5-10 menit.

2. Rendam preparat ulas dalam larutan Giemsa yang diencerkan (1:20) selama

10-15 menit.

3. Bilas dengan aquades dan keringkan kemudian ditutup dengan gelas penutup,

setelah itu amati di bawah mikroskop.

Presentase sel-sel leukosit dihitung dengan cara mengamati sebanyak 10

lapang pandang dan masing-masing jenis leukosit yang terhitung dikelompokkan

dan dipersenkan menurut jenisnya.

B. Perhitungan Kadar Hemoglobin (Hb)

Metode Sahli

1. Darah diisap dengan pipet sahli sampai skala 20 mm3 atau pada skala 0, 2 mL,

bersihkan ujung pipet dengan kertas tisu.

2. Pindahkan darah dalam pipet ke dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCl

0,1 N sampai skala 10 (merah), aduk dan biarkan selama 3 sampai 5 menit.

28

Page 30: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

3. Tambahkan aquades sampai warna darah dan HCl tersebut seperti warna

larutan standar yang ada dalam Hb meter tersebut.

4. Baca skala dengan melihat permukaan cairan dan dikocokkan dengan skala

tabung sahli yang dilihat pada skala jalur gr % (kuning) yang berarti

banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah.

C. Perhitungan Kadar Hematokrit

1. Celupkan salah satu ujung tabung mikrohematokrit ke dalam tabung yang

berisi darah. Darah akan merambat secara kapiler sampai mencapai ¾ bagian

tabung.

2. Tutup ujung tabung tersebut yang telah berisi darah dengan crytoceal dengan

cara menancapkan ujung tabung ke dalam crytoceal kira-kira sedalam 1 mm

sehingga terbentuk sumbat crytoceal.

3. Sentrifugasi tabung mikrohematokrit tersebut dengan kecepatan 5000 rpm

selama 5 menit dengan posisi tabung yang bervolume sama berhadapan agar

putaran sentrifuse seimbang.

4. Ukur panjang bagian darah yang mengendap (A) serta panjang total volume

darah yang terdapat di dalam tabung (B). Kadar hematokrit ini mencerminkan

banyaknya sel darah (digambarkan dengan padatan atau endapan) dalam

cairan darah. Cara perhitungan nilai kadar hematokrit adalah sebagai berikut:

D. Perhitungan Sel Darah Merah (Eristrosit Total)

1. Darah diisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai

skala 1 (pipet untuk mengukur sel darah merah).

2. Tambahkan larutan Hayem’s sampai skala 101, pengadukan darah di dalam

pipet dilakukan dengan mengayunkan tangan yang memegang pipet seperti

membentuk angka delapan selama 3-5 menit sehingga darah tercampur rata.

3. Buang dua tetes pertama larutan darah dalam pipet, selanjutnya teteskan pada

haemocytometer tipe Neuber dan tutup dengan gelas penutup.

29

nilai kadar hematokrit =A

x 100%B

Page 31: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

4. Hitung jumlah sel darah merah dengan bantuan mikroskop dengan

pembesaran 400 x. jumlah eritrosit total dihitung sebanyak 10 kotak kecil dan

konversikan menurut jumlah total kotak kecil sehingga didapatkan jumlah sel

darah merah per mili liter.

D. Perhitungan Sel Darah Merah

1. Hisap darah dengan pipet yang berisi bulir pengaduk berwarna putih sampai

skala 0,5.

2. Tambahkan larutan Turk’s sampai skala 11, pipet diayun membentuk angka 8

(sama dengan pengadukan untuk perhitungan jumlah sel darah merah) selama

3-5 menit sehingga darah bercampur rata.

3. Buang dua tetes pertama larutan darah dari dalam pipet, kemudian teteskan

larutan pada Haemocytometer kemudian ditutup dengan gelas penutup. Cairan

akan memenuhi ruang hitung secara kapiler.

4. Hitung jumlah sel darah putih atau leukosit total dengan bantuan mikroskop

dengan perbesaran 400 X. Jumlah leukosit total dihitung dengan cara

menghitung sel yang terdapat dalam 5 kotak besar, lalu konversikan angka

tersebut menurut jumlah total kotak besar sehingga didapatkan jumlah sel

darah putih per mili liter.

E. Indeks Fagositik

1. Sebanyak 50 µl darah dimasukkan ke dalam enppendorf, ditambahkan 50 µl

suspensi Staphylococcus aereus dalam PBS (107 sel/ml).

2. Dihomogenkan dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 20 menit.

3. Sebanyak 5 µl dibuat sediaan ulas dan dikeringkan di udara.

4. Di fiksasi dengan methanol selama 5 menit dan dikeringkan.

5. Direndam dalam pewarna Giemsa selama 15 menit.

6. Dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan dengan tisu.

7. Dihitung jumlah sel yang menunjukkan proses fagositosis dari 100 sel fagosit

yang teramati.

30

Page 32: Proposal+Penelitian Draft 4 (1)

F. Titer Antibodi (Bacterial agglutination)

1. Darah disentrifuse pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah serum

terpisah dari sel darah, serum dipindahkan ke eppendorf dan diinkubasi pada

suhu 440C selama 20 menit.

2. PBS dimasukan ke dalam mikroplate pada lubang 1 sampai 12, masing-

masing sebanyak 25 µl.

3. Sebanyak 25 µl serum dimasukkan ke mikroplate lubang ke 1, selanjutnya

dilakukan pengenceran serial dari lubang ke 1 sampai 11.

4. Bakteri Aeromonas (konsentrasi 108 cfu/ml) dimasukkan kedalam mikroplate

pada lubang 1-12, masing-masing sebanyak 25 µl.

5. Mikroplate digoyang-goyang perlahan untuk menghomogenkan campuran

dalam lubang.

6. Mikroplate disimpan dalam inkubator suhu 37 0C selama 2 jam kemudian

disimpan dalam refrigerator (4 0C) selama semalam.

7. Tentukan titer antibodi dari lubang terakhir yang masih ditemukan aglutinasi.

31