draft proposal per 100109-naik cetak

49
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada tahun 2004 terdapat kurang lebih 12.000 penderita MG di Indonesia. MG 1 MG merupakan salah satu penyakit autoimun yang dapat menyebabkan kematian, misalnya bila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan. Penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit ini bisa mencegah komplikasi yang berbahaya. MG 2 Namun dengan obat-obatan dan terapi yang ada saat ini, sebagian besar penderita tetap melaporkan berbagai keluhan seperti misalnya kelumpuhan pada matanya. Selain itu efek samping obat-obat yang digunakan untuk MG di Indonesia cukup merugikan, misalnya mestinon memiliki efek samping mual, muntah, meningkatkan sekresi saliva, diare, dan perut keram; prostigmin memiliki efek samping meningkatkan sekresi saliva, fasikulasi, pusing, konvulsi, mengatuk, sakit kepala, disatria, perubahan penglihatan, aritmia jantung, sinkop, meningkatkan sekresi membran mukosa, gagal napas, bronkospasme, mual, muntah, serta spasme GI tract dan hipermotilitas; neostigmine memiliki efek samping aritmia jantung, hipotensi, gagal jantung, sakit kepala, konvulsi, koma, susah tidur, bicara tidak beraturan, agitasi, cemas, mual, muntah, diare, perut keram, meningkatkan peristaltik, defekasi dan urinasi involunter, sekresi bronkial, bronkospasme, depresi napas, wheezing, ruam, dan urtikaria. (?) Indonesia sendiri merupakan negara tropis kaya akan berbagai tanaman obat. Namun, hanya beberapa dari tanaman obat tersebut yang telah didayagunakan dengan tepat laksana. Salah satu tanaman obat tersebut adalah akar kucing (Acalypha indica, Linn) yang merupakan tanaman liar dari keluarga Euphorbiaceae yang ditemukan di seluruh daerah tropis di dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dan India. 1,2,3,4 (AK) Tanaman ini dikenal dengan nama

Upload: sarah-silaen

Post on 23-Oct-2015

38 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada tahun 2004 terdapat kurang lebih 12.000 penderita MG di Indonesia.MG 1 MG merupakan salah satu

penyakit autoimun yang dapat menyebabkan kematian, misalnya bila terjadi kelumpuhan pada otot-otot

pernafasan. Penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit ini bisa mencegah komplikasi yang berbahaya. MG 2

Namun dengan obat-obatan dan terapi yang ada saat ini, sebagian besar penderita tetap melaporkan berbagai

keluhan seperti misalnya kelumpuhan pada matanya. Selain itu efek samping obat-obat yang digunakan untuk

MG di Indonesia cukup merugikan, misalnya mestinon memiliki efek samping mual, muntah, meningkatkan

sekresi saliva, diare, dan perut keram; prostigmin memiliki efek samping meningkatkan sekresi saliva,

fasikulasi, pusing, konvulsi, mengatuk, sakit kepala, disatria, perubahan penglihatan, aritmia jantung, sinkop,

meningkatkan sekresi membran mukosa, gagal napas, bronkospasme, mual, muntah, serta spasme GI tract dan

hipermotilitas; neostigmine memiliki efek samping aritmia jantung, hipotensi, gagal jantung, sakit kepala,

konvulsi, koma, susah tidur, bicara tidak beraturan, agitasi, cemas, mual, muntah, diare, perut keram,

meningkatkan peristaltik, defekasi dan urinasi involunter, sekresi bronkial, bronkospasme, depresi napas,

wheezing, ruam, dan urtikaria. (?)

Indonesia sendiri merupakan negara tropis kaya akan berbagai tanaman obat. Namun, hanya beberapa

dari tanaman obat tersebut yang telah didayagunakan dengan tepat laksana. Salah satu tanaman obat tersebut

adalah akar kucing (Acalypha indica, Linn) yang merupakan tanaman liar dari keluarga Euphorbiaceae yang

ditemukan di seluruh daerah tropis di dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dan India.1,2,3,4 (AK) Tanaman ini

dikenal dengan nama ‘cekamas’ di daerah Sumatera. Selain itu dikenal pula dengan nama ‘lelatang’, ‘kucing-

kucingan’, ‘rumput bolong-bolong’, dan ‘rumput kokowngan’ di daerah Jawa. Namun, umumnya dipakai nama

‘kucing-kucingan’ sebagai nama dagang.1 (AK)

Bagian tanaman ini yang dapat digunakan adalah daun, akar, ranting, dan bunganya.2 (AK) Selama

berabad-abad, akar kucing telah digunakan untuk merawat sejumlah penyakit, seperti bronkitis, asma,

pneumonia, rematik, purgatif, antiparasit, antibakteri, antifungal, dan antihelmintes, termasuk sebagai

ekspektoran, diuretik (Varie’s et al. 1996).4 (AK) Tanaman ini pun memiliki aksi katartik, hemostatik, emetik,

anodin, dan hipnotis.2 (AK) Selain itu, di Indonesia, daun Acalypha indica digunakan untuk pencahar dan obat

sakit mata.1 (AK) Ekstrak dari tanaman ini juga telah mendapat reputasi sebagai linimentum yang baik dalam

perawatan artritis dan sifilis.3(AK) Selain itu, juga digunakan untuk perawatan anak malnutrisi, penderita

gangguan pencernaan makanan (dispepsi), perdarahan, seperti epistaksis, hematemesis, melena, dan hematuria,

serta penyakit malaria, dan konstipasi.

Page 2: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Rebusan akar kucing ini sendiri sudah digunakan sebagai obat untuk mengatasi diare di India.5 Selain itu

rebusan akar tanaman ini sendiri juga sudah diuji coba dapat menurunkan kadar asam urat darah.6 Percobaan

yang telah dilakukan menunjukan bahwa rebusan akar dari tumbuhan akar kucing tidak bersifat toksik.5 Namun

tanaman ini belum pernah digunakan sebagai terapi untuk pengobatan kelumpuhan otot misalnya seperti pada

penyakit myasthenia gravis. Oleh karena tanaman akar kucing ini belum pernah diujicobakan untuk mengatasi

gangguan tersebut, studi pustaka untuk memperkaya analisis sulit dilakukan.

Berdasarkan ide awal, penelitian ini mulanya diarahkan pada penyakit stroke karena secara empiris

tanaman ini berkhasiat membantu penyembuhan gejala sisa pasca stroke. Namun, belum ada model penelitian

yang menyerupai penyakit tersebut. Model penelitian mengikuti hasil uji awal ekstrak akar tanaman Acalypha

indica secara eks vivo dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh kelompok lain, dengan judul “Efek

Neuroterapi Ekstrak Rebusan Akar Acalypha indica linn (akar kucing) secara Eks Vivo.” Model penelitian

tersebut menggunakan pankuronium bromida sebagai pelumpuh yang bekerja di neuromuscular junction pada

katak.

Penggunaan pankuronium bromide sebagai pelumpuh otot yang bekerja di neuromuscular junction lebih

dikaitkan dengan penyakit myasthenia gravis. Karena itu penelitian selanjutnya lebih diarahkan pada penyakit

myasthenia gravis.

Penelitian ini didahului dengan membuktikan bahwa ekstrak akar tanaman Acalypha indica pada dosis

25 mg dapat mengatasi kelumpuhan akibat pankuronium bromida pada katak.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ekstrak rebusan akar tanaman akar kucing (ratak) per oral dapat mengurangi kelumpuhan otot

pada hewan percobaan (katak) setelah penyuntikan pankuronium bromida?

1.3 HIPOTESIS PENELITIAN

Ekstrak akar tanaman Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan

(katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Umum

Ekstrak akar tanaman Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan

(katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida.

1.4.2 Tujuan Khusus

Page 3: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Ekstrak akar tanaman Acalypha indica pada dosis tertentu dapat mengurangi kelumpuhan otot pada

hewan percobaan (katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida.

1.5 MANFAAT PENELITIAN

1.5.1 Manfaat bagi Peneliti

1. Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam membuat suatu penelitian.

2. Menggali pengetahuan tentang efek ekstrak akar tanaman Acalypha indica terhadap kelumpuhan di

neuromuscular junction.

3. Menyelesaikan tugas utama pendidikan secara sistematis dan integratif.

1.5.2 Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi perguruan tinggi sebagai

lembaga penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam penelitian, dan pengabdian masyarakat

2. Turut berperan serta dalam rangka mewujudkan Visi FKUI 2010 sebagai universitas riset.

3. Meningkatkan kerjasama yang harmonis serta komunikasi antara mahasiswa dan staf pengajar serta

tenaga pendukung baik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia maupun di lingkungan Universitas

Indonesia.

1.5.3 Manfaat bagi masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengobatan penyakit myastenia gravis atau kelumpuhan

di neuromuscular junction dengan tanaman akar kucing.

2. Meningkatkan upaya pencegahan terhadap penyakit yang lebih baik (terutama myastenia gravis)

daripada mengobati dengan menggunakan akar kucing.

3. Mengembangkan budidaya tanaman obat asli Indonesia terutama Acalypha indica agar menjadi

primadona tanaman berkhasiat di dalam negeri maupun luar negeri.

Page 4: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Acalypha indica Linn.

Gambar . Tanaman Acalypha indica Linn.[4drtempatstella]

Tanaman yang memiliki nama umum kucing-kucingan atau akar kucing ini merupakan gulma yang sangat

umum ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput, maupun di lereng bukit atau gunung pada

daerah tropis. [1,2, 5, 6]

2.1.1 Taksonomi [6]

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Euphorbiales

Suku : Euphorbiaceae

Famili : Acalypha

Jenis : Acalypha indica Linn.

2.1.2 Deskripsi [1, 6]

Habitus : Semak, tinggi ± 30-50 cm.

Batang : Tegak, masif, bulat, bercabang, berambut halus, berwarna hijau.

Page 5: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Daun : Tunggal, letak tersebar, bentuk belah ketupat, ujung runcing, pangkal membulat, tipis, tepi

bergerigi, pertulangan menyirip, panjang 3-4 cm, lebar 2-3 cm, tangkai panjang silindris, berwarna

hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk bulir, berkelamin satu, terletak di ketiak daun dan ujung cabang, kecil-kecil,

dalam rangkaian berbentuk bulir, bulir betina lebih pendek, daun pelindung menjari, terbagi dalam

5-15 taju yang sempit, bunga jantan duduk dalam gelendong sepanjang sumbu bulir, bakal buah

beruang tiga, berambut, tangkai putik silindris, putih kehijauan atau merah pucat, mahkota bulat

telur, merah, bertaju, berambut.

Buah : Kotak, bulat, berwarna hitam.

Biji : Bulat panjang, berwarna coklat.

Akar : Tunggang, berwarna putih kotor.

2.1.3 Kandungan

Tanaman ini mengandung acalyphine, sinogenik glikosida, inositol metileter, resin, triacetonamine, minyak

volatil, saponin, tanin, flavonoida, dan minyak atsiri. [5, 6]

Gambar . Struktur kimia acalyphin [7]

2.1.4 Kegunaan

Tanaman ini berkhasiat sebagai antiinflamasi, antibiotik, anthelmintik, diuretik, laksatif dan hemostatis.[1, 3, 4]

Ekstrak daun dan akar tanaman Aacalypha indica memiliki potensi aktivitas antifungal dan antibakteri secara in

vitro.[4,5] Tanaman ini dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan disentri basiler, disentri amuba, diare,

dispepsia, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria, malaria.[1]

2.2 Rana pipiens

2.2.1 Taksonomi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Amphibia

Ordo : Anura

Page 6: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Famili : Ranidae

Genus : Rana

Spesies : Pipiens1

2.2.2 Sistem Persarafan

Katak memiliki sistem persarafan yang sudah berkembang dengan baik, terdiri dari otak, tulang belakang dan

saraf-saraf perifer. Bagian-bagian saraf sistem saraf tersebut bisa disamakan dengan manusia. Medula mengatur

fungsi pencernaan dan pernafasan. Postur tubuh dan koordinasi pergerakan otot diatur oleh cerebellum.

Cerebrum pada katak berukuran kecil.2

2.2.3 Sistem Pencernaan dan Absorbsi

Tempat pencernaan dimulai adalah di mulut, sama seperti pada manusia. Mulut katak dilengkapi dengan gigi

yang lemah dan hampir tidak berguna. Lidah pada katak sangat khusus, biasanya dilipat ke belakang dan bisa

memanjang ke luar untuk menangkap mangsa karena memiliki permukaan lengket. Makanan yang masuk akan

melewati esophagus, lambung dan selanjutnya ke usus halus dimana proses pencernaan paling banyak terjadi.

Berbagai kelenjar, hati dan pancreas akan mengeluarkan sekretnya di usus halus. Sebagian besar absorbsi juga

terjadi di sini. Selanjutnya hasil pencernaan akan dibuang melalui urin bila cair dan kloaka bila padat.2

Gambar . Kerangka Anura (sumber: http://www.infovisual.info/02/028_en.html)

Page 7: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Gambar . Kerangka Anura (sumber: http://www.savalli.us/LSC370/Anatomy/4.FrogSkeletonLabel.html

Gambar . Organ Dalam Anura (sumber: http://student.britannica.com/eb/art-52906/Digestive-system-of-a-frog

2.3 Asetilkolin guyton, ganong,marieb

Struktur sederhana asetilkolin adalah asetil ester kolin.ganong Asetilkolin (Ach) berada pada vesikel sinaps yang

kecil berukuran kira-kira 40 nanometer, dibentuk oleh aparatus Golgi dalam badan sel motoneuron medula

spinalis. Vesikel ini kemudian diangkut oleh aliran aksoplasma melalui inti akson dari badan sel pusat pada

medula spinalis menuju sambungan neuromuskular yang terletak di ujung serat saraf. Kira-kira 300.000 vesikel-

vesikel ini berkumpul di bagian terminal saraf dari sebuah lempeng akhir otot rangka.guyton ACh dilepaskan oleh

semua neuron yang menstimulasi otot rangka dan oleh sejumlah neuron dari sistem saraf otonom. Neuron yang

melepaskan ACh juga terdapat di sistem saraf pusat.marieb

Page 8: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Gambar . Strukur kimia asetilkolin (sumber: http://www.rathbuc.com/images/acetylcholine.gif)

2.3.1 Sintesis asetilkolin (ganong, guyton, marieb, farmakologi)

Sintesis ACh memerlukan reaksi kolin dengan asetil KoA. Kolin adalah amina penting yang juga prekursor dari

membran fosfolipid berupa fosfatidilkolin, spingomielin, signaling phospholipids platelet-activating factor, dan

spingosilfosforilkolin. Terjadi ambilan aktif kolin melalui transporter ke neuron kolinergik yang tergantung

pada Na+ ekstrasel dan dihambat oleh hemikolinium. Kolin juga disintesis dalam neuron. Asetil KoA disintesis

dalam mitokondria ujung saraf dan diaktivasi oleh kombinasi senyawa asetat dengan koenzim A yang tereduksi.

Reaksi antara asetil KoA dan kolin dikatalisis oleh enzim kolin asetiltransferase (kolinasetilase). Enzim ini

disintesis dalam perikarion sel saraf dan ditransporasi sepanjang akson ke ujung saraf.

Reaksi pembentukan ACh terjadi dalam sitoplasma ujung saraf. ACh kemudian akan diangkut melalui

membran vesikel menuju ke bagian dalamnya, tempat ACh disimpan dalam bentuk sangat pekat, dengan

sekitar 10.000 molekul ACh dalam setiap vesikel.

Asetil KoA + Kolin Asetilkolin + CoA marieb

2.3.2 Kolinesterase ganong, farmakologi, marieb

Kolinesterase tersebar luas di berbagai jaringan dan cairan tubuh. Terdapat dua macam kolinesterase, yakni

asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuChE). Asetilkolinesterase (juga dikenal sebagai

kolinesterase yang spesifik atau kolinesterase yang sejati) terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada

membran pra- maupun pascasinaps, dan merupakan kolinesterase yang memecah ACh. Butirilkolinesterase

(juga dikenal sebagai serum esterase atau pseudokolinesterase) terutama memecah butirilkolin dan banyak

terdapat dalam plasma dan hati. Enzim ini berperan dalam eliminasi suksinilkolin, suatu obat relaksan otot

rangka.

Degradasi ACh terjadi melalui hidrolisis ACh menjadi kolin dan asetat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim

asetilkolinesterase. Enzim ini memiliki afinitas terbesar untuk ACh, namun ia juga menghidrolisis kolin ester

lainnya.

Kolin asetiltransferase

Page 9: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Gambar . Sintesis dan degradasi asetilkolin (sumber: http://www.frca.co.uk/images/acetylcholine.jpg)

2.3.3 Reseptor Asetilkolin ganong, farmakologi

Berdasarkan efek farmakologisnya, reseptor ACh dibagi menjadi dua tipe. Pertama, tipe muskarinik yang

efeknya disebut efek muskarinik. Reseptor muskarinik terdapat di organ efektor otonomik, di ganglion, di

medula adrenal, di sel tertentu seperti endotel, dan di sistem saraf pusat. Reseptor kolinergik muskarinik ini

dihambat olah obat atropin. Reseptor muskarinik memiliki 5 subtipe, yakni M1, M2, M3, M4, dan M5. M1 di

ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M4 dan M5 belum jelas

diketahui fungsinya. Penempelan ACh dengan bagian eksternal reseptor muskarinik akan menyebabkan bagian

internalnya melepaskan protein G ke dalam sel. Protein G inilah yang akan menginisiasi aktivitas lain dalam sel

seperti kontraksi otot polos, ekskresi kelenjar, dan lain-lain. Respon terhadap reseptor muskarinik lebih lambat

daripada respon terhadap reseptor tipe kedua, yakni reseptor kolinergik nikotinik.

Gambar . Reseptor kolinergik muskarinik (sumber: http://www.nature.com/nrd/journal/v6/n9/images/nrd2379-

f5.jpg)

Page 10: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Aksi dari reseptor kolinergik nikotinik disebut aksi nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat di sambungan

neuromuskular otot, ganglia otonom, dan sistem saraf pusat. Semua reseptor nikotinik berhubungan langsung

dengan kanal kation, aktivasinya menyebabkan peningkatan permeabilitas Na+ dan K+ sehingga terjadi

depolarisasi. Penempelan ACh dengan bagian eksternal reseptor nikotinik akan menginduksi perubahan

konformasi yang secara selektif membuka kanal terhadap ion Na+. Influks dari Na+ inilah yang merangsang

terjadinya depolarisasi. Efek nikotinik dihambat oleh nikotin dalam dosis besar. Pada otot rangka, efek nikotinik

khusus dihambat oleh kurare.

Gambar . Reseptor kolinergik nikotinik (sumber:

www.atsdr.cdc.gov/csem/cholinesterase/nicotinic_receptors.html)

2.4 Sambungan neuromuskular

Serat otot rangka dipersarafi oleh serat saraf besar dan bermielin yang berasal dari motoneuron besar

pada kornu anterior dari medula spinalis. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan

merangsang tiga sampai beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat sambungan, yang disebut

sambungan neuromuskular. Ketika serat otot mendekati pertengahan serat, potensial aksi di dalam serat

menjalar dalam dua arah menuju ujung-ujung serat otot. (guyton)

Pada sambungan neuromuskular, saraf dan serat otot rangka tidak berkontak secara langsung. (Sherwood)

Terdapat celah sinaps yang lebarnya 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan

lapisan tipis dengan serat retikular yang dapat dilalui cairan ekstraselular secara difusi. (guyton) Celah ini terlalu

besar untuk dapat memfasilitasi terjadinya transmisi elektrik. (Sherwood) Pada terminal akson terdapat banyak

mitokondria yang menyediakan energi terutama untuk sintesis bahan transmiter perangsang, yaitu ACh yang

Page 11: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

akan merangsang serat otot. ACh disintesis dalam sitoplasma bagian terminal, namun dengan cepat diabsorbsi

ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal lempeng

akhir motorik. (guyton)

(guy, sher, gan)

Bila impuls saraf tiba di sambungan neuromuskular, kira-kira 125 kantong ACh dilepaskan dari terminal

masuk ke dalam celah sinaps. Adanya potensial aksi akan memicu terbukanya voltage-gated kanal Ca2+ pada

terminal button, yang memungkinkan difusi Ca2+ dari ekstraseluler ke terminal button. Difusi Ca2+ ini

menyebabkan penglepasan ACh dari vesikel ke dalam celah sinaps secara eksositosis. ACh yang dilepaskan

berdifusi melintasi celah sinaps dan berikatan dengan reseptor ACh tipe nikotinik. Pengikatan ACh dengan

reseptor ini menginduksi terbukanya gerbang kanal pada lempeng akhir motorik. Terbukanya kanal ini

menyebabkan pertukaran kation Na+ dan K+, namun tidak dengan anion. Permeabilitas membran terhadap ion

Na+ dan K+ seimbang. Namun pada kenyataannnya, terdapat jauh lebih banyak ion Na+ yang mengalir melalui

saluran ACh dibanding ion lain. Hal ini terjadi karena dua alasan berikut. Pertama, hanya terdapat dua ion

positif dalam konsentrasi cukup besar untuk memberi pengaruh yang cukup kuat, yaitu ion natrium dalam

cairan ekstraseluler dan ion kalium dalam cairan intraseluler. Kedua, nilai potensial yang sangat negatif pada

bagian dalam membran otot, -80 sampai -90 milivolt, akan menarik ion-ion natrium ke dalam serat otot,

sementara pada saat yang bersamaan akan mencegah keluarnya ion kalium.

Efek utama terbukanya saluran ACh adalah bahwa sejumlah besar ion natrium dapat masuk ke dalam

serat otot, yang bersama ion tersebut terbawa serta sejumlah besar muatan positif. Peristiwa ini akan mengubah

potensial setempat pada membran serat otot yang disebut potensial lempeng akhir. Potensial lempeng akhir ini

akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran otot dan selanjutkan menyebabkan kontraksi otot.

(guy, ganong)

Sekali ACh dilepaskan ke daerah sinaps, ia akan terus mengaktifkan reseptor ACh selama berada dalam

ruangan. Namun, jika terjadi repolarisasi, ACh dengan cepat akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase,

yang melekat pada lamina basalis, yaitu lapisan dari jaringan ikat halus yang mengisi ruang sinaptik antara

terminal presinaptik dan membran otot postsinaptik. Sejumlah kecil ACh lainnya akan berdifusi keluar dari

ruang sinaptik.

Periode ACh menetap dalam ruang sinaptik sangat singkat, paling lama beberapa milidetik, tapi hampir

selalu cukup untuk merangsang serat otot. Degredasi ACh yang cepat akan mencegah perangsangan otot

kembali.

Gambar (nomor) menjelaskan prinsip potensial lempeng akhir yang menimbulkan potensial aksi.

Potensial lempeng akhir A dan C begitu lemah untuk menimbulkan suatu potensial aksi, namun mereka

menghasilkan potensial lempeng akhir setempat yang lemah, yang terekam dalam gambar. Sebaliknya potensial

lempeng akhir B jauh lebih kuat dan menyebabkan saluran natrium terbuka, sehingga akan menimbulkan suatu

potensial aksi. Potensial lempeng akhir yang lemah pada titik A disebabkan keracunan serat otot oleh kurare,

Page 12: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

suatu obat yang dapat memblok kerja gerbang ACh pada saluran ACh dengan cara bersaing dengan ACh pada

tempat reseptornya. Potensial pada titik C disebabkan oleh pengaruh toksin botulinum, yaitu racun bakteri yang

menurunkan pelepasan ACh oleh terminal saraf. (guyton, ganong)

Gambar . Potensial Lempeng Akhir. A, Potensial lempeng akhir yang lemah yang terekam pada otot yang sudah teracuni kurare, terlalu lemah untuk menimbulkan potensial aksi; B, potensial lempeng akhir normal

yang menimbulkan potensial aksi otot; dan C, potensial lempeng akhir yang lemah yang disebabkan oleh racun botulinum yang menurunkan pelepasan asetilkolin pada lempeng akhir, dan terlalu lemah untuk menimbulkan

suatu potensial aksi otot. guyton

2.5 Penyakit Neuromuskular

2.5.1 Myastenia Gravis

2.5.1.1 Definisi

Myastenia Gravis (MG) adalah penyakit akibat kelainan imunitas dimana terbentuk antibodi terhadap reseptor

nikotinik post-sinaptik asetilkolin pada myoneural junction. Berkurangnya reseptor asetilkolin akan

menimbulkan karakteristik berkurangnya kekuatan otot dan timbul kelelahan secara progresif setelah otot

tersebut digunakan. 1

2.5.1.2 Klasifikasi

Myastenia Gravis bisa diklasifikasi berdasarkan kelainan yang timbul:

1. Biasanya 85 – 90 % penderita akan mengalami Generalized Myastenia Gravis pada 1 tahun onset yang

ditandai dengan kelemahan pada tungkai, lengan dan kaki.

2. 10 – 15 % penderita hanya mengalami kelemahan pada otot yang mengendalikan pergerakan mata yang

disebut Ocular Myastenia Gravis.

3. Selain itu ada Myastenia Gravis yang didapat secara kongenital yang timbul pada bayi dari penderita

MG.

Page 13: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

4. Myastenia Gravis juga bisa bersifat sementara misalnya pada 10 – 20 % bayi dari penderita MG yang

akan mengalami kelumpuhan selama beberapa minggu setelah lahir akibat adanya antibodi dari ibu di

dalam tubuhnya. 2

Myastenia Gravis Foundation di Amerika Serikat telah mengklasifikasikan MG berdasarkan tingkat

keparahannya:

Kelas I: kelemahan otot hanya terjadi pada otot, kemungkinan terjadi ptosis, tidak ada kelainan

pada otot lain.

Kelas II: kelemahan pada otot mata dan kelainan ringan pada otot tubuh lain.

o Kelas IIa: terutama pada bagian tungkai atau axial.

o Kelas IIb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan.

Kelas III: kelemahan pada otot mata dan kelainan sedang pada otot tubuh lain.

o Kelas IIIa: terutama pada bagian tungkai atau axial.

o Kelas IIIb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan.

Kelas IV: kelemahan pada otot mata dan kelainan berat pada otot tubuh lain.

o Kelas IVa: terutama pada bagian tungkai atau axial.

o Kelas IVb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan.

Kelas V: pasien dengan intubasi untuk mempertahankan pernafasan. 3

2.5.1.3 Etiologi

Tidak diketahui dengan jelas bagaimana autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin bisa timbul, namun beberapa

genotip diperkirakan berhubungan dengan penyakit ini.1 Selain itu muncul spekulasi bahwa MG disebabkan

adanya kelainan pada organ timus.4,5 Hal ini dikarenakan penelitian menunjukkan adanya sel epitelial myoid

pada timus yang memiliki bentuk seperti sel otot skelet. Sel ini bisa bersifat antigenik dan menimbulkan reaksi

imun. Namun hal ini sendiri belum dipastikan.4

Beberapa kemungkinan lain yang menjadi penyebab, misalnya:

Pembesaran organ timus, karena pada 75% penderita MG ditemukan adanya penyakit pada timus, pada

85% penderita terdapat hyperplasia, dan pada 10-15% penderita terdapat thyoma.

Penyakit auto-imun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid Arthritis.

Tumor pada bagian tubuh lain seperti small cell carcinoma pada paru dan penyakit Hodgkin

Hipertiroidisme terdapat pada 3-8% penderita.

Beberapa obat yang berhubungan:

o D-penicillamine yang meningkatkan Anti-AChR pada titer antibodi.

Page 14: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

o Nitrofurantoin telah dihubungkan dengan ocular Myasthenia Gravis pada satu kasus.

o Aminoglikosida, polymyxin dan banyak obat lainnya yang mungkin berhubungan dengan MG.4

2.5.1.4 Patofisiologi

Ketika potensial aksi berjalan dari motor neuron dan sampai ke neuron terminal, asetilkolin akan

dilepaskan dari presinaps dan akan menempel pada reseptornya di postsinaps. Kanal di reseptor asetilkolin akan

terbuka sehingga Na+ dan kation lain akan masuk ke lempeng akhir serat otot dan menimbulkan depolarisasi.

Depolarisasi akan terakumulasi dan bila cukup kuat akan menimbulkan kontraksi. Selanjutnya jumlah

asetilkolin yang dikeluarkan akan berkurang karena jumlah yang disimpan pada presinaps akan habis.4

Pada sebagian besar kasus Myastenia Gravis, terdapat berkurangnya reseptor asetikolin fungsional pada

taut neuromuskular dengan cara:

Mengakibatkan kerusakan langsung pada membran postsinaps.

Meningkatkan degradasi reseptor.

Menghambat penempelan asetilkolin pada reseptornya.5

Hal ini akan mengakibatkan transmisi neuromuskular terganggu dan kontraksi tidak dapat timbul.

2.5.1.5 Gejala Klinis

Otot menjadi lumpuh bila digunakan terus-menerus.

Kekuatan otot yang lumpuh normal kembali setelah istirahat beberapa saat.

Kelumpuhan pada ocular menimbulkan ptosis baik unilateral maupun bilateral.

Pada kelumpuhan otot-otot wajah, maka tampak penderita tidak memiliki ekspresi sehingga tidak bisa

menyedot atau bersiul, tidak bisa mengangkat wajahnya, suara tidak jelas, rahang lemah sehingga tidak

bisa mengunyah daging atau permen karet dan ada kemungkinan terjadi aspirasi sekresi oral.

Penderita tidak bisa bernafas dengan baik bila terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan.

Kelumpuhan pada otot-otot anggota gerak tubuh mengakibatkan pasien tidak bisa melakukan pekerjaan

fisik yang berat, seperti menaiki tangga.4,5,6icen

2.5.1.6 Pemeriksaan

Pemeriksaan laboratorium:

Antibodi anti-AChR positif pada 90% penderita Generalized Myastenia Gravis namun hanya pada 50-

70% penderita Ocular Myastenia Gravis.

Tes fungsi tiroid karena biasanya pada penderita Ocular Myastenia Gravis terdapat hipertiroidisme.

Pemeriksaan faktor rheumatoid dan ANA yang berhubungan dengan penyakit autoimun.4icen

Page 15: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Pemeriksaan radiologi:

MRI atau CT-Scan otak untuk memeriksa kemungkinan adanya massa yang menekan saraf kranial

sebagai diagnosis banding kelumpuhan.

MRI atau CT-Scan timus untuk melihat adanya kelainan.4icen

Pemeriksaan lain:

Pemberian antikolinesterase, bila terjadi peningkatan kekuatan otot maka menunjukkan hasil positif. Tes

sensitivitas ini 86% untuk Ocular Myastenia Gravis dan 95% untuk Generalized Myastenia Gravis.6icen

Repetitive Nerve Stimulation dilakukan dengan pemberian stimulasi dengan tujuan menghabiskan

asetilkolin yang disimpan. 4,6icen

Single Fiber Electromyography merupakan metode yang paling sensitif untuk memeriksa transmisi

abnormal neuromuskular dengan merekam potensial aksi serat otot menggunakan sejenis jarum

konsentrik.6icen

2.5.1.7 Penatalaksanaan

Non-Medikamentosa:

Thymectomy pada pasien dengan kelainan timus.

Pembedahan pada pasien yang mengalami strabismus atau diplopia yang tidak bisa ditangani dengan

pengobatan.

Blepharoptosis pada pasien dengan ptosis yang tidak respons terhadap terapi.

Pengurangan makanan solid pada pasien yang mengalami kelumpuhan rahang.4icen

Medikamentosa:

Inhibitor asetilkolinesterase, contohnya diisofluorofosfat (DFP), edrofonium, dan takrin, mencegah

pemecahan asetilkolin dan memberikan peningkatan kekuatan pada otot. Namun obat simtomatik ini

tidak berpengaruh terhadap proses autoimun pada tubuh sehingga pemberiannya hanya bersifat

menyembuhkan sementara. Efek sampingnya antara lain mual, muntah, diare, meningkatnya saliva,

meningkatnya sekresi bronkial, dan berbagai efek dari peningkatan aktivitas muskarinik.

Kortikosteroid merupakan obat paling umum yang diberikan pada pasien dengan penyakit akibat

kelainan sistem imun. Obat ini biasanya digunakan merupakan obat pertama yang diberikan untuk

mengatasi serangan autoimun. Namun karena efek sampingnya yang merugikan seperti hipertensi,

retensi cairan, osteoporosis, ulkus gastrik, moon face dan lainnya, pemberian obat ini harus diawasi

dengan baik.

Azathioprine merupakan obat yang mencegah proliferasi limfosit T. Obat ini efektif untuk mengatasi

autoimun pada jangka panjang, selain itu juga memiliki efek samping yang lebih ringan daripada

Page 16: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

kortikosteroid. Namun butuh waktu sekitar 4-8 bulan setelah terapi untuk menunjukkan efek yang baik

pada penderita MG. Efek sampingnya antara lain anemia makrositik, leukopenia, trombositopenia,

hepatitis toksik, serta obat ini bersifat teratogenik.

Cyclosporin memiliki kerja yang sama dengan azathioprine namun jarang digunakan karena efek

sampingnya terutama nefrotoksisitas yang ditimbulkan. Efek samping lainnya misalnya hipertensi,

tremor, sakit kepala, muntah dan lainnya.

Mycophenolate mofetil merupakan modulator imun yang memiliki sifat selektif menghambat proliferasi

limfosit T dan B. Pemberian obat ini setelah 2 bulan menunjukkan adanya peningkatan kekuatan otot

yang sebelumnya mengalami kelumpuhan. Namun biasanya lebih sering digunakan kortikosteroid

karena dengan dosis yang sama rendah, kortikosteroid memberikan efek yang lebih cepat dan lebih baik.

Efek samping dari obat ini biasanya ringan, antara lain diare, sakit perut, dan mual.6icen

2.5.1.8 Prognosis

Penatalaksanaan yang tepat akan mencegah Ocular Myastenia Gravis meningkat menjadi Generalized

Myastenia Gravis. 4icen

Sekitar 15-17% pasien tetap mengalami keluhan pada bagian mata setelah bertahun-tahun menjalani

terapi.4icen

Dengan pemberian pengobatan yang baik dan terapi yang sesuai, sebagian besar pasien akan memiliki

waktu hidup normal.5icen

Angka kematian kurang dari 4%.5icen

2.5.1.9 Efek Samping Obat Simptomatik Myastenia Gravisfarmakoterapi page 55

Obat simtomatik MG adalah anti-asetilkolinesterase. Gejala keracunan yang timbul tergantung dari jenis

obat yang digunakan. Umumnya gejala keracunan berupa efek muskarinik, nikotinik, dan efek di sentral.

Beberapa efek samping yang timbul adalah:

Mata hiperemis disertai miosis yang kuat

Bronkokonstriksi dan laringospasme terutama bila zat terhirup

Perangsangan selaput lendir hidung menyebabkan pengeluaran sekret yang mirip alergi, disertai bersin

dan sekresi saliva berlebih

Peristaltik usus meningkat disertai muntah dan diare

Bila pajanan terjadi pada kulit, beberapa obat dapat menyebabkan produksi kringat bertambah

Pada otot rangka dapat menyebabkan tremor, fibrilasi otot, dan kejang

Pada keracunan yang berat dapat menimbulkan kelumpuhan

Gejala yang meliputi efek pada saraf pusat berupa ataksia, hilang refleks, bingung, sukar bicara,

konvulsi, koma, pernapasan Cheyne Stokes dan kelumpuhan napas

Page 17: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Keracunan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Kematian dapat terjadi dalam

waktu yang beragam, sehingga pengobatan terhadap keracunan harus diberikan segera.

2.5.2 Sindrom Myastenik Lambert-Eaton

Sindrom Myastenik Lambert-Eaton merupakan penyakit taut neuromuskular yang berbeda dengan MG.

Biasanya penyakit ini berkembang sebagai proses paraneoplastik, terutama bersama dengan karsinoma sel kecil

paru-paru (60% kasus), meskipun dapat terjadi pada ketiadaan penyakit ganas yang mendasari. Pasien

mengalami kelemahan otot proksimal dengan disfungsi otonom. Pada sindrom ini tidak terjadi perbaikan klinis

yang efektif apabila diberikan substansi antikolinesterase, dan studi elektrofisiologi menunjukkan bukti adanya

peningkatan neurotransmisi dengan stimulasi berulang. Keadaan-keadaan tersebut membedakan sindrom ini

dengan MG.

Antikolinesterase yang ditemukan pada vesikel sinaptik taut neuromuskular penderita sindrom

myastenik lambert-eaton merupakan asetilkolinesterase yang normal dan membran postsinapsnya responsif

terhadap substansi tersebut. Namun, dalam tiap potensial aksi presinaps, vesikel yang dilepaskan semakin

sedikit. Telah ditemukan bahwa sejumlah pasien memiliki antibodi yang mengenali kanal kalsium voltage-

gated tipe PQ presinaps.robins1345 Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa penyakit ini disebabkan oleh proses

autoimun.

2.5.3 Sindrom Pasca Polio (dari price)

Sindrom pascapolio (PPS) atau atrofi neuromuskular pascapoliomielitis, adalah kelemahan otot

progresif yang biasanya dimulai pada awal usia 20 hingga 30 tahun setelah sembuh dari infeksi virus

poliomyelitis yang menyerang sel kornu anterior medula spinalis serta nukleus nervus kranialis. Onset penyakit

ini biasanya mendadak, dan kelemahan bisa menyebar pada bagian otot yang awalnya tidak terkena penyakit

polio. Perkiraan insidensi keseluruhan sekitar 25% dari populasi yang tahan terhadap polio, dengan perkiraan

terbaru dari The Easter Seal Society adalah 1.600.000 di Amerika Serikat (NNDS, 2000). Sindrom ini

umumnya terjadi pada wanita1benny dan biasanya terjadi 25-30 tahun setelah penyakit awalnya (polio) sudah

menunjukkan perbaikan.2 benny

Gejala trias klasik mencakup kelelahan yang tidak biasa, kelemahan otot baru dengan atau tanpa atrofi

otot, dan nyeri otot yang sering disertai oleh kejang otot (International Polio Network, 1999). Gejala lainnya

adalah paresis atau paralisis neuron motorik bagian bawah yang khas: nyeri otot, fasikulasi, dan kelemahan otot

yang dapat mencapai tingkatan yang tinggi atau berkembang menjadi atrofi otot. Ekstremitas paling sering

terkena. Namun, otot pernapasan dapat juga terlibat, serta kepala dan otot leher yang dipersarafi oleh nervus

kranial IX, X, dan XI (paralisis bulbar). Akibatnya dapat berupa gagal napas, apnea berat waktu tidur, kesulitan

menelan, episode tersedak, atau aspirasi.

Page 18: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Kriteria umum berikut ini harus ada untuk membuat suatu diagnosis: episode polio paralitik

sebelumnya; periode kestabilan fungsional; kelemahan baru yang mendadak atau berangsur-angsur yang

biasanya bersamaan dengan beberapa gejala yang sudah ada; dan keadaan di luar medis, ortopedik, dan

neurologik yang dapat menyebabkan gejala. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis rinci, pemeriksaan

neurologik, dan hasil laboratorium (termasuk MRI, studi elektrofisiologik, biopsi otot, dan analisis CSF).

Penyebab PSS laten yang lama masih kontroversial namun biasanya dipercaya dalam melibatkan

kelainan neuron motorik bagian bawah yang bertahan, bersamaan dengan suatu perkembangan disintegrasi

perlahan dari akson saraf perifer. Postpolio syndrome ini diduga oleh karena disfungsi yang progresif dan

hilangnya motor neuron yang mengkompensasi ketika terjadi infeksi originalnya (polio) dan bukan infeksi

poliovirus yang persisten ataupun reaktivasi.1 benny Penjelasan tentang kelemahan yang paling dapat diterima

adalah disfungsi otot motorik dengan hilangnya saraf terminal yang bersangkutan dalam unit motorik yang

menetap setelah serangan polio awal.

Pengobatan bersifat suportif dan ditujukan untuk mempertahankan fungsi pernapasan, meringankan

gejala, dan mencegah komplikasi. Sekarang ini tidak ada pengobatan yang dapat mencegah atau mengobati

PPS. Obat-obatan seperti piridostigmin dan selegilin yang bekerja pada taut neuromuskular telah cukup berhasil

digunakan dalam terapi simtomatik. Prognosis umumnya baik; progresi untuk menjadi lebih buruk biasanya

berjalan lambat, sekitar 1-10 tahun.

2.7 Pankuronium

2.7.1 Pelemas Otot Rangka

Obat–obat yang mempengaruhi otot rangka dibagi menjadi dua kelompok mayor, yaitu obat-obat yang

menyebabkan paralisis (seperti: pemblokade neuromuskular), dan obat-obat yang mengurangi spastisitas pada

berbagai kondisi neurologik (seperti: spasmolitik).[katzung]

2.7.2 Obat Pemblokade Neuromuskular

Relaksasi otot rangka dan paralisis dapat terjadi akibat interupsi fungsi pada beberapa tempat yang

berbeda, dari sistem saraf pusat, saraf somatik bermyelin, ujung saraf motorik tidak bermyelin, reseptor

nikotinik asetilkolin, motor end plate, hingga membran otot.[katzung]

Page 19: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Gambar 1. Skematik neuromuscular junction (V, transmitter vesicle; M, mitokondria; ACh, asetilkolin; AChE,

asetilkolinesterase; JF, junctional folds).[katzung]

Terdapat beberapa klasifikasi umum neuromuscular blocking agents. Berdasarkan durasi aksi obat,

dibagi menjadi long-, intermediate-, dan short-acting. Pancuronium termasuk dalam kategori long-acting.

Blokadenya terjadi dalam waktu yang cukup lama, karena itu biasanya hanya diperlukan dalam konsentrasi

rendah. Pengaturan konsentrasi yang rendah ini juga dimaksudkan untuk memperlambat onsetnya.[Goodman gilman]

Berdasarkan kelas kimianya pankuronium terdiri atas natural alkaloid, ammonio steroid, dan

benzylisoquinolines. Pankuronium (termasuk ammonio steroid) tidak menyebabkan pelepasan histamin, dapat

memblokade reseptor muskarinik, dan bermanifestasi pada blokade vagal serta takikardia.[Goodman gillman]

Berdasarkan mekanisme kerjanya terdapat 2 mekanisme dasar. Pertama, obat yang mencegah akses

transmitter ke reseptornya dan mencegah depolarisasi. Nondepolarizing neuromuscular blocking drugs ini

bersifat antagonis (contoh: atracurium, cisatracurium, doxacurium, gallamine, mivacurium, pancuronium,

rapacuronium, rocuronium, tubocurarine, dan vecuronium). Kedua, obat-obat yang mencegah akses transmitter

namun menyebabkan depolarisasi. Depolarizing neuromuscular blocking drugs ini bersifat agonis (contoh:

suksinilkolin).[katzung]

Tabel 1. Klasifikasi Neuromuscular Blocking Agents [Goodman gillman]

AGENT CHEMICAL CLASS PHARMACOLOGICAL

PROPERTIES

TIME

OF

ONSET,

min

CLINICAL

DURATION,

min

MODE OF ELIMINATION

Page 20: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Succinylcholine

(ANECTINE,

others)

Dicholine ester Ultrashort duration;

depolarizing

1-1.5 5-8 Hydrolysis by plasma

cholinesterases

D-Tubocurarine Natural alkaloid (cyclic

benzylisoquinoline)

Long duration; competitive 4-6 80-120 Renal elimination; liver

clearance

Atracurium

(TRACRIUM)

Benzylisoquinoline Intermediate duration;

competitive

2-4 30-60 Hofmann degradation;

hydrolysis by plasma

esterases; renal elimination

Doxacurium

(NUROMAX)

Benzylisoquinoline Long duration; competitive 4-6 90-120 Renal elimination

Mivacurium

(MIVACRON)

Benzylisoquinoline Short duration; competitive 2-4 12-18 Hydrolysis by plasma

cholinesterases

Pancuronium

(PANCURONIUM

BROMIDA)

Ammonio steroid Long duration; competitive 4-6 120-180 Renal elimination

Pipecuronium

(ARDUAN)

Ammonio steroid Long duration; competitive 2-4 80-100 Renal elimination; liver

metabolism and clearance

Rocuronium

(ZEMURON)

Ammonio steroid Intermediate duration;

competitive

1-2 30-60 Liver metabolism

Vecuronium

(NORCURON)

Ammonio steroid Intermediate duration;

competitive

2-4 60-90 Liver metabolism and

clearance; renal eliminatio

2.7.3 Struktur Kimia

Obat-obat pemblokade neuromuskular mengandung struktur yang mirip dengan asetilkolin.[katzung] Obat-

obat yang menyebabkan depolarisasi memiliki struktur asetilkolin yang tersusun linear. [katzung] Strukturnya lebih

fleksibel sehingga memungkinkan terjadinya rotasi ikatan bebas.[Goodman gillman] Obat-obat yang tidak menyebabkan

depolarisasi (seperti: pankuronium) memiliki struktur asetilkolin yang tersusun dalam sistem cincin semi kaku

dan besar.[katzung dan Goodman gillman] Selain itu, juga terdapat satu atau dua nitrogen kuarterner, yang menyebabkan

mereka bersifat lipid-soluble yang lemah dan sulit menembus sistem saraf pusat.[katzung]

Page 21: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Gambar 2. Hubungan struktural antara suksinilkolin dan pankuronium dengan asetilkolin. [katzung]

2.7.4 Nondepolarizing Drugs

Tempat kerja D-tubocurarine dan agen blokade kompetitif lainnya terdapat di motor end plate.

Antagonis kompetitif bergabung dengan reseptor asetilkolin nikotinik pada end plate sehingga memblokade

pengikatan asetilkolin secara kompetitif. Hal ini menyebabkan sel otot menjadi tidak sensitif terhadap impuls

dari saraf motorik. Meskipun demikian, daerah end plate dan sisa membran serat otot yang ada tetap memiliki

sensitifitas yang normal terhadap depolarisasi K+, dan serat otot tetap berespon secara langsung terhadap

stimulasi elektrik.[Goodman gillman]

Peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif tubokurare secara progresif menurunkan amplitudo

eksitasi postjunctional end plate potensial. Amplitudo ini dapat turun di bawah 70% dari nilai inisiasinya,

sehingga tidak cukup menginisiasi propagasi dari potensial aksi pada otot. Tubokurare (antagonis kompetitif)

menurunkan frekuensi pembukaan kanal tetapi tidak mempengaruhi konduktansi atau durasi pembukaan tiap

kanalnya. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, kurare dan antagonis kompetitif lainnya memblokade kanal secara

langsung dengan cara non kompetitif dengan agonis dan bergantung pada membran potensial.[Goodman gillman]

Jika terdapat obat antikolinesterase, potensial end plate diperpanjang mencapai 25-30 milisecond, yang

mengindikasikan adanya pengikatan kembali transmitter ke reseptor di sebelahnya sebelum tejadi difusi dari

sinaps. Meskipun 2 antagonis kompetitif dapat berikatan dengan tiap molekul reseptor di tempat milik agonis,

pengikatan 1 molekul antagonis pada tiap reseptor cukup membuatnya menjadi tidak berfungsi.[Goodman gillman]

Tubokurare dan neuromuscular blocking agents kuarterner lainnya, yang disuntikan secara intravena

bahkan dalam dosis yang besar tidak memiliki efek signifikan terhadap sistem saraf pusat seperti stimulan,

depresan, atau efek analgesik karena mereka tidak dapat menembus sawar darah otak. Oleh karena itu, kerja

obat-obat ini hanya berefek pada kelumpuhan perifer di otot rangka.[Goodman gillman]

Tabel 2. Perbandingan nondepolarizing (D-Tubocurarine) dengan depolarizing (Decamethonium) blocking agents [Goodman gillman]

Page 22: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

D-TUBOCURARINE DECAMETHONIUM

Effect of D-tubocurarine

administered previously

Additive Antagonistic

Effect of decamethonium

administered previously

No effect, or antagonistic Some tachyphylaxis; but

may be additive

Effect of antikolinesterase agents

on block

Reversal of block No reversal

Effect on motor end plate Elevated threshold to

acetylcholine; no

depolarization

Partial, persisting

depolarization

Initial excitatory effect on

striated muscle

None Transient fasciculations

Character of muscle response to

indirect tetanic stimulation

during partial block

Poorly sustained contraction Well-sustained contraction

SOURCE: Based on data in Paton and Zaimis, 1952; Zaimis, 1976.

2.7.5 Karakteristik Kelumpuhan

Ketika agen pemblokade kompetitif disuntikan secara intravena pada manusia dengan dosis yang tepat,

terjadi kelemahan otot yang makin lama berkembang menjadi kelumpuhan total.[goodman gillman] Secara umum, otot-

otot besar (seperti: abdominal, diafragma) lebih resisten terhadap blokade dibanding otot-otot yang lebih kecil

(seperti: wajah, kaki, tangan).[katzung] Otot-otot kecil dan yang bergerak cepat seperti mata, rahang, dan laring

akan berelaksasi terlebih dahulu sebelum ekstremitas. Pemulihan otot biasanya terjadi dengan urutan

sebaliknya, sehingga diafragma menjadi otot pertama yang pulih fungsinya.[Goodman gillman]

2.7.6 Farmakokinetik Pankuronium

Absorpsi: sangat sedikit diserap dari saluran gastrointesinal. Absorpsi obat ini cukup baik pada intramuskular.

Onset yang cepat bisa didapat dari pemberian intravena.[Goodman gillman]

Ikatan protein: sangat rendah

Biotransformasi: Hepatik (dalam jumlah kecil) Goodman gillman

Waktu paruh distribusi: 10–13 menit

Page 23: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Waktu paruh eliminasi: 89–161 menit

Eliminasi primer: Renal

Eliminasi sekunder: bilier

Waktu untuk pulih (didapati 90% respon kejang): <60 menit

Berat molekul: 732.68

Onset: Intravena 0,04 mg/kg dalam 0,75 menit

Intravena 0,08 mg/kg dalam 0,5 menit

Disimpan dalam suhu 2-8°C

2.8 Piracetam

Nama IUPAC 2-oxo-1-pyrrolidineacetamide

Rumus kimia C6H10N2O2

Berat molekul 142.16 g mol-1

Penampakan Bubuk kristal putih halus

Bioavalabilitas ~100%

Rute administrasi Oral dan parenteral

Waktu paruh eliminasi 4-5 jam

Ekskresi Urin

Piracetam (nama dagang: Nootropil, Qropi, Myocalm, Dinagen, Synaptine) merupakan suatu substansi

nootropik. Nama kimianya adalah 2-oxo-1-pyrrolidineacetamide, dengan struktur basa oxo-pyrrolidone-nya

serupa dengan 2-oxo-pyrrolidine carboxylyc acid (piroglutamat). Piracetam merupakan derivat siklik dari

gamma-aminobutyric acid (GABA) dan merupakan salah satu racetam. Racetam merupakan kelas obat

nootropik yang memiliki inti pyrrolidine. Piracetam merupakan racetam yang larut air dan merupakan racetam

pertama yang dikembangkan. Piracetam biasa diresepkan dokter untuk beberapa kondisi, terutama mioklonus, 1piracetam yaitu gejala berupa kedutan involunter dari otot atau kelompok otot.

a. b.

Gambar. a. Struktur kimia pyrrolidine; b. Struktur kimia piracetam

2.8.1 Sejarah

Page 24: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Piracetam, dengan nama kimia 2-oxo-pyrrolidone, dikembangkan di pertengahan 1960 oleh perusahaan

farmasi UCB di Belgia. Obat ini awalnya digunakan untuk mengatasi motion sickness.1ias Antara 1968-1972,

terdapat ledakan riset mengenai Piracetam yang membuka kemampuannya dalam memfasilitasi pembelajaran,

mencegah amnesia yang diinduksi oleh hipoksia dan electroshock, serta mengakselerasikan EEG

(electroencephalograph) kembali ke normal pada hewan yang mengalami hipoksia.1ias Pada 1972, C.E. Giurgea,

koordinator peneliti sekaligus peneliti utama Piracetam, memformulasikan kategori obat dalam

mendeskripsikan Piracetam sebagai obat nootropik.2ias

Menurut Giurgea, obat-obat nootropik memiliki karakteristik berikut:

1. Meningkatkan pembelajaran dan memori

2. Meningkatkan pertahanan kelaluan yang dipelajari / memori terhadap kondisi yang mengganggu

(misalnya, syok elektrokonvulsif, hipoksia)

3. Melindungi otak terhadap luka fisik atau kimiawi (misalnya, barbiturat, skopalamin)

4. Meningkatkan efisiensi mekanisme kontrol korteks ataupun subkorteks

5. Tidak menimbulkan efek psikotropik (misalnya, sedasi, stimulasi motorik) dan memiliki sedikit efek

samping serta mempunyai toksisitas yang rendah.3ias

2.8.2 Nootropik

Nootropik merupakan golongan obat yang memperbaiki kemampuan kognitif manusia, baik fungsi

maupun kapasitasnya, pada keadaan yang mengalami kerusakan.1nootropik Istilah nootropik diberikan oleh Dr.

Corneliu E. Giurgea, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu noos (pikiran) dan tropein (berbalik). Obat-obatan

nootropik bekerja dengan mempengaruhi availabilitas suplai otak terhadap neurokemikal (neurotransmiter,

enzim, dan hormon), memperbaiki suplai oksigen otak, atau dengan menstimulasi pertumbuhan saraf.

Nootropik digunakan untuk pasien-pasien dengan kesulitan pembelajaran kognitif, degradasi neural (penyakit

Alzheimer’s atau Parkinson’s), dan untuk kasus-kasus defisit oksigen untuk mencegah hipoksia.

Terdapat beberapa jenis obat nootropik, antara lain:

1. Obat-obat untuk mengembalikan dan meningkatkan neurotransmiter, yang terdiri atas:

a. Substansi kolinergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor asetilkolin, serta inhibitor

asetilkolinesterase. Contohnya adalah piracetam, aniracetam, donepezil, dan lain-lain.

b. Substansi dopaminergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor dopamin, serta inhibitor ambilan

dopamin.

c. Substansi serotonergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor serotonin, serta inhibitor ambilan

serotonin.

2. Obat-obat anti-depresi, adaptogenik (antistres), dan stabilisasi emosi

3. Obat-obat untuk memperbaiki fungsi otak dan suplai oksigen

4. Obat-obat untuk kesadaran, konsentrasi, stamina, dan fokus

Page 25: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

5. Obat-obat peningkatan memori dan perbaikan pembelajaran

6. Obat-obat stimulasi pertumbuhan saraf dan proteksi sel otak

7. Obat-obat rekreasi dengan efek nootropik

8. Nootropik diet

9. Nootropik lainnya

2.8.3 Mekanisme Kerja Piracetam

Mekanisme kerja piracetam tidak diketahui. Namun, diduga bahwa piracetam bekerja pada kanal ion

atau pembawa ion, yang menyebabkan peningkatan non-spesifik eksitabilitas saraf. Piracetam memiliki

toksisitas yang rendah dan telah diketahui bahwa piracetam meningkatkan aliran darah serta konsumsi oksigen

di otak, tetapi ini mungkin saja merupakan efek samping dari peningkatan aktivitas otak dan bukan karena efek

dari obat.11piracetam

Piracetam meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin melalui reseptor muskarinik kolinergik yang

berimplikasi pada proses memori.12piracetam Lebih jauh lagi, piracetam memiliki efek pada reseptor NMDA

glutamat yang terlibat dalam proses pembelajaran dan memori. Piracetam meningkatkan permeabilitas

membran sel12,13piracetam dan menimbulkan efek pada neurotransmisi otak melalui modulasi kanal ion, yaitu kanal

ion Ca2+ dan K+.10 piracetam Piracetam juga meningkatkan konsumsi oksigen di otak. Hal tersebut berhubungan

dengan metabolisme ATP. Piracetam juga meningkatkan aktivitas adenilat kinase pada otak tikus.14,15piracetam

Piracetam juga meningkatkan sintesis sitokrom b5,16piracetam yang merupakan bagian dari mekanisme transpor

elektron pada mitokondria. Piracetam juga meningkatkan permeabilitas mitokondria terhadap beberapa senyawa

intermediet dari siklus Krebs.17piracetam

2.8.4 Efek dan Manfaat

Terdapat sejumlah studi terhadap piracetam membuktikan beberapa efek dan manfaat piracetam, yaitu

antara lain:

1. Meningkatkan kerja dari sejumlah kegiatan kognitif pada anak-anak disleksia, yaitu meningkatkan

komprehensi, kecepatan, dan keakuratan dalam membaca, menulis, dan mengeja, serta meningkatkan

memori dan pembelajaran verbal.8,12,13,14ias

2. Hasil positif dalam penatalaksanaan afasia post-strok, epilepsi, penurunan kognitif yang post operasi otak,

demensia, dan mioklonus. 5,6piracetam,8ias

3. Meningkatkan komunikasi antara kedua hemisfer otak dan meningkatkan aktivitas corpus callosum. 7,8,9piracetam

4. Merawat alkoholisme dan alcohol withdrawal syndrome pada hewan dan manusia.4,5,19ias

5. Memperbaiki atau memperlambat kerusakan, pada demensia dan penyakit Alzheimer’s.6,7ias

Page 26: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

6. Mengembalikan sejumlah fungsi, seperti penggunaan ekstremitas, berbicara, EEC, dan kesadaran, pada

orang-orang yang mengalami iskemi serebral akut dan kronik.9,10ias

7. Meningkatkan kesadaran, kooperasi, sosialisasi, dan IQ pada pasien-pasien psikiatrik lanjut usia yang

mengalami mild diffuse cerebral impairment.11ias

8. Memaksimalkan aktivitas antikonvulsan dari obat-obatan antiepilepsi pada hewan dan manusia, serta

mengeliminasikan defisit kognitif yang diinduksi oleh obat-obat tersebut.15,16ias

9. Meningkatkan performa mental pada orang-orang yang telah mengalami proses penuaan alami yang

menderita middle-aged forgetfulness.17ias Pasien-pasien gangguan memori karena aging yang diberikan

piracetam menunjukkan peningkatan konsolidasi dan recall memori yang bermakna.8ias Piracetam

membalikkan perlambatan EEC yang berhubungan dengan penuaan normal dan patologis, meningkatkan

aktivitas EEG (electroencephalograph) alfa dan beta, yang merupakan tipe EEG aktivitas cepat, dan

mengurangi aktivitas EEG lambat, yaitu delta dan theta sehingga secara simultan meningkatkan atensi,

memori, dan kesadaran.17Aias

10. Mengurangi keparahan dan terjadinya gejala utama dari sindrom post-gegar otak, seperti nyeri kepala,

vertigo, kelelahan, dan berkurangnya kesadaran, serta meningkatkan kesadaran pada pasien-pasien koma

karena cedera kepala.18,19ias

11. Merawat motion sickness dan vertigo.1ias

12. Merawat myoclonus (spasma otot parah) yang berasal dari kortikal.20ias

13. Merawat sindrom Raynauld (vasospasma parah pada tangan dan/atau kaki), dengan perbaikan yang cepat

dan bermakna. Efisiensi piracetam tetap terjaga setelah 2-3 tahun terapi.21ias

14. Menghambat anemia bulan sabit, baik secara klinik maupun eksperimental.11ias

15. Memperbaiki penyakit Parkinson’s dan secara sinergis bekerja dengan perawatan standar L-dopa.1ias

16. Merupakan salah satu obat teraman yang pernah digunakan. Piracetam telah diteliti pada berbagai spesies,

yaitu ikan mas, tikus, mencit, babi guinea, kelinci, kucing, marmot, kera, dan manusia.1,19ias Pada penelitian

toksisitas akut yang ditujukan untuk menentukan LD50 piracetam (dosis letal yang membunuh 50% hewan

coba), piracetam gagal mencapai LD50 ketika diberikan IV pada tikus dengan dosis 8g/kgBB. 1ias Serupa

dengan penelitian tersebut, studi LD50 secara oral pada mencit, tikus, dan anjing yang diberikan 10g/kgBB

juga tidak menghasilkan LD50.1ias Hal ini ekuivalen dengan memberikan 700 g piracetam kepada manusia

dengan berat 70 kg. Tidak ditemukan efek toksik pada tikus yang diberikan piracetam 100-1000 mg/kg

secara oral selama enam bulan dan pada anjing yang diberikan sebanyak 10g/kg secara oral selama satu

tahun. Tidak ditemukan efek teratogenik ataupun perubahan tingkah laku.22ias

17. Paula-Barbosa dan kolega menemukan bahwa pemberian alkohol selama 12 bulan pada tikus secara

signifikan meningkatkan pembentukan lipofuscin (pigmen yang berhubungan dengan pertambahan usia)

pada sel-sel otak. Setelah diberikan piracetam dosis tinggi pada tikus-tikus tersebut, level lipofuscin

berkurang secara bermakna di bawah kelompok kontrol dan kelompok tanpa piracetam.4ias

Page 27: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

18. Merupakan antagonis terhadap blokade neuromuskular yang letal (karena menghentikan pernapasan) pada

mencit oleh hemicholinium-3 (HC-3) intravena.23ias Piracetam juga menghambat blokade neuromuskular

pada kucing oleh d-tubokurarin.1ias Piracetam mengurangi defisit memori dan pembelajaran pada mencit

yang disebabkan oleh substansi antikolinergik HC-3.23ias Ketika mencit diberikan oksidipentonilim, agen

curare-like yang bekerja dalam jangka waktu pendek, pada dosis yang mampu membunuh 90% dari salah

satu kelompok dan 100% dari kelompok lainnya, kedua kelompok mencit yang diberikan piracetam

memiliki angka survival 90% dan 100%.19ias

Page 28: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

2.9 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

Kelainan neuromuskular

Disfungsi progresif motor neuron

Antibodi AChR

Myastenia Gravis

Pascapolio

Neuroterapi

Obat antiAChE Obat herbal

Kerugian Ekstrak akar Acalypha indica

Efek samping tinggi

Uji in vivo pada Rana pipiens

Rebusan Akar Tanaman

Akar Kucing (RATAK)

Pengobatan farmakologi

Kontrol

Positif Negatif

Piracetam Air

Pankuronium bromida

Kanal kalsium

Lambert-Eaton

Obat pelumpuh

Taut Neuromuskular

Page 29: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental pada katak Rana pipiens untuk membuktikan bahwa

ekstrak Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot akibat penyuntikan Pankuronium Bromida

subkutan secara in vivo.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian bertempat di laboratorium Departemen Ilmu Farmasi Kedokteran dan laboratorium

Departemen Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mulai dilaksanakan pada 24

September 2007 sampai 21 Maret 2008.

3.3 PENGUMPULAN DAN IDENTIFIKASI TANAMAN

Bahan penelitian yang digunakan adalah akar dari tanaman Acalypha indica, Linn. yang dikumpulkan dari

daerah Depok, Jawa Barat, dan telah dideterminasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia, Bogor.

3.4 ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kertas saring

2. Gelas ukur 500 cc

3. Batang pengaduk

4. Panci

5. Penangas air

6. Neraca

7. Termometer kimia

8. Gunting

9. Alumunium foil

10. Kaca parafilm

11. Buchi Rotavapor

12. Neraca listrik Mettler AE-200

13. Labu Erlenmeyer

14. Lemari es

15. Spuit 1 cc

16. Spuit 3 cc

17. Sonde

18. Botol kaca

19. Mortir dan stamper

20. Kertas obat

21. Stopwatch

22. Timbangan faal

23. Sarung tangan

Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Akar tanaman Acalypha indica, Linn.

Page 30: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

2. Akuabides

3. Pankuronium bromida 0,2%

4. Piracetam

5. Akuades

3.5 CARA KERJA

3.5.1 PERSIAPAN BAHAN DAN SAMPEL

3.5.1.1 Persiapan ekstrak

1. Pengambilan tanaman

Bahan penelitian yang digunakan adalah akar dari tanaman Acalypha indica, Linn. yang

dikumpulkan dari daerah Depok, Jawa Barat.

2. Determinasi tanaman

Tanaman Acalypha indica, Linn. yang digunakan telah dideterminasi oleh Pusat Penelitian dan

Pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

3. Pengeringan dan pencucian simplisia

Bagian akar dipisahkan dari tanaman kemudian dicuci bersih dan dikeringkan di udara terbuka

terlindung dari sinar matahari langsung. Pengeringan ini berlangsung selama 8 hari. Setelah itu

dilakukan pemotongan sebesar ± 1 cm.

4. Ekstraksi simplisia

Akar yang telah dilakukan pemotongan dikelompokkan dengan masing-masing kelompok 100 gram.

Tiap-tiap kelompok dicuci dan disaring, lalu dimasukkan ke dalam panci, kemudian ditambahkan

akuades sebanyak 900 ml. Rebus selama 30 menit pada suhu 96oC. Aduk rebusan dengan batang

pengaduk tiap 10 menit. Kain saring dibasahi untuk kemudian digunakan untuk menyaring air

rebusan. Ulang kembali perebusan untuk mendapatkan air rebusan akar kucing (rebusan kedua).

Hasil rebusan I dan II dikeringkan dengan rotavapor dengan angka rotasi 2-3, suhu waterbath

60oC, dan diberikan tekanan 200 mbar yang diturunkan perlahan-lahan hingga 50 mbar.

5. Konversi dosis ratak

Tabel konversi yang digunakan adalah 20 kali dengan perhitungan sebagai berikut.

Dosis in vivo Perhitungan Dosis in vivo

10 mg 6 mg

15 mg 9 mg

Page 31: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

20 mg 12 mg

25 mg 15 mg

3.5.1.2 Persiapan sampel

1. Determinasi katak

Sampel penelitian yang digunakan adalah katak dengan spesies Rana pipiens yang dideterminasi

oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor.

2. Pemilihan katak

Katak yang dipilih adalah katak yang sesuai dengan kriteria inklusi yang akan dijelaskan kemudian.

3.5.1.3 Persiapan Piracetam

Dosis piracetam untuk orang dewasa = 50 mg/kgBB

Konversi ke hewan percobaan = 20x

Berat badan katak = 30 gram

Dosis piracetam untuk katak =

Tablet piracetam 800 mg digerus dengan mortir dan stamper. Kemudian ditimbang dengan neraca

listrik Mettler AE-200 sejumlah 30 mg dan dibungkus dalam kertas obat.

3.5.1.4 Persiapan Pancuronium Bromida

1 ampul = 2 ml

Kadar Pankuronium Bromida yang digunakan adalah

0,2% =

Pengenceran yang dilakukan adalah pengenceran dengan rasio 1:20, yang berarti dalam 20 mL

larutan terdapat 1 mL Pankuronium Bromida atau 2 mg Pancuronium Bromida. Dosis tersebut

didapatkan berdasarkan preliminary yang telah dilakukan sebelum eksperimen yaitu bahwa katak

mengalami kematian saat diinjeksi Pankuronium Bromida secara subkutan pada dosis 1:1 hingga

1:15.

3.5.1.5 Pembuatan Larutan Ekstrak

Page 32: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

Tiap-tiap dosis in vivo ratak, yaitu 6 mg, 9 mg, 12 mg, dan 15 mg, dilarutkan dalam 1 ml akuades,

sehingga didapatkan larutan ekstrak akar tanaman akar kucing sebanyak 1 ml.

3.5.2 EKSPERIMEN

1. Pada obyek yang telah terpilih dan memenuhi kriteria inklusi dilakukan randomisasi blok sehingga

didapat enam kelompok sebagai berikut:

Kelompok intervensi

o Kelompok ratak 6 mg

o Kelompok ratak 9 mg

o Kelompok ratak 12 mg

o Kelompok ratak 15 mg

Kelompok kontrol

o Kelompok kontrol positif

o Kelompok kontrol negatif

2. Katak yang akan digunakan sebagai sampel pada tiap kelompok disuntikkan larutan Pankuronium

Bromida yang telah diencerkan dengan rasio 1:20 secara sub-kutan pada kantung limfe illiaca bagian

dorsal, yaitu di sebelah urostil, yang setara dengan os.coccygis pada manusia.

3. Dilakukan pembalikan pada katak tiap satu menit dan diamati sampai katak menunjukkan gejala

kelumpuhan dan dilakukan pencatatan saat mulai timbul kelumpuhan pada katak.

4. Katak yang telah menunjukkan gejala kelumpuhan diberikan perlakuan sesuai kelompok yang telah

ditentukan, yaitu sebagai berikut:

- Kelompok kontrol positif diberikan piracetam 30 mg. Piracetam diberikan pada katak dengan

cara langsung dimasukkan ke dalam mulut katak.

- Kelompok kontrol negatif diberikan akuades 1 ml.

- Kelompok ratak 6 mg diberikan larutan ratak 6 mg sebanyak 1 ml.

- Kelompok ratak 9 mg diberikan larutan ratak 9 mg sebanyak 1 ml.

- Kelompok ratak 12 mg diberikan larutan ratak 12 mg sebanyak 1 ml.

- Kelompok ratak 15 mg diberikan larutan ratak 15 mg sebanyak 1 ml.

5. Setelah diberikan perlakuan nomor 4, katak pada tiap-tiap kelompok dikembalikan pada posisi

telentang dan catat waktu yang diperlukan katak untuk kembali ke posisi semula.

6. Kembali dilakukan pembalikan terhadap katak 1 menit setelah katak berhasil kembali ke posisi

semula dan catat waktu yang diperlukan katak untuk kembali ke posisi semula.

7. Lakukan langkah nomor 6 dengan interval 1 menit dan terus diobservasi sampai katak kembali pulih

dari kelumpuhan.

Page 33: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

3.6 Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus Federer, sebagai berikut:

(n-1)(t-1) ≥ 15

n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t = jumlah kelompok perlakuan

Dari rumus di atas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai berikut:

t = 6, maka didapatkan

(n-1) (6-1) ≥ 15

(n-1) 5 ≥ 15

(n-1) ≥ 3

n ≥ 4

Dari hasil perhitungan di atas, maka besar sampel pada penelitian ini adalah lebih atau sama dengan 4

sampel per kelompok.

3.7 Kriteria Inklusi dan Drop Out

3.7.1 Kriteria Inklusi

Karakteristik umum yang harus dipenuhi obyek penelitian ini adalah:

1. Katak spesies Rana pipiens

2. Berat 25-30 mg

3. Sehat (akan dijelaskan lebih lanjut)

3.7.2 Kriteria Drop Out

Obyek yang digunakan dalam penelitian dapat dinyatakan drop out atau tidak dapat digunakan

lebih lanjut dalam penelitian apabila:

1. Mati selama eksperimen karena pemberian pavulon

2. Tidak menunjukkan gejala kelumpuhan 25 menit setelah penyuntikan Pankuronium Bromida.

3.8 IDENTIFIKASI VARIABEL

Penelitian ini bersifat eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara dua variabel

yang dapat digolongkan menjadi variabel bebas (independent variable) dan variabel tergantung (dependent

variable), yaitu:

Independent variable : Perlakuan (kontrol positif, kontrol negatif, dan berbagai dosis ratak).

Dependent variable : Lama collapse.

Sedangkan, skala pengukuran tiap-tiap variabel di atas dapat dirangkumkan menjadi:

1. Perlakuan : Skala kategorikal (diberikan atau tidak skala ordinal).

Page 34: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

2. Lama collapse : Skala numerik (menit)

3.9 DEFINISI OPERASIONAL

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah-istilah sebagai berikut:

1. Ratak adalah ekstrak rebusan akar tanaman akar kucing (Acalypha indica, Linn.)

2. Katak sehat adalah katak yang dapat membalikkan badan ke posisi semula dalam waktu 0,3 – 0,5 detik

setelah dilakukan pembalikan sebelum diinjeksikan Pancuronium Bromida subkutan.

3. Katak yang mengalami gejala kelumpuhan adalah katak yang tidak mampu membalikkan badan ke

posisi semula selama lebih dari 4 menit setelah dilakukan pembalikan.

4. Katak yang pulih dari kelumpuhan adalah katak yang mampu membalikkan badan ke posisi semula

selama kurang dari 1 detik tiga kali pembalikan berturut-turut.

3.10 RENCANA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Data yang akan didapat pada akhir penelitian ini meliputi:

1. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa akuades 1 ml per oral setelah

katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok kontrol negatif, beserta rata-

rata pada kelompok tersebut.

2. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa piracetam 30 mg per oral setelah

katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok kontrol positif, beserta rata-

rata pada kelompok tersebut.

3. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 6 mg per oral setelah katak

mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 6 mg, beserta rata-rata pada

kelompok tersebut.

4. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 9 mg per oral setelah katak

mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 9 mg, beserta rata-rata pada

kelompok tersebut.

5. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 12 mg per oral setelah katak

mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 12 mg, beserta rata-rata pada

kelompok tersebut.

Selanjutnya data-data tersebut akan dimasukkan ke dalam tabel berikut:

Tabel Hasil Eksperimen Ratak Sebagai Neuroterapi In Vivo pada Katak

Perlakuan Setelah

Collapse 4 menit (per

Aquadest

1 mL

Piracetam

30 mg

Ratak 6

mg

Ratak 6

mg

Ratak 6

mg

Ratak 6

mg

Page 35: Draft Proposal Per 100109-Naik Cetak

oral)

Lama

Collapse

1

2

3

4

5

6

7

Rata-Rata

Sesuai dengan karakteristik data, peneliti akan menggunakan uji hipotesis komparatif variabel numerik

berdistribusi normal lebih dari dua kelompok tidak berpasangan untuk menguji kebenaran hipotesis, yaitu uji

one way anova.bkstatistikstl . Data tersebut akan diolah menggunakan program SPSS 14.0 for Windows.

Proses yang akan dilakukan pada uji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memeriksa syarat anova untuk > 2 kelompok tidak berpasangan, yaitu:

a. Sebaran data harus normal

b. Varians data harus sama

Apabila nilai p > 0,05 dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara

kelompok data yang dibandingkan atau dengan kata lain varians data adalah sama.

2. Jika memenuhi syarat, maka dilakukan uji one way anova.

3. Jika tidak memenuhi syarat, maka diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya sebaran

menjadi normal dan varians menjadi sama.

4. Jika variabel hasil transformasi tidak berdistribusi normal atau varians tetap tidak sama, maka dipilih uji

Kruskal-Wallis

5. Jika pada uji anova atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p < 0,05, dapat disimpulkan bahwa

setidaknya terdapat dua kelompok yang mempunyai varians data yang berbeda secara bermakna. Untuk

mengetahui kelompok yang mengalami perbedaan bermakna, dilakukan analisis post-hoc.