proposal pts
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Supervisi pendidikan merupakan salah satu dari fungsi pokok administrasi
pendidikan. Berbagai fungsi administrasi pendidikan yang dimaksudkan adalah
fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian. kepegawaian, pembiayaan
dan penilaian. Seluruh fungsi admnistrasi pendidikan tersebut semestinya bejalan
dengan baik sesuai dengan fungsinya. Supervisi sebagai salah satu fungsi yang sangat
penting yang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi yang lainnya. Disebut penting
oleh karena setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan supervisi, maka
dalam hubungan ini isu kebijakan mengenai supervisi pendidikan sangat menarik
untuk dikaji, terutama kebijakan supervisi di tingkat persekolahan. Peran supervisi
dapat dilaksanakan berbagai pihak, namun dalam penelitian ini fokus elaborasi pada
supervisi yaitu yang dilakukan oleh kepala sekolah. Dalam hubungan dengan hal ini,
supervisi yang dimaksudkan adalah supervisi pembelajaran yang dilaksanakan oleh
kepala sekolah.
Supervisi pendidikan di sekolah yang dilaksanakan oleh kepala sekolah
khususnya supervisi pembelajaran terhadap guru-guru merupakan sesuatu yang
sangat dibutuhkan dan menjadi suatu keniscayaan. Fungsi kepala sekolah sebagai
supervisor merupakan bagian yang integral dengan fungsi-fungsi administrasi
pendidikan yang lainnya. Kepala sekolah merupakan sosok sentral yang menjadi
tumpuan dalam pengambilan kebijakan di sekolah, baik sebagai edukator, manajer,
administrator, supervisor, pemimpin, inovator, dan motivator. Kepala sekolah
merupakan orang yang bertanggungjawab penuh akan keberhasilan pendidikan di
sekolah.
Realitas yang terjadi di lapangan sering kali kepala sekolah lebih banyak
berperan sebagai seorang pemimpin atau penguasa tunggal, bahkan sering juga
disebut sebagai raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan penuh atas segala
kepemilikan aset, pendapatan dan pemasukan keuangan sekolah, atau penentu nasib
para guru dan pegawainya di sekolah (Chan dan Sam, 2005). Kepala sekolah sering
bertindak sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan. Oleh karena itu kondisi
yang demikian ini sering dimanfaatkan oleh guru yang memiliki kemampuan untuk
mengambil hati, memperoleh peluang untuk mendapat rezeki dari kekuasaan kepala
sekolah. Sedangkan di sisi lain bagi para guru dan pegawai yang tergolong dalam
garis oposisi dan berani melawan atau yang tidak patuh terhadap kebijakan kepala
sekolah, harus bersiap untuk menerima berbagai sanksi, seperti kenaikan pangkatnya
dipersulit, promosi jabatannya tidak diurus, peluang karir ditutup, dan sebagainya.
Pada kondisi yang seperti ini, tindakan supervisi dari kepala sekolah sama
artinya dengan tindakan mencari-cari kesalahan atau kekurangan dari para
bawahannya (Chan dan Sam, 2005). Jadi supervisi pendidikan dijadikan ajang untuk
menakut-nakuti guru-guru, sehingga guru merasa takut berbuat, takut keliru, takut
dimarahi, bahkan takutnya tidak menentu. Suasana yang demikian menimbulkan rasa
ketidaknyamanan bekerja. Oleh sebab itu inisiatif dan kreativitas guru dalam
mengajar diramalkan akan sulit muncul.
Tampaknya persyaratan seorang kepala sekolah seperti ini cukup memberikan
garansi dalam upaya untuk membantu guru-guru dalam meningkatkan kualitas proses
belajar mengajar khususnya, dan mutu pendidikan pada umumnya. Persoalannya
adalah kalau pesyaratan tersebut dikaitkan dengan realitas yang ada di lapangan pada
saat ini, maka akan ditemukan bahwa masih banyak kepala sekolah bertugas
melaksanakan supervisi pembelajaran atau sebagai supervisor tersebut belum
memiliki latar belakang pendidikan S1, bahkan masih ada yang sarjana muda atau
D3, belum memiliki sertifikat sebagai guru profesional, di samping belum pernah
diuji kompetensinya sebagai supervisor.
Berdasarkan kondisi di lapangan seperti yang disebutkan di atas, kalau
memang persyaratan tersebut diharapkan dapat lebih menjamin kinerja para kepala
sekolah tersebut akan lebih baik, tampaknya idealisme dan reformasi yang diharapkan
terhadap peran kepala sekolah sebagai supervisor tersebut tidak akan dapat terlaksana
secara efektif. Mengapa demikian, persoalannya adalah realitas di lapangan
menunjukkan masih banyak para guru yang menilai bahwa pelaksanaan pengawasan
atau supervisi oleh para kepala sekolah, dan para pengawas eksternal tersebut belum
dirasakan dan dilaksanakan secara bermakna.
Pendekatan supervisi pembelajaran akan sangat berkaitan dengan berbagai
prosedur dan langkah-langkah, teknik-teknik, instrumen-instrumen, kondisi-kondisi
interaksi sosial antara kepala sekolah dan guru, permasalahan yang dihadapi oleh
guru, tingkat kematangan guru, serta tujuannya, maupun dampak dan kemanfaatan
dari masing-masing pendekatan supervisi pembelajaran tersebut akan memiliki
keunggulan dan kekurangan-nya.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja kepala sekolah dalam
melaksanakan supervisi pembelajaran, tidak hanya dapat dilakukan dengan
memperbaiki persyaratan dalam merekrut calon kepala sekolah, tetapi juga sangat
bergantung pada kemampuan kepala sekolah sebagai supervisor mengimplemen-
tasikan berbagai pedekatan dan teknik supervisi pembelajaran yang dianggap efektif
untuk diterapkan.
Bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian yang menggambarkan kondisi di
lapangan, yaitu masih lemahnya kualitas supervisi para kepala sekolah, pengalaman
dalam pelatihan sangat beragam dan tingkat pendidikan relatif bervariasi,
pengetahuan kepala sekolah tentang supervisi pembelajaran kepala sekolah masih
minim, sehingga pendekatan supervisi yang dilakukan cenderung monoton. Sebagai
akibatnya, supervisi pembelajaran cenderung kurang bermanfaat bagi peningkatan
kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran.
Dalam proses pembinaan, guru mengalami perkembangan secara terus
menerus, sehingga program supervisi harus dirancang untuk mengikuti
perkembangan guru. Dengan demikian supervisi baru akan terjadi bila guru
membutuhkan. Untuk itu perlu kiranya dikaji tentang ”Pengaruh Pendekatan Oleh
Kepala Sekolah terhadap Kualitas Pembelajaran Guru di SMA Negeri 1 Rangsang
Kabupaten Kepulauan Meranti
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan isu-isu bidang pendidikan dan fenomena-fenomena yang ada
sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang penelitian ini khususnya yang
terjadi di SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti, maka dapat
diidentifikasi beberapa masalah yang perlu mendapat perhatian, antara lain:
1. Penguasaan tentang supervisi pembelajaran kepala sekolah masih minim,
sehingga pelaksanaannya monoton dari tahun ke tahun. Dengan minimnya
penguasaan tentang supervisi pembelajaran menyebabkan tidak
bervariasinya pendekatan supervisi pembelajaran yang diterapkan oleh
kepala sekolah.
2. Supervisi kepala sekolah tidak berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kepala sekolah jarang mengobservasi guru mengajar di kelas. Pembinaan
mengenai pembelajaran tidak tersentuh. Supervisi kepala sekolah lebih
menekankan pada bidang administrasi guru dengan saran ada dan tidak ada
saja. Di samping itu, tingkat intensitas supervisi kepala sekolah masih
rendah, bahkan dalam satu bulan belum tentu menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai supervisor.
3. Jarangnya guru mendapat pelatihan yang menyangkut pembinaan karir guru
dalam bentuk in-service terutama terkait dengan manajemen pembelajaran
inovatif, karena tergantung pada kondisi keuangan daerah. Mengingat di
dalam era otonomi sekarang ini kegiatan pelatihan belum memadai. Kalau
dibandingkan dengan guru yang telah mendapatkan pelatihan dengan yang
belum mendapat pelatihan, jauh perbandingannya, mengingat yang belum
mendapat pelatihan cukup besar jumlahnya, sehingga akan berdampak juga
kepada kinerja yang dicapai oleh guru yang bersangkutan.
1.3 Pembatasan Masalah
Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas pembelajaran mencakup aspek-
aspek yang luas dan mendalam, sehingga tidak akan tuntas dijawab melalui satu
penelitian. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu: misalnya, kompetensi
guru rendah, kepala sekolah cenderung menganggap guru adalah bawahan bukan
teman kerja, belum adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru, serta kepala sekolah cenderung belum profesional dalam
menjalankan supervisi pembelajaran. Dengan adanya gejala tersebut, maka penelitian
ini hanya dibatasi pada faktor yang berpengaruh terhadap kualitas manajemen
pembelajaran inovatif yaitu:, pendekatan supervisi pembelajaran kepala sekolah,
yakni pendekatan. Pengambilan pendekatan didasari oleh pertimbangan bahwa guru
pada umumnya memerlukan sesuatu karena memang membutuhkan. Untuk itu, hasil
yang diperoleh mencerminkan pengaruh penerapan supervisi pembelajaran non-
direktif terhadap kualitas manajemen pembelajaran guru. Manajemen pembelajaran
inovatif difokuskan pada model pembelajaran problem based intruction.
1.4 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan
masalah tersebut di atas, maka masalah pokok yang ingin dicari solusinya melalui
penelitian ini secara rinci dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kualitas pelaksanaan supervisi pembelajaran oleh kepala SMA
Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti?
2. Bagaimanakah kualitas pembelajaran guru sebagai akibat diterapkannya
pendekatan supervisi pembelajaran oleh kepala sekolah pada guru SMA
Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti?.
3. Apakah pelaksanaan pendekatan supervisi pembelajaran oleh kepala sekolah
efektif dalam meningkatkan kualitas pembelajaran guru SMA Negeri 1
Rangsang di Kabupaten Kepulauan Meranti?
1.5 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kecenderungan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru dan menganalisis
pengaruh supervisi pembelajaran non-direktif terhadap kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru oleh kepala SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten
Kepulauan Meranti. Secara rinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan kecenderungan kualitas pelaksanaan supervisi
pembelajaran oleh kepala SMA Negeri 1 Kuta Kabuapeten Badung.
2. Untuk mendeskripsikan kecenderungan kualitas pembelajaran guru SMA
Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti dilihat dari aspek
pelaksanaan pembelajaran sebagai akibat diterapkannya model supervisi
pembelajaran oleh kepala sekolah.
3. Menganalisis dampak pelaksanaan pendekatan supervisi pembelajaran oleh
kepala sekolah terhadap peningkatan kualitas manajemen pembelajaran
inovatif guru SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat dipetik dari hasil penelitian ini secara umum adalah
memberikan sumbangan pemikiran kepada pengambil kebijakan khususnya
Pemerintah Kabupaten Badung melalui Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga
dalam rangka meningkatkan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru sehingga
nantinya kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Badung lebih mampu bersaing
di era global. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi Guru SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti
Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru, sehingga gambaran ini dapat dijadikan umpan
balik bagi guru untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran inovatif guru
sehingga berdampak pada kualitas hasil belajar siswa.
2. Bagi Kepala SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti
Hasil penelitian ini memberikan gambaran tentang kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru , sehingga gambaran ini dapat dijadikan umpan
balik bagi kepala sekolah untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran
guru sehingga berdampak pada kualitas hasil belajar siswa melalui penerapan
model supervisi pembelajaran non-direktif. Di samping itu hasil penelitian ini
memberikan gambaran tentang efektifitas supervisi pembelajaran non-direktif
dalam meningkatkan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru . Dari
gambaran ini dapat dijadikan pijakan untuk terus mengembangkan supervisi
pembelajaran non-direktif.
3. Bagi Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kepulauan Meranti
Hasil penelitian ini memberikan gambaran yang nyata tentang kualitas
manajemen pembelajaran inovatif guru SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten
Kepulauan Meranti dan mengungkapkan secara empirik bahwa supervisi
pembelajaran non-direktif berpengaruh terhadap kualitas manajemen
pembelajaran inovatif. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan
pedoman untuk terus berupaya mengembangkan kualitas supervisi
pembelajaran kepala sekolah dan kualitas manajemen pembelajaran inovatif
guru sehingga hasil berlajar siswa dapat dicapai secara optimal.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Supervisi Pembelajaran
2.1.1.1 Pengertian Supervisi Pembelajaran
Pada dasarnya kepala sekolah berfungsi sebagai supervisor berkewajiban
melakukan supervisi terhadap manajemen sekolah dan kegiatan belajar mengajar.
Supervisi tersebut dilakukan dengan maksud untuk mencari perbandingan antara apa
yang diharapkan dengan apa yang terjadi (elector). Hasil penemuannya berupa
informasi-informasi mengenai apa yang terjadi (detector), kemudian dikomuni-
kasikan ke jaringan komunikasi (communication network), selanjutnya di sampaikan
ke komponen lain (komponen pengendalian kepala sekolah dan komite sekolah,
sekolah dan guru). Berdasarkan temuan tersebut, kepala sekolah melakukan
komunikasi dengan guru sehubungan kinerjanya, terutama menyangkut: pengarahan,
bimbingan, pembinaan, dan contoh, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah yang
seharusnya atau sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Proses ini dilaksanakan
secara bertahap, menyeluruh, dan berkesinambungan untuk memberikan kepuasan
semua pihak yang membutuhkan.
Secara konseptual, supervisi pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan
atau upaya membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya, mengelola
proses belajar mengajar demi pencapaian tujuan pembelajaran (Glickman, 1981).
14
Dengan demikian, esensi dari supervisi pembelajaran adalah memberi bantuan
kepada guru agar dapat mengembangkan kemampuan profesionalnya. Kimball Willes
(1955) sebagaimana dikutip oleh Suharsini (2004:11) memberikan batasan sebagai
berikut : ”Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar
agar memperoleh kondisi yang lebih baik”. Meskipun tujuan akhirnya tertuju pada
hasil belajar siswa, namun yang diutamakan dalam supervisi adalah bantuan kepada
guru, yang menurut dia, tentu akhirnya berdampak pada siswa pula. Dasar pemikiran
tersebut adalah bahwa guru memegang peran penting sekali dalam pembelajaran
siswa. Sedangkan Sahertian (2000: 19) merumuskan supervisi tidak lain dari usaha
memberi layanan kepada guru-guru baik secara individual maupun secara kelompok
dalam usaha memperbaiki pembelajaran. Kata kunci dari pemberi supervisi pada
akhirnya adalah memberikan layanan dan bantuan.
Dalam melaksanakan supervisi pembelajaran memang tidak terlepas dari
proses penilaian terhadap kinerja guru dalam mengelola proses belajar mengajar,
karena untuk bisa memberi bantuan kepada guru dalam mengembangkan
profesionalnya, hasil penilaian tersebut dapat dipakai estimasi untuk menetapkan
aspek-aspek mana yang perlu dikembangkan dan perlu mendapat bantuan. Sejalan
dengan hal itu, Sergiovanni dalam Bafadal (1992) menegaskan bahwa refleksi praktis
penilaian kinerja guru dalam supervisi adalah melihat realita kondisi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: (1) apa yang sebenarnya terjadi di dalam
kelas?, (2) apa yang sebenarnya dilakukan oleh guru dan murid-murid di dalam
kelas?, (3) aktivitas-aktivitas mana dari keseluruhan aktivitas di dalam kelas itu yang
berarti bagi guru-guru dan murid ?, (4) apa yang dilakukan oleh guru dalam mencapai
tujuan pembelajaran?, dan (5) apa kelebihan-kelebihan dan kekurangan guru dan
bagaimana cara mengembangkannya?. Setelah melakukan penilaian terhadap kinerja
guru, kegiatan supervisi dilanjutkan dengan membuat rancangan dan pelaksanaan
pengembangan kemampuan guru. Mengenai hal tersebut Bafadal (1992) merujuk
pendapat dari Alfonso (1981), Firth, dan Neville, mempertegas bahwa dalam
pelaksanaan supervisi pembelajaran ada tiga konsep pokok (kunci), yaitu: Pertama,
supervisi pembelajaran harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan
perilaku guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Kedua, perilaku supervisor
(kepala sekolah) dalam membantu guru mengembangkan kemampuannya harus
didesain secara optimal, sehingga jelas kapan mulai dan kapan berakhirnya program
pengembangan tersebut. Desain itu berwujud program-program supervisi
pembelajaran yang mengarah kepada tujuan tertentu. Dalam hal ini harus ada
kesadaran bahwa tugas supervisi pembelajaran merupakan tanggung jawab bersama
antara supervisor dan guru, maka alangkah baiknya program yang dibuat didesain
bersama oleh supervisor dan guru. Ketiga, tujuan akhir supervisi pembelajaran adalah
agar guru semakin mampu memfasilitasi kegiatan belajar bagi murid-muridnya.
Konsep supervisi pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh para teoritis
memang tampak idealis dan normatif. Dalam hal ini, para supervisor pembelajaran
baik suka maupun tidak suka harus menghadapi hal tersebut. Adanya problema-
problema dan kendala-kendala yang muncul sedikit banyak akan bisa diatasi apabila
dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran supervisor menerapkan prinsip-prinsip
supervisi pembelajaran yang telah ditetapkan. Supervisi harus dilakukan berdasarkan
data, fakta yang obyektif. Prinsip supervisi yang dilaksanakan menurut Sahertian
(2000:20) adalah:
(1) Prinsip ilmiah dengan ciri-ciri: kegiatan
supervisi dilaksanakan berdasarkan data obyektif yang diperoleh dalam
kenyataan pelaksanaan proses belajar mengajar; untuk memperoleh data
perlu diterapkan alat perekam data seperti angket, observasi, percakapan
pribadi dan seterusnya dan setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara
sistematis, berencana dan kontinyu.
(2) Prinsip demokratis, yaitu layanan dan bantuan
yang diberikan kepada guru berdasarkan hubungan kemanusiaan yang
akrab dan kehangatan sehingga guru-guru merasa aman untuk
mengembangkan tugasnya.
(3) Prinsip kerjasama yaitu mengembangkan
usaha bersama atau menurut istilah supervisi “sharing of idea, sharing of
experience”, memberi support, mendorong, menstimulasi guru, sehingga
mereka merasa tumbuh bersama.
(4) Prinsip konstuktif dan kreatif yaitu setiap guru
akan merasa termotivasi dalam mengembangkan potensi kreativitas
kalau supervisi mampu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan,
bukan melalui cara-cara menakutkan.
Bafadal (1992: 6-9), mengemukan beberapa prinsip supervisi pembelajaran,
antara lain sebagai berikut:
Pertama, supervisi pembelajaran harus mampu menciptakan hubungan
kemanusiaan yang harmonis. Hubungan kemanusiaan yang diciptakan harus bersifat
terbuka, kesetiakawanan, informal, baik antara supervisor dengan guru maupun
dengan pihak lain yang terkait. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya supervisor
harus memiliki sifat-sifat, seperti: suka membantu, memahami, terbuka, jujur, ajeg,
sabar, antusias, dan penuh humor.
Kedua, supervisi pembelajaran dilaksanakan secara berkesinambungan.
Supervisi pembelajaran bukan tugas bersifat sambilan yang hanya dilakukan sewaktu-
waktu jika ada kesempatan. Perlu dipahami, supervisi pembelajaran merupakan salah
satu essential function dalam keseluruhan program sekolah. Apabila guru telah
berhasil mengembangkan dirinya, tidaklah berarti selesai tugas supervisor, melainkan
harus tetap melakukan pembinaan secara berkesinambungan. Hal tersebut sangat
logis, karena masalah-masalah yang dihadapi dalam proses belajar mengajar selalu
muncul dan berkembang.
Ketiga, supervisi pembelajaran harus bersifat demokratis, artinya supervisor
tidak boleh mendominasi dan selalu aktif, kooperatif, serta melibatkan guru secara
partisipatif dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran. Oleh karena itu, supervisi
pembelajaran sebaiknya direncanakan, dikembangkan, dan dilaksanakan bersama
oleh supervisor dan guru yang dibinanya.
Keempat, program supervisi pembelajaran harus terintegralisasi dengan
program pendidikan lainnya yang mempunyai tujuan sama, seperti : program
administrasi, kesiswaan, BK, dan sarana prasarana. Antara program supervisi
pembelajaran dengan program-programnya itu harus tercipta hubungan yang
harmonis dan terintegrasi secara padu.
Kelima, supervisi pembelajaran harus komprehensif, artinya supervisi
pembelajaran harus mencakup keseluruhan aspek pengembangan pembelajaran,
walaupun terdapat titik berat pada aspek-aspek tertentu berdasarkan analisis
kebutuhan pengembangan pembelajaran sebelumnya. Prinsip ini tiada lain hanyalah
untuk memenuhi multi tujuan supervisi pembelajaran, berupa; kualitas,
pengembangan profesional, motivasi guru, dan komitmen guru.
Keenam, supervisi pembelajaran harus konstruktif, artinya supervisi
pembelajaran bukanlah untuk mencari-cari kesalahan dan segi negatif dari guru.
Justru dalam hal ini, supervisi pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan
pertumbuhan dan kreativitas guru dalam memahami dan memecahkan persoalan-
persoalan pembelajaran yang dihadapi.
Ketujuh, supervisi pembelajaran harus obyektif, artinya bahwa penyusunan
program supervisi pembelajaran harus didasarkan kebutuhan nyata dalam
pengembangan profesional guru. Di samping itu, dalam menentukan keberhasilan
program supervisi pembelajaran, instrumen pengukurannya memiliki validitas dan
reliabilitas tinggi.
Bertolak dari konsep dasar dan prinsip-prinsip supervisi pembelajaran, kepala
sekolah dalam hal ini berfungsi sebagai supervisor, dan dalam melaksanakan
fungsinya tersebut tidak hanya bertujuan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan guru dalam mengajar, namun juga mendorong tumbuh kembangnya
komitmen, kemauan atau motivasi guru. Sebab, dengan peningkatan kemampuan
(pengetahuan dan keterampilan), komitmen, dan motivasi guru akan dapat
meningkatkan kinerja guru. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari supervisi
pembelajaran yaitu melalui supervisi pembelajaran diharapkan kualitas pembelajaran
yang dilakukan oleh guru akan makin meningkat (Neagley dalam Bafadal, 1992).
Fungsi kepala sekolah sebagai supervisor pembelajaran sangat terkait dengan
tugas-tugas kepala sekolah yang tidak lain merupakan operasionalisasi dari fungsi
kepala sekolah. Pada dasarnya kepala sekolah mempunyai tugas pokok, yaitu;
melakukan pembinaan dan pengukuran atau penilaian terhadap penyelenggaraan
satuan-satuan pendidikan dan termasuk kegiatan pembelajaran yang menjadi bidang
dan atau tugasnya.
Penilaian adalah penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur)
yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah (Depdiknas, 2000:
6). Melakukan pembinaan artinya melaksanakan upaya-upaya pengendalian, memberi
pengarahan, dan memberi bimbingan atau saran terhadap sekolah agar pengelolaan
dan penyelenggaraan sekolah menjadi lebih baik, dan pada akhirnya mencapai
kualitas pendidikan sebagaimana yang diharapkan. Melakukan pengendalian artinya
upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah agar pengelolaan dan penyelenggaraan
sekolah tidak menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditetapkan. Memberikan
pengarahan maksudnya upaya kepala sekolah dalam melaksanakan pembinaan
terhadap penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah agar perencanaan dan
pelaksanaan program-program yang dicanangkan sekolah lebih terarah sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan yang telah ditetapkan. Memberikan bimbingan dan saran
maksudnya upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam pembinaan
dengan memberi pandangan-pandangan, masukan-masukan, dan pertimbangan-
pertimbangan kepada sekolah agar pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah menjadi
lebih baik dan bermutu.
Berdasarkan paparan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa supervisi
pembelajaran secara konseptual didefinisikan sebagai tingkat frekuensi dan intensitas
pelaksanaan tugas-tugas supervisi yang dilakukan kepala sekolah terhadap tugas
profesional guru yang mencakup: pemberian bantuan, pembinaan, bimbingan dan
contoh, dalam hal mengidentifikasi, pemecahan masalah-masalah pembelajaran,
bimbingan dan pembinaan peningkatan mutu kinerja guru, kesediaan menjadi partner
kerja, dan penilaian dan pengukuran keberhasilan guru
2.1.1.2 Perkembangan, dan Tujuan Supervisi Pembelajaran
Pendidikan di sekolah adalah merupakan salah satu dari tri pusat pendidikan,
di samping dalam pendidikan keluarga dan pendidikan dalam masyarakat
(Dewantara, 1977). Pendidikan di sekolah merupakan suatu sistem pendidikan yang
dilakukan dan diorganisasikan secara formal. Sekolah sebagai organisasi pendidikan
merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, di dalamnya terdiri dari berbagai
komponen yang mempunyai tugas dan fungsi secara sendiri-sendiri maupun saling
berkaitan satu sama lainnya, dan proses dalam rangka mencapai tujuannya.
Untuk dapat berfungsi dan berprosesnya berbagai komponen sekolah tersebut
secara efektif dalam mencapai tujuan penididikan, maka berbagai fungsi manajemen
dalam lembaga pendidikan sekolah supaya dilakukan secara benar. Fungsi-fungsi
manajemen yang dimaksudkan diantaranya adalah fungsi perencanaan,
pengorganisasian, komunikasi, pengarahan, kepemimpinan. pengawasan. eva!uasi,
monitoring, dan berbagai fungsi lainnya.
Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen tersebut khususnya fungsi
pengawasan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah dikenal dengan istilah
supervisi pembelajaran. Istilah supervisi dalam bidang pendidikan secara nasional
mulai diperkenalkan sejak tahun 1975 bersamaan dengan diberlakukannya kurikulum
1975. Kemudian dalam perkembangannya, tampaknya pada setiap pergantian
kurikulum, supervisi dianggap sebagai bagian dan pelengkap pedoman kurikulum
(Depdikbud. 1976). Walaupun kata supervisi dianggap tidak mengandung makna
yang sesuai dalam bidang pendidikan, karena diberi pemaknaan pembinaan, yaitu
pembinaan profesional guru sesuai dengan sistem pembinaan profesional (SPP)
sebagai hasil dari proyek Cianjur 1984 (Depdikbud, 1986). Tampaknya dalam
hubungan ini kata pembinaan itu sendiri hanya lebih dikenal di kalangan praktisi
seperti kepala sekolah, dan pengawas, dan sebaliknya kurang dikenal oleh guru,
karena para guru merasa lebih familier dengan istilah supervisi.
Namun demikian, secara akademis apapun istilah yang digunakan untuk
supervisi pendidikan bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan. Karena tugas
pengawas dan supervisor dalam konteks pendidikan dan pembelajaran memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah (1) tujuannya memperbaiki dan
meningkatkan kinerja guru, (2) berfungsi sebagai monitoring, (3) kegiatannya
memiliki fungsi manajemen, dan (4) berorientasi pada tujuan pendidikan. Kemudian
perbedaannya adalah bahwa kepengawasan lebih menekankan pada upaya untuk
menemukan penyimpangan atau hambatan dan rencana yang telah ditetapkan,
sedangkan supervisi lebih menekankan pada upaya-upaya membantu guru untuk
perbaikan dan peningkatan proses belajar mengajar.
Supervisi pendidikan pada awalnya lebih bersifat umum karena dilakukan
untuk memonitor berbagai kegiatan yang dilaksanakan di sekolah. Karena itu
seringkali kesalahan para personil sekolah akan lebih banyak dieksploitasi dan
ditonjolkan, bahkan melebihi batas atau melanggar suatu aturan atau kebijakan akan
membawa konsekuensi seseorang personel tertentu dapat diberikan sanksi sampai
pada pemecatan. Itulah sebabnya supervisi pada waktu itu lebih banyak dikonotasikan
sifatnya lebih melecehkan supervisi dengan ungkapan snoopervision atau penembak
jitu.
Kemudian lebih lanjut dalam perkembangannya konsepsi supervisi lebih
ditekankan kepada perbaikan proses belajar mengajar, sehingga para ahli membagi
supervisi menjadi supervisi umum yaitu kegiatan supervisi yang ditujukan pada
penunjang keberhasilan proses belajar-mengajar, seperti sarana dan parasarana dan
lingkungannya yang berupa gedung, ruang kelas, media, alat-alat pelajaran, kafetaria,
dan transportasi dan tidak bersifat administratif. Kemudian supervisi pembelajaran
yang lebih bersifat khusus untuk membantu guru dalam bidang studi tertentu. Dalam
hubungan ini kemudian Salim (2006) memperjelas pengertian dan fungsi supervisor
tersebut sebagai mitra guru, inovator, konselor, motivator, kolaborator, evaluator
serta konsultan guru dalam meningkatkan proses belajar mengajarnya.
Berdasarkan konsepsi bahwa supervisi untuk membantu guru dalam bidang
studi tertentu, maka supervisi diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan untuk
perbaikan proses belajar mengajar. Ada dua tujuan yang harus diwujudkan dari
supervisi pendidikan itu, yaitu: (1) perbaikan atau peningkatan pembelajaran, dan (2)
peningkatan mutu pendidikan. Konsepsi supervisi kemudian lebih memfokus pada
kegiatan proses belajar mengajar, sehingga supervisi diberikan pengertian sebagai
setiap layanan yang diberikan kepada guru, yang hasil akhirnya adalah untuk
peningkatan atau perbaikan pembelajaran guru, pembelajaran murid, dan perbaikan
kurikulum (Neagley dan Evans, 1980). Supervisi diartikan sebagai usaha untuk
mendorong, mengkoordinasikan, dan menuntun pertumbuhan guru-guru secara
berkesinambungan di suatu sekolah, baik secara individu maupun secara kelompok
dalam pengertian yang lebih baik, dan tindakan yang lebih efektif dalam fungsi
pembelajaran sehingga mereka mampu untuk mendorong dan menuntun pertumbuhan
setiap siswa secara berkesinambungan menuju partisipasi yang cerdas dan kaya
dalam kehidupan masyarakat demokratis modern (Boardman, dkk. 1961), nilai
supervisi terletak pada perkembangan dan perbaikan situasi belajar-mengajar yang
direfleksikan pada perkembangan para siswa (Mark, dkk.1974). Sehubungan dengan
tujuan, manfaat dan nilai dari supervisi pembelajaran tersebut sangat penting dalam
rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka permasalahan yang tampaknya juga
perlu dibahas adalah apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk
dapat diangkat menjadi supervisor? Kompetensi apakah yang harus dimiliki oleh
seorang supervisor? Bahkan mungkin masih ada masalah yang lainnya?.
Supervisor secara akademik adalah bisa bersifat formal yang berasal dari luar
sekolah, yaitu kalau supervisor tersebut ditunjuk secara legal oleh Dinas Pendidikan
pada tingkat kabupaten, provinsi, dan tingkat kecamatan, dan ada juga supervisor
yang berasal dari dalam sekolah sendiri, yaitu kepala sekolah, wakil kepala sekolah,
para ketua unit, dan para guru bidang studi yang sudah senior (Pidarta, 1986).
Kemudian seseorang yang dapat diangkat menjadi supervisor terutama yang ditunjuk
oleh Dinas Pendidikan sesuai dengan Permen No.12 Tahun 2007 tentang standar
pengawas sekolah/madrasah, untuk tingkat SMA harus memenuhi kualifikasi: (1)
memiliki pendidikan minimum magister (S2) kependidikan dengan berbasis sarjana
(S1) dalam rumpun mata pelajaran pada perguruan tinggi yang terakreditasi, (2) guru
SMA bersertifikat pendidik sebagai guru dengan pengalaman kerja minimum delapan
tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMA, atau kepala sekolah SMA
dengan pengalaman kerja empat tahun, untuk menjadi pengawas sesuai dengan
rumpun mata pelajarannya, (3) memiliki pangkat minimum penata, golongan ruang
III/c. (4) berusia setinggi-tingginya 50 tahun sejak diangkat sebagai pengawas satuan
pendidikan, (5) memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang
dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional
pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah, (6) lulus seleksi pengawas
satuan pendidikan. Demikian juga masalah yang berkaitan dengan kompetensi
seorang supervisor tersebut secara akademik sebagai stimulus dan contoh salah
satunya adalah pendapat dari seorang pakar yang menyebutkan sebagai berikut: (1)
mengembangkan kurikulum, (2) mengorganisasikan pembelajaran, (3) menyiapkan
staf pengajar, (4) menyiapkan fasilitas belajar, (5) menyiapkan bahan-bahan
pelajaran, (6) menyelenggarakan penataran guru-guru, (7) memberikan konsultasi dan
membina anggota staf pengajar, (8) mengkoordinasikan layanan terhadap para siswa,
(10) mengembangkan hubungan dengan masyarakat, dan (11) menilai pelajaran
(Neagley dan Evans, 1980).
Tampaknya semua kompetensi yang disebutkan di atas hampir semuanya
berkaitan dengan pengembangan kurikulum, dan mendukung pengembangan
kurikulum. Secara lebih legal yang menggambarkan kebijakan pemerintah tentang
persyaratan kompetensi pengawas adalah seperti yang diatur dalam Permen No.12
Tahun 2007 tentang standar pengawas sekolah/madrasah yang menyebutkan bahwa
kompetensi yang dituntut terhadap seorang supervisor adalah mencakup: (1)
kompetensi kepribadian, (2) kompetensi supervisi manajerial, (3) kompetensi
supervisi akademik, (4) kompetensi evaluasi pendidikan, (5) kompetensi penelitian
pengembangan, dan (6) kompetensi sosial.
2.1.1.3 Teknik Supervisi Pembelajaran
Ada beberapa teknik yang dapat digunakan oleh seorang supervisor untuk
dapat melaksanakan tugasnya secara efektif. Teknik supervisi yang dimaksudkan
dapat bersifat individual, seperti kunjungan kelas, observasi kelas, percakapan
pribadi, saling mengunjungi kelas, menilai diri sendiri. Kemudian teknik-teknik
kelompok, seperti: rapat guru, studi kelompok antar guru, diskusi sebagai proses
kelompok, tukar menukar pengalaman, lokakarya, diskusi panel, seminar, simposium,
demonstrasi, perpustakaan jabatan, buletin supervisi, membaca langsung, mengikuti
kursus, organisasi jabatan, perjalanan sekolah untuk staf sekolah (Sahertian dan
Mataheru, 1982). Dalam hubungan dengan pemilihan teknik supervisi tersebut, ada
pendapat yang menekankan pada penggunaan teknik individual, bahkan lebih jauh
menyatakan bahwa supervisor dinyatakan belum melakukan kegiatan supervisi
apabila tidak menggunakan teknik individual. Dengan demikian seorang supervisor
tersebut haruslah melakukan kunjungan kelas, observasi, dan percakapan, karena
dengan kunjungan kelas inilah kelemahan dan kelebihan guru dalam mengajar dapat
dideteksi (Neagley dan Evans, 1980). Sehubungan dengan pentingnya teknik
kunjungan kelas, observasi yang didahului dengan percakapan lebih lanjut disebut
dengan tulang punggung supervisi.
2. Observasi/kunjungan kelas
3. Percakapan setelah observasi
1. Percakapan sebelum observasi
Gambar 2.1 Siklus Kegiatan Supervisi
(Sumber : Anggan Suhandana , 2008)
Sejalan dengan perkembangan IPTEK, supervisi juga mengalami
perkembangan. Pada tahun 1983 P2LPTK Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga memperkenalkan supervisi klinis yang
merupakan hasil karya Morris Cogan dan Robert J. Krajewski yang telah
dikembangkan pada tahun 1961. Model supervisi ini dianggap efektif. Oleh karena
itu, banyak pakar yang ikut mengembangkan antara lain Cogan, Mosher dan Perpel,
Oliva, Robert Goldhammer (Bafadal,1992). Perbedaan pengembangan diantara para
pakar tersebut adalah terletak pada langkah proses atau siklusnya, ada yang 3
langkah, 5 langkah, ada pula 8 langkah. Siklus yang paling banyak diikuti adalah
yang terdiri atas 3 (tiga) langkah. Demikian juga penggunaan supervisi klinis hanya
terbatas pada guru yang menghadapi masalah pembelajaran, dan bagi guru yang ingin
mencobakan hal-hal yang baru. Variasi dan perbedaan langkah proses dalam
siklusnya tampak dalam bagan di bawah ini.
Cogan(1973) Mosher dan Perpel (1972)
Oliva(1984) Goldhammer,dkk Bafadal (1992)
Membangun dan menetapkan hubungan
Perencanaan dengan guru
Perencanaan kegiatan observasi
Perencanaan Kontak dan komunikasi dengan guru untuk merencanakan supervisi
Pertemuan sebelum observasi
Tahap pertemuan awal
Observasi kelas Observasi Observasi kelas
Observasi kelas Tahap observasi mengajar
Analisis proses belajar mengajar
Evaluasi dan analisis
Tindak lanjut observasi
Analisis data strategis
Pertemuan supervisi
Analisis sesudah pertemuan supervisi
Tahap pertemuan balikan
Gambar 2.2 Deskripsi Siklus Supervisi Klinik
(Sumber: Anggan Suhandana , 2008)
2.1.1.4 Berbagai Pendekatan dalam Supervisi Pembelajaran
Dalam pengembangan supervisi pembelajaran untuk dapat mencapai
tujuannya secara efektif seorang supervisor dapat menggunakan berbagai pendekatan
yang memiliki pijakan ilmiah, yaitu supervisi saintifik, artistik, dan klinik. (Sahertian,
2000). Supervisi saintifik memiliki ciri-ciri: (1) dilaksanakan secara berencana dan
kontinu, (2) sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, (3)
menggunakan instrumen pengumpul data, dan (4) data obyektif yang diperoleh dari
keadaan riil kemudian dianalisis. Supervisi artistik memandang bahwa mengajar itu
adalah suatu pengetahuan, keterampilan, dan kiat. Lebih jauh dijelaskan bahwa
supervisi dalam bekerja menyangkut untuk orang lain, melalui orang lain. Oleh
karena itu, pekerjaan supervisi akan berhasil apabila ada kerelaan, kepercayaan,
saling mengerti, dan saling mengakui dan menerima orang sebagaimana adanya,
sehingga orang lain merasa aman dan mau maju. Supervisi klinik pada mulanya
diperkenalkan oleh Moris L Cogan, Robert Goldhammer, dan Richard Weller di
Universitas Harvard pada akhir tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan
(Krajewski, 1982). Supervisi klinik dirancang sebagai salah satu model atau
pendekatan dalam mensupervisi calon guru yang berperaktek mengajar.
Penekanannya adalah pada klinik atau dalam pengobatan dan penyembuhan, yang
diwujudkan dalam bentuk tatap muka antara supervisor dengan calon guru. Supervisi
lebih memusatkan perhatiannya pada perilaku guru yang aktual di kelas.
Demikian juga pada tahun 80 an dalam perkembangan supervisi pembelajaran
menggunakan pendekatan yang bertitik tolak pada pijakan psikologi belajar, yaitu
psikologi behavioral, humanistik, dan kognitif. Psikologi behavioral memandang
belajar sebagai kondisioning individu dengan dunia di luar dirinya. Belajar adalah
hasil peniruan atau latihan-latihan yang memperoleh ganjaran jika berhasil dan
hukuman jika gagal. Psikologi humanistik berdasarkan pemikiran bahwa belajar
adalah hasil keingintahuan individu untuk menemukan rasionalitas dan keteraturan di
alam ini, sehingga belajar dipandang sebagai proses pembawaan yang berkembang
(terbuka). Guru menunjang keingintahuan individu dan hasil belajar melalui self-
discovery. Psikologi kognitif berpendapat bahwa belajar adalah hasil keterpaduan
antara interaksi kegiatan individu dengan dunia di luar dirinya. Belajar dianggap
sebagai proses tindakan timbal balik antara guru dan murid atau obyek yang
dimanipulasi.
Berdasarkan pendekatan di atas, supervisi dirumuskan sebagai proses
perbaikan dan peningkatan kelas dan sekolah melalui kerjasama secara langsung
dengan guru. Untuk itu. maka supervisor perlu memilih kegiatan supervisinya yang
sesuai dengan tujuan perbaikan atau peningkatan pembelajaran tertentu. Pemilihan
kegiatan supervisi yang bersumber dari pandangan mendasar itu menjadikan supervisi
lebih kokoh karena memiliki pijakan ilmiah dan lebih efektif. Dengan memperhatikan
tahapan perkembangan guru, tokohnya Carl D. Glickman menyebutnya supervisi
perkembangan. Gambaran tentang belajar dan supervisi digambarkan, sebagai berikut
di bawah ini:
Tanggung jawab siswa
Tinggi Sedang Rendah
Tanggung jawab guru
Rendah Sedang Tinggi
Pandangan psikologi tentang belajar
Humanistik Kognitivistik Behavioralistik
Metode belajar Menemukan sendiri (self-Discovery)
Mencoba-coba (eksperimentasi)
Dikondisikan (conditioning)
Gambar 2.3 Pandangan Tentang Belajar(Sumber: Anggan Suhandana, 2008)
Tingkat komitmen guru
Tinggi Sedang Rendah
Tingkat abstraksi guru Tinggi Sedang RendahTanggung jawab supervisor
Rendah Sedang Tinggi
Orientasi Supervisi Non-direktif Kolaboratif DirektifMetode utama Penilaian diri Kontrak bersama
(Self Assesment)Menetapkan patokan (Delineated standard)
Gambar 2.4 Pandangan Tentang Supervisi(Sumber: Anggan Suhandana , 2008)
Berdasarkan dua dimensi penting yang dimiliki oleh setiap individu guru,
yaitu dimensi derajat komitmen dan dimensi kompleksitas kognitif atau derajat
abstraksi seperti yang disajikan dalam gambar 2.4 di atas, maka pendekatan supervisi
pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah supervisi yang berorientasi pada
pendekatan non-direktif, kolaboratif. dan direktif. Dalam hubungan ini Sergiovanni
(1991) mengembangkan supervisi dengan menambahkan dua dimensi baru, yaitu
bertitik tolak dari tanggung jawab guru yang bisa dilihat dari derajat kematangan dan
derajat tanggungjawabnya. Dengan memadukan supervisi individual, kolegial, dan
informal dibangun suatu kerangka berpikir yang baru dalam supervisi seperti yang
ada dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2.5 Dimensi Derajat Komitmen Dan Tanggungjawab Guru
(Sumber: Sergiovanni, 1991)
Supervisi direktif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan bahwa
mengajar terdiri dari keterampilan teknis dengan standar dan kompetensi yang telah
ditetapkan dan diketahui oleh semua guru agar pembelajarannya efektif. Peran
supervisor adalah menginformasikan, mengarahkan, menjadi model, dan menilai
kompetensi yang ditetapkan. Supervisi kolaboratif adalah pendekatan yang
didasarkan atas asumsi bahwa mengajar pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Dalam pendekatan ini ada dua orang atau lebih ikut serta mengemukakan sebuah
hipotesis sebuah masalah, eksperimen, dan mengimplementasikan strategi mengajar,
yang dianggap lebih relevan dengan lingkungan sendiri. Peran supervisor
Tinggi
Rendah
Rendah Derajat Komitmen Tinggi
++Kuadran 4
Guru Profesional
+-Kuadran 3
Pengamat Analitik
--Kuadran 1Guru DO
--Kuadran 2
Kurang perhatian
Derajat
Abstarksi
membimbing ke proses pemecahan masalah, para anggota aktif dalam interaksi dan
menjaga agar guru tetap memusatkan perhatiannya pada masalah mereka. Supervisi
non-direktif berasumsi bahwa belajar pada dasarnya adalah pengalaman pribadi
dimana individu pada akhirnya harus menemukan pemecahan masalah sendiri untuk
memperbaiki pengalaman murid di dalam kelas. Peran supervisor adalah
mendengarkan, tidak memberikan pertimbangan, membangkitkan kesadaran sendiri
dan mengklarifikasikan pengalaman guru (Glickman, 1990).
Pengukuran kedua dimensi tersebut akan membantu guru dan supervisor
dalam menetapkan pada tahapan mana guru berada dan perlakuan supervisi yang
bagaimana seharusnya dilakukan pada guru, dan pada gilirannya supervisi harus
berkembang ketahapan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya supervisi Glickman (1980)
disebut supervisi perkembangan, karena tujuan supervisi menurutnya adalah
membantu guru belajar bagaimana para guru meningkatkan kapasitas mereka untuk
mewujudkan tujuan pembelajaran siswa yang telah ditetapkan. Di sisi lain perlu juga
disadari bahwa esensi dari supervisi tersebut adalah proses bantuan, oleh karena itu
maka bantuan supervisi tersebut sebaiknya diberikan apabila diperlukan oleh guru-
guru. Pengembangan masing-masing model supervisi pembelajaran yang disebut
dengan supervisi direktif, supervisi kolaboratif, dan supervisi non-direktif secara
lebih lengkap akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
c. Pengukuran Kualitas Pembelajaran
Berdasarkan uraian mengenai kualitas pembelajaran dan model pembelajaran
problem based instruction (PBI), maka kualitas pembelajaran guru adalah kondisi
pembelajaran yang efektif, dimana siswa dan guru berinteraksi dalam membentuk
pribadi siswa sesuai tujuan dan langkah-langkah pembelajaran problem- based
instruction (PBI). Jadi kualitas manajemen pembelajaran guru dapat dilihat dari
kualitas langkah-langkah pembelajaran problem- based instruction (PBI) dan
tercapainya tujuan pembelajaran secara efektif. Kualitas tersebut dapat dilihat dari
kualitas: (1) penetapan tujuan, (2) merancang situasi masalah, (3) orientasi siswa pada
masalah, (4) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (5) membantu penyelidikan
mandiri dan kelompok, dan (6) analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah.
Kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru dalam penelitian ini diukur melalui
persepsi siswa terhadap kualitas pembelajaran yang dilakukan guru dalam
melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem-
based instruction (PBI). Dengan demikian kualitas manajemen pembelajaran inovatif
guru adalah persepsi siswa terhadap kualitas layanan yang diberikan oleh guru dalam
memfasilitasi pembelajaran, penciptaan iklim belajar, memberikan motivasi dan
reward/ reinforcement dalam upaya meningkatkan performance dan prestasi belajar
siswa dengan menerapkan model pembelajaran problem-based instruction (PBI)
yang tercermin dalam pelaksanaan pembelajaran.
. 2.2 Penelitian yang Relevan
Terdapat beberapa penelitian yang berhubungan atau menjadikan supervisi
pembelajaran para kepala sekolah, serta model pembelajaran inovatif guru-guru yang
dijadikan variabel atau objek kajiannya. Penelitian Natajaya dalam penelitian
deskriptifnya yang berjudul ”Profil Kepemimpinan Kepala Sekolah SLTP di Daerah
Kabupaten Buleleng” Tahun 2003 dengan melibatkan berbagai aspek profil
kepemimpinan kepala sekolah sebagai variabel penelitiannya pada jenjang
pendidikan tingkat SMP di kabupaten Buleleng. Dengan analisis deskriptif ditemukan
beberapa hal, seperti latar belakang pendidikan kepala sekolah sekitar 92,5%
berpendidikan sarjana, 7,5% sarjana muda, 97% dijabat oleh guru laki-laki, 3% guru
perempuan, memiliki masa kerja rata-rata 14-33 tahun, lamanya menjabat sebagai
kepala sekolah rata-rata 2-7 tahun, usianya berkisar antara 40-56 tahun, golongan
kepangkatannya 90% golongan IVa, dan 10% Golongan IIId, rata-rata mendapat
penataran/pelatihan dalam satu tahun berkisar antara 2-5 kali, mengikuti K3S dalam
satu semester rata-rata 2-6 kali, mendapat pembinaan dari pengawas dalam satu
semester rata-rata 2-5 kali, dan aspek kepemimpinan yang lainnya seperti gayanya
dirasakan oleh guru-guru lebih cendrung bergaya direktif, dan lebih ditekankan pada
bidang administrasi. Implikasi penelitian ini adalah perlu adanya upaya peningkatan
kualifikasi pendidikan, dan pengalaman dalam pelatihan kepala sekolah. Penelitian
ini belum menyentuh masalah kesupervisian terlebih-lebih secara spesifik mengenai
berbagai model pendekatannya.
Penelitian Natajaya (1994) yang lainnya yang berjudul ”Studi hubungan
antara Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran dengan Kemampuan Mengajar PMP
Guru-Guru SD Negeri se-Kabupaten Bulelelng di Daerah Tingkat II Buleleng” .
Penelitian ini menggunakan pendekatan ex post facto dengan teknik korelasional
dengan melibatkan supervisi pembelajaran sebagai variabel bebas dan kemampuan
mengajar guru sebagai variabel terikat. Dengan analisi korelasi ditemukan bahwa ada
korelasi positif secara signifikan antara pelaksanaan supervisi pembelajaran para
penilik sekolah dengan kemampuan mengajar PMP guru-guru SD Negeri di
Kecamatan Buleleng dengan nilai kofisien r sebesar 0,283, dan niai t hitungnya
ditemukan sebesar 4,562. Nilai t hitung tersebut jauh lebih besar daripada nilai t tabel
1,06. Implikasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan
kemampuan penilik sekolah dalam bidang supervisi pembelajaran. Bila dilihat secara
rinci tentang variabel supervisi pembelajaran yang diteliti, tampaknya dalam dimensi
atau subvariabelnya tidak termasuk dimensi pendekatan supervisi pembelajaran non
direktif.
Dari penelitian seperti yang diuraikan di atas, semuanya melibatkan supervisi
pembelajaran sebagai objek kajian, namun belum mengungkap jenis pendekatan
supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh kepala sekolah seperti: supervisi
pembelajaran direktif, kolaboratif, dan pendekatan non-direktif. Ketiga penelitian
tersebut juga tidak mengungkap bagaimana kualitas pembelajaran guru-guru dalam
mengembangkan berbagai model pembelajaran inovatif, tidak pernah
mempertimbangkan latar tingkat kematangan profesional guru-guru dalam melakukan
supervisi pembelajaran. Demikian juga terdapat penelitian yang lainnya yang hasil
temuannya mengemukakan bahwa berbagai model pembelajaran inovatif terbukti
sangat efektif dalam rangka untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan dan perolehan
hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian penelitian yang relevan di atas dapat dikaji bahwa pada
dasarnya kepala sekolah dan pengawas sekolah belum melaksanakan secara optimal
supervisi pembelajaran. Di samping itu penelitian di atas kecenderungan
mengorelasikan antara supervisi pembelajaran dengan kinerja guru. Penelitian di atas
tidak menyingung pengaruh supervisi pembelajaran non direktif terhadap kualitas
manajemen pembelajaran inovatif guru. Dengan demikian penelitian yang akan
dilakukan belum pernah dilakukan oleh orang lain sehingga tampak originalitasnya.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan khasanah baru dalam bidang supervisi
pembelajaran atau paling tidak melengkapi penelitian yang telah ada.
2.3 Kerangka Berpikir
Berdasarkan pada uraian dan kajian teoritik dan empirik seperti yang telah
diuraikan di atas, maka yang menjadi konsentrasi penelitian ini adalah berfokus pada
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan bagaimana program kegiatan supervisi
pembelajaran non-direktif para kepala sekolah terutama dilihat dari sisi implementasi
pendekatan, lebih jauh bagaimana implementasi pendekatan supervisi pembelajaran
tersebut berpengaruh terhadap kualitas pengembangan model pembelajaran inovatif
yang dilakukan oleh seorang guru.
Supervisi berasumsi bahwa belajar pada dasarnya adalah pengalaman pribadi
dimana individu pada akhirnya harus menemukan pemecahan masalah sendiri untuk
memperbaiki pengalaman murid di dalam kelas. Peran supervisor adalah
mendengarkan, tidak memberikan pertimbangan, membangkitan kesadaran sendiri,
dan mengklarifikasikan pengalaman guru. Pendekatan non-direktif ini timbul dari
keyakinan bahwa guru tersebut tidak dapat diperlakukan sebagai alat semata-mata
dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar. Dalam proses pembinaan, guru
mengalami perkembangan secara terus menerus dan alami, sehingga program
supervisi harus dirancang untuk mengikuti perkembangannya. Belajar dilakukan
melalui pemahaman tentang pengalaman nyata yang dialami secara riil. Dengan
demikian guru dapat mencari sendiri pengalaman itu secara aktif. Dorongan dari luar
diri yang bersifat fisiologis yang kemudian secara berangsur-angsur berubah menjadi
dorongan yang bersifat dari dalam atau internal, yaitu karena guru-guru merasa
bahwa belajar merupakan kewajiban yang harus dilakukan dalam tugasnya. Pada
konsep ini guru diyakini mampu melakukan analisis dan memecahkan masalah yang
dihadapinya dalam tugas mengajarnya secara alami. Guru merasakan adanya
kebutuhan bahwa ia harus berkembang dan mengalami perubahan, dan ia bersedia
mengambil tanggung jawab terjadinya dalam perubahan tersebut. Supervisor hanya
befungsi sebagai fasilitator dengan menggunakan struktur formal sekecil mungkin.
Dengan demikian dapat diduga bahwa pendekatan supervisi pembelajaran non-
direktif dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran
inovatif.
2.4 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut. “Kualitas pembelajaran guru dilihat
dari aspek pelaksanaan pembelajaran dapat ditingkatkan melalui penerapan
pendekatan supervisi pembelajaran pada guru SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten
Rangsang”.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ilmu keperilakuan dapat dibagi menjadi empat kategori besar yaitu
eksperimen laboratorium, eksperimen lapangan, kajian lapangan, dan penelitian
survei (Kerlinger, 2002: 634). Penelitian ini tergolong eksperimen lapangan karena
menguji hipotesis yang diturunkan dari teori maupun untuk menemukan jawaban
terhadap masalah-masalah praktis. Dalam hubungan ini Kerlinger (2002: 645)
menyatakan ”eksperimen lapangan adalah kajian penelitian dalam suatu situasi nyata
(realitas) dengan memanipulasi satu variabel bebas atau lebih dalam kondisi yang
dikontrol dengan cermat oleh pembuat eksperimen sejauh yang dimungkinkan oleh
situasinya.
Rancangan eksperimen yang dipilih adalah rancangan one group pre-test and
post-test design. Pola rancangan penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut.
Pre-Test Perlakuan Post-Test
Gambar 3.1 Pola Rancangan Penelitian
Penilaian (O) dilakukan terhadap kualitas manajemen pembelajaran inovatif
guru pada proses pembelajaran dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan
sesudah pelaksanaan pendekatan supervisi pembelajaran non-direktif. Penilaian
kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru dalam proses pembelajaran yang
dilakukan sebelum pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif dilambangkan
dengan O1 yang disebut pre-test, dan penilaian yang dilakukan setelah pelaksanaan
supervisi pembelajaran non-direktif dilambangkan dengan O2. yang disebut dengan
post-test. Selisih skor post-test dengan pre-test yang dianalisis dengan gain score
ternormalisasi diasumsikan sebagai efek dari perlakuan berupa penerapan pendekatan
supervisi pembelajaran non-direktif.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada guru SMA Negeri 1 Rangsang Kabupaten
Kepulauan Meranti tahun pelajaran 2009/2010 yang dimulai bulan Juli 2009 dan
berakhir bulan Mei 2010, dengan kegiatan-kegiatan: pengumpulan informasi dan
kajian literatur, perancangan supervisi pembelajaran , uji coba rancangan supervisi ,
perbaikan rancangan, dan pelaksanaan supervisi. Pada pelaksanaan ini adalah
menguji efektivitas supervisi pembelajaran terhadap kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru .
O1 O2X
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA Negeri 1
Rangsang Kabupaten Kepulauan Meranti tahun pelajaran 2009/2010. Pada SMA ini
terdapat kelas X sebanyak tujuh kelas, yaitu kelas X1, X2, X3, X4, dan X5 . Sebaran
populasi penelitian disajikan pada tabel berikut.
Tabel. 3.1 Distribusi Anggota Populasi Penelitian
KelasJumlah untuk Tiap Jenis Kelamin
(orang)Jumlah
Total (orang)Pria Wanita
X.1 16 15 31X.2 16 27 43X.3 23 25 48X.4 18 26 44X.5 25 20 45
(Sumber: SMA Negeri 1 Rangsang, 2009)
Informasi yang diperoleh dari Kepala Sekolah bahwa ke tujuh kelas itu setara,
dalam artian penyebaran siswa yang mempunyai kemampuan tinggi, sedang, dan
rendah disebarkan secara merata pada masing-masing kelas. Teknik sampling yang
digunakan adalah teknik simple random sampling terhadap tujuh kelas yang ada. Dari
tujuh kelas yang ada dipilih secara random satu kelas sebagai sampel. Setelah
dilakukan langkah-langkah seperti di atas diperoleh X.1 sebagai sampel penelitian
dengan jumlah siswa 31 orang, yang terdiri atas 16 laki-laki dan 15 orang perempuan.
Di samping siswa sebagai responden, dalam penelitian ini juga melibatkan kepala
sekolah sebagai pelaku tindakan dan satu orang guru dijadikan sebagai obyek yang
kena tindakan berupa supervisi pembelajaran non-direktif. Untuk meningkatkan
validitas internal dalam penelitian ini, dipilih guru kimia sebagai obyek yang dikenai
perlakuan. Karena kepala sekolah juga memiliki jurusan yang sama, maka
objektivitas pemberian perlakuan dapat dilakukan secara maksimal.
3.4. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.4.1 Variabel Penelitian
Penelitian eksperimen ini melibatkan dua variabel pokok, yakni variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kualitas
manajemen pembelajaran inovatif guru , yang ditunjukkan dalam melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran problem- based instruction
(PBI). Sedangkan variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendekatan supervisi
pembelajaran non-direktif dalam hal ini dijadikan sebagai variabel perlakuan.
3.4.2 Definisi Operasional
a. Supervisi Pembelajaran
Supervisi pembelajaran adalah supervisi yang dilakukan kepala sekolah
terhadap guru dengan keyakinan bahwa guru tidak dapat diperlakukan sebagai alat
semata-mata dalam meningkatkan kualitas belajar mengajar. Dalam proses
pembinaan, guru mengalami perkembangan secara terus menerus dan alami, sehingga
program supervisi harus dirancang untuk mengikuti perkembangannya. Belajar
dilakukan melalui pemahaman tentang pengalaman nyata yang dialami secara riil.
Dengan demikian guru dapat mencari sendiri pengalaman itu secara aktif. Dorongan
dari luar diri yang bersifat fisiologis yang kemudian secara berangsur-angsur berubah
menjadi dorongan yang bersifat dari dalam atau internal, yaitu karena guru-guru
merasa bahwa belajar merupakan kewajiban yang harus dilakukan dalam tugasnya.
Pada konsep ini guru diyakini mampu melakukan analisis dan memecahkan masalah
yang dihadapinya dalam tugas mengajarnya secara alami. Guru merasakan adanya
kebutuhan bahwa ia harus berkembang dan mengalami perubahan, dan ia bersedia
mengambil tanggung jawab terjadinya dalam perubahan tersebut.
Secara operasional langkah-langkah supervisi pembelajaran non-direktif
adalah: (1) pembicaraan awal, pada saat ini supervisor memancing apakah dalam
mengajarnya guru tersebut mengalami masalah. Pembicaran tersebut dilakukan secara
informal. Jika dalam pembicaraan tersebut guru tidak memerlukan bantuan, maka
proses supervisi berhenti; (2) observasi. Jika guru memerlukan, maka supervisor
mengadakan observasi kelas. Dalam melaksanakan observasi tersebut supervisor
duduk di belakang tanpa menggunakan catatan-catatan, supervisor hanya mengamati
kegiatan kelas; (3) analisis dan interpretasi. Setelah observasi dilakukan, supervisor
kembali ke kantor memikirkan kemungkinan kekeliruan guru dalam melaksanakan
proses belajarnya. Jika menurut supervisor guru telah menemukan jawabannya maka
supervisor tidak perlu memberikan bantuannya. Apabila diminta oleh guru supervisor
hanya menjelaskan dan melukiskan keadaan kelas tanpa dilengkapi dengan penilaian.
Supervisor kemudian menanyakan kepada guru apakah memerlukan saran, dan
memberikan kesempatan untuk mencoba cara lain yang diperkirakan oleh guru lebih
baik; (4) pembicaraan akhir. Jika perbaikan telah dilakukan, pada periode tertentu
guru dan supervisor mengadakan pembicaraan akhir, mengenai apa yang sudah
dicapai oleh guru, dan menjawab pertanyaan kalau ada guru yang masih memerlukan
bantuan lagi; dan (5) laporan. Laporan disampaikan secara deskriptif dengan
interpretasi berdasarkan penilaian supervisor. Laporan ini ditulis untuk guru, kepala
sekolah, atau atasan kepala sekolah untuk perbaikan di masa selanjutnya. Kualitas
pelaksanaan pendekatan supervisi pembelajaran non-direktif kepala sekolah diukur
dengan pedoman observasi dan data yang diperoleh berskala interval.
b. Kualitas Manajemen Pembelajaran
Kualitas manajemen pembelajaran adalah persepsi siswa terhadap kualitas
layanan yang diberikan oleh guru dalam memfasilitasi pembelajaran, penciptaan
iklim belajar, memberikan motivasi dan reward/reinforcement, dalam upaya
meningkatkan performance dan prestasi belajar siswa dengan menerapkan model-
model pembelajaran yang berpusat pada siswa khususnya model pembelajaran
problem- based instruction yang tercermin dari pelaksanaan pembelajaran. Kualitas
manajemen pembelajaran inovatif guru diukur melalui kuesioner yang
menggambarkan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru atas persepsi
siswa. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran berskala interval. Indikator
pengukuran kualitas manajemen pembelajaran inovatif model problem-based
instruction (PBI) guru adalah: (1) penetapan tujuan, (2) merancang situasi masalah,
(3) orientasi siswa pada masalah, (4) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (5)
membantu penyelidikan mandiri dan kelompok, dan (6) analisis dan evaluasi proses
pemecahan masalah.
3.5 Prosedur Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Tahap Persiapan Eksperimen
Pada tahap persiapan eksperimen dilakukan beberapa hal, seperti:
berkoordinasi dengan kepala sekolah tempat penyelenggaraan penelitian, menetapkan
sampel penelitian, membuat rancangan model supervisi pembelajaran non-direktif,
membuat lembar observasi pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif dan
membuat kuesioner untuk mengukur kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru.
3.5.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian
Pada tahap ini dilakukan eksperimen supervisi pembelajaran non-direktif
dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1) Melakukan pre-test, yakni melakukan supervisi pembelajaran awal yang
dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal guru dalam manajemen
pembelajaran inovatif dengan menggunakan kuesioner. Kemampuan guru
dinilai oleh siswa dengan menggunakan kuesioner.
2) Pembicaraan awal, pada saat ini supervisor memancing apakah dalam
mengajarnya guru tersebut mengalami masalah. Pembicaran tersebut
dilakukan secara informal. Jika dalam pembicaraan tersebut guru tidak
memerlukan bantuan, maka proses supervisi berhenti;
3) Observasi. Jika guru memerlukan, maka supervisor mengadakan observasi
kelas. Dalam melaksanakan observasi tersebut supervisor duduk di belakang
tanpa menggunakan catatan-catatan, supervisor hanya mengamati kegiatan
kelas;
4) Analisis dan interpretasi. Setelah observasi dilakukan, supervisor kembali
memikirkan kemungkinan kekeliruan guru dalam melaksanakan proses
belajarnya. Jika menurut supervisor, guru telah menemukan jawabannya maka
supervisor tidak perlu memberikan bantuannya. Apabila diminta oleh guru
supervisor hanya menjelaskan dan melukiskan keadaan kelas tanpa dilengkapi
dengan penilaian. Supervisor kemudian menanyakan kepada guru apakah
memerlukan saran, dan memberikan kesempatan untuk mencoba cara lain
yang diperkirakan oleh guru lebih baik;
5) Pembicaraan akhir. Jika perbaikan telah dilakukan, pada periode tertentu guru
dan supervisor mengadakan pembicaraan akhir, mengenai apa yang sudah
dicapai oleh guru, dan menjawab pertanyaan kalau ada guru yang masih
memerlukan bantuan lagi;
6) Pembuatan laporan, laporan disampaikan secara deskriptif dengan interpretasi
berdasarkan penilaian supervisor. Laporan ini ditulis untuk guru, kepala
sekolah, atau atasan kepala sekolah untuk perbaikan di masa selanjutnya
3.5.3 Tahap Akhir Penelitian
. Untuk menentukan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru diukur
pada akhir perlakuan dengan kuesioner yang diberikan kepada siswa untuk
mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh penerapan supervisi pembelajaran non-
direktif, dan data yang diperoleh berskala interval. Pengaruh pendekatan supervisi
pembelajaran non-direktif diukur dengan mencari gain score masing-masing subyek
penelitian, yakni selisih dari post-test dan pre-test.
3.6 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
3.6.1 Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah
metode observasi dan kuesioner. Data yang didapat dari observasi adalah data
mengenai pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif dan data tentang kualitas
manajemen pembelajaran inovatif guru dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner
model skala Likert menurut persepsi siswa. Pelaksanaaan supervisi pembelajaran
non- direktif diobservasi dengan menggunakan format observasi yang dikembangkan
oleh peneliti menyangkut aspek: pembicaraan awal, observasi, analisis dan
interpretasi; dan pembicaraan akhir. Kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru
diukur dengan kuesioner dengan model skala Likert.
3.6.2 Instrumen Penelitian
a. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan supervisi
pembelajaran non-direktif dan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru berupa
lembar observasi dan kuesioner dengan skor dari 1 sampai 4. skor 1 = tidak pernah
(TP), 2 = Jarang (JR), 3 = sering (SR), 4 = selalu (SL). Instrumen supervisi
pembelajaran non-direktif dan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru
dikembangkan dari teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
b. Kisi-kisi
Tujuan penyusunan kisi-kisi instrumen adalah merumuskan setepat mungkin
ruang lingkup dan tekanan tes dan bagian-bagiannya, sehingga perumusan tersebut
dapat menjadi petunjuk yang efektif bagi penyusunan tes, terlebih-lebih bagi perakit
soal (Suryabrata, 2000: 60-61). Kisi-kisi instrumen disajikan pada tabel berikut.
Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Non-Direktif
Aspek/Dimensi Indikator Nomor item Jumlah Item
Pembicaraan awal 1. Pembicaraan informal terkait permasalahan dalam pembelajaran
2. Menstimulus permasalahan pembelajaran yang dialami guru
1
2
1
1
Observasi 1. Melakukan observasi kelas
2. Mencermati guru mengajar tanpa intervensi
3
4
1
1
Analisis dan interpretasi
1. Mengindentifikasi kekeliruan guru dalam mengajar
2. Supervisor melukiskan
5
6
1
1
pembelajaran yang dilakukan guru
3. Supervisor menanyakan kepada guru apakah perlu saran atau tidak
4. Memberikan kesempatan kepada guru mencoba cara lain dalam mengajar yang dianggap lebih baik
5. Mengamati perbaikan pembelajaran guru
7
8
9
1
1
1
Pembicaraan akhir 1. Mengadakan pertemuan akhir
2. Menanyakan kepada guru tentang apa yang sudah dicapai guru
3. Memberikan jawaban atas pertanyaan guru yang masih memerlukan bantuan.
10
11
12
1
1
1
Laporan 1. Membuat laporan2. Laporan disampaikan
kepada guru dan atasan kepala sekolah
1314
11
Jumlah 14Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kualitas Pembelajaran Inovatif Model Pembelajaran
Berbasis Masalah
Variabel Indikator Nomor Butir Jumlah
Kualitas
manajemen
pembelajaran
inovatif model
pembelajaran
berbasis
masalah
1. Penetapan tujuan
2. Merancang situasi masalah
3. Orientasi siswa pada masalah.
4. Mengorganisasikan siswa untuk
belajar
5. Membantu penyelidikan mandiri
dan kelompok.
1, 2, 3, 4
5,6,7,8,9,10
11,12,13,14,15,
16
17,18,19,20,21,
22
23,24,25,26,27,
28
4
6
6
6
6
6. analisis dan evaluasi proses
pemecahan masalah.
29,30,31,32,33 5
Jumlah 33
c.Validasi Instrumen
Instrumen yang digunakan untuk mengukur pelaksanaan supervisi
pembelajaran non-direktif menggunakan pedoman observasi disesuaikan dengan
karakteristik masing-masing variabel. Suryabrata (2000: 41-42) mengatakan bahwa
untuk mengetahui validitas instrumen digunakan validasi dari pendapat ahli
(profesional judgement). Karena semua populasi dijadikan sampel penelitian,
sehingga mencari responden untuk uji coba sangat sulit terutama pedoman observasi
pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif sedangkan kuesioner untuk
mengukur kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru perlu divalidasi lagi
melalui uji empirik. Uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
melalui tahapan sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan content validity (validitas isi), instrumen penelitian
ini dikonsultasikan para ahli (judgement experts) di bidangnya, yakni Drs. I Wayan
Suandi, M.Pd (Kanditat Doktor Manajemen Pendidikan) pada bidang supervisi dan
Drs. I Made Suastana, M.Hum dari aspek bahasa. Ada tiga hal yang dinilai oleh para
ahli atau pakar, yaitu: (1) kesesuaian indikator yang dikembangkan dengan konsep
atau konstruksi yang digunakan, (2) kesesuaian butir-butir pernyataan dengan
indikator yang menjadi acuannya, dan (3) tatanan kebahasaan dari pernyataan-
pernyataan yang digunakan dalam instrumen. Hasil penilaian oleh pakar tersebut,
pada dasarnya tidak satupun butir instrumen yang dinyatakan tidak relevan, hanya
ada perbaikan redaksi saja. Setelah diadakan revisi sebanyak dua kali oleh kedua
pakar tersebut, baru instrumen diujicobakan.
Kedua, tahap ini dilakukan dengan uji coba. Kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru diukur dengan menggunakan kuesioner dengan model
skala Likert dimodifikasi, yakni pensekorannya dari satu sampai empat. Pada suatu
penelitian ilmiah alat pengumpul data yang digunakan harus memenuhi persyaratan.
Kuesioner kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru sebelum digunakan untuk
mengumpulkan data, terlebih dahulu diujicobakan untuk mengetahui validitas dan
reliabilitasnya dalam mengungkap apa yang hendak diukur.
Ada dua persyaratan pokok dari instrumen yang digunakan untuk
pengumpulan data penelitian yakni validitas dan reliabilitas (Hamzah, et.al, 2001:
63). Validitas berhubungan dengan ketepatan terhadap apa yang mesti diukur oleh
instrumen dan seberapa cermat instrumen melakukan pengukuran, atau dengan kata
lain validitas tes berhubungan dengan ketepatan tes tersebut terhadap konsep yang
akan diukur sehingga betul-betul bisa mengukur apa yang seharusnya diukur
(Arikunto, 2001: 65).
Validitas kuesioner kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru dalam
penelitian ini ditinjau dari dua segi yaitu validitas isi dan validitas butir. Validitas isi
instrumen ini dalam penyusunannya didasarkan pada kisi-kisi yang telah dibuat
kemudian di validasi oleh ahli dalam bidangnya. Untuk menguji validitas butir
digunakan korelasi product moment, yaitu dengan mencari korelasi antara skor butir
dengan skor totalnya.
Untuk validitas butir digunakan korelasi product moment dengan rumus :
rxy =
Keterangan : X = skor butir
Y = skor total
N = banyaknya responden (Arikunto, 2001: 72)
Kriteria yang digunakan adalah dengan membandingkan harga rxy dengan
harga tabel kritik r product moment, dengan ketentuan rxy dikatakan valid apabila rxy
> rtabel pada = 0,05. Untuk menghitung validitas butir digunakan program excel.
Reliabilitas merujuk pada ketepatan/keajegan alat pengukur tersebut dalam
menilai apa yang diinginkan, artinya kapanpun alat tersebut digunakan akan
memberikan hasil yang relatif sama (Hamzah et.al, 2001: 142). Untuk mencari
reliabilitas kuesioner kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru dicari
konsistensi internalnya (internal consistency) dengan teknik koefisien alpha dengan
rumus adalah sebagai berikut.
= (Fernandes, 1984: 34).
Keterangan : = koefisien keterandalan alpha
2 = varian total (varian responden)
i2 = varian Butir
k = banyaknya butir
Untuk menghitung reliabilitas instrumen digunakan program excel didasarkan
atas rumus koefisien alpha dari Fernandes (1984:34). Keputusan keterandalan
instrumen, berpedoman pada klasifikasi Guilford (1959: 142), yakni:
0,20 derajat reliabilitas sangat rendah
0,20 < 0,40 derajat reliabilitas rendah
0,40 < 0,60 derajat reliabilitas sedang
0,60 < 0,80 derajat reliabilitas tinggi
0,80 < 1,00 derajat reliabilitas sangat tinggi.
Untuk uji empirik, instrumen manajemen pembelajaran inovatif guru
diujicobakan terhadap 47 orang responden yang tidak dijadikan sampel penelitian di
sekolah yang sama. Berdasarkan hasil analisis uji validitas butir kuesioner
manajemen pembelajaran inovatif guru, diperoleh angka validitas berkisar antara
0,083 – 0,738 (perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2a), setelah dikonsultasikan
dengan harga r tabel (α = 0,05) dengan n = 47 diperoleh harga r tabel = 0,288,
dengan demikian dari 35 butir kuesioner yang diujicobakan terdapat 33 butir
kuesioner yang memenuhi syarat (valid). Butir-butir yang gugur adalah butir 3, dan
33. Selanjutnya dilakukan analisis reliabilitas kuesioner manajemen pembelajaran
inovatif terhadap butir yang valid (33 butir) dengan menggunakan koefisien alpha
sebesar 0,891 (perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2b) Koefisien alpha ini
menunjukkan bahwa kuesioner manajemen pembelajaran inovatif guru mempunyai
keterandalan yang sangat tinggi (Guilford, 1999:142)
3.7 Metode Analisis Data
Pada bagian ini diuraikan tentang cara mendeskripsikan data baik dalam
bentuk narasi kualitas pelaksanaan supervisi pembelajaran non ditrektif, deskripsi
kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru sebelum dan sesudah dilaksanakan
supervisi pembelajaran non direktif. Di samping itu, pada bagian ini juga
menguraiakn tentang analisa data yang digunakan beserta uji persyaratannya.
3.7.1 Deskripsi Data
a. Deskripsi Umum Kualitas Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran
Deskripsi umum kualitas pelaksanaan supervisi pembelajaran menjelaskan
tentang pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif dari tahap pembicaraan
awal, observasi, analisis dan interpretasi, pembicaraan akhir dan laporan. Data
kualitas pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif didapat melalui observasi
yang dilakukan peneliti dengan menggunakan format observasi terhadap pelaksanaan
supervisi pembelajaran non-direktif. Dari hasil observasi ini dianalisis secara
kuantitatif dengan menggunakan cara sederhana dengan skala 100. Skor mentah yang
diperoleh diubah menjadi skor 100. Penentuan kualitas pelaksanaan supervisi
pembelajaran non-direktif menggunakan kriteria Penilaian Acuan Patokan (PAP)
seperti tampak pada tabel berikut.
Tabel 3.4 Kualifikasi Nilai dengan Kriteria PAP
Kriteria skala Nilai Kualifikasi
90 – 100 4/A Sangat baik
75 – 89 3/B Baik
55 – 74 2/C Cukup
40 – 54 1/D Kurang
0 – 39 0/E Sangat kurang
(Dantes, 2007: 9)
b. Deskripsi Kualitas Manajemen Pembelajaran
Menentukan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru sebelum
dan sesudah pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif diukur dengan
kuesioner dengan model skala Likert. Analisis hasil pengukuran dilakukan
dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Menentukan skor individu dengan jalan menjumlahkan skor masing-
masing butir (∑Xo)
Skor maksimal ideal (∑X i) adalah 33 x 4 = 132
Ubah skor individu menjadi skor 100 dengan jalan sebagai berikut:
Skala = = ......
Penentuan kualitas pelaksanaan manajemen pembelajaran inovatif guru menggunakan
kriteria PAP seperti tampak pada tabel berikut.
Tabel 3.5 Kualifikasi Nilai dengan Kriteria PAP untuk Kualitas Pelaksanaan Manajemen Pembelajaran Guru
Kriteria skala Nilai Kualifikasi
90 – 100 4/A Sangat baik
75 – 89 3/B Baik
55 – 74 2/C Cukup
40 – 54 1/D Kurang
0 – 39 0/E Sangat kurang
(Dantes, 2007: 9)
c. Deskripsi Kualifikasi Efektivitas Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Non-Direktif untuk Meningkatkan Kualitas Manajemen Pembelajaran Inovatif Guru
Untuk mengetahui kualifikasi efektivitas pelaksanaan supervisi pembelajaran
non-direktif untuk meningkatkan kualitas manajemen pembelajaran inovatif guru
digunakan analisis gain score ternormalisasi dengan rumus sebagai berikut.
<g> =
<g> = (Hake dalam Karim, 2006: 30)
Keterangan:
<g> = gain score ternormalisasi
Sf = skor post-test
Si = skor pre-test
Gain score ternormalisasi <g> merupakan metode yang cocok untuk
menunjukkan tingkat efektivitas pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif
terhadap peningkatan kemampuan guru dalam melaksanakan manajemen
pembelajaran inovatif (Hake, 2002) Tingkat perolehan gain score ternormalisasi
dibagi menjadi tiga kateori, yaitu:
Tabel 3.6 Kualifikasi Gain Score Ternormalisasi
Rentangan Gain Score Ternormalisasi Kategori
(<g>) > 0,7
0,7 ≥(<g>) ≥ 0,3
(<g>) < 0,3
Tinggi
Sedang
Rendah
3.7.2 Pengujian Hipotesis
Sebelum dilakukan uji hipotesis penelitian, maka didahului dengan uji
normalitas terhadap gain score ternormalisasi dari kualitas manajemen pembelajaran
inovatif guru.
a. Uji Normalitas Sebaran Data
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran frekuensi gain
score ternormalisasi berdistribusi normal atau tidak. Untuk itu dapat digunakan uji
kolmogorov-smirnov (K-S). Untuk perhitungannya digunakan progam SPSS 15.0 for
windows. Jika harga K-S yang diperoleh dengan signifikansi (p) > 0,05, maka
sebaran datanya normal, dan jika harga K-S yang diperoleh dengan signifikansi (p) <
0,05 maka datanya tidak berdistribusi normal.
b. Pengujian Hipotesis Penelitian
Setelah dilakukan uji normalitas, langkah selanjutnya adalah dilakukan
pengujian hipotesis. Hipotesis penelitian yang akan diuji adalah: kualitas manajemen
pembelajaran inovatif guru sesudah pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif
lebih baik daripada sebelum pelaksanaan supervisi pembelajaran non-direktif. Secara
statistik hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
Ho : µ2 ≤ µ1
H1 : µ2 > µ1
Untuk menguji hipotesis statistik di atas digunakan uji t dengan rumus:
t = (Arikunto, 1997: 300)
Dimana :
M = Mean dari gain score ternormalisasi =
xd = deviasi masing-masing subyek (<g>- M)
∑x2d = jumlah kuadrat deviasi
N = banyaknya subyek penelitian
Perhitungan harga t di atas dapat dibantu dengan tabel sebagai berikut
Tabel 3.7 Tabel Kerja untuk Memudahkan Perhitungan dalam Uji-t
Subyek Pre Test Post test Gain Score
Ternormalisasi <g>
Xd = (<g>- M) x2d
∑<g> ∑x2d
DAFTAR PUSTAKA
Adams, H.F. dan F.G. Dickey. 1959. Basic Principles of Supervision. New York: Amerikan Book Company.
Alexander Mackie College of Advance Education. 1981. Supervision of Practice Teaching. Primary Program, Sydney, Australia.
Alfonso, R. J., G.R. Firth, dan R.F. Neville. 1981. Instructional Supervision: A Behavioral System. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Amstrong, D.G., J.J. Denton, dan JR. TV. Savage. 1978. Instructional Skills Handbook, Englewood Cliffs, NJ.: Prentice-Hall, Inc.
Anastasi, Anne dan Susana Urbina. 1997. Psychological Testing. New Jersey: Prentice-Hall Inc., Published by Simon A Schuster A Viacom Co. Upper Saddle River.
Ancok, Djamaludin. 1986. Teknik Penyusunan Skala Pengukur. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Bafadal, Ibrahim. 1990. “Keefektifan Pengawasan Dalam Pembinaan Kemampuan Profesional Guru Agama SD Negeri di Kabupaten Sumenep” . Tesis. Malang: IKIP
Bafadal, Ibrahim. 1992. Supervisi Pengajaran Teori dan Aplikasinya dalam Membina Profesional Guru. Jakarta : Bumi Aksara
Briggs, T.H. dan J. Justman. 1954 Improving Instruction Through Sueprvision. New York: The Macmillan Company
Candra. 2008. “Analisis Hubungan Implementasi Supervisi Pengajaran Para Pengawas, Pengalam dalam Pelatihan dan Lingkungan Sekolah terhadap Kompetensi Profesional Guru IPA SMP Negeri di Kabupaten Badung” (Tesis). Singaraja: Undiksha
Carver, F.D. dan T.J. Sergiovanni. 1969. Organization and human Resources. New York: Wm. C. Brown Company Publishers.
Chandler, B.J. 1962. Education and the Teacher. New York: Dodd, Mead & Company.
Chrintenson, C., T.W. Johnson, dan J.E. Stinson. 1982. Supervising. California: Addison-Wesley Publishing Company.
Cogan, M.L. 1973. Clinical Supervision. Boston: Houghton Mifflin.
Dantes, Nyoman. 1983. Penilaian Layanan Bimbingan Konseling. Singaraja: P2LPTK Depdikbud.
Daresh, J. C. 1989. Supervision as a Proactive Process. New York & London: Longman
Depdikbud. 1998/1999. Supervisi, Pelatihan Manajemen Pendidikan bagi Kepala Sekolah Menengah Umum se-Indonesia di Surabaya. Jakarta : Depdikbud, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum
Depdikbud.1999/2000. Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 020 Tahun 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kriditnya. Jakarta : Depdikbud
Garman, N.B. 1982. “The Clinical Approach to supervision,” in Thomas J. Sergiovanni (ed), 1982. Supervision of Teaching, Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.
Glickman, Carl. D. 1980. Development Supervision (Alternative Practice for Helping Teacher Improve Instruction). Virginia: ASCD.
Goldhammer, R. 1969. Clinical Supervision: Special Methods for the Suervision of Teachers. New York: Holt, Rinehart and Wiston.
Goldhammer, R., R. H. Anderson, dan R.A. Krajewski. 1981. Clinical Supervision: Special Methods for the Supervision of Teaching. Second Edition. New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Gregory, Robert J. 2000. Psychological Testing: History, Principles, and Applications. Allyn and Bacon : Boston
144
Gwynn, J.M. 1961. Theory and Practice of Supervision. New York: Dodd, Mead & Company.
Koper. 2008.”Studi Korelasi Penilaian Guru tentang Perilaku Kepemimpinan Kepala Sekolah, Moral Kerja, dan Motivasi Kerja Guru dengan Kinerja Guru SD Inti di Kecamatan Mengwi Badung” (Tesis) Singaraja: Undiksha
Krajewski, R.A. 1982.”Clinical Supervision: A Conceptual Framework,” Journal of Research and Development in Education. Volume 15, Athen, Georgia.
Mantja, W. 1984. “Efektivitas Supervisi Klinik dalam Pembimbingan Praktek Mengajar Mahasiswa IKIP Malang,”Tesis. FPS IKIP Malang.
Mantja, W. 1989. “Supervisi Pengjaran Kasus Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar Negeri Kelompok Budaya Etnik Madura di Kraton,” Disertasi.. FPS IKIP Malang.
Marks, SJ. R., E. Stoop, dan J.K Stoops. 1985. Handbook of Educational Supervision. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Mosher, J.T. dan D.E. Purpel. 1972. Supervision: The Reluctant Profession. Boston: Hoghton Mifflin
Natajaya, N. 1994. “Studi hubungan antara Pelaksanaan Supervisi Pengajaran dengan Kemampuan Mengajar PMP Guru-Guru SD Negeri se-Kabupaten Buleleng di Daerah Tingkat II Buleleng” (Tesis). Malang: IKIP
Natajaya, N. 2003. “Profil Kepemimpinan Kepala Sekolah SLTP di Daerah Kabupaten Buleleng” (Hasil Penelitian). Singaraja: IKIP
Neagley, R.L. dan N.D. Evans. 1980. Handbook for Effective Supervision fo Instruction. Third Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Presentice-Hall, Inc.
Olivia, P.F. 1984. Supervision for Today’s School. Second Edition. White Plains, New York: Longman.
Ornstein, A.C. and H.L. Miller. 1980. Looking into Teaching: An Introduction to American Education. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Rubin, L. 1979. The Case for Staff Development: In Professional Supervision for Professional Teacher. Washington: Association for Supervision and Curriculum Development.
Sahertian, A.Piet dan Ida Alieda. 1990. Supervisi Pendidikan dalam Rangka Program Inservice Education. Jakarta: Rineka Cipta.
Sahertian, Piet. 2000. Supervisi Pendidikan dalam Rangka Program Inservice Education. Jakarta: Rineka Cipta.
Sergiovanni, T.J. 1982. Editor. Supervision of Teaching. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development.
Sergiovanni, T.J. 1987. The Principalship, A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon.
Sergiovanni, T.J. dan R.J. Starrat. 1979. Supervision: Human Perspective. New York: McGraw-Hill Book Company.
Sergiovanni, T.J. et al. 1987. Educational Governance and Administration. Second Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.
Snyder, K.J. dan R.H. Anderson. 1986. Managing Productive Schools: Toward an Ecology. New York: Academic Press College Division..
Sprinthall, N.A. dan R.C. Sprinthall. 1987. Educational Psychology, A Developmental Approach. Fourth Edition. New York: Random House.
Sri Wardhani. 2006.Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Berbasis Masalah. Jakarta: Depdiknas
Suastini, Ni Wayan. 2005 “Kontribusi Pelaksanaan Supervisi Pengajaran, Pelatihan Guru dan Pengalaman Kerja Terhadap Kemampuan Mengajar Guru Bahasa Inggris SMA Negeri di Kab. Badung”. (Tesis). Singaraja: Undiksha
Subari. 1988. Supervisi Pendidikan, Surabaya: Ikrar Mandiri Abadi.
Suryabrata, Sumadi. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sutrisno Hadi. 2001. Statistik jilid 1 s.d. 3. Yogyakarta: Andi
Sutton, R.E.”Teacher Education and Educational Self-Direction, A Conceptual Analysis and Empirical Investigation, “An International Journal of Research and Studies, Volume 50, No. 2, Summer, 1980.
Tose, H.L. dan Sj. Carroll. 1976. Management: Contingencies, Structure, and Process. Chicago. ST. Clair Rpess.
Trianto,2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik . Jakarta : Prestasi Pustaka.
Widarsana. 2008. “Analisis Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah, Kualitas Supervisi Pengawasan, dan Semangat Kerja Guru Terhadap Kualitas Pembelajaran Guru di kabupaten Badung” (Tesis). Singaraja: Undiksha
Wiles, J. dan J. Bondi. 1986. Supervision: A Guide to Practice. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.
Wiles, K. 1955.Supervision for Better Schools. New York: Prentice-Hall, Inc.