proposal penelitian eliana

25
 i PROPOSAL PENELITIAN PROFIL KADAR MA TR IX ME TA L LOP R OT E IN A SE-9 SERUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT LESI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU ELIANA MUIS IRAWATY DJAHARUDDIN ERWIN ARIEF PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Upload: eliana-muis

Post on 08-Oct-2015

12 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah proposal

TRANSCRIPT

  • i

    PROPOSAL PENELITIAN

    PROFIL KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9 SERUM DAN

    HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT LESI PENDERITA

    TUBERKULOSIS PARU

    ELIANA MUIS

    IRAWATY DJAHARUDDIN

    ERWIN ARIEF

    PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR 2011

  • ii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR JUDUL i

    DAFTAR ISI ii

    DAFTAR SINGKATAN iv

    BAB I PENDAHULUAN 1

    A. Latar Belakang 1

    B. Rumusan Masalah 3

    C. Tujuan Penelitian 3

    D. Manfaat Penelitian 3

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4

    A. Tuberkulosis 4

    B. Peranan Matrix Metalloproteinase-9 pada

    Immunopatogenesis Tuberkulosis

    8

    BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

    DAN VARIABEL PENELITIAN

    10

    A. Kerangka Teori 10

    B. Kerangka Konsep 11

    C. Hipotesis 11

    D. Variabel Penelitian 11

    E. Definisi Operasional dan Kriteria Obyektif 12

    BAB IV METODE PENELITIAN 14

    A. Metode Penelitian 14

    B. Tempat dan Waktu Penelitian 14

    C. Populasi dan Subyek Penelitian 14

    D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 14

    E. Perkiraan Besar Sampel 15

    F. Metode Pengumpulan Sampel 15

    G. Metode Pengumpulan Data 15

    H. Metode Pemeriksaan 16

    I. Analisis Data 19

    J. Alur Penelitian 20

    DAFTAR PUSTAKA 21

    LAMPIRAN 23

  • iii

    DAFTAR SINGKATAN

    BTA : Basil tahan asam

    DM : Diabetes Mellitus

    IL-1 : Interleukin 1 beta

    LJ : Lowenstein-Jensen

    MMP : Matrix metalloproteinase

    OAT : Obat antituberkulosis

    OM : Ogawa Medium

    PBS : Phosphate Buffer Saline

    TB : Tuberkulosis

    TIMPs : Specific tissue inhibitors of metalloproteinases

    TNF- : Tumor necrosis factor alpha

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Tuberkulosis (TB) hingga kini masih menjadi masalah kesehatan di

    seluruh dunia. Satu dari tiga penduduk dunia terinfeksi Mycobacterium

    tuberculosis (MTb) dengan jumlah total diperkirakan lebih dari dua milyar

    orang, tetapi hanya sekitar 5-10% yang berkembang menjadi TB aktif.

    Tuberkulosis terutama ditemukan pada dewasa muda di usia yang paling

    produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Angka kematian akibat TB

    diperkirakan 4.500 kasus per hari dan berada di peringkat ketujuh

    penyebab kematian. Jika tidak diobati, diperkirakan setiap penderita TB

    aktif akan menjangkiti 10 sampai 15 orang per tahun.1-4 Sekitar 95%

    penderita TB berada di negara berkembang dan merupakan 25% dari

    kematian akibat penyakit yang seharusnya bisa dicegah.5 Prevalensi

    nasional terakhir kasus TB paru di Indonesia diperkirakan 0,24%.6

    Transmisi MTb terutama melalui saluran napas. Jika terjadi infeksi

    MTb, maka yang berperan sebagai garis depan sistem imun pejamu adalah

    makrofag dan sel epitel alveolar. Komponen lain yang ikut terlibat yaitu

    reactive nitrogen, reactive oxygen dan sitokin proinflamasi seperti tumor

    necrosis factor alpha (TNF-) dan interleukin-1 beta (IL-1) yang pada

    akhirnya menyebabkan inflamasi dan pembentukan granuloma. Terjadinya

    nekrosis kaseosa dan infiltrasi limfosit juga makrofag memunculkan

    hipotesa bahwa degradasi matriks dan pembentukan kavitas mungkin

    dimediasi mekanisme inflamasi. Protease yang disekresi makrofag terbukti

    berperan dalam destruksi jaringan paru yang mengalami inflamasi. Diantara

    berbagai protease tersebut, matrix metalloproteinase (MMP) banyak diteliti

    karena enzim ini mampu mendegradasi seluruh unsur matriks ekstraseluler

    termasuk kolagen, gelatin, mielin, laminin, fibronektin dan elastin.7 Pada

    manusia telah diidentifikasi 24 jenis MMP yang diproduksi oleh berbagai

    jenis sel termasuk limfosit, granulosit dan makrofag teraktivasi.8

    Matrix metalloproteinase merupakan zinc-dependent endopeptidase

    dan sebagai antagonis kemokin berperan dalam migrasi lekosit dan

    remodeling jaringan. Ekspresi MMP berlebihan ditemukan pada berbagai

  • 2

    jenis penyakit kronis dan adanya gangguan keseimbangan antara kadar

    protease dan inhibitor, khususnya antara MMP dan specific tissue

    inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) akan menyebabkan destruksi

    jaringan atau perbaikan jaringan yang abnormal.7

    Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) diketahui mampu mendegradasi

    kolagen tipe IV yang merupakan komponen utama membran basal paru.

    Berbagai sel inflamasi dalam sirkulasi maupun jaringan terbukti bisa

    mensintesis MMP-9.7 Terdapat penelitian eksperimental yang membuktikan

    kadar MMP-9 lebih tinggi dalam cairan bronkoalveoler penderita TB aktif

    dengan kavitas,9 juga pada ekstraksi paru mencit yang terinfeksi MTb,10

    dibanding kelompok kontrol. Rivera-Marrero dkk10 juga membuktikan

    peningkatan sintesis/sekresi MMP-9 distimulasi melalui sitokin, khususnya

    TNF-. Pada kadar rendah, sitokin berperan lokal melalui mekanisme

    autokrin dan parakrin, tetapi jika kadarnya meningkat, sitokin memiliki efek

    endokrin. Mengingat induksi MMP-9 pada penderita TB tidak terbatas hanya

    di lokasi infeksi, dapat diasumsikan bahwa peningkatan kadar MMP-9 juga

    terjadi dalam sirkulasi akibat stimulasi lekosit melalui pelepasan sitokin

    oleh makrofag teraktivasi. Hrabec dkk7 menemukan hubungan antara kadar

    MMP-9 serum dan luas lesi penderita TB, serta mengusulkan kuantifikasi

    enzim ini bermanfaat dalam diagnosis TB paru. Di Indonesia, belum ada

    laporan hasil penelitian mengenai kadar MMP-9 serum penderita TB paru,

    dan hubungannya dengan derajat lesi.

    Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian untuk mengetahui

    profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat lesi pada

    penderita yang terinfeksi M. Tuberculosis.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, diajukan rumusan

    masalah yaitu bagaimana profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya

    dengan derajat lesi penderita TB paru.

  • 3

    C. Tujuan penelitian

    Tujuan Umum :

    Mengetahui profil kadar MMP-9 serum dan hubungannya dengan derajat

    lesi penderita TB paru.

    Tujuan Khusus :

    1. Mengetahui profil kadar MMP-9 serum penderita TB paru.

    2. Menilai hubungan kadar MMP-9 serum dan derajat lesi TB paru.

    D. Manfaat penelitian

    Dengan diketahuinya hubungan kadar MMP-9 serum dan derajat lesi

    TB paru, maka kuantifikasi kadar MMP-9 serum dapat dipertimbangkan

    sebagai salah satu alat bantu penegakan diagnosis, penilaian

    perkembangan penyakit dan tatalaksana penderita TB paru.

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tuberkulosis Paru

    Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung akibat infeksi M.

    tuberculosis yang berbentuk batang, tahan terhadap asam pada pewarnaan

    hingga disebut juga sebagai basil tahan asam (BTA), cepat mati dengan

    sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam

    ditempat gelap dan lembab. Sumber penularan yaitu penderita TB paru BTA

    positif yang saat batuk atau bersin akan menyebarkan mikrobakteri ke

    udara dalam bentuk droplet. Seseorang dapat terinfeksi jika droplet

    terhirup ke dalam saluran pernapasan, kemudian bisa menyebar dari paru

    ke bagian tubuh lain melalui sistem peredaran darah, saluran limfe, saluran

    cerna, atau menyebar langsung kebagian tubuh lain.11

    Berdasarkan penelitian fundamental oleh Lurie pada mencit, ada

    empat tahap infeksi TB paru yaitu:3,12,13

    1. Tahap pertama, dimulai dengan inhalasi M. Tuberculosis. Makrofag

    alveoli akan memfagosit dan menghancurkan mikobakteri. Pada tahap

    ini, daya penghancuran mikobakteri tergantung kemampuan

    mikobakterisid intrinsik dari sel fagosit pejamu dan virulensi

    mikobakteri.

    2. Tahap kedua, mikobakteri yang tidak hancur pada destruksi intraseluler

    awal akan bermultiplikasi dan merusak makrofag. Pada tahap ini,

    monosit dan sel-sel inflamasi lain bermigrasi ke paru terinfeksi.

    Monosit lalu berdiferensiasi menjadi makrofag dan memfagosit

    mikobakteri tersebut tetapi tidak menghancurkannya. Pertumbuhan

    mikobakteri terjadi secara logaritmik dan makrofag makin banyak

    terakumulasi meskipun kerusakan jaringan yang terjadi hanya minimal.

    3. Tahap ketiga berlangsung dua sampai tiga minggu setelah infeksi,

    dimana sel limfosit T yang tersensitisasi antigen spesifik berproliferasi

    dalam lesi membentuk tuberkel kemudian mengaktivasi makrofag

    untuk membunuh mikobakteri sehingga pertumbuhan mikobakteri

    terhenti.

  • 5

    4. Tahap keempat, terjadi nekrosis sentral pada lesi primer yang

    menghambat pertumbuhan mikobakteri hingga menjadi stasis dan

    dormant. Fokus kaseosa cair merupakan kondisi yang sangat baik

    untuk pertumbuhan mikobakteri ekstraseluler. Sedang pembentukan

    kavitas dapat menyebabkan ruptur dekat bronkus sehingga

    mikobakteri bisa menyebar melalui saluran nafas. Progresifitas dan

    penyebaran hematogen bisa terjadi setelah beberapa bulan hingga

    beberapa tahun pasca infeksi primer.

    Manifestasi klinis penderita TB paru bervariasi dan kadang tanpa

    keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Gejala klinis yang

    sering dikeluhkan seperti demam, batuk atau batuk darah, sesak napas,

    nyeri dada, gejala malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia, tidak

    ada nafsu makan, badan semakin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot,

    keringat malam dan sebagainya.4

    World Healt Organization (WHO) dan the International Union Againts

    Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) merekomendasikan diagnosis

    dan klasifikasi kasus TB, serta penilaian respon terapi melalui pemeriksaan

    apusan sputum. Pemeriksaan sputum berfungsi untuk menegakkan

    diagnosis, menilai keberhasilan terapi, dan menentukan potensi

    penularan.14,15

    Untuk penegakan diagnosis TB paru, pengambilan sampel sputum

    dilakukan pada senya penderita yang dicurigai TB sebanyak tiga specimen

    dalam dua hari kunjungan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS), dengan

    perwarnaan Ziehl Nielsen atau Kinyoun Gobbet. Diagnosis. Diagnosis TB

    paru BTA positif apabila: (1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak

    SPS hasilnya BTA positif; (2) Satu specimen SPS hasilnya BTA positif dan

    foto toraks menunjukkan gambaran TB; dan (3) Satu atau lebih spesimen

    hasilnya BTA positif setelah tiga spesimen sputum SPS pada pemeriksaan

    sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah

    pemberian antibiotik yang bukan obat anti-TB.14

    Pemantauan kemajuan terapi dilakukan dengan pemeriksaan ulang

    sputum secara mikroskopis sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi).

    Pemeriksaan sputum secara mikroskopis lebih baik dibanding pemeriksaan

  • 6

    radiologis dalam memantau kemajuan terapi. Hasil pemeriksaan positif

    apabila satu atau kedua spesimen hasilnya BTA positif. Sedangkan hasil

    pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif.

    Setelah konversi, maka penderita dianggap tidak dapat menularkan lagi

    atau tidak dalam keadaan infeksius. Laju endap darah (LED) tidak

    digunakan untuk memantau kemajuan terapi oleh karena tidak spesifik

    untuk TB. 16

    Pentingnya monitoring sputum dalam menilai konversi sputum yaitu:17

    1. Konversi sputum dari positif menjadi negative sangat penting dan

    merupakan pemeriksaan respons terapi yang obyektif.

    2. Dengan pemantauan sputum secara regular, dapat diketahui kegagalan

    respons terapi lebih dini atau sebagai tanda peringatan relaps.

    3. Sputum penderita dengan resistensi ganda harus dipantau setiap bulan

    untuk menentukan konversi sputum dan untuk menjamin bahwa

    penderita tetap dengan kultur negatif.

    4. Selama terapi dapat diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan

    penderita untuk konversi.

    5. Sputum negatif pada akhir terapi hanya menyimpulkan bahwa pasien

    telah sembuh.

    6. Pasien yang membutuhkan lebih dari 2-3 bulan untuk konversi

    memerlukan tambahan terapi untuk mencapai angka kesembuhan.

    7. Pasien dengan sputum tetap positif selama lebih dari 3 bulan atau

    menjadi positif setelah konversi, membutuhkan evaluasi gagal terapi.

    Respons terapi paling cepat dapat diketahui dari respons klinis pasien

    dan khususnya dengan menilai perbaikan keluhan batuk, berat badan, dan

    demam. Namun demikian, konversi sputum tetap merupakan pemeriksaan

    yang paling obyektif. Adapun beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

    respons terapi diantaranya yaitu usia, jenis kelamin, riwayat pengobatan TB

    sebelumnya, gangguan imunitas, genetik, resistensi ganda obat anti-TB,

    infeksi oleh Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT), lesi radiologi,

    derajat Mycobacterium, tingkat sosial ekonomi, pendidikan dan ras.14,18-24

    Panduan obat anti-TB yang digunakan dalam Program Nasional

    Penanggulangan TB di Indonesia yaitu:14

  • 7

    Kategori 1 diberikan pada pasien baru TB paru BTA positif, BTA

    negatif dengan foto toraks positif dan TB ekstra paru. Paduan obatnya

    2RHZE/4R3H3.

    Kategori 2 diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati

    sebelumnya: kambuh, gagal dan default dengan paduan obat 2RHZES/

    RHZE/5R3H3.

    Disamping kedua kategori tersebut diatas, disediakan paduan obat anti-

    TB sisipan RHZE.

    Hasil pengobatan pasien TB BTA positif yaitu:14

    1. Sembuh pasien telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan

    pemeriksaan ulang sputum hasilnya negatif pada akhir pengobatan dan

    minimal satu kali pemeriksaan sebelumnya negatif.

    2. Pengobatan lengkap pasien telah menyelesaikan pengobatan secara

    lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

    3. Meninggal pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena

    sebab apapun.

    4. Pindah pasien yang pindah berobat ke unit lain dan hasil

    pengobatannya tidak diketahui.

    5. Default (putus berobat) pasien yang tidak berobat dua bulan berturut-

    turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

    6. Gagal pasien yang hasil pemeriksaan sputumnya tetap positif atau

    kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

    pengobatan.

    B. Peranan Matrix Metalloproteinase-9 pada Immunopatogenesis

    Tuberkulosis

    Kelompok enzim MMP berperan penting dalam berbagai aktifitas

    biologik termasuk mekanisme respons imun seperti pembentukan

    granuloma pada TB. Beberapa studi menunjukkan MMP-9 (gelatinase B,

    kolagenase tipe IV 92-kDa) atau matrixin secara khusus diekspresikan

    dalam berbagai manifestasi tuberkulosis, termasuk TB aktif dengan kavitas,

    meningitis dan pleuritis.25

  • 8

    Keseimbangan proteolitik antara MMP dan TIMPs tidak hanya penting

    untuk remodeling jaringan normal, tetapi juga di berbagai kondisi

    patologis. Proses protelitik berperan dalam pembentukan efusi pleura

    melalui peningkatan permiabilitas vaskuler dan telah dibuktikan dengan

    adanya aktifitas enzimatik MMP dan TIMPs. Park dkk menemukan

    peningkatan ekspresi MMP-9 pada cairan efusi pleura penderita TB

    dibanding cairan efusi akibat karsinoma paru, dan produksi MMP-9

    terutama oleh sel-sel epitel dalam granuloma jaringan pleura.26

    Rivera-Marrero dkk10 membuktikan peningkatan sintesis/sekresi MMP-

    9 distimulasi melalui sitokin (khususnya TNF-). Pada kadar rendah, sitokin

    berperan lokal melalui mekanisme autokrin dan parakrin, tetapi jika

    kadarnya meningkat, sitokin memiliki efek endokrin. Karena induksi MMP-9

    pada penderita TB tidak terbatas hanya di lokasi infeksi, dapat diasumsikan

    bahwa peningkatan kadar MMP-9 juga terjadi dalam sirkulasi akibat

    stimulasi lekosit melalui pelepasan sitokin oleh makrofag teraktivasi.

    Penelitian untuk menentukan protein spesifik yang dilepaskan oleh

    beberapa sel ke dalam sirkulasi pada suatu proses patologis

    memungkinkan penemuan tes untuk diagnostik. Karena telah terbukti M.

    tuberculosis mampu menstimulasi ekspresi MMP-9 pada paru terinfeksi,

    Hrabec dkk7 meneliti hubungan antara kadar MMP-9 serum dan luas lesi

    penderita TB, kemudian mengusulkan kuantifikasi enzim ini bermanfaat

    dalam diagnosis TB paru.

    Dari penelitian eksperimental diketahui ekspresi MMP jaringan

    dimodulasi oleh 1,25(OH)2D.27 Anand dan Selvaraj,28 mengusulkan

    1,25(OH)2D memegang peranan penting dalam proses patologis TB paru

    melalui downregulation kadar MMP dan upregulation kadar TIMP.

  • 9

    BAB III

    KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

    DAN VARIABEL PENELITIAN

    A. KERANGKA TEORI

    Sinar matahari

    Diet

    Sumber vitamin D

    25(OH)D

    Hidroksilasi di hati

    1,25(OH)2D

    Hidroksilasi

    di ginjal

    Berikatan

    dengan VDR

    AKSI

    BIOLOGIK

    Inhalasi M. tuberculosis

    ke dalam paru

    M. tuberculosis berkembang

    dalam makrofag

    Sitokin

    proinflamasi

    Aktivasi makrofag

    Melepaskan protease

    Lesi mencair

    M. Tb berhenti bertumbuh,

    lesi mengeras

    Menyebar ke darah/

    organ lain

    M. Tb keluar lewat

    sputum

    Kematian Reaktivasi

    TB aktif

    Gangguan sistem imun:

    HIV/AIDS, DM, malnutrisi,

    keganasan

    MOTT MDR VDR

    Kepatuhan, pendidikan,

    jenis kelamin,

    sosial ekonomi

    Nekrosis kaseosa

  • 10

    B. KERANGKA KONSEP

    C. HIPOTESIS

    1. Kadar MMP-9 serum tinggi pada penderita TB paru.

    2. Makin tinggi kadar MMP-9 serum maka semakin luas derajat lesi TB

    paru.

    D. VARIABEL PENELITIAN

    1. Variabel bebas : Kadar MMP-9

    2. Variabel tergantung : Luas lesi TB paru

    3. Variabel kendali : Usia

    4. Variabel perancu : Gangguan sistem imun, kepatuhan,

    pendidikan, jenis kelamin, sosial ekonomi,

    MOTT, MDR, VDR

    E. DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF

    1. Penderita TB paru adalah penderita dengan gejala klinis penyakit TB

    yang didukung hasil pemeriksaan sputum BTA positif dan foto toraks

    PA.

    2. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat OAT atau

    pernah mendapat OAT kurang dari 1 bulan.

    Luas lesi Tuberkulosis

    paru

    Variabel tergantung

    Kadar MMP-9

    Variabel bebas

    Variabel perancu

    Gangguan sistem imun: HIV/AIDS, DM,

    malnutrisi, keganasan

    MOTT MDR VDR

    Kepatuhan, pendidikan,

    jenis kelamin, sosial

    ekonomi

    Usia

    Variabel

    kendali

  • 11

    3. Kasus kambuh adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah

    mendapat OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

    kemudian kembali berobat dengan hasil BTA positif.

    4. Kasus putus obat adalah penderita TB paru BTA positif yang telah

    berobat lebih atau sama dengan 1 bulan dan tidak melanjutkan

    pengobatan 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

    pengobatan selesai.

    5. Kasus gagal adalah penderita TB paru BTA positif yang masih tetap

    positif atau kembali positif pada akhir bulan kelima atau akhir

    pengobatan.

    6. Pertumbuhan M. Tuberculosis:

    - : tidak ada pertumbuhan setelah 6 minggu.

    1+ : dari permukaan medium ditumbuhi koloni.

    2+ : dari permukaan medium ditumbuhi koloni.

    3+ : dari permukaan medium ditumbuhi koloni.

    4+ : seluruh permukaan medium ditumbuhi koloni.

    Jika pertumbuhan koloni muncul sebelum 7 hari berarti bukan M.

    Tuberculosis.

    7. Tes sensitifitas M. Tuberculosis:

    Sensitif jika tidak terdapat koloni pada media berisi obat atau

    jumlahnya kurang dibanding koloni pada medium kontrol.

    Resisten jika jumlah koloni pada media berisi obat sama atau lebih

    dibanding koloni pada medium kontrol.

    8. Derajat TB paru:

    Lesi minimal jika proses mengenai sebagian dari satu atau dua

    paru dengan luas tidak lebih dari sela iga dua depan (volume paru

    yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga dua depan

    dan processus spinosus dari vertebra torakal empat atau korpus

    vertebra torakal lima serta tidak dijumpai kavitas.

    Lesi sedang jika proses penyakit lebih luas dari lesi minimal tetapi

    tidak boleh lebih luas dari satu paru atau jumlah seluruh proses

    yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila proses TB

    mempunyai densitas lebih padat dan lebih tebal, maka luas proses

  • 12

    tersebut tidak boleh lebih sepertiga luas satu paru. Bila disertai

    kavitas, maka luas semua kavitas (diameter) tidak lebih dari 4 cm.

    Lesi luas jika kelainan lebih luas dari lesi sedang.

    9. Diabetes Mellitus didiagnosis jika terdapat gejala klasik disertai GDS

    >200 mg/dl atau GDP >126 mg/dl atau TTGO >200 mg/dl.

    10. Status gizi berdasarkan IMT untuk Asia yaitu kurus jika IMT

  • 13

    BAB IV

    METODOLOGI PENELITIAN

    A. Metode Penelitian

    Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan

    cross-sectional.

    B. Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian direncanakan berlangsung mulai bulan Februari 2011

    sampai tercapai jumlah sampel yang diinginkan dengan metode sebagai

    berikut:

    1. Tahap pengumpulan sampel dilakukan di RS DR. Wahidin

    Sudirohusodo, RS Labuang Baji dan Balai Besar Kesehatan Paru

    Masyarakat Makassar.

    2. Pemeriksaan sputum sampel dilakukan di Laboratorium NEHCRI,

    sedang darah sampel di laboratorium Prodia Makassar.

    C. Populasi dan Subyek Penelitian

    Populasi penelitian adalah semua penderita TB paru pria dan wanita

    baik rawat jalan atau rawat inap di RS DR. Wahidin Sudirohusodo dan rawat

    jalan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

    Subyek penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan

    eksklusi. Sampel yang dikoleksi yaitu sputum dan spesimen darah.

    D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

    1. Kriteria inklusi:

    a. Penderita TB paru kasus baru dengan sputum BTA positif.

    b. Berusia 15 tahun.

    c. Tidak menderita diabetes mellitus dan HIV-AIDS.

    d. Bersedia ikut dalam penelitian ini.

    e. Medapat terapi obat anti-TB (OAT) kategori I

    2. Kriteria Eksklusi: Resistensi Ganda.

  • 14

    E. Perkiraan Besar Sampel

    Besar sampel diperkirakan berdasarkan rumus:

    N = z 2PQ

    d2

    Keterangan:

    z = nilai standar untuk 0,05 = 1,96

    P = Proporsi variabel yang diteliti = 0,2

    D = tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki = 0,1

    Jumlah sampel minimal: n = 62

    F. Metode Pengumpulan Sampel

    Pengumpulan sampel dilakukan dengan consecutive sampling

    sampai jumlah sampel yang diinginkan tercapai.

    G. Metode Pengumpulan Data

    1. Wawancara/anamnesis, yaitu untuk memperoleh informasi tentang

    karakteristik dan keadaan umum subyek, misalnya nama, umur, jenis

    kelamin, keluhan, riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit

    dalam keluarga dengan menggunakan kuesioner yang telah disiapkan

    (lampiran), dilanjutkan dengan pemeriksaan fisis, foto toraks dan

    apusan sputum BTA.

    2. Pemeriksaan apusan, kultur dan sensitivitas BTA dari bahan sampel

    sputum dilakukan di laboratorium NEHCRI.

    3. Pemeriksaan kadar MMP-9 dari bahan sampel darah dilakukan di

    laboratorium Prodia.

    H. Metode Pemeriksaan

    1. Sampel darah vena diambil sebanyak 5-10 cc. Identitas penderita ditulis

    di label yang tertera pada tabung darah, kemudian langsung dikirim ke

    laboratorium Prodia.

    2. Pemeriksaan kadar MMP-9 serum dengan teknik quantitative sandwich

    enzyme immunoassay yang dinyatakan dalam satuan ng/mL.

  • 15

    3. Sampel sputum dikumpulkan dalam pot bermulut lebar, berpenampang

    6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak

    bocor. Identitas penderita ditulis di label yang tertera pada pot,

    kemudian langsung dikirim ke laboratorium NEHCRI Makassar.

    4. Dekontaminasi dilakukan terhadap sampel sputum penderita TB paru:

    a. Sputum yang ditambahkan dengan volume yang sama dengan ketiga

    campuran zat dekontaminan (1:1) sebagai berikut:

    4% NaOH

    2,94% trinatrium sitrat

    N-acelyl L-cystein

    b. Dicampur menggunakan vorteks selama 10 detik, biarkan selama 15

    menit pada suhu kamar.

    c. Diencerkan 18 kali dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) atau

    aquadest steril, lalu disentrifus 3000 rpm selama 30 menit dengan

    suhu 40oC.

    d. Supernatan dibuang perlahan dan endapan diencerkan dengan PBS

    atau aquades steril. Sediaan ini dipakai untuk tes apusan dan kultur

    BTA.

    5. Pemeriksaan apusan BTA secara mikroskopik dengan pewarnaan Ziehl

    Neelsen:

    a. Sputum dan suspensi koloni dioleskan diatas object glass yang

    telah ditandai, dibiarkan sampai kering dan difiksasi dengan cara

    melewatkan diatas nyala api sebanyak 3 kali.

    b. Tempatkan sediaan pada rak dan genangi zat warna Carbol fuchsin

    sampai menutupi seluruh sampel.

    c. Sediaan dilewatkan kembali diatas nyala api sampai zat

    mengeluarkan uap (tidak sampai mendidih) sebanyak 3 kali, biarkan

    selama 5 menit.

    d. Kemudian dicuci dengan air mengalir dan ditambahkan HCl alkohol,

    biarkan 2 menit, kemudian cuci dengan air mengalir.

    e. Genangi zat warna Methilen blue 1-2 menit, lalu cuci dengan air

    mengalir dan biarkan kering.

    f. Sediaan dibaca menggunakan mikroskop, hasil positif jika terdapat

    batang berwarna merah yang biasa disebut basil tahan asam.

  • 16

    6. Pemeriksaan biakan M. Tuberculosis pada media Lowenstein-Jensen

    (LJ):

    a. Dalam tabung pemusing dicampur 1 bagian sputum dengan 4 bagian

    NAOH 4%.

    b. Vortex sampai homogen, biarkan 5-10 menit, tutup dikencangkan.

    c. Putar dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.

    d. Supernatan dibuang, endapan dicuci air suling steril 10 ml, vortex

    sampai homogen.

    e. Putar kembali seperti bagian c.

    f. Sedimen diinokulasi ke dalam 2 medium LJ, dengan menggunakan

    ose diameter 3 mm, pada semua permukaan medium LJ.

    g. Inkubasi pada suhu 370C dengan posisi terlentang selama 24 jam.

    h. Besoknya inkubasi dilanjutkan dengan posisi berdiri selama 4-6

    minggu.

    i. Tiap hari diamati pertumbuhannya pada minggu pertama.

    j. Selanjutnya pertumbuhan diamati setiap minggu.

    k. Pertumbuhan M. Tuberculosis optimal pada 4-6 minggu.

    l. Koloni M. Tuberculosis yang mulai tumbuh setelah hari ketujuh,

    setelah berumur 4 minggu, dilakukan identifikasi dengan cara:

    koloni terlihat rough, kering dan seperti lilin serta tidak berwarna, tes

    niacin dan reduksi nitrat positif berarti M. Tuberculosis.

    7. Tes resistensi M. Tuberculosis terhadap OAT dengan cara proporsi:

    a. Dalam tabung reaksi tutup ulir yang berisi sekitar 0.5 cc NaCl 0.9%

    dan 4 biji gelas parel steril disuspensikan dengan 1 mata ose koloni

    bakteri dari Ogawa Medium (OM) umur 4 minggu.

    b. Divortex sampai homogen, kemudian diencerkan dengan larutan

    NaCl 0.9% steril hingga kekeruhan sama dengan Mc Farland 1.

    c. Dibuat pengenceran mulai dari 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5.

    d. Untuk pengenceran 10-5, diinokulasikan 0,1cc ke dalam OM sebagai

    kontrol dan untuk pengenceran 10-3, masing-masing diinokulasi 0,1

    cc ke dalam OM yang mengandung OAT.

    e. Letakkan semua media dalam posisi miring atau datar dalam

    inkubator selama 24 jam, kemudian diletakkan pada rak untuk

    inkubasi berikut.

  • 17

    f. Pembacaan hasil dilakukan setelah inkubasi 4-6 minggu dimana

    pada kontrol (10-5) terdapat separuh dari permukaan medium

    ditumbuhi koloni (200-500 koloni).

    I. Analisis data

    Data yang diperoleh dianalisis melalui pengolahan data statistik

    menggunakan program SPSS dengan uji Chi Square, uji t dan uji korelasi.

  • 18

    J. Alur Penelitian

    Populasi

    Penderita TB paru

    Sampel

    Kasus baru BTA positif

    Anamnesis Pemeriksaan

    fisis

    Analisis Data

    HASIL

    Apusan

    sputum BTA

    Pemeriksaan

    foto toraks

    Pemeriksaan darah rutin kimia darah dan kadar

    MMP-9 serum

  • 19

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Montoro E, Rodriguez R. Chapter 7: Global Burden of Tuberculosis.

    Tuberculosis 2007 from basic science to patient care, First Edition. Palomino,

    JC, Leo SC, Ritacco V (Eds.). 2007:pp.263-282.

    2. Badruddin SH, Ansari NB. Overview of vitamin D and its role in tuberculosis

    prevention and treatment. Infectious Diseases Journal of Pakistan

    2008;17:135-138.

    3. Van Crevel RV, Ottenhoff THM, JWM VdM. Innate Immunity to Mycobacterium

    tuberculosis. Clin Microbiol Rev. 2002;15:294-309.

    4. Martineau AR, Griffiths CJ. Vitamin D in the Treatment and Prevention of

    Tuberculosis. Expert Rev Endocrinol Metab. 2008;3:105-107.

    5. Anonim. Editorial: Strategi DOTS di Rumah Sakit. J Respir Indo. 2006;26:74-77.

    6. Amin Z, Asril B. Tuberkulosis paru. Buku Ajar Penyakit Dalam Volume II Edisi

    IV. Setiyohadi B, Alwi I (Eds.). Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, Jakarta.

    2006:998-1004.

    7. Hrabec E, Strek M, Zieba M, Hrabec Z. Circulation level of matrix

    metalloproteinase-9 is correlated with disease severity in tuberculosis

    patients. Int J Tuberc Lung Dis 6(8):713-719.

    8. Greenlee KJ, Werb Z, Kheradmand F. Matrix Metalloproteinases in Lung:

    Multiple, Multivatious, and Multifaceted. Physiol Rev 2007;87:68-98.

    9. Chang JC, Wysocki A, Tchou-Wong KM, et al. Effect of Mycobacterium

    tuberculosis and its components on macrophages and the release of matrix

    metalloproteinases. Thorax 1996;51:306-311.

    10. Rivera-Marrero CA, Schuyler W, Roser S, Roman J. Induction of MMP-9

    mediated gelatinolytic activity in human monocytic cells by cell wall

    components of Mycobacterium tuberculosis. Microbial Pathogenesis

    2000;173:45-52.

    11. WHO. Global Tuberculosis Control: Surveillance, Planning, Financing in WHO

    Report 2006:35-37.

    12. Raja A. Immunology of Tuberculosis. Indian J Med Res 2004;120:213-232.

    13. Pieters J. Mycobacterium tuberculosis and the macrophage: maintaining a

    Balance. Cell Host & Microb 2008;3:399-446.

    14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis secara global.

    Second Edition. DepKes RI, Jakarta. 2008.

    15. ATS documents. American Thoracic Society/Centers for Disease Control and

    Prevention/Infectious Diseases Society of America: Treatment of Tuberculosis.

    Am J Respir Crit Care Med 2003;267:603-62.

    16. Senkoro M, Mfinanga SG, Morkve O. Smear microscopy and culture

    conversion rates among smear positive pulmonary tuberculosis patients by

    HIV status in Dar es Salaam, Tanzania. BMC Infect Dis 2010;10:1-6.

    17. Santa Clara County Public Health Department. Monitoring sputum during TB

    treatment. TB Fact Sheet 2c.1.

    18. Nugroho H, Suradi, Surjanto E. Penilaian Keberhasilan Pengobatan TB paru

    Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination/FDC) di Surakarta. Naskah

    lengkap Kongres Nasional X Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia

    (PDPI). Surjanto E, Suradi, Reviono, et al (Eds.). Surakarta 2005:35-42.

  • 20

    19. Karim F, Islam A, Chouwdhury, et al. Gender differences in delays in diagnosis

    and treatment of tuberculosis. Health Policy and Planning 2007;22:329-34.

    20. Sharma SK, Mohan A. Multidrug-Resistant Tuberculosis A Menace that

    threatens to destabilize tuberculosis control. Chest 2006;130:261-72.

    21. Widjaya JT, Jasaputra DK, Roostati RL. Analisis Kadar Interferon Gamma pada

    Penderita Tuberkulosis Paru dan Orang Sehat. J Respir Indo 2010;30(2):119-

    23.

    22. Liu PT, Modlin RL. Human macrophage host defense against Mycobacterium

    tuberculosis. Immunology 2008;20:371-6.

    23. Lakshmi V. Mycobacterial infections: Significance and control. Int J Diab Dev

    Countries 1999;19:62-8.

    24. Frodsham AJ, Hill AVS. Genetics of infectious diseases. Human Molecular

    Genetics 2004;13:R187-94.

    25. Nnoahan KE, Clarke A. Low serum vitamin D levels and tuberculosis: a

    systemic review and meta-analysis. Inter J Epidemiol 2008;37:113-119.

    26. Taylor JL, Hattle JM Dreitz SA, et al. Role for matrix metalloproteinase 9 in

    granuloma formation during pulmonary M. tuberculosis infection. Infection &

    Immunity 2006;74:6135-6144.

    27. Lemire JM. Immunomodulatory actions of 1,25-dihydroxyvitamin D3. J of

    Steroids Biochem & Mol Biol. 1995;53:599-602.

    28. Vidyarini M, Selvaraj P, Jawahar MS, Narayanan PR. 1,25-dihydroxyvitamin D3

    modulated cytokine response in pulmonary tuberculosis. Cytokine

    2007;40)128-134.

  • 21

    SURAT PERYATAAN PERSETUJUAN

    Yang bertanda tangan dibawah ini :

    Nama : __________________________________________

    Umur : _______ tahun

    Jenis Kelamin : L / P

    Pekerjaan : __________________________________________

    Alamat/Tlp./HP : __________________________________________

    Dengan ini menyatakan bersedia mengikuti penelitian yang berjudul :

    PROFIL KADAR MATRIX METALLOPROTEINASE-9 SERUM DAN HUBUNGANNYA DENGAN DERAJAT LESI TUBERKULOSIS PARU

    sampai dengan selesai, karena saya menyadari manfaatnya bagi

    kepentingan penderita dan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama bagi

    perkembangan ilmu Kedokteran.

    Makassar, 2011

    Peneliti, Yang membuat pernyataan,

    dr. Eliana Muis ______________________

    Lamp. 1

  • 22

    FORMULIR PENELITIAN

    Tanggal Bulan Tahun

    IDENTITAS

    Nama

    Umur tahun Jenis Kelamin L / P

    Rumah Sakit No. RM

    Agama 1. Islam 2. Protestan 3. Katolik 4. Hindu 5. Budha

    Pendidikan 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. PT 5. Tdk sekolah

    Pekerjaan

    Alamat/Tlp.

    RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

    Batuk + / - Lendir + / - Darah + / - BB menurun + / -

    Sesak + / - Demam + / - Kontak pasien TBC ( ) + / -

    Nyeri dada + / - Keringat banyak + / - Merokok ___ Batang/bungkus per hr + / -

    RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

    1. Diabetes 2. TBC OAT : bln 3. PPOK 4. Asma

    5. Bronkitis 6. Penyakit jantung 7. Obesitas 8. Penyakit lainnya:

    PEMERIKSAAN FISIS

    T mmHg N x/m S oC P x/m TB cm BB kg IMT kg/m

    2

    LABORATORIUM

    Lekosit SGOT Sputum

    Hb SGPT BTA I BTA II BTA III

    HCT Ureum

    + / - + / - + / - Trombosit Kreatinin

    LED I/II GDS

    GAMBARAN FOTO TORAKS

    Lamp. 2