proporsionalitas jihad dalam format islam rahmatan lil

5

Click here to load reader

Upload: wan-petrelli

Post on 19-Jun-2015

89 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Jihad, mendengar kata ini yang terbayang dalam benak kita adalah peperangan yang tak kenal ampun, pembantaian, kelaparan, kemudian keterbelakangan, kebodohan sebagai efeknya yang berkepanjangan. Akan tetapi permasalahannya tidak berhenti sampai di sana ketika tren jihad ini kita gandengkan dengan Islam. Kemudian timbullah generalisasi Islam teroris, umat Islam adalah teroris, Muhammad adalah teroris. Tragedi pengeboman menara kembar World Trade Center, bom Bali I dan II, Ambon, Halmahera, Poso, genaplah sudah tuduhan “Islam sebagai agama teroris itu”. Di satu sisi kita menggemborkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, di lain pihak teks-teks yang mempunyai otoritas membentuk normatif dalam pranata sosial Islam-pun ternyata bermasalah, dalam arti teks-teks itu bisa dijadikan pembenaran bagi tindakan-tindakan desktruktif atas nama Islam. Lalu dimanakah Islam yang ramah itu, Islam rahmatan lil ‘alamin?

TRANSCRIPT

Page 1: Proporsionalitas Jihad Dalam Format Islam Rahmatan Lil

Proporsionalitas Jihad dalam Format Islam Rahmatan lil ‘Alamin

Jihad, mendengar kata ini yang terbayang dalam benak kita adalah peperangan yang tak kenal ampun, pembantaian, kelaparan, kemudian keterbelakangan, kebodohan sebagai efeknya yang berkepanjangan. Akan tetapi permasalahannya tidak berhenti sampai di sana ketika tren jihad ini kita gandengkan dengan Islam. Kemudian timbullah generalisasi Islam teroris, umat Islam adalah teroris, Muhammad adalah teroris. Tragedi pengeboman menara kembar World Trade Center, bom Bali I dan II, Ambon, Halmahera, Poso, genaplah sudah tuduhan “Islam sebagai agama teroris itu”. Di satu sisi kita menggemborkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin, di lain pihak teks-teks yang mempunyai otoritas membentuk normatif dalam pranata sosial Islam-pun ternyata bermasalah, dalam arti teks-teks itu bisa dijadikan pembenaran bagi tindakan-tindakan desktruktif atas nama Islam. Lalu dimanakah Islam yang ramah itu, Islam rahmatan lil ‘alamin?

Interpretatif Jihad

Pertanyaan tersebut telah memaksa juris Islam untuk memetakan ulang (bukan rekonstruksi) pandangan-pandangan ulama Islam terdahulu. Barangkali karena semakin dangkalnya nalar umat, format ulang menjadi suatu hal yang niscaya.

DR. Ramadhan Bouthi pakar Fiqih kenamaan asal Syiria memulai uraiannya dalam masalah jihad dengan menguraikan makna jihad. Menurutnya telah menjadi kesalahan pemahaman di kalangan umat Islam tentang makna kata ini, jihad selalu berkonotasi perang. Pemahaman seperti itu salah sama sekali. Sebab jihad mencakup berbagai parian, diantaranya melawan hawa nafsu, upaya-upaya menyampaikan dakwah; baik dengan sikap, ucapan, amar ma’ruf nahi munkar, dan perang juga termasuk di dalamnya. Sehingga kita menemukan kata tersebut dalam literatur klasik kata ‘jihad’, tidaklah selalu berarti perang. Semisal kata ‘jihad fi sabilillah’, kalimat ini mengakomodir parian yang telah disebut tadi.

Poin-poin pertama adalah parian jihad yang paling utama. Bagaimana tidak, tambah al Bouthi, secara tegas ayat al-Quran menyifatinya demikian (jihadan kabira). Dalam sabdanya, Rasulullah mengatakan “Jihad yang paling utama adalah (berani mengucap) ucapan-ucapan yang benar dihadapan penguasa lalim”; dalam sabdanya yang lain: “Jihad yang paling utama adalah melawan hawa nafsumu karena Allah Ta’ala”. Demikian fakta bahwa jihad tidaklah selalu bermakna perang.

Menurut al Bhouthi, pemahaman seperti itu (jihad = perang) bermuara dari pemahaman umum bahwa jihad di syari’atkan pertama kali setelah Rasulullah hijrah (migrasi) ke Madinah. Menurutnya, faktanya tidaklah demikian. Surat yang turun di Mekah pun berbicara masalah jihad seperti halnya umumnya surat Madaniyah. Semisal surat al Furqon 52, an Nahl 110, ayat-ayat dalam surat ini menurut mayoritas (jumhur) ulama adalah Makiyah dan berbicara masalah jihad. Sementara Ibnu Abas mengecualikan tiga ayat, menurutnya ayat 95, 96, 97 dalam surat an Nahl adalah madaniyah.

Dakwah Islam adalah Dakwah Persuasif.Dalam Islam tidak ada paksaan untuk meyakini sesuatu bagi pihak agama lain, dakwah dilakukan secara persuasif sebagaimana firman-Nya : “Serulah umat manusia menuju jalan Tuhanmu dengan hikmah dan tutur kata yang baik”. Dalam surat al Kahfi diceritakan bagaimana Nabi Musa diperintah

Page 2: Proporsionalitas Jihad Dalam Format Islam Rahmatan Lil

untuk bertutur kata yang halus ketika menghadapi Fir’aun, Raja Mesir yang mengaku menjadi Tuhan itu, “Berkatalah dengan kata-kata yang halus”. Demikian karena dakwah Islam ditegakkan atas dasar ta’awun alal birri wattaqwa:

“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah : 2).

Jika motif dakwah adalah demikian, maka dakwah tidak boleh keluar dari aturan-aturan dan karakteristik taklif. Terbukti ayat-ayat Madaniyah yang dipandang oleh beberapa kalangan sebagai periode jihad dengan makna perang, nyatanya terdapat ayat yang berbicara tentang upaya dakwah persuasif, sebut saja semisal firman Allah SWT : “Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu). Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kami-lah yang menghisab amalan mereka” (QS ar Ra’du : 40). “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka”. (QS Al Ghosyiah : 21-22), demikian ayat-ayat itu menjadi bukti tentang prinsip dasar dakwah baik di periode Mekah maupun Madinah.

Sehingga tepat pendapat mayoritas ulama jika ayat-ayat Makiyah yang dianggap lebih toleran tidak di anulir (nasakh).

Hadist ‘Umirtu an Uqotilan Nas Hatta Yasyhadu alla Ilaha illa Allah …….’

“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi tiada Tuhan selain Allah”, demikian bunyi hadist yang menyisakan kejanggalan-kejanggalan ketika kita mengacu pendapat para ulama yang mengatakan jihad defensitif.

DR. Ramadhan al Bouthi pertama mengomentari hadist ini dari sudut pandang kesejahteraan lalu ke sudut pandang transmisi. Menurutnya sebagaimana yang dikutip dari Ibnu Hajar al Asqolani, hadist ini secara transmisi adalah hadist gorbi, (hanya diriwayatkan oleh satu perawi), meskipun demikian Imam Bukhori dan Imam Muslim memasukannya dalam kategori sahih. Sementara Imam Ahmad yang standar penilaian sohehnya tidak seketat kedua pakar hadist itu tidak memasukkan ke dalam kumpulan hadistnya Ibnu Hajar Al Asqolani. Sementara ulama berprestasi bahwa hadist itu jauh dari kemungkinan sahih, mereka beralasan hadist ini diriwayatkan olah Ibnu Umar. Menurut mereka seandainya hadits ini memang diriwayatkan oleh Ibnu Umar seharusnya Umar bin Khotob, ayah dari Ibnu Umar, tidak akan menentang kebijakan Abu Bakar untuk memerangi para pembangkang zakat, karena mestinya Umar tahu hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar itu adalah hadist yang memuat tentang keharusan memerangi para pembangkang zakat.

Tetapi al Bouthi lebih lanjut mengatakan dalil itu belum cukup untuk men-dhoif-kan status hadist ini, dengan maksud kalau hadist dhoif tidak bisa dijadikan pijakan hukum, dengan demikian hadist tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Lalu jawaban dari kejanggalan tadi, menurut DR. Bouthi, sebenarnya tak perlu janggal karena, dalam reaksi hadist itu menggunakan kata yang bermakna musyarakah uqootilu (qof disertai alif) bukan Muta’adi. Orang Arab menggunakan kata ini hanya ketika pihak lawanlah yang memulai dengan demikian. Hadist ini selaras dengan pandangan

Page 3: Proporsionalitas Jihad Dalam Format Islam Rahmatan Lil

mayoritas ulama bahwa jihad dalam Islam adalah jihad defensif, perang untuk melindungi diri dari ancaman.

Jihad Offensif vs Jihad Defensif

Sebelum kita jawab pertanyaan tersebut kita diskusikan perbedaan pendapat ulama tentang defensif-offensif.

Adalah fakta yang tak dapat dibantah jika para juris Islam terdahulu telah berselisih pendapat dalam memahami ayat-ayat yang berbicara jihad. Semisal dalam memahami firman Allah SWT berikut : “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (Sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqoroh : 193).

Menurut al Qurtubi, mengomentari ayat ini, ulama ada yang mengatakan bahwa ayat ini adalah intruksi untuk memerangi non muslim di manapun berada, sampai hilangnya kemusyrikan tanpa harus menunggu agresi dari mereka. Kelompok ini berpijak pada pendapat bahwa ayat-ayat ini telah menganulir (naskh) fase-fase jihad sebelumnya. Pendapat inilah yang dijadikan pijakan oleh para teroris (saya sebut teroris). Versi yang kedua mengatakan pendapat ini tidaklah menganulir fase-fase yang dimuat oleh ayat-ayat sebelumnya. Oleh sebab itu kelompok ini berpendapat jihad perang hanya boleh terjadi ketika ia diserang, setelah upaya damai tak dapat diupayakan.

Kedua kelompok itu berbeda pendapat bermula dari sebuah pertanyaan, kewajiban berperang yang diintruksikan dalam firman-Nya itu karena alasan (‘ilat) apa? Kelompok pertama mengatakan karena status kufr (kekafiran)-nya, sementara kelompok kedua mengatakan alasannya adalah harabah, penyerangan mereka terhadap pihak muslim.

Kelemahan-kelemahan pendapat pertama

Kelompok pertama berpijak pada firman Allah :

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang (QS : at Taubat : 5).

Pijakkan yang kedua Hadist “umirtu an uqatila annasa…” yang menurut al Bouthi, sebenarnya menjadi sumber kebingungan mereka.

Ayat ini tidaklah memberi kapahaman bahwa kekufuran yang menjadi motif perintah perang, ayat tersebut hanya mengijinkan perang selain pada asyhurul hurum (bulan-bulan Haram), karena masih mungkin motifnya adalah harabah, menyerang. Sebagaimana menjadi ketentuan umum di kalangan para pakar Fiqh, ketika ihtimal (ambigu), maka dalil itu tak bisa dijadikan pijakan.

Adapaun masalah hadist yang mereka jadikan pijakan, dikomentari oleh al Bouthi secara kebahasaan seperti yang telah saya sebut di atas. Jika pengambilan dalil kelompok kedua ini lemah, dan cacat maka jelas pendapat kedualah yang bisa dijadikan pegangan. Sehingga kita tidak perlu lagi

Page 4: Proporsionalitas Jihad Dalam Format Islam Rahmatan Lil

mempertanyakan di mana Islam rahmatan lil ‘alamin itu, sebab tren terorisme yang dianggap bertolak belakang dengan jargon yang merupakan kandungan dari hadist tersebut tidak memiliki pijakan kuat dalam kontalasi Fiqh. Selebihnya akan diuraikan secara oral.

Wallahu a’lam.

Disampaikan dalam Kajian Mingguan IPNU-IPPNU Cab Kota Kediri