program studi hukum ekonomi syariah fakultas...

99
ANALISIS NORMATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIOANAL BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) OLEH INDRI SYAHFITRI 11140460000083 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M

Upload: phamdien

Post on 28-Jun-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

ANALISIS NORMATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013

TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM) DAN

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIOANAL

BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT)

DI WILAYAH KABUPATEN

BOGOR

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

OLEH

INDRI SYAHFITRI

11140460000083

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/ 2018 M

Page 2: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data
Page 3: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data
Page 4: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data
Page 5: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

ABSTRAK

Indri Syahfitri. NIM 11140460000083. ANALISIS NORMATIF UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN

MIKRO (LKM) DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIONAL

BAITUL MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI WILAYAH KABUPATEN

BOGOR. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/ 2018 M. Ix 89

halaman 47 halaman lampiran.

Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari OJK Mei 2017 s/d Februari

2018, jumlah industri syariah yang tercatat sebanyak 18 unit dengan aset 71,12

Miliar, selanjutnya terlihat pada Februari 2018 jumlah industri syariah sebanyak

36 unit dengan aset 116 Miliar. Jika dianalisis dalam jangka waktu 10 bulan

LKMS memiliki perkembangan walau dirasa aset LKMS tidak sebanding dengan

banyaknya unit LKMS yang berdiri. Adapun peraturan terkait BMT sebagai

LKMS diantaranya Undang-Undang No No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang No 17 Tahun 2012 yang

selanjutnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang pada akhirnya

dikembalikan lagi pada UU No 25 Tahun 1992, Undang-Undang No 21 Tahun

2011 tentang OJK, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro dan peraturan lainnya yang tidak secara jelas disebutkan.

Studi ini menggunakan normatif analisis dengan jenis penelitian kualitatif,

sehingga adanya pengkajian terhadap unsur-unsur yang berhubungan melalui

aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data di lapangan dengan tujuan

untuk mengetahui seberapa besar pengaruh UU No 1 Tahun 2013 tentang LKM

terhadap Operasional BMT di Kabupaten Bogor serta Urgensi dibentuknya UU

tersebut bagi Lembaga Keuangan Mikro.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 53 koperasi yang terhimpun dalam

puskopsyah 24 berjumlah aktif, yang terdiri dari13 berbentuk koperasi syariah dan

11 KSPPS (BMT) yang berdasarkan UU Perkoperasian No 25 Tahun 1992,

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 yang berisi tentang Pelaksanaan Kegiatan

Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi, PERMEN No 11/Per/M.KUKM/XII/2017

yang berisi tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan

Syariah oleh Koperasi. Para pemerhati memandang bahwa UU LKM hanya

memberikan peluang dan pilihan untuk BMT dalam hal memilih badan hukum

yang berkonsekuensi pada peraturan hukum yang bersangkutan di dalamnya.

Akan tetapi sampai dengan saat ini BMT tidak serta merta sepenuhnya sesuai

menurut UU LKM, secara operasional BMT mengikuti pola koperasi berdasarkan

Kewenangan Kementrian Koperasi. Adapun secara prinsip, kelembagaan dan

tujuan sudah sesuai dengan UU LKM.

Kata Kunci : Undang-Undang No 1 Tahun 2013, Operasional, BMT.

Pembimbing : A. M. Hasan Ali, MA

Nurul Handayani, M.Pd

Daftar Pustaka : 2000 s.d. 2018

Page 6: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah

melimpah curahkan nikmat rohani dan jasmani kepada kami semua. Shalawat dan

salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad saw. dengan Rahmat

dan syafaatnya sampai dengan ini kami dapat menimba ilmu yang sangat

bermanfaat.

Dengan rahmat dan hidayah serta pertolongan dari Allah SWT,

Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah saya dalam bentuk

skripsi dengan Judul “Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013

tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Implikasi Hukum Terhadap Operasional

Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Wilayah Kabupaten Bogor.”

Dalam menulis skripsi ini banyak sekali tantangan yang saya hadapi tapi

semua itu selesai sudah dengan banyak motivasi dan do‟a dari para pihak, untuk

itu perkenankan saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak yang

telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Drs. Asep Saepudin Jahar, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. A.M.Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang dalam hal ini sekaligus sebagai Dosen

Pembimbing I. Terimakasih atas bimbingan, bantuan dan waktunya yang

sangat berharga demi lancarnya penelitian ini.

3. Drs. Abdurrauf, Lc., Selaku Sekretaris Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, yang menjadi tauladan etika berpakaian dan

sopan santun mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Nurul Handayani, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II, yang senantiasa

memberikan motivasi, arahan dan saran-saran serta banyak meluangkan waktu

untuk mengoreksi tulisan saya agar lebih baik.

5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak menyalurkan ilmu pengetahuan secara teori ataupun praktik

selama saya menimba ilmu di Fakultas ini. Semoga menjadi amal ibadah yang

terus mengalirkankan banyak pahala. Terkhusus Ibu Yuke Rahmawati, yang

menjadi motivasi dalam hal pembelajaran selama ini, loyalitas kepada

Page 7: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

vii

mahasiswa. Semoga selalu tetap berkarya dalam penelitian dan banyak

memberikan inspirasi bagi yang lainnya.

6. Drs. Hamid Farihi, M.A., dan Mohammad Mujibur Rohman, M.A., Selaku

penguji I dan II. Terimakasih telah mengarahkan saya dalam tulisan, setiap

coretan adalah bermakna bagi saya. Semoga setiap kata yang diucap

memberikan banyak faedah.

7. Kepada para Narasumber Pepi Januar Pelita, M.Pd dan Ridha Nugraha, M.E.I,

yang sudah sangat terbuka untuk memberikan informasi dan pelajaran kepada

saya dalam hal mengembangkan ilmu pengetahuan.

8. Yang tidak pernah saya lupakan, puji dan rasa syukur serta kasih sayang

kepada Kedua Orangtua “Ummi dan Bapak”. Semoga apa yang telah engkau

beri kepada anaknya. Allah gantikan menjadi pahala serta jalan yang mudah

untuk ke Surga.

9. Kepada Kakak saya Ida Handayani, terimakasih atas arahan serta dukungan

secara finansial demi terselesaikannya menimba ilmu di Kampus ini. Dan tak

lupa kepada adik Indra Syahputra dan Muhammad Hafidz Firdaus yang juga

selalu memberikan semangat dan do‟a.

10. Untuk teman sehidup Hera, Kk Deuis dan Kk Fitri. Terimakasih atas

pengertiannya selama dikosan. Dukungan dan do‟a senantiasa memberikan

keberkahan bagi kita.

11. Untuk teman-teman seperjuangan. Setiap kritik dan saran adalah bernilai bagi

saya, terimakasih atas do‟a dan dukungannya. Terutama kepada Anisaul K,

Devi Hunafa, Ana Mardiana, Evi Winengsih, Nuraila, Leli Laelatul, Lisatun,

Gina Alna, Nurjanah, Asri HF, Natasha, Inez Nurafifah, Firdaus, Hesty Adrea

dan Nisa Nurfhatia di Bogor sana serta Fathur Rahman sebagai editor dalam

skripsi ini. Untuk Muhammad Roihan, terimakasih banyak selalu membantu.

Teruntuk KKN 79 “Grenade” yang pernah berjuang bersama dalam rangka

pengabdian dan pemberdayaan kepada masyarakat, terimakasih banyak.

12. Teman Angkatan 2014 Hukum Ekonomi Syariah, setiap langkah kita selama

ini menjadi nilai yang berharga dikemudian hari. Jangan Pernah Menyerah.

Semoga kita selalu diberkahi oleh Allah dan menggapai kesuksesan. Aamiin

Kepada semua pihak yang telah banyak terlibat dalam menyalurkan ilmu

pengetahuan, pengalaman serta dukungan dan do‟a. Saya ucapkan terimakasih

banyak dan Mohon Maaf jika dalam penelitian ini ada kesalahan ataupun ada

pihak yang dirugikan. Untuk itu kritik dan saran selalu terbuka untuk pembaca.

Semoga Allah selalu memberikan yang terbaik kepada kaumnya yang

selalu memberikan bantuan kepada sesama. Aamiin

Jakarta, 7 Juni 2018

Indri Syahfitri

Page 8: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................................ iii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv

ABSTRAK ................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi

DAFTAR ISI ................................................................................................................ viii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ................................................................................................ 4

C. Batasan Masalah ...................................................................................................... 4

D. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................... 5

F. Sistematika Penelitian ............................................................................................. 6

BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................... 10

A. Kerangka Teoritis dan Konseptual .......................................................................... 10

1. Hukum ............................................................................................................... 10

2. Undang-Undang ................................................................................................ 12

3. Lembaga Keuangan Mikro ................................................................................ 13

a. Macam-macam Lembaga Keuangan Mikro ................................................ 14

b. Landasan Teologis Keuangan Mikro Syariah ............................................. 15

4. Baitul Maal wat Tamwil dan Operasionalnya ................................................... 17

5. Karakteristik BMT sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat .............................. 18

6. Regulasi dan Bentuk Badan Hukum ................................................................. 19

a. Regulasi ....................................................................................................... 20

b. Badan Hukum ............................................................................................. 21

1) Koperasi ................................................................................................ 21

2) Perseroan Terbatas ................................................................................ 27

B. Kerangka Konseptual .............................................................................................. 31

Page 9: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

ix

C. Literatur Review ...................................................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................... 37

A. Pendekatan Penelitian ............................................................................................. 37

B. Jenis Penelitian ........................................................................................................ 38

C. Data Penelitian ........................................................................................................ 40

D. Sumber Data ............................................................................................................ 40

E. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data .................................................................. 42

F. Subjek Penelitian ..................................................................................................... 44

G. Teknik Pengolahan Data ......................................................................................... 44

H. Metode Analisis Data .............................................................................................. 45

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI ........................................................... 46

A. Kelembagaan BMT ................................................................................................. 46

B. Landasan Operasional ............................................................................................. 51

1. Pendirian ........................................................................................................... 51

2. Perizinan ............................................................................................................ 52

3. Permodalan ........................................................................................................ 54

4. Kegiatan Usaha ................................................................................................. 55

C. Analisis Normatif Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro dan Implikasi Hukum terhadap Operasional BMT di Wilayah

Kabupaten Bogor .................................................................................................... 58

1. Kebijakan Regulasi ........................................................................................... 58

2. Urgensi Penguatan Hukum ............................................................................... 68

BAB V PENUTUP ....................................................................................................... 81

A. Simpulan ................................................................................................................. 81

B. Rekomendasi ........................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 84

LAMPIRAN

Page 10: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

x

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1: Kerangka Konseptual .................................................................. 31

Bagan 4.1: Alur Operasional BMT ............................................................... 47

Bagan 4.2: Badan Pengelola BMT ................................................................ 48

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1: LKM di Wilayah Kabupaten Bogor .................................................. 61

Page 11: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) sangat erat kaitannya dengan

masyarakat tingkat bawah. Baitul Maal wat Tamwil hadir bagi masyarakat

yang mayoritas berlipat utang dan sulit untuk mencari kegiatan yang dapat

memproduktifkan. Ekonomi dan keuangan yang baik dapat membuka banyak

peluang cerah untuk kehidupan yang diharapkan dan bekal masa depan. Untuk

mengakses keuangan yang dapat menstabilkan perekonomian itu bukan

perkara mudah bila selalu berkaitan dengan keuangan dalam lingkup lembaga

besar, dimaksudkan adalah perbankan. Masyarakat pada umumnya tidak

bankable1 yang diharapkan dapat memproduktifkan usaha masyarakat dalam

bentuk nyata. Dalam prakteknya di Indonesia BMT berbentuk Kelompok

Swadaya Masyarakat (KSM) atau koperasi yang mengelola dana milik

masyarakat dalam bentuk simpanan maupun pembiayaan.2 Dari sumber inilah

pembiayaan BMT berasal. Dana yang dipercayakan masyarakat kepada BMT

dalam bentuk simpanan kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat

yang membutuhkan dalam bentuk pinjaman. Pola kerja yang diambil BMT

pada akhirnya sama dengan pola kerja bank syariah yang menjadi lembaga

intermediasi. Menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali

kepada masyarakat.3

BMT memiliki karakteristik yang khas jika dibandingkan dengan lembaga

keuangan lain yang ada, karena selain memiliki misi komersial (Baitut

Tamwil) juga memiliki misi sosial (Baitul Maal), oleh karenanya BMT bisa

dikatakan sebagai jenis lembaga keuangan mikro baru dari yang telah ada

1 Bankable adalah suatu istilah yang umum di bidang perbankan yang artinya memenuhi

persyaratan bank. Pada waktu kita mengajukan permohonan kredit kepada bank, atau permohonan

pembiayaan kepada bank syariah. Bank akan menyampaikan persyaratan-persyaratan yang harus

dipenuhi oleh calon nasabah. Diakses pada 18 Februari 2018 dari www.google.com.

2 Abdul Ghofur Anshori, Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika

Perkembangannya di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008), h. 290.

3 Diakses pada 22 Maret 2018 dari https://www.academia.edu/5380514/Urgensi LPS

Bagi BMT sebagai Bentuk Perlindungan hukum

Page 12: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

2

sebelumnya. Beberapa BMT mengambil bentuk badan hukum koperasi,

namun hal ini masih bersifat pilihan, bukan keharusan. BMT dapat didirikan

dalam bentuk Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) ataupun dapat juga

berbentuk badan hukum koperasi. Sebelum menjalankan usahanya, KSM

harus mendapatkan sertifikat dari Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil

(PINBUK)4 dan PINBUK harus mendapatkan pengakuan dari Bank Indonesia

sebagai Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) yang

mendukung Program Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya

Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia (PHBK-BI).5

Perkembangan BMT saat ini mengikatkan pada beberapa peraturan dan

landasan hukum, diantaranya Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Zakat, Undang-Undang No 13 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat,

dan Per.Kemenkop UKM. 11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi.

Adapun Undang-Undang terbaru yang mengatur BMT adalah Undang-

Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan Undang-

Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro harusnya dapat memperkuat operasional pada lembaga-

lembaga keuangan mikro baik yang konvensional maupun yang berbasis

syariah. Dalam operasionalnya bahwa lembaga membutuhkan perlindungan

hukum atas kegiatan simpan pinjam, pembiayaan baikpun yang lainnya.

Sehingga menjadi hal penting adanya Undang-Undang yang lahir sebagai

akibat dari berkembangnya lembaga keuangan mikro. Akan tetapi dengan

lahirnya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, menimbulkan hal baru

yang menyebabkan terjadinya ketimpangan (overlapping) antara peraturan

yang dilahirkan dari Undang-Undang tersebut yaitu UU No 1 Tahun 2013

4 Diakses pada 23 Maret 2018 dari http://www.icmi.or.id/lembaga/view/pinbuk

5 Novita Dewi Masyithoh, Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013

Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul

Maal Wat Tamwil (BMT), Jurnal Economica Volume V/ Edisi 2/Oktober 2014. h. 4.

Page 13: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

3

dengan peraturan yang sudah lama melekat pada lembaga yang sudah

beroperasional yaitu UU No 25 Tahun 1992. Ketimbangan tersebut dari segi

pengaturan, pembinaan dan pengawasan. Dalam hal ini Baitul Maal Wat

Tamwil merupakan salah satu lembaga keuangan mikro yang menggunakan

badan hukum Koperasi mayoritasnya, karena dari cara kerjanya dianggap

mirip. Sehingga gerak dan langkahnya tunduk patuh kepada Undang-Undang

Perkoperasian yaitu UU Nomor 25 tahun 1992 dan di bawah kewenangan

Kementrian Koperasi, tetapi dengan Undang-Undang LKM tersebut

kewenangannya berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan.

Berdasarkan penelitian I Gde Kajeng Baskara, bahwa sangat

diperlukannya peraturan dan legalitas untuk lebih memperkuat lagi lembaga

ini, di samping pada penglihatannya bahwa badan hukum yang digunakan

BMT ini sangat beragam.6 Menurut Fadhilah Murshid, pengaturan BMT

hanyalah sementara walaupun mayoritas dalam bentuk koperasi sampai

dengan adanya regulasi yang membahas spesifik tentang BMT ini dan

Pengaturan BMT dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro menurutnya telah memberikan kejelasan tentang

apa dan bagaimana seharusnya kelembagaan BMT, pedoman aspek syariah,

pengawasan, dan penjaminan simpanan nasabah, hanya saja dari regulasi

tersebut belum ada aturan lebih lanjut bagaimana mekanisme penjaminan

simpanan dalam lembaga keuangan mikro BMT.7

Berdasarkan latar belakang yang peneliti paparkan, maka peneliti ingin

mengkaji normatif Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, memandang

hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, yang menentukan apa yang boleh dan

apa yang tidak boleh dilakukan. Kajian normatif sifatnya preskriptif, yaitu

bersifat menentukan apa yang salah dan apa yang benar.8

6 I Gde Kajeng Baskara, “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal Buletin Studi

Ekonomi, Vol. 18, 114 No. 2, Agustus 2013.

7 Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di

Indonesia,” Tesis UIN Sunan Kalijaga tahun 2017. 8 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta:

Kencana, 2013), Cet. 2, h. 2.

Page 14: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

4

Dalam hal ini pemikiran peneliti akan dituangkan dalam penelitian yang

berjudul “ANALISIS NORMATIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1

TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO (LKM)

DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP OPERASIONAL BAITUL

MAAL WAT TAMWIL (BMT) DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR.”

B. Identifikasi Masalah

Penggunaan badan hukum Koperasi untuk BMT menunjukkan

diperlukannya perlindungan hukum untuk eksistensi BMT yang lebih kuat.

Dalam pengembangan dan pemberdayaan ekonomi, pemerintah memberikan

perhatian terhadap lembaga keuangan dengan adanya Peraturan-Peraturan

seperti Undang-Undang LKM, Undang-Undang OJK, Permen. Tetapi

kebanyakan BMT memilih badan hukum Koperasi karena dirasa ada

kemiripan dari hal dan tata cara kerja yang berjalan selama ini. Permasalah ini

diangkat karena beberapa faktor:

1. Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro yang menyatakan bahwa BMT termasuk lembaga keuangan mikro.

2. BMT merupakan lembaga keuangan mikro syariah yang mayoritas

menggunakan badan hukum Koperasi sebagai landasan hukumnya.

3. Adanya tumpang tindih/ dualisme hukum dari pengaturan, pembinaan dan

pengawasan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

dengan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro.

4. Adanya kekhawatiran BMT dalam pengawasan Kementrian Koperasi

berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan sehingga ruang lingkup BMT

menjadi lebih sempit.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan realisasi yang sudah dipaparkan di atas, maka peneliti

membatasi penelitian agar sesuai dengan konteks permasalahan yang

diangkat. Pada bagian ini disudutkan pada analisis normatif undang-undang

Page 15: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

5

lembaga keuangan mikro dikaitkan dengan operasional BMT di wilayah

Kabupaten Bogor dengan keingintahuan seberapa besar Implikasi hukum

regulasi tersebut untuk BMT dan sudut pandang para pemerhati BMT

terhadap Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implikasi hukum Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro terhadap Operasional BMT di Wilayah

Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana Urgensi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro berdasarkan sudut pandang BMT Wilayah Kabupaten

Bogor?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah:

1. Ingin mengetahui seberapa besar akibat hukum yang dilahirkan UU LKM

No 1 Tahun 2013 terhadap Operasional BMT di Wilayah Kabupaten

Bogor.

2. Ingin mengevaluasi hal yang dapat dikategorikan menimbulkan adanya

hambatan terhadap ketidakpatuhan BMT terhadap UU LKM No 1 Tahun

2013.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti: Penelitian ini dapat menambah tingkat wawasan dan

pengembangan ilmu pengetahuan baik secara teoritis maupun praktis.

Serta dapat memecahkan masalah apa yang ingin peneliti lakukan.

2. Bagi pembaca: Sebagai tolak ukur terhadap penelitian-penelitian

selanjutnya, maupun penilaian pelayanan yang berjalan saat ini di

Perguruan Tinggi, sehingga bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum,

ekonomi mikro, dan aspek kesyariahan. Khususnya terkait dengan

regulasi, badan hukum dan lembaga keuangan mikro. Lebih khusus lagi

Page 16: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

6

terkait dengan penerapan teori-teori hukum pada Lembaga Keuangan

Mikro Syariah.

3. Bagi Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT): Memberikan pemahaman

kepada para pengembang BMT agar menjadikan lembaga ini yang

bersinergi dan memiliki karakter ekonomi unik yang memahami kaidah-

kaidah hukum dalam hal regulasi yang menyangkut keberadaannya.

4. Bagi Pemerintah : Sebagai evaluasi dalam membentuk tatanan peraturan

yang dapat berlaku secara umum, memiliki keterkaitan dengan masyarakat

dan dapat dipertanggung jawabkan keberadaannya serta mampu menjawab

setiap permasalahan yang ada di masyarakat.

F. Sistematika Penelitian

Karya Ilmiah Skripsi ini disusun dengan sistematika yang dibagi menjadi 5

bab. Dari beberapa bab tersebut memiliki sub bab masing-masing yang secara

singkat menjelaskan masalah yang akan diteliti. Adapun selanjutnya, peneliti

menyusun bab berdasarkan urutan dan letak yang tiap-tiap sub bab dijelaskan

dengan memberikan pengertian dan makna yang tergantung dalam tulisan.

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi uraian mengenai latar belakang masalah yang akan

peneliti bahas mengenai kedudukan BMT di Indonesia ditinjau

dari operasional BMT dan Implikasi Hukum Undang-Undang

Lembaga Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013. Sehingga peneliti

membatasi wilayah penelitian yang akan diteliti. Agar sesuai

dengan tujuan permasalahan yang akan dibahas, pada penelitian

ini berdasarkan Kajian Pustaka (library research) berdasarkan

sumber pertama dan beberapa kajian sebelumnya. Peneliti akan

menganalisis secara normatif Undang-Undang terkait lembaga

keuangan mikro dan dikaitan dengan seberapa besar pengaruh

(implikasi) terhadap operasional BMT di Wilayah Kabupaten

Bogor.

Page 17: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

7

BAB II : LANDASAN TEORI

Oleh karena pendekatan masalah dilakukan secara yuridis

normatif, maka pada Bab II diuraikan secara teori dan dibentuk

dengan konsep yang sederhana mengenai masalah yang diteliti.

Sebagai bahan pertimbangan, peneliti menyajikan hasil

penelitian terdahulu (literatur review) agar membantu dari hal

pengumpulan data serta menghindari terjadinya plagiarisme9

karya tulis. Dalam kajian terdahulu peneliti menjelaskan secara

singkat maksud dari hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya

dengan mendeskripsikan makna dan metode yang dilakukan.

Adapun dengan hal lain, peneliti mencari aspek pembeda dari

penelitian-penelitian sebelumnya dengan memaparkan

penjelasan singkat mengenai pembahasan yang akan dilakukan

tentunya dengan tidak mengurangi dan mengunggulkan hasil

penelitian sebelumnya. Kajian terdahulu dapat dikatakan sebagai

tolak ukur dilahirkannya karya ilmiah selanjutnya, sebagai

bahan pertimbangan untuk membuat penelitian baru,

melengkapi kekurangan penelitan sebelumnya, baikpun

melanjutkan penelitiannya.

Ranah penelitian tentunya memiliki maksud dan posisi

yang diunggulkan untuk meyakinkan bahwa penelitian ini tidak

serta merta hanya sebagai objek pencarian data. Tetapi ada

tujuan yang penting dan harus diketahui oleh semua orang untuk

memberitahukan bahwa dalam kondisi dan ketentuan seperti

inilah keadaannya. Pada bab ini peneliti dapat menjelaskan

secara singkat hasil penelitian yang diperoleh dalam bentuk

9 Plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan

karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan

dan pendapat sendiri. Diakses pada 22 April 2018 dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Plagiarisme

Page 18: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

8

narasi sejenis gambaran umum sebagai pengantar hasil yang di

dapat yang selanjutnya dijelaskan dalam bab IV.

BAB III : METODE PENELITIAN

Selanjutnya pada Bab III ini peneliti menguraikan metode

penelitian yang digunakan. Dalam penelitian hukum, ada

beberapa model metode penelitian yang dapat digunakan dalam

penelitian kita tentunya sesuai dengan kesesuaian antara

pembahasan dan alat yang tepat untuk digunakan dalam

melangsungkan penelitian. Metode penelitian berisikan

beberapa sub yang dijelaskan secara ringkas, diantaranya

pendekatan penelitian, jenis penelitian, data penelitian, sumber

data, metode dan teknik pengumpulan data, subjek-objek

penelitian, teknik pengolahan data, dan metode analisis data.

BAB IV : ANALISIS DAN INTERPRETASI

Dalam karya tulis ini menuangkan hasil penelitian yang

didapatkan dari beberapa sumber asli di mana peristiwa dan

dalam waktu tersebut terjadi. Hasil penelitian tersebut di

tuangkan dalam bentuk paragraf yang dinyatakan tidak ada

campuran opini peneliti tetapi berdasarkan analisa yang

didukung dengan data dan fakta yang ada, sehingga jelas

berdasarkan sumbernya. Dalam uraian ini juga bisa dijelaskan

beberapa teori sebagai bahan pengukuran dan pembanding

antara teori dengan praktek yang ada. Apakah hasil ini seimbang

atau menunjukkan adanya keberatan karena kebertolak

belakangan antara teori dengan kenyataan yang ada.

BAB V : PENUTUP

Pada Bab terakhir yaitu Bab V, peneliti memberikan

kesimpulan dari apa yang telah di dapatnya berdasarkan kajian

yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk pendapat dan opini

dengan segala dasar dan pertimbangan hukum yang dapat

dipertanggung jawabkan. Selain itu, dalam bab ini peneliti dapat

Page 19: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

9

merekomendasikan segala hal yang berkaitan dengan

pembahasan yang tentunya sebagai pendukung dan bahan yang

dapat dipertimbangkan lebih lanjut.

Page 20: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Hukum

a. Pengertian Hukum1

Dalam literatur-literatur hukum, dapat diketahui, belum ada

kesepakatan untuk suatu definisi hukum yang sama atau satu

definisi sebagaimana dinyatakan oleh prof. Mr. Dr. L.J. van

Apeldoorn dan Vant Kant, karena hubungan di antara anggota

masyarakat sangat beragam. Namun, ada beberapa definisi yang

diberikan oleh para sarjana yang bisa menjadi pedoman di dalam

memahami pengertian hukum. Berikut ini beberapa definisi yang

diberikan.

1) Prof. Dr. E. Utrecht, S.H., kurang lebih menyatakan bahwa

hukum adalah himpunan petunjuk hidup, berupa perintah dan

larangan dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh

anggota masyarakat, jika dilanggar akan melahirkan tindakan

dari pemerintah.

2) Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, S.H., L.L.M. Menyatakan

bahwa hukum adalah seluruh kaedah serta asas-asas yang

mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang

bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-

lembaga dan proses-proses guna mewujudkan berlakunya

kaedah tersebut dalam lembaga.

3) J.C.T Simorangkir, S.H., mengemukakan bahwa hukum adalah

peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan

tingkah laku manusia dalam massyarakat yang dibuat oleh

1 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013),

Cet. 1, h. 8.

Page 21: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

11

badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran atau

peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan.

4) Van Vollenhoven menyatakan bahwa hukum adalah suatu

gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus-menerus

dan bentur-membentur dengan gejala-gejala yang lain dalam

masyarakat. Pendapat ini mirip dengan pendapat Prof.

Soedirman Kartohadiprojo yang menyatakan bahwa hukum

adalah pikiran atau anggapan orang tentang adil atau tidak

adil tentang hubungan-hubungan antarmanusia. Kedua guru

besar ini adalah ahli dibidang hukum adat serta sosiologi yang

senantiasa mengaitkan hukum dengan masyarakat.

Dari batasan-batasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

terdapat kesamaan unsur-unsur yang merupakan ciri-ciri hukum,

yaitu: peraturan tentang tingkah laku manusia atau masyarakat;

peraturan tersebut dibuat oleh lembaga resmi; peraturan tersebut

bersifat memaksa; serta adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran.

Dengan demikian, kita juga memperoleh pemahaman bahwa hukum

itu bercirikan adanya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh

setiap orang.

b. Sumber-Sumber Hukum Positif2

1) Sumber Hukum Materiil

Sumber hukum materiil, yaitu perasaan hukum atau

keyakinan hukum individu dan pendapat umum yang

menentukan isi dari hukum. Keyakinan hukum individu adalah

keyakinan mengenai patokan-patokan yang tetap mengenai

keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang-

undang atau para pembentuk hukum dalam melaksanakan

tugasnya. Sedangkan pendapat umum adalah pendapat

2 Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Uin Jakarta Press, 2003), Cet. 1, 170 dan

174.

Page 22: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

12

masyarakat mengenai hal-hal yang benar-benar hidup dalam

masyarakat dan diakui sebagai aturan atau petunjuk hidup yang

berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

2) Sumber Hukum Formil

Sumber hukum formil adalah tempat di mana dapat

ditemukan peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan

hukum positif itu timbul, dengan tidak mempersoalkan asal-

usul isi dari peraturan hukum itu.

Adapun yang termasuk sumber hukum formil antara lain

adalah sebagai berikut:

(a) Undang-Undang (Statute);

(b) Kebiasaan (Costum);

(c) Keputusan-keputusan Hakim (Yurisprudensi);

(d) Traktat; dan

(e) Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin).

2. Undang-Undang

Undang-Undang adalah peraturan negara yang dibentuk oleh alat

perlengkapan negara yang berwenang dan mengikat masyarakat.3

Dalam pengertian lain, Undang-Undang merupakan peraturan

perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia,

yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu

Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti

ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.4

Undang-Undang adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintah,

yang menjamin tuntutan-tuntutan Negara berdasar atas hukum, dan

adanya kepastian dalam hukum.5 Undang-Undang merupakan

peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan

3 Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus, (Jakarta:

Kencana, 2011), Cet. 6, h 13.

4 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h.

186.

5 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), h. 25.

Page 23: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

13

Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945).

Sesuai dengan tata urutan perundang-undangan di negara kita, yang

mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang adalah

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) yang

ditetapkan oleh presiden dalam keadaan yang sangat mendesak. Perpu

tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan

berikutnya.

Setiap undang-undang terdiri dari sebagai berikut.

a. Konsiderans

b. Diktum/amar

c. Penjelasan6

3. Lembaga Keuangan Mikro

Lembaga yang dibentuk oleh UU LKM ialah lembaga keuangan

mikro (LKM). Secara esensi, LKM ialah lembaga keuangan khusus

yang didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan

pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan

dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, yang tidak

semata-mata mencari keuntungan. LKM harus berbentuk badan

hukum, yaitu koperasi atau perseroan terbatas. Jika bentuknya

perseroan terbatas, maka paling sedikit 60% sahamnya dimiliki oleh

pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota (Pemkab) atau badan usaha milik

desa/kelurahan. Sisa kepemilikan sahamnya dapat dimiliki oleh warga

negara Indonesia di dalam LKM berbentuk perseroan terbatas dibatasi

hanya 20%. LKM dilarang dimiliki, baik langsung maupun tidak

langsung, oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian

atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha

asing. LKM harus memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.

6 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2005, h. 6.

Page 24: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

14

Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah

desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.7

Sedangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah lembaga

keuangan mikro yang menggunakan prinsip-prinsip syariah dengan

adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) guna mengawasi operasional

yang sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).8

Urgensi Lembaga Keuangan Mikro di tengah-tengah masyarakat

kita adalah karena kondisi perekonomian masyarakat kita yang

memang membutuhkannya. Ketika masyarakat miskin sulit untuk

menjangkau jasa pelayanan keuangan formal (perbankan), padahal

mereka sangat membutuhkan modal, media penyimpanan dana, media

pengiriman dana (transfer) dan asuransi. Maka keuangan mikro

menjadi suatu kebutuhan primer bagi mereka. Berdasarkan

pendapatnya atau tingkat kemampuan finansial, struktur masyarakat

indonesia akan membentuk piramida dari paling lemah hingga paling

kuat secara finansial. Di bagian paling atas piramida tersebut adalah

masyarakat yang memiliki kekuatan finansial, sedangkan di level

kedua di bawahnya merupakan masyarakat mampu yang terbatas dari

masalah finansial, sedangkan di level ketiga merupakan masyarakat

menengah yang tidak terganggu dengan masalah finansial. Umumnya

masalah finansial tumbuh berkembang di level keempat di mana

masyarakatnya merupakan masyarakat fakir miskin yang akan selalu

menghadapi maslaah finansial dari sejak lahir hingga maut

menjemput.9

a. Macam-macam Lembaga Keuangan Mikro

Dalam Bab XIII UU LKM No 1 Tahun 2013 menyebutkan

dalam Pasal 39 ayat 1 bahwa lembaga keuangan mikro diantaranya

7 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2013), h. 3.

8 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Bab IV Pasal 12

9 Ahmad Subagyo, Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta:

Mitra Wacana Media, 2015), h. 5.

Page 25: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

15

adalah Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,

Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),

Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan

Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan

Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT),

Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga

lainnya yang dipersamakan dengan itu.10

Bahwa dalam pasal

tersebut BMT merupakan salah satu Lembaga Keuangan Mikro.

b. Landasan Teologis Keuangan Mikro Syariah

Perkembangan keuangan mikro Islam mengalami proses

perjalanan yang panjang sejak Muhammad Saw yang mewariskan

prinsip dan dasar keuangan Islam sebagaimana termaksud dalam

kitab suci Al-Qur‟an. Keteladanan Nabi Muhammad SAW

dilanjutkan oleh para sahabat dan dilanjutkan oleh pemikir muslim

dalam mengembangkan prinsip-prinsip dasar keuangan Islam, yang

kemudian dipraktikan oleh Pemerintahan Islam dalam menjalankan

kebijakan baik di bidang keuangan negara maupun keuangan

publik.

Beberapa prinsip dasar yang melandasi gerak dan ruang lingkup

kegiatan keuangan mikro Islam antara lain:11

1) Sumber hukum ekonomi Islam

Dalam melakukan aktivitas ekonomi Islam, telah

mendorong pemikir-pemikir ekonomi Islam, manusia memiliki

sumber hukum yang dijadikan pedoman, yang terdiri atas

sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Sumber

hukum primer adalah al-Qur‟an dan as-Sunnah; sedangkan

sumber hukum sekunder berupa Ijma’, Ijtihad, dan Qiyas.12

10 Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro Bab XIII Pasal

39 Ayat 1

11

Ahmad Subagyo, Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 16.

12

Vejthzal Rivai, Ekonomi Syari’ah Konsep, Praktek, Dan Penguatan Kelembagaannya,

(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. 1, h. 5.

Page 26: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

16

2) Landasan akidah (etika)

Akhlak dalam kajian ekonomi sering diartikan dengan

norma atau etika, Al-Tahanawi mendefinisikan etika adalah

ilmu tentang kemasyarakatan individu atau pengaturan rumah

tangga dan masyarakat.

Dalam kamus bahasa Arab, ilmu sosial dan kemasyarakatan

dapat juga dikatakan dengan muamalah.13

Adapun pengertian

muamalah menurut terminologi (istilah) fiqh muamalah

Abdullah al-Sattar Fathullah sebagaimana dikutip oleh Dr.

M.Cholil Nafis, mempunyai makna yang luas dengan merujuk

kepada hukum-hukum Allah dalam masalah-masalah yang

berkaitan dengan keduniaan.14

Sedangkan fiqh muamalah

dalam arti sempit menurut Muhammad Khudari Biek, baik

berupa Alquran maupun sunnah Nabi, yang berupa perkataan,

perbuatan, dan ketetapan.15

3) Mode transaksi (akad)

Secara etimologi, Al-‘Aqd, berarti perjanjian, perikatan, dan

permufakatan (al-ittifaq) (surah Al Ma-idah ayat 1).

QS. Al Ma-idah (5): 1

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.

dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan

kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan

berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya

Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

13 Kamus Besar Bahasa Arab

14

M. Chalil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: UI Press, 2011), h. 23.

15

M. Chalil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah, h. 24.

Page 27: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

17

Akad (ikatan, keputusan, atau penguatan) atau perjanjian

atau kesepakatan atau transaksi dapat diartikan sebagai komitmen

yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah. Dalam istilah Fiqih,

secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang

untuk melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak, seperti

wakaf, talak, dan sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak,

seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.16

Dikatakan juga, suatu

perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

seorang lain atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu ditimbulkan suatu

perhubungan antara dua orang itu yang dinamakan “perikatan.”17

Berdasarkan pengertian tersebut, maka perjanjian merupakan salah

satu sumber perikatan. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1233

KUH Perdata, terdapat 2 sumber perikatan, yaitu yang bersumber

dari perjanjian, dan yang berasal dari undang-undang.18

4. Baitul Maal wat Tamwil dan Operasionalnya

Secara harfiyah/lughowi, Baitulmaal berarti rumah dana, dan baitul

tamwil berarti rumah usaha. Baitulmal ini sudah ada sejak zaman

Rasulullah, berkembang pesat pada abad Pertengahan. Baitulmal

berfungsi sebagai pengumpulan dana untuk kepentingan sosial,

sedangkan baitul tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif

keuntungan (laba). Jadi, dalam baitul maal wa tamwil adalah lembaga

yang bergerak di bidang sosial, sekaligus juga bisnis yang mencari

keuntungan.19

Menurut Harun Nasution,20

baitul mal biasa diartikan

sebagai perbendaharaan (umum atau negara). Sementara menurut

Suhrawardi K.Lubis,21

menyatakan baitulmal dilihat dari segi fikih

16 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Pt Rajagrafindo Persada, 2015),

Cet. 5, h. 35.

17

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2002), Cet. 19, h. 1.

18

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1233

19

Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 353.

20

Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 114.

21

Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, h. 114.

Page 28: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

18

adalah “Suatu lembaga atau badan yang bertugas untuk mengurusi

kekayaan negara terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan

soal pemasukan dan pengelolaan maupun yang berhubungan dengan

masalah pengeluaran dan lain-lain.” Menurut Arief Budiharjo,22

Baitul Maal wa Tamwil (BMT) adalah “Kelompok swadaya

masyarakat yang berupaya mengembangkan usaha-usaha produktif

dan investasi dengan sistem bagi hasil untuk meningkatkan kualitas

ekonomi pengusaha kecil-bawah dalam pengentasan kemiskinan”.

Sedangkan operasionalnya berdasarkan Prinsip syariah, yaitu:

terhindar dari maisir (perjudian), terhindar dari gharar (penipuan),

terhindari dari risywah (suap), terhindar dari riba (bunga).23

5. Karakteristik BMT sebagai Pemberdaya Ekonomi Rakyat

BMT pada saat ini berada di bawah pembinaan Pusat Inkubasi

Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk). Pinbuk (1995) menyatakan bahwa BMT

merupakan lembaga ekonomi rakyat kecil yang berupaya

mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam

meningkatkan kegiatan ekonomi pengusaha kecil dan berdasarkan

prinsip syariah. Koperasi Baitul Tamwil yang dikembangkan oleh

Baitulmal Muhammadiyah dan Koperasi Syirkah Muawanah yang

diikuti oleh pesantren-pesantren. Status legalnya ada yang berbentuk

koperasi, tetapi tidak jarang masih dalam pembinaan yayasan atau

sama sekali tidak terkait dengan institusi pengembang.24

Hal yang menarik untuk dicermati adalah fatwa fenomena

pendirian dan pengembangan BMT, ternyata tidak hanya dibatasi oleh

pertimbangan ekonomis. Ada gairah untuk mendasari seluruh aktivitas

BMT dengan nilai-nilai Islam, sesuai dengan penyebutan diri yang

mengandung konotasi Islami. Selain itu, sebagian BMT memang lahir

22 Arief Budiharjo, “Pengenalan BMT”, Makalah Disajikan Dalam Seminar Tentang

BMT, Bandung: Mess Jabar, 2003.

23

Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015), Cet. 1, h. 321.

24

Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, (Jakarta:

Kencana, 2012), h. 289.

Page 29: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

19

dan berkembang dari komunitas keislaman, seperti jamaah masjid,

jamaah pengajian, pesantren, organisasi kemasyarakatan Islam, atau

sejenisnya.25

Ada yang berasal dari kesepakatan dalam forum

silaturahmi atau forum ilmiah yang sedang membicarakan masalah

keuangan ilmiah, ekonomi Islam, atau pemberdayaan ekonomi umat.

Ada pula yang diinisiasi oleh individu atau perseorangan yang berniat

membantu orang lain, khususnya yang seiman. Pendek kata, hampir

selalu ada keterkaitan BMT dengan Islam sebagai suatu ajaran ataupun

dengan kepedulian pada kehidupan ekonomi umat Islam.26

Menurut Muhammad Husaini dan Faisal Badroen, sebagaimana

dikutip oleh A.Kadir, ialah:27

“(a) agar setiap muslim memahami

bagaimana bertransaksi agar tidak terjerumus dalam jurang keharaman

atau syubhat hanya karena ketidaktahuan; (b) agar setiap muslim tidak

melakukan aktivitas yang haram dan merugikan orang lain.”

Dalam hal pengembangan BMT, secara internal terdapat beberapa

permasalahan yang mengarah pada tujuan utama BMT itu sendiri

terutama pada dana ZIS , yakni nasabah tidak mempunyai inisiatif

untuk melaksanakan pemberian ZIS secara „sukarela‟ kepada lembaga

pemberi pembiayaannya. Kondisi ini dikhawatirkan menimbulkan efek

negatif yang bersifat conuter productive terhadap usaha yang dikelola

nasabah. Karena sebagian besar nasabah BMT adalah pedagang kecil-

bawah yang justru harus dibantu secara permodalan untuk

meningkatkan derajat kesejahteraan ekonominya.28

6. Regulasi dan Bentuk Badan Hukum

a. Regulasi

25 Awalil Rizky, Bmt: Fakta Dan Prospek Baitul Mal Wa At-Tamwil,

(Yogyakarta:Ucypress, 2007), h. 4-5.

26

Euis Amalia, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan

UKM di Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009), h. 84.

27

A.Kadir, Hukum Bisnis Syariah Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. 1,

h.1.

28

Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 30.

Page 30: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

20

Menurut Kamus Hukum, “pada hakikatnya regulasi

merupakan pengaturan; menetapkan peraturan-peraturan yang

mempunyai kekuatan undang-undang.”29

Regulasi menentukan

kepastian hukum, dalam pembentukan badan hukum.

Menyaksikan wacana kepastian hukum yang diklaim oleh para

yuris melalui doktrin legisme dan legalitas, ternyata ada sebuah

kunci yang amat penting untuk direfleksikan secara kritis di sini,

yakni; legalitas itu sendiri. Mengapa demikian? Karena, di dalam

legalitas, secara konseptual, ditemukan ciri-ciri atau unsur-unsur

yang mewakili seluruh pemikiran atau gagasan mengenai

kepastian hukum, penegakan hukum, legisme dan teori kontrak

sosial, serta gagasan politik dan kekuasaan, sebagaimana

dijabarkan oleh Michael Jefferson berikut ini, mengenai sejumlah

syarat dan konsekuensi yang ada dalam prinsip dan metode

legalitas, bahwa:30

“(a) laws must not be vague; (b) the legislature must not create

offences to cover wrongdoings retrospectively; (c) the judiciary

must not create new offences; and perhaps (d) criminal statutes

should be strictly construed.”

[terjemahan]: (a) hukum tidak boleh samar; (b) badan legislatif

dilarang menciptakan hukum yang berlaku secara retroaktif; (c)

badan yudikatif dilarang menciptakan delik baru; (d) kitab hukum

pidana harus ditafsirkan secara ketat.

Keempatnya dengan demikian menuntut, demi pencapaian

kepastian hukum, hukum itu tidak boleh dirumuskan secara samar,

legislatif hendaknya dibatasi kekuasaannya untuk menerapkan

hukum secara retroaktif, lalu badan yudikatif juga dibatasi

kekuasaannya untuk menciptakan delik baru dan penafsiran dalam

29 Diakses Pada 10 Maret 2018 dari http://rebanas.com/kamus/hukum/regulasi.

30

E. Femando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum, (Jakarta:

Kencana, 2016), h. 153. Lihat Dalam Michael Jefferson, Criminal Law, (London: Pitman

Publishing, 1992), h. 3.

Page 31: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

21

hukum pidana itu hanya bisa dilakukan secara terbatas. Jika

keempatnya terpenuhi, niscaya kepastian hukum dapat dicapai.31

b. Badan Hukum

Dikaitkan dengan badan hukum tersebut (rechtspersoon)

adalah pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia.

Dan sebagai subyek hukum yang tidak berjiwa, maka badan

hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan

keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan

lain sebagainya.32

Menurut Sri Soedewi Masjchoen,33

mengatakan bahwa badan

hukum adalah kumpulan orang-orang yang bersama-sama

bertujuan untuk mendirikan suatu badan, yaitu (1) berwujud

himpunan, dan (2) harta kekayaan yang disendirikan untuk tujuan

tertentu, dan dikenal dengan yayasan.

Selanjutnya lebih jelas Salim HS, mengatakan bahwa badan

hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan

(arah yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan

kewajiban.34

Teori-teori mengenai badan hukum tersebut mencoba untuk

menerangkan suatu gejala hukum, yaitu adanya suatu organisasi

yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana subjek hukum

orang. Di satu pihak, hanya oranglah yang dapat menyatakan

kehendaknya, tetapi di lain pihak dibutuhkan suatu bentuk kerja

sama yang mempunyai hak dan kewajiban seperti dimiliki oleh

orang. Dengan demikian, dari berbagai teori mengenai badan

31 E. Fernando M. Manullang, Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum, h. 154.

32

H. Riduan Syahrani, Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: P.T.

Alumni, 2006), Cet. 1, h. 51.

33

Sri Soedewi, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 2000), Cet. 5, h.

23.

34

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). (Jakarta: Sinar Grafika, 2001),

Cet. 1, h. 23.

Page 32: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

22

hukum dapat dibagai menjadi dua kelompok teori, yaitu sebagai

berikut.

Pertama: mereka menganggap bahwa badan hukum itu sebagai

wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri

seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan

orang atau manusia;

Kedua: mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai

wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya

berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat

kesalahan, maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang

berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.35

Pembagian Badan-badan Hukum. Menurut Pasal 1653 BW

badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam yaitu:36

1) Badan hukum yang diadakan oleh Pemerintah/kekuasaan

umum, misalnya Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Bank-bank

yang didirikan oleh Negara dan sebagainya.

2) Badan hukum yang diakui oleh Pemerintah/kekuasaan umum,

misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-

organisasi agama dan sebagainya.

3) Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang

tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan,

seperti PT, Koperasi dan lain sebagainya.

Berikut ini dijelaskan beberapa bentuk badan hukum

lembaga keuangan mikro diantaranya yaitu Koperasi dan Perseroan

Terbatas:

(1) Koperasi

a) Definisi Koperasi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

25 Tahun 1992 Koperasi adalah badan usaha yang

35 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan

Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), Cet. 2, h. 22.

36

Bugerlijk Wetbook Pasal 1653

Page 33: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

23

beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi

dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip

Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang

berdasar atas asas kekeluargaan.37

Sebelumnya, Koperasi

diatur dalam suatu perundang-undangan tersendiri dengan

Stb. 1927 No. 91 kemudian Stb. 1949 No. 179 pada jaman

Nederland Indie. Sesudah Indonesia merdeka digunakan

UU Koperasi Tahun 1958 No. 79 yang kemudian diganti

dengan UU Koperasi No. 14 Tahun 1965 dan selanjutnya

pada Tahun 1967 diganti dengan UU Koperasi No. 12

Tahun 1967 dan terakhir dengan UU No 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian.38

yang sebelumnya sempat diganti

menjadi UU No 17 Tahun 2012 yang selanjutnya

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan dikembalikan

kembali pada UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian

sampai dengan saat ini.

b) Landasan, Asas, dan Tujuan Koperasi

Koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-undang

dasar 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.39

Koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada

khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut

membangun tatanan perekonomian Nasional dalam rangka

mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur

berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.40

37 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Bab I Pasal 1 Ayat 1

38

Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan Hukum,

(Bandung: Pt Refika Aditama, 2006), h. 23.

39

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Bab II Pasal 2

40

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Bab II Pasal 3

Page 34: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

24

c) Koperasi dan Ekonomi Kerakyatan41

Koperasi telah lama dianggap sebagai soko guru

ekonomi nasional, karena koperasi dianggap sebagai basis

kekuatan ekonomi rakyat. Koperasi yang dianggap sebagai

anak kandung dan tulang punggung ekonomi kerakyatan

justru hidupnya timbul tenggelam, sekalipun pemerintah

telah berjuang keras untuk menghidupkan dan

memberdayakan kopersi di tengah-tengah masyarakat.42

Tokoh yang paling dikenal sebagai pelekat konsep

dasar koperasi di Indonesia adalah Mohd. Hatta, yaitu wakil

presiden Indonesia yang pertama. Hatta dikenal begitu

tajam mengkritik perekonomian model kapitalis. Tulisan

Hatta telah termuat di berbagai media pada masa itu, efek

dari tulisan ini telah membuat pihak Belanda marah besar.

Namun semangat nasionalisme Hatta tetap menyala

sehingga ia tetap terus menyampaikan pemikirannya

tersebut.

Karena pemikirannya, Hatta pernah ditangkap

Belanda pada September 1927 dengan tuduhan “menghasut

terhadap pemerintah”.43

Pasca pengkapan Hatta oleh Belanda ternyata telah

menimbulkan sikap protes yang tinggi dari kalangan

intelektual dan politisi partai serta organisasi Islam dan

nasionalis pada masa itu. Hatta dibebaskan pengadilan pada

tanggal 22 Maret 1928.44

Perjuangan dan rasa nasionalisme

41 Irham Fahmi, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Teori Dan Aplikasi, (Bandung:

Alfabeta, 2014), h. 170.

42

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2005), h. 269.

43

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta”. Surat Kabar Kompas, 11 Agustus

2012.

44

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

Page 35: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

25

Hatta sangat tinggi terutama dalam menentang model

ekonomi kapitalis.

Pada 1934, ia menulis buku Krisis Ekonomi dan

Kapitalisme untuk mengabarkan dampak krisis terhadap

kaum buruh, tani, pedagang kecil, dan perekonomian rakyat

secara umum, dilengkapi tinjauan sejarah mendalam atas

krisis yang terjadi sepanjang sejarah kapitalisme.45

Ada

yang menarik dari pemikiran Hatta yang bisa kita petik

pada saat sekarang ini. Dalam pemikiran Hatta, usaha-

usaha yang besar harus diselenggarkan oleh negara

(BUMN), terutama terkait dengan public utilities,

menguasai hajat hidup orang banyak, atau cabang-cabang

ekonomi strategis.46

Adapun jenis usaha kecil dan sedang

dikerjakan oleh koperasi, dimana koperasi diselenggarakan

oleh rakyat kecil yang bermodal kecil.47

Namun bukan

berarti Hatta kemudian anti terhadap usaha swasta.48

Menurut Hatta, diantara sektor-sektor atau cabang ekonomi

yang dikerjakan oleh negara dengan koperasi itu masih

terdapat wilayah ekonomi yang luas yang bisa digarap

swasta.49

Dari sini bisa kita tangkap jika Hatta adalah tokoh

ekonom yang begitu peduli kepada ekonomi rakyat. Bagi

Hatta pemerintah mutlak harus berperan dalam siasat dan

perencanaan ekonomi.50

Peranan pemerintah dalam hal ini

diperlukan untuk mengarahkan perekonomian nasional

menuju kemakmuran masyarakat luas secara kolektif,

45 Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

46

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

47

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

48

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

49

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta.”

50

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, (Jakarta:

Granit, 2004), h. 178.

Page 36: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

26

bukan kemakmuran orang seorang.51

Sebagai seorang

ekonom Hatta mamahami khasanah kekayaan teori

ekonomi, yang tidak bisa dipilih semuanya jika tidak sesuai

dengan kenyataan dan harapan pemakainya.52

Dalam Alinea III Penjelasan Umum UU No. 25

Tahun 1992 dikemukakan bahwa pembangunan koperasi

perlu diarahkan sehingga semakin berperan dalam

perekonomian nasional. Pengembangannya diarahkan agar

koperasi benar-benar menerapkan prinsip koperasi dan

kaidah usaha ekonomi. Dengan demikian, koperasi akan

menjadi organisasi ekonomi yang mantap, demokratis,

otonom, partisipatif, dan berwatak sosial. Pembinaan

koperasi pada dasarnya dimaksudkan untuk mendorong

agar koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan

utama dalam kehidupan ekonomi rakyat.53

Ideologi kerakyatan adalah ideologi pembangunan.

Pembangunan juga merupakan kegiatan seluruh masyarakat

yang bisa menumbuhkan ikatan yang lebih mendalam

daripada hanya ikatan kebutuhan materi. Kegiatan

pembangunan merupakan ikatan batin karena memberikan

arti pada kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Dengan

ideologi kerakyatan kita tidak memerlukan musuh atau

ancaman dari luar terhadap kedaulatan kita untuk memberi

ikatan batin kepada masyarakat.

Pembangunan akan jauh lebih positif dan memberi

makna jika ditekankan pada pembangunan manusianya dan

bersifat multidimensional. Selain dimensi ekonomi, harus

ada dimensi politik, sosial, dan budaya. Kekhawatiran

51 Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, h. 178.

52

Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan, h. 179.

53

H. Zaeni Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan Dan Kepailitan, (Jakarta:

Erlangga, 2012), h. 128.

Page 37: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

27

bahwa membarengkan dimensi-dimensi tersebut

menimbulkan persaingan akan keperluan dana dan daya

untuk berbagai macam pembangunan adalah penglihatan

yang keliru. Dimensi-dimensi tersebut justru akan saling

mendorong kearah penguatan kemajuan. Bukannya akan

saling menghambat, tetapi dimensi tersebut secara

bersamaan akan membangun sinergi, sehingga secara

keseluruhan akan merupakan sesuatu kekuatan yang lebih

besar.54

d) Pengawasan

Koperasi diawasi oleh Kementrian Perkoperasian,

sebagaimana dalam pasal 38 undang-undang perkoperasian

“Pengawas dipilih dari dan oleh anggota Koperasi dan

Rapat Anggota, pengawas bertanggung jawab kepada rapat

anggota, persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat

sebagai anggota pengawas ditetapkan dalam anggaran

dasar.”55

(2) Perseroan Terbatas (PT)

a) Definisi Perseroan Terbatas

Menurut Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Tentang

Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang

merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan

perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar

yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini

serta peraturan pelaksanaannya.56

Berdasarkan definisi

tersebut dapat disimpulkan bahwa pendirian Perseroan

54 Sarbini Sumawinata, Politik Ekonomi Kerakyatan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2004), Cet. 1, h. 27.

55

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Bab VI Pasal 38

56

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas (PT) Bab I Pasal 1

Page 38: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

28

Terbatas didasarkan atas adanya suatu perjanjian antara

mereka (para pihak) yang mendirikannya. Perjanjian untuk

mendirikan suatu Perseroan Terbatas dapat dilakukan oleh

2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat

dalam bahasa Indonesia.57

b) Landasan, Asas, dan Tujuan PT

Tujuan tertentu dari suatu PT dapat diketahui di dalam

anggaran dasarnya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15

ayat (1) huruf b UUPT, yang bunyinya sebagai berikut.

“Anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: maksud

dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan”

Bahkan, dari namanya dapat diketahui bahwa

pemakaian nama perseroan dapat mencerminkan tujuan

pokok dari perseroan, misalnya PT Bank Pembangunan

Indonesia (PT Bapindo). Dilihat dari namanya sudah dapat

diketahui bahwa PT Bapindo bergerak di bidang perbankan.

Tujuan perseroan bukan merupakan tujuan/ kepentingan

pribadi dari satu atau beberapa orang perseronya dan

perjuangan untuk mencapai tujuan itu dilakukan oleh orang

perseronya yang disebut direksi. Jadi, jelas bahwa unsur

mempunyai tujuan tertenru yang terdapat dalam badan

hukum dipunyai juga oleh perseroan terbatas.58

c) Karakteristik Perseroan Terbatas (PT)

Untuk dapat disebut sebagai perseroan terbatas, suatu

badan usaha harus mempunyai ciri-ciri, antara lain harus

mempunyai kekayaan sendiri, ada pemegang saham sebagai

pemasok modal yang tanggung jawabnya tidak melebihi

dari nilai saham yang diambilnya (modal yang disetor) dan

57 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan

Hukum, (Bandung: PT Refika Aditama, 2006), h. 49.

58

Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan

Terbatas, h. 24.

Page 39: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

29

harus ada pengurus yang terorganisir guna mewakili

perseroan dalam menjalankan aktivitasnya dalam lalu lintas

hukum, baik di luar maupun di dalam Pengadilan dan tidak

bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan-

perikatan yang dibuat oleh perseroan terbatas. Ini berarti

bahwa badan usaha yang disebut perseroan terbatas harus

menjadikan dirinya sebagai badan hukum, sebagai subjek

hukum yang berdiri sendiri yang mampu mendukung hak

dan kewajiban sebagaimana halnya dengan orang, yang

mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta

kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para

pengurusnya.59

d) Pengawasan

(1) Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas

kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada

umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha

Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.

(2) Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan

Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan

Perseroan.

(3) Dewan Komisaris terdiri atas 1 (satu) orang anggota

atau lebih.

(4) Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu)

orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota

Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri,

melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.

(5) Perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan

menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat,

59 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan

Terbatas, h. 20.

Page 40: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

30

Perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang

kepada masyarakat atau Perseroan Terbuka wajib

mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota Dewan

Komisaris.60

60 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Bab VII Pasal 108

Page 41: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

31

B. Kerangka Konseptual

Bagan 2.1: Kerangka Konseptual

Peraturan terkait BMT

1. UU No. 1 Th. 2013 ttg

LKM

Peraturan terkait

UKM/Koperasi/KJKS/KSP

PS

1. UU No. 25 ttg Kop. &

UKM;

2. Per. Kemenkop-UKM.

11/Per/M.KUKM/XII/2

018 ttg Pelaksanaan

Keg. Usaha Simpan

Pinjam dan Pembiayaan

Syariah Oleh Koperasi

Peraturan terkait lainnya

1. Undang-Undang No 21

Th 2011 ttg OJK

Peraturan terkait lainnya

1. UU No 13 Th 2017 ttg

Organisasi Masyarakat

Peraturan terkait lainnya

1. Fatwa DSN MUI

Kondisi riil BMT di

Kabupaten Bogor

a. Kualitas

b. Kuantitas

terus berkembang

Pangsa Pasar menjadi fokus

BMT dalam hal pembiayaan

yang dapat menjangkau

kalangan luas.

Kebijakan & Regulasi

PINBUK sebagai

lembaga pengembang

Lembaga Keuangan

Mikro yang untuk

pembangunan sosial

ekonomi bangsa yang

terintegrasi dan tidak

bertentangan dengan

kaidah syariah dan agama

apapun.

Perkembangan BMT tidak

diikuti dengan pengaturan

hukum yang jelas, faktanya

saat ini mayoritas BMT

memilih badan hukum

Koperasi. Adapun UU LKM

No 1 tahun 2013 tidak secara

mengikat sebagai rujukan

operasional BMT saat ini.

Al-Qur‟an dan Sunnah

Pancasila & UUD 1945 Pasal 27 & 33

Tolak Ukur dan Cikal Bakal

BMT merupakan LKM

berbasis Syariah yang

memiliki fungsi bisnis dan

sosial untuk ekonomi

kerakyatan.

Eksistensi

PINBUK

Badan Hukum

Analisis

Normatif UU No

1 Th 2013 ttg

LKM &

Implikasi

Hukum terhadap

Operasional

BMT di Wilayah

Kabupaten

Bogor

PT

Koperasi

OJK

Kemenkop

Page 42: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

32

C. Literatur Review

Literatur review merupakan bagian penting dalam proses

penelitian. Proses ini dimulai dengan menggali sumber data penelitian

sebelumnya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas,

selanjutnya peneliti akan menganalisis mengenai perbedaan dan

persamaan dari penelitian yang sudah ada dengan tujuan agar tidak ada

pembahasan yang sama yang saling bertentangan. Literature review atau

kajian pustaka dapat diambil dari berbagai jenis penelitian seperti jurnal

penelitian, disertasi, tesis, skripsi, laporan hasil penelitian, makalah dan

lain sebagainya. Oleh karena itu di bawah ini merupakan literature review

yang dapat peneliti simpulkan beserta aspek pembeda dengan penelitian

sebelumnya yang disajikan dalam bentuk paragraf. Diantaranya yaitu:61

Berdasarkan hasil penelitian Muh Ridwan (2011) menjelaskan bahwa

belum ada peraturan yang spesifik untuk BMT sehingga operasional BMT

menggunakan peraturan yang sangat beragam walaupun secara mayoritas

dalam bentuk Koperasi. Diharapkan bahwa adanya peraturan yang dapat

mengakomodir BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah (Neni,

2011).62

Konsekuensi Perubahan Bentuk BMT menjadi Badan Hukum

KJKS (Koperasi Jasa Keuangan Syariah) yang dilakukan di Fanshob,

Kab.Bojonegoro, Jawa Timur banyak berkembang lembaga keuangan

mikro dengan mengatasnamakan BMT, demi mendapatkan kepastian

hukum BMT merubah statusnya menjadi Koperasi sehingga BMT harus

mengikuti peraturan Perkoperasian, tetapi pada kenyataannya BMT

banyak melakukan pelanggaran/ tidak sepenuhnya memenuhi fungsi

61

Muhammad Ridwan, Dikutip Dari Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Proposal,

Skripsi, Tesis, Dan Mempersiapkan Diri Menjadi Peneliti Artikel Ilmiah) Bahrudin Nur Tanjung

Dan Ardial, Ed. 1 Cet. 5, (Jakarta: Kencana, 2010).

62

Neni Sri Imaniyati, “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Dalam

Perspektif Hukum Ekonomi.” Prosiding Snapp2011: Sosial, Ekonomi, Dan Humaniora Issn 2089-

3590. Vol 2, No.1, Th, 2011.

Page 43: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

33

berdasarkan fungsi koperasi alasannya karena untuk mempertahankan ciri

khas dari BMT sendiri (Noer azizah, 2013).63

Berkaitan dengan beberapa peneitian tersebut, bahwa pada bagian ini

peneliti akan menggali cara BMT di Wilayah Kab. Bogor yang pada

penerapan prinsipnya berdasarkan undang-undang Perkoperasian dengan

tanpa menghilangkan ciri khas dari BMT. Hal lain yang berkaitan dengan

hal tersebut adalah bagaimana alasan BMT mengesampingkan regulasi

yang nyatanya lebih memberikan peluang bagi status badan hukum BMT

walaupun tidak spesifik sepenuhnya dapat diterapkan yaitu UU LKM No 1

Tahun 2013.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Staf Ahli Menteri Koperasi

dan UKM bahwa, “UU LKM tersebut nampaknya tidak serta merta

membawa angin segar bagi para stakeholder, karena disana sini ada hal

yang belum seirama dengan keinginan awal sebagaimana dalam kajian

akademis RUU LKM atau bisa juga karena belum terbiasa dengan

substansi pengaturan baru tersebut. Tulisan tersebut merupakan

rangkuman dari studi pustaka, hasil observasi lapangan, ungkapan

pengalaman sendiri serta hasil interaksi dengan para pelaku LKM dan

instansi terkait selama ini. Dari telaahan ini terungkap adanya proses yang

panjang dalam pembentukan UU LKM, perbedaan pengertian baru tentang

LKM, terdapat kemungkinan moral hazard, peluang politisasi LKM,

tantangan pada mekanisme pengawasan LKM, adanya puluhan ribu LKM

yang bertransformasi menjadi koperasi (Pariaman Sinaga, 2014).”64

Dalam Penelitian lain yang mengangkat status badan hukum dan

pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil sebelum dan sesudah adanya UU

LKM dengan metode optik rechtdogmatiek empiric. Peneiti menemukan

hasil bahwa BMT menggunakan badan hukum Yayasan, KSM, dan

63

Noer Azizah Fitriyanti, “Konsekuensi Yuridis Perubahan Bentuk Bmt (Baitul Maal

Wat Tamwil) Menjadi Badan Hukum Kjks (Koperasi Jasa Keuangan Syariah)” (Studi Di Koperasi

Syariah Fanshob Karya, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur) . Artikel Ilmiah Kementerian

Pendidikan Dan Kebudayaan Universitas Brawijaya.

64

Pariaman Sinaga, “Beberapa Catatan Kritis Tentang Lembaga Keuangan Mikro Versi

Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.” Jurnal Infokop Volume 24 No 1-Oktober 2014.

Page 44: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

34

Koperasi sebeum lahirnya UU LKM No 1 tahun 2013, hal tersebut

membuat pertanyaan bagaimana selanjutnya peraturan dan pengawasan

setelah lahir UU LKM No 1 Tahun 2013. Namun kompetensi dalam UU

tersebut belum diatur untuk peraturan pelaksanaannya, maka peneliti

menyarankan kepada pemerintah untuk membuat peraturan

pelaksanaannya (Dewi Masyitoh, 2014).65

Berkaitan dengan hal itu, dalam penelitian yang sama menyajikan

hasil terkait problem dualisme hukum yang terjadi dalam pengaturan

Lembaga Keuangan Mikro Syariah beserta alternatif pemecahannya.

Bahwa dualisme tersebut berada pada pengaturan, pembinaan dan

pengawasan antara Kementrian Koperasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

Sehingga dari hal tersebut menimbukan inkonsistensi peraturan bagi

LKMS. Peneliti menggunakan dogmatis untuk mencari solusi sinkronisasi

hukum (Muhtarom, 2016).66

Dalam Penelitian selanjutnya (Nourma Dewi, 2017) membahas

pengaturan BMT dalam sistem perekonomian Indonesia. Keberagaman

badan hukum yang menjadi landasan BMT disebabkan BMT memiliki

karakter yang berbeda dibanding dengan LKM lainnya dan jenis badan

hukum yang digunakan oeh BMT dapat berupa Koperasi atau Perseroan

Terbatas, sehingga peraturan yang digunakannya pun beragam diantaranya

UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, UU No 25 Tahun 1992

tentang Perkoperasian, UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro, UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Kajian ini

mengangkat regulasi apa yang dapat digunakan untuk BMT sebagai badan

usaha yang memiliki sifat bisnis komersial untuk masyarakat tingkat

bawah dan sebagai lembaga yang memiliki nilai sosial seperti

65 Novita Dewi Masyitoh, “Analisis Normatif UU No 1 Tahun 2013 Tentang Lkm Atas

Status Badan Hukum Dan Pengawasannya Bmt”. Jurnal Economica, Vol. V/Edisi 2/Okt/2014.

66

Muhammad Muhtarom, “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan Mikro

Syariah Di Indonesia”. Jurnal Studi Islam, Vol.17 No.1, Juni 2016.

Page 45: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

35

menghimpun dana zakat, infaq, sedekah yang disalurkan kepada

masyarakat.67

Menurut Mursid (2017) dalam kajian tesisnya UU LKM hanya

memberikan peluang bagi BMT untuk memilih badan hukum Koperasi

atau PT. Menurutnya perlu dipertimbangkan dan pengkajian ulang

terhadap ketentuan kewajiban LKM bertransformasi menjadi Bank jika

melakukan kegiatan usaha melampaui daerah kabupaten atau kota.68

Keberagaman badan hukum dapat diartikan karena tidak adanya

kepastian hukum yang melekat, seperti kajian yang dilakukan oleh

Solikhat, dkk (2015) pelaksanaan badan usaha koperasi maupun

prakoperasi sebelum berlakunya undang-undang lembaga keuangan mikro

di Eks Karesidenan Surakart, mereka merumuskan bentuk badan usaha

ideal untuk dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dalam

pengelolaan BMT berdasarkan undang-undang lembaga keuangan mikro

di Eks Karesidenan Surakarta. Penelitian ini membahas hal pelaksanaan

BMT dengan badan hukum Koperasi beserta peraturannya, dan aspek

hukum yang dilahirkan UU LKM No 1 Tahun 2013 atas status badan

hukum BMT di Eks Karesidenan.69

Kepastian hukum dapat menentukan badan hukum apa yang baik

untuk digunakan, seperti yang dilakukan oleh Budi Heryanto (2017)

mengenai tingkat kegunaan badan hukum dan pemahaman tekhnologi

informasi dalam menjalankan usaha pada UMKM sektor Jasa di kelurahan

Pojok, Mojoroto, Kota Kediri.70

67 Nourna Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil Dalam Sistem

Perekonomian Di Indonesia”. Jurnal Serambi Hukum Vol.II No.01 Februari-Juli 2017, ISSN :

1693-0819, E-ISSN : 2549-5275.

68

Fadillah Mursid, “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil Di Indonesia”. Tesis

UIN Sunan Kalijaga 2017. 69

Solikhah, dkk.“Bentuk Badan Usaha Ideal Untuk Dapat Dipertanggungjawabkan

Secara Hukum Dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Berdasarkan Undang-Undang

Lembaga Keuangan Mikro Di Eks Karesidenan Surakarta,” Jurnal Yustisia. Vol. 4 No. 3

September – Desember 2015.

70 Budi Heryanto, “Pemetaan Kepemilikan Badan Hukum Dan Tingkat Penggunaan

Teknologi Informasi Pada UMKM” (Studi Pada Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto - Kota

Kediri). Jurnal Ekonika I. Vol. 2. No. 2, September 2017 I 182-197.

Page 46: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

36

Dari penelitian-penelitian tersebut bahwa peneliti menjelaskan

perkembangan Baitul Maal wat Tamwil yang begitu pesat di Indonesia,

dengan strategi pengembangan yang memiliki konsep berbeda-beda

dengan dinaungi dasar hukum dan pengawasan BMT menjadi salah satu

lembaga keuangan mikro yang dapat diakui oleh masyarakat. Tetapi

sampai dengan saat ini belum ada peraturan yang spesifik untuk lembaga

keuangan mikro model BMT yang memiliki karakter khas yang berbeda

dengan koperasi pada umumnya. Oleh karena itu, penelitian-penelitian

tersebut memberikan gambaran bahwa pentingnya status dan kedudukan

hukum pada BMT sangat dibutuhkan mengingat masyarakat yang sudah

percaya dengan mendukung dan ikut bergabung dalam operasional BMT.

Penelitian ini menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh peneliti, legal

formal yang ada saat ini tidak sepenuhnya mewakili operasional BMT

yang sudah berjalan pesat, akan tetapi hanya memberikan peluang untuk

mengembangkan dan memilih badan hukum sebagai landasan operasional

BMT ataupun lembaga keuangan mikro lainnya. Melihat hal tersebut,

peneliti ingin menganalisis lebih lanjut dengan penelitian normatif

terhadap UU LKM sebagai produk hukum yang memberikan ketentuan

khusus untuk lembaga keuangan mikro.

Page 47: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

37

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah metode yang digunakan dalam aktivitas ilmiah

untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Empat kunci utama

dalam pelaksanaan penelitian adalah: (1) cara ilmiah, (2) data, (3) tujuan, dan (4)

kegiatan. Cara ilmiah berarti rasional, empiris, dan sistematis; rasional berarti

masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran manusia; empiris berarti dapat

diamati oleh indra manusia; sistematis artinya, proses yang digunakan dalam

penelitian menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.1

Peran metode penelitian sangat menentukan dalam upaya menghimpun data

yang diperlukan dalam penelitian, dengan kata lain metode penelitian akan

memberikan petunjuk dalam pelaksanaan atau petunjuk bagaimana penelitian ini

dilakukan.2 Dalam metode penelitian ini dijelaskan mengenai cara, prosedur atau

proses penelitian yang meliputi:

A. Pendekatan penelitian

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan

hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud

adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan,

putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).3 Dalam analisis normatif

melibatkan masalah etika, pertimbangan nilai (value judgement) dan moral.4

Peter Mahmud Marzuki menjelaskan penelitian hukum normatif adalah:

“Suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang

dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan

1 Dadang Kuswana, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011), h. 13.

2 J Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 23.

3 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 3, h. 34.

4 Romli Atmasasmita dan Kodrat Wibowo, Analisis Ekonomi Mikro tentang Hukum

Pidana Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), Cet. 1, h. 25.

Page 48: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

38

argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan

masalah yang dihadapi”5

Dalam penjelasan lain, pendekatan normatif adalah studi Islam yang

memandang masalah dari sudut legal formal dan atau normatifnya. Maksud

legal formal adalah hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan

sejenisnya. Sementara normatifnya adalah seluruh ajaran yang terkandung

dalam nash. Dengan demikian pendekatan normatif mempunyai cakupan yang

sangat luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul

fiqih (Usuliyah), ahli hukum Islam (Fuqaha), ahli tafsir (mufassirin) yang

berusaha menggali aspek legal formal dan ajaran Islam dari sumbernya adalah

termasuk pendekatan normatif.6 Dalam penelitian hukum normatif hukum

yang tertulis dikaji dari berbagai aspek seperti aspek teori, filosofi,

perbandingan, struktur/ komposisi, konsistensi, penjelasan umum dan

penjelasan pada tiap pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-

undang serta bahasa yang digunakan adalah bahasa hukum. Sehingga dapat

kita simpulkan pada penelitian hukum normatif mempunyai cakupan yang

luas.7

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau

penelitian kepustakaan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka8. Dalam penelitian ini juga

dapat dikatakan dengan yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan

untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.9 Hukum Positif, yang merupakan objek Teori Hukum Murni, adalah

sebuah peraturan yang dengannya tingkah laku manusia diatur dengan sebuah

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Kencana, 2005), h. 35.

6 Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, ( Jogjakarta: academia, 2010), h.190.

7 Diakses pada 10 Desember 2017 dari Idtesis.com.

8 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali

Press, 2011), h. 13. 9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2007), Cet.3, h. 295.

Page 49: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

39

cara yang spesifik. Regulasi tersebut disempurnakan dengan provisi yang

menetapkan bagaimana orang harus berperilaku. Provisi semacam itu itu

disebut norma-norma, yang dapat muncul baik melalui kebiasaan, seperti

norma-norma hukum kebiasaan, atau dapat juga tercipta melalui tindakan-

tindakan secara sadar dari organ-organ tertentu yang bertujuan menciptakan

hukum, seperti tindakan para legislator dalam kapasitasnya sebagai pembuat

hukum.

Norma-norma legal mungkin saja mempunyai karakter yang bersifat

general ataupun individual. Mereka mungkin saja sebelumnya mengatur,

dengan cara yang abstrak, kasus-kasus yang tak terhitung jumlah, seperti pada

norma bahwa jika seseorang mencuri maka dia akan dihukum oleh

pengadilan; atau dapat juga berhubungan dengan satu kasus tunggal, seperti

yang terjadi pada keputusan yudisial yang menetapkan bahwa A harus

menjalani hukuman penjara selama 6 (enam) bulan karena dia mencuri seekor

huda dari B. Yurisprudensi melihat hukum sebagai sebuah sistem norma

general dan individual. Dalam Yurisprudensi ini fakta-fakta dipandang hanya

sepanjang mereka membentuk konten norma-norma legal.

Sebagai contoh: yurisprudensi menganggap pengetahuan tentang prosedur

yang digunakan untuk menciptakan norma-norma legal, untuk prosedur ini

ditentukan oleh norma-norma dari konstitusi; dari delik, karena ia

didefinisikan oleh norma sebagai sebuah persyaratan dari sanksi; dari sanksi,

yang diatur oleh sebuah norma legal sebagai sebuah konsekuensi dari sebuah

delik. Hanya saja norma-norma provisi tentang bagaimana individu harus

berperilaku adalah obyek-obyek yurisprudensi, tidak pernah sebagai perilaku

aktual dari para individu.10

Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teoretis dari permasalahan

penelitiannya sehingga penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang

bersifat “trial and error”. Aktivitas ini merupakan tahapan yang amat penting.

Bahkan dapat dikatakan, bahwa studi kepustakaan merupakan separuh dari

10Terjemahan oleh Nurulita Yusron. Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif,

(Bandung: Nusa Media, 2009), Cet. 2, h. 317-318.

Page 50: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

40

keseluruhan aktivitas penelitian itu sendiri, Six hours in library save six

mounths in field or laburatory.11

C. Data Penelitian

Data penelitian ini berdasarkan data kualitatif yaitu data yang berupa kata-

kata atau pernyataan-pernyataan. Dapat pula diartikan sebagai data kategorik,

karena memang biasanya berupa kategori atau pengelompokan-

pengelompokan berdasarkan nama atau inisial tertentu.12

D. Sumber Data

Adapun sumber data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini untuk

mendukung informasi atau data yang digunakan dalam penelitian, penelitian

yang dilakukan peneliti adalah penelitian kepustakaan maka hal ini

menyangkut sumber data sekunder/ pustaka hukum dilihat dari kekuatan

mengikatnya.

1. Sumber Primer

a. Norma Dasar

b. Peraturan Dasar

c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

d. Undang-Undang

e. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

f. Peraturan Pemerintah

g. Peraturan Presiden

h. Peraturan Daerah

i. Bahan Hukum yang tidak dikodifikasikan

j. Yurisprudensi

k. Traktat

l. Peraturan dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku.

11

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2003), Cet. 6, h. 112. 12

Diakses pada 7 Desember 2017 dari http://www.statistikian.com

Page 51: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

41

Sumber primer yang digunakan peneliti diperoleh langsung dari

subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat

pengambilan data langsung sebagai sumber informasi yang dicari. Dalam

hal ini sumber utama adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan, Peraturan Menteri No.16/ Per/ M.KUKM /IX/ 2015 tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan Syariah

Oleh Koperasi dan Peraturan terbarunya No. 11/Per/ M.KUKM/ XII/

2017.

2. Sumber Sekunder (secondary sources)

Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang

berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Contoh:

Rancangan Undang-undang, laporan penelitian, artikel ilmiah, buku,

makalah berbagai pertemuan ilmiah, laporan penelitian, skripsi, tesis dan

disertasi.

3. Sumber Tersier (tertierary sources)

Bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Contoh: abstrak, almanak,

bibliografi, buku pegangan, buku petunjuk, buku tahunan, indeks artikel,

kamus, penerbitan pemerintah, sumber biografi, sumber geografi, dan

timbangan buku.13

Dalam referensi lain, dijelaskan sumber tersier merupakan bahan

hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Seperti kamus hukum, encyclopedia,

dan lain-lain.14

Bahan ini menjadi penting karena mendukung dalam

proses analisis hukumnya. Misalnya, dalam penelitian mengenai hukum

13 Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, (Jakarta: Badan

Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), Cet. 1, h. 30-31. 14

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2007), Cet.3, h. 296.

Page 52: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

42

perusahaan, akan lebih baik orang juga belajar mengenai buku manajemen

perusahaan, standarisasi laporan keuangan dan program kepemimpinan.15

E. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data

Data sekunder dalam penelitian hukum lazim dikumpukan melalui studi

kepustakaan atau library research. Studi kepustakaan dapat dipahami sebagai

studi kepustakaan dalam arti sempit dan dalam arti luas.

1. Studi Kepustakaan dalam arti sempit

Studi Kepustakaan dalam arti sempit adalah pengumpuan data

sekunder di perpustakaan. Studi kepustakaan dalam arti sempit ini meliputi

kegiatan pengumpulan bahan bacaan, baik buku, jurnal, makalah, laporan

penelitian, majalah, dan surat kabar.

2. Studi Kepustakaan dalam Arti Luas

Studi Kepustakaan dalam Arti Luas adalah kegiatan pengumpulan

data sekunder yang tidak hanya diperpustakaan-perpustakaan resmi,

melainkan juga meliputi pengumpulan bahan hukum, pengumpulan

dokumen, dan pengumpulan data sekunder lainnya di kepustakaan-

kepustakaan pribadi dan tempat-tempat penyimpanan bahan-bahan dan

keterangan yang dicari atau langsung memintanya dari orang yang

menyimpan data sekunder yang diperlukan.16

Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat di

lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang akan

diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode:

1. Pengumpulan Dokumen

Dokumen yang harus dikumpulkan dalam penelitian hukum

mencakup dokumen resmi dan tidak resmi, dokumen rahasia dan tidak

rahasia, dokumen nasional dan dokumen internasional, serta dokumen asli

15 Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet. 3, h. 43. 16

Tommy Hendra Purwaka, Metodoogi Peneitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas

Atma Jaya, 2007), h. 77.

Page 53: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

43

dan dokumen salinan atau dokumen fotokopi. Dokumen resmi adalah

dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah, sedangkan dokumen tidak

resmi adalah dokumen yang dikeluarkan oleh instansi-instansi non

pemerintah. Dokumen rahasia adalah dokumen yang tidak dipublikasikan.

Dokumen rahasia juga lazim disebut dokumen terbatas, yaitu dokumen

yang hanya boleh dilihat oleh orang-orang tertentu saja, misanya

pembukuan perusahaan. Dokumen tidak rahasia atau dokumen yang

dipublikasikan adalah dokumen yang terbuka atau dapat diketahui oleh

publik. Dokumen nasional adalah dokumen yang dikeluarkan oleh

instansi-instansi yan berdomisili di wilayah nasional suatu negara, dalam

hal ini Indonesia. Dokumen Internasional adalah dokumen yang berisi

masalah antar negara atau masalah antar subjek hukum internasional.

Dokumen asli adalah dokumen yang memiliki ciri-ciri keaslian suatu

dokumen, seperti tanda tangan asli, cap basah, kop surat spesifik dan jenis

kertas tertentu. Dokumen tidak asli adalah dokumen yang tidak difotokopi

atau yang disalin.17

Peneliti mengamati dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang

berhubungan dengan Kajian Normatif terhadap Undang-Undang dan

landasan Operasional Baitul Maal Wat Tamwil yang kemudian beroperasi

diwilayah Kabupaten Bogor.

Dokumen yang di dapatkan adalah berupa arsip sebagai berikut:

Draft Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro, beberapa pasal dalam Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, serta peraturan lainnya yang menyangkut operasional

BMT.

2. Metode Interview/Wawancara

Sebagai bahan penguat dalam penelitian pustaka, peneliti

melakukan penelitian dengan metode wawancara. Wawancara adalah

teknik penelitian yang paling sosiologis dari semua teknis-teknis

penelitian sosial. Ini karena bentuknya yang berasal dari interaksi verbal

17

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Peneitian Hukum, h. 78.

Page 54: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

44

antara peneliti dan responden.18

Wawancara dilakukan dengan alasan

mencari pendapat pakar yang berkaitan dengan Operasional obyek

penelitian yang dikaji oleh peneliti.

Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu interaktif antara

interviewer19

dengan interviewee20

agar mendapatkan informasi yang

akurat, jelas dan langsung. Kegiatan Wawancara ini dilakukan di BMT

Khairu Ummah yang beralamat di Jl Raya Leuwiliang Bogor, yang

dinarasumberi oleh Bapak Pepi Januar Pelita sebagai Ketua Puskopsyah

Kabupaten Bogor. Yang selanjutnya, wawancara dilakukan dengan

Sekretaris PINBUK Jakarta, yang dilaksanakan dikediamannya di Jl

Cemara No 52 Bogor Utara.

F. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian peneliti adalah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro dan

peraturan terkait lainnya serta Implikasi Hukum terhadap operasional BMT di

Wilayah Kabupaten Bogor.

G. Teknik Pengolahan Data

Dari hasil pengumpulan data penelitian, peneliti akan mengolah data

berdasarkan data penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk mengerti atau

memahami gejala yang diteliti. Tahap pengolahannya berdasarkan

pemeriksaan, inventarisasi (list) koding-klasifikasi-kuantifikasi hasil secara

terbatas, apabila lebih dari 25 responden.21

Dalam penelitian ini tidak

menggunakan banyak responden sebagai sumber, tetapi hanya melibatkan satu

responden tunggal yang merupakan pemerhati BMT pada wilayah penelitian.

18

James A. Black dan Dean J. Champion, Methodes and Issues in Social Research, terj.

E. Koswara, Dira Salam, dan Alfin Ruzhendi, (Bandung: Reflika Aditama, 2009), Cet.4, h.305.

19

Interviewer adalah orang yang mencari data (pewawancara)

20

Interviewee adalah pihak yang dimintai data/ sumber (yang di wawancarai) 21

Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, h. 65.

Page 55: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

45

H. Metode Analisis Data

Proses selanjutnya setelah pengolahan data adalah analisis. Tujuan analisis

data ini adalah untuk menyederhanakan, sehingga mudah ditafsirkan. Analisis

yang digunakan disini adalah analisis non statistika sesuai dengan data

kualitatif. Kegiatan analisis dengan cara ini dilakukan dengan membaca data

yang telah diolah.22

Analisis yang digunakan oleh peneliti sesuai dengan tema

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, terdiri dari:

1. Menarik asas-asas hukum.

2. Menelaah sistematika peraturan perundang-undangan.

3. Menilai taraf sinkhronisasi peraturan perundang-undangan.

4. Perbandingan hukum.

5. Sejarah Hukum.23

22

Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, h. 88-85.

23

Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penelitian hukum, h. 68.

Page 56: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

46

BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRETASI

A. Kelembagaan BMT

Hadirnya lembaga Keuangan Mikro, merupakan sebuah

keberhasilan para praktisi ekonomi kerakyatan yang menunjukan

keperdulian terhadap masyarakat dalam membentuk ekonomi yang setara,

adil dan dapat dijangkau oleh kalangan bawah. LKM tidak hanya sebagai

lembaga intermediate antara nasabah dengan lembaga seperti pada

lembaga keuangan Bank. LKM melakukan pengawasan, pembinaan dan

monitoring kepada para mitranya demi memperkuat ukhuwah dan

terpenuhinya kepercayaan mitra kepada lembaga. Melihat hal tersebut,

salah satu LKM yang eksistensinya luas di kalangan masyarakat muslim

khususnya adalah Baitul Maal Wat Tamwil atau kependekan dari nama

BMT.

Dalam istilah lain BMT adalah kependekan dari Badan Usaha

Mandiri Terpadu atau, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang

beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.1 BMT merupakan suatu

lembaga yang mempunyai dua istilah, yaitu baitul maal dan baitul tamwil.

Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan

penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak, dan sedekah.

Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana

komersial. Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan

dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil

dengan berlandaskan syariat Islam. Lembaga ini didirikan dengan maksud

untuk memfasilitasi masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh

pelayanan bank syariah atau BPR syariah. Prinsip operasionalnya

didasarkan atas prinsip bagi hasil, jual beli, ijarah, dan titipan (wadi’ah).

Karena itu, meskipun mirip dengan bank syariah, bahkan boleh dikata

1 Andri Soemitro, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.

2, h. 451.

Page 57: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

47

menjadi cikal bakal dari bank syariah, BMT memiliki pangsa pasar

tersendiri, yaitu masyarakat kecil yang tidak terjangkau layanan perbankan

serta pelaku usaha yang mengalami hambatan “psikologis” bila

berhubungan dengan pihak bank.2 Cara kerja dan perputaran dana BMT

secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 4.1: Alur Operasional BMT

Dari gambaran pola peraturan dana BMT di atas, sesungguhnya

lebih didominasi pada pola operasional bisnis (Tamwil). Sementara untuk

aspek pengelolaan ZISnya (Maal) tidak nampak.3 Hal ini dikritisi oleh Dr.

2 Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Syariah Tinjauan Teoritis

dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 1, h. 362.

3 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, (Jakarta: UIN Jakarta Press,

2013), Cet. 1, h. 28.

Penggalangan

Dana (Funding) Operasional BMT PenyaluranDana

(Financing)

Modal Dasar:

Simpanan Pokok

Khusus

Simpanan Pokok

Simpanan Wajib

SHU

dibagikan

Mudharabah

Pembiayaan total

bagi hasil

SHU

Bagi

Hasil

Bonus

Margin

Infak

Pool Pendapatan

Simpanan Sukarela

Titipan

Simp. Wadiah

Amanah/ZIS

Simp. Wadiah

Dhamanah

Simpanan Sukarela

Bagi Hasil

Simpanan

Mudharabah biasa

Simp. Pendidikan

Simp. Haji

Simp. Umroh

Simp. Kurban, dll

Simp. Berjangka

(1,3,6,12 bulan)

Qard al-Hasan

Pinjaman

Kebajikan

Bagi

Hasil Musyarakah

Pembiayaan

bersama bagi

hasil

BBA

Kepemilikan

barang angsuran

Biaya Operasional

Musyarakah

Pembiayaan

bersama bagi

hasil

Page 58: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

48

Yusuf Qardhawi (Makhalul Ilmi, 2002) yang menyatakan bahwa yang

disebut Baitul Maal adalah lembaga yang berorientasi pada sosial-

keagamaan yang kegiatan utamanya menampung harta masyarakat dari

berbagai sumber termasuk (terutama) zakat, dan menyalurkannya untuk

tujuan mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa. Adapun Baitul Maal

Kontemporer saat ini memiliki cakupan kegiatan lebih sempit, yakni

sebatas menghimpun dana zakat, infak dan sedekah. Oleh karenanya perlu

ditegaskan bahwa, untuk bisa disebut BMT, sebuah lembaga keuangan de

facto harus memiliki dua unit usaha sekaligus dalam bidang pengelolaan

ZIS dan perbankan syariah. Bila salah satunya tidak ada, maka bukanlah

yang demikian disebut BMT tetapi Baitul Maal atau Baitul Tamwil saja.

Pengingkaran terhadap prinsip ini dapat berakibat fatal berimplikasi serius

secara negatif terhadap keutuhan jati diri BMT sebagai lembaga keuangan

mikro syariah.

Terkait dengan badan pengelolaan BMT yang merupakan sebuah

badan yang mengelola organisasi dan perusahaan BMT. Badan Pengelola

ini biasanya memiliki struktur organisasi tersendiri. Yang paling sederhana

misalnya sebagai berikut:4

Bagan 4.2: Badan Pengelola BMT

Koperasi syariah mulai diperbincangkan banyak orang ketika

menyikapi semaraknya pertumbuhan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di

Indonesia. Baitul Maal Wat Tamwil yang dikenal dengan sebutan BMT

Bina Insan Kamil tahun 1992 di Jakarta, ternyata mampu memberi warna

bagi perekonomian kalangan akar rumput yakni para pengusaha gurem.

4 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 29.

Kasir/ Layanan Nasabah Pembukuan Pembiayaan

Direktur/ Ketua

Page 59: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

49

Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 10 Tahun 1998

menyebutkan bahwa segala kegiatan dalam bentuk penghimpunan dana

masyarakat dalam bentuk tabungan dan menyalurkan dalam bentuk kredit

harus berbentuk Bank.5 Maka muncullah beberapa LPSM (Lembaga

Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang memayungi KSM BMT.

LPSM tersebut antara lain: P3UK sebagai penggagas awal, PINBUK dan

FES Dompet Dhuafa Republika. BMT yang memiliki basis kegiatan

ekonomi rakyat dengan falsafah yang sama yaitu dari anggota oleh

anggota untuk anggota maka berdasarkan Undang-Undang RI nomor 25

Tahun 1992 tersebut berhak menggunakan badan hukum koperasi.

Pada tahun 1994 berdiri sebuah forum komunikasi (FORKOM)

BMT se-Jabotabek yang bernaggotakan BMT-BMT di Jakarta, Bogor,

Tangerang dan Bekasi (Jabotabek). Forum komunikasi BMT se-Jabotabek

tersebut sejak tahun 1995 dalam setiap pertemuan bulanannya, berupaya

menggagas sebuah payung hukum bagi anggotanya. Maka tercetuslah ide

pendirian BMT dengan badan hukum koperasi, kendati badan hukum

koperasi karyawan yayasan.6

Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu

disebabkan BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang

dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat

dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

Menurut Undang-Undang, pihak yang berhak menghimpun dan

menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat, baik dioperasikan dengan cara Konvensional maupun dengan

prinsip syariah (bagi hasil). Namun demikian, kalau BMT dengan badan

hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi

5 Republik Indonesia, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbakan Pasal 1

Ayat 2 6 Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman, Bisnis dan Muamalah Kontemporer,

(Bogor: Al Azhar Freshzone Publishing, 2015), Cet. 2, h. 5.

Page 60: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

50

syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada

pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagai BPRS (Bank Perkreditan

Rakyat Syariah) dengan badan hukum koperasi atau perseroan terbatas.7

Dalam ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No 25 Tahun 1992

Tentang Perkoperasian menyatakan bahwa Koperasi dapat berbentuk

Koperasi Primer atau Koperasi Sekunder. Koperasi Sekunder, menurut

Penjelasan dari undang-undang tersebut, adalah meliputi semua koperasi

yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi Primer dan/ atau

Koperasi Sekunder. Berdasarkan kesamaan kepentingan dan tujuan

efisiensi, Koperasi sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun

berbagai jenis atau tingkatan. Dalam hal koperasi mendirikan Koperasi

Sekunder dalam berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal

sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun

penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.8

Jika dilihat kembali ketentuan Pasal 15 dan 16 Undang-Undang No

12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Koperasi berserta penjelasannya,

maka dapat diketahui adanya empati tingkatan organisasi yang didasarkan

atau disesuaikan dengan tingkat daerah administratif pemerintahan. Empat

tingkatan koperasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Induk Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) gabungan

koperasi yang berbadan hukum. Induk koperasi ini daerah kerjanya

adalah Ibukota Negara Republik Indonesia (tingkat Nasional).

2. Gabungan Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) Pusat

Koperasi yang berbadan hukum. Gabungan Koperasi ini daerah

kerjanya adalah Daerah Tingkat 1 (tingkat Propinsi).

3. Pusat Koperasi, terdiri dari sekurang-kurangnya 5 (lima) Koperasi

Primer yang berbadan hukum. Pusat Koperasi ini daerah kerjanya

adalah Daerah Tingkat II (tingkat Kabupaten).

7 Yuke Rahmawati, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, h. 30.

8 Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal

15

Page 61: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

51

4. Koperasi Primer, terdiri dari sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang

yang telah memenuhi syarat keanggotaan sebagaimana ditentukan

dalam undang-undang.

Dengan tingkatan organisasi koperasi seperti tersebut, maka

koperasi tingkat atas mempunyai kewajiban memberi bimbingan dan pula

mempunyai wewenang untuk mengadakan pemeriksaan pada koperasi

tingkat bawah, dengan tanpa mengurangi hak koperasi tingkat bawah.9

B. Landasan Operasional

1. Pendirian

Setiap pendirian BMT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:10

a. Didirikan minimal oleh 20 orang

b. Memiliki Visi dan Misi bagi pemberdayaan ekonomi umat yang

beroperasi dengan prinsip-prinsip muamalah sesuai syariah Islam.

c. Kegiatan yang dilakukan meliputi:

1) Penghimpunan dana simpanan berdasarkan syariah.

2) Pembiayaan usaha pola syariah berdasarkan syariah.

3) Pengelolaan dana titipan zakat, infaq, sedekah, dan dana

simpanan lainnya. Usaha-usahalain yang halal sesuai syariah.

d. Modal awal minimal Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).

e. Pengurus/ pengelola memiliki wawasan dan pengalaman atau

pernah mengikuti pelatihan BMT dan/atau pernah magang di

BMT.

f. Pengurus/pengelola berpendidikan Diploma atau SLTA dan

berakhlak mulia

g. Harus melibatkan tokoh masyarakat setempat

h. Memiliki DPS (Dewan Pengawas Syariah)

i. Berbadan hukum

9 R.T. Sutantya Rahardja Hadhikusuma, Hukum Koperasi Indonesia, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, 59-60.

10

Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal wat Tamwil, (Bandung: Pustaka Setia,

2003), Cet. 1, h. 339-342.

Page 62: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

52

j. Mempunyai tata tertib

k. Ada rekomendasi PINBUK

Berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian No 25 Tahun 1992

Pembentukan Koperasi dilakukan dengan kata pendirian yang memuat

Anggaran Dasar.11

Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)

memuat sekurang-kurangnya:

a. Daftar nama pendiri;

b. Nama dan tempat kedudukan;

c. Maksud dan tujuan serta bidang usaha;

d. Ketentuan mengenai keanggotaan;

e. Ketentuan mengenai Rapat Anggota;

f. Ketentuan mengenai pengelolaan;

g. Ketentuan mengenai permodalan;

h. Ketentuan mengenai jangka waktu berdirinya;

i. Ketentuan mengenai pembagian sisa hasil usaha;

j. Ketentuan mengenai sanksi.12

Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro, Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi

persyaratan:

a. Bentuk badan hukum;

b. Permodalan; dan

c. Mendapat izin usaha yang tata caranya diatur dalam UU LKM13

2. Perizinan

Berdasarkan Undang-Undang LKM No 1 Tahun 2013, sebelum

menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari

11

Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal

7 Ayat 1 12

Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal

8 13

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 4

Page 63: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

53

Otoritas Jasa Keuangan.14

Untuk memperoleh izin usaha, LKM harus

dipenuhi persyaratan paling sedikit mengenai:

a. Susunan organisasi dan kepengurusan;

b. Permodalan;

c. Kepemilikan; dan

d. Kelayakan rencana kerja.15

Perizinan Usaha LKM dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Permohonan Izin Usaha LKM Baru, bagi LKM yang berdiri sejak

Undang-Undang LKM berlaku (berdiri sejak tanggal 8 Januari

2015).

b. Permohonan Izin Usaha LKM Melalui Pengukuhan, bagi LKM

yang telah berdiri dan beroperasi sebelum Undang-Undang LKM

berlaku (telah berdiri dan beroperasi sebelum tanggal 8 Januari

2015).16

Jika melihat pada hal tersebut, seharusnya LKM untuk

mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan baik lembaga tersebut

telah berdiri sebelum Undang-Undang itu berlaku baikpun yang akan

dan atau telah beroperasi setelah Undang-Undang ini diberlakukan.

Untuk LKM model BMT sendiri, sebelum terlebih dahulu

memiliki perizinan ke Kementrian Koperasi maka selanjutnya BMT

harus mendaftarkan diri ke OJK untuk diakui keberadaannya.

Sehingga BMT sebagai lembaga keuangan dapat lebih dipercaya

secara legal.

14

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 9 Ayat 1 15

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 9 Ayat 2 16

Diakses pada 12 Apil 2018 dari http://www.ojk.go.id

Page 64: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

54

3. Permodalan

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Lembaga

Keuangan Mikro No 1 Tahun 2013 Sumber permodalan LKM

disesuaikan dengan badan hukumnya.17

Berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, pada BMT yang berbadan hukum Koperasi, maka

sumber permodalannya yaitu:

a. Modal Koperasi terdiri dari modal sendiri dan modal pinjaman.

b. Modal sendri dapat berasal dari:

1) Simpanan Pokok;

2) Simpanan Wajib;

3) Dana Cadangan;

4) Hibah.

c. Modal Pinjaman dapat berasal dari:

1) Anggota;

2) Koperasi lainnya dan/atau anggotanya;

3) Bank dan lembaga keuangan lainnya ;

4) Penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya;

5) Sumber lain yang sah.18

Sedangkan Ketentuan mengenai besaran modal LKM diatur dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.19

Untuk LKM bentuk BMT,

sumber Modal dapat diperoleh dari:20

a. Simpanan pokok anggota yang dilakukan hanya sekali sebagai

tanda keikutsertaan sebagai anggota.

17

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 7 Ayat 1 18

Republik Indonesia, Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Pasal

41 19

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 7 Ayat 2 20

Ahmad Hasan Ridwan, Manajemen Baitul Mal Wat Tamwil, (Bandung: Pustaka Setia,

2003), Cet.1, h.28.

Page 65: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

55

b. Simpanan wajib pokok yang dilakukan oleh anggota secara

periodik sesuai dengan kesepakatan dalam jumlah yang sama

setiap kai menyimpan.

c. Simpanan sukarela anggota yang dilakukan oleh anggota secara

sukarela tanpa ada batasan jumlah dan waktu.21

4. Kegiatan Usaha

Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga

Keuangan Mikro, Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan

usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau

Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat,

pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi

pengembangan usaha.22

Sebagai Bait al-Maal, beberapa bagian dari kegiatan BMT

dijalankan tanpa orientasi mencari keuntungan. BMT berfungsi

sebagai pengemban amanah, serupa dengan amil zakat, menyalurkan

bantuan dana secara langsung kepada pihak yang berhak dan

membutuhkan. Sumber dana kebanyakan berasal dari zakat, infak, dan

sedekah, serta dari bagian laba BMT yang disisihkan untuk tujuan ini.

Adapun bentuk penyaluran dana atau bantuan yang diberikan cukup

beragam. Ada yang murni bersifat hibah, dan ada pula yang

merupakan pinjaman bergulir tanpa dibebani biaya dalam

pengembaliannya. Hibah sering berupa bantuan langsung untuk

kebutuhan hidup yang mendesak atau darurat, dan bagi mereka yang

memang sangat membutuhkan, diantaranya adalah: bantuan berobat,

biaya sekolah, sumbangan bagi korban bencana, dan lain-lain yang

serupa. Yang bersifat pinjaman bergulir biasa diberikan sebagai modal

produktif untuk melakukan usaha. Pada umumnya, dalam kaitan

21

Mardani, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015), Cet. 1, h. 324. 22

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 11

Page 66: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

56

dengan pinjaman bergulir, BMT tidak sekadar memberi bantuan dana,

melainkan juga memberi berbagai bantuan teknis. Bantuan teknis

tersebut dapat berupa pelatihan, konsultasi, bantuan manajemen, dan

bantuan pemasaran.23

Sebagai Bait at-Tamwil, BMT terutama berfungsi sebagai suatu

lembaga keuangan syariah yang melakukan upaya penghimpunan dana

penyaluran dana berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang

paling mendasar dan yang sering digunakan adalah sistem bagi hasil

yang adil, baik dalam hal penghimpunan maupun penyaluran dana.

Sampai sejauh ini, kebanyakan BMT berupaya menjalankan fungsi

keuangan syariah tersebut secara profesional dan patuh kepada

syariah.24

Pola BMT selain sebagai lembaga yang berbasis bisnis, BMT

melebarkan sayapnya dengan fungsi-fungsi sosial dalam hal

pemberdayaan masyarakat yang berjalan bersamaan diiringi dengan

penerapan-penerapan prinsip syariah. Pemberdayaan yang dilakukan

BMT sebagai hal utama yang dapat menumbuhkan perekonomian

rakyat yang berbasis non riba, menyentuh kalangan bawah dan

mengemansipasi pebisnis mula yang dapat melakukan perubahan pada

tatanan kebutuhan rumah tangga. Sehingga BMT mampu menyentuh

masyarakat dibanding dengan lembaga keuangan Perbankan.

Pada dasarnya BMT dan Perbankan memiliki tujuan dan fungsi

yang sama, sebagai penghimpun dana dan penyalur pembiayaan

masyarakat dengan tujuan dapat memproduktifkan. Perbedaannya

BMT memiliki pangsa pasar dalam lingkup mikro, tetapi hal tersebut

tentunya berkaitan dengan usaha bank sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 7 Undang-Undang No 10 Tahun 1998 yang dapat melakukan

kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang,

23

Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan

UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawati Pers, 2009), h. 85. 24

Euis Amalia, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan

UKM di Indonesia, (Jakarta: Rajawati Pers, 2009), h. 86.

Page 67: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

57

seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi,

serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan

memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.25

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013

Tentang Lembaga Keuangan Mikro, kegiatan penyaluran Pinjaman

atau Pembiayaan dan pengelolaan Simpanan oleh LKM dilaksanakan

setara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah.26

Berdasarkan cara operasionalnya BMT melakukan kegiatan

berdasarkan prinsip syariah. Prinsip syariah yang digunakan oleh BMT

tentunya wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa syariah yang

dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.27

Prinsip syariah sebagai dasar operasional BMT yang terhindar dari

maisir (perjudian), gharar (penipuan), risywah (suap), dan riba

(bunga).28

Dalam beberapa peraturan yang BMT terkait di dalamnya, bahkan

Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang

selama ini sebagai landasan operasional dan Undang-Undang Otoritas

Jasa Keuangan tidak mengatur secara fokus berdasarkan prinsip

syariah yang merupakan pola utama dibentuknya sebuah lembaga

keuangan mikro BMT. Bahkan Undang-Undang lembaga Keuangan

Mikro No 1 Tahun 2013 tidak menjelaskan peraturan syariah secara

rinci melalui pengaturan pelaksanaannya, hanya saja menyebutkan

bahwa Dewan Pengawas Syariah merupakan acuan dalam kegiatan

yang berbasis syariah. Adapun hal tersebut diatur dalam Keputusan

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No

91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan

25

Republik Indonesia, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 7 26

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 12 Ayat 1 27

Republik Indonesia, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro Pasal 12 Ayat 2 28

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi

(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 99.

Page 68: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

58

Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang selanjutnya

disempurnakan oleh Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Republik Indonesia No.11/Per/M.KUKM/XII/2017 dalam

Berita Negara tertanggal 12 Januari 2018 tentang Pelaksanaan Kegitan

Usaha Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh Koperasi.

Dari demikian peraturan yang berkaitan dengan BMT tidak

menyentuh prinsip secara spesifik terhadap peraturan pelaksanaan

yang berbasis syariah, maka operasional BMT dimungkinkan akan

mengalami distorsi.

C. Analisis Normatif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Implikasi Hukum Terhadap

Operasional Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di Wilayah Kabupaten

Bogor.

1. Kebijakan Regulasi

Berbicara payung hukum maka konsekuensinya adalah bagaimana

lembaga itu tunduk patuh kepada regulasi dan menjalankan sesuai

yang disebutkan dalam peraturan-peraturan terkait. Mengenai BMT

pada Wilayah Penelitian Kabuaten Bogor, dimana Bogor merupakan

salah satu kota yang tercatat dalam histori dimana lembaga

pengembang Dompet Dhuafa melakukan Diklat (pendidikan dan

pelatihan) BMT pada kedua kalinya, menjadi pusat perhatian peneliti

untuk menarik kembali fokus kajian saat ini. BMT pada Wilayah

Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang terhimpun dalam Koperasi

Sekunder Pusat Koperasi Syariah (Puskopsyah) yang berkegiatan

dalam lingkup Kabupaten.

Secara umum BMT di Wilayah Kabupaten Bogor memilih badan

hukum koperasi karena pada hakikatnya jati diri koperasi sudah

melekat pada jiwa BMT. Fungsi BMT sebagai upaya akomodasi

pemerintah melakukan pembenahan sebagaimana dalam Undang-

Undang No 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Page 69: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

59

Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi

Undang-Undang.29

BMT sebagai lembaga yang melakukan kegiatan pembiayaan tidak

lepas dari peraturan yang harus dirujuknya. Pembiayaan dalam

menjalankan kegiatannya dilaksanakan oleh perusahaan pembiayaan.

Menurut Pasal 1 angka (5) Keppres No. 61 Tahun 1988 yang dimaksud

dengan perusahaan pembiayaan adalah badan usaha di luar bank dan

lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk

melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga

pembiayaan. Perusahaan pembiayaan dimaksud, menurut Pasal 3 ayat

(2) Keppres No. 61 Tahun 1988 berbentuk Perseroan Terbatas atau

Koperasi. Dengan demikian, untuk dapat menjalankan usaha di bidang

pembiayaan maka perusahaan pembiayaan harus berbentuk badan

hukum baik berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi.30

BMT yang menggunakan badan hukum Koperasi maka tunduk

pada peraturan:

1. Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.

Berdasarkan Undang-Undang tersebut, maka beberapa

pasal di dalamnya berkaitan. Diantaranya:

Pasal 44 Ayat 1: Koperasi dapat menghimpun dana dan

menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan

untuk;

a. Anggota Koperasi yang bersangkutan;

b. Koperasi lain dan/atau anggotanya.

Pasal 18 Ayat 1: Yang dapat menjadi anggota Koperasi ialah

setiap warga negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan

hukum atau Koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana

ditetapkan dalam Anggaran Dasar.

29

Wawancara dengan Pepi Januar Pelita, M.Pd., sebagai Ketua Pusat Koperasi Syariah

Kabupaten Bogor. Dilakukan pada Selasa, 13 Maret 2018 Pukul 14.30 WIB di BMT Khairu

Ummah Bogor

30

Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet. 2, h. 4.

Page 70: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

60

Pasal 17 Ayat 1: Anggota Koperasi adalah pemilik sekaligus

pengguna jasa Koperasi.

Pasal 9: Koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta

pendiriannya disahkan oleh pemerintah.

Pada peraturan Koperasi tersebut, sesungguhnya jelas tidak

menyatakan keberadaan BMT ataupun lembaga keuangan mikro

lainnya. Dalam menjunjung perekonomian kerakyatan yang

berasaskan pancasila, sewajarnya BMT mengadopsi pola kerja

Koperasi sebagai lembaga ekonomi kerakyatan yang adil dan

merata. Tetapi pada faktanya, BMT tidak sepenuhnya menjalankan

amanah yang ada dalam Undang-Undang perkoperasian, dengan

alasan BMT memiliki karakter yang berbeda dengan Koperasi pada

umumnya. Salah satu yang menjadi perbedaan adalah, dari

keanggotaan. Dalam berkoperasi secara umum, bagi setiap orang

yang mengeluarkan biaya simpanan pokok dan simpanan wajib

maka dapat dikatakan sebagai anggota. Tetapi dalam BMT,

anggota BMT merupakan pengurus dan struktur keanggotaan

lainnya, sedangkan pihak luar dikatakan dengan mitra apabila

pihak tersebut hanya melakukan kegiatan menabung saja tanpa

membayar iuran pokok dan wajib.

Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa BMT lebih bersifat

terbuka untuk masyarakat. Tetapi Koperasi hanya diperuntukkan

untuk anggota saja.

2. Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1995 Tentang Pelaksanaan

Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh koperasi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 19, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3591).

3. Peraturan Menteri Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah

Republik Indonesia Nomor 11/Per/M.KUKM/XII/2017 Tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan

Syariah Oleh Koperasi.

Page 71: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

61

Dari peraturan tersebut, tidak secara jelas menyatakan

adanya BMT. Penegasan tersebut lebih kepada kegiatan simpan

pinjam dan pembiayaan berbasis syariah. Pola BMT pada dasarnya

sudah sesuai dengan KSPPS sehingga banyak BMT pada saat ini

menyatakan dirinya dengan nama “BMT KSPPS X”

Beberapa jumlah Koperasi aktif yang ada di Kabupaten

Bogor, dengan sesuai dengan akta yang dikeluarkan oleh Notaris

pembuat akta.

NO.

Nama

Lembaga

Anggota

Puskopsyah

Pengurus Alamat dan Badan Hukum

1

BMT Kspps

Khairu

Ummah Aktif

Pepi Januar

Pelita

Leuwiliang

111060/BH/PMD/KWK.10/XI

I-1997

2

BMT Kspps

Al-Hijrah Aktif

Melly

Supiati

Sentul,

518/43/BH/KPTS/KANKOP/2

006

3

BMT Kspps

Berkah

Mandiri

Sejahtera Aktif

Asep

Junjunan

Cisarua,

518/314/BH/KPST/

DISKOPERINDAG

4

BMT

Ksppsi

Umar Bin

Abdul Azis Aktif Erwin

Leuwisadeng,

518/100/BH/KPTS/KKUKM/2

008

5

BMT

Ksppsi

Khlasul

Ummah Aktif

Ghousul

Ahmad

Pamijahan,

*badan hukum tidak terakses

6 BMT Kspps Aktif Dudin Cibungbulang,

Page 72: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

62

Khidmatul

Ummah

Fahrudin No.

07/BH/KDK.105/VIII/1998

7

Kspps

Baytul

Ikhtiar Aktif Latif Afendi

Loji,

518/169/BH/KPTS/KUKM/20

08

8

BMT Kspps

Tadbiirul

Ummah Aktif Syamsiah

Dramaga,

05/BH/KDK.105/VIII/1998

9

Koperasi

Darul Falah Aktif Yusif

Ciampea,

09/A/Koppontren-DF/IV/2007

10

KSPPS

Mitra

Anggota

Siraa

Drs Ahmad

Jamili

Ciampea,

518/61/BH/KPTS/DISKOPERI

NDAG/II/2010

11

Koperasi

Darul

Muttaqin Aktif Tari

Parung,

*badan hukum tidak terakses

12

BMT Kspps

Mitra Usaha Aktif

Ahmad

Jamili

Pamijahan,

*badan hukum tidak terakses

13

Koperasi

Baiturrahm

an Aktif Ibnu Thoriq

Bojong Gede,

*badan hukum tidak terakses

14

BMT Kspps

Sejahtera

Bangsaku Aktif

Aziz Moh

Abduh

Sentul,

*badan hukum tidak terakses

15

BMT Kspps

An-Nisa Aktif

Mustofa

Idris

Cileungsi,

518/242/BH/KPTS/DISKOPE

RINDAG/VII/2012

16

BMT Kspps

Swadaya Aktif H. Sulaeman

Kalapa Nunggal ,

518/65/BH/KPTS/Kankop/200

Page 73: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

63

Pribumi 6

17

BMT Kspps

Berkah

Bersama Aktif Aang Kinan

Sindang Barang,

65/BH/XIII.5/KANKOP/2014

18

BMT Kspps

Ibadurrahm

an Aktif

H. Ridha

Nugraha

Ciawi,

*badan hukum tidak terakses

19

BMT Kspps

Syahid Aktif

Buchori

Muslim

Gn. Menyan,

*badan hukum tidak terakses

20

BMT Kspps

X Aktif

Diskop

UKM

*badan hukum tidak terakses

21

BMT Kspps

X Aktif

Diskop

UKM

*badan hukum tidak terakses

22

BMT Kspps

X Aktif

Diskop

UKM

*badan hukum tidak terakses

23

BMT El-

Umma Aktif

*badan hukum tidak terakses

24

KSPPS

Amanah

Ummah

Tidak

bergabung

Leuwiliang,

*badan hukum tidak terakses

25

KSPPS

Aisyah

Tidak

bergabung

Ciampea,

*badan hukum tidak terakses

26

KSPPS

Attaawun

Tidak

bergabung

Jasinga,

*badan hukum tidak terakses

27

Khoiru

Ummah

(KUC)

Tidak

bergabung

Cibinong

*badan hukum tidak terakses

28

KSPS Nur

Aisyiah

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

Page 74: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

64

29

KSPPS

Sejahtera

Bersama

Syariah

Tidak

bergabung

Gunung Puti,

*badan hukum tidak terakses

30

KSPPS Bill

Barkah

Tidak

bergabung

Ciomas,

*badan hukum tidak terakses

31

KOPP

PPIQ

Tidak

bergabung

Ciomas,

*badan hukum tidak terakses

32

Kopkar

Capsulgel

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

33

Kopkar

Winner

Tidak

bergabung

Klapanunggal,

*badan hukum tidak terakses

34

Kopkar

Bina Estate

Sejahtera

Tidak

bergabung

Citeureup,

*badan hukum tidak terakses

35

Kopkar PT

Ricky

Tidak

bergabung

Jonggol,

*badan hukum tidak terakses

36

Kopkar

RST

Dompet

Dhuafa

Tidak

bergabung

Parung,

*badan hukum tidak terakses

37 KOPP BA

Tidak

bergabung

Tenjo,

*badan hukum tidak terakses

38

KOPP Al

Mukhlisin

Tidak

bergabung

Parung,

*badan hukum tidak terakses

39

Kopkar PT

Sri

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

Page 75: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

65

40

Kopkar

Dirgantara

Tidak

bergabung

Kemang,

*badan hukum tidak terakses

41

Kopkar

Primavera

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

42

KO KAR

Indo Karlo

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

43

Elang

Perdana

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

44 Adi Wira

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

45

KSPPS Al-

Hijrah

Tidak

bergabung

Babakan Madang,

*badan hukum tidak terakses

46

KOP

Baiturrahm

an

Tidak

bergabung

Cisarua,

*badan hukum tidak terakses

47

KOPP Al

Musthafawi

yah

Tidak

bergabung

Cisarua,

*badan hukum tidak terakses

48

Koperasi La

Rooiba

Tidak

bergabung

Cibinong,

*badan hukum tidak terakses

49

Berkah

Berjamaah

(212)

Tidak

bergabung

Bojong Gede,

*badan hukum tidak terakses

50

KPRI P

Dan K Suka

Makmur

Tidak

bergabung

Suka Makmur,

*badan hukum tidak terakses

51 Madania

Tidak

bergabung

Kemang,

*badan hukum tidak terakses

52 Citra Indah Tidak Jonggol,

Page 76: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

66

Lestari bergabung *badan hukum tidak terakses

53

Bina Insan

Mandiri

Tidak

bergabung

Citeureup,

*badan hukum tidak terakses

Tabel 4.1: LKM di Wilayah Kabupaten Bogor

Sumber : Lapangan Berdasarkan Data Peserta Penyuluhan Koperasi Syariah

Dari tabel di atas menunjukkan 53 jumlah Lembaga

Keuangan Mikro di Wilayah Kabupaten Bogor termasuk

BMT/KSPPS berjumlah 24 yang tergabung dalam Puskopsyah. 24

KSPPS dapat dikatakan aktif, menurut Pepi Januar (2018), bahwa

BMT dikatakan tidak aktif apabila tidak melaksanakan aktivitas

usaha sebagaimana yang tercantum dalam ADR. Misalnya pada

jasa konsumen dan produsen, ketika tidak ada kegiatan maka sudah

dipastikan koperasi itu tidak aktif, secara legal masih ada karena

yang memiliki kewenangan menonaktifkan adalah Kementrian

Koperasi dengan mencabut izin pendiriannya. Dalam hal

Puskopsyah memberikan jumlah koperasi aktif disetiap tingkatan

yang kemudian diberikan kepada Kemenkop. Selanjutnya,

kemenkop mengadakan kunjungan ke lapangan untuk melihat,

memeriksa operasional secara real.

Kemudian yang kedua, BMT dikatakan tidak aktif apabila

koperasi itu masih beroperasi tetapi tidak pernah megikuti rapat

akhir tahun (RAT). Sehingga ketika RAT tidak dilakukan, maka

memang tidak ada laporan yang dijadikan pegangan untuk

puskopsyah. RAT biasanya dilakukan setiap awal tahun pada bulan

pertama.

Pasca Keluarnya regulasi No 11/Per/M.KUKM/XII/2017

Tentang Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah Oleh

Koperasi, BMT di Wilayah Kabupaten Bogor mengubah namanya

menjadi KSPPS. Sehingga secara tidak langsung BMT sudah

mematenkan badan hukumnya sendiri yaitu Koperasi seiringan

Page 77: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

67

dengan regulasi yang sesuai dengan operasionalnya. KSPPS

biasanya digunakan bagi BMT yang sudah mengikuti Perubahan

Anggaran Dasar (PAD).

4. Fatwa Dewan Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia.

Berdasarkan operasionalnya BMT mengguakan beberapa

akad yang ada dalam Fatwa DSN MUI.

a. Fatwa No 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh) dan Fatwa No Fatwa No 08/DSN-

MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.

b. Fatwa No 09/DSN-MUI/VI/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah.

c. Fatwa No 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah, No

05/DSN-MUI/IV/2000 Tenang Jual Beli Salam, No 06/DSN-

MUI/IV/2000 Tenang Jual Beli Istishna, dan No 73/DSN-

MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah.

d. Fatwa No19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qard atau dengan

pemeliharaan jaminan dalam bentuk Fatwa No 25/DSN-

MUI/III/2002 Tentang Rahn.

Dalam Pola BMT yang memiliki asas nilai-nilai sosial, ditunjukkan

dengan adanya pelaksanaan pengolaan Zakat, Infaq, Sedekah. Pada hal

itu tentunya merujuk Pada Permen No 11/Per/M.KUKM/XII/2017

Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam Dan Pembiayaan

Syariah Oleh Koperasi.

Dalam merujuk peraturan tersebut, sebetulnya tidak spesifik

mengatakan bahwa BMT merupakan Lembaga kewenangan

pemerintah yang dapat mengelola zakat masyarakat (UPZ), karena

dapat dikatakan bertentangan dengan peraturan sebagaimana dikatakan

dalam Pasal 6 UU No 23 Tahun 2011 bahwa BAZNAS merupakan

lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara

nasional.

Page 78: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

68

Tetapi dalam rangka untuk mendayagunakan zakat bagi

kesejahteraan umat, BMT sebagai badan hukum yang selain

berkegiatan bisnis, BMT memiliki kemampuan dalam rangka

menumbuhkan nilai-nilai sosial, salah satunya yaitu dalam pengelolaan

dan pendistribusian zakat.

2. Urgensi Penguatan Hukum

Bank Indonesia melalui Program Proyek Hubungan Bank dengan

Kelompok Swadaya Masyarakat (PHB-KSM) dari program tersebut

lahirlah inisiatif untuk BMT dapat berpayung hukum.

Bicara regulasi, keberadaan Undang-Undang LKM No 1 Tahun

2103 tidak serta merta menyentuh operasional BMT yang sudah sekian

lama mengoperasikan kegiatannya di Indonesia khususnya di

Kabupaten Bogor. Namun melihat pada historis BMT, tidak banyak

para pemerhati mengaitkan dengan regulasi tersebut karena dianggap

tidak terlalu bersentuhan. Menelusuri kembali sejarah BMT, para

peneliti tidak menjadikan regulasi tersebut sebagai bagian yg berkaitan

erat dengan perkembangan BMT. Kelompok Swadaya Masyarakat

merupakan salah satu pencetus pola Program Hubungan Bank dan

KSM (PHBK), mereka menginisiasi BMT yang awalnya tidak

memiliki paying hukum, sehingga KSM pada saat itu menginisiasi

serta didukung dengan adanya Undang-Undang No 7 mengharuskan

penghimpunan dana harus berbentuk bank, maka atas hal tersebut

BMT menjalankannya., ketika BMT menjalankan aturan itu maka

kemudian ada Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat yg

dinamakan LSM LPSM sebagai lembaga yang menaunginya,

diantaranya PINBUK, Forum Ekonomi Syariah, Muamalat Institut,

Dompet Dhuafa Republika. Jadi dapat disimpulkan, dalam referen

yang pemerhati dapatkan, Undang-Undang LKM tidak dikaitkan

dengan keberadaan BMT sampai dengan saat ini.

Adapun menurut pemerhati, Pepi Januar Pelita mengenai Undang-

Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro,

Page 79: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

69

Pemerintah memberikan keluasan kepada BMT untuk memilih, sejauh

ini jarang sekali ada yg mengangkat jika dikaitkan.

Undang-Undang No 1 Tahun 2013 pada penglihatannya hanya

bersifat opsional tidak mandatoring. Karena dalam ketentuannya BMT

ataupun LKM lainnya yang disebutkan dalam pasal peralihan, bahwa

BMT dapat memilih badan hukumnya Koperasi atau Perseroan

Terbatas. Melihat hal itu, regulasi tidak sepenuhnya memberikan

kepastian hukum dimana tidak ada konsistensi pada peraturannya.

Menurut pendapat Ridha Nugraha (Sekretaris PINBUK),31

bahwa

secara kesesuaian UU LKM No 1 Tahun 2013 sudah menjawab

permasalahan bahwa BMT tidak dikatakan bank gelap, melainkan

lembaga keuangan mikro yang ada di masyarakat di bawah

kewenangan kementrian koperasi atau OJK apabila BMT tersebut

mendaftarkan dirinya. Menurutnya, bahwa badan hukum yang

digunakan oleh BMT di Wilayah Kabupaten Bogor adalah Koperasi

dan sesuai dengan regulasi ayng dikeluarkan pemerintah. Itu

merupakan sebuah pilihan, tetapi disini dibedakan ada BMT yang

mendaftarkan diri ke Kemenkop saja ada BMT yang mendaftarkan diri

ke OJK. Konsekuensi penamaan dan tanggung jawab menjadi berbeda.

Saat BMT hanya mendaftarkan diri ke Kemenkop maka BMT tersebut

berbentuk Koperasi dengan nama BMT/KSPPS dan diawasi oleh

Kemenkop, tetapi apabila BMT lanjut mendaftarkan dirinya ke OJK

maka BMT tersebut LKM berbentuk Koperasi dengan nama

KSPPS/BMT dan diawasi oleh OJK. Untuk izin operasionalnya

menjadi dua pilihan, ke Kementrian Koperasi atau Otoritas Jasa

Keuangan sedangkan untuk badan hukumnya adalah Koperasi.

Menurut pendapat peneliti, pemerintah dalam hal ini lebih bijak

dalam memberikan ketentuan untuk lembaga keuangan mikro.

Kebijakan tersebut memperlihatkan bahwa apabila mampu mendirikan

31

Wawancara dengan Ridha Nugraha, M.SI., sebagai Sekretaris Pusat Inkubasi Bisnis

Usaha Kecil Bogor. Dilakukan pada Sabtu, 19 Mei 2018 Pukul 13.45 WIB di Rumah kediamannya

di Jl Cemara Blok E5, No.9, Bantarjati, Bogor Utara, Kota Bogor

Page 80: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

70

perusahaan dengan modal yang maksimal maka bentuk badan hukum

yang digunakan adalah PT dan pemerintah 60% dapat berkontribusi di

dalamnya. Berbeda halnya dengan koperasi, penataannya lebih

diarahkan oleh masyarakat sehingga pemerintah tidak ada campur

tangan dengan keanggotaan baikpun kementrian koperasi hanya

sebagai pengawas kelembagaan. Melihat hal ini, pemerintah

sebetulnya sudah bijak dalam membuat regulasi tetapi mengapa LKM

khususnya BMT merasa bahwa regulasi ini tidak bersentuhan dengan

kelembagaan dan operasional.

Pentingnya penguatan hukum memberikan ketegasan dalam

merespon perkembangan, dan pemahaman masyarakat agar tidak

ambigu terhadap peraturan yang mengakibatkan beda pendapat. Dalam

hal ini, penguatan hukum juga berfungsi sebagai pemberi sanksi yang

tegas dalam penyelesaian sengketa sebagai wujud efektifitas

dijalankannya yang menjadi penting untuk diterapkan.

Diperkirakan apabila BMT diperhatikan lebih serius, maka

ekonomi rakyat dapat terpenuhi dengan baik dengan perputaran

keuangan yang bagus. Berdasarkan data yang diperoleh dari OJK per-

Mei 2017, jumlah industri syariah yang tercatat di OJK sebanyak 18

unit dengan aset 71,12 Miliar, selanjutnya terlihat pada Februari 2018

jumlah industri syariah sebanyak 36 unit dengan aset 116 Miliar. Jika

dianalisis dalam jangka waktu 10 bulan BMT memiliki perkembangan

walau dirasa asset BMT tidak sebanding dengan banyaknya unit BMT

yang berdiri. Artinya masih harus banyak diperhatikan dari segi

permodalan atau sumber daya manusia yang memadai.

Beberapa regulasi yang sedikit banyak menyinggung dan

mendukung pola BMT dapat diartikan bahwa BMT sebagai lembaga

keuangan yang memiliki posisi di masyarakat, alangkah lebih

bagusnya hal ini dikuatkan dengan regulasi yang maksimal. Beberapa

problem yang dijadikan isu oleh pada pemerhati dan para peneliti

keuangan mikro, bahwa pentingnya sebuah regulasi untuk kepastian

Page 81: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

71

hukum yang dapat melindungi segenap masyarakat yang andil dan

berkontribusi dalam pemerataan ekonomi kerakyatan model BMT.

Beberapa regulasi yang mendukung mengingat bahwa BMT memiliki

kebutuhan untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Dalam pembentukan regulasi berdasarkan pertimbangan untuk

mendukung perekonomian yang tangguh, berdaya dan mandiri dan

mengikuti perkembangan lembaga keuangan, namun untuk BMT

dirasa dipandang bukan hanya dari aspek pengelolaan dana masyarakat

tetapi ada pola unik yang membuat BMT sedikit sulit

menyeimbangkan regulasi mana yang paling bijak untuk diterapkan

sebagai pola dasar operasional dan kelembagaan.

Sebagai regulasi baru yang dibuat oleh pemerintah tahun 2013,

didukung dengan kewenangan lain yang mendukung pola pengawasan

yaitu Otoritas Jasa Keuangan. Saat ini pengaturan BMT diatur oleh 2

Undang-Undang yang berkaitan, diantaranya:

1. Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan

Dalam menumbuhkan perekonomian yang stabil, merata dan

transparan. Perlu adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif

serta didukung dengan peraturan-peraturan yang dapat mendukung

perkembangan perekonomian berkelanjutan bagi masyarakat. Demi

mewujudkan hal tersebut, tentu haruslah dibentuk sebuah peraturan

untuk penataan yang lebih baik.

Berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang

OJK, terdapat 71 Pasal yang menjadi Landasan dibentuknya

Undang-Undang ini. Beberapa Pasal yang berkaitan dengan

keberadaan BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro syariah,

adalah sebagai berikut:

Pasal 1 Ayat 1: Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya

disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari

campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan

Page 82: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

72

wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Pasal 1 Ayat 4: Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang

melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal,

Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga

Jasa Keuangan Lainnya.

Pasal 1 Ayat 9: Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang

melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana

atau barang modal sebagaimana dimaksud dalam peraturan

perundang-undangan mengenai lembaga pembiayaan.

Pasal 4: OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di

dalam sektor jasa keuangan:

a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.

Pasal 5: OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan

pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di

dalam sektor jasa keuangan.

Pasal 6: OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan

terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan

c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun,

d. Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Pasal 9: Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang: a.

menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan

jasa keuangan;

Page 83: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

73

Beberapa ketentuan tersebut, menunjukkan kewenangan OJK

sebagai independensi yang memiliki kewenangan untuk mengatur

pelaksanaan kegiatan keuangan baik itu bank maupun lembaga

keuangan non bank. Berkaitan dengan hal itu, dikaitkan dengan

ketentuan peralihan pada Pasal 39 Undang-Undang No 1 Tahun

2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, bahwa BMT merupakan

bagian dari LKM di bawah pengawasan OJK, dengan begitu

sepatutnya harus tunduk pada peraturan ini. Tentunya dalam

Undang-Undang LKM memberikan kewenangan kepada OJK

sebagai Lembaga Independent yang dapat mengatur, membina dan

mengawasi dalam sektor lembaga keuangan.

Menurut hemat peneliti, BMT dapat dikategorikan sebagai

lembaga pembiayaan. Dimana lembaga pembiayaan merupakan

badan usaha yang memiliki modal untuk memenuhi kebutuhan

konsumen. Atau secara tegas merupakan lembaga keuangan

lainnya.

Walau pada dasarnya Undang-Undang OJK tidak menegaskan

secara rinci mengenai Lembaga Keuangan Mikro atau BMT, tetapi

peraturan ini secara ekspilit dapat digunakan sebagai tolak ukur

dalam beberapa ketentuan operasional BMT maupun LKM

lainnya. Maka BMT sudah sepatuhnya berdasarkan pada peraturan

ini.

2. Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan

Mikro

Pasal 1 Ketentuan umum:

Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah

lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa

pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui

pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada

anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun

Page 84: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

74

pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-

mata mencari keuntungan.

Pasal 3

LKM bertujuan untuk:

a. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;

b. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan

produktivitas masyarakat; dan

c. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat; terutama masyarakat miskin dan/atau

berpenghasilan rendah.

Pasal 5

(1) Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

huruf a adalah:

a. Koperasi; atau

b. Perseroan Terbatas.

(2) Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik

desa/kelurahan.

(3) Sisa kepemilikan saham Perseroan Terbatas sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:

a. Warga negara Indonesia; dan/atau

b. Koperasi.

(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham

Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a

paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen).

Pasal 12

(1) Penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan dan pengelolaan

Simpanan oleh LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(1) dilaksanakan setara konvensional atau berdasarkan prinsip

syariah.

Page 85: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

75

(2) Kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan sesuai dengan fatwa

syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional, Majelis

Ulama Indonesia.

Pasal 13

(1) Untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), LKM wajib

membentuk dewan pengawas syariah. (2) Dewan pengawas syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat

dan saran kepada direksi atau pengurus serta mengawasi kegiatan

LKM agar sesuai dengan prinsip syariah.

Pasal 27

LKM wajib bertransformasi menjadi bank jika:

a. LKM melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah

kabupaten/kota tempat kedudukan LKM; atau

b. LKM telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 28

Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh

Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 30

LKM wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan:

a. Laporan keuangan setiap 4 (empat) bulan; dan/atau

b. Laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan.

Pasal 33

(1) Setiap LKM yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat

(1), Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 27, Pasal 29 ayat (1), dan

Pasal 30

dikenai sanksi administratif berupa:

Page 86: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

76

a. Denda uang;

b. Peringatan tertulis;

c. Pembekuan kegiatan usaha;

d. Pemberhentian direksi atau pengurus LKM dan selanjutnya

menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat

Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi

mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Otoritas

Jasa Keuangan; atau

e. Pencabutan izin usaha.

Pasal 39

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung

Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD),

Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil

(KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya

Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP),

Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah

(BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan

dengan itu tetap dapat beroperasi sampai dengan 1 (satu) tahun

terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.

Apabila dianalisis lebih lanjut, jika melihat pada regulasi yang

mengatur kegiatan BMT, belum sepenuhnya dapat mengakomodir

keberadaan BMT sebagai lembaga keuangan di tengah masyarakat

yang mampu merubah perekonomian masyarakat menengah menjadi

real. Hal ini dikarenakan, BMT berbeda halnya dengan koperasi

secara umum. BMT memiliki fungsi lain, yaitu misi sosial yang belum

tentu dapat diaplikasikan dalam kegiatan koperasi yang pada

umumnya. Selain itu, BMT memiliki karakter yang tidak dapat

disamakan dengan bentuk koperasi, secara falsafah memang

berdasarkan pancasila tetapi secara prinsip lain mengedepankan asas

Page 87: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

77

kekeluargaan dan musyawarah, BMT juga menerapkan prinsip-prinsip

syariah yang dalam regulasi belum sepenuhnya dijelaskan.

Eksistensi BMT sebenarnya telah diakomodir dalam Undang-

Undang No 17 Tahun 2011 Tentang Koperasi, di mana dalam undang-

undang tersebut disebutkan adanya pengelolaan koperasi dengan

menggunakan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 87

Ayat (3), bahwa “Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip

ekonomi syariah”, selanjutnya dalam Pasal 87 Ayat (4), bahwa

“Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan

Pemerintah”.32

Setelah dibatalkannya Undang-Undang No 17 Tahun

2012 tentang Koperasi oleh Mahkamah Konstitusi, yang dalam

pengaturannya terdapat aturan tentang Koperasi berprinsip syariah dan

dikembalikan lagi kepada Undang-Undang No 25 Tahun 1992

Tentang Perkoperasian, yang dalam pengaturannya tidak

menyinggung sama sekali prinsip syariah. Mengakibatkan BMT

seperti tidak lagi ada harapan dan mengecewakan. Walau pada

kenyataannya dibatalkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017

dianggap bersifat Korporasi dan menghilangkan asas kekeluargaan

dan gotong royong yang menjadi ciri khas koperasi, selain itu UU

tersebut juga bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat.33

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang LKM, badan hukum

yang data digunakan oleh Lembaga Keuangan Mikro adalah Koperasi

dan Perseron Terbatas. Apabila Koperasi, maka tunduk pada Undang-

Undang No 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian di bawah

pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM, sedangkan apabila

memili badan hukum Perseroan Terbatas, maka tunduk pada Undang-

32

Novita Dewi Masyithoh, Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013

Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum Dan Pengawasan Baitul

Maal Wat Tamwil (BMT), “Jurnal Economica” Volume V/Edisi 2/Oktober 2014.h.27 33

Diakses pada 27 April 2018 dari http://hukumonline.com

Page 88: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

78

Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas di bawah

Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang kemudian harus tunduk ada

Undang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang OJK.

Dua pilihan badan hukum antara Koperasi dan Perseroan Terbatas

memiliki sifat yang berbeda. Dimana secara umum Koperasi

berprinsip kerakyatan dan mengamalkan nilai-nilai luhur pancasila

sebagaimana yang dimanatkan dalam UUD 1945 pasal 27 “segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu

dengan tidak ada kecualinya” dan Pasal 33 Ayat 1 “Perekonomian

disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas dasar

kekeluargaan”; Ayat 3 “Bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sedang untuk

Perseroan Terbatas lebih bersifat korporasi, dimana melihat pada

permodalannya 60% dikuasai oleh Pemerintah sebagaimana dalam

ayat 1 huruf b Undang-Undang PT. Sisa kepemilikannya sebagaimana

dalam ayat 2 dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan

Koperasi.

Jika PT digunakan sebagai badan hukum LKM atau BMT, maka

tidak ada kesesuaian antara prinsip yang bersifat kerakyatan dengan

pola kerja yang memberatkan masyarakat sendiri. Selain minimnya

permodalan yang dimiliki tentu cara koordinasi antara pemerintah

dengan lembaga dalam rangka memberikan anggaran khusus untuk

LKM.

Dari Banyak hal yang mendorong lahirnya BMT ini, ada yang

berpendapat bahwa di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang

hidup serta berkecukupan muncul kekhawatiran akan timbulnya

pengikisan akidah. Pengikisan akidah ini bukan dipengaruhi dari

aspek syiar Islam, melainkan juga dipengaruhi oleh ekonomi

masyarakat. Sebagaimana di riwayatkan oleh Rasulullah SAW

Page 89: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

79

“Kefakiran itu mendekati kekufuran”, maka keberadan BMT

diharapkan mampu mengatasi masalah ini lewat pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan ekonomi masyarakat.34

Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga

Keuagan Mikro. Dari 42 pasal yang tercantum dalam Undang-Undang

No 1 Tahun 2013, bahwa BMT disebutkan dalam Pasal 39 “Pada saat

Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank

Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit

Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga

Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),

Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil

(BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-

lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu tetap dapat beroperasi

sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini

berlaku”.

Berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro No 1

Tahun 2013 pasal 5 ayat 1 mengenai status badan hukum. Bahwa,

BMT dapat memilih badan hukum Koperasi atau Perseroan Terbatas.

Dalam hal BMT memilih badan hukum Koperasi, maka BMT harus

berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 1992 Tentang

Perkoperasian di bawah pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM.

Jika, BMT memilih badan hukum Perseroan Terbatas (PT), maka

BMT harus berdasarkan pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007

tentang Perseroan Terbatas di bawah Pengawasan Otoritas Jasa

Keuangan.

Dalam memilih badan hukum, nyatanya BMT lebih dominan pada

badan hukum Koperasi. Karena, melihat pada historis BMT sendiri

sebagai lembaga yang menaungi masyarakat bawah, yang pada saat

itu tidak boleh bertentangan dengan falsafah pancasila dan Undang-

34 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,

(Yogyakarta: Ekonisia, 2004), h. 97.

Page 90: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

80

Undang Dasar 1945, maka Koperasilah yang paling tepat untuk

diterapkan sebagai badan hukum bagi lembaga keuangan mikro BMT.

Masih belum ketatnya peraturan untuk LKM baik Koperasi dan

Koperasi Syariah atau BMT, memberikan ruang ketidakpastian hukum

untuk menjalankan amanat Undnag-Undang. Bagaimana mungkin

LKM menjalankan kegiatan berdasarkan regulasi yang belum ada

aturan pelaksanaannya. Sehingga sampai dengan saat ini, BMT di

Kabupaten Bogor mayoritas menggunakan badan hukum Koperasi di

bawah naungan Kementrian Perkoperasian dan UKM.

Page 91: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

81

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Ragam regulasi yang digunakan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) dalam

mengoperasikan kegiatannya menunjukkan kepatuhan BMT sebagai lembaga

keuangan mikro syariah yang memiliki eksistensi dalam pengembangan

ekonomi kerakyatan dengan pengelolaan berdasarkan prinsip syariah. Melalui

beberapa aspek dan pola pengembangan dapat diakui bahwa BMT mengikuti

perkembangan hukum dan tidak lepas dari peraturan-peraturan yang mengikat

dan mendukung perkembangannya. Terkait dengan hal itu, Implikasi hukum

terhadap operasional BMT dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Bahwa operasional Lembaga Keuangan Mikro, dalam hal ini BMT diatur

oleh beberapa Undang-Undang diantaranya Undang-Undang No 25 Tahun

1992 tentang Perkopersian, Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang

Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro. Adapun terkait regulasi lainnya, Undang-

Undang No 21 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang

No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Menteri no

11/Per/M.KUKM/XII/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan

Pinjam dan Pembiayaan Syariah oleh Koperasi, dan Fatwa Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia.

2. Pengaturan BMT dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang

Lembaga Keuangan Mikro, sebetulnya memberikan kejelasan bagi

operasional BMT untuk dapat memilih status badan hukum. Dalam

ketentuannya diberikan pilihan, berdasarkan badan hukum Koperasi atau

Perseroan Terbatas.

3. Pasca berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga

Keuangan Mikro, setelah 2 tahun dibentuk regulasinya pada tahun 2013.

Operasional BMT sebagai LKMS berdasarkan badan hukum yang

digunakan mengacu pada dua pilihan yaitu Koperasi atau Perseroan

Page 92: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

82

Terbatas. Dimana konsekuensinya berbeda, jika badan hukumnya

Koperasi maka tunduk pada Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian di bawah pengawasan Kementrian Koperasi dan UKM.

Sedangkan, jika memilih badan hukum Perseroan Terbatas (PT) maka

tunduk pada Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang perseroan

Terbatas di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

4. Urgensi Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan

Mikro, sebagai acuan utama LKM dibentuk pasca berlakunya Undnag-

Undang tersebut eksistensi BMT menimbulkan permasalahan baru,

walaupun dalam kasus belum terjadi tetapi dikhawatirkan suatu saat nanti

berkaibat negatif pada perkembangan BMT. Dalam pengembangan usaha

ditentukan larangan melebihi satu wilayah kabupaten/kota, kecuali BMT

bertransformasi menjadi bank yang secara otomatis berstatus hukum PT.

Selanjutnya dalam hal pengawasan, terjadinya dualisme hukum antara

kewenangan Kemenkop dengan OJK.

5. Beberapa peraturan terkait BMT yang dilahirkan oleh Pemerintah, tidak

sepenuhnya menjawab kebimbangan BMT. BMT saat ini hanya sebagai

lembaga keuangan yang berorientasi profit seperti halnya bank dan

lembaga keuangan lainnya. Sedangkan, nilai sosial yang terkandung dalam

BMT tidak sama sekali diwakili salah satu regulasi yang berkaitan, hanya

saja BMT menyeimbangi antara pola kegiatan yang digunakan dengan

regulasi yang ada.

6. Secara tegas dalam UU No 1 Tahun 2013 tidak menjelaskan peraturan

pelaksanaan, sehingga Operasional Lembaga Keuangan Mikro baik

Konvensional ataupun Syariah (BMT) mengalami keambiguan yang

menyebabkan tidak efektifnya peraturan tersebut untuk digunakan.

B. REKOMENDASI

Peraturan yang mengaitkan adanya BMT menunjukkan keperdulian

pemerintah terhadap lembaga keuangan mikro baik yang bersifat konvensional

baikpun berbasis syariah, tetapi hal tersebut tidak tuntas mengingat tidak

Page 93: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

83

semua orang memahami kaidah dari karakter BMT sendiri. Untuk itu

diharapkan pemerintah mampu membentuk para perancang perundang-

undangan dari aspek sumber daya manusia terlebih dahulu, karena sebagai

pengusung kemampuan dalam memahami aspek kesyariahan.

Untuk Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT), ditunjukkan kepada

pengurus dan pemerhati diharapkan agar lebih membuka diri lagi kepada

masyarakat luas akan keberadaan BMT dan makna BMT itu sendiri sehingga

menghindari pemahaman bahwa lembaga yang menyentuh umat dianggap

illegal. Jika para pemerhati merasa bahwa regulasi tersebut tidak sesuai

harusnya mengajukan lebih lanjut atau dengan menguji undang-undang

kepada Mahkamah Konstitusi jika merasa dirugikan, karena dikhawatirkan

lembaga yang bagus dari segi pola dan pemberdayaan masyarakat jika dirubah

dengan regulasi yang tentunya tidak sesuai mengakibatkan efek negatif pada

perkembangan masyarakat khususnya pemberdayaan masyarakat kecil.

Page 94: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

84

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Abdurrahman, Hafidz dan Yahya Abdurrahman. Bisnis dan Muamalah

Kontemporer. Bogor: Al Azhar Freshzone Publishing, 2015.

Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum.

Jakarta: Kencana, 2013.

Al-Arif, M. Nur Rianto. Lembaga Keuangan Syariah-Suatu Kajian Teoritis

Praktis. Jakarta: Pustaka Setia, 2012.

Amalia, Euis. Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran Lkm

Dan Ukm Di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2009.

Amalia, Euis. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM

dan UKM di Indonesia. Jakarta: Rajawati Pers, 2009.

Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab. Hukum Islam Dinamika

Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2008.

Ascarya. Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,

2015.

Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya Di Indonesia.

Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005.

Asyhadie, Zaeni dan Budi Sutrisno. Hukum Perusahaan Dan Kepailitan. Jakarta:

Erlangga, 2012.

Atmasasmita, Romli dan Kodrat Wibowo. Analisis Ekonomi Mikro tentang

Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.

Azis, M. Amin. Kegigihan Sang Perintis. Jakarta: MAA Institute, 2007.

Black, James A. dan Dean J. Champion, Methodes and Issues in Social Research.

Penerjemah E. Koswara, Dira Salam, dan Alfin Ruzhendi. Bandung:

Reflika Aditama, 2009.

Budiarto, Agus. Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Pendirian Perseroan

Terbatas. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Dwiyatmi, Sri Harini. Pengantar Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia,

2013.

Page 95: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

85

Fajar, Mukti ND dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif

dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

Fahmi, Irham. Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya Teori Dan Aplikasi.

Bandung: Alfabeta, 2014.

Hadhikusuma, R.T. Sutantya Rahardja. Hukum Koperasi Indonesia. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002.

Hasanuddin. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Uin Jakarta Press, 2003.

HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika,

2001.

Huda, Nurul dan Mohamad Heykal. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana,

2013.

Huda, Nurul dan Mohammad Heykal. Lembaga Keuangan Syariah Tinjauan

Teoritis dan Praktis. Jakarta: Kencana, 2010.

Huda, Nurul Dkk. Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah.

Jakarta: Kencana, 2012.

Ibrahim, Johannes. Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan Dan Badan

Hukum. Bandung: Pt Refika Aditama, 2006.

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Kadir, A. Hukum Bisnis Syariah Menurut Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT Rajagrafindo

Persada, 2005.

Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif. Penerjemah Nurulita Yusron.

Bandung: Nusa Media, 2009.

Kuswana, Dadang. Metode Penelitian Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.

Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Mamudji, Sri dkk. Metode Penelitian dan Penelitian Hukum. Jakarta: Badan

Penerbitan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Page 96: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

86

Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta:Kencana, 2012.

Manullang, E. Femando M. Legisme Legalitas Dan Kepastian Hukum. (Jakarta:

Kencana, 2016.

Mardani. Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia. Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.

Nafis, M. Chalil. Teori Hukum Ekonomi Syariah. Jakarta: UI Press, 2011.

Nasution, Khoiruddin. Pengantar Studi Islam. Jogjakarta: academia, 2010.

Noor, J. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kencana, 2011.

Purwaka, Tommy Hendra. Metodoogi Peneitian Hukum. Jakarta: Penerbit

Universitas Atma Jaya, 2007.

Rachbini, Didik J. Ekonomi Politik Kebijakan Dan Strategi Pembangunan.

Jakarta: Granit, 2004.

Rahmawati, Yuke. Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Jakarta: UIN Jakarta

Press, 2013.

Ridwan, Ahmad Hasan. Manajemen Baitul Mal wat Tamwil. Bandung: Pustaka

Setia, 2003.

Ridwan, Muhammad. Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Proposal, Skripsi, Tesis,

Dan Mempersiapkan Diri Menjadi Peneliti Artikel Ilmiah). Jakarta:

Kencana, 2010.

Rivai, H. Veithzal. Ekonomi Syari’ah Konsep, Praktek & Penguatan

Kelembagaannya. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Rizky, Awalil. BMT: Fakta Dan Prospek Baitul Mal Wa At-Tamwil.

Yogyakarta:Ucypress, 2007.

Saliman, Abdul R. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori Dan Contoh Kasus.

Jakarta: Kencana, 2011.

Subagyo, Ahmad. Manajemen Operasi Lembaga Keuangan Mikro Syariah.

Jakarta: Mitra Wacana Media, 2015.

Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2002.

Page 97: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

87

Sudarsono, Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.

Yogyakarta: Ekonisia, 2004.

Sumawinata, Sarbini. Politik Ekonomi Kerakyatan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2004.

Sunaryo. Hukum Lembaga Pembiayaan. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2003.

Soedewi, Sri. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta: Liberty, 2000.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:

Rajawali Press, 2011.

Soemitro, Andri. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana, 2010.

Syahrani, H. Riduan. Seluk-Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT

Alumni, 2006.

Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.

Artikel dan Jurnal Ilmiah:

Arief Budiharjo, “Pengenalan BMT”, Makalah Disajikan Dalam Seminar Tentang

BMT, Bandung: Mess Jabar, 2003.

Baskara, I Gede Kajeng. “Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia”, Jurnal

Buletin Studi Ekonomi, Volume 18, 114 Nomor 2, Agustus, (2013).

Fadli Zon. “Merawat Pemikiran Ekonomi Hatta”. Surat Kabar Kompas, 11

Agustus 2012.

Fitriyanti, Noer Azizah. “Konsekuensi Yuridis Perubahan Bentuk Bmt (Baitul

Maal Wat Tamwil) Menjadi Badan Hukum Kjks (Koperasi Jasa Keuangan

Syariah)” (Studi Di Koperasi Syariah Fanshob Karya, Kabupaten

Bojonegoro, Jawa Timur). Artikel Ilmiah Kementerian Pendidikan Dan

Kebudayaan Universitas Brawijaya.

Heryanto, Budi. “Pemetaan Kepemilikan Badan Hukum Dan Tingkat Penggunaan

Teknologi Informasi Pada UMKM” (Studi Pada Kelurahan Pojok

Kecamatan Mojoroto - Kota Kediri). Jurnal Ekonika. Volume 2, Nomor 2,

September, (2017).

Page 98: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

88

Imaniyati, Neni Sri “Aspek-Aspek Hukum Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt) Dalam

Perspektif Hukum Ekonomi.” Prosiding Snapp2011: Sosial, Ekonomi,

Dan Humaniora. ISSN 2089-3590. Volume 2, Nomor 1, (2011).

Masyithoh, Novita Dewi. “Analisis Normatif Undang-Undang No. 1 Tahun 2013

Tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Atas Status Badan Hukum

Dan Pengawasan Baitul Maal Wat Tamwil (BMT)”. Jurnal Economica.

Volume V, Edisi 2, Oktober, (2014).

Muhtarom, Muhammad. “Reformulasi Peraturan Hukum Lembaga Keuangan

Mikro Syariah Di Indonesia”. Jurnal Studi Islam. Volume 17, Nomor 1,

Juni, (2016).

Mursid, Fadillah “Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) Di

Indonesia”. Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2017.

Nourna Dewi, “Regulasi Keberadaan Baitul Maal Wat Tamwil Dalam Sistem

Perekonomian Di Indonesia”. Jurnal Serambi Hukum Volume II, Nomor

01, Februari-Juli, (2017).

Sinaga, Pariaman. “Beberapa Catatan Kritis Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Versi Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro.” Jurnal Infokop.

Volume 24, No 1, Oktober, (2014).

Solikhah, dkk. “Bentuk Badan Usaha Ideal Untuk Dapat Dipertanggungjawabkan

Secara Hukum Dalam Pengelolaan Baitul Maal Wat Tamwil (Bmt)

Berdasarkan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro Di Eks

Karesidenan Surakarta”. Yustisia. Volume 4, Nomor 3, September –

Desember, (2015).

Peraturan Perundang-undangan:

Bugerlijk Wetbook

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro

Undnang-Undang No 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan

Page 99: PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44202/1/INDRI SYAHFITRI-FSH.pdf · aspek legal formal terhadap lembaga dan data-data

89

Internet dan Ensiklopedi:

www.google.com

www.wikepedia.org

www.rebanas.com

www.statistikian.com

www.ojk.go.id

www.depkop.go.id

www.pinbuk.id

www.nu.or.id

www.academia.edu

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Besar Bahasa Arab