produksi protein dan antosianin pucuk kolesom … · melalui teknik budidaya pertanian harus...
TRANSCRIPT
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN
PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)
DENGAN PEMUPUKAN NITROGEN+KALIUM DAN
INTERVAL PANEN
HILDA SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Produksi Protein dan
Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Wild) dengan
Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Hilda Susanti
A262080011
ABSTRACT
HILDA SUSANTI. Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf Shoot
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) with Nitrogen+Potassium Application and
Harvest Interval. Under direction of SANDRA ARIFIN AZIZ, MAYA MELATI,
and SLAMET SUSANTO.
The research was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia
from November 2009 until December 2010 to increase waterleaf shoot protein
and anthocyanin production with nitrogen+potassium application and harvest
interval. The research consisted of 4 experiments. The first experiment was
conducted from November 2009 until Februari 2010 to study the effect of
different levels of nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot
protein and anthocyanin production. The result showed that combination of 100
kg urea/ha + 100 kg KCl/ha and 15 days harvest interval gave the highest protein
production (4.72 g/plant). The highest anthocyanin production was resulted by
treatments of 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/plant) and 10 days
harvest interval (165.27µmol/plant), but it was not influenced by interaction
between level of N+K fertilizer and harvest interval. The second experiment was
conducted from April until July 2010 to study the effect of different harvest
intervals and splitting application of nitrogen+potassium on waterleaf shoot
protein and anthocyanin production. The result showed that combination of 15
days harvest interval and three times fertilization with total dosages of 150 kg
urea+ 150 kg KCl/ha produced the highest protein production (13.90 g/plant) and
anthocyanin (250.61 µmol/plant) of marketable shoots. The third experiment was
conducted from April until July 2010 to study the effect of foliar application of
nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot. The result showed
that 4 times of foliar application and 100 kg urea + 100 kg KCl/ha of basal
fertilizer produced the highest shoot protein (5.69 g/plant) and anthocyanin
production (109.44 µmol/plant) on the waterleaf which harvested every 15 days
interval. The fourth experiment was conducted from October until December
2010 to study the effect of soil and foliar applications of nitrogen+potassium
fertilizer on waterleaf shoot protein and anthocyanin production. The result
showed that the highest protein and anthocyanin production of waterleaf shoot for
75 days were produced by 100% soil application of N+K; protein production was
16.98 g/plant while anthocyanin production was 170.27µmol/plant. From those 4
experiments, it can be concluded that to obtain the highest protein and
anthocyanin production, waterleaf must be harvested every 15 days from 30 until
75 days after planting. Furthermore, waterleaf must be fertilized in three steps
with 100 kg urea + 100 kg KCl/ha at planting, 25 kg urea + 25 kg KCl/ha at 30
and 60 days after planting. The correlation between protein or anthocyanin
content with the growth and other physiologis components were not consistent.
Keywords : leafy vegetable, protein, anthocyanin, fertilizer, harvest.
RINGKASAN
HILDA SUSANTI. Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum
triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval
Panen. Dibimbing oleh SANDRA ARIFIN AZIZ, MAYA MELATI, dan
SLAMET SUSANTO.
Kolesom merupakan sayuran bergizi berkhasiat obat karena mengandung
protein dan antosianin pada pucuknya. Peningkatan kualitas pucuk kolesom
melalui teknik budidaya pertanian harus dilakukan sebagai langkah untuk
menyusun panduan praktek budidaya yang baik (Good Agriculture
Practices/GAP) sayuran kolesom yang dapat diterapkan oleh masyarakat luas.
Penelitian untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen telah dilakukan di kebun
percobaan IPB, Leuwikopo, Bogor.
Percobaan pertama untuk mempelajari pengaruh berbagai dosis pupuk
nitrogen+kalium dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Februari
2010. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 2
faktor dan 3 ulangan. Dua faktor tersebut adalah dosis pupuk N+K (50 kg urea +
50 kg KCl/ha, 50 kg urea + 100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg
urea + 100 kg KCl/ha) dan interval panen (30, 15, dan 10 hari). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dosis pupuk 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan interval panen
15 hari memberikan produksi protein pucuk kolesom tertinggi yaitu sebesar 4.72
g/tanaman. Produksi antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh masing-
masing perlakuan 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/tanaman) atau
interval panen 10 hari (165.27 µmol/tanaman), namun tidak dipengaruhi oleh
interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Terdapat korelasi positif antara
kandungan protein dengan klorofil; kandungan antosianin dengan gula;
kandungan antosianin dengan semua komponen pertumbuhan, kecuali bobot
kering daun.
Percobaan ke dua untuk mempelajari pengaruh berbagai pemupukan N+K
secara bertahap dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian
menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Dua faktor
tersebut adalah interval panen (15 dan 30 hari) dan pemupukan N+K bertahap
yang meliputi frekuensi dengan total dosis N+K yang berbeda (1 kali dengan 100
kg urea + 100 kg KCl/ha, 3 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 5 kali
dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 3 kali dengan 150 kg urea + 150 kg KCl/ha,
5 kali dengan 150 kg urea + 150 kg KCl/ha). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa interaksi antara perlakuan interval panen 15 hari dengan pemupukan
bertahap pada frekuensi 3 kali dengan total dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha
menghasilkan produksi protein (13.90 g/tanaman) dan antosianin (250.61
µmol/tanaman) tertinggi dalam pucuk kolesom layak jual. Kandungan protein
berkorelasi positif dengan klorofil.
Percobaan ke tiga untuk mempelajari pengaruh aplikasi pemupukan N+K
melalui daun pada dua interval panen terhadap produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom telah dilaksanakan pada bulan april sampai juli 2010. Penelitian
pot menggunakan rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor
pertama adalah interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Faktor ke dua adalah aplikasi
pupuk daun N+K yang meliputi frekuensi penyemprotan pupuk daun dengan dosis
pupuk dasar N+K yang berbeda yaitu 0 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha,
2 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 4 kali dengan 50 kg urea + 50 kg
KCl/ha, 2 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 4 kali dengan 100 kg urea +
100 kg KCl/ha. Konsentrasi pupuk daun yang digunakan adalah 0.2% urea + 0.1%
KCl. Penyemprotan pupuk daun sebanyak 4 kali dan pemberian pupuk dasar
sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen 15 hari sekali
menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi yaitu masing-
masing sebesar 5.69 g/tanaman dan 109.44 µmol/tanaman. Kandungan protein
berkorelasi positif dengan klorofil dan gula.
Percobaan ke empat dilakukan untuk mempelajari pengaruh berbagai
aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui tanah dan daun terhadap produksi protein
dan antosianin pucuk kolesom pada bulan Oktober sampai Desember 2010.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 ulangan dan
4 perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dengan atau tanpa aplikasi pupuk
melalui daun. Perlakuan tersebut adalah aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui
tanah (150 kg urea + 150 kg KCl); aplikasi 100, 75, dan 50% dosis pupuk N+K
melalui tanah dengan penambahan aplikasi pupuk daun 0.2% urea dan 0.1% KCl.
Pemupukan melalui tanah dilakukan pada 0, 30, dan 60 HST, sedangkan aplikasi
pupuk daun dilakukan pada 15, 30, 45, dan 60 HST. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi selama 75
HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan perlakuan aplikasi 100% dosis
pupuk N+K melalui tanah, yaitu berturut-turut sebesar 16.98 g/tanaman dan
170.27 µmol/tanaman. Kandungan protein dan antosianin tidak berkorelasi
dengan semua komponen pertumbuhan dan fisiologis lainnya.
Berdasarkan hasil 4 percobaan maka dapat disimpulkan bahwa usaha
peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama periode
tanam 75 hari yang dapat dijadikan informasi awal dalam penyusunan panduan
Good Agriculture Practices (GAP) sayuran kolesom adalah melalui pemanenan
pucuk setiap 15 hari sekali, penggunaan 5 ton pupuk kandang ayam/ha dan 50 kg
SP-18/ha sebagai pupuk dasar, serta pemupukan urea + KCl yang dilakukan
dalam 3 tahapan yaitu 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada saat tanam, 25 kg urea +
25 kg KCl/ha pada 30 dan 60 HST. Kandungan protein mengalami peningkatan
sejalan dengan pertambahan umur tanaman pada masa vegetatif dan akan
mengalami penurunan pada masa reproduktif. Kandungan antosianin akan
menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman dan akan mengalami
peningkatan kembali pada saat kolesom mengalami stres abiotik akibat
pemanenan yang intensif. Kandungan protein secara konsisten tidak berkorelasi
dengan biomassa tanaman dan kandungan antosianin, sedangkan kandungan
antosianin secara konsisten tidak berkorelasi dengan kandungan klorofil. Korelasi antara kandungan protein dengan klorofil dan gula, maupun kandungan antosianin
dengan biomassa tanaman dan gula bervariasi antar percobaan.
Kata Kunci : Sayuran daun, protein, antosianin, pemupukan, pemanenan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya tulis ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,
atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak
sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN
PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)
DENGAN PEMUPUKAN NITROGEN+KALIUM DAN
INTERVAL PANEN
HILDA SUSANTI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Mayor Agronomi dan Hortikultura
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M. Si
Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M. Si
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr
Dr. Ir. Yul H. Bahar
Judul Disertasi : Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum
triangulare (Jacq.) Wild) dengan Pemupukan
Nitrogen+Kalium dan Interval Panen
Nama : Hilda Susanti
NIM : A262080011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S.
Ketua
Dr. Ir. Maya Melati, M.S., M.Sc. Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr
Anggota Anggota
Mengetahui
Ketua Mayor Agronomi dan Hortikultura Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 16 Januari 2012 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian adalah budidaya sayuran berkhasiat obat, dengan judul Produksi Protein
dan Antosianin Pucuk Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Wild) dengan
Pemupukan Nitrogen+Kalium dan Interval Panen.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S; Dr.
Ir. Maya Melati, M.S, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Slamet Susanto, M.Agr selaku
pembimbing yang telah banyak memberikan masukan berupa pengalaman, saran,
dan kritik, serta membukakan cakrawala pemikiran. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional atas beasiswa selama
penulis menjalankan pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan
pascasarjana di IPB, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan atas bantuan
sebagian dana penelitian, serta kepada ayah, ibu, suami dan seluruh keluarga atas
segala dukungannya.
Sebuah artikel berjudul Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf
Shoots (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) at Different Levels of
Nitrogen+Potassium and Harvest Intervals yang merupakan bagian dari disertasi
diterbitkan pada Jurnal Agronomi Indonesia, Agustus 2011, volume 39, nomor 2,
halaman 119-123.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pelaihari pada tanggal 31 Januari 1980 dari ayah
Syakhril Syukur, B.Sc dan ibu Tuti Hariyati. Penulis merupakan putri ke dua dari
tiga bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan dr. R.M.N. Haryono
Novianto dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Agung Haryo Susanto.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi Fakultas
Pertanian Universitas Lambung Mangkurat dan lulus pada tahun 2002. Penulis
diterima di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana IPB pada tahun 2004
dan lulus pada tahun 2006. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor
pada Mayor Agronomi dan Hortikultura Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada
tahun 2008 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional RI.
Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Lambung
Mangkurat sejak tahun 2002. Selama mengikuti program S3, penulis menjadi
Ketua Forum Mahasiswa Agronomi dan Hortikultura SPs IPB peride 2009-2010.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….. v
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… vi
PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
Latar Belakang ……………………………………………………. 1
Rumusan Masalah ………………………………………………… 3
Tujuan Penelitian …………………………………………………. 4
Hipotesis …………………………………………………………. 4
Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………. 5
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………. 7
Kolesom …………………………………………………………. 7
Antosianin ………………………………………………………… 8
Protein ……………………………………………………………. 10
Pemupukan ……………………………………………………….. 12
Nitrogen …………………………………………………………. 12
Kalium …………………………………………………………… 14
Pupuk Daun ……………………………………………………… 15
Pemanenan ………………………………………………………. 15
KEADAAN UMUM PENELITIAN ……………………………………. 17
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI DOSIS PUPUK
NITROGEN+KALIUM DAN INTERVAL PANEN ……………………. 21
Abstrak …………………………………………………………… 21
Pendahuluan ……………………………………………………… 22
Bahan dan Metode ……………………………………………… 23
Waktu dan Tempat ………………………………………. 23
Bahan dan Alat …………………………………………… 22
Metode Penelitian ………………………………………… 24
Pelaksanaan Percobaan ……………………………………. 25
Pengamatan ………………………………………………. 26
Hasil dan Pembahasan ………………………………………….. 27
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ………………………… 27
Komponen Fisiologis Tanaman …………………………….. 27
Komponen Pertumbuhan Tanaman ………………………… 39
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk
Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan
Fisiologis …………………………………………………….. 44
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom …………… 45
Kesimpulan ………………………………………………………. 46
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN BERTAHAP
NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN ……………. 47
Abstrak ………………………………………………………… 47
Pendahuluan …………………………………………………… 48
Bahan dan Metode ……………………………………………… 49
Waktu dan Tempat ………………………………………… 49
Bahan dan Alat …………………………………………… 49
Metode Penelitian ………………………………………. 49
Pelaksanaan Percobaan ……………………………………. 51
Pengamatan ……………………………………………… 52
Hasil dan Pembahasan …………………………………………. 52
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam …………………………. 52
Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. 53
Komponen Pertumbuhan Tanaman ……………………… 64
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk
Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan
Fisiologis …………………….. ……………………………… 69
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom ………… 70
Kesimpulan ……………………………………………………… 70
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN APLIKASI PUPUK DAUN
NITROGEN+KALIUM PADA DUA INTERVAL PANEN ……………. 71
Abstrak ………………………………………………………. 71
Pendahuluan …………………………………………………. 72
Bahan dan Metode ……………………………………………… 73
Waktu dan Tempat ………………………………………. 73
Bahan dan Alat …………………………………………… 73
Metode Penelitian ………………………………………. 73
Pelaksanaan Percobaan …………………………………… 74
Pengamatan ……………………………………………… 75
Hasil dan Pembahasan …………………………………………. 76
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam …………………………. 76
Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. 77
Komponen Pertumbuhan Tanaman ………………………. 86
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk
Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan
Fisiologis ……………………..………………………………. 92
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom…………….. 93
Kesimpulan …………………………………………………… 94
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA BERBAGAI APLIKASI
PUPUK NITROGEN+KALIUM MELALUI TANAH DAN DAUN ……. 95
Abstrak ………………………………………………………… 95
Pendahuluan …………………………………………………. 96
Bahan dan Metode ……………………………………………. 97
Waktu dan Tempat ……………………………………. 97
Bahan dan Alat ………………………………………… 97
Metode Penelitian ……………………………………… 97
Pelaksanaan Percobaan ………………………………… 98
Pengamatan …………………………………………… 99
Hasil dan Pembahasan ………………………………………… 100
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ………………………… 100
Komponen Fisiologis Tanaman ……………………………. 101
Komponen Pertumbuhan Tanaman ….……………………… 107
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk
Kolesom dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan
Fisiologis ……………………..………………………………. 110
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom ……………. 110
Kesimpulan …………………………………………………… 111
PEMBAHASAN UMUM ………………………………………. 113
KESIMPULAN ………………………………………… 129
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………. 131
LAMPIRAN ……………………………………………………… 145
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Profil asam amino dari daun kolesom dan rekomendasi FAO/WHO ...... 11
2 Data iklim penelitian pada bulan Nopember 2009-Desember 2010 ....... 17
3 Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang
berbeda selama 80 HST .......................................................................... 24
4 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman .................................................................................................. 27
5 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 30
6 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan dosis pupuk N+K umur 80 HST .................... 31
7 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 34
8 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dan interval panen pada umur 20, 50 dan 80 HST .............. 36
9 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N+K pada umur 20, 50 dan 80 HST .................. 38
10 Bobot basah pucuk kolesom pada berbagai interval panen dan dosis
pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST ................................................... 41
11 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara
interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 50 dan 80 HST serta
total selama 80 hari ................................................................................. 42
12 Bobot basah dan kering daun, batang, dan umbi kolesom pada berbagai
interval panen dan dosis pupuk N+K pada umur 80 HST ...................... 43
13 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada
berbagai perlakuan dosis pupuk N+K dan interval panen pada umur 80
HST ........................................................................................................... 44
14 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada
berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K ....................................... 45
15 Produksi protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan dosis pupuk N+K ............................................ 45
16 Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang
berbeda selama 90 hari ............................................................................ 50
17 Pemupukan bertahap nitrogen dan kalium berdasarkan waktu dan total
dosis ......................................................................................................... 50
18 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman (percobaan II) ............................................................................ 53
19 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K dan interval panen pada umur 30, 60, dan 90
HST .......................................................................................................... 55
20 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan tahapan pemupukan N+K pada umur 90 HST
................................................................................................................... 56
21 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 58
22 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 60
23 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 90 HST ...... 61
24 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ........... 63
25 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST ...................... 65
26 Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama
90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan
bertahap N+K .......................................................................................... 66
27 Bobot basah dan kering kolesom umur 90 HST pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K .................................................... 68
28 Bobot basah dan kering umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K ............ 69
29 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin umur 90 HST dengan
berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada berbagai
interval panen dan pemupukan bertahap N+K ........................................ 69
30 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 90
hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan
bertahap N+K ............................................................................................ 70
31 Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan berbagai frekuensi
penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl .................................. 74
32 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman (percobaan III) .......................................................................... 76
33 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 79
34 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 81
35 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 84
36 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ............ 86
37 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST ....................... 84
38 Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama
90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi
pupuk daun N+K ...................................................................................... 89
39 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K .......................... 90
40 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
.................................................................................................................. 91
41 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K ........................... 92
42 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur
90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis
kolesom pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K ... 93
43 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada
berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
selama 90 hari .......................................................................................... 93
44 Berbagai perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .......... 98
45 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
kolesom (percobaan IV) .......................................................................... 100
46 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N + K melalui tanah dan daun selama 90 hari ............................. 102
47 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ............................... 103
48 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ................................. 105
49 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ................................ 107
50 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari ........................................... 108
51 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari
dengan berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ............... 109
52 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari
dengan berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .. .............. 110
53 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom umur
90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis
kolesom pada berbagai aplikasi pupuk daun N+K melalui tanah dan
daun ......................................................................................................... 110
54 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 75
hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun .............. 111
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Bagan kegiatan penelitian …….……………………………………… 6
2 Foto tanaman kolesom …….………………………………………… 7
3 Struktur umum antosianin …………………………………………… 9
4 Jalur biosintesis antosianin ……………………………………………. 10
5 (a) Kerusakan yang ditimbulkan oleh secondary pathogen; (b)
kerusakan yang ditimbulkan oleh belalang …………………………… 19
6 (a) Kuncup daun gejala penyakit busuk batang dan akar; (b) kolesom
yang terserang penyakit busuk batang ………………………………… 19
7 Daun yang terserang penyakit bercak merah …….……………………. 20
8 (a) Pigmen antosianin yang terdapat pada batang; (b) pigmen
antosianin yang terdapat pada daun kolesom ……..…………………… 20
9 Setek kolesom berukuran panjang 10 cm ……………………………… 23
10 Pucuk kolesom berukuran panjang 10 cm ……………………………… 26
11a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 30 hari ………….………………… 28
11b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 15 hari …………………………… 28
11c Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 10 hari ……..….…………………. 28
12a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 30 hari ………..…………………. 32
12b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 15 hari ………..…………………. 33
12c Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 10 hari …….….…………………. 33
13a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80
HST ……………………………………………………………..…… 34
13b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80
HST ……………………………………………………………….…… 35
13c Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80
HST ……………………………………………………………….…… 35
14a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST ….. 37
14b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST … 37
14c Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan 80 HST …. 38
15a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 30 hari …….……………………………. 39
15b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 15 hari ….……………………………… 40
15c Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N+K dengan interval panen 10 hari ….……………………………… 40
16a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari …………………………………………………………… 54
16b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari …………………………………………………………… 54
17a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari …….……………………………………………………. 57
17b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari …….……………………………………………………. 57
18a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari ……………………………………………………….…. 59
18b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari ……………………………………………………….…. 59
19a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari …. 62
19b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 30 hari … 62
20a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari … 64
20b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval panen 15 hari …. 65
21a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 15 hari …………………………..……………………… 77
21b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 30 hari …………………..……………………………… 78
22a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis)
dengan interval panen 15 hari ………………………………………… 80
22b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis)
dengan interval panen 30 hari ………………………………………….. 81
23a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 15 hari ………………………………………………….. 83
23b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 30 hari …………………………………………………. 83
24a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 15 hari …………………………………………………. 85
24b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan
interval panen 30 hari ………………………………………………….. 85
25a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen
15 hari ………………………………..………………………………… 86
25b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
daun N+K (frekuensi penyemprotan, total dosis) dengan interval panen
15 hari …………………………………………………………………. 87
26 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun ………….………………………… 101
27 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun …………………………. 103
28 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun ………..………………………… 104
29 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun …………………………………… 106
30 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
N+K melalui tanah dan daun ………….……………………………… 108
31 Mekanisme antosianin sebagai modulator sinyal stres ………………... 121
32 Jalur mekanisme biosintesis protein dan antosianin ………………….. 122
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis sifat kimia tanah ................................................................ 147
2 Metode Lowry untuk analisis protein ..................................................... 148
3 Metode analisis antosianin dan klorofil .................................................. 150
4 Metode penentuan gula total ................................................................... 151
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kolesom merupakan salah satu tumbuhan gulma yang berkhasiat obat.
Tumbuhan ini asli dari Amerika Tropis dan pada tahun 1915 diimpor ke Jawa
melalui Suriname (Heyne 1987). Kolesom aman dikonsumsi berdasarkan uji
toksisitas akut (Nugroho 2000). Bagian tanaman yang dapat dikonsumsi adalah
umbi dan daun. Umbi tanaman ini cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia
sebagai obat kuat dalam campuran minuman dan telah lama digunakan nenek
moyang kita sebagai pengganti ginseng (Panax ginseng) karena ada kesamaan
morfologi akar, sedangkan daun kolesom dapat dikonsumsi segar sebagai sayur
lalapan (Hargono 1995; Hernani et al. 2002).
Daun kolesom memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karena
memiliki nilai gizi dan antioksidan yang tinggi. Kandungan gizi yang terkandung
dalam 100 g bahan kering adalah 4.6 g protein, 1.0 g serat, 4.4 g karbohidrat, 280
mg asam askorbat, 2.44 mg Ca, 6.10 mg K, 2.22 mg Mg, 0.28 mg Na, dan 0.43
mg Fe (Mensah et al. 2008).
Salah satu gizi penting yang terdapat pada daun kolesom adalah protein.
Kolesom mengandung 18 macam asam amino. Kandungan asam amino tertinggi
yang terkandung di dalamnya adalah asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin
(563.8 g/kg). Berdasarkan kandungan tersebut maka kolesom menjadi salah satu
dari 3 sayuran terpilih di Afrika selain Amaranthus cruentus dan Telferia
occidentalis yang direkomendasikan sebagai sayuran murah sumber protein
karena kemampuannya dalam mensintesis asam amino (Fasuyi 2007).
Penelitian Susanti et al. (2008) menunjukkan bahwa daun kolesom
mengandung bahan bioaktif flavonoid, steroid, dan alkaloid. Hasil penelitian
Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa salah satu senyawa flavonoid yang
telah terdeteksi adalah antosianin. Menurut Castañeda-Ovando et al. (2009),
antosianin merupakan pigmen penting pada jaringan tanaman yang menentukan
warna jingga, merah tua, merah muda, violet dan biru. Peranannya terhadap
kesehatan manusia adalah sebagai antioksidan alami. Studi epidemiologi
menunjukkan bahwa sayuran yang mengandung antioksidan dapat melindungi
tubuh dari kerusakan oksidatif dengan menghambat radikal bebas dan oksigen
reaktif.
Usaha peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom diduga
dapat dilakukan dengan pemupukan. Penelitian kolesom dengan menggunakan
pupuk kandang ayam yang dilakukan oleh Susanti et al. (2008) mendapatkan
bahwa dosis pupuk kandang ayam 5 ton/ha dapat direkomendasikan sebagai
pupuk dasar dalam budidaya kolesom. Penelitian Mualim et al. (2009)
menunjukkan bahwa produksi antosianin kolesom juga dipengaruhi oleh
pemupukan anorganik dan unsur yang menjadi faktor pembatas pada produksi
antosianin kolesom adalah kalium, namun dosis pupuk kalium yang memberikan
produksi antosianin kolesom yang optimal belum diketahui. Mengingat kolesom
yang dikonsumsi diharapkan mengandung protein yang tinggi maka pemupukan
nitrogen diperlukan. Kombinasi antara pemupukan kalium dan nitrogen perlu
diketahui untuk mendapatkan daun kolesom yang mengandung protein dan
antosianin yang tinggi.
Pucuk kolesom dapat dipanen berkali-kali (Sugiarto 2006), namun umur
produksi pucuk kolesom hanya berkisar 2 bulan kemudian menurun (Fontem &
Schipper 2004). Pemanenan pucuk kolesom diduga mengakibatkan tanaman
memerlukan hara tambahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan
rejuvenasi, pertumbuhan, dan produksi. Oleh karena itu perlu dipelajari teknik
pemupukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman agar dapat diperpanjang
umur produksinya. Salah satu usaha yang mungkin dapat dilakukan adalah
pemberian pupuk N dan K melalui tanah dan daun secara bertahap.
Penelitian mengenai pemberian pupuk N secara bertahap telah dilakukan
pada tanaman lain. Pemberian pupuk N secara bertahap berdasarkan frekuensi
dan dosis yang diberikan dapat meningkatkan kualitas dan kandungan protein
gandum (Garrido-Lestache et al. 2004; Delin et al. 2005; Fuertes-Mendizabal et
al. 2010). Pemberian pupuk N dan K melalui tanah secara bertahap berdasarkan
waktu dan dosis yang diberikan untuk memperpanjang umur produksi,
meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan.
Pemberian pupuk N dengan konsentrasi 2% urea melalui daun dapat
meningkatkan kandungan klorofil, protein, dan menunda senescence pada
tanaman blackgram (Sritharan et al. 2005). Pemberian pupuk K melalui daun
dapat meningkatkan klorofil, hara mineral, serta kualitas buah tomat (Chapagain
& Wiesman 2004). Aplikasi kombinasi pupuk N dan K melalui daun yang
dilakukan oleh Marman (2010) menunjukkan bahwa pemberian pupuk daun
dengan konsentrasi 0.2% urea dan 0.1% KCl dapat meningkatkan produksi dan
kandungan klorofil pucuk kolesom.
Teknik pemanenan seperti cara panen, waktu panen pertama dan interval
panen memainkan peranan penting untuk mendapatkan produksi maksimum dari
pucuk tanaman yang dipangkas (Patterson et al. 1998). Pemanenan dengan cara
pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan
kandungan antosianin (Li & Strid 2005). Interval panen diduga juga
mempengaruhi produksi dan kandungan protein daun. Kandungan protein pada
Napier grass dan Cratylia argentea mengalami penurunan ketika interval panen
diperpanjang (Manyawu et al. 2003; Sanchez et al. 2007). Penelitian mengenai
interval panen daun kolesom terhadap produksi protein dan antosianin belum
dilakukan.
Peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom sebagai
sayuran berkhasiat obat sangat penting dilakukan sebagai langkah untuk
menyusun pedoman praktek budidaya yang baik (Good Agriculture Practice/
GAP) sayuran kolesom. Sejauh ini belum ada pedoman praktek budidaya yang
baik untuk tanaman kolesom yang relevan dengan kondisi Indonesia (Indo-GAP).
Rumusan Masalah
Kolesom merupakan sayuran bergizi berkhasiat obat karena mengandung
protein dan antosianin. Pemanenan pucuk dapat dilakukan berkali-kali tetapi
dengan masa produksi yang terbatas, oleh karena itu diperlukan usaha untuk
memperpanjang masa produksi, meningkatkan produksi protein dan antosianin
dari pucuk kolesom yang dipanen.
Unsur N dan K merupakan unsur yang paling dominan terlibat dalam
proses metabolisme primer dan sekunder tanaman. Pemberian kedua unsur ini
dalam bentuk kombinasi pupuk diharapkan dapat meningkatkan produksi protein
dan antosianin dari pupuk kolesom. Belum ada hasil penelitian yang memberikan
informasi mengenai teknik pemupukan yang meliputi penentuan dosis pupuk,
metode dan waktu aplikasi yang tepat terhadap produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom. Pemberian pupuk N dan K melalui daun sebagai pelengkap dari
pupuk yang diberikan melalui tanah diharapkan dapat membantu untuk
meningkatkan produksi protein dan antosianin kolesom karena pemberian pupuk
daun menawarkan metode pemberian hara kepada tanaman yang lebih cepat
daripada aplikasi melalui tanah.
Interval panen merupakan bagian dari teknik pemanenan yang juga perlu
diperhatikan untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom.
Interval panen yang tepat diperlukan untuk memberikan waktu yang cukup untuk
meningkatkan rejuvenasi dan proses penyembuhan luka jaringan yang cepat pasca
pemanenan agar tidak menurunkan produksi dan menyebabkan kematian
tanaman.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Mempelajari respon produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
terhadap aplikasi pupuk nitrogen + kalium melalui tanah dan daun serta
kombinasi keduanya pada berbagai interval panen.
2. Mempelajari keterkaitan antara pertumbuhan tanaman kolesom dengan
perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk.
3. Mempelajari keterkaitan antar komponen fisiologis tanaman kolesom
dengan perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk.
4. Memberikan informasi awal untuk penyusunan GAP sayuran kolesom.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Peningkatan dosis pupuk nitrogen+kalium yang diberikan melalui tanah
dan daun serta kombinasi keduanya pada interval panen tertentu dapat
meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom.
2. Perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk terkait dengan
perubahan pertumbuhan tanaman kolesom.
3. Perubahan kandungan protein dan antosianin pucuk terkait dengan
perubahan komponen fisiologis lain pada tanaman kolesom.
Ruang Lingkup Penelitian
Berbagai percobaan yang saling terkait diperlukan untuk menjawab tujuan
dan menguji kebenaran hipotesis yang telah diajukan. Oleh karena itu, penelitian
ini dibagi menjadi 4 percobaan yang saling terkait, yaitu (1) penentuan dosis
pupuk nitrogen + kalium dan interval panen; (2) pemupukan nitrogen + kalium
secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis pupuk dasar pada interval panen
tertentu; (3) aplikasi pupuk nitrogen + kalium melalui daun dengan berbagai
frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar pada interval panen tertentu; (4)
aplikasi pemupukan nitrogen + kalium melalui tanah dan daun. Gambar 1
memperlihatkan rangkaian percobaan tersebut yang tertuang dalam bagan alir
penelitian.
Gambar 1 Bagan alir penelitian
Percobaan IV
Aplikasi kombinasi pemupukan N+K melalui tanah dan
daun
Percobaan I
Penentuan dosis pupuk N+K dan interval panen
Output :
Dosis pupuk N+K standar dan interval panen
terbaik
Output :
Frekuensi pemberian pupuk N+K melalui tanah
dengan dosis pupuk dasar tertentu dan interval
panen terbaik
Percobaan II
Pemupukan N+K secara bertahap berdasarkan
frekuensi dan dosis pupuk dasar pada interval
panen tertentu
Percobaan III
Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan
berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis
pupuk dasar pada interval panen tertentu
Output :
Frekuensi penyemprotan pupuk N+K melalui
daun dengan dosis pupuk dasar tertentu dan
interval panen terbaik
Percobaan pendahuluan :
Penentuan dosis konsentrasi pupuk
N+K melalui daun
Output :
Dosis konsentrasi terbaik pupuk
N+K melalui daun
Output :
Metode aplikasi pemupukan N+K terbaik
1. Peningkatan produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom
2. Informasi awal untuk penyusunan GAP sayuran kolesom
TINJAUAN PUSTAKA
Kolesom
Kolesom merupakan tanaman sukulen yang memiliki lintasan
metabolisme C3 dan inducible CAM (Crassulacean Acid Metabolism) (Pieters et
al. 2003). Tumbuhan ini asli dari Amerika Tropis dan pada tahun 1915 diimpor ke
Jawa melalui Suriname (Heyne 1987). Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam
divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa
Caryophyllales, suku Portulacaceae, marga Talinum. Sinonim tanaman ini secara
botani adalah Talinum racemosum Rohrbach (Hutapea 1994).
Gambar 2 Foto tanaman kolesom
Kolesom merupakan tanaman herba menahun yang tumbuh tegak. Batang
tanaman ini berbentuk bulat, pangkalnya berwarna ungu kemerahan, sedangkan
batang bagian tengah sampai ujung berwarna hijau (Wahyuni & Hadipoentyanti
1999). Daunnya berbentuk oblongus-spatulatus, hijau muda, tebal berdaging,
filotaksis spiral dan kadang-kadang berhadapan. Secara anatomi, daunnya
memiliki tipe dorsiventral, stomata parasitik (epidermis atas dan bawah),
parenkim daun (jaringan sponsa) yang mengandung kristal kalsium oksalat bentuk
roset dan kelenjar minyak atsiri, berkas pembuluh kolateral. Bunganya berwarna
merah jambu keunguan. Bentuk tangkai bunga adalah segitiga dan bentuk
rangkaian bunganya adalah tandan (racemus). Bunga mekar pada pagi hari.
Buahnya berbentuk bulat memanjang, berwarna hijau kekuningan, dan berisikan
biji hitam mengkilat. Biji dari kolesom berbentuk lonjong pipih dan berdiameter
± 1 mm. Akarnya menebal (membengkak) menyerupai akar ginseng (Panax
ginseng). Masyarakat sering sukar membedakan antara kolesom (Talinum
triangulare) dan som jawa (Talinum paniculatum). Ciri-ciri anatomi kedua jenis
tanaman tersebut sukar dibedakan. Perbedaannya terletak pada ciri-ciri
morfologinya yaitu filotaksis, tipe infloresensi, bentuk buah, warna, dan waktu
bunga mekar. Som jawa memiliki filotaksis berhadapan, tipe infloresensi malai
(panicula) dengan tangkai bunga bersudut tumpul, buah berbentuk kapsula (bulat
dan berwarna merah-coklat), dan bunga mekar pada sore hari (Santa & Prajogo
1999).
Kolesom aman dikonsumsi berdasarkan uji toksisitas akut (Nugroho
2000). Umbi akarnya dimanfaatkan untuk mengobati neurasthenia (kelelahan
tubuh), debilitas (kelemahan tubuh) setelah sembuh dari penyakit kronik
(Hargono 2005), dan obat lemah syahwat (Hutapea 1994). Penelitian Susanti et
al. (2008) menunjukkan bahwa akar kolesom mengandung alkaloid, steroid,
saponin, dan tanin.
Daun tanaman kolesom memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat
karena memiliki nutrisi dan antioksidan yang penting. Kandungan gizi dan
mineral dalam 100 g bahan kering daun kolesom adalah 4.4 g karbohidrat, 4.6 g
protein, 1.0 g serat, dan 280 mg asam askorbat; sedangkan kandungan mineralnya
adalah 2.44 mg kalsium (Ca), 6.10 mg kalium (K), 2.22 mg magnesium (Mg),
0.28 mg natrium (Na), dan 0.43 mg besi (Fe) (Mensah et al. 2008). Penduduk
Kalimantan Selatan menggunakan daun kolesom sebagai campuran bedak wajah
(Susanti et al. 2008). Mualim et al. (2009) menyatakan bahwa daun kolesom
mengandung antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Ofusori et al.
(2008) menyatakan bahwa kandungan antioksidan dari ekstrak daun kolesom
dapat memberikan pengaruh baik terhadap persyarafan otak dan meningkatkan
kemampuan kognitif pada tikus albino Swiss. Hasil penelitian Odukoya et al.
(2007) menunjukkan bahwa nilai aktivitas antioksidan dari ekstrak daun kolesom
adalah 19.76% dengan kandungan fenol total dan asam askorbat masing-masing
sebesar 21.83 dan 116.35 mg/ 100 g bobot kering.
Antosianin
Antosianin (dari bahasa Yunani, anthos artinya bunga dan kyanos artinya
biru) merupakan pigmen penting dalam tanaman yang menentukan warna jingga,
merah tua, merah muda, violet dan biru pada tanaman. Pigmen ini merupakan
senyawa fenolik yang dapat larut dalam air dan termasuk dalam kelompok
flavonoid. Umumnya antosianin banyak terdapat pada jaringan epidermis, tetapi
juga terdapat pada jaringan palisade dan spon mesofil daun, kulit buah, dan umbi
(Oren-Shamir 2009).
Struktur dasar dari antosianin adalah antosianidin. Antosianidin atau
aglikon terdiri dari cincin aromatik (A) yang berikatan dengan cincin heterosiklik
(C) yang berisikan oksigen dan diikat oleh ikatan karbon-karbon pada cincin
aromatik ketiga (B). Ketika antosianidin dijumpai dalam bentuk glikosida, maka
disebut antosianin. Antosianin sangat tidak stabil dan peka terhadap kerusakan.
Stabilitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, suhu, struktur kimia,
cahaya, pelarut, enzim, flavonoid, protein, dan ion metal (Castañeda-Ovando et al.
2009).
Gambar 3 Struktur umum antosianin (Castañeda-Ovando et al. 2009)
Antosianin disintesis dalam jalur biosintesis shikimat dan menggunakan
fenilalanin sebagai prekursornya (Gambar 4). Enzim-enzim yang bekerja adalah
PAL (phenylalanineammonialyase), CHS (chalcone synthase), CHI (chalcone
isomerase), F3H (flavonone 3-hydroxylase), F3‘H (flavonoid 30-hydroxylase),
DFR ( dihydroflavonol reductase), LDOX ( anthocyanidin synthase), GST
(glutathione-S-transferase) (Guo et al.2001).
Antosianin pada tanaman berfungsi sebagai tabir terhadap cahaya
ultraviolet B dan melindungi kloroplas terhadap intensitas cahaya tinggi.
Antosianin juga dapat berperan sebagai sarana transport untuk monosakarida dan
sebagai pengatur osmotik selama periode kekeringan dan suhu rendah. Secara
umum, antosianin diyakini dapat meningkatkan respon antioksidan tanaman untuk
pertahanan hidup pada stres biotik atau abiotik. Selain itu, antosianin juga
memainkan peranan penting dalam reproduksi tanaman yaitu menarik polinator
yang dapat membantu dalam penyerbukan bunga (Mori et al. 2007).
Gambar 4 Jalur biosintesis antosianin (Guo et al.2001)
Antosianin dianggap sebagai komponen penting pada nutrisi manusia
sebagai antioksidan yang lebih tinggi daripada vitamin C dan E. Senyawa ini
dapat menangkap radikal bebas dengan sumbangan atom hidrogen fenolik.
Antosianin dapat ditransportasikan dalam tubuh manusia dan menunjukkan
aktivitas sebagai antitumor, antikanker, antivirus, anti peradangan, menghambat
agregasi trombosit, menurunkan permeabilitas dinding kapiler darah dan
meningkatkan kekebalan tubuh (Stintzing & Carle 2004).
Protein
Protein merupakan suatu rantai panjang dari asam amino yang saling
berkaitan satu sama lain dengan ikatan peptida, di mana kutub positifnya adalah
gugus amino (NH2) dan kutub negatifnya adalah gugus karboksil (COOH).
Komposisi dan ukuran tiap protein bergantung kepada jenis dan sub unit asam
aminonya. Umumnya terdapat 18 sampai 20 jenis asam amino yang berbeda dan
sebagian besar protein mempunyai secara lengkap 20 asam amino. Perbedaan
tersebut menyebabkan beragamnya bobot molekul protein. Sebagian besar
protein tumbuhan yang telah dicirikan mempunyai bobot molekul > 40 000 g/mol
(juga disebut dalam satuan Dalton) (Campbell & Farrell 2006).
Konsumsi protein sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai zat
pembangun, struktur setiap enzim atau bertindak sebagai enzim, dan reseptor yang
sangat penting dalam metabolisme dalam tubuh (Cseke et al. 2006). Protein
merupakan sumber N untuk tubuh dalam pembentukan zat-zat yang mengandung
N dan sebagai sumber asam amino esensial yang tidak dapat dibentuk dalam
tubuh. Selain itu, protein dapat juga digunakan untuk energi kerangka karbon
asam amino yang dikonversi menjadi glukosa (asam amino glukogenik) dan
disimpan sebagai glikogen atau trigliserida (Montgomery et al. 1993).
Tabel 1 menunjukkan profil asam amino dari daun kolesom yang
dibandingkan dengan kandungan asam amino untuk diet manusia yang dianjurkan
oleh FAO/WHO (1973) dalam satuan g/kg asupan sayuran daun.
Tabel 1 Profil asam amino daun kolesom dan rekomendasi FAO/WHO
Jenis
Asam amino
Kandungan asam amino
Kolesom Rekomendasi FAO/WHO (1973)
……………….. g/kg ………………….
Alanin 382.5
Asam aspartat 438.1
Arginin 372.5
Glisin 350.6
Asam glutamat 586.3
Histidin 125.6
Isoleusin 351.3 250.0
Lisin 167.5 343.7
Metionin 131.3
Sistein 81.3
Met+Sis 212.5 218.8
Leusin 563.8 437.5
Serin 251.3
Treonin 256.3 250.0
Fenilalanin 388.1
Valin 381.3 312.5
Tirosin 294.4 375.0
Triptofan 113.8 62.5
Sumber : Fasuyi (2007)
Tabel 1 menunjukkan bahwa kolesom mengandung 18 asam amino.
Kandungan asam amino tertinggi yang terkandung di dalam daun kolesom adalah
asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin (563.8 g/kg). Berdasarkan kandungan
tersebut maka kolesom direkomendasikan menjadi salah satu dari 3 sayuran
terpilih di Afrika selain Amaranthus cruentus dan Telferia occidentalis sebagai
sayuran daun sumber protein karena kemampuannya dalam mensintesis asam
amino (Fasuyi 2007). Aletor & Adeogun (1995) menyatakan kandungan protein
daun kolesom berdasarkan bobot basah adalah 2.5 g/100 g.
Pemupukan
Ketersediaan hara pada media tanam merupakan faktor yang sangat
penting bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Ketersediaan hara pada
media tanam dapat dilakukan melalui usaha pemupukan. Pemupukan pada
umumnya dapat diartikan sebagai penambahan zat hara tanaman ke dalam tanah,
namun pupuk juga dapat dilarutkan dalam air kemudian disemprotkan pada daun
(Hardjowigeno 2007).
Nitrogen
Unsur nitrogen (N) merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan
tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan atau
pertumbuhan bagian-bagian vegetatif seperti daun, batang, dan akar. Tanaman
mengabsorpsi N pada waktu tanaman tumbuh aktif, tetapi tidak selalu pada
tingkat kebutuhan yang sama. Banyaknya N yang dapat diabsorpsi tiap hari per
satuan berat tanaman adalah maksimum pada saat masih muda dan berangsur-
angsur menurun dengan bertambahnya usia tanaman (Hardjowigeno 2007).
Unsur N sangat berperan dalam meningkatkan produksi dan kualitas
sayuran. Peningkatan dosis pupuk N sejalan dengan peningkatan biomassa dan
kandungan nitrat pada sayur kubis dan bayam (Chen et al. 2004). Fontem &
Schippers (2004) menyatakan bahwa kolesom sangat membutuhkan unsur N
selama hidupnya. Saat kekurangan N, daun-daun tampak kuning dan gugur.
Kehilangan N dari kloroplas pada daun-daun yang tua menghasilkan daun yang
kuning atau klorosis. Klorosis tampak pertama kali pada daun yang terletak di
bawah.
Nitrat (NO3) dan amonium (NH4) adalah sumber utama N anorganik yang
diserap oleh tumbuhan. N anorganik harus mengalami proses asimilasi untuk
menjadi senyawa organik, terutama asam amino yang diperlukan untuk
pembentukan protein. NH4 dapat digunakan langsung untuk sintesis asam amino,
sedangkan NO3 harus direduksi menjadi NH4 terlebih dahulu. Reduksi NO3
menjadi NH4 merupakan proses asimilasi yang memerlukan energi oksidasi dari
karbohidrat dan terbagi dalam 2 reaksi utama. Reaksi pertama adalah mereduksi
NO3 menjadi nitrit (NO2) yang dikatalisis oleh enzim nitrat reduktase, sedangkan
reaksi ke dua adalah pengubahan NO2 menjadi NH4 yang dikatalisis oleh enzim
nitrit reduktase. NH4 baik yang berasal dari asimilasi NO3 maupun yang diserap
langsung oleh akar agar dapat digunakan dalam sintesis asam amino maka harus
dirubah menjadi glutamat dan glutamin yang dikatalisis oleh enzim glutamat
synthetase dan glutamine synthetase. Modifikasi biokimia dari glutamat dan
glutamin yang dihasilkan dari reaksi transaminasi menghasilkan 20 asam amino
yang dibutuhkan untuk pembentukan protein. Rangka karbon untuk berbagai asam
amino diperoleh dari siklus Calvin, glikolisis, dan siklus krebs (Marschner 1995).
Delgado et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian N yang berlebihan
dapat menurunkan kandungan total antosianin pada anggur tempranillo, namun
pemberian N dalam dosis yang cukup dibutuhkan untuk membentuk antosianin
pada tanaman tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Szostak et al. (2005)
yang menunjukkan bahwa pemberian 0-30 kg N/ha tidak mempengaruhi
kandungan senyawa flavonoid pada biji buckwheat, namun kandungan tersebut
mengalami penurunan secara nyata pada pemberian 60 kg N/ha.
Hasil penelitian Mualim et al. (2009) pada tanaman kolesom menunjukkan
bahwa unsur N tidak menjadi faktor pembatas pembentukan antosianin, namun
perlakuan pemupukan NK (100 kg urea/ha dan 100 kg KCl/ha) memberikan
produksi antosianin tertinggi (59.34 mol/tanaman) pada petakan yang
menggunakan media tanah dan pupuk kandang sapi dalam penelitian tersebut.
Kalium
Kalium merupakan unsur yang sangat mobil dalam tanaman. Unsur
kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari kalium
akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan negatif
nitrat, fosfat atau unsur lain, baik di dalam tanah maupun di dalam tanaman.
Kalium diserap tanaman dalam jumlah mendekati atau bahkan kadang-kadang
melebihi jumlah nitrogen.
Kalium dapat diberikan ke dalam tanah melalui pupuk organik dan
anorganik. Pupuk anorganik yang sering digunakan diantaranya adalah kalium
klorida (KCl). Pupuk KCl mengandung 50-52% K (60-63% K2O). Pupuk
tersebut bervariasi dalam warnanya yaitu merah muda, merah tua, coklat, atau
putih. Variasi warna tersebut tergantung kepada penambangan dan proses
pembuatannya. Bentuk pupuk kalium lainnya adalah kalium sulfat (K2SO4) dan
kalium nitrat (KNO3) yang masing-masing mengandung 50-52% dan 44% K2O
(Havlin et al. 2005).
Kalium pada tanaman berperan dalam proses fisiologis dan metabolisme
dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, serta mempertinggi daya
tahan terhadap cekaman kekeringan dan penyakit (Hardjowigeno 2007). Proses
fotosintesis membutuhkan K+. Pada proses fotosintesis, K sangat esensial melalui
beberapa fungsi antara lain sintesis ATP, produksi dan aktivitas enzim fotosintesis
spesifik, absorbsi CO2 melalui stomata daun, serta menjaga netralitas elektron
selama fotofosforilasi dalam kloroplas. Pergerakan tanaman seperti membuka dan
menutupnya stomata digerakkan oleh K+ melalui tekanan turgor. Selain itu,
akumulasi K+ dalam sel juga mengendalikan tekanan osmotik dan digunakan
untuk pembesaran sel dan daun. Peranan K dalam sintesis protein adalah untuk
aktivasi enzim yang terlibat dalam reaksi dan pemanjangan ikatan peptida
(Szczerba et al. 2009).
Penelitian Mualim et al. (2009) menunjukkan bahwa kalium sangat
dibutuhkan dalam produksi kolesom. Unsur K menjadi faktor pembatas pada
semua komponen produksi yaitu daun, batang, cabang, dan tajuk, serta daun segar
layak jual. Unsur K juga berperan sebagai faktor pembatas dalam produksi
antosianin. Rata-rata produksi antosianin nyata tertinggi sebesar 39.60
mol/tanaman didapatkan dari perlakuan pemupukan 100 kg KCl/ha. Menurut
Delgado et al. (2006), apabila K diberikan dalam jumlah yang berlebihan akan
menurunkan kandungan antosianin jika tidak disertai dengan pemberian N dalam
dosis yang cukup.
Pupuk Daun
Pupuk daun adalah pupuk yang dapat larut dalam air dengan aplikasi
langsung disemprotkan ke daun. Pupuk daun dapat berupa unsur mikro, makro
dan mikro, atau makro saja. Unsur hara yang diberikan melalui metode ini akan
menembus kutikula atau stomata daun dan kemudian memasuki sel. Kelebihan
pupuk daun dibandingkan dengan pupuk akar adalah penyerapan hara berjalan
lebih cepat sehingga dapat segera mengetahui perbaikan defisiensi tanaman.
Frekuensi pemberian pupuk daun dapat dilakukan 2 sampai 3 kali dalam interval
waktu yang pendek, terutama jika defisiensi hara tanaman sudah berat (Havlin et
al. 2005). Kekurangan pupuk daun adalah bila dosis yang diberikan terlalu besar
akan menyebabkan kerusakan daun, yaitu terjadinya nekrosis dan terbakar
(Tagliavini et al. 2002).
Penelitian Chapagan dan Wiesman (2004) menunjukkan bahwa pemberian
pupuk K melalui daun dengan konsentrasi 1% pada 40, 70, dan 100 HST dapat
meningkatkan kandungan klorofil, glukosa, padatan terlarut total, dan N total
tomat dibandingkan tanpa pupuk daun. Pemberian pupuk N melalui daun dengan
konsentrasi 1% yang dilakukan oleh Smolen dan Sady (2009) dapat meningkatkan
kandungan nitrat, nitrogen total, dan penyerapan N pada wortel. Aplikasi
kombinasi pupuk N dan K melalui daun yang dilakukan oleh Marman (2010)
menunjukkan bahwa pemberian pupuk daun dengan konsentrasi 0.2% urea dan
0.1% KCl dapat meningkatkan produksi dan kandungan klorofil pucuk kolesom.
Penelitian pengaruh pemberian N dan K melalui daun terhadap kandungan
protein dan antosianin pucuk kolesom belum pernah dilakukan.
Pemanenan
Pemanenan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan pada
budidaya tanaman obat. Kegiatan ini harus dilakukan secara benar karena akan
berpengaruh terhadap mutu dan zat berkhasiat yang terkandung di dalam tanaman
obat. Periode panen merupakan waktu yang diperlukan untuk memanen hasil
tanaman terhitung mulai dari tanaman tersebut ditanam. Waktu panen tanaman
obat tidak seluruhnya tergantung pada umur tanaman, tetapi didasarkan pada
pemanfaatannya. Hampir semua bagian dari tanaman obat dapat dimanfaatkan
maka waktu panen juga beragam; ada tanaman obat yang dipanen pada waktu
pertumbuhan vegetatif dan ada pula yang dipanen pada masa pertumbuhan
generatif (Syukur & Hernani 2003).
Penelitian mengenai umur dan frekuensi panen terhadap pertumbuhan dan
produksi pucuk kolesom telah dilakukan oleh Sugiarto (2006). Penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara umur dan frekuensi panen tanaman
kolesom yang ditanam pada wadah plastik (polybag). Interaksi keduanya secara
nyata mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah pucuk setiap kali
panen. Kombinasi perlakuan umur panen 8 MST dan interval panen 3 minggu
nyata menghasilkan jumlah tajuk tertinggi setiap kali panen yaitu sebanyak 20
pucuk/tanaman. Penelitian tersebut tidak mempelajari pengaruh waktu dan
interval panen terhadap kandungan senyawa kimia kolesom.
Penelitian Li & Strid (2005) menunjukkan bahwa pemanenan dengan cara
pemangkasan pucuk pada tanaman Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan
kandungan antosianin. Antosianin meningkat secara linear antara 2-8 hari setelah
pemangkasan yang menyebabkan tanaman berubah menjadi ungu. Hal ini diduga
karena pemangkasan dapat menginduksi ekspresi gen CHS yang mengkode
enzim chalcone synthase. Enzim chalcone synthase adalah enzim yang berperan
dalam biosintesis antosianin.
Interval panen diduga juga dapat mempengaruhi produksi dan kandungan
protein daun. Kandungan protein pada Napier grass mengalami penurunan dari
204 g/kg BK menjadi 92 g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 2
minggu menjadi 8 minggu (Maryawu et al. 2003). Hal ini sejalan dengan
penelitian Sanchez et al. (2007) yang menunjukkan bahwa kandungan protein
pada Cratylia argentea mengalami penurunan dari 219 g/kg BK menjadi 185
g/kg BK ketika interval panen diperpanjang dari 8 minggu menjadi 16 minggu.
KEADAAN UMUM PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kebun percobaan IPB, Leuwikopo, Bogor.
Hasil analisis tanah yang dilakukan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumber Lahan Fakultas pertanian IPB (lampiran 1) menunjukkan bahwa tanah
yang digunakan pada penelitian ini tergolong netral dengan pH H2O sebesar 6.90.
Kapasitas tukar kation tanah tergolong sedang yaitu 16.46 me/100 g sehingga
memungkinkan tanah mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik
bagi tanaman. Tekstur tanah yang digunakan tergolong berliat karena kandungan
liatnya lebih dari 30%.
Tabel 2 menunjukkan data mengenai temperatur, kelembaban, dan curah
hujan selama penelitian berlangsung. Data diambil dari Stasiun Klimatologi
Darmaga Bogor yang terletak pada 06.33 LS, 106.45 BT, dan elevasi 190 m.
Tabel 2 Data iklim penelitian pada bulan Nopember 2009-Desember 2010
Bulan Temperatur (
0C)
Kelembaban
(%)
Curah
hujan
(mm/
bulan) Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata
Percobaan I
Nopember 2009 26.3 31.8 23.2 81.0 407.0
Desember 2009 26.1 31.8 22.9 85.0 258.2
Januari 2010 25.3 30.2 22.9 88.0 252.0
Pebruari 2010 25.0 31.8 23.3 85.0 460.7
Percobaan II &
III
April 2010 27.1 33.2 23.2 77.0 43.0
Mei 2010 26.7 32.7 23.7 84.0 331.0
Juni 2010 25.9 31.2 23.1 85.9 303.4
Juli 2010 25.8 31.5 22.9 84.0 237.0
Percobaan IV
Oktober 2010 25.4 31.5 22.7 86.0 436.2
Nopember 2010 25.0 31.6 23.2 82.0 284.3
Desember 2010 25.5 30.3 22.9 83.0 177.3
Perlakuan interval panen sangat mempengaruhi waktu pembungaan
tanaman. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 30 dan 15 hari
pada percobaan 1 masing-masing secara berurutan berbunga pada umur 40 dan 50
HST, sedangkan kolesom yang dipanen 10 hari sekali tidak sempat berbunga
karena intensifnya pemanenan. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval
panen 30 hari pada percobaan II berbunga pada umur 45 HST, sedangkan
kolesom yang dipanen 15 hari sekali berbunga pada umur 50 HST. Waktu
pembungaan pada percobaan III tampak seragam yaitu pada umur 50 HST baik
pada kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 30 hari maupun 15
hari, sedangkan pada percobaan IV sebagian besar tanaman telah berbunga pada
umur 60 HST. Keseragaman dinilai berdasarkan kriteria bahwa ≥70% tanaman
pada suatu perlakuan telah berbunga.
Frekuensi panen yang terlalu sering mengakibatkan tanaman yang dipanen
dengan interval 10 hari sekali hanya dapat menghasilkan pucuk sampai umur 60
HST saja. Perlakuan tersebut dapat mempersingkat umur produksi dan
mempercepat kematian tanaman. Kolesom yang mendapatkan interval panen 15
dan 30 hari sekali dapat menghasilkan pucuk sampai umur 90 HST meskipun
ukuran pucuk semakin mengecil sejalan dengan pertambahan umur tanaman.
Pembungaan yang terjadi tidak menghalangi munculnya pucuk pasca pemanenan.
Perbedaan perkembangan tajuk sangat terlihat antara kolesom yang ditanam di
lahan dengan wadah plastik (polybag). Kolesom yang ditanam di lahan
menghasilkan tajuk yang lebih berkembang dan banyak cabang daripada kolesom
di wadah plastik. Kolesom yang ditanam di wadah plastik cenderung
perkembangannya vertikal sehingga tanaman tampak lebih tinggi daripada
kolesom yang ditanam di lahan.
Gambar 5 memperlihatkan kerusakan daun kolesom akibat secondary
pathogen dan belalang yang menyerang tanaman kolesom selama percobaan
berlangsung. Secondary pathogen menyebabkan hilangnya epidermis daun dan
meninggalkan lubang kecil pada permukaan daun, sedangkan belalang
menimbulkan kerusakan daun berupa robekan akibat gigitan mulutnya.
Penyakit yang menyerang adalah penyakit yang menimbulkan busuk
batang dan akar. Gejala awal dari adanya penyakit ini adalah menguncupnya
daun kolesom pada siang hari, beberapa hari kemudian batang berwarna coklat
sampai hitam dan berlendir (Gambar 6). Bila dicabut, maka umbi telah busuk
dan daging umbi berwarna merah darah serta menimbulkan bau tidak sedap.
Penyakit pada umumya mulai menyerang pada saat tanaman berumur 60 HST.
Tanaman yang mengalami busuk batang dan akar segera dicabut dan dijauhkan
dari lokasi percobaan agar tidak menular ke tanaman lainnya.
Gambar 5 (a) Kerusakan yang ditimbulkan oleh secondary pathogen; (b)
Kerusakan yang ditimbulkan oleh belalang.
Gambar 6 (a) Kuncup daun gejala penyakit busuk batang dan akar; (b) Kolesom
yang terserang penyakit busuk batang.
Penyakit yang hanya dijumpai pada percobaan II dan IV adalah penyakit
yang menyebabkan bercak merah di bagian belakang permukaan daun (Gambar
7). Daun yang terserang penyakit ini segera dipetik dari tanaman agar tidak
terjadi penularan yang lebih luas. Kondisi ini menyebabkan menurunnya bobot
basah total tanaman. Serangan hama dan penyakit yang terjadi pada percobaan ini
masih di bawah ambang batas ekonomis sehingga belum membutuhkan
penanganan serius.
a b
a b
Gambar 7 Daun yang terserang penyakit bercak merah.
Pigmen antosianin sangat terlihat nyata pada daun dan batang tanaman
yang diduga telah terinfeksi penyakit di percobaan IV (Gambar 8). Pigmen
antosianin tersebut berwarna keunguan tampak pada bagian belakang permukaan
daun dan cabang yang mendukung daun tersebut.
Gambar 8 (a) Pigmen antosianin yang terdapat pada batang; (b) Pigmen
antosianin yang terdapat pada daun kolesom.
a b
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN
PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA
BERBAGAI DOSIS PUPUK NITROGEN+KALIUM
DAN INTERVAL PANEN
Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) at Different Rates of Nitrogen+Potassium and Harvest Intervals
Abstrak
Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai dosis pupuk nitrogen+kalium
dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga,
Bogor, Indonesia pada bulan November 2009 sampai Februari 2010. Penelitian
menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 2 faktor dan 3 ulangan.
Kedua faktor tersebut adalah dosis pupuk N+K (50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg
urea +100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg urea +100 kg KCl/ha)
dan interval panen (30, 15, dan 10 hari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis pupuk 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan interval panen 15 hari
menghasilkan produksi protein pucuk kolesom tertinggi yaitu sebesar 4.72
g/tanaman. Produksi antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh masing-
masing perlakuan 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/tanaman) atau
interval panen 10 hari (165.27 µmol/tanaman), namun tidak dipengaruhi oleh
interaksi antara kedua perlakuan tersebut. Ditemukan korelasi positif antara
kandungan protein dan klorofil; kandungan antosianin dan gula; kandungan
antosianin dan semua komponen pertumbuhan, kecuali bobot kering daun.
Kata Kunci : sayuran daun, protein, antosianin, pemupukan, panen
Abstract
The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from
November 2009 until Februari 2010 to study the effect of different rates of
nitrogen+potassium and harvest intervals on waterleaf shoot (Talinum
triangulare (Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A randomized
complete block design was used with three replications of two factors, which were
rates of N+K fertilizer (50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 50 kg urea +100 kg KCl/ha,
100 kg urea + 50 kg KCl/ha, 100 kg urea +100 kg KCl/ha) and harvest intervals
(30, 15, dan 10 days). The result showed that combination of 100 kg urea + 100
kg KCl/ha and 15 days harvest interval gave the highest protein production (4.72
g/plant). The highest anthocyanin production was resulted by treatments of 100
kg urea+ 100 kg KCl/ha (152.23 µmol/plant) or 10 days harvest interval
(165.27µmol/plant), but it was not influenced by interaction between rates of
N+K fertilizer and harvest interval. There was a positive correlation between
protein and chlorophyll content; anthocyanin and sugar content; anthocyanin
content and all growth components ,except leaf dry weight.
Keywords : leafy vegetable, protein, anthocyanin, fertilization, harvest
Pendahuluan
Kolesom (Talinum triangulare) merupakan tanaman yang aman
dikonsumsi berdasarkan uji toksisitas akut (Nugroho 2000). Daun kolesom
memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karena memiliki nutrisi dan
senyawa bioaktif yang penting bagi kesehatan. Salah satu nutrisi penting yang
terdapat pada daun kolesom adalah protein yang mengandung 18 macam asam
amino, di mana kandungan asam amino tertinggi yang terkandung di dalamnya
adalah asam glutamat (586.3 g/kg) dan leusin (563.8 g/kg) (Fasuyi 2007).
Penelitian Susanti et al. (2008) menunjukkan bahwa daun kolesom mengandung
senyawa bioaktif flavonoid, steroid, dan alkaloid. Penelitian Mualim et al. (2009)
menunjukkan bahwa salah satu senyawa flavonoid yang telah terdeteksi adalah
antosianin. Menurut Castañeda-Ovando et al. (2009), antosianin merupakan
pigmen penting pada tanaman yang berperan sebagai antioksidan alami bagi
kesehatan manusia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ofusori et al. (2008)
yang menunjukkan bahwa kandungan antioksidan dari ekstrak daun kolesom
dapat memberikan pengaruh baik terhadap syaraf otak dan meningkatkan
kemampuan kognitif.
Peningkatan produksi dan kualitas sayuran daun dapat dilakukan melalui
usaha pemupukan. Hasil penelitian Chen et al. (2004) menunjukkan bahwa
semakin tinggi dosis pupuk N sampai pada dosis optimal (0.30 g/kg tanah) pada
sayuran daun Brassica campestris L., Brassica chinensis var. Oleifera Makino et
nenoto, dan Spinacia oleracea L. dapat meningkatkan aktivitas nitrat reduktase
yang diperlukan dalam sintesis protein. Mualim et al. (2009) menyatakan bahwa
unsur kalium merupakan faktor pembatas dalam produksi antosianin daun
kolesom. Kombinasi perlakuan pemupukan N dan K (100 kg urea/ha dan 100 kg
KCl/ha) memberikan produksi antosianin tertinggi, namun dosis kombinasi
pemupukan N dan K yang optimal untuk mendapatkan daun kolesom yang
mengandung protein dan antosianin yang tinggi belum diketahui.
Tanaman kolesom dapat dipanen berkali-kali dengan cara memangkas
pucuk dengan masa produksi hanya berkisar 2 bulan (Fontem & Schippers 2004;
Sugiarto 2006). Interval panen berpengaruh penting terhadap produksi biomassa,
nilai nutrisi, potensi pertumbuhan kembali, dan ketahanan hidup spesies setelah
dipanen (Man & Wiktorsson 2003). Pemanenan dengan cara pemangkasan pucuk
pada Arabidopsis thaliana dapat meningkatkan kandungan antosianin (Li & Strid
2005). Kandungan protein pada Napier grass dan Cratylia argentea mengalami
penurunan ketika interval panen diperpanjang (Manyawu et al. 2003; Sanchez et
al. 2007). Penelitian mengenai interval panen daun kolesom terhadap kandungan
protein dan antosianin belum dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan dosis pupuk
nitrogen+kalium dan interval panen yang dapat meningkatkan produksi protein
dan antosianin pada pucuk kolesom.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai Februari 2010,
bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen
fisiologis tanaman dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography,
sedangkan analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular
Marker and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom
berukuran panjang 10 cm (Gambar 9), pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl,
SP-18, arang sekam.
Gambar 9 Setek kolesom berukuran panjang 10 cm
Peralatan yang digunakan antara lain kantong plastik (polybag) berukuran
40 cm x 50 cm (kapasitas 10 kg), spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge
heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok lengkap dengan
2 faktor (Two factor experiment in randomized complete block design). Faktor
pertama adalah interval panen yaitu 30, 15, dan 10 hari dengan jadwal panen yang
tercantum pada Tabel 3. Faktor kedua adalah dosis pupuk N + K yaitu 50 kg urea
+ 50 kg KCl/ha, 50 kg urea + 100 kg KCl/ha, 100 kg urea + 50 kg KCl/ha, dan
100 kg urea + 100 kg KCl/ha.
Tabel 3 Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang
berbeda selama 80 HST
Interval
panen
(hari)
HST Total
panen
(kali) 20 30 35 40 50 60 65 70 80
30 √ √ √ 3
15 √ √ √ √ √ 5
10 √ √ √ √ √ √ √ 7 Keterangan : √ = panen. HST = hari setelah tanam.
Terdapat 12 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali
sehingga diperoleh 36 unit percobaan dan setiap unit percobaan terdiri dari 10
tanaman.
Model statistik untuk rancangan acak kelompok faktorial adalah sebagai
berikut :
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada faktor dosis pupuk N + K taraf ke-i, faktor
interval panen taraf ke-j dan kelompok ke-k
µ = nilai rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan dosis pupuk N + K taraf ke-i (i = 1, 2,3, 4)
βj = pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-j (j = 1, 2, 3)
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan dosis pupuk N + K ke-i dengan
interval panen ke-j
ρk = pengaruh kelompok ke-k (k = 1, 2, 3)
εijk = pengaruh galat percobaan perlakuan dosis pupuk N + K ke-i, interval
panen ke-j, dan kelompok ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan
Persiapan bahan tanam. Bahan tanam yang digunakan adalah setek karena
tingkat keberhasilannya lebih tinggi daripada biji (Susanti et al. 2008). Pembibitan
dilakukan lebih dahulu untuk keperluan bahan tanam agar mendapatkan bibit yang
seragam. Pembibitan dilakukan 2 bulan sebelum tanam. media tanam yang
digunakan adalah campuran tanah dan pupuk kandang ayam petelur (2:1/v:v).
Penyiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah campuran
antara tanah dan arang sekam (3:2/v:v). Pupuk kandang ayam diberikan sebanyak
25 g/polybag atau setara dengan 5 ton/ha yang telah dicampur 2 minggu sebelum
tanam. Sebelum penanaman dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap
tanah dan pupuk kandang ayam. Media tanam disiapkan dengan memasukkan
campuran media tersebut ke dalam polybag.
Penanaman. Setek batang ditanam di polybag yang telah berisi media
tanam. Setek batang diambil dari bibit yang memiliki pertumbuhan sehat dan
seragam pada persemaian. Setek batang yang digunakan berukuran panjang 10
cm dan tanpa daun. Pangkal batang dipotong miring. Batang yang dipilih adalah
batang yang berwarna hijau. Setiap polybag ditanam 1 tanaman. Pemberian
pupuk kalium dan nitrogen sesuai dosis perlakuan diberikan pada saat setek
tanaman telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna. Pupuk SP-18 diberikan
pula dengan dosis 50 kg/ha untuk semua perlakuan.
Pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
sekali sehari pada pagi hari pada awal pertumbuhan dan 2 hari sekali jika tajuk
telah berkembang. Penyiangan dilakukan setiap saat secara manual sehingga pot
perlakuan bebas dari gulma. Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan
memperhatikan gejala serangan.
Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari
setiap cabang yang ada (Gambar 10).
Gambar 10 Pucuk kolesom berukuran panjang 10 cm
Pengamatan
Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman.
Komponen fisiologis tanaman
1. Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 20, 50, dan
80 hari menggunakan metode Lowry dengan kurva standar dari Bovin
Serum Albumin (Waterborg 2002) (Lampiran 2).
2. Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada
umur 20, 50, dan 80 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon
(2002) (Lampiran 3).
3. Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 20, 50, dan 80 hari dengan
menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954) (Lampiran 4).
Komponen pertumbuhan tanaman
1. Bobot basah pucuk layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur
20, 50, dan 80 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang
dihasilkan setiap individu tanaman.
2. Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun, batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen 80 HST dengan menggunakan timbangan.
3. Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun, batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen 80 HST dengan menggunakan timbangan
setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman
Variabel Pengamatan
Perlakuan
KK(%) Dosis pupuk
N + K
Interval
Panen
Interaksi
Kandungan protein 20 HST tn tn tn 14.15
Kandungan protein 50 HST ** ** tn 24.58
Kandungan protein 80 HST ** ** ** 12.95
Kandungan antosianin 20 HST tn tn tn 20.64
Kandungan antosianin 50 HST tn tn tn 29.27
Kandungan antosianin 80 HST tn tn tn 13.20
Kandungan klorofil total 20 HST tn tn tn 8.95
Kandungan klorofil total 50 HST tn tn tn 28.59
Kandungan klorofil total 80 HST ** tn tn 21.30
Kandungan gula total 20 HST tn tn tn 36.98
Kandungan gula total 50 HST tn ** tn 47.60
Kandungan gula total 80 HST tn ** tn 35.21
Bobot basah pucuk 20 HST ** tn tn 15.79
Bobot basah pucuk 50 HST ** ** ** 6.87
Bobot basah pucuk 80 HST ** ** ** 12.58
Bobot basah pucuk total ** ** ** 10.11
Bobot basah daun total ** ** tn 12.65
Bobot kering daun total ** ** tn 15.51
Bobot basah batang total ** ** tn 10.97
Bobot kering batang total ** ** tn 9.67
Bobot basah umbi total ** ** tn 10.59
Bobot kering umbi total ** ** tn 10.62
Produksi protein ** ** ** 20.64
Produksi antosianin * ** tn 22.10 Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F
pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman
Kandungan Protein
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual dengan berbagai dosis
pupuk urea + KCl pada interval panen 30, 15, dan 10 hari secara berurutan
ditunjukkan oleh Gambar 11a, 11b, dan 11c.
Gambar 11a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 30 hari
Gambar 11b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 15 hari
Gambar 11c Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 10 hari
0
2
3
5
6
8
9
11
12
14
15
20 50 80Kan
du
ngan
pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0235689
11121415
20 35 50 65 80Kan
du
ngan
Pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu Pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0
2
3
5
6
8
9
11
12
14
15
20 30 40 50 60 70 80
Kan
du
ngan
pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Gambar 11a, 11b, dan 11c menunjukkan bahwa semua perlakuan dosis
pupuk urea + KCl pada berbagai interval panen menghasilkan kandungan protein
pucuk kolesom layak jual yang mengalami peningkatan seiring pertambahan umur
panen sampai umur 50 HST dan selanjutnya mengalami penurunan pada panen
berikutnya. Ketiadaan pucuk kolesom layak jual yang dapat dipanen
mengakibatkan tidak ada data kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada
umur 70 dan 80 HST pada tanaman yang dipanen dengan interval 10 hari.
Kandungan protein yang terus meningkat hingga umur 50 HST diduga
terkait dengan kisaran waktu fase vegetatif kolesom. Fase vegetatif tanaman
menjadikan pucuk merupakan organ yang paling aktif melakukan proses
metabolisme dan aktivitas ini akan menurun pada saat tanaman memasuki fase
reproduktif. Fase reproduktif yang ditandai oleh munculnya bunga pada
percobaan ini terjadi antara umur 40-60 HST. Kemudian kandungan protein akan
terus menurun pada saat tanaman memasuki masa senescence. Masa senescence
terlihat pada umur 80 HST dimana daun-daun dewasa kolesom telah menguning
akibat kekurangan hara N.
Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pupuk urea + KCl dengan
berbagai dosis tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan protein pucuk
kolesom layak jual pada umur 20 HST. Diduga bahwa kandungan protein pucuk
kolesom pada umur yang masih muda ini ditentukan oleh kapasitas metabolisme
tanaman yang dibatasi oleh fase pertumbuhan tanaman. Artinya berapapun
jumlah hara yang diberikan tidak dapat meningkatkan kandungan protein pucuk
kolesom karena ada kapasitas maksimum sintesis protein pada umur tertentu.
Pemanenan pucuk yang dimulai pada umur 20 HST menyebabkan perlakuan
interval panen tidak berpengaruh terhadap kandungan protein pucuk layak jual
pada umur 20 HST.
Semakin tinggi total dosis pupuk urea + KCl yang diberikan maka
semakin tinggi pula kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 50
HST. Semakin panjang interval panen akan menurunkan kandungan protein.
Pucuk kolesom yang dipanen setiap 15 atau 10 hari menghasilkan kandungan
protein pucuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang dipanen
setiap 30 hari sekali pada umur 50 HST. Kandungan protein pucuk layak jual
pada semua perlakuan telah mengalami penurunan pada pemanenan umur 80
HST. Perlakuan interval panen 10 hari tidak dibandingkan karena tidak
menghasilkan pucuk layak jual pada umur 80 HST, sehingga interval panen
tersebut tidak dapat direkomendasikan pada budidaya kolesom karena akan
memperpendek masa produksi pucuk kolesom.
Tabel 5 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N + K pada umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
20 50 80
…………………..mg/g bb……………………….
Interval panen (hari)
30 3.54 7.99 b 4.72 b
15 3.93 9.77 a 6.33 a
10 3.57 8.78 ab -
Dosis pupuk urea + KCl
(kg/ha)
50 + 50 3.38 7.91 c 4.31 c
50 + 100 3.74 8.51 b 4.73 c
100 + 50 3.94 8.39 b 5.97 b
100 + 100 3.66 10.60 a 7.09 a
Interaksi tn tn ** Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - = tidak
ada pucuk.
Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada umur 80 HST
dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk urea + KCl dan interval
panen. Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian pupuk 100 kg urea + 100 kg
KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen setiap 15
hari sekali menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom tertinggi. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa peningkatan unsur N lebih dibutuhkan dibandingkan
unsur K dalam pembentukan protein dalam pucuk kolesom. Namun,
keseimbangan hara merupakan faktor kunci yang berpengaruh terhadap kualitas
hasil tanaman. Kombinasi antara unsur N dan K dalam dosis yang tepat sangat
dibutuhkan untuk pembentukan protein karena kedua unsur tersebut merupakan
unsur yang sangat fundamental dalam proses biokimianya. Marschner (1995)
menjelaskan bahwa unsur N yang diberikan melalui akar akan dimetabolisme
untuk membentuk asam amino yang akan ditransportasikan ke tajuk yang
selanjutnya membentuk ikatan peptida untuk menghasilkan protein, sedangkan
Szczerba et al. (2009) menyatakan bahwa unsur K berperan penting dalam
aktivasi enzim dan pemanjangan ikatan peptida pada proses pembentukan protein.
Tabel 6 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan dosis pupuk N + K umur 80 HST
Dosis pupuk urea +
KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
30 15
…………… mg/g bb……………..
50 + 50 3.97 c 4.64 bc
50 + 100 4.38 c 5.07 bc
100 + 50 4.70 bc 7.24 a
100 + 100 5.84 b 8.35 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah.
Kandungan protein pucuk kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari
lebih tinggi dibandingkan dengan kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari.
Hal ini disebabkan karena pemanenan pucuk secara periodik dengan interval
panen yang lebih pendek mengakibatkan peningkatan aktivitas rejuvenasi dan
menjadikan pucuk kolesom menjadi sink utama translokasi hara N yang akan
digunakan untuk sintesis asam amino menjadi protein pada pucuk muda,
sedangkan pemanenan pucuk dengan interval waktu yang lebih panjang akan
memberikan peluang waktu lebih cepat bagi kolesom untuk memasuki masa
reproduktif dan terjadi remobilisasi kandungan hara N dari pucuk kepada organ
sink lain yang menyebabkan sintesis protein pada pucuk menurun. Penurunan
kandungan protein yang disebabkan karena interval panen yang panjang juga
ditemukan oleh Manyawu et al. (2003) dan Sarwar et al. (2006) pada rumput
Napier dan Pennisetum.
Kandungan Antosianin
Gambar 12a dan 12b secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan
antosianin pada pucuk kolesom layak jual pada berbagai perlakuan dosis pupuk
urea + KCl dengan interval panen 30 dan 15 hari terus mengalami penurunan
sejalan dengan pertambahan umur panen. Gambar 12c menunjukkan bahwa
kandungan antosianin mengalami penurunan hingga umur 50 HST dan kemudian
terjadi peningkatan kembali pada umur 60 HST, namun kandungan antosianin
pada umur 60 HST tersebut masih lebih rendah bila dibandingkan dengan
kandungan antosianin pada umur 20 HST.
Kandungan antosianin tertinggi pada gambar 12a, 12b, dan 12c terdapat
pada kolesom yang dipanen pada umur 20 HST. Hasil ini menunjukkan bahwa
pucuk kolesom mengakumulasi antosianin lebih tinggi pada awal pertumbuhan
vegetatif dan akan terjadi penurunan kandungan antosianin sejalan dengan
pertambahan umur. Adanya peningkatan kandungan antosianin pucuk pada umur
60 HST pada kolesom yang mendapatkan perlakuan pupuk urea + KCl yang
dipanen setiap 10 hari sekali kemudian diikuti oleh ketiadaan pucuk pada umur 70
dan 80 HST menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin pucuk
kolesom dapat berperan sebagai penanda bahwa tanaman telah mengalami
cekaman yang mengakibatkan tanaman mengalami senescence yang lebih cepat.
Oleh karena itu, pemanenan pucuk kolesom setiap 10 hari sekali dapat dianggap
sebagai pemanenan yang sangat intensif dan tidak memberikan waktu yang lebih
panjang untuk proses recovery jaringan tanaman. Berdasarkan penjelasan Hatier
& Gould (2008) mengenai berbagai macam stres pada tanaman yang dapat
menginduksi pigmen antosianin, maka pemanenan yang terlalu intensif dapat
dikategorikan sebagai pelukaan jaringan yang menyebabkan stres abiotik.
Gambar 12a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
dosis pupuk N + K dengan interval panen 30 hari
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
20 50 80
Kan
du
ngan
An
tosi
an
in
(µ
mol/
g b
b)
Waktu Pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Gambar 12b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
dosis pupuk N + K dengan interval panen 15 hari
Gambar 12c Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
dosis pupuk N + K dengan interval panen 10 hari
Tabel 7 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom pada
umur 20, 50, dan 80 HST tidak dipengaruhi oleh berbagai dosis pupuk urea + KCl
yang diberikan pada awal tanam dan interval panen. Diduga berbagai dosis pupuk
urea + KCl yang diberikan masih berada dalam selang kecukupan yang sama
untuk pembentukan antosianin. Hasil percobaan ini dapat menjelaskan bahwa
dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha yang merupakan kombinasi terbaik untuk
pembentukan antosianin pada pucuk kolesom pada penelitian Mualim et al.
(2009) tidak dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan kandungan
antosianin pucuk kolesom yang dipanen secara berulang. Penelitian pengaruh
kombinasi dosis pupuk N+K pada tanaman anggur yang dilakukan oleh Delgado
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
20 35 50 65 80
Kan
du
ngan
An
tosi
an
in
(µ
mol/
g b
b)
Waktu Pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha50 kg urea + 100 kg
KCl/ha100 kg urea + 50 kg
KCl/ha100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
20 30 40 50 60 70 80
Kan
du
ngan
an
tosi
an
in
(µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
et al. (2006) menunjukkan bahwa peningkatan kandungan antosianin dapat
dilakukan dengan pemberian kombinasi antara dosis K tinggi dengan N sedang.
Tabel 7 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N + K umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
20 50 80
………………µmol/g bb………………
Interval panen (hari)
30 0.49 0.28 0.16
15 0.47 0.30 0.10
10 0.48 0.27 -
Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha)
50 + 50 0.44 0.32 0.11
50 + 100 0.49 0.28 0.13
100 + 50 0.51 0.28 0.12
100 + 100 0.48 0.26 0.14
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak
nyata – = tidak ada pucuk.
Kandungan Klorofil
Gambar 13a, 13b, dan 13c masing-masing secara berurutan menunjukkan
bahwa kolesom yang mendapatkan berbagai perlakuan dosis pupuk urea + KCl
pada semua interval panen menghasilkan kandungan klorofil pucuk yang
mengalami penurunan sejalan pertambahan umur tanaman.
Gambar 13a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
20 50 80
Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Gambar 13b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
Gambar 13c Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N+K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
Tabel 8 menunjukkan bahwa berbagai dosis pupuk urea + KCl yang hanya
mempengaruhi kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada umur 80 HST.
Semakin tinggi jumlah dosis pupuk urea yang dikombinasikan dengan berapapun
dosis pupuk KCl menyebabkan semakin tinggi pula kandungan klorofil pucuk
kolesom yang dipanen pada umur 80 HST. Hal ini dapat terlihat bahwa
pemberian pupuk 100 kg urea + 50 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
diperlukan untuk menghasilkan kandungan klorofil pucuk kolesom tertinggi pada
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
20 50 80Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
20 50 80Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 10 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100
kg KCl/ha
100 kg urea + 50
kg KCl/ha
100 kg urea + 100
kg KCl/ha
umur 80 HST. Interval panen tidak berpengaruh terhadap kandungan klorofil
pucuk kolesom layak jual pada umur 20, 50, dan 80 HST.
Tabel 8 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
20 50 80
………………..µmol/g bb………………
Interval panen (hari)
30 1.90 0.85 0.26
15 1.78 0.98 0.31
10 1.75 0.91 -
Dosis pupuk urea + KCl (kg/ha)
50 + 50 1.74 0.87 0.19 c
50 + 100 1.80 0.93 0.28 bc
100 + 50 1.95 0.85 0.32 ab
100 + 100 1.75 1.02 0.38 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata. – = tidak ada pucuk.
Respon kolesom terhadap berbagai dosis pupuk urea + KCl untuk
menghasilkan kandungan klorofil pucuk memperlihatkan bahwa unsur N lebih
berpengaruh terhadap kandungan klorofil pucuk kolesom dibandingkan unsur K.
Hal ini mendukung pernyataan Fridgen & Varco (2004) dan Havlin et al. (2005)
bahwa N merupakan unsur utama untuk sintesis molekul klorofil pada kloroplas,
sedangkan unsur K tidak memberikan pengaruh langsung terhadap kandungan
klorofil daun. Namun, kekurangan hara K dapat mengakibatkan kerusakan
klorofil yang ditandai dengan munculnya nekrosis pada daun tanaman.
Hasil penelitian pada tanaman kapas dan gandum menunjukkan bahwa
kandungan klorofil pada daun tanaman dapat digunakan sebagai indikator status N
tanaman sehingga keterkaitan antara klorofil dan N pada tanaman dapat pula
dikaitkan dengan semua elemen yang terlibat dalam metabolisme sel yang
menggunakan N sebagai hara utama terutama protein (Bronson et al. 2003;
Houles et al. 2007). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa dosis pupuk sebesar
100 kg urea + 100 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha yang diberikan
pada awal tanam menghasilkan kandungan protein (lihat Tabel 6) dan klorofil
pucuk kolesom tertinggi pada umur 80 HST.
Kandungan Gula
Gambar 14a, 14b, dan 14c menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk
kolesom mengalami peningkatan dari umur 20 sampai 50 HST kemudian
mengalami penurunan pada umur 80 HST pada semua perlakuan dosis pupuk urea
+ KCl dengan berbagai interval panen.
Gambar 14a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 30 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
Gambar 14b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 15 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
20 50 80
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
20 50 80
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Gambar 14c Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis
pupuk N + K dengan interval panen 10 hari pada umur 20, 50, dan
80 HST
Tabel 9 menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk kolesom hanya
dipengaruhi oleh interval panen. Semakin panjang interval panen maka akan
semakin tinggi pula kandungan gula pucuk kolesom. Pemanenan pucuk dengan
interval 30 hari dapat menghasilkan kandungan gula tertinggi pada umur 50 dan
80 HST.
Tabel 9 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
20 50 80
……………….mg/g bb………………
Interval panen (hari)
30 1.44 1.04 a 0.54 a
15 1.29 0.64 b 0.25 b
10 1.35 0.57 b -
Dosis pupuk urea+KCl
(kg/ha)
50 + 50 1.19 0.79 0.32
50 + 100 1.31 0.87 0.44
100 + 50 1.75 0.86 0.33
100 + 100 1.19 0.48 0.50
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak
nyata. – = tidak ada pucuk.
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
1.6
20 50 80
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 10 hari
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Interval panen yang lebih panjang dapat menghasilkan kandungan gula
tertinggi kemungkinan karena kolesom pada perlakuan ini memiliki peluang
untuk mengakumulasi C pada pucuk lebih besar daripada perlakuan yang
mendapatkan interval panen yang lebih pendek karena memiliki luas daun efektif
yang lebih banyak untuk berfotosintesa. Simon et al. (2004) & Teixera et al.
(2007) menyatakan bahwa pemanenan daun dengan interval panen yang lebih
pendek akan mengurangi daun yang berpotensi untuk meningkatkan laju
fotosintesis, sehingga akan mengurangi asimilasi C untuk tanaman. Inisiasi tunas
baru untuk membentuk pucuk kembali setelah pemanenan akan mengakibatkan
mobilisasi cadangan N organik dan C organik akan dilepaskan pada respirasi
sebagai energi yang dibutuhkan untuk aktivitas pertumbuhan, sehingga
kandungan gula akan lebih rendah.
Komponen Pertumbuhan Tanaman
Bobot Basah Pucuk Layak Jual
Gambar 15a dan 15b secara berurutan menunjukkan bahwa bobot basah
pucuk kolesom layak jual mengalami peningkatan dari umur 20 HST sampai 50
HST kemudian mengalami penurunan pada semua perlakuan dosis pupuk urea +
KCl dengan interval panen yang berbeda.
Gambar 15a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N + K dengan interval panen 30 hari
0
10
20
30
40
50
60
20 50 80
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl
100 kg urea + 100
kg KCl/ha
Gambar 15b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N + K dengan interval panen 15 hari
Gambar 15c menunjukkan bahwa bobot basah pucuk kolesom layak jual
yang dipanen dengan interval 10 hari mengalami peningkatan dari umur 20
sampai 40 HST kemudian mengalami penurunan. Kolesom yang mendapat
perlakuan interval panen 10 hari memiliki masa produksi yang lebih pendek
karena menghasilkan pucuk layak jual hanya sampai umur 60 HST.
Gambar 15c Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai dosis pupuk
N + K dengan interval panen 10 hari
0
10
20
30
40
50
60
20 35 50 65 80
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
0
10
20
30
40
50
60
20 30 40 50 60 70 80
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
50 kg urea + 50 kg
KCl/ha
50 kg urea + 100 kg
KCl/ha
100 kg urea + 50 kg
KCl/ha
100 kg urea + 100 kg
KCl/ha
Adanya fluktuasi bobot basah pucuk layak jual selama periode tanam 80
hari yang disebabkan oleh berbagai berbagai dosis pupuk urea + KCl dan interval
panen menunjukkan bahwa peningkatan bobot basah pucuk hanya terjadi pada
saat fase vegetatif tanaman dan menurun pada saat memasuki fase reproduktif
tanaman. Semakin pendek interval panen yang menandakan semakin tinggi
intensitas panen maka akan menurunkan hasil yang lebih cepat dibanding interval
panen lainnya.
Semakin tinggi total dosis pupuk urea + KCl yang diberikan pada awal
tanam maka akan semakin tinggi pula bobot basah pucuk kolesom yang
dihasilkan pada umur 20 HST, sedangkan bobot basah pucuk kolesom umur 50
dan 80 HST dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan dosis pupuk urea+KCl
dan interval panen (Tabel 10). Bobot basah pucuk tertinggi pada umur 50 HST
dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100
kg/ha KCl dan dipanen 15 hari sekali. Namun, bobot basah pucuk tertinggi pada
umur 80 HST dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg
urea + 100 kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl/ha yang dipanen setiap 30
hari dan telah berbunga.
Tabel 10 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan dosis pupuk N+K umur 20, 50, dan 80 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
20 50 80
……………….g/tanaman………………
Interval panen (hari)
30 16.66 31.23 b 7.27 a
15 17.18 45.17 a 5.19 b
10 17.28 21.09 c -
Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha)
50 + 50 14.82 c 24.34 d 4.22 c
50 + 100 18.42 ab 31.24 c 6.05 b
100 + 50 15.56 bc 35.01 b 7.11 a
100 + 100 19.37 a 39.41 a 7.55 a
Interaksi tn ** ** Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. tn = tidak nyata. – = tidak ada pucuk.
Hasil pada Tabel 11 menunjukkan bahwa pada umur 80 HST, kolesom
yang dipanen dengan interval yang lebih pendek tidak mampu lagi menghasilkan
produksi pucuk maksimal karena intensifnya pemanenan.
Tabel 11 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi antara
interval panen dengan dosis pupuk N+K pada umur 50 dan 80 HST
serta total selama 80 hari
Dosis pupuk
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
30 15 10
…………50 HST (g/tanaman)……….
50 + 50 26.85 fg 28.86 ef 17.31 i
50 + 100 28.39 ef 44.43 c 20.91 hi
100 + 50 31.81 e 50.21 b 23.01 gh
100 + 100 37.88 d 57.19 a 23.15 gh
…………80 HST (g/tanaman)……….
50 + 50 5.33 b 3.10 c -
50 + 100 6.42 b 5.69 b -
100 + 50 8.34 a 5.87 b -
100 + 100 8.98 a 6.11 b -
…………total (g/tanaman)……….
50 + 50 46.27 h 74.55 cd 68.80 de
50 + 100 52.75 gh 96.27 b 84.54 bc
100 + 50 55.12 fgh 107.93 a 86.29 bc
100 + 100 66.49 def 112.67 a 92.97 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Data bobot basah pucuk kolesom pada umur 80 HST yang terdapat pada
Tabel 11 mendukung hasil penelitian Fontem & Schipper (2004) yang
menunjukkan bahwa kolesom yang sudah berbunga masih dapat menghasilkan
pucuk, walaupun ukuran pucuk semakin kecil. Pupuk sebesar 100 kg urea + 100
kg KCl/ha atau 100 kg urea + 50 kg KCl dengan interval panen 15 hari
diperlukan untuk menghasilkan total bobot basah pucuk layak tertinggi selama
peride tanam 80 hari.
Bobot Basah dan Kering Tanaman
Tabel 12 menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah dosis urea + KCl dan
semakin panjang interval panen pucuk yang diberikan akan meningkatkan
biomassa kolesom. Kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen 10 hari
tidak dapat menghasilkan pucuk layak jual pada umur 80 HST, tetapi tanaman
masih hidup dan memiliki biomassa yang dapat diukur.
Pemberian pupuk dengan dosis melebihi 50 kg urea + 50 kg KCl dalam
percobaan ini dapat meningkatkan bobot basah daun, batang, dan akar. Namun,
bobot basah yang tinggi tidak selalu selaras dengan bobot kering. Bobot kering
daun, batang, dan umbi kolesom dipengaruhi oleh unsur N, di mana terlihat
bahwa semakin tinggi dosis pupuk urea yang diberikan maka semakin tinggi pula
bobot keringnya. Hal ini menunjukkan bahwa unsur N tampak lebih dominan
untuk meningkatkan biomassa kolesom. Pengaruh N terhadap produksi bobot
kering tanaman dijelaskan oleh Peng et al. (2010) melalui peranan N terhadap
peningkatan indeks luas daun dan kandungan N per unit luas daun untuk
mendukung peningkatan laju fotosintesis. Namun, unsur N secara tunggal tanpa
unsur K tidak dapat meningkatkan biomassa. Kanzikwera et al. (2001) dan
Csizinsky (2002) menyatakan bahwa keberadaan unsur K dalam jumlah yang
cukup sangat diperlukan untuk pembentukan biomassa tanaman karena unsur K
sangat berperanan penting untuk aktivasi enzim dan meningkatkan transport
asimilat dari daun ke bagian tanaman lainnya.
Tabel 12 Bobot basah dan kering daun, batang, dan umbi kolesom pada berbagai
interval panen dan dosis pupuk N+K umur 80 HST
Perlakuan Daun Batang Umbi
BB BK BB BK BB BK
……………………… g/tanaman…………………………….
Interval
Panen (hari)
30 35.76 a 2.15 a 31.03 a 2.64 a 15.16 a 2.53 a
15 29.96 b 1.93 b 24.99 b 2.26 b 11.50 b 1.93 b
10 21.51 c 1.43 c 18.66 c 1.61 c 6.65 c 1.06 c
Dosis pupuk
urea+KCl
(kg/ha)
50 + 50 25.16 b 1.24 c 20.99 b 1.95 c 9.81 b 1.65 b
50 + 100 28.65 ab 1.83 b 24.38 ab 2.09 bc 11.70 a 1.82 ab
100 + 50 31.22 a 2.05 b 26.53 a 2.25 ab 11.20 ab 1.91 a
100 + 100 32.61 a 2.22 a 27.67 a 2.39 a 11.69 a 1.99 a
Interaksi tn tn tn tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. BB= bobot basah . BK = bobot kering. tn = tidak nyata.
Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan biomassa
yang lebih tinggi daripada yang dipanen dengan interval 15 hari. Diduga hal ini
terjadi karena interval panen yang lebih panjang menyebabkan tanaman
mendapatkan waktu yang cukup untuk proses pertumbuhan dan perkembangan
organ lain seperti perluasan daun, pemanjangan batang dan pembentukan umbi.
Perluasan daun yang lebih banyak pada kolesom yang dipanen dengan interval 30
hari penting untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis sehingga menghasilkan
asimilat yang lebih banyak untuk terbentuknya akumulasi bahan kering tanaman,
sedangkan interval panen yang lebih pendek menyebabkan translokasi N dan
penggunaan asimilat untuk rejuvenasi dan sintesis protein pada pucuk. Mann &
Wiktorsson (2003) dan Hare et al. (2004) melaporkan bahwa interval panen yang
lebih panjang akan menghasilkan biomassa yang lebih tinggi karena translokasi
asimilat dapat digunakan secara proporsional untuk membentuk biomassa, di
mana terjadi peningkatan proses lignifikasi dan pembentukan serat untuk
memperkuat dinding sel tanaman.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis
Kandungan protein pucuk kolesom dalam percobaan ini tidak berkorelasi
dengan semua komponen pertumbuhan tanaman, sedangkan kandungan antosianin
berkorelasi positif dengan komponen pertumbuhan tanaman yang meliputi bobot
basah pucuk dan daun serta bobot basah dan kering batang serta umbi.
Kandungan protein berkorelasi positif dengan kandungan klorofil, sedangkan
kandungan antosianin berkorelasi positif dengan kandungan gula (Tabel 13).
Tabel 13 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis kolesom pada
berbagai perlakuan interval panen dan dosis pupuk N + K pada umur
80 HST
Protein Antosianin
………………… % …....................
Antosianin -20.13
Klorofil 88.66** 14.19
Gula -19.18 88.91**
Bobot basah pucuk 12.12 83.61**
Bobot basah daun total 12.89 88.25**
Bobot basah batang 6.39 93.27** Bobot basah umbi -45.58 90.15**
Bobot kering daun total 45.09 64.29
Bobot kering batang 4.28 92.49**
Bobot kering umbi -38.77 92.48** Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
Perkalian antara total bobot basah pucuk layak jual dengan total protein
dan antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 80 hari menghasilkan
produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual (Tabel 14). Produksi
protein pucuk kolesom layak jual dipengaruhi oleh interaksi antara perlakuan
dosis pemupukan N+K dan interval panen. Pemberian pupuk dengan dosis
melebihi 50 kg urea + 50 kg KCl atau pemanenan pucuk kolesom dengan interval
15 dan 10 hari memberikan produksi antosianin pucuk kolesom layak jual
tertinggi.
Tabel 14 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada
berbagai interval panen dan dosis pupuk N+K
Perlakuan Produksi protein
(g/tanaman)
Produksi antosianin
(µmol/tanaman)
Interval panen (hari)
30 0.90 c 84.58 b
15 3.45 a 157.72 a
10 2.28 b 165.47 a
Dosis pupuk urea+KCl (kg/ha)
50 + 50 1.45 c 104.97 b
50 + 100 2.16 b 139.64 a
100 + 50 2.38 b 146.85 a
100 + 100 2.85 a 152.23 a
Interaksi ** tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata.
Kolesom membutuhkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
dengan pemanenan pucuk setiap 15 hari sekali untuk menghasilkan produksi
protein pucuk layak jual tertinggi (Tabel 15).
Tabel 15 Produksi protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan dosis pupuk N+K
Dosis pupuk
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
30 15 10
…………… … g/tanaman………………
50 + 50 0.68 g 1.98 def 1.68 ef
50 + 100 0.83 g 3.24 bc 2.40 cde
100 + 50 0.86 g 3.84 bc 2.44 cde
100 + 100 1.23 fg 4.72 a 2.61 cd Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05
Kesimpulan
Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi dihasilkan oleh
kolesom yang mendapatkan pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl dan dipanen
setiap 15 hari sekali. Ditemukan korelasi positif antara kandungan protein dan
klorofil; kandungan antosianin dan gula; kandungan antosianin dan semua
komponen pertumbuhan, kecuali bobot kering daun.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN
PUCUK KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)
DENGAN PEMUPUKAN BERTAHAP NITROGEN+KALIUM
PADA DUA INTERVAL PANEN
Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) with Split Application of Nitrogen+Potassium Fertilizer at Two
Harvest Intervals
Abstrak
Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai pemupukan N+K secara bertahap
dan interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga,
Bogor, Indonesia pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian menggunakan
rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Dua faktor tersebut
adalah interval panen (15 dan 30 hari) dan pemupukan N+K bertahap yang
meliputi frekuensi dan total dosis urea+KCl (1 kali dan 100 kg urea + 100 kg
KCl/ha (kontrol), 3 kali dan 100 kg urea +100 kg KCl/ha, 5 kali dan 100 kg urea
+100 kg KCl/ha, 3 kali dan 150 kg urea +150 kg KCl/ha, 5 kali dan 150 kg urea
+150 kg KCl/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan
interval panen 15 hari dengan pemupukan bertahap pada frekuensi 3 kali dan total
dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha menghasilkan produksi protein (13.90
g/tanaman) dan antosianin (250.61 µmol/tanaman) tertinggi pucuk kolesom layak
jual. Kandungan protein berkorelasi positif dengan klorofil pucuk kolesom.
Kata Kunci : Pucuk layak jual, protein, antosianin, pemupukan, panen
Abstract
The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from
April until July 2010 to study the effect of different harvest intervals and splitting
of nitrogen+potassium application on waterleaf shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A split plot design was used
with three replications of two factors. The first factor was harvest interval (15 and
30 days) and the second factor was frequency of fertilization splitted with different
total dosages of urea+KCl (one times with the total of 100 kg urea +100 kg
KCl/ha (control), three times with the total of 100 kg urea +100 kg KCl/ha, five
times with the total of 100 kg urea +100 kg KCl/ha, three times with the total of
150 kg urea +150 kg KCl/ha, five times with the total of 150 kg urea +150 kg
KCl/ha) . The result showed that combination of harvest interval at 15 days and
three times fertilization with the total dosage 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha
produced the highest protein production (13.90 g/plant) and anthocyanin (250.61
µmol/plant) of marketable shoots. There was a positive correlation between
protein and chlorophyll content.
Keywords : Marketable shoot, protein, anthocyanin, fertilization, harvest
Pendahuluan
Kolesom pada saat ini telah dianggap sebagai tanaman asli Indonesia yang
berkhasiat obat karena penyebarannya di berbagai wilayah Indonesia dan telah
digunakan sejak zaman nenek moyang kita (Andarwulan et al. 2010).
Peningkatan kualitas pucuk kolesom sebagai sayuran berkhasiat obat harus terus
dilakukan karena mengandung protein (Mensah et al. 2008) dan antosianin
(Mualim et al. 2009) yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia.
Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom sangat ditentukan oleh
teknik budidaya dan faktor lingkungan. Teknik budidaya dengan berbagai dosis
pemupukan N+K dan interval panen untuk meningkatkan kandungan protein dan
antosianin pucuk kolesom telah dilakukan terlebih dahulu dalam rangkaian
penelitian ini, di mana pemberian pupuk hanya dilakukan pada awal tanam saja
dan pemanenan pertama dilakukan pada umur 20 HST. Percobaan tersebut
menghasilkan dosis pupuk standar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha untuk
menghasilkan produksi protein dan antosianin tertinggi selama 80 hari. Namun,
produktivitas dan kualitas pucuk kolesom yang dipanen berulang hanya sampai
umur 50 hari kemudian menurun. Hal ini diduga bahwa umur tanaman pada saat
pemanenan pertama dilakukan masih terlalu muda sehingga pemangkasan pucuk
kolesom secara berulang akan mempercepat penurunan kemampuan rejuvenasi
dan produksi. Faktor lain yang diduga menyebabkan penurunan kualitas pucuk
kolesom adalah pemberian pupuk N+K seluruhnya pada awal pertumbuhan tidak
dapat diserap seluruhnya oleh tanaman. Oleh karena itu perlu mengubah umur
panen pertama menjadi 30 HST dan mempelajari teknik pemupukan untuk
mendukung pertumbuhan tanaman agar dapat meningkatkan umur produksi dan
kualitas pucuk kolesom.
Peningkatan hasil dan kualitas tanaman dapat dilakukan dengan metode
pemupukan bertahap yang menggabungkan antara jumlah dosis, waktu, dan
frekuensi pupuk yang diberikan (Grant et al. 2001). Penelitian mengenai
pemberian pupuk N secara bertahap telah dilakukan pada tanaman lain.
Pemberian pupuk N secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis yang
diberikan dapat meningkatkan kualitas dan kandungan protein gandum (Garrido-
Lestache et al. 2004; Delin et al. 2005; Fuertes-Mendizabal et al. 2010). Belum
ada informasi mengenai pengaruh pemberian pupuk N atau K secara bertahap
terhadap kandungan antosianin tanaman. Pemberian pupuk N dan K melalui
tanah secara bertahap berdasarkan frekuensi dan dosis untuk meningkatkan
produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari teknik pemupukan
N+K secara bertahap berdasarkan frekuensi dan total dosis melalui tanah pada dua
interval panen untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk
kolesom.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010, bertempat di
kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen fisiologis tanaman
dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, sedangkan
analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker
and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom
berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang
sekam, dan bahan-bahan analisis kimia. Peralatan yang digunakan antara lain
oven listrik, spektrofotometer shimadzu UV-1800, dan sentrifuge heraeus
labofuge-400R.
Metode Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (split plot design)
dengan interval panen sebagai petak utama dan pemupukan bertahap
nitrogen+kalium sebagai anak petak. Petak utama terdiri atas dua taraf interval
panen yaitu 15 dan 30 hari. Dua interval panen tersebut adalah interval panen
terbaik yang didapatkan dari percobaan I dengan jadwal pemanenan yang
tercantum pada Tabel 16.
Tabel 16 Jadwal pemanenan pucuk kolesom pada perlakuan interval panen yang
berbeda selama 90 hari
Interval panen
(hari)
Umur panen (HST)
30 45 60 75 90
15 √ √ √ √ √
30 √ √ √ Keterangan : √ = panen. HST = hari setelah tanam.
Anak petak terdiri atas lima taraf pemupukan bertahap nitrogen+kalium
yang meliputi frekuensi dan total dosis pemberian pupuk urea + KCl seperti yang
disajikan pada Tabel 17. Kontrol merupakan dosis urea + KCl (kg/ha) yang
memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada percobaan I.
Tabel 17 Pemupukan bertahap nitrogen dan kalium berdasarkan waktu dan total
dosis
Frekuensi, total
dosis urea + KCl
(kg/ha)
Umur tanaman (HST)
0 15 30 45 60
…………………Dosis urea + KCl (kg/ha)………………
1 kali, 100+100
(kontrol) 100+100 - - - -
3 kali, 100+100 50+50 - 25+25 - 25+25
5 kali, 100+100 50+50 12.5+12.5 12.5+12.5 12.5+12.5 12.5+12.5
3 kali, 150+150 100+100 - 25+25 - 25+25
5 kali, 150+150 100+100 12.5+12.5 12.5+12.5 12.5+12.5 12.5+12.5 Keterangan : 100 + 100 adalah dosis terbaik masing-masing urea + KCl yang diberikan pada
percobaan I. Pemupukan pada umur 30, 45, dan 60 HST dilakukan setelah panen.
Terdapat 10 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali
sehingga diperoleh 30 unit percobaan.
Model statistik untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi +κk +δik +βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j
dan ulangan ke-k
µ = nilai rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-i
κk = pengaruh ulangan ke-k
δik = galat petak utama
βj = pengaruh perlakuan pemupukan bertahap N+K taraf ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak
petak ke-j
εijk = pengaruh galat karena pengaruh faktor interval panen taraf ke-i dan
faktor pemupukan bertahap N+K ke-j pada ulangan ke-k
i = interval panen (1,2)
j = pemupukan bertahap N+K (1,2,3,4,5)
k = ulangan (1,2,3)
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan
Penyiapan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan dari gulma dan
sisa tanaman hasil pertanaman sebelumnya. Tanah pada lahan kemudian
digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 5 m sebanyak 30 petakan.
Pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha dan arang sekam sebanyak 2 ton/ha
diberikan dengan cara dilarik per baris tanam 2 minggu sebelum tanaman
dipindah ke lapang.
Penanaman. Bibit yang berasal dari setek batang ditanam di lahan dengan
jarak 100 cm x 50 cm. Setek dapat ditumbuhkan lebih dahulu pada polybag kecil
di persemaian. Penanaman dilakukan apabila bibit yang berasal dari setek batang
telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna (± 5-7 hari di persemaian). Bibit
yang ditanam tersebut adalah bibit yang memiliki pertumbuhan yang sehat dan
seragam pada persemaian. Pemupukan dilakukan sesuai perlakuan pada dosis dan
waktu yang telah ditentukan.
Pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
sekali sehari pada pagi hari dan disesuaikan dengan musim. Penyiangan
dilakukan setiap saat secara manual sehingga petak perlakuan bebas dari gulma.
Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala
serangan.
Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari
setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan. Hasil panen
dibersihkan dan dipersiapkan untuk berbagai pengujian laboratorium.
Pengamatan
Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman.
Komponen fisiologis tanaman
1. Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan
90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2. Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada
umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon
(2002).
3. Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan
menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Bobot basah pucuk layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur
30, 60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang
dihasilkan setiap individu tanaman.
2. Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen tanaman umur 90 hari dengan menggunakan
timbangan.
3. Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen tanaman umur 90 hari dengan menggunakan
timbangan setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen kimia dan pertumbuhan tanaman
dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman
Variabel Pengamatan
Perlakuan
KK(%) Interval
panen
Pupuk
N+K
Interaksi
Kandungan protein 30 HST tn tn tn 19.45
Kandungan protein 60 HST ** ** tn 12.38
Kandungan protein 90 HST ** ** ** 31.88
Kandungan antosianin 30 HST tn tn tn 20.11
Kandungan antosianin 60 HST tn tn tn 18.56
Kandungan antosianin 90 HST ** tn tn 14.88
Kandungan klorofil total 30 HST tn * tn 19.56
Kandungan klorofil total 60 HST tn ** tn 17.34
Kandungan klorofil total 90 HST ** ** ** 11.75
Kandungan gula total 30 HST tn tn tn 23.97
Kandungan gula total 60 HST tn tn tn 21.56
Kandungan gula total 90 HST ** * tn 15.84
Bobot basah pucuk 30 HST * * tn 18.32
Bobot basah pucuk 60 HST ** ** ** 10.26
Bobot basah pucuk 90 HST * ** tn 29.64
Bobot basah pucuk total ** ** ** 7.51
Bobot basah daun total * ** tn 18.61
Bobot kering daun total tn ** tn 20.43
Bobot basah batang total * ** tn 18.61
Bobot kering batang total tn ** tn 22.15
Bobot basah umbi total * ** ** 15.36
Bobot kering umbi total ** ** ** 14.82
Produksi protein ** ** ** 28.66
Produksi antosianin ** ** ** 15.13 Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda sangat nyata
menurut uji F pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman
Kandungan Protein
Gambar 16a dan 16b secara berurutan menunjukkan bahwa pemupukan
urea+KCl secara bertahap menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom layak
jual yang bervariasi dari 2.76 -13.53 dan 2.35 - 7.04 mg/g bb masing-masing pada
interval panen 15 dan 30 hari. kandungan protein terus meningkat dari umur 30
sampai 90 HST dalam pucuk kolesom yang mendapatkan pupuk sebanyak 3 kali
dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari dan
sebanyak 5 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval
panen 30 hari. Perlakuan pemupukan urea + KCl dengan berbagai frekuensi dan
total dosis urea + KCl lainnya pada interval panen 15 maupun 30 hari mengalami
peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian menurun. Kolesom yang
mendapatkan perlakuan kontrol dan pemupukan sebanyak 3 kali dengan total
dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari tidak memiliki
data mengenai kandungan protein pada umur 90 hari karena ketiadaan pucuk
kolesom layak jual.
Gambar 16a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari
Gambar 16b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari
0
2
4
6
8
10
12
14
16
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
Pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu Pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
0
2
4
6
8
10
12
14
16
30 60 90
Kan
du
ngan
Pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu Pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
Tabel 19 menunjukkan bahwa pemanenan pucuk dengan interval 15 hari
dapat menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom layak jual lebih tinggi
dibandingkan interval panen 30 hari, sedangkan pemberian pupuk sebanyak 3 dan
5 kali dengan total dosis sebesar 150 kg urea + 150 kg KCl/ha masing-masing
dapat meningkatkan kandungan protein sebesar 46.32 dan 33.39% dibandingkan
kontrol pada umur 60 HST. Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada
umur 90 HST mendapatkan pengaruh interaksi antara perlakuan interval panen
dan pemupukan N+K secara bertahap.
Tabel 19 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K dan interval panen umur 30, 60 dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…………………. mg/g bb……………….
Interval panen (hari)
15 3.08 7.32 a 8.33 a
30 3.23 5.55 b 4.59 b
Frekuensi, total dosis urea+KCl
(kg/ha)
1 kali, 100+100 3.34 5.57 b 2.35 b
3 kali, 100+100 3.05 5.39 b 2.95 b
5 kali, 100+100 2.93 5.64 b 3.71 b
3 kali, 150+150 3.49 8.15 a 10.18 a
5 kali, 150+150 2.98 7.43 a 7.43 a
Interaksi tn tn ** Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. bb= bobot basah. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata.
Tabel 20 menunjukkan bahwa kolesom membutuhkan pemberian pupuk
sebanyak 3 kali dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dan dipanen 15
hari sekali untuk dapat menghasilkan kandungan protein pucuk layak jual
tertinggi pada umur 90 HST. Kolesom yang mendapatkan total dosis pupuk
urea+KCl dan interval panen yang sama namun frekuensi pemberian pupuk
sebanyak 5 kali justru menghasilkan kandungan protein pucuk kolesom yang lebih
rendah. Diduga bahwa kolesom memerlukan dosis pupuk yang lebih besar pada
setiap kali tambahan pemupukan urea + KCl frekuensi pupuk urea+KCl dan
waktu pemberian yang tepat untuk menghasilkan kandungan protein pucuk yang
lebih tinggi. Pemupukan urea + KCl sebanyak 3 kali memberikan 50% dosis
pupuk yang lebih besar untuk setiap kali tambahan pemupukan dibandingkan
frekuensi 5 kali. Hasil ini memberikan gambaran bahwa frekuensi pemupukan
yang lebih rendah dengan dosis pupuk yang lebih besar setiap kali aplikasi akan
lebih terdistribusi sepanjang siklus perkembangan tanaman dan memberikan hasil
yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemupukan yang lebih sering
namun dengan dosis pupuk yang lebih kecil setiap kali aplikasi.
Tabel 20 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual dengan berbagai
kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K pada
umur 90 HST
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
15 30
……………… mg/g bb……………….
1 kali, 100+100 - 2.35 d
3 kali, 100+100 - 2.95 d
5 kali, 100+100 3.63 cd 3.79 cd
3 kali, 150+150 13.53 a 6.84 bc
5 kali, 150+150 7.83 b 7.04 bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - = tidak ada pucuk
Pucuk kolesom yang dipanen dengan interval panen 15 hari pada umur 90
HST menghasilkan kandungan protein sebesar 81.48% yang lebih tinggi jika
dibandingkan pucuk kolesom yang dipanen dengan interval panen 30 hari. Hal ini
karena rejuvenasi akibat pemanenan pucuk dengan interval yang lebih pendek
menyebabkan translokasi N yang lebih besar ke pucuk muda sebagai organ sink
yang kuat. Akumulasi N tersebut akan digunakan sebagai unsur utama dalam
sintesis asam amino untuk pembentukan protein. Pemanenan pucuk kolesom
dengan interval panen 30 hari mengakibatkan kolesom berbunga lebih awal yang
menandainya fase reproduktif bagi tanaman. Pembungaan yang terjadi akan
mengakibatkan penurunan kapasitas penyerapan N dan akan terjadi mobilisasi N
yang tersimpan dalam pucuk kepada organ lain, sehingga terjadi penurunan
sintesis protein pada pucuk.
Kandungan Antosianin
Kandungan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai perlakuan
pemupukan bertahap urea + KCl menghasilkan kandungan antosianin pucuk
kolesom yang bervariasi dari 0.07- 0.20 dan 0.09 – 0.28 µmol/g bb masing-
masing pada interval 15 dan 30 hari (Gambar 17a dan 17b).
Gambar 17a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari
Gambar 17b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari
Kandungan antosianin pucuk kolesom yang mendapatkan berbagai
perlakuan pemupukan bertahap urea + KCl pada pemanenan 15 hari sekali
cenderung meningkat dari umur 60 sampai 90 HST (Gambar 17a), sedangkan
kandungan antosianin kolesom yang mendapatkan berbagai perlakuan
pemupukan bertahap urea + KCl pada pemanenan 30 hari sekali cenderung
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
an
tosi
an
in (
µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
30 60 90
Kan
du
nga
n a
nto
sian
in (
µm
ol/
g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha3 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha5 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha3 kali, 150 kg urea
+ 150 kg KCl/ha5 kali, 150 kg urea
+ 150 kg KCl/ha
menurun dari umur 20 sampai 60 HST kemudian mengalami peningkatan kembali
pada umur 90 HST (Gambar 17b).
Perlakuan interval panen berpengaruh terhadap kandungan antosianin
pucuk kolesom pada umur 90 HST, di mana pemanenan pucuk kolesom dengan
interval 15 hari menghasilkan kandungan antosianin 46.15% lebih tinggi
dibandingkan dengan interval 30 hari (Tabel 21). Padahal pada percobaan
sebelumnya tidak ditemukan pengaruh interval panen terhadap kandungan
antosianin pucuk kolesom selama periode tanam 80 hari. Diduga bahwa
pemanenan setiap 15 hari sekali selama periode tanam 90 hari menimbulkan stres
bagi kolesom sehingga menghasilkan kandungan antosianin yang lebih tinggi.
Stres yang terjadi karena jaringan tanaman mendapatkan pelukaan jaringan dalam
waktu yang relatif lama, sehingga energi banyak terbuang untuk proses rejuvenasi
dan respirasi. Hal ini dapat mendukung pernyataan Hatier & Gould (2008) bahwa
antosianin dapat berperan sebagai sinyal stres bagi tanaman.
Tabel 21 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60 dan 90
HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
……….………µmol/g bb…………………
Interval panen (hari)
15 0.12 0.11 0.19 a
30 0.14 0.10 0.13 b
Frekuensi, total dosis urea+KCl
(kg/ha)
1 kali, 100+100 0.11 0.10 0.11
3 kali, 100+100 0.11 0.12 0.13
5 kali, 100+100 0.08 0.11 0.16
3 kali, 150+150 0.15 0.10 0.16
5 kali, 150+150 0.20 0.12 0.18
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata.
Kandungan klorofil
Gambar 18a dan 18b masing-masing secara berurutan menunjukkan
bahwa kandungan klorofil pucuk kolesom yang mendapatkan berbagai
pemupukan urea + KCl secara bertahap dengan interval panen 15 dan 30 hari
yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST mengalami peningkatan pada umur 60
HST kemudian menurun pada umur 90 HST, kecuali kandungan klorofil pucuk
kolesom pada perlakuan pemupukan urea + KCl secara bertahap dengan interval
panen 15 hari yang terus meningkat hingga umur 90 HST.
Gambar 18a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari
Gambar 18b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
30 60 90
Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
1.4
30 60 90
Kan
du
nga
n k
loro
fil
(µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
Tabel 22 menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan pupuk standar
sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada awal tanam menghasilkan kandungan
klorofil pucuk tertinggi pada umur 30 HST, yaitu pada perlakuan kontrol,
pemupukan bertahap urea + KCl sebanyak 3 dan 5 kali dengan total dosis 150 +
150 kg/ha. Semakin besar dosis pupuk urea + KCl yang ditambahkan pada
tahapan pemupukan berikutnya maka akan meningkatkan kandungan klorofil
pucuk kolesom sebesar 43.58 dan 29.09% dibandingkan kontrol pada umur 60
HST yaitu secara berurutan pada pemupukan bertahap urea + KCl sebanyak 3 dan
5 kali dengan total dosis 150 + 150 kg/ha pada umur 60 HST. Peningkatan
kandungan klorofil sampai umur 60 HST dengan peningkatan dosis pupuk urea+
KCl sangat penting untuk meningkatkan aktivitas fotosintesis kolesom, karena
periode ini merupakan masa vegetatif kolesom yang ditandai dengan produksi
pucuk yang tinggi. Kandungan klorofil pucuk kolesom pada umur 90 HST
dipengaruhi oleh interaksi antara interval panen dan pemupukan bertahap urea +
KCl.
Tabel 22 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…….………µmol/g bb…………………
Interval panen (hari)
15 0.87 0.94 1.05 a
30 0.96 0.96 0.79 b
Frekuensi, total dosis urea+KCl
(kg/ha)
1 kali, 100+100 0.97 a 0.78 c 0.47 d
3 kali, 100+100 0.77 b 0.72 c 0.44 d
5 kali, 100+100 0.78 b 0.94 b 0.86 c
3 kali, 150+150 0.88 ab 1.12 a 1.02 b
5 kali, 150+150 0.97 a 1.10 a 1.21 a
Interaksi tn tn ** Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata. tn = tidak nyata. bb=bobot basah.
Tabel 23 memperlihatkan kandungan klorofil pada berbagai kombinasi
antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K pada umur 90 HST.
Pemberian pupuk urea + KCl sebanyak 3 kali atau 5 kali dengan total dosis 150
kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 15 hari dan sebanyak 5 kali dengan
total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha pada interval panen 30 hari, diperlukan
untuk menghasilkan kandungan klorofil pucuk kolesom tertinggi pada umur 90
HST.
Tabel 23 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K umur
90 HST
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
15 30
…………….. µmol/g bb………………
1 kali, 100+100 - 0.47 e
3 kali, 100+100 - 0.44 e
5 kali, 100+100 0.76 d 0.97 bc
3 kali, 150+150 1.12 ab 0.93 cd
5 kali, 150+150 1.26 a 1.16 ab Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. - : tidak ada pucuk.
Adanya peningkatan kandungan klorofil pucuk kolesom yang terus
meningkat sampai umur 90 HST diduga mencerminkan bahwa pupuk yang
diberikan terutama unsur N dapat memenuhi kebutuhan kolesom untuk
melangsungkan pertumbuhan dan perkembangan sampai umur 90 HST sehingga
tidak terjadi senescence dini. Senescence pada daun merupakan fase terakhir dari
perkembangan tanaman yang meliputi perubahan biokimia dan fisiologi tanaman.
Ohe et al. (2005) menyatakan bahwa kloroplas merupakan tempat yang pertama
kali dikatabolisme pada masa senescence, sehingga menyebabkan kandungan
klorofil akan semakin menurun selama perkembangan senescence tanaman dan
terkait dengan penurunan aktivitas fotosintesis.
Kandungan Gula
Gambar 19a dan 19b masing-masing secara berurutan menunjukkan
bahwa kandungan gula dalam pucuk yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST
pada kolesom yang mendapatkan perlakuan pemupukan bertahap urea + KCl
dengan interval panen 15 dan 30 hari mengalami peningkatan pada umur 60 HST
kemudian mengalami penurunan pada umur 90 HST.
Perlakuan interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl hanya
berpengaruh terhadap kandungan gula pucuk kolesom pada umur 90 HST.
Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan kandungan gula
pucuk yang lebih tinggi sebesar 22.94% daripada kolesom yang dipanen dengan
interval 15 hari, sedangkan pemupukan bertahap urea + KCl dengan berbagai
frekuensi dan total dosis dapat meningkatkan kandungan gula pucuk sebesar 40 –
45.52% dibandingkan kontrol (Tabel 24).
Gambar 19a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 15 hari
Gambar 19b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai
pemupukan bertahap N+K (frekuensi, total dosis) dengan interval
panen 30 hari
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
30 60 90
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
30 60 90
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
Interval panen yang lebih panjang dapat menghasilkan kandungan gula
tertinggi diduga karena kolesom pada perlakuan ini memiliki peluang untuk
mengakumulasi C pada pucuk lebih besar daripada perlakuan yang mendapatkan
interval panen yang lebih pendek karena memiliki luas daun efektif untuk
berfotosintesis. Gula merupakan kelompok karbohidrat hasil fotosintesis dengan
unsur karbon (C) sebagai rangkanya yang dapat ditranslokasikan dan disimpan
sebagai cadangan dalam organ tumbuhan. Simon et al. (2004) & Teixera et al.
(2007) menyatakan bahwa pemanenan daun dengan interval panen yang lebih
pendek akan mengurangi daun yang berpotensi untuk meningkatkan laju
fotosintesis, sehingga akan mengurangi asimilasi C untuk tanaman. Inisiasi tunas
baru untuk membentuk pucuk kembali setelah pemanenan akan mengakibatkan
mobilisasi cadangan N organik dan C organik akan dilepaskan pada respirasi
sebagai energi yang dibutuhkan untuk aktivitas pertumbuhan, sehingga
kandungan gula akan lebih rendah.
Tabel 24 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K umur 30, 60 dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…………………. mg/g bb………………….
Interval panen (hari)
15 1.81 2.34 1.70 b
30 1.95 2.59 2.09 a
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
1 kali, 100+100 1.73 2.49 1.45 b
3 kali, 100+100 2.16 2.50 2.11 a
5 kali, 100+100 1.85 2.65 1.87 ab
3 kali, 150+150 1.84 2.36 2.03 a
5 kali, 150+150 1.85 2.33 2.09 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak nyata.
Penambahan pupuk secara bertahap dengan berbagai frekuensi dan total
dosis pupuk urea + KCl tidak dapat meningkatkan kandungan gula pucuk
kolesom, kecuali terhadap kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh
pemupukan urea + KCl secara bertahap terhadap kandungan gula pucuk kolesom
sangat rendah. Belum ada hasil penelitian lain yang menjelaskan mengenai
pengaruh pemberian kombinasi pupuk N dan K secara bertahap yang meliputi
waktu pemberian dan total dosis terhadap kandungan gula melainkan hanya
melaporkan pengaruh N dan K secara terpisah saja. Hasil penelitian Wang et al.
(2006) menunjukkan bahwa peningkatan gula total daun oleh peningkatan dosis N
sangat bervariasi tergantung kepada posisi daun dan membentuk kurva parabola
terhadap peningkatan dosis N, sedangkan penelitian Zhao-Hui et al. (2008)
menunjukkan bahwa kandungan gula pada tanaman sayur dipengaruhi oleh
peningkatan dosis K pada berbagai aplikasi pemupukan N.
Komponen Pertumbuhan Tanaman
Bobot Basah Pucuk Layak Jual
Gambar 20a dan 20b secara berurutan menunjukkan bahwa perlakuan
pemupukan urea + KCl yang meliputi frekuensi dan total dosis pada interval
panen 15 dan 30 hari masing-masing menghasilkan bobot basah pucuk kolesom
layak jual yang bervariasi dari 16.84 – 105.16 dan 15.43 – 60.94 g/tanaman.
Gambar 20a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
N+K bertahap (frekuensi, total dosis) pada interval panen 15 hari
Peningkatan bobot basah pucuk layak jual pada interval panen 15 hari
terdapat dari umur 30 sampai 45 HST kemudian mengalami penurunan hingga
umur 90 HST. Kolesom yang mendapatkan perlakuan kontrol dan pemupukan
bertahap urea+KCl sebanyak 3 kali dengan total dosis sebesar 100 kg urea + 100
kg KCl/ha tidak menghasilkan pucuk layak jual pada umur 75 dan 90 HST.
Peningkatan bobot basah pucuk kolesom layak jual pada interval panen 30 hari
0
20
40
60
80
100
120
30 45 60 75 90
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu Pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
terdapat dari umur 30 sampai umur 60 HST kemudian mengalami penurunan pada
umur 90 HST, kecuali pada perlakuan kontrol yang terus mengalami penurunan
hingga umur 90 HST.
Gambar 20b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai pemupukan
N +K bertahap (frekuensi, total dosis) pada interval panen 30 hari
Tabel 25 menunjukkan bahwa interval panen dan pemupukan bertahap
urea + KCl mempengaruhi bobot basah pucuk kolesom pada umur 60 dan 90 hari.
Tabel 25 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen dan
pemupukan bertahap N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
……………. g/tanaman……………...
Interval panen
15 hari 27.44 54.91 a 15.69 b
30 hari 25.18 43.72 b 28.01 a
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
1 kali, 100+100 27.39 23.42 d 7.72 d
3 kali, 100+100 25.74 31.94 c 9.19 d
5 kali, 100+100 25.02 54.55 b 19.96 c
3 kali, 150+150 23.62 70.83 a 41.15 a
5 kali, 150+150 29.77 65.83 a 31.26 b
Interaksi tn ** tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. tn = tidak nyata; ** = sangat nyata
0
20
40
60
80
100
120
30 60 90
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
1 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
5 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
3 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
5 kali, 150 kg urea +
150 kg KCl/ha
Kolesom yang dipanen dengan interval 30 hari menghasilkan bobot pucuk
kolesom layak jual yang lebih tinggi sebesar 78.52% dibandingkan interval panen
15 hari pada umur 90 HST. Padahal kolesom yang dipanen dengan interval 15
hari menghasilkan bobot pucuk kolesom layak jual yang lebih tinggi sebesar 8.97
dan 25.59% dibandingkan interval panen 30 hari masing-masing pada umur 30
dan 60 HST. Hal ini memperlihatkan bahwa pemanenan pucuk yang lebih
intensif pada interval panen 15 hari memberikan bobot pucuk yang lebih tinggi di
masa vegetatif dan memiliki batasan waktu untuk berproduksi maksimal sehingga
di akhir masa tanam menghasilkan bobot pucuk yang semakin menurun.
Penurunan bobot pucuk terjadi karena ukuran pucuk yang dipanen semakin kecil
dari panen sebelumnya.
Tabel 26 menunjukkan bahwa Bobot basah pucuk kolesom layak jual
umur 60 HST dan total selama 90 hari mendapatkan pengaruh interaksi antara
perlakuan interval panen dan pemupukan bertahap urea + KCl.
Tabel 26 Bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total selama
90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan
bertahap N+K
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
15 30
Bobot basah pucuk layak jual
60 HST (g/tanaman)
1 kali, 100+100 27.31 ef 19.54 f
3 kali, 100+100 31.74 e 32.13 e
5 kali, 100+100 63.78 bc 45.31 d
3 kali, 150+150 80.98 a 60.68 c
5 kali, 150+150 70.71 b 60.94 c
Total Bobot basah pucuk layak
jual (g/tanaman)
1 kali, 100+100 135.29 c 61.42 e
3 kali, 100+100 141.88 c 75.04 ef
5 kali, 100+100 262.10 b 89.85 d
3 kali, 150+150 307.67 a 131.98 c
5 kali, 150+150 289.58 a 126.29 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05. BB = bobot basah.
Kolesom memerlukan interval panen 15 hari dan pemupukan urea + KCl
sebanyak 3 kali dengan total dosis 150 + 150 kg /ha untuk dapat menghasilkan
bobot basah pucuk layak jual tertinggi pada 60 HST. Pupuk urea + KCl yang telah
diberikan pada kombinasi perlakuan tersebut sampai umur 60 HST adalah sebesar
125 kg urea + 125 kg KCl/ha. Total dosis pupuk yang diberikan tersebut masih
lebih rendah dibandingkan pemupukan urea + KCl sebanyak 5 kali dengan total
dosis 150 + 150 kg /ha pada interval panen yang sama yaitu sebesar 137.5 kg
urea + 137.5 kg KCl/ha pada umur 60 HST tetapi perlakuan ini menghasilkan
bobot basah pucuk kolesom yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
frekuensi pemupukan dan dosis pupuk yang ditambahkan memegang peranan
penting dalam menentukan bobot basah pucuk. Frekuensi pemupukan yang terlalu
sering tetapi dosis pupuk yang ditambahkan lebih rendah tidak dapat mencukupi
kebutuhan hara tanaman. Secara keseluruhan, Kolesom memerlukan interval
panen 15 hari dan frekuensi pemberian pupuk urea + KCl sebanyak 3 atau 5 kali
dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha untuk dapat menghasilkan total
bobot basah pucuk kolesom layak jual tertinggi selama 90 hari.
Bobot Basah dan Kering Tanaman
Tabel 27 menunjukkan bahwa semakin panjang interval panen maka akan
meningkatkan biomassa kolesom, yaitu batang dan umbi pada umur panen 90
HST. Diduga hal ini terjadi karena interval panen yang lebih panjang
menyebabkan tanaman mendapatkan waktu yang cukup untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan organ lain seperti perluasan daun, pemanjangan
batang dan pembentukan umbi. Perluasan daun yang lebih banyak pada kolesom
yang dipanen dengan interval 30 hari penting untuk meningkatkan aktivitas
fotosintesa sehingga menghasilkan asimilat yang lebih banyak untuk terbentuknya
akumulasi bahan kering tanaman, sedangkan interval panen yang lebih pendek
menyebabkan translokasi N dan penggunaan asimilat untuk rejuvenasi dan
sintesis protein pada pucuk. Mann & Wiktorsson (2003) dan Hare et al. (2004)
melaporkan bahwa interval panen yang lebih panjang akan menghasilkan
biomassa yang lebih tinggi karena translokasi asimilat dapat digunakan secara
proporsional untuk membentuk biomassa, di mana terjadi peningkatan proses
lignifikasi dan pembentukan serat untuk memperkuat dinding sel tanaman.
Semakin tinggi frekuensi dan total dosis urea + KCl (kg/ha) akan
meningkatkan biomassa, kecuali untuk bobot kering umbi. Pemupukan bertahap
dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dengan frekuensi pemberian 3
dan 5 kali dapat menghasilkan bobot basah dan kering tajuk kolesom yang lebih
tinggi dibandingkan kontrol dan pemupukan bertahap urea+KCl lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan jumlah dosis pupuk urea+KCl sangat penting
untuk membentuk biomassa tajuk kolesom.
Tabel 27 Bobot basah dan kering kolesom umur 90 HST pada berbagai interval
panen dan pemupukan bertahap N+K
Perlakuan Daun Batang Umbi
BB BK BB BK BB BK
……………………… g/tanaman ………………………….
Interval panen
(hari)
15 115.12 16.58 160.52 b 21.23 b 18.04 b 2.34 b
30 149.99 18.36 285.33 a 27.77 a 37.94 a 7.69 a
Frekuensi, total
dosis urea+KCl
(kg/ha)
1 kali, 100+100 58.81 b 13.17 b 142.14 b 16.45 d 24.71bc 4.20 c
3 kali, 100+100 94.37 b 15.55 b 149.49 b 18.38 cd 21.79 c 4.19 c
5 kali, 100+100 90.55 b 14.11 b 187.74 b 24.76 bc 30.99 a 6.79 a
3 kali, 150+150 235.55 a 23.79 a 320.00 a 31.03 ab 33.65 a 5.55 b
5 kali, 150+150 183.51 a 20.75 a 315.29 a 31.88 a 28.81 ab 4.36 c
Interaksi tn tn tn tn ** **
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. BB = bobot basah. BK=bobot kering. ** = sangat nyata. tn =
tidak nyata.
Kolesom yang dipanen 30 hari sekali dan mendapatkan pupuk N+K
sebanyak 5 kali dengan total dosis 100 kg urea + 100 kg KCl/ha diperlukan untuk
menghasilkan bobot basah dan kering umbi kolesom pada umur 90 HST (Tabel
28). Hasil ini menunjukkan bahwa bobot basah dan kering umbi tertinggi yang
dihasilkan oleh kolesom menggunakan total dosis urea+KCl yang lebih rendah
bila dibandingkan dengan bobot basah dan kering tajuk. Hal ini diduga bahwa
dosis total N+K yang lebih tinggi akan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman
dibandingkan untuk pertumbuhan organ reproduktif seperti umbi. Kanzikwera et
al. (2001) melaporkan bahwa interaksi antara N+K pada dosis yang tinggi akan
menghasilkan bahan kering yang rendah pada umbi, karena kedua unsur ini pada
dosis yang tinggi akan lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan tajuk dengan
menginduksi kerja fitohormon dan sitokinin.
Tabel 28 Bobot basah dan kering umbi kolesom umur 90 HST pada berbagai
kombinasi antara interval panen dan pemupukan bertahap N+K
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
15 30
………BB umbi (g/tanaman)…….
1 kali, 100+100 27.00 c 22.42 c
3 kali, 100+100 3.59 e 39.97 b
5 kali, 100+100 13.07 d 48.92 a
3 kali, 150+150 25.68 c 41.61 ab
5 kali, 150+150 20.84 c 36.78 b
………BK umbi (g/tanaman)…….
1 kali, 100+100 3.44 d 4.97 c
3 kali, 100+100 0.28 e 8.09 b
5 kali, 100+100 1.50 e 12.09 a
3 kali, 150+150 3.23 d 7.88 b
5 kali, 150+150 3.26 d 5.45 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05. BB = Bobot basah. BK = Bobot kering.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis
Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini
tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman. Kandungan
protein pucuk kolesom berkorelasi positif dengan kandungan klorofil (Tabel 29).
Tabel 29 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom
umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis
kolesom pada berbagai interval panen dan pemupukan bertahap N+K
Protein Antosianin
………………..% .........................
Antosianin 64.78
Klorofil 82.34** 63.60
Gula -0.34 -10.05
Bobot basah pucuk 64.12 14.36
Bobot basah daun total 69.37 19.06
Bobot basah batang 13.59 25.53
Bobot basah umbi -19.69 -35.79
Bobot kering daun total 73.12 15.79
Bobot kering batang 24.87 -55.71
Bobot kering umbi -42.38 -64.61 Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
Kualitas pucuk kolesom layak jual yang dibudidayakan selama 90 hari
dapat diukur dari produksi protein dan antosianin yang masing-masing
merupakan hasil perkalian antara bobot basah total pucuk kolesom dengan
kandungan total protein dan antosianin. Pemanenan pucuk kolesom dengan
interval 15 hari sekali dan pemupukan urea + KCl secara bertahap sebanyak 3 kali
dan total dosis 150 kg urea+ 150 kg KCl/ha diperlukan untuk menghasilkan
produksi protein dan antosianin pucuk kolesom tertinggi selama 90 hari (Tabel
30).
Tabel 30 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 90
hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan pemupukan
bertahap N+K
Frekuensi, total dosis
urea+KCl (kg/ha)
Interval panen (hari)
15 30
Produksi protein (g/tanaman)
1 kali, 100+100 2.56 de 0.67 e
3 kali, 100+100 2.50 de 1.06 de
5 kali, 100+100 5.51 c 1.11 de
3 kali, 150+150 13.90 a 3.10 d
5 kali, 150+150 9.77 b 2.61 de
Produksi antosianin
(µmol/tanaman)
1 kali, 100+100 65.38 d 19.95 f
3 kali, 100+100 70.59 d 31.49 ef
5 kali, 100+100 164.42 c 30.87 ef
3 kali, 150+150 250.61 a 58.33 de
5 kali, 150+150 215.17 b 81.17 d Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada
uji DMRT 0.05.
Kesimpulan
Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 90 hari
dihasilkan oleh kolesom yang dipanen setiap 15 hari sekali dan mendapatkan
pupuk N+K dengan dosis total 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dalam 3 kali tahapan
pemberian (0, 30, dan 60 HST). Terdapat korelasi positif antara kandungan
protein dan klorofil pucuk kolesom.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK
KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN
APLIKASI PUPUK DAUN NITROGEN+KALIUM PADA DUA
INTERVAL PANEN
Protein and Anthocyanin Productions of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) with Foliar Application of Nitrogen+Potassium under Two
Harvest Intervals
Abstrak
Penelitian untuk mempelajari pengaruh aplikasi pemupukan N+K melalui daun
pada dua interval panen terhadap produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
(Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo, Dramaga,
Bogor, Indonesia pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian pot menggunakan
rancangan petak terpisah dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor pertama adalah
interval panen yaitu 15 dan 30 hari. Faktor kedua adalah aplikasi pupuk daun
N+K yang meliputi frekuensi penyemprotan pupuk daun dengan berbagai dosis
pupuk dasar urea+KCl yaitu 0 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha (kontrol),
2 kali dengan 50 kg urea + 50 kg KCl/ha, 4 kali dengan 50 kg urea + 50 kg
KCl/ha, 2 kali dengan 100 kg urea + 100 kg KCl/ha, 4 kali dengan 100 kg urea +
100 kg KCl/ha. Penyemprotan pupuk daun sebanyak 4 kali dengan pemberian
pupuk dasar sebesar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada kolesom yang dipanen 15
hari sekali menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi yaitu
masing-masing sebesar 5.69 g/tanaman dan 109.44 µmol/tanaman. Kandungan
protein berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan gula.
Kata Kunci: Tanaman obat, pucuk layak jual, protein, antosianin, pupuk daun
Abstract
The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from
April until July 2010 to study the effect of foliar application of
nitrogen+potassium and harvest interval on waterleaf shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) protein and anthocyanin production. A split plot design was used
with three replications of two factors,i.e harvest intervals (15 and 30 days) and
foliar spraying frequencies with different dosages urea+KCl of basalt fertilizer
(zero with 100 kg urea+100 kg KCl/ha (control), 2 times with 50 kg urea+50 kg
KCl/ha, 4 times with 50 kg urea+50 kg KCl/ha, 2 times with 100 kg urea+100 kg
KCl/ha, 4 times with 100 kg urea+100 kg KCl/ha). The result showed that 4 times
of foliar spraying with 100 kg urea + 100 kg KCl/ha of basalt fertilizer produced
the highest shoot protein (5.69 g/plant) and anthocyanin production (109.44
µmol/plant) on the waterleaf which harvested every 15 days interval. There was a
positive correlation between protein with chlorophyll and sugar content.
Keywords : Medicinal plant, marketable shoot, protein, anthocyanin, foliar
application
Pendahuluan
Pemanfaatan kolesom sebagai tanaman sayuran berkhasiat obat harus terus
dikembangkan melalui usaha budidaya pertanian. Percobaan sebelumnya dalam
rangkaian penelitian ini mendapatkan dosis pupuk standar sebesar 100 kg urea
dan 100 kg KCl/ha untuk menghasilkan produksi protein dan antosianin pucuk
kolesom tertinggi selama 80 hari. Namun, umur produksi kolesom yang dipanen
berulang tersebut hanya berkisar 50 hari dan kemudian menurun. Pemanenan
pucuk kolesom diduga mengakibatkan tanaman memerlukan hara tambahan yang
dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan rejuvenasi dan memperpanjang
umur produksi.
Aplikasi pupuk melalui daun pada konsentrasi tertentu dapat dijadikan
pilihan sebagai metode pemberian nutrisi tambahan kepada tanaman karena lebih
mudah diabsorbsi dan cepat didistribusikan melalui jaringan daun daripada
aplikasi tanah (Stancheva et al. 2005). Keuntungan lain dari aplikasi pupuk
melalui daun adalah dapat memberikan suplai hara pada saat kondisi tanah
membatasi penyerapan hara oleh akar atau pada saat periode pertumbuhan cepat
dimana permintaan akan hara melebihi suplai akar (del Amor & Cuadra-Crespo
2011). Aplikasi pupuk daun N dapat mengurangi jumlah N yang diberikan ke
tanah karena kelebihan N di tanah dapat merusak lingkungan dan menurunkan
produksi tanaman (Fernandez-escobar 2009).
Aplikasi pupuk daun N dan K sebagai suplemen dari pemupukan tanah
telah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Pemberian pupuk N
berupa urea 2% melalui daun dapat meningkatkan kandungan klorofil, protein,
dan menunda senescence pada tanaman blackgram (Sritharan et al. 2005).
Pemberian pupuk K melalui daun dapat meningkatkan klorofil, hara mineral, serta
kualitas buah pada tomat (Chapagain & Wiesman 2004). Aplikasi kombinasi
pupuk N dan K melalui daun yang dilakukan oleh Marman (2010) menunjukkan
bahwa pemberian pupuk daun dengan konsentrasi urea 0.2% dan K 0.1% dapat
meningkatkan produksi dan kandungan klorofil pucuk kolesom.
Penelitian pengaruh frekuensi pemberian pupuk daun N dan K terhadap
produksi protein dan antosianin pucuk kolesom belum dilakukan. Penelitian ini
bertujuan untuk meningkatkan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui daun pada berbagai interval
panen.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2010, bertempat di
kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo, Kecamatan
Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen fisiologis tanaman
dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography, sedangkan
analisis komponen pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker
and Spectrophotometry UV-VIS Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas
Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom
berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang
sekam. Peralatan yang digunakan antara lain kantong plastik (polybag) berukuran
40 cm x 50 cm (kapasitas 10 kg), spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge
heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian
Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah (split plot design)
dengan interval panen sebagai petak utama dan aplikasi pupuk N+K melalui daun
sebagai anak petak.
Petak utama terdiri atas dua taraf interval panen yaitu 15 dan 30 hari.
Keduanya adalah interval panen terbaik yang didapatkan dari percobaan I. Anak
petak terdiri atas lima taraf aplikasi pupuk N+K melalui daun yang terdiri atas
berbagai frekuensi penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl (Tabel 31).
Kontrol merupakan dosis urea + KCl (kg/ha) yang memberikan produksi protein
dan antosianin tertinggi pada percobaan I.
Terdapat 10 kombinasi perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali
sehingga diperoleh 30 unit percobaan dan setiap unit percobaan terdiri dari 10
tanaman.
Tabel 31 Aplikasi pupuk N+K melalui daun dengan berbagai frekuensi
penyemprotan dan dosis pupuk dasar urea + KCl
Dosis pupuk dasar
urea+KCl (kg/ha)
Frekuensi
penyemprotan
(kali)
Waktu penyemprotan (HST)
15 30 45 60
100 + 100 0 (kontrol) - - - -
50 + 50 2 - √ - √
50 + 50 4 √ √ √ √
100 + 100 2 - √ - √
100 + 100 4 √ √ √ √ keterangan : √ = konsentrasi pupuk daun sebesar 0.2% urea + 0.1% KCl (Marman 2010)
Model statistik untuk rancangan petak terpisah adalah sebagai berikut :
Yijk = µ + αi +κk +δik +βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan :
Yijk = nilai pengamatan pada perlakuan petak utama ke-i, anak petak ke-j
dan ulangan ke-k
µ = nilai rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan interval panen taraf ke-i (1,2)
κk = pengaruh ulangan ke-k (1, 2, 3)
δik = galat petak utama
βj = pengaruh perlakuan aplikasi pupuk daun N+K taraf ke-j (1,2,3,4,5)
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan petak utama ke-i dengan anak
petak ke-j
εijk = pengaruh galat karena pengaruh faktor interval panen taraf ke-i dan
faktor aplikasi pupuk daun N+K ke-j pada ulangan ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Pelaksanaan Percobaan
Penyiapan media tanam. Media tanam yang digunakan adalah campuran
antara tanah dan arang sekam (3:2/v:v). Pupuk kandang ayam diberikan sebanyak
25 g/polybag atau setara dengan 5 ton/ha yang telah dicampur 2 minggu sebelum
tanam. Sebelum penanaman dilakukan analisis sifat fisik dan kimia terhadap
tanah dan pupuk kandang ayam. Media tanam disiapkan dengan memasukkan
campuran media tersebut ke dalam polybag.
Penanaman. Setek batang yang digunakan berukuran panjang 10 cm dan
tanpa daun. Pangkal batang dipotong miring. Setiap polybag ditanam 1 tanaman.
Pemberian pupuk nitrogen dan kalium melalui tanah sesuai dosis perlakuan
diberikan pada saat setek tanaman telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna.
Pupuk SP-18 diberikan pula dengan dosis 50 kg/ha untuk semua perlakuan.
Aplikasi pupuk melalui daun sesuai perlakuan diberikan dengan menyemprotkan
larutan pupuk menggunakan sprayer pada seluruh permukaan daun sampai basah
dan larutannya menetes ke tanah.
Pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
sekali sehari pada pagi hari dan disesuaikan dengan musim. Penyiangan
dilakukan setiap saat secara manual sehingga pot perlakuan bebas dari gulma.
Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala
serangan.
Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari
setiap cabang yang ada. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman
kolesom sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang
ditegakkan dari setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan.
Panen pertama dilakukan pada 30 HST untuk semua perlakuan.
Pengamatan
Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman.
Komponen fisiologis tanaman
1. Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan
90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2. Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada
umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon
(2002).
3. Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan
menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Bobot basah daun layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 30,
60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan pucuk yang
dihasilkan setiap individu tanaman.
2. Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen 90 HST dengan menggunakan timbangan.
3. Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen 90 HST dengan menggunakan timbangan
setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
kolesom selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
tanaman
Variabel Pengamatan
Perlakuan KK
(%) Interval
panen
Pupuk Interaksi
Kandungan protein 30 HST tn ** tn 21.52
Kandungan protein 60 HST ** ** tn 9.08
Kandungan protein 90 HST * ** tn 16.22
Kandungan antosianin 30 HST tn tn tn 14.59
Kandungan antosianin 60 HST tn tn tn 12.20
Kandungan antosianin 90 HST tn tn tn 18.59
Kandungan klorofil total 30 HST tn tn tn 9.96
Kandungan klorofil total 60 HST tn ** tn 11.11
Kandungan klorofil total 90 HST ** ** tn 12.83
Kandungan gula total 30 HST tn tn tn 11.41
Kandungan gula total 60 HST tn tn tn 10.04
Kandungan gula total 90 HST tn ** tn 14.63
Bobot basah pucuk 30 HST tn * tn 20.50
Bobot basah pucuk 60 HST ** ** ** 8.49
Bobot basah pucuk 90 HST ** ** tn 11.53
Bobot basah pucuk total tn * tn 8.03
Bobot basah daun total ** ** ** 7.82
Bobot kering daun total * * tn 33.35
Bobot basah batang total ** ** ** 6.61
Lanjutan Tabel 32
Variabel Pengamatan
Perlakuan
Interval
panen
Pupuk Interaksi
KK
(%)
Bobot kering batang total ** ** tn 16.73
Bobot basah umbi total ** ** ** 9.98
Bobot kering umbi total ** ** tn 16.90
Produksi protein ** ** ** 17.45
Produksi antosianin ** ** ** 8.94 Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F
pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman
Kandungan Protein
Gambar 21a dan 21b menunjukkan bahwa kandungan protein pucuk layak
jual kolesom yang mendapatkan aplikasi pupuk daun urea + KCl masing-masing
pada interval panen 15 dan 30 hari mengalami peningkatan sampai umur 60 HST,
kemudian terus mengalami penurunan hingga umur 90 HST. Kandungan protein
pucuk kolesom dengan berbagai aplikasi pupuk daun urea + KCl tersebut
bervariasi dari 3.95 – 11.57 dan 3.92 – 10.1 mg/g bb masing-masing pada interval
panen 15 dan 30 hari.
Gambar 21a Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk
dasar) dengan interval panen 15 hari
0
2
4
6
8
10
12
14
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
Gambar 21b Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk
dasar) dengan interval panen 30 hari
Tabel 33 menunjukkan bahwa pemanenan pucuk kolesom yang baru
dimulai pada umur 30 HST menyebabkan kandungan protein pucuk kolesom
layak jual pada umur 30 HST belum dipengaruhi oleh perlakuan interval panen.
Perlakuan kontrol dan semua aplikasi pupuk daun urea + KCl yang menggunakan
pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha menghasilkan kandungan
protein pucuk kolesom yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kolesom yang
mendapatkan pupuk dasar yang lebih rendah pada umur 30 HST. Hal ini
menunjukkan bahwa kolesom membutuhkan pupuk urea + KCl yang diberikan
melalui tanah pada awal tanam dalam jumlah yang lebih besar karena unsur N
dan K sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan metabolisme
protein pada pucuk. Aplikasi pupuk daun urea+KCl dengan frekuensi
penyemprotan sebanyak 4 kali dan pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
untuk dapat meningkatkan kandungan protein sebesar 16.18 dan 28.21%
dibandingkan kontrol masing-masing pada umur 60 dan 90 HST. Hasil ini
menunjukkan bahwa pupuk urea+KCl yang diberikan melalui daun kolesom harus
dilakukan dengan frekuensi yang lebih sering untuk memberikan kecukupan hara
N+K dalam sintesis protein. Yildirim (2007) menyatakan bahwa aplikasi pupuk
urea melalui daun akan mempercepat metabolisme N dan sintesis protein karena
urea memiliki ukuran molekul yang kecil, kelarutannya tinggi, dan cepat diserap
0
2
4
6
8
10
12
14
30 60 90
Kan
du
ngan
pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
oleh kutikula. Abad et al. (2004) melaporkan bahwa peningkatan frekuensi
penyemprotan pupuk N melalui daun dapat meningkatkan kandungan protein
gandum. Namun, Borowski & Michalek (2009) menegaskan bahwa penyemprotan
pupuk N+K merupakan suatu sinergi terbaik yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kandungan protein tanaman. Penyemprotan pupuk urea secara
tunggal tidak dapat menghasilkan protein secara sempurna tanpa kehadiran pupuk
K. Unsur K penting untuk pembentukan protein karena ion K+
berperan sebagai
aktivator atau koenzim beberapa enzim yang dibutuhkan dalam meningkatkan
kandungan nitrat daun dan sintesis protein.
Tabel 33 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
……………mg/g bb……………..
Interval panen (hari)
15 5.36 10.00 a 6.94 a
30 5.67 7.91 b 6.01 b
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk
dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 6.35 a 9.33 b 6.77 b
2 kali, 50+50 3.93 b 7.07 d 4.14 c
4 kali, 50+50 4.65 b 8.18 c 5.82 b
2 kali, 100+100 6.48 a 9.38 b 6.99 b
4 kali, 100+100 6.18 a 10.84a 8.68 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak
nyata
Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari menghasilkan kandungan
protein yang lebih tinggi sebesar 26.42 dan 13.40% dibandingkan kontrol masing-
masing secara berurutan pada umur 60 dan 90 HST. Hal ini diduga karena
rejuvenasi akibat pemanenan pucuk dengan interval yang lebih pendek akan
menyebabkan pucuk menjadi organ sink yang kuat, sehingga terjadi akan terjadi
translokasi N ke pucuk muda. Akumulasi N tersebut akan digunakan sebagai
unsur utama dalam sintesis asam amino untuk pembentukan protein. Pemanenan
pucuk kolesom dengan interval panen 30 hari mengakibatkan kolesom berbunga
lebih awal yang menandainya fase dewasa bagi tanaman. Pembungaan yang
terjadi akan mengakibatkan penurunan kapasitas penyerapan N dan akan terjadi
mobilisasi N yang tersimpan dalam pucuk kepada organ lain, sehingga terjadi
penurunan sintesis protein pada pucuk. Penelitian Kabi & Bareeba (2008)
menunjukkan bahwa interval panen yang panjang akan mempercepat
pendewasaan tanaman yang ditandai dengan peningkatan biomassa, lignifikasi
dan serat pada daun, sehingga menurunkan kandungan protein pada daun Morus
Alba dan Calliandra calothyrsus. Peristiwa tersebut juga dilaporkan oleh
Manyawu et al. (2003) dan Sarwar et al. (2006) sebagai penyebab penurunan
kandungan protein pada rumput Napier dan Pennisetum.
Kandungan Antosianin
Gambar 22a dan 22b secara berurutan menunjukkan bahwa kandungan
antosianin pucuk kolesom layak jual yang mendapatkan berbagai aplikasi pupuk
daun N+K pada interval panen 15 dan 30 hari meningkat pada umur 90 HST.
Kandungan antosianin pucuk kolesom dengan berbagai aplikasi pupuk daun urea
+ KCl tersebut bervariasi dari 0.14 – 0.20 dan 0.13 – 0.26 µmol/g bb masing-
masing pada interval panen 15 dan 30 hari.
Gambar 22a Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
berbagai aplikasi pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar) dengan interval panen 15 hari
0
0.1
0.2
0.3
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
an
tosi
an
in (
µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
Gambar 22b Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 30 hari
Tabel 34 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom layak
jual pada umur 30, 60, dan 90 HST tidak dipengaruhi oleh interval panen dan
aplikasi pupuk daun maupun interaksi keduanya.
Tabel 34 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
……………µmol/g bb……………
Interval panen (hari)
15 0.15 0.15 0.18
30 0.15 0.14 0.20
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 0.15 0.16 0.21
2 kali, 50+50 0.15 0.17 0.18
4 kali, 50+50 0.16 0.14 0.20
2 kali, 100+100 0.15 0.14 0.17
4 kali, 100+100 0.16 0.14 0.19
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn = tidak
nyata
Berdasarkan hasil pada Tabel 34 dapat diduga bahwa peningkatan
kandungan antosianin yang terjadi pada umur 90 HST diduga disebabkan oleh
0
0.1
0.2
0.3
30 60 90
Kan
du
ngan
an
tosi
an
in (
µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
2 kali,50 kg urea + 50
kg KCl/ha
4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha
2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
stres abiotik terhadap perpanjangan periode panen hingga umur 90 HST. Stres
terjadi karena tanaman mendapatkan pelukaan mekanik secara terus-menerus dan
memaksa tanaman untuk terus berejuvenasi yang membutuhkan suplai hara dan
energi yang cukup, sedangkan penyerapan hara tanaman secara alami akan
menurun dengan pertambahan umur. Hal ini juga sejalan dengan hasil percobaan
sebelumnya yang memperlihatkan bahwa perpanjangan periode panen dari umur
80 menjadi 90 HST pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea+KCl
secara bertahap melalui tanah akan menyebabkan peningkatan kandungan
antosianin pucuk kolesom pada umur 90 HST.
Kandungan Klorofil
Gambar 23a dan 23b menunjukkan bahwa kandungan klorofil pucuk yang
diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST pada kolesom yang mendapatkan berbagai
aplikasi pupuk daun N+K masing-masing secara berurutan pada interval panen 15
dan 30 hari mengalami peningkatan pada umur 60 HST kemudian mengalami
penurunan pada umur 90 HST.
Tabel 35 menunjukkan bahwa semakin sering penyemprotan pupuk urea +
KCl melalui daun dan semakin tinggi dosis pupuk dasar maka semakin tinggi pula
kandungan klorofil pucuk kolesom pada umur 60 dan 90 HST. Aplikasi pupuk
daun urea + KCl sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea +
100 kg KCl/ha dapat meningkatkan kandungan klorofil sebesar 26.50 dan 60.71%
dibandingkan kontrol masing-masing secara berurutan pada umur 60 dan 90 HST.
Peningkatan kandungan klorofil melalui aplikasi pupuk urea + KCl melalui daun
juga ditemukan oleh Borowski & Michalek (2009) pada daun bayam
dibandingkan jika unsur urea dan KCl diaplikasikan masing-masing secara
tunggal.
Pemanenan kolesom dengan interval 15 hari menghasilkan kandungan
klorofil pucuk yang lebih tinggi sebesar 17.86% dibandingkan interval 30 hari.
Kandungan klorofil yang lebih tinggi pada interval panen yang lebih pendek
diduga karena aktivitas rejuvenasi yang lebih tinggi menyebabkan pucuk menjadi
sink yang kuat untuk translokasi hara N. Keterkaitan antara hara N dan klorofil
dijelaskan oleh Netto (2005) dan Arregui et al. (2006) karena sintesis klorofil
memerlukan hara N sebagai unsur utamanya sehingga klorofil dapat dijadikan
parameter sederhana untuk mengukur kandungan N daun.
Gambar 23a Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 15 hari
Gambar 23b Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 30 hari
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
30 60 90
Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
0 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
30 60 90Kan
du
ngan
klo
rofi
l (µ
mol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
0 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea
+ 50 kg KCl/ha4 kali, 50 kg urea
+ 50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha
Tabel 35 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval
panen dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60 dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…………µmol/g bb………………
Interval panen (hari)
15 0.91 0.81 0.33 a
30 0.92 0.81 0.28 b
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis pupuk
dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 0.97 0.83 bc 0.28 bc
2 kali, 50+50 0.84 0.50 d 0.24 c
4 kali, 50+50 0.88 0.77 c 0.26 bc
2 kali, 100+100 0.92 0.89 b 0.30 b
4 kali, 100+100 0.98 1.05 a 0.45 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb= bobot basah. tn=tidak nyata.
Kandungan Gula
Gambar 24a dan 24b masing-masing secara berurutan menunjukkan
bahwa kandungan gula pucuk yang diukur pada umur 30, 60, dan 90 HST pada
kolesom yang mendapatkan berbagai aplikasi pupuk daun dengan interval panen
15 dan 30 hari cenderung mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan
umur tanaman, kecuali pada perlakuan aplikasi pupuk daun sebanyak 2 dan 4 kali
masing-masing dengan dosis pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha dan
interval panen 15 hari mengalami peningkatan pada umur 90 HST.
Tabel 36 menunjukkan bahwa interval panen dan aplikasi pupuk daun
urea+KCl tidak mempengaruhi kandungan gula pucuk kolesom pada umur 30 dan
60 HST. Frekuensi penyemprotan pupuk daun sebanyak 2 dan 4 kali dengan
pupuk dasar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha masing-masing menghasilkan
kandungan gula pucuk kolesom yang lebih tinggi sebesar 33.80 dan 28.19%
dibandingkan kontrol pada umur 90 HST. Aplikasi pupuk daun sebanyak 2 dan 4
kali dengan pupuk dasar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha masing-masing menghasilkan
kandungan gula yang lebih rendah dibandingkan kontrol pada umur 90 HST.
Frekuensi penyemprotan pupuk daun urea + KCl sebanyak 2 atau 4 kali
masing-masing menghasilkan kandungan gula yang tidak berbeda nyata baik pada
kolesom yang mendapatkan pupuk dasar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha maupun 100
kg urea+ 100 kg KCl/ha. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan pupuk urea +
KCl melalui daun hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap kandungan
gula dalam pucuk kolesom dibandingkan dosis pupuk dasar urea + KCl melalui
tanah.
Gambar 24a Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 15 hari
Gambar 24b Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 30 hari
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
30 60 90
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 15 hari
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha4 kali,50 kg urea +
50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
30 60 90
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
Interval panen 30 hari
0 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea +
100 kg KCl/ha
Tabel 36 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…………………..mg/g bb…………………
Interval panen (hari)
15 2.19 1.93 1.40
30 2.06 2.07 1.54
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 1.93 2.02 1.42 b
2 kali, 50+50 2.14 2.09 1.11 c
4 kali, 50+50 2.22 1.86 1.10 c
2 kali, 100+100 2.26 1.92 1.90 a
4 kali, 100+100 2.08 2.12 1.82 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. tn=tidak
nyata
Komponen Pertumbuhan Tanaman
Bobot Basah Pucuk Layak Jual
Gambar 25a menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan perlakuan
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl pada interval panen
15 hari menghasilkan bobot basah pucuk layak jual yang bervariasi dari 8.94 –
36.18 g/tanaman.
Gambar 25a Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 15 hari
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
30 45 60 75 90
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha
Bobot basah pucuk layak jual pada Gambar 25a mengalami peningkatan
dari umur 30 sampai 60 HST kemudian mengalami penurunan, kecuali pada
perlakuan kontrol dan aplikasi pupuk daun sebanyak 2 kali dengan total dosis 50
kg urea+50 kg KCl/ha.
Gambar 25b menunjukkan bahwa kolesom yang mendapatkan perlakuan
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl pada interval panen
30 hari menghasilkan bobot 10.15 – 43.43 g/tanaman. Bobot basah pucuk layak
jual tersebut mengalami peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian
mengalami penurunan untuk semua perlakuan aplikasi pupuk daun urea + KCl.
Penurunan yang terjadi pada umur 90 HST menghasilkan bobot basah pucuk
layak jual yang lebih tinggi daripada umur 30 HST; kecuali pada kolesom yang
mendapatkan perlakuan kontrol atau aplikasi pupuk daun sebanyak 2 kali dengan
pupuk dasar sebesar 50 kg urea + 50 kg KCl/ha melalui tanah pada pemanenan
pucuk 15 hari sekali. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan bobot basah pucuk
yang mencerminkan aktivitas rejuvenasi akan berlangsung singkat pada kolesom
yang dipanen dengan interval yang lebih pendek dan mendapatkan dosis pupuk
urea + KCl yang lebih rendah.
Gambar 25b Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk daun N+K (frekuensi penyemprotan, dosis pupuk dasar)
dengan interval panen 30 hari
Tabel 37 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pupuk daun urea + KCl
dengan frekuensi 4 kali dan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100 kg
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
30 60 90
Bob
ot
basa
h p
ucu
k l
ayak
ju
al
(g/t
an
am
an
)
Waktu Pemanenan (HST)
0 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha2 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha4 kali, 50 kg urea +
50 kg KCl/ha2 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha4 kali, 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha
KCl/ha dapat menghasilkan bobot pucuk kolesom layak jual yang lebih tinggi
sebesar 11.16% dibandingkan kontrol pada umur 30 HST. Diduga bahwa aplikasi
pupuk daun urea + KCl sejak umur 15 HST dapat meningkatkan bobot basah
pucuk layak jual dibandingkan perlakuan lain yang mendapatkan dosis pupuk
dasar yang sama.
Tabel 37 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai interval panen
dan aplikasi pupuk daun N+K umur 30, 60, dan 90 HST
Perlakuan Waktu panen (HST)
30 60 90
…………………..mg/g bb…………………
Interval panen (hari)
15 13.75 24.48 b 14.45 b
30 12.19 36.02 a 31.55 a
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 14.52 ab 22.16 c 16.53 c
2 kali, 50+50 11.27 bc 19.95 c 10.24 d
4 kali, 50+50 10.75 c 38.15 a 31.47 a
2 kali, 100+100 12.17 bc 31.17 b 24.00 b
4 kali, 100+100 16.14 a 39.80 a 32.76 a
Interaksi tn ** tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah. ** = sangat
nyata. tn = tidak nyata
Tabel 37 juga menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan interval
panen dan aplikasi pupuk daun mempengaruhi bobot basah pucuk layak jual
kolesom pada umur 60 HST. Pemanenan pucuk dengan interval 15 hari
menghasilkan bobot basah pucuk yang lebih rendah pada umur 90 HST sebesar
54.26% dibandingkan interval 30 hari pada umur 90 HST. Padahal hasil
percobaan sebelumnya menunjukkan bahwa Pemanenan pucuk dengan interval
15 hari menghasilkan bobot basah pucuk yang lebih tinggi. Diduga bahwa
pemanenan pucuk yang dimulai pada umur 30 hari dan perpanjangan masa
produksi hingga 90 hari menyebabkan kolesom yang dipanen dengan interval 15
hari akan menghasilkan bobot pucuk yang lebih tinggi di awal vegetatif dan
kemudian kemampuannya untuk berrejuvenasi cepat menurun. Aplikasi pupuk
daun urea + KCl sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg
KCl/ha atau 50 kg urea + 50 kg KCl/ha dapat menghasilkan bobot basah pucuk
yang lebih tinggi masing-masing sebesar 98.19 dan 90.38% dibandingkan kontrol
pada umur 90 HST. Kolesom pada umur 90 HST diduga telah mengalami
penurunan produksi pucuk karena telah berada pada masa senescence. Daun-daun
bagian bawah telah rontok dan menguning karena telah terjadi remobilisasi hara.
Diduga frekuensi penyemprotan pupuk N+K yang lebih sering akan memberikan
kecukupan hara untuk memenuhi proses rejuvenasi daun. Jabeen & Ahmad (2009)
menyatakan bahwa aplikasi pupuk daun N dan K sampai pada dosis tertentu
sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan menunda
senescence daun. Interaksi kedua unsur ini sangat sangat efektif diserap oleh sel
daun sebagai anion dan kation, sehingga dapat menghambat aktivitas asam absisat
dan meningkatkan aktivitas sitokinin yang berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan tanaman.
Tabel 38 menunjukkan bahwa bobot basah pucuk layak jual tertinggi pada
umur 60 HST dihasilkan oleh kolesom yang dipanen setiap 30 hari sekali dan
mendapatkan aplikasi pupuk sebanyak 4 kali dengan pupuk dasar sebesar 100 kg
urea + 100 kg KCl/ha atau 50 kg urea + 50 kg KCl/ha.
Tabel 38 Bobot basah total pucuk kolesom layak jual umur 60 HST dan total
selama 90 hari pada berbagai kombinasi antara interval panen dan
aplikasi pupuk daun N+K
Aplikasi pupuk daun
(Frekuensi penyemprotan,
dosis pupuk dasar urea+KCl
(kg/ha))
Interval panen (hari)
15 30
BB pucuk layak jual 60 HST (g/tanaman)
0 kali, 100+100 13.31 e 31.01 cd
2 kali, 50+50 12.19 e 27.71 d
4 kali, 50+50 34.02 bc 42.28 a
2 kali, 100+100 26.68 d 35.67 bc
4 kali, 100+100 36.18 b 43.43 a
BB pucuk layak jual total (g/tanaman)
0 kali, 100+100 76.25 c 69.59 cd
2 kali, 50+50 55.28 e 58.43 de
4 kali, 50+50 121.67 a 92.14 b
2 kali, 100+100 104.49 b 79.55 c
4 kali, 100+100 133.02 a 99.39 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kombinasi antara interval panen 15 hari dengan aplikasi pupuk urea + KCl
melalui daun sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar urea + KCl sebesar 50 + 50
atau 100 + 100 kg/ha menghasilkan total bobot basah pucuk layak jual tertinggi
selama 90 hari.
Bobot Basah dan Kering Tanaman
Bobot basah daun, batang, dan umbi pada umur 90 HST dipengaruhi oleh
interaksi antara perlakuan interval panen dan aplikasi pupuk daun urea + KCl
(Tabel 39).
Tabel 39 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
Perlakuan Bobot basah
Daun Batang Umbi
………………. g/tanaman…………….
Interval panen (hari)
15 42.17 b 81.95 b 17.04 b
30 68.86 a 116.15 a 27.28 a
Aplikasi pupuk daun
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 59.46 b 102.94 b 22.03 c
2 kali, 50+50 26.25 d 69.60 d 11.90 d
4 kali, 50+50 46.36 c 88.92 c 19.39 c
2 kali, 100+100 64.02 b 107.05 b 25.55 b
4 kali, 100+100 81.49 a 126.73 a 31.96 a
Interaksi ** ** ** Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. ** = sangat nyata.
Pemanenan pucuk setiap 30 hari sekali dan aplikasi pupuk urea + KCl
melalui daun sebanyak 4 kali dengan dosis pupuk dasar sebesar 100 kg urea + 100
kg KCl/ha menghasilkan bobot basah daun total, batang, dan umbi tertinggi pada
panen terakhir kolesom umur 90 HST (Tabel 40). Kolesom yang mendapatkan
frekuensi penyemprotan yang sama namun mendapatkan interval panen yang
lebih pendek akan menghasilkan bobot basah tanaman yang lebih rendah. Hal ini
diduga karena pasokan hara yang didapatkan tanaman melalui aplikasi pupuk
daun pada interval panen yang lebih pendek akan digunakan untuk proses
rejuvenasi; sedangkan pada interval panen yang lebih panjang akan digunakan
untuk pembesaran ukuran dan peningkatan biomassa tanaman.
Peningkatan biomassa tanaman yang meliputi bobot kering daun total,
batang, dan akar dipengaruhi oleh perlakuan interval panen dan frekuensi
penyemprotan pupuk N+K masing-masing secara tunggal (Tabel 41).
Tabel 40 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun
N+K
Aplikasi pupuk daun
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
Interval panen (hari)
15 30
Bobot basah daun (g/tanaman)
0 kali, 100+100 50.19 de 68.72 c
2 kali, 50+50 5.60 g 46.90 e
4 kali, 50+50 34.48 f 58.24 d
2 kali, 100+100 47.68 de 80.36 ab
4 kali, 100+100 72.99 bc 90.09 a
Bobot basah batang (g/tanaman)
0 kali, 100+100 88.61 f 117.27 bc
2 kali, 50+50 36.13 h 103.07 de
4 kali, 50+50 70.72 g 107.12 cd
2 kali, 100+100 93.68 ef 120.43 b
4 kali, 100+100 120.59 b 132.86 a
Bobot basah umbi (g/tanaman)
0 kali, 100+100 19.56 cd 24.49 c
2 kali, 50+50 7.17 f 16.63 de
4 kali, 50+50 13.87 e 24.91 c
2 kali, 100+100 19.56 cd 31.53 b
4 kali, 100+100 25.06 c 38.85 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Tabel 41 menunjukkan bahwa interval panen 30 hari menghasilkan
biomassa kolesom tertinggi yang meliputi bobot kering daun, batang, dan umbi.
Hasil ini sesuai dengan pernyataan Hare et al. (2004) bahwa interval panen yang
lebih panjang akan mempercepat pendewasaan tanaman yang meningkatkan
produksi polisakarida dan lignin pada dinding sel yang merupakan komponen dari
bahan kering tanaman. Pemupukan urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan
pupuk daun sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar 100 kg urea+100 kg KCl/ha
menghasilkan bobot kering daun, batang, dan akar tertinggi. Ini membuktikan
bahwa kolesom membutuhkan frekuensi penyemprotan yang sering sebagai
suplemen dari pupuk dasar yang diaplikasikan lewat tanah untuk peningkatan
bobot keringnya. Borowski & Michalek (2009) menyatakan bahwa penyemprotan
pupuk N+K dalam bentuk urea+KCl merupakan asosiasi terbaik untuk
menghasilkan biomassa yang tinggi pada tanaman. Tatar et al. (2010)
melaporkan bahwa N secara tunggal tidak dapat meningkatkan biomassa tanaman
tanpa berinteraksi dengan K, sedangkan Sawan et al. (2009) menjelaskan bahwa
K berperanan untuk meningkatkan laju fotosintesis, laju asimilasi CO2, dan
memfasilitasi pergerakan karbon yang penting untuk pembentukan biomassa
tanaman.
Tabel 41 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom umur 90 HST pada
berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
Perlakuan Bobot kering
Daun batang Umbi
………………. g/tanaman………………
Interval panen (hari)
15 2.30 b 4.04 b 2.28 b
30 3.22 a 5.89 a 3.39 a
Aplikasi pupuk daun N+K
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
0 kali, 100+100 3.30 ab 5.23 ab 3.27 ab
2 kali, 50+50 1.98 c 3.83 c 1.62 d
4 kali, 50+50 2.19 bc 4.55 bc 2.39 c
2 kali, 100+100 2.77 abc 5.17 ab 3.15 b
4 kali, 100+100 3.57 a 6.06 a 3.79 a
Interaksi tn tn tn Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada uji DMRT 0.05.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis
Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini
tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman. Kandungan
protein pucuk kolesom tidak berkorelasi dengan kandungan antosianin, namun
berkorelasi positif dengan kandungan klorofil dan gula (Tabel 42).
Tabel 42 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom
umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis
kolesom pada berbagai interval panen dan aplikasi pupuk daun N+K
Protein Antosianin
………………. % .......................
Antosianin 30.72
Klorofil 65.89** -12.04
Gula 66.43** -25.71
Bobot basah pucuk 11.80 -47.64
Bobot basah daun total 52.68 -6.03
Bobot basah batang 41.45 -10.57
Bobot basah umbi 54.45 -10.23
Bobot kering daun total 48.56 10.63
Bobot kering batang 30.13 -2.56
Bobot kering umbi 48.56 34.53 Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
Pemberian pupuk urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan daun
sebanyak 4 kali dan dosis pupuk dasar 100 kg urea+100 kg/ha KCl pada kolesom
yang dipanen 15 hari sekali menghasilkan produksi protein dan antosianin
tertinggi selama 90 hari (Tabel 43).
Tabel 43 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual pada
berbagai kombinasi antara interval panen dan aplikasi pupuk daun
N+K selama 90 hari
Aplikasi pupuk daun
(Frekuensi penyemprotan, dosis
pupuk dasar urea+KCl (kg/ha))
Interval panen (hari)
15 30
Produksi protein (g/tanaman)
0 kali, 100+100 3.02 c 1.48 e
2 kali, 50+50 1.63 df 0.83 e
4 kali, 50+50 4.22 b 1.59 de
2 kali, 100+100 4.21 b 1.57 de
4 kali, 100+100 5.69 a 2.36 cd
Produksi antosianin
(µmol/tanaman)
0 kali, 100+100 61.45 d 38.10 efg
2 kali, 50+50 46.09 e 30.02 g
4 kali, 50+50 99.25 b 42.56 ef
2 kali, 100+100 80.61 c 36.13 fg
4 kali, 100+100 109.44 a 47.69 e Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kesimpulan
Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 90 hari
dihasilkan oleh kolesom yang dipanen dengan interval 15 hari serta mendapatkan
pemupukan urea+KCl dengan frekuensi penyemprotan daun sebanyak 4 kali dan
pupuk dasar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha. Terdapat korelasi positif antara
kandungan protein dengan klorofil dan gula pucuk kolesom.
PRODUKSI PROTEIN DAN ANTOSIANIN PUCUK
KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) PADA
BERBAGAI APLIKASI PUPUK NITROGEN+KALIUM
MELALUI TANAH DAN DAUN
Protein and Anthocyanin Production of Waterleaf Shoot (Talinum triangulare
(Jacq.) Willd) at different Combination soil and foliar applications of
Nitrogen+Potassium fertilizer
Abstrak
Penelitian untuk mempelajari pengaruh berbagai aplikasi pupuk nitrogen+kalium
melalui tanah dan daun terhadap kandungan protein dan antosianin pucuk
kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) telah dilaksanakan di Leuwikopo,
Dramaga, Bogor, Indonesia pada bulan Oktober sampai Desember 2010.
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 3 ulangan dan
4 perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dengan atau tanpa aplikasi daun.
Perlakuan tersebut adalah aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui tanah (150 kg urea + 150 kg KCl); aplikasi 100, 75, dan 50% dosis pupuk N+K melalui tanah
dengan penambahan aplikasi pupuk daun 0.2% urea dan 0.1% KCl. Pemupukan
melalui tanah dilakukan pada 0, 30, dan 60 HST, sedangkan aplikasi pupuk daun
dilakukan pada 15, 30, 45, dan 60 HST. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
produksi protein dan antosianin pucuk tertinggi selama 75 HST dihasilkan oleh
kolesom yang mendapatkan perlakuan aplikasi 100% dosis pupuk N+K melalui
tanah, yaitu berturut-turut sebesar 16.98 g/tanaman dan 170.27 µmol/tanaman.
Kata Kunci : Sayuran daun, tanaman obat, nilai gizi, pigmen, pupuk
Abstract
The experiment was conducted in Leuwikopo, Dramaga, Bogor, Indonesia from
October until December 2010 to study the effect of soil and foliar applications of
nitrogen+potassium fertilizer on waterleaf shoot (Talinum triangulare (Jacq.)
Willd) protein and anthocyanin production. A randomized complete block design
was used with 3 replications and 4 treatments. The treatments were different rates
of N+K for soil application with or without foliar application, they were 100%
N+K rates of soil application (150 kg urea + 150 kg KCl/ha); 100, 75, and 50%
N+K rates of soil application added with foliar application of 0.2% urea and
0.1% KCl. Fertilizers were applied on soil on 0, 30, and 60 days after planting,
while foliar applications were conducted on 15, 30, 45, and 60 days after
planting. The result showed that the highest protein and anthocyanin production
of waterleaf shoot for 75 days were produced by 100% soil application of N+K;
protein production was 16,98 g/plant while anthocyanin production was
170,27µmol/plant.
Keywords : leafy vegetable, medicinal plant, nutritive value, pigment, fertilizer
Pendahuluan
Peningkatan kualitas pucuk kolesom sebagai sayuran berkhasiat obat
melalui teknik budidaya pertanian harus tetap dilakukan sebagai langkah untuk
mendapatkan standar operasional budidaya yang dapat diterapkan oleh
masyarakat luas. Dua percobaan sebelumnya dalam rangkaian penelitian ini telah
menghasilkan konsep pemupukan bertahap untuk peningkatan produksi protein
dan antosianin pucuk kolesom baik melalui tanah maupun daun. Produksi protein
dan antosianin pucuk kolesom tertinggi dihasilkan oleh pemupukan bertahap
melalui tanah pada frekuensi pemupukan 3 kali dengan dosis pupuk berturut-turut
sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada saat tanam dan 25 kg urea + 25 kg
KCl/ha masing-masing pada umur 30 dan 60 HST, sedangkan pemupukan
bertahap melalui daun pada frekuensi penyemprotan 4 kali (15 hari sekali) dengan
pupuk dasar 100 kg urea+ 100 kg KCl/ha. Konsentrasi pupuk daun yang
digunakan adalah 0.2% urea + 0.1% KCl yang merupakan konsentrasi pupuk
N+K terbaik terhadap produktivitas pucuk kolesom pada penelitian Marman
(2010). Produksi pucuk dari hasil percobaan-percobaan tersebut hanya meningkat
sampai umur 60 HST kemudian mengalami penurunan hasil pada panen
berikutnya. Kemungkinan kolesom masih membutuhkan peningkatan hara untuk
meningkatkan kemampuan rejuvenasi, sehingga diperlukan teknik pemupukan
yang dapat meningkatkan produksi protein dan antosianin.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa teknik pemupukan
berupa kombinasi aplikasi pupuk melalui tanah dan daun dapat meningkatkan
produksi dan kualitas tanaman gandum (Abad et al. 2004; Garrido-Lestache et al.
2005; Varga & Svecnjak 2006). Keuntungan dari kombinasi aplikasi pupuk N
melalui tanah dan daun adalah dapat mengurangi resiko pemupukan N yang
berlebihan pada tanah, antara lain pencucian N dan eutrofikasi (Fernandez-
Escobar et al. 2009). Penelitian mengenai kombinasi aplikasi pupuk N+K melalui
tanah dan daun pada kolesom belum dilakukan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan produksi protein dan
antosianin pada pucuk kolesom dengan aplikasi pupuk nitrogen+kalium melalui
tanah dan daun.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2010,
bertempat di kebun percobaan Ilmu dan Teknologi Benih IPB Leuwikopo,
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis komponen
pertumbuhan dilakukan di Laboratorium Molecular Marker and
Spectrophotometry UV-VIS, sedangkan analisis komponen fisiologis tanaman
dilakukan di laboratorium Plant Analysis and Chromatography Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain setek kolesom
berukuran panjang 10 cm, pupuk kandang ayam petelur, urea, KCl, SP-18, arang
sekam, dan bahan-bahan analisis kimia. Peralatan yang digunakan antara lain
spektrofotometer shimadzu UV-1800, sentrifuge heraeus labofuge-400R.
Metode Penelitian
Percobaan disusun dengan menggunakan rancangan acak kelompok
dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Empat perlakuan yang diberikan adalah dosis
N+K melalui tanah dengan atau tanpa pupuk daun yaitu 100% dosis N+K melalui
tanah; 100, 75, dan 50% dosis N+K melalui tanah ditambah dengan pemupukan
melalui daun dengan konsentrasi 0.2% urea dan 0.1% KCl. Tabel 44 memberikan
penjelasan secara rinci mengenai berbagai perlakuan tersebut.
Model statistika untuk rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ti + βj + εij
Keterangan :
Yij = nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (1, 2, 3, 4) dan ulangan ke-j (1,
2, 3)
µ = nilai rata-rata umum
Ti = pengaruh perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun ke-
i (i = 1, 2, 3, 4)
βj = pengaruh blok ke-j (j = 1, 2, 3)
εij = pengaruh galat percobaan dari perlakuan aplikasi pupuk N+K
melalui tanah dan daun ke-i (1, 2, 3, 4) dan ulangan ke-j (1, 2, 3).
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila berpengaruh
nyata akan dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf nyata 5%.
Tabel 44 Berbagai perlakuan aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Aplikasi pupuk
N+K
Waktu aplikasi (HST)
0 15 30 45 60
100% pupuk via tanah 100 kg
urea + 100
kg KCl/ha
- 25 kg urea
+ 25 kg
KCl/ha
- 25 kg urea
+ 25 kg
KCl/ha
100% pupuk via tanah
+ daun
100 kg
urea + 100
kg KCl/ha
√ √ 25 kg urea
+ 25 kg
KCl/ha
√ √ 25 kg urea
+ 25 kg
KCl/ha
75% pupuk via tanah +
daun
75 kg urea
+ 75 kg
KCl/ha
√ √ 18,75 kg
urea
+18,75 kg
KCl/ha
√ √ 18,75 kg
urea
+18,75 kg
KCl/ha
50% pupuk via tanah +
daun
50 kg urea
+ 50 kg
KCl/ha
√ √ 12,50 kg
urea
+12,50 kg
KCl/ha
√ √ 12,50 kg
urea
+12,50 kg
KCl/ha Keterangan : √ = aplikasi pupuk daun dengan konsentrasi 0.2% urea + 0.1% KCl (Marman 2010).
Pelaksanaan Percobaan
Penyiapan lahan. Lahan yang akan digunakan dibersihkan dari gulma dan
sisa tanaman hasil pertanaman sebelumnya. Tanah pada lahan kemudian
digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 3 m x 5 m sebanyak 15 petakan.
Pupuk kandang ayam sebanyak 5 ton/ha dan arang sekam sebanyak 2 ton/ha
diberikan dengan cara dilarik per baris tanam 2 minggu sebelum tanaman
dipindah ke lapang.
Penanaman. Setek ditumbuhkan lebih dahulu pada polybag kecil di
persemaian. Penanaman dilakukan apabila bibit yang berasal dari setek batang
telah berdaun 2 helai dan membuka sempurna (± 5-7 hari di persemaian). Bibit
yang berasal dari setek batang ditanam di lahan dengan jarak 100 cm x 50 cm.
Pemupukan urea + KCl dilakukan sesuai perlakuan pada dosis dan waktu yang
telah ditentukan. Pupuk SP-18 sebanyak 50 kg/ha diberikan pada saat tanam
untuk semua perlakuan.
Pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman,
penyiangan gulma, dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
sekali sehari pada pagi hari dan disesuikan dengan musim. Penyiangan dilakukan
setiap saat secara manual sehingga petak perlakuan bebas dari gulma.
Pencegahan hama dan penyakit dilakukan dengan memperhatikan gejala
serangan.
Panen. Panen dilakukan dengan memetik pucuk tanaman kolesom
sepanjang ± 10 cm yang diukur dari ujung daun bagian atas yang ditegakkan dari
setiap cabang yang ada pada umur panen yang telah ditentukan. Panen pertama
dilakukan pada 30 HST untuk semua perlakuan.
Pengamatan
Pengamatan meliputi komponen fisiologis dan pertumbuhan tanaman.
Komponen fisiologis tanaman
1. Analisis kandungan protein kasar pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan
90 hari dengan menggunakan metode Lowry.
2. Analisis kandungan antosianin dan klorofil total pucuk dilakukan pada
umur 30, 60, dan 90 hari dengan menggunakan metode Sims & Gamon
(2002).
3. Analisis gula total pucuk dilakukan pada umur 30, 60, dan 90 hari dengan
menggunakan metode antronic (Yemm & Willis 1954).
Komponen pertumbuhan tanaman :
1. Bobot basah daun layak jual (g) diukur pada saat panen tanaman umur 30,
60, dan 90 hari dengan cara menimbang hasil pangkasan daun yang
dihasilkan setiap individu tanaman.
2. Bobot basah tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen terakhir dengan menggunakan timbangan.
3. Bobot kering tanaman total (g) terdiri atas daun,batang dan cabang, serta
akar diukur pada saat panen terakhir dengan menggunakan timbangan
setelah dioven pada suhu 105 C selama 2 hari.
Hasil dan Pembahasan
Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
kolesom yang ditanam selama 90 hari dapat dilihat pada Tabel 45.
Tabel 45 Rekapitulasi hasil sidik ragam komponen fisiologis dan pertumbuhan
kolesom
Variabel pengamatan
Perlakuan pemupukan
N+K melalui tanah
dan daun
KK
(%)
Kandungan protein 30 HST tn 22.69
Kandungan protein 45 HST tn 13.15
Kandungan protein 60 HST tn 14.25
Kandungan protein 75 HST tn 23.00
Kandungan protein 90 HST tn 17.25
Kandungan antosianin 30 HST tn 3.19
Kandungan antosianin 45 HST tn 39.17
Kandungan antosianin 60 HST tn 13.33
Kandungan antosianin 75 HST tn 12.30
Kandungan antosianin 90 ST * 12.62
Kandungan klorofil 30 HST tn 8.29
Kandungan klorofil 45 HST tn 10.58
Kandungan klorofil 60 HST tn 12.79
Kandungan klorofil 75 HST tn 9.23
Kandungan klorofil 90 HST * 12.79
Kandungan gula 30 HST tn 17.38
Kandungan gula 45 HST tn 47.64
Kandungan gula 60 HST tn 21.00
Kandungan gula 75 HST ** 11.16
Kandungan gula 90 HST tn 31.09
Bobot pucuk layak jual 30 HST * 7.13
Bobot pucuk layak jual 45 HST * 29.61
Bobot pucuk layak jual 60 HST tn 10.97
Bobot pucuk layak jual 75 HST ** 12.40
Bobot pucuk layak jual 90 HST ** 7.77
Bobot basah daun 90 HST ** 8.71
Bobot basah batang 90 HST ** 7.96
Bobot basah umbi 90 HST ** 9.24
Bobot kering daun 90 HST ** 10.83
Bobot kering batang 90 HST ** 18.31
Bobot kering umbi 90 HST tn 24.51 Produksi protein 75 hari * 16.12
Produksi antosianin 75 hari * 15.92 Keterangan : * = berbeda nyata menurut uji F pada taraf 5%; ** = berbeda nyata menurut uji F
pada taraf 1%; tn = tidak nyata. KK = koefisien keragaman.
Komponen Fisiologis Tanaman
Kandungan protein
Gambar 26 menunjukkan bahwa kandungan protein pucuk kolesom layak
jual mengalami peningkatan dari umur 30 sampai umur 60 HST, kemudian terus
mengalami penurunan pada umur 75 sampai 90 HST. Kandungan protein tersebut
bervariasi dengan kisaran nilai dari 5.35 sampai 19.51 mg/g bb. Kandungan
protein yang dihasilkan selama 90 hari masih lebih rendah dibandingkan
kandungan protein daun kolesom yang dilaporkan oleh Aletor & Adeogun (1995)
yaitu sebesar 25 mg/g bb.
Gambar 26 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun
Berbagai aplikasi pemupukan N+K melalui tanah dan daun tidak
berpengaruh terhadap kandungan protein pucuk kolesom layak jual umur 30-90
HST (Tabel 46). Hal ini diduga bahwa kolesom memiliki batasan kapasitas
penyerapan pupuk sehingga semua perlakuan tersebut diserap dalam jumlah yang
sama untuk menghasilkan kandungan protein pucuk atau adanya faktor
penggangu yang mempengaruhi penyerapan hara oleh kolesom baik melalui akar
dan daun untuk menghasilkan nilai kandungan protein yang berbeda. Delin et al.
(2005) menyatakan bahwa pemupukan yang terdiri atas unsur N tidak selalu
dapat meningkatkan kandungan protein karena beberapa hal, yaitu terganggunya
penyerapan hara oleh adanya infeksi penyakit, waktu pemberian pupuk yang tidak
tepat, dan kehilangan hara N oleh pengaruh cuaca dan lingkungan. Abad et al.
0
5
10
15
20
25
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
pro
tein
(m
g/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
100% pupuk via tanah
100% pupuk via tanah
+ daun
75% pupuk via tanah
+ daun
50% pupuk via tanah
+ daun
(2004) juga melaporkan bahwa peningkatan pemupukan N akan berpengaruh
terhadap kandungan protein baik melalui aplikasi tanah dan daun apabila keadaan
hara tanah sebelumnya berada pada titik suboptimal.
Tabel 46 Kandungan protein pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari
Perlakuan Waktu pemanenan (HST)
30 45 60 75 90
….……….............. mg/g bb……………………..
100% pupuk via tanah 5.79 8.91 18.07 9.40 7.29
100% pupuk via tanah
+ daun
6.73 8.45 17.56 9.24 6.58
75% pupuk via tanah +
daun
5.35 7.95 19.51 9.78 8.97
50% pupuk via tanah +
daun
5.42 7.26 13.47 9.25 7.19
Keterangan : bb = bobot basah.
Faktor umur tanaman kolesom yang dipanen secara berulang terlihat
memberikan pengaruh terhadap peningkatan dan penurunan kandungan protein.
Peningkatan kandungan protein hingga umur 60 HST menunjukkan bahwa
kandungan protein pucuk terus meningkat pada saat kolesom dalam masa
vegetatif dan menurun pada saat kolesom telah berbunga atau memasuki masa
reproduktif akibat remobilisasi hara N ke organ lain. Hal ini didukung oleh
pernyataan Noquet et al. (2004) dan Varga & Svecnjak (2006) bahwa sintesis
protein pada pucuk terkait dengan ketersedian dan penggunaan senyawa N yang
terakumulasi pada pucuk, kemudian keadaan ini dapat berubah akibat remobilisasi
senyawa N ke organ lainnya yang dikendalikan oleh kapasitas sink pada saat masa
reproduktif karena terjadi penurunan serapan hara N.
Kandungan Antosianin
Gambar 27 menunjukkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom
dengan perlakuan berbagai aplikasi pupuk urea+KCl melalui tanah dan daun
menghasilkan kandungan antosianin yang bervariasi dari 0.08 sampai 0.14 µmol/g
bb. Kandungan antosianin pucuk kolesom terlihat mengalami peningkatan pada
umur 90 HST dari seluruh waktu pemanenan yang lain.
Gambar 27 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Tabel 47 menunjukkan bahwa berbagai aplikasi pupuk urea + KCl melalui
tanah dan daun tidak mempengaruhi kandungan antosianin pada umur 30-75 HST.
Aplikasi dosis pupuk urea + KCl melebihi 50% melalui tanah dengan atau tanpa
penambahan pupuk melalui daun dapat meningkatkan kandungan antosianin pada
pucuk kolesom pada umur 90 HST.
Tabel 47 Kandungan antosianin pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari
Perlakuan Waktu pemanenan (HST)
30 45 60 75 90
………………….. µmol/g bb……………………
100% pupuk via tanah 0.14 0.09 0.10 0.09 0.17 ab
100% pupuk via tanah
+ daun
0.14 0.12 0.11 0.11 0.21 a
75% pupuk via tanah +
daun
0.14 0.13 0.10 0.11 0.19 ab
50% pupuk via tanah +
daun
0.14 0.08 0.10 0.11 0.15 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Data yang tercantum dalam Tabel 47 menunjukkan bahwa pupuk daun
tidak berperan penting terhadap peningkatan kandungan antosianin pucuk
kolesom. Peningkatan kandungan antosianin pucuk kolesom yang sejalan dengan
peningkatan dosis pupuk urea + KCl melalui tanah selama 90 hari
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
30 45 60 75 90Kan
du
ngan
an
tosi
an
in (
µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
100% pupuk via tanah
100% pupuk via tanah
+ daun
75% pupuk via tanah +
daun
50% pupuk via tanah
+daun
memperlihatkan bahwa kandungan antosianin pucuk kolesom mengikuti ritme
pertumbuhan tanaman yang dibatasi oleh dosis pupuk urea + KCl, sehingga
menimbulkan dugaan bahwa antosianin merupakan komponen fisiologis
permanen dalam pucuk kolesom yang konsentrasinya mengikuti ritme
pertumbuhan. Hasil ini bertentangan dengan konsep yang dinyatakan oleh
Kytridis et al. (2008) dan Peng et al. (2008) bahwa peningkatan kandungan
antosianin akan terjadi pada tanaman yang defisit hara N.
Kandungan Klorofil
Gambar 28 menunjukkan bahwa kandungan klorofil cenderung mengalami
peningkatan dari umur 30 sampai 60 HST kemudian mengalami penurunan pada
umur 75 dan 90 HST. Pola tersebut menyerupai peningkatan dan penurunan
kandungan protein pucuk kolesom layak jual. Kandungan klorofil dapat dikaitkan
dengan kandungan protein pucuk kolesom karena keduanya sama-sama
membutuhkan unsur N dalam biosintesisnya. Netto (2005) menyatakan bahwa
hubungan yang erat antara akumulasi N dengan kandungan klorofil karena
mayoritas N pada daun terkandung dalam molekul klorofil sehingga kandungan
klorofil yang menunjukkan tingkat kehijauan dapat mencerminkan status N dalam
tanaman. Status N yang tinggi dapat meningkatkan kandungan protein dalam
pucuk.
Gambar 28 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai
aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
30 45 60 75 90
Kan
du
nga
n k
loro
fil
(µm
ol/
g b
b)
Waktu pemanenan (HST)
100% pupuk via tanah
100% pupuk via tanah +
daun
75% pupuk via tanah +
daun
50% pupuk via tanah +
daun
Tabel 48 menunjukkan bahwa perlakuan aplikasi pupuk N+K tidak
memberikan pengaruh terhadap kandungan klorofil pucuk kolesom selama masa
vegetatif (30-60 HST). Hal ini diduga bahwa kandungan klorofil pucuk kolesom
tersebut memiliki kandungan maksimal selama masa vegetatif dalam keadaan
cukup hara yang dapat dipenuhi oleh semua perlakuan tersebut. Namun,
Venkatesan et al. (2005) melaporkan bahwa peningkatan kandungan klorofil tidak
dapat tercapai hanya dengan pemberian pupuk N+K saja. Penambahan unsur P
merupakan syarat mutlak yang dapat memberikan perbedaan hasil yang nyata,
sedangkan pada percobaan pupuk SP-18 hanya diberikan sekali pada awal tanam
dengan jumlah yang sama untuk seluruh perlakuan.
Tabel 48 Kandungan klorofil pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari
Perlakuan Waktu pemanenan (HST)
30 45 60 75 90
………………….. µmol/g bb……………………
100% pupuk via tanah 1.29 1.59 1.78 1.71 0.96 a
100% pupuk via tanah
+ daun 1.13 1.75 1.78 1.45 0.67 b
75% pupuk via tanah +
daun
1.14 1.60 1.65 1.70 1.00 a
50% pupuk via tanah +
daun
1.21 1.73 1.57 1.39 0.78 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Pola yang ditunjukkan oleh Tabel diatas menunjukkan bahwa peningkatan
dan penurunan kandungan klorofil sangat dipengaruhi oleh umur tanaman
kolesom. Peningkatan kandungan klorofil secara umum yang terlihat pada umur
30-60 HST diduga berkaitan dengan aktivitas fotosintesis yang semakin
meningkat pada masa vegetatif tanaman. Kemudian penurunan kandungan
klorofil pada umur 75-90 HST diduga karena tanaman telah memasuki masa
reproduktif dan menjelang senescence. Choinski et al. (2003) menjelaskan bahwa
kandungan klorofil yang rendah pada awal pertumbuhan terjadi karena rendahnya
laju fotosintesis, CO2 interselular, dan konduktansi stomata. Kandungan klorofil
akan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Gossauer & Engel (1996) melaporkan bahwa kandungan klorofil akan
menurun pada saat memasuki masa reproduktif karena perkembangan proplastid
untuk kloroplas terbagi untuk pembentukan kromoplas yang biasanya berisikan
banyak karotenoid daripada klorofil.
Kandungan Gula
Gambar 29 menunjukkan bahwa kandungan gula pucuk kolesom layak
jual sangat fluktuatif dan membentuk pola yang tidak teratur. Namun, kandungan
gula pucuk kolesom ini terlihat meningkat pada umur 90 HST.
Gambar 29 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi
pupuk N+K melalui tanah dan daun
Tabel 49 menunjukkan bahwa aplikasi pupuk urea + KCl melalui tanah
dan daun tidak berpengaruh terhadap kandungan gula pucuk kolesom pada umur
30-60 HST. Kandungan gula yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan
pada umur 30-60 HST diduga karena kolesom masih berada pada fase vegetatif
dalam kondisi yang relatif normal. Fase vegetatif merupakan suatu fase dalam
pertumbuhan tanaman dimana aktivitas fotosintesa meningkat dan hasil asimilat
berupa gula akan ditransportasikan kebagian lain tanaman sebagai sink, sehingga
tidak terjadi akumulasi pada pucuk. Hasil penelitian McCormick et al. (2008)
pada daun tebu menunjukkan bahwa 80% hasil asimilat berupa sukrosa akan
ditranslokasikan ke organ lain pada periode fotosintesis.
Peningkatan kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada umur 75 HST
dapat diperoleh dengan cara meningkatkan dosis pupuk urea+KCl melalui tanah
dan daun yaitu pada perlakuan 100% pupuk via tanah + daun. Namun,
kesimpulan yang dapat diberikan pada hasil percobaan ini tidak dapat dijelaskan
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
30 45 60 75 90
Kan
du
ngan
gu
la (
mg/g
bb
)
Waktu pemanenan (HST)
100% pupuk via tanah
100% pupuk via tanah
+ daun
75% pupuk via tanah +
daun
50% pupuk via tanah
+daun
dengan baik karena kandungan gula yang tertinggi tersebut tidak berbeda nyata
dengan kandungan gula pada perlakuan 50% pupuk via tanah + daun. Diduga ada
faktor lain di luar perlakuan pada percobaan ini yang mempengaruhi adanya
perbedaan kandungan gula pada pucuk kolesom pada umur 75 HST. Peningkatan
kandungan gula yang terjadi pada umur 90 HST diduga terkait dengan masa
senescence, di mana kolesom telah mengalami gangguan dalam penyerapan hara
dan air yang menyebabkan gangguan translokasi karbohidrat ke organ lain
sehingga terjadi akumulasi gula pada daun. Akumulasi karbohidrat pada daun
yang terjadi pada masa senescence ditemukan juga oleh de Lacerda et al. (2003)
pada tanaman sorgum.
Tabel 49 Kandungan gula pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari
Perlakuan Waktu pemanenan (HST)
30 45 60 75 90
…………………....mg/g bb….…………………
100% pupuk via tanah 1.18 1.35 0.98 0.86 b 1.07
100% pupuk via tanah
+ daun 1.62 1.23 0.90 1.13 a 1.94
75% pupuk via tanah +
daun
1.23 1.76 0.82 0.76 b 1.35
50% pupuk via tanah +
daun
1.10 1.60 1.22 1.09 a 1.17
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05. bb = bobot basah
Komponen Pertumbuhan Tanaman
Bobot Basah Pucuk Layak Jual
Gambar 30 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan bobot basah pucuk
kolesom dari umur 30 sampai umur 60 hari, kemudian terjadi penurunan pada
umur 75 hingga 90 hari.
Perlakuan aplikasi pemupukan N+K memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap bobot basah pucuk kolesom layak jual selama 90 hari, kecuali pada
bobot basah pucuk kolesom layak jual umur 60 HST (Tabel 50).
Gambar 30 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
N+K melalui tanah dan daun
Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada umur 30, 45, 75, 90 HST
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk 100% via tanah dengan dosis total 150 kg
urea + 150 kg KCl/ha menghasilkan bobot basah pucuk kolesom layak jual
tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
pupuk N+K bertahap yang hanya diaplikasikan melalui tanah lebih baik daripada
perlakuan kombinasi antara aplikasi tanah dan daun, walaupun pada umur 60 HST
semua perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Penurunan hasil
yang terjadi pada umur 75 dan 90 HST menunjukkan bahwa penambahan pupuk
daun yang diberikan pada saat 60 HST tidak dapat meningkatkan aktivitas
rejuvenasi kolesom dan memperpanjang masa produksi.
Tabel 50 Bobot basah pucuk kolesom layak jual pada berbagai aplikasi pupuk
N+K melalui tanah dan daun selama 90 hari
Perlakuan Waktu pemanenan (HST)
30 45 60 75 90
…..…………………. g/tanaman…..……………………
100% pupuk via tanah 29.36 a 114.04 a 143.33 117.04 a 81.70 a
100% pupuk via tanah
+ daun 27.38 ab 77.17 ab 141.17 76.90 b 31.33 d
75% pupuk via tanah
+ daun 25.43 bc 64.92 b 131.16 54.05 c 52.39 c
50% pupuk via tanah
+ daun 23.42 c 47.74 b 120.01 44.04 c 68.54 b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
0
20
40
60
80
100
120
140
160
30 45 60 75 90
Bob
ot
basa
h p
ucu
k
(g/t
an
am
an
)
Waktu pemanenan (HST)
100% pupuk via
tanah100% pupuk via
tanah + daun75% pupuk via tanah
+ daun50% pupuk via tanah
+ daun
Bobot Basah dan Kering Tanaman
Tabel 51 menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi antara pupuk N+K
yang diaplikasikan melalui tanah dan daun tidak dapat memberikan peningkatan
hasil dibandingkan perlakuan aplikasi 100% pupuk via tanah.
Tabel 51 Bobot basah daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari pada
berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Perlakuan Bobot basah
Daun Batang Umbi
…………………… g/tanaman……………………..
100% pupuk via tanah 517.69 a 595.45 a 58.59 a
100% pupuk via tanah +
daun 391.62 b 450.22 b 46.41 b
75% pupuk via tanah +
daun 421.88 b 475.39 b 49.48 b
50% pupuk via tanah +
daun 303.96 c 363.45 c 34.73 c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Tabel 52 menunjukkan bahwa perlakuan 100% pupuk urea + KCl via
tanah menghasilkan bobot kering daun dan batang tertinggi pada kolesom yang
dipanen umur 90 hari, sedangkan perlakuan aplikasi pupuk urea + KCl tidak
berpengaruh terhadap bobot kering umbi kolesom. Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan pupuk urea + KCl melalui daun tidak diperlukan untuk
meningkatkan bobot basah dan bobot kering kolesom. Padahal beberapa
penelitian terdahulu (Sultana et al. 2001; Sawan et al. 2009) menyatakan bahwa
aplikasi pupuk N+K melalui daun akan meningkatkan biomassa tanaman.
Kemungkinan perlakuan 100% pupuk via tanah yaitu sebesar 150 kg urea + 150
kg KCl/ha dalam percobaan ini telah mencukupi kebutuhan hara untuk
pertumbuhan dan perkembangan kolesom sehingga aplikasi pupuk daun pada
kolesom menjadi tidak efektif. Pendapat yang dikemukakan oleh Xiaoping et al.
(2008) menyatakan bahwa biomassa tanaman tidak dapat meningkat bahkan
menurun dengan peningkatan dosis N apabila konsentrasi N lebih tinggi daripada
nilai kritis N pada tanaman tersebut.
Tabel 52 Bobot kering daun, batang, dan umbi kolesom pada umur 90 hari pada
berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Aplikasi pupuk N+K Bobot kering
Daun Batang Umbi
.............................g/tanaman………………….
100% pupuk via tanah 35.54 a 44.68 a 9.63
100% pupuk via tanah
+ daun 21.30 bc 22.33 b 6.68
75% pupuk via tanah
+ daun 23.33 b 26.84 b 6.38
50% pupuk via tanah
+ daun 17.52 c 29.04 b 5.56
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Keterkaitan antara Kandungan Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
dengan Berbagai Komponen Pertumbuhan dan Fisiologis
Kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom dalam percobaan ini
tidak berkorelasi dengan semua komponen pertumbuhan tanaman dan fisiologis
lainnya (Tabel 53).
Tabel 53 Korelasi antara kandungan protein dan antosianin pucuk kolesom
umur 90 HST dengan berbagai komponen pertumbuhan dan fisiologis
kolesom pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Protein Antosianin
………………. % ……………….
Antosianin -1.89
Klorofil 80.87 -24.19
Gula -35.86 85.89
Bobot basah pucuk 12.04 -37.89
Bobot basah daun total 16.49 24.48
Bobot basah batang 11.14 18.91
Bobot basah umbi 18.34 33.98
Bobot kering daun total 4.48 -1.44
Bobot kering batang -1.33 -50.46
Bobot kering umbi -13.28 0.80 Keterangan : ** = sangat nyata
Produksi Protein dan Antosianin Pucuk Kolesom
Adanya penurunan kandungan protein dan bobot basah pucuk, serta sinyal
stres pada kolesom yang ditunjukkan oleh peningkatan kandungan antosianin
pada umur 90 HST menyebabkan pemanenan pucuk kolesom sampai umur 90
HST tidak dianjurkan karena dapat menurunkan kualitas pucuk dan melemahkan
tanaman. Berdasarkan hasil ini maka umur produksi pucuk kolesom layak jual
ditentukan sampai umur 75 HST.
Tabel 54 memperlihatkan data produksi protein dan antosianin pucuk
kolesom yang merupakan hasil perkalian antara bobot basah total pucuk kolesom
dengan masing-masing kandungan total protein dan antosianin pucuk kolesom
selama 75 hari. Produksi protein dan antosianin tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan aplikasi pemupukan 100% via tanah yang diberikan secara bertahap
dengan dosis total 150 kg urea + 150 kg KCl/ha.
Tabel 54 Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom layak jual selama 75
hari pada berbagai aplikasi pupuk N+K melalui tanah dan daun
Perlakuan Produksi protein
(g/tanaman)
Produksi antosianin
(µmol /tanaman)
100% pupuk via tanah 16.98 a 170.27 a
100% pupuk via tanah + daun 13.61 ab 155.52 a
75% pupuk via tanah + daun 12.26 b 130.11 ab
50% pupuk via tanah + daun 9.31 b 100.11 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama
menunjukkan berbeda nyata pada uji DMRT 0.05.
Kendati produksi protein pucuk kolesom layak jual tertinggi tersebut tidak
berbeda nyata dengan perlakuan 100% pupuk via tanah + daun dan produksi
antosianin pucuk kolesom layak jual tertinggi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan 100% pupuk via tanah + daun atau 75% via tanah + daun, tetapi atas
pertimbangan kemudahan aplikasi maka aplikasi pemupukan 100% via tanah
yang diberikan secara bertahap dapat direkomendasikan untuk budidaya kolesom.
Kesimpulan
Produksi protein dan antosianin pucuk layak jual tertinggi selama 75 hari
dihasilkan oleh kolesom yang mendapatkan aplikasi pupuk N+K yang diberikan
100% melalui tanah sebesar 150 kg urea + 150 kg KCl/ha dalam 3 tahapan yaitu
100 kg urea+ 100 kg KCl/ha pada saat tanam dan 25 kg urea + 25 kg KCl/ha
masing-masing pada 30 dan 60 HST.
PEMBAHASAN UMUM
Respon Kolesom terhadap Pemupukan Nitrogen + Kalium dan
Interval Panen
Aplikasi pupuk N+K sangat berpengaruh terhadap produksi protein dan
antosianin pucuk kolesom. Dosis pupuk sebesar 100 kg urea + 100 kg KCl/ha
merupakan dosis standar yang dapat dijadikan sebagai pupuk dasar dalam
budidaya kolesom karena dapat menghasilkan produksi protein dan antosianin
pucuk kolesom yang lebih tinggi dibandingkan dengan dosis pupuk urea + KCl
yang lebih rendah, namun dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada
awal tanam tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan hara kolesom selama masa
tanam 80 hari. Hal ini dapat terlihat dengan adanya penurunan hasil setelah umur
50 hari. Oleh karena itu dilakukan percobaan pemupukan secara bertahap dengan
meningkatkan total dosis urea + KCl.
Pemupukan secara bertahap dengan total dosis lebih tinggi dan 2/3 dosis
tersebut diberikan pada saat tanam, dapat memperbaiki pertumbuhan dan produksi
kolesom. Pemupukan urea + KCl dengan total dosis 150 kg urea + 150 kg KCl/ha
yang terbagi dalam 3 tahapan pemberian yaitu 100 kg urea + 100 kg KCl/ha pada
saat tanam; 25 kg urea + 25 kg KCl/ha masing-masing pada 30 dan 60 HST
mampu memberikan produksi protein dan antosianin tertinggi pada kolesom yang
dipanen sebanyak 3 kali selama periode tanam 90 hari. Tiga tahapan waktu
pemberian pupuk urea + KCl tersebut dapat direkomendasikan dalam budidaya
kolesom karena merupakan waktu yang bertepatan dengan masa perkembangan
kolesom yang membutuhkan peningkatan hara. Pemberian pupuk urea + KCl
pada awal tanam dibutuhkan kolesom untuk memulai pertumbuhan vegetatif, 30
HST merupakan masa perkembangan batang dan cabang, sedangkan 60 HST
merupakan masa transisi dari vegetatif ke reproduktif dan pembentukan umbi.
Pemberian pupuk urea + KCl pada umur 60 HST berperan penting untuk
meningkatkan kandungan hara dalam organ vegetatif agar tidak terjadi penurunan
hara secara drastis dan senescence dini pada saat terjadi remobilisasi hara ke
organ reproduktif. Pemberian pupuk urea + KCl dengan total dosis yang sama
tetapi dengan frekuensi yang lebih tinggi dalam percobaan ini menghasilkan
produksi protein dan antosianin yang lebih rendah karena dosis urea + KCl yang
diberikan pada setiap aplikasi menjadi lebih rendah dan tidak mencukupi
kebutuhan hara kolesom.
Upaya lain yang telah dilakukan untuk meningkatkan produksi protein dan
antosianin serta memperpanjang masa produksi kolesom adalah penambahan
pupuk melalui daun. Kombinasi antara pemupukan 0.2% urea + 0.1% KCl yang
diberikan secara bertahap melalui daun dengan pemupukan urea + KCl yang
diberikan melalui tanah hanya pada saat tanam atau secara bertahap bersamaan
dengan waktu aplikasi pupuk melalui daun menunjukkan bahwa pemberian pupuk
urea + KCl melalui daun tidak dapat meningkatkan produksi protein dan
antosianin pucuk kolesom jika dibandingkan dengan pemupukan urea + KCl
secara bertahap melalui tanah saja. Oleh karena itu, pupuk urea + KCl cukup
diberikan secara bertahap melalui tanah saja untuk meningkatkan produksi protein
dan antosianin pucuk kolesom.
Respon kolesom terhadap interval panen tampaknya terkait dengan
beberapa hal, yaitu proses recovery, rejuvenasi, dan organ source-sink. Proses
rejuvenasi pada kolesom akan berjalan lambat bahkan menurun apabila waktu
yang tersedia untuk proses recovery setelah pemanenan sangat pendek atau tidak
ada karena dilanjutkan dengan pemanenan berikutnya. Rejuvenasi yang terjadi
akibat pemanenan pucuk kolesom mengakibatkan pucuk kolesom menjadi organ
sink yang kuat dibandingkan organ lainnya. Kompetisi antara organ sink dapat
terjadi dengan perubahan interval panen. Pentingnya waktu yang cukup untuk
proses recovery pasca pemanenan dijelaskan oleh Kabi & Bareeba (2008) sebagai
sesuatu yang harus diperhatikan untuk meningkatkan produksi tanaman karena
pemanenan merupakan proses pelukaan terhadap jaringan tanaman.
Interval panen 15 hari dapat direkomendasikan untuk budidaya kolesom
yang mengutamakan hasil dan kualitas pucuk. Pemanenan pucuk dengan interval
15 hari menghasilkan produksi protein dan antosianin yang lebih tinggi selama
periode tanam 80 atau 90 hari dibandingkan pemanenan pucuk dengan interval 10
dan 30 hari. Pemanenan pucuk dengan interval panen 15 hari dapat menunda
waktu pembungaan dan masa senescence, tetapi tidak dapat menghambat
munculnya bunga setelah panen ke tiga yang menyebabkan penurunan hasil yang
ditandai dengan ukuran pucuk yang mengecil. Hal ini menunjukkan bahwa
kolesom memiliki masa rejuvenasi yang terbatas yang menyebabkan penurunan
hasil dengan meningkatnya umur tanaman dan frekuensi panen.
Pemanenan pucuk kolesom dengan interval panen 10 dan 30 hari tidak
dapat direkomendasikan pada budidaya kolesom. Interval panen 10 hari
menyebabkan aktivitas rejuvenasi kolesom yang rendah, lebih cepat mengalami
penurunan hasil dan kualitas pucuk serta masa produksi yang lebih pendek
dibandingkan perlakuan interval panen yang lebih panjang. Masa produksi yang
pendek hanya sampai umur 60 HST ditandai dengan senescence dini yang diduga
terjadi akibat masa recovery pasca pemanenan yang pendek. Pemanenan pucuk
yang terlalu intensif dapat merusak jaringan dan mempercepat kematian.
Pemanenan pucuk dengan interval panen 30 hari menyebabkan kolesom lebih
cepat memasuki masa reproduktif yang ditandai dengan munculnya bunga dan
buah. Pemanenan yang dilakukan setelah masa reproduktif menghasilkan pucuk
dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan masa vegetatif. Oleh karena
itu akumulasi produksi pucuk selama periode tanam dengan interval panen 30 hari
menjadi rendah.
Produksi protein dan antosianin pucuk kolesom yang mendapatkan
perlakuan pemupukan urea + KCl dan interval panen yang sama menunjukkan
fluktuasi antar percobaan dalam penelitian ini. Kolesom yang ditanam pada
kondisi curah hujan yang lebih tinggi menghasilkan bobot basah pucuk total,
kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi pula. Kolesom yang ditanam
pada kondisi curah hujan yang sama tetapi dalam wadah tanam yang berbeda
menghasilkan produksi protein dan antosianin yang berbeda pula. Penanaman
kolesom dalam polybag menghasilkan bobot basah pucuk total yang lebih rendah,
kandungan protein dan antosianin yang lebih tinggi dibandingkan penanaman di
lahan. Berdasarkan paparan tersebut, maka penanaman kolesom harus
memperhatikan pula wadah tanam dan pengairan yang baik untuk mendapatkan
produksi protein dan antosianin pucuk layak jual yang tinggi.
Keterkaitan antara Pertumbuhan Tanaman Kolesom dengan
Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin
Perubahan kandungan protein pucuk sebagai respon atas berbagai
perlakuan pupuk urea + KCl dan interval panen pada seluruh percobaan dalam
penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan perubahan biomassa yang
menjadi parameter pengamatan komponen pertumbuhan, sedangkan keterkaitan
antara perubahan kandungan antosianin dengan perubahan biomassa bervariasi
antar percobaan.
Korelasi positif antara kandungan antosianin pucuk dengan biomassa
kolesom yang meliputi bobot basah daun dan pucuk, bobot basah dan kering
batang maupun umbi hanya terjadi pada saat kolesom mendapatkan perlakuan
pemupukan urea + KCl yang hanya diberikan pada awal tanam dan pemanenan
berulang selama periode tanam 80 hari. Keterkaitan tersebut bertentangan dengan
beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kandungan antosianin akan
berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan tanaman yang dicerminkan oleh
biomassa tanaman (Kytridis et al. 2008; Guo et al. 2011). Korelasi positif antara
kandungan antosianin dengan biomassa dapat terjadi dengan mengikuti konsep
―over flow metabolism‖ yang menyatakan pada saat hasil fotosintesis melebihi
kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman, maka kelebihan C akan disumbangkan
untuk biosintesis metabolit sekunder berbasis C (Matsuki 1996). Jika konsep ini
dikaitkan dengan pertumbuhan kolesom, maka ada kemungkinan bahwa kolesom
mengalami suatu kondisi yang menyebabkan suatu urgensi pembagian hasil
asimilasi secara proporsional untuk pembentukan biomassa dan biosintesis
antosianin. Tidak diketahui secara pasti kondisi apa yang menyebabkan
terjadinya peristiwa tersebut dalam percobaan ini, namun tampaknya ini
merupakan suatu mekanisme kolesom untuk mempertahankan eksistensi
pertumbuhannya dalam suatu kondisi tidak menguntungkan bagi peningkatan
biomassa tanaman yang membutuhkan sinergisme dengan antosianin. Manetas
(2006) menyatakan bahwa peranan antosianin seringkali tidak dapat diketahui
secara pasti karena sangat tergantung kepada spesies, fase perkembangan tanaman
dan lingkungan. Adanya korelasi positif antara kandungan senyawa metabolit
berbasis C dengan biomassa yang dianggap mengikuti konsep ―over flow
metabolism‖ ditemukan oleh Mosaleeyanon et al. (2005) pada tanaman
Hypericum perforatum L. Korelasi positif antara kandungan antosianin dengan
biomassa tanaman terdapat pada hasil penelitian Yu-fan et al. (2008) pada ubi
jalar, namun hasil ini tidak konsisten pada berbagai varietas dan fase
perkembangan tanaman.
Perubahan kandungan antosianin pucuk tidak memperlihatkan keterkaitan
dengan biomassa kolesom pada percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap
baik melalui tanah dan daun maupun kombinasi keduanya yang dipanen secara
periodik selama periode tanam 90 hari. Hal ini dapat disebabkan karena
pemberian pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan daun
maupun kombinasi keduanya pada kolesom yang dipanen secara periodik mampu
memberikan keseimbangan antara laju rejuvenasi dan pertumbuhan total tanaman.
Pernyataan ini didasarkan pada biomassa yang lebih besar antara kolesom yang
mendapatkan pupuk urea + KCl secara bertahap dibandingkan diberikan hanya
pada awal tanam. Oleh karena itu, konsep ―over flow metabolism‖ tidak berlaku
pada kolesom yang mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap.
Perubahan kandungan protein dan bobot basah pucuk pada setiap
percobaan terlihat memiliki pola yang sama yaitu mengikuti fase perkembangan
tanaman. Kandungan protein dan bobot basah pucuk kolesom terus meningkat
seiring dengan pertambahan umur tanaman dalam masa vegetatif dan mengalami
penurunan pada saat memasuki masa reproduktif. Pola perubahan kandungan
protein dan bobot basah pucuk yang sama mengikuti fase perkembangan tanaman
juga ditemukan oleh Abbasi et al. (2011) pada tanaman bayam yang mendapatkan
perlakuan berbagai interval panen dan dosis pupuk N.
Peningkatan bobot basah pucuk pada masa vegetatif kolesom terjadi
karena peningkatan aktivitas rejuvenasi pasca pemanenan pucuk yang berulang
dan pemupukan urea + KCl. Unsur N dan K yang terkandung dalam pupuk
tersebut sangat berperan dalam peningkatan bobot basah pucuk sejalan dengan
penjelasan Kanzikwera et al. (2001) yang menyatakan bahwa sinergisme antara
unsur N dan K menyebabkan peningkatan sitokinin yang merupakan fitohormon
penting untuk pertumbuhan vegetatif. Srivastava (2002) menunjukkan bahwa
sitokinin dapat mendorong aktivitas pembelahan dan pembesaran sel pada
jaringan tumbuhan.
Peningkatan aktivitas rejuvenasi akan menyebabkan pucuk menjadi organ
sink yang kuat, oleh karena itu terjadi translokasi hara yang tinggi ke pucuk.
Akumulasi hara N pada pucuk menyebabkan antara lain peningkatan asam amino
yang disintesis menjadi protein, sehingga protein yang terkandung dalam pucuk
sebenarnya merupakan deposit sementara asam amino pada masa vegetatif
sebelum diremobilisasi ke organ lain.
Penurunan kandungan protein dan bobot basah pucuk setelah umur 50 atau
60 hari terjadi karena kolesom memasuki masa reproduktif yang menyebabkan
terjadinya kompetisi dalam pembagian asimilat antara pucuk dengan organ sink
lain yang terbentuk. Kompetisi tersebut menyebabkan menurunnya suplai asimilat
dari tajuk ke akar, sehingga pertumbuhan akar terganggu dan terjadi penurunan
penyerapan hara N oleh akar. Peng et al. (2010) melaporkan bahwa perbedaan
laju penyerapan hara N oleh akar antara masa vegetatif dan reproduktif ditentukan
oleh jumlah permintaan hara yang dikendalikan oleh potensial pertumbuhan tajuk.
Penurunan penyerapan hara oleh akar pada masa reproduktif
mengakibatkan remobilisasi hara N dari pucuk ke organ reproduktif sehingga
terjadi penurunan kandungan protein pada pucuk kolesom. Mekanisme
remobilisasi N yang dilaporkan oleh Barneix (2007) menunjukkan bahwa
remobilisasi dilakukan oleh enzim proteolitik yang menghidrolisis protein daun
dan melepaskan asam amino untuk ditransportasikan ke organ sink lain.
Konsentrasi asam amino yang dilepaskan tergantung kepada total konsentrasi N
dan metabolisme fotosintesis, sedangkan komposisi asam amino tergantung
kepada spesies tanaman. Pentingnya remobilisasi hara N dari daun dijelaskan
oleh Noquet et al. (2004) sebagai bentuk konservasi hara dalam tanaman untuk
menjamin kelangsungan hidupnya selama siklus perkembangan tanaman.
Penurunan bobot basah pucuk yang terjadi pada masa reproduktif karena
pucuk yang dihasilkan mempunyai ukuran yang lebih kecil dibandingkan pada
masa vegetatif. Menurunnya bobot basah pucuk kolesom pada masa reproduktif
dapat mencerminkan adanya penurunan aktivitas meristem apikal. Penurunan
produksi pucuk tanaman anggur pada saat aktivitas meristem apikal menurun
dilaporkan oleh Grechi et al. (2007) karena rendahnya suplai hara N ke pusat
pertumbuhan pucuk untuk pembentukan materi dinding sel baru (xyloglucan).
Percobaan pemupukan urea + KCl secara bertahap baik melalui tanah dan
daun atau kombinasi keduanya menunjukkan bahwa kandungan klorofil memiliki
pola perubahan yang sama dengan kandungan protein dan bobot basah pucuk
selama fase pertumbuhan kolesom, sedangkan pemupukan urea + KCl yang
diberikan hanya pada awal tanam menghasilkan kandungan klorofil pucuk
kolesom yang terus menurun sejalan dengan pertambahan umur tanaman. Hal ini
menunjukkan bahwa kandungan klorofil dapat menjadi indikator sederhana dalam
menentukan kecukupan hara bagi kolesom.
Perubahan kandungan antosianin pucuk berdasarkan fase pertumbuhan
kolesom dalam penelitian ini terbagi menjadi 2 pola, yaitu : (1) terus menurun
sejalan dengan pertambahan umur tanaman; (2) terus menurun sejalan dengan
pertambahan umur tanaman kemudian mengalami peningkatan pada umur 60 atau
90 HST. Meskipun demikian, kandungan antosianin selalu terdeteksi pada pucuk
kolesom sejak awal panen baik pada umur 20 maupun 30 HST hingga panen
terakhir baik pada umur 80 maupun 90 HST. Hal ini menunjukkan bahwa
antosianin merupakan tipe komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dan
bukan tipe inducible anthocyanin.
Kandungan antosianin pucuk kolesom yang terus mengalami penurunan
sejalan dengan pertambahan umur tanaman terjadi pada saat kolesom
mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan
dipanen setiap 15 atau 30 hari sekali selama periode 80 hari. Peristiwa ini
menunjukkan bahwa antosianin dalam pucuk kolesom lebih banyak terakumulasi
pada masa awal pertumbuhan saja dan diduga antosianin dalam fase ini berperan
sebagai juvenile anthocyanin. Istilah tersebut digunakan oleh Chalker-Scott
(2002) yang menunjukkan bahwa antosianin pada pucuk berperan sebagai penjaga
turgor sel dalam level yang tinggi sehingga mendorong ekspansi dinding sel untuk
perkembangan daun sampai pada ukuran yang optimal. Penurunan yang terjadi
dengan pertambahan umur terjadi karena adanya pengenceran pigmen antosianin
pada jaringan sejalan peningkatan pertumbuhan.
Penurunan kandungan antosianin pucuk sejalan dengan pertambahan umur
tanaman kemudian kembali meningkat pada umur 60 HST terjadi pada kolesom
yang mendapatkan perlakuan pemupukan urea + KCl hanya pada awal tanam dan
dipanen setiap 10 hari sekali selama periode 80 hari, sedangkan peningkatan
kembali kandungan antosianin pada umur 90 HST terjadi pada kolesom yang
mendapatkan pemupukan urea + KCl secara bertahap yang dipanen 15 atau 30
hari sekali dengan panen terakhir pada umur 90 HST. Berdasarkan deskripsi
tersebut maka peningkatan kembali kandungan antosianin pucuk kolesom dalam
masa pertumbuhan tanaman karena kolesom mengalami stres abiotik yang
disebabkan oleh (1) peningkatan frekuensi panen; (2) pertambahan umur panen
terakhir. Stres yang dialami kolesom yang mendapatkan perlakuan interval panen
10 hari menyebabkan senescence dini sehingga hanya dapat memproduksi pucuk
sampai umur 60 HST saja.
Peningkatan kandungan antosianin pada saat kolesom mengalami stres
akibat pemanenan pucuk dapat dikaitkan dengan peranan antosianin sebagai
modulator sinyal stres dan antioksidan dengan mekanisme yang berlaku umum
pada tanaman seperti yang dilaporkan oleh Hatier & Gould (2008) dan
ditunjukkan oleh Gambar 31.
Laporan Hatier & Gould (2008) menjelaskan bahwa stres yang dialami
oleh tanaman membawa serta gelombang reactive oxygen species (ROS) misalnya
H2O2 yang membahayakan tanaman dengan menggangu berbagai proses
metabolisme sel. Tanaman harus memiliki suatu mekanisme untuk menurunkan
atau menetralkan ROS untuk mencegah kerusakan oksidatif. Salah satunya
adalah dengan cara memproduksi antosianin pada sel daun. Antosianin
berinteraksi langsung dengan sinyal stres dengan cara menyerap sebagian energi
cahaya pada kloroplas untuk mengurangi laju produksi ROS karena kloroplas
merupakan tempat akumulasi ROS pada saat tanaman mengalami cekaman.
selanjutnya antosianin juga bertindak sebagai antioksidan untuk melindungi
jaringan tanaman yang sehat dengan memerangkap berbagai radikal bebas dalam
vakuola untuk menghambat pergerakan, melemahkan dan mengatur
keseimbangan ROS dalam sel.
Gambar 31 Mekanisme antosianin sebagai modulator sinyal stres. Interaksi positif
(panah) dan negatif ( T bar) (Hatier & Gould 2008)
Keterkaitan antar Komponen Fisiologis Kolesom dengan
Perubahan Kandungan Protein dan Antosianin
Kandungan protein pucuk kolesom dari berbagai percobaan dalam
penelitian ini secara konsisten menunjukkan tidak ada keterkaitan dengan
kandungan antosianin dan secara konsisten berbagai perlakuan pemupukan urea +
KCl sampai pada dosis tertentu hanya berpengaruh terhadap kandungan protein
dan tidak berpengaruh terhadap kandungan antosianin pucuk kolesom. Konsep
mengenai kompetisi antara biosintesis kandungan protein dan antosianin untuk
memperoleh fenilalanin dalam jalur shikimat (Gambar 32) sehingga menghasilkan
korelasi negatif antara keduanya seperti yang dikemukakan oleh Bragazza &
Freeman (2007) dan Stefanelli et al. (2010) tidak ditemukan dalam penelitian ini.
Merujuk pada data yang terdapat pada Tabel 1 yang menunjukkan bahwa
kandungan asam amino tertinggi yang terdapat pada daun kolesom adalah asam
glutamat, leusin, dan asam aspartat maka protein yang dihasilkan oleh daun
kolesom lebih banyak disintesis melalui senyawa asam α-ketoglutarat dan
oksaloasetat yang berasal dari siklus krebs dibandingkan dengan jalur shikimat.
Oleh karena itu, kemungkinan sintesis protein melalui siklus krebs merupakan
penyebab ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan antosianin. Siklus
krebs merupakan fase respirasi dalam sel tumbuhan yang merupakan kelanjutan
dari glikolis, sedangkan jalur shikimat merupakan serangkaian reaksi yang
menghasilkan asam amino aromatik dan senyawa fenol dengan menggunakan
asam shikimat sebagai prekursor. Asam shikimat terbentuk dari fosfoenolpiruvat
dari lintasan respirasi glikolisis dan eritrosa-4-fosfat dari lintasan pentosa fosfat.
Ketiadaan korelasi antara protein dan antosianin juga ditemukan oleh Vaknin et
al. (2005) pada bunga Brunfelsia calycina yang menunjukkan bahwa degradasi
protein tidak menyebabkan perubahan terhadap kandungan antosianin.
Gambar 32 Jalur mekanisme biosintesis protein dan antosianin (Sullivan 1998)
Berdasarkan penjelasan Oren-Shamir (2009) mengenai pigmen antosianin
pada berbagai organ tanaman, maka pigmen antosianin yang terdeteksi pada
pucuk kolesom yang selalu berwarna hijau mengindikasikan bahwa kandungan
antosianin tersebut berada pada level rendah dan diproduksi dengan laju
biosintesis yang lambat. Oleh karena itu, tampaknya kolesom memiliki suatu
mekanisme sendiri untuk terus memproduksi antosianin dengan jumlah tertentu
dan menjadi komponen yang permanen dalam pucuk kolesom dalam siklus
hidupnya tanpa mengganggu sintesis protein.
Perubahan kandungan protein pucuk kolesom pada berbagai percobaan
dalam penelitian ini secara konsisten menunjukkan keterkaitan yang erat dan
berkorelasi positif terhadap kandungan klorofil, kecuali pada percobaan
kombinasi pupuk urea + KCl yang diberikan melalui tanah dan daun. Keterkaitan
antara kandungan protein dan klorofil pucuk kolesom disebabkan oleh keterkaitan
biosintesis antara keduanya yang secara umum juga terjadi pada tanaman lain.
Heldt (2005) menyatakan bahwa sintesis protein dan klorofil membutuhkan
glutamat sebagai prekursor. Glutamat merupakan hasil asimilasi N yang telah
melalui siklus metabolisme dalam sel. Mekanisme sintesis protein dan klorofil
dengan prekursor glutamat dijelaskan oleh Richter et al. (2010) melalui langkah-
langkah sebagai berikut : (1) glutamat berligasi dengan tRNAglu
menjadi glutamyl
tRNA reductase (Glu-tRNA) dikatalisis oleh glutamyl–tRNA synthetase (GluRS);
(2) Glu-tRNA memasuki 2 percabangan biosintesis tanpa kompetisi; (3)
percabangan 1 : Glu-tRNA ditransaminasi menghasilkan protein ; (4) percabangan
2 : Glu-tRNA direduksi menjadi glutamat 1- semialdehyde (GSA) oleh enzim
glutamyl-tRNA reductase (GluTR) yang kemudian ditransaminasi menjadi 5-
aminolevulinic acid (ALA) yang diubah menjadi klorofil sebagai produk akhir.
Keterkaitan antara sintesis protein dan klorofil dengan perkembangan plastida
juga telah ditemukan oleh Drum & Margulies (1970) pada daun buncis
(Phaseolus vulgaris) yang menunjukkan bahwa kemampuan plastida untuk
mensintesis protein akan meningkat selama plastida aktif berkembang dan
membelah untuk membentuk struktur lamela kloroplas dalam proses sintesis
klorofil. Plastida merupakan organel yang akan berkembang menjadi kloroplas
untuk menghasilkan klorofil, selain itu plastida juga merupakan bagian dari
ribosom yang memiliki kromosom sirkular sebagaimana enzim untuk duplikasi
gen, ekspresi gen, dan sintesis protein.
Ketiadaan korelasi antara kandungan protein dan klorofil dalam pucuk
yang terjadi pada saat kolesom mendapatkan kombinasi pemupukan urea + KCl
yang diberikan melalui tanah dan daun karena perlakuan tersebut hanya
mempengaruhi kandungan klorofil dan tidak berpengaruh terhadap kandungan
protein pucuk kolesom. Pengaruh yang berbeda ini menunjukkan bahwa sintesis
protein pucuk kolesom memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada klorofil
terhadap pemupukan urea + KCl. Sensitivitas sintesis protein pucuk kolesom
diduga terkait dengan perubahan kondisi larutan sel sebagai respon terhadap
pemupukan urea + KCl yang diberikan. Sideris (1946) menyatakan bahwa
perubahan kemasaman atau pH larutan sel dengan nilai yang tidak sesuai dengan
titik isoelektrik protein akan mempengaruhi sintesis protein dan mengubah
korelasi antara protein dan klorofil. Ketiadaan korelasi antara protein dan klorofil
ditemukan oleh Botha et al. (2006) pada daun kentang karena perbedaan pengaruh
kandungan N terhadap kandungan protein dan klorofil antar kultivar.
Seluruh percobaan dalam penelitian ini menunjukkan secara konsisten
bahwa tidak terdapat keterkaitan antara kandungan antosianin dengan klorofil
pucuk kolesom. Hal ini dapat mencerminkan bahwa antosianin dalam pucuk
kolesom tidak berperan penting sebagai photoprotectant. Penjelasan ini
didasarkan hasil laporan Stintzing & Carle (2004), Kytridis et al. (2008), dan
Oren-Shamir (2009) yang menyatakan bahwa antosianin dapat berperan sebagai
photoprotectant pada saat kandungan klorofil masih rendah atau terdegradasi
sehingga terdapat korelasi negatif antar keduanya.
Keterkaitan antara kandungan protein dan gula pucuk kolesom sangat
bervariasi antar percobaan. Korelasi antara kandungan protein dan gula tidak
ditemukan dalam pucuk kolesom yang dipanen secara periodik dan mendapatkan
pemupukan urea + KCl baik yang dilakukan hanya pada awal tanam maupun
secara bertahap melalui tanah atau kombinasi melalui tanah dan daun. Ketiadaan
korelasi tersebut dapat dipahami karena secara konsisten peningkatan kandungan
protein pucuk kolesom yang dipanen secara periodik sejalan dengan peningkatan
dosis urea+KCl sampai pada dosis tertentu, sedangkan kandungan gula sangat
fluktuatif dan tidak memperlihatkan pola yang jelas. Adanya fluktuasi gula dalam
pucuk kolesom diduga terkait dengan mekanisme sintesis gula yang dijelaskan
oleh Heldt (2005) bahwa sintesis gula sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi fotosintesis seperti CO2, cahaya, dan temperatur. Oleh karena itu,
akumulasinya pada daun tergantung kepada laju fotosintesis dan penggunaan
asimilat pada organ lain.
Korelasi positif antara protein dan gula dalam pucuk kolesom yang
dipanen secara periodik ditemukan pada percobaan berbagai frekuensi
penyemprotan pupuk urea + KCl melalui daun setelah pemberian pupuk urea +
KCl melalui tanah pada saat tanam. Belum ada penelitian yang membuktikan
secara pasti tentang korelasi positif antara kandungan protein dan gula. Aplikasi
pupuk urea + KCl melalui daun diduga merupakan penyebab utama terjadinya
korelasi positif antara kandungan protein dan gula dalam pucuk kolesom. Hal ini
mengacu pada hasil penelitian Smolen & Sady (2009) pada tanaman wortel yang
menunjukkan bahwa aplikasi pupuk daun menyebabkan penurunan reaksi apoplas
sel daun sehingga meningkatkan aktivitas enzim acid invertase yang
menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa, kemudian melalui reaksi
biokimia kedua molekul ini berperan sebagai penyedia ―C skleton‖ yang
digunakan untuk penggabungan N menjadi senyawa organik N. Peristiwa ini
menyebabkan peningkatan akumulasi gula pada daun wortel sejalan dengan
peningkatan sintesis senyawa organik N dan menurunkan translokasi gula ke
organ lain.
Pengaruh pemupukan urea + KCl dan interval panen terhadap kandungan
antosianin dan gula pucuk kolesom dalam penelitian ini sangat tidak konsisten,
sehingga mempengaruhi korelasi antara keduanya. Korelasi positif antara
kandungan antosianin dan gula pada penelitian ini ditemukan pada percobaan
berbagai dosis pupuk urea + KCl yang diberikan hanya pada awal tanam pada
berbagai interval panen, di mana semakin panjang interval panen akan
meningkatkan baik kandungan antosianin dan gula. Korelasi tersebut mendukung
hasil penelitian Hara et al. (2003) pada hipokotil lobak yang menunjukkan bahwa
gula berperan sebagai molekul sinyal dengan cara mengaktifkan gen yang
mengkodekan enzim chalcone synthase (pembentukan naringenin chalcone) dan
anthocyanidin synthase (pembentukan anthocyanidins) dalam biosintesis
antosianin.
Adanya perbedaan pengaruh pupuk urea + KCl dan interval panen
terhadap kandungan antosianin dan gula menjadikan korelasi antar keduanya tidak
ditemukan lagi pada percobaan-percobaan berikutnya. Mengacu kepada berbagai
hasil penelitian diduga bahwa ketidakstabilan korelasi antara kandungan
antosianin dan gula dalam pucuk kolesom terjadi karena beragamnya mekanisme
gula dalam mempengaruhi biosintesis antosianin, antara lain:
1. Respon gula terhadap biosintesis antosianin tampaknya lebih dipengaruhi
oleh perubahan fluks/aliran transportasi gula dibandingkan kandungan
gula dalam sel daun. Gangguan transportasi gula dalam floem yang
ditemukan oleh Murakami et al. (2008) menyebabkan akumulasi gula
yang sejalan dengan peningkatan antosianin dalam daun mapel, sedangkan
berbagai konsentrasi gula yang diaplikasikan dalam penelitian Hara et al.
(2003) tidak dapat meningkatkan kandungan antosianin daun lobak.
2. Respon gula terhadap biosintesis antosianin merupakan pengaruh interaksi
gula dengan fitohormon. Pernyataan ini didasarkan pada hasil penelitian
Hiratsuka et al. (2001) pada tanaman anggur menunjukkan aktivasi
ekspresi gen dalam biosintesis antosianin oleh gula dimediasi oleh hormon
ABA.
Adanya korelasi yang tidak konsisten antara antosianin dan gula yang
terkandung dalam pucuk dapat menunjukkan bahwa pucuk kolesom bukan organ
yang tepat untuk mempelajari kedua senyawa tersebut. Penelitian Hara et al.
(2003) menunjukkan bahwa kerkaitan antara kandungan antosianin dan gula
dalam pucuk lobak tidak dapat dipelajari dengan baik karena pucuk bukan
merupakan tempat akumulasi kedua senyawa tersebut. Konsistensi korelasi antara
kandungan antosianin dan gula pada berbagai penelitian terlihat pada organ
reproduktif tanaman yaitu bunga dan buah (Hiratsuka et al. 2001; Hara et al.
2003; Bodelon et al. 2010).
Potensi Pucuk Kolesom sebagai Sayuran Bergizi Berkhasiat Obat
Kandungan protein pucuk tertinggi pada seluruh percobaan ini yaitu
sebesar 19.51 mg/g bobot basah atau sebesar 1.95%. Kandungan protein ini
masih lebih rendah daripada kandungan protein daun kolesom berdasarkan bobot
basah yang dilaporkan oleh Aletor & Adeogun (1995) dan Saidu & Jideobi yaitu
masing-masing secara berurutan sebesar 2.50 dan 2.52%. Perbedaan lokasi dan
iklim dalam pelaksanaan penelitian dapat menyebabkan perbedaan kandungan
protein tersebut.
Kandungan antosianin pucuk tertinggi pada seluruh percobaan yaitu
sebesar 0.22 µmol/g bobot basah tetapi kadar tersebut tidak dapat dibandingkan
karena belum ada penelitian yang memberikan standar untuk kandungan
antosianin dalam sayuran daun. Meskipun dengan kadar yang beragam, namun
antosianin selalu tersedia dalam pucuk kolesom pada semua umur panen dan
dapat memberikan fungsi antioksidan pada saat dikonsumsi.
Peningkatan kandungan protein dan antosianin secara bersamaan dalam
pucuk kolesom layak jual tidak dapat dicapai pada penelitian ini. Meskipun
demikian, produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama masa tanam
dapat dijadikan parameter yang menggambarkan total kandungan protein dan
antosianin yang terakumulasi dalam pucuk kolesom yang dihasilkan dan dapat
dijadikan pertimbangan dalam budidaya sayuran kolesom yang mengutamakan
hasil dan kualitas.
Upaya peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom
dengan pemupukan nitrogen+kalium dan interval panen dalam penelitian ini dapat
memberikan informasi awal dalam rangka penyusunan GAP sayur kolesom
berkhasiat obat karena telah memenuhi sebagian dari tujuan dan ruang lingkup
pedoman budidaya buah dan sayur yang baik berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian No.48/Permentan/OT.140/2009. Tujuan dari penyusunan GAP yang
telah terpenuhi adalah meningkatkan produksi dan produktivitas serta mutu hasil,
sedangkan perlakuan pemupukan dan interval panen termasuk dalam ruang
lingkup GAP.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Usaha peningkatan produksi protein dan antosianin pucuk kolesom selama
periode tanam 75 hari yang dapat dijadikan informasi awal dalam
penyusunan panduan Good Agriculture Practices (GAP) sayuran kolesom
adalah melalui pemanenan pucuk setiap 15 hari sekali, penggunaan 5 ton
pupuk kandang ayam/ha dan 50 kg SP-18/ha sebagai pupuk dasar, serta
pemupukan urea + KCl yang dilakukan dalam 3 tahapan yaitu 100 kg urea
+ 100 kg KCl/ha pada saat tanam, 25 kg urea + 25 kg KCl/ha pada 30 dan
60 HST.
2. Kandungan protein mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan
umur tanaman pada masa vegetatif dan akan mengalami penurunan pada
masa reproduktif, sedangkan kandungan antosianin akan menurun sejalan
dengan pertambahan umur tanaman dan akan mengalami peningkatan
kembali pada saat kolesom mengalami stres abiotik akibat pemanenan
yang intensif.
3. Kandungan protein pucuk kolesom secara konsisten tidak berkorelasi
dengan kandungan antosianin dan biomassa tanaman. Korelasi antara
kandungan protein dengan klorofil dan gula bervariasi antar percobaan.
4. Kandungan antosianin pucuk kolesom secara konsisten tidak berkorelasi
dengan kandungan klorofil. Korelasi antara kandungan antosianin dengan
gula dan biomassa tanaman bervariasi antar percobaan.
DAFTAR PUSTAKA
Abad A, Lloveras J, Michelena A. 2004. Nitrogen fertilization and foliar urea
effects on durum wheat yield and quality and on residual soil nitrate in
irrigated Mediterranean conditions. Field Crops Research 87 : 257-269.
Abbasi D, Rouzbehan Y, Rezaei J. 2011. Effect of harvest date and nitrogen
fertilization rate on the nutritive value of amaranth forage (Amaranthus
hypochondriacus). Animal Feed Science and Technology [Article in
Press]. doi:10.1016/J.anifeedsci.2011.09.014.
Aletor VA, Adeogun OA. 1995. Nutrient and anti-nutrient components of some
tropical leafy vegetables. Food Chemistry 53: 375-379.
An LV, Frankow-Lindberg BE, Lindberg JE. 2003. Effect of harvesting interval
and defoliation on yield and chemical composition of leaves, stems and
tubers of sweat potato (Ipomeae batatas L. (Lim.)) plant parts. Field
Crops Research 82 : 49-58.
Andarwulan N, Batari R, Sandrasari DA, Bolling B, Wijaya H. 2010. Flavonoid
content and antioxidant activity of vegetables from Indonesia. Food
Chemistry 121: 1231-1235.
Andrew M, Raven JA, Sprent JL, Lea PJ. 2007. Is shoot growth correlated to
leaf protein concentration. Trends in Plant Science 12 (12): 531-532.
Arregui LM, Lasa B, Lafarga A, Iraneta I, Baroja E, Quemada M. 2006.
Evaluation of chlorophyll meter as tools for N fertilization in winter under
humid Mediterranean conditions. European Journal of Agronomy 24:
140-148.
Barneix AJ. 2007. Physiology and Biochemistry of source-regulated protein
accumulation in the wheat grain. Journal of Plant Physiology 164 : 581-
590.
Bellomo MG, Fallico B. 2007. Anthocyanins, chlorophylls and xanthophylls in
pistachio nuts (Pistacia vera). Journal of Food Composition and Analysis
20: 352-359.
Bernstein N, Loffe M, Luria G, Bruner M, Nishri Y, Philosof-hadas S, Salim S,
Bori I, Matan E. 2011. Effects of K and N nutrition on function and
production of Ranunculus asiaticus. Pedosphere 21(3): 288–301.
Bodelon OG, Blanch M, Sanchez-Ballesta MT, Escribano MI, Merodio C. 2010.
The effect of high CO2 levels on anthocyanin composition, antioxidant
activity and soluble sugar content of strawberries stored at low non-
freezing temperature. Food Chemistry 122:673-678.
Borowski E, Michalek S. 2009. The effect of foliar feeding of potassium salts
and urea in spinach on gas exchange, leaf yield and quality. Acta
Agrobotanica 62 (1): 155–162.
Botha EJ, Zebarth BJ, Leblon B. 2006. Non-destructive estimation of potato leaf
chlorophyll and protein contents from hyperspectral measurements using
the PROSPECT radiative transfer model. Canadian Journal of Plant
Science 86 : 279-291.
Bragazza L, Freeman C. 2007. High nitrogen availability reduces polyphenol
content in Sphagnum peat. Science of the Total Environment 377:439-443.
Bronson KF, Chua TT, Booker JD, Keeling JW, Lascano RJ. 2003. In season
nitrogen status sensing in irrigated cotton : II. Leaf nitrogen and biomass.
Soil Science Society of America Journal 67:1439-1448.
Campbell MK, Farrell SO. 2006. Biochemistry. 5th
edition. USA : Thomson
Learning, Inc. 689 p.
Castañeda-Ovando A, Pacheco-Hernández ML, Páez-Hernández ME, Rodríguez
JA, Galán-Vidal CA. 2009. Chemical studies of anthocyanins : a review.
Food Chemistry 113:859-871.
Chapagain BP, Wiesman Z. 2004. Effect of Nutri-Vant-PeaK foliar spray on
plant development, yield, and fruit quality in greenhouse tomatoes.
Scientia Horticulturae 102 : 177–188.
Chalker-Scott L. 2002. Do anthocyanins function as osmoregulators in leaf
tissues? Advance of Botanical Research 37: 103-127.
Chen BM, Wang ZH, Li SX, Wang GX, Song HX, Wang NX. 2004. Effects of
nitrate supply on plant growth, nitrate accumulation, metabolic nitrate
concentration and nitrate reductase activity in three leafy vegetables.
Plant Science 167 : 635–643.
Choinski JR, Ralph P, Eamus D. 2003. Changes in photosynthesis during leaf
expansion in Corymbia gummifera. Australian Journal of Botany 51: 111-
118.
Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber SL, Duke JA, Brielmann HL.
2006. Natural Product from Plant. USA : Taylor & Francis Group. 691
p.
Davis MR et al. 2007. Relationships between soil and foliar nutrients in young
densely planted mini-plots of Pinus radiata and Cupressus lusitanica. Forest Ecology and Management 240: 122–130.
de Lacerda CF, Cambraia J, Oliva MA, Ruiz HA, Prisco JT. 2003. Solute
accumulation and distribution during shoot and leaf development in two
sorghum genotypes under salt stress. Environmental and Experimental
Botany 49: 107-120.
del Amor FM, Cuadra-Crespo P. 2011. Gas exchange and antioxidant response
of sweet pepper to foliar urea spray as affected by ambient temperature.
Scientia Horticulturae 127: 334–340.
Delgado R, Gonzalez M, Martin P. 2006. Interaction effects of nitrogen and
potassium fertilization on anthocyanin composition and chromatic features
of Tempranillo grapes. International Journal of Vine and Wine 40(3):141-
150.
Delin S, Linden B, Berglund K. 2005. Yield and protein response to fertilizer
nitrogen in different parts of a cereal field: potential of site-spesific
fertilization. European Journal of Agronomy 22: 325-336.
Dong S, Cheng L, Scagel CF, Fuchigami LH. 2002. Nitrogen absorption,
translocation and distribution from urea applied in autumn to leaves of
young potted apple (Malus domestica) trees. Three Physiology 22: 1305-
1310.
Drum HE, Margulies MM. 1970. In vitro protein synthesis by plastids of
Phaseolus vulgaris. Plant Physiology 45: 435-442.
Fasuyi AO. 2006. Nutritional potentials of some tropical vegetable leaf meals :
Chemical characterization and functional properties. African Journal of
Biotechnology 5(1) : 49-53.
Fasuyi AO. 2007. Bio-nutritional evaluations of three tropical leaf vegetables
(Telfaria occidentalis, Amaranthus cruentus and Talinum triangulare) as
sole dietary protein sources in rat assay. Food Chemistry 103:757-765.
Fernandez-escobar, Marin L, Sanzhez-Zamora MA, Garcia-Novelo JM, Molina-
Soria C, Parra MA. 2009. Long-term effects of N fertilization on
cropping and growth of olive trees and on N accumulation in soil profile.
European Journal of Agronomy 31: 223–232.
Ferrise R, Triossi A, Stratonovitch P, Bindi M, Martre P. 2010. Sowing date and
Nitrogen fertilisation effect on dry matter and nitrogen dynamics for
durum wheat: An experimental and simulation study. Field Crops
Research 117: 245-257.
Field TS, Lee DW, Holbrook NM. 2001. Why leaves turn red in autumn. The
role of anthocyanin in senescing leaves of red-osier dogwood. Plant
Physiology 127: 566-574.
Fontem DA, Schippers RR. 2004. Talinum triangulare (Jacq.) Willd.
http//prota2: vegetables/legumes record/Talinum 20%triangulare_En.htm
[1 April 2010].
Fridgen JL, Varco JJ. 2004. Dependency of cotton leaf nitrogen, chlorophyll, and
reflectance on nitrogen and potassium availability. Agronomy Journal
96:63-69.
Fuertes-Mendizabal T, Aizpurua A, Moro MBG, Estavillo. 2010. Improving
wheat breadmaking quality by splitting the N fertilizer rate. European
Journal of Agronomy 33: 52-61.
Garrido-Lestache E, Lopez-Bellido RJ, Lopez-Bellido L. 2004. Effect of N rate,
timing and splitting and N type on bread-making quality in hard red spring
wheat under rainfed Mediterranean conditions. Field Crops Research 85:
213-236.
Garrido-Lestache E, Lopez-Bellido RJ, Lopez-Bellido L. 2005. Durum wheat
quality under Mediterranean conditions as affected by N rate, timing and
splitting, N form and S fertilization. European Journal of Agronomy 23:
265-278.
George E, Seith B. 1998. Long-term effects of high nitrogen supply to soil on the
growth and nutritional status of young Norway spruce trees.
Environmental Pollution 102: 301-306.
Gonzalez-Salvatierra C, Andrade JL, Escalante-Erosa F, Garcia-Sosa K, Pena-
Rodriguez LM. 2010. Antioxidant content in two CAM bromeliad
species as a response to seasonal light changes in a tropical dry deciduous
forest. Journal of Plant Physiology 167: 792–799.
Gossauer A, Engel N. 1996. New Trends in Photobiology (Invited Review) :
Chlorophyll catabolism- structures, mechanisms, conversions. Journal of
Photochemistry and Photobiology B: Biology 32: 141-151.
Grant CA, Brown KR, Racz GJ, Bailey LD. 2001. Influence of source, timing
and placement of nitrogen on grain yield and nitrogen removal of durum
wheat under reduced and conventional tillage management. Canadian
Journal of Plant Science 81:17-27.
Grechi I, Vivin Ph, Hilbert G, Milin S, Robert T, Gaudil‘ere J-P. 2007. Effect of
light and nitrogen supply on internal C:N balance and control of root-to-
shoot biomass allocation in grapevine. Environmental and Experimental
Botany 59 :139–149.
Guiboileau A, Sormani R, Meyer C, Masclaux-Daubresse C. 2010. Senescence
and death of plant organs: Nutrient recycling and developmental
regulation. Comptes Rendus Biologies 333 : 382–391.
Guo R, Yuan G, Wang Q. 2011. Sucrose enhances the accumulation of
anthocyanins and glucosinolates in Broccoli sprouts. Food Chemistry 129
(20) : 1080-1087.
Hara M, Oki K, Hoshino K, Kuboi T. 2003. Enhancement of anthocyanin
biosynthesis by sugar in radish (Raphanus sativus) hypocotyl. Plant
Science 164: 259-265.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Cetakan ke-6. Jakarta : Akademika
Pressindo. 288 hal.
Hare MD, Tatsapong P, Lunpha A, Wongpichet K. 2004. Effect of plant spacing,
cutting and nitrogen on establishment and production of Digitaria
milanjiana cv. Jarra in north-east Thailand. Tropical Grasslands 38:217-
226.
Hargono D. 2005. Menambah energi tubuh dengan bahan alami. Herba 35 : 18-
21.
Hatier JHB, Gould KS. 2008. Foliar anthocyanins as modulator of stress signals.
Journal of Theoretical Biology 253: 625-627.
Havlin JL, Tisdale SL, Beaton JD, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and
Fertilizer. An Introduction to Nutrien Management. 7th
Edition. New
Jersey : Pearson Prentice Hall. 515 p.
Heldt H-W. 2005. Plant Biochemistry. 3rd
edition. USA : Elsevier Academic
Press. 630 p.
Hernani, Nugroho YA, Hayati E. 2002. Identifikasi senyawa kimia akar kolesom
(Talinum triangulare). Buletin Tanaman Rempah dan Obat XIII (1).
Herrera A. 1999. Effect of photoperiod and drought on the induction of
crassulacean acid metabolism and the reproduction of plants of Talinum
triangulare. Canadian Journal of Botany 77 : 404-409.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Badan Litbang Departemen
Kehutanan, penerjemah; Jakarta : Yayasan Sarana Wana Jaya.
Terjemahan dari : De Nuttige Planten Van Indonesie.
Hiratsuka S, Onodera H, Kawai Y, Kubo T, Itoh H, Wada R. 2001. ABA and
sugar effects on anthocyanin formation in grape berry cultured in vitro.
Scientia Horticulturae 90:121-130.
Hortensteiner S. 2006. Chlorophyll degradation during senescence. Annual
Review of Plant Biology 57: 55-57.
Houles V, Guerif M, Mary B. 2007. Elaboration of a nitrogen nutrition indicator
for winter wheat based on leaf area index and chlorophyll content for
making nitrogen recommendations. European Journal of Agronomy 27: 1-
11.
Hui LZ et al. 2008. Effect of N and K fertilizers on yield and quality of
greenhouse vegetable crops. Pedosphere 18(4):496-502.
Hung KT, Cheng DG, Hsu YT, Kao CH. 2010. Abscisic acid-induced hydrogen
peroxide is required for anthocyanin accumulation in leaves of rice
seedlings. Journal of Plant Physiology 165 : 1280—1287.
Hutapea JR. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta : Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
Jabeen R, Ahmad R. 2009. Alleviation of the adverse effects of salt stress by
foliar application of sodium antagonistic essential minerals on cotton
(Gossypium Hirsutum). Pakistan Journal of Botany 41(5): 2199-2208.
Jeppsson N. 2000. The effect of fertilizer rate on vegetative growth, yield and
fruit quality, with special respect to pigments, in black chokeberry (Aronia
melanocarpa) cv. ‗Viking‘. Scientia Horticulturae 83:127-137.
Kabi F, Bareeba FB. 2008. Herbage biomass production and nutritive value of
mulberry (Morus alba) and Calliandra calothyrsus harvested at different
cutting frequencies. Animal Feed Science and Technology 140:178-190.
Kangatharalingam N, Pierce ML, Bayles MB, Essenberg M. 2002. Epidermal
anthocyanin production as an indicator of bacterial blight resistance in
cotton. Physiological and Molecular Plant Pathology 61: 189-195.
Kanzikwera CR, Tenywa JS, Osiru DSO, Adapala E, Bhagsari AS. 2001.
Interactive effect of nitrogen and potassium on dry matter and nutrien
partioning in true potato seed mother plants. African Crop Science
Journal 9(1):127-146.
Khan AS, Malik AU, Pervez MA, Saleem BA, Rajwana IA, Shaheen T, Anwar R.
2009. Foliar application of low-biuret urea and fruit canopy position in
the tree influence the leaf nitrogen status and physico-chemical
characteristics of kinnow mandarin(citrus reticulata blanco). Pakistan
Journal of Botany 41(1): 73-85.
Kovacik J, Klejdus B, Backor M, Repcak M. 2007. Phenylalanine ammonia-lyase
activity and phenolic compounds accumulation in nitrogen-deficient
Matricaria chamomilla leaf rosettes. Plant Science 172: 393-399.
Kytridis VP, Karageorgou, Levizou E, Manetas Y. 2008. Intra-species variation
in transient accumulation of leaf anthocyanin in Cistus cretius during
winter : Evidence that anthocyanins may compesate for an in inherent
photosynthetic and photoprotective in interiority of the red-leaf phenoype.
Journal of Plant physiology 162 : 952-959.
Leesawatwong M, Jamjod S, Kuo J, Dell B, Rerkasem B. 2005. Nitrogen fertilizer
increases seed protein and milling quality of rice. Cereal Chemistry 82 :
588–593.
Li S, Strid A. 2005. Anthocyanin accumulation and changes in CHS and PR-5
gene expression in Arabidopsis thaliana after removal at the inflorence
stem (decapitation). Plant Physiology and Biochemistry 43 : 521–525
Linder MC. 1992. Nutrional Biochemistry and Metabolism. Elsevier Science
Publishing Company, Inc. 781 p.
Lopez-Bellido L, Lopez-Bellido RJ, Castillo JE, Lopez-Bellido FJ. 2001. Effect
of long-term tillage, crop rotation and nitrogen fertilization on bread-
making quality of hard red spring wheat. Field Crops Research 72: 197-
210.
Man NV, Wiktorsson H. 2003. Forage yield, nutritive value, feed intake and
digestibility of three grass species as affected by harvest frequency.
Tropical Grassland 37:101-110.
Manetas Y, Petropoulou Y, Psaras GK, Drinia A. 2003. Exposed red
(anthocyanic) leaves of Quercus cocifera display shade characteristics.
Functional Plant Biology 30:265-270.
Manetas Y. 2006. Why some leaves are anthocyanic and why most anthocyanic
leaves are red? Flora 201: 163-177.
Manyawu GJ, Chakoma C, Sibanda S, Mutis C, Chakoma IC. 2003. The effect
of harvesting interval on herbage yield and nutritive value of napier grass
and hybrid Pennisetum. Asian-Australian Journal of Animal Science
16(7):996-1002.
Marman M. 2010. Pengaruh kombinasi pupuk N-K melalui daun terhadap
produksi pucuk daun kolesom (Talinum triangulare Wild) [skripsi].
Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants (2nd
edition). London :
Academic Press Limited. 889 p.
Matsuki M. 1996. Regulation of plant phenolic synthesis: from biochemistry to
ecology and evolution. Australian Journal of Botany 44: 613–634.
McCormic AJ, Cramer MD, Watt DA. 2008. Regulation of photosynthesis by
sugars in sugarcane leaves. Journal of Plant Physiology 165 : 1817-1829.
Mensah JK, Okoli RI, Obodo JO, Eifediyi K. 2008. Phytochemical, nutritional
and medical properties of some leafy vegetable consumed by Edo people
of Nigeria. African Journal of Biotechnology 7 (14) : 2304-2309.
Miyasaka SC, Hansen JD, Mc Donal TG, Fukumoto GK. 2007. Effects of
nitrogen and potassium in kikuyu grass on feeding by yellow sugarcane
aphid. Crop Protection 26: 511-517.
Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biochemistry : A
Case-Oriented Approach. Iowa : C.V. Mosby Company. 1377 p.
Mori K, Yamamoto NG, Kitayama M, Hashizume K. 2007. Loss of
anthocyanins in red-wine grape under high temperature. Journal of
Experimental Botany 58(8) : 1935-1945.
Mosaleeyanon K, Zobayed SMA, Afreen F, Kozai T. 2005. Relationships
between net photosynthetic rate and secondary metabolite contents in St.
John‘s wort. Plant Science 169 : 523–531.
Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam
pada produksi antosianin daun kolesom. Jurnal Agronomi Indonesia 37
(1) : 55-61.
Murakami PF, Schaberg PG, Shane JB. 2008. Stem girdling manipulates leaf
sugar concentrations and anthocyanin expression in sugar maple trees
during autumn. Tree Physiology 28: 1467-1473.
Netto AT, Campostrini E, de Oliveira JG, Bressan-Smith RE. 2005.
Photosynthetic pigments, nitrogen, chlorophyll a fluorescence and SPAD-
502 readings in coffee leaves. Scientia Horticulturae 104: 199-209.
Ning H, Liu Z, Wang Q, Lin Z, Chen S. 2009. Effect of nitrogen fertilizer
application on grain phytic acid and protein. Journal of Cereal Science
50: 49–55
Noquet C, Avice J-C, Rossato L, Beauclair P, Henry M-P, Ourry A. 2004.
Effects of altered source-sink relationships on N allocation and vegetative
storage protein accumulation in Brassica napus L. Plant Science 166:
1007-1018.
Nugroho YA. 2000. Khasiat dan keamanan som jawa (Talinum paniculatum
Gaertn) dan kolesom (Talinum triangulare Wild). http :// digilib. litbang.
depkes. go. id/ go. php? node = 132 jkpkbppk-gdl-res-2001-yun-198-
kolesom [8 Maret 2009].
Odukoya OA, Agha SII, Segun FI, Sofidiya MO, Ilori OO. 2007. Antioxidant
activity of selected Nigerian green leafy vegetables. American Journal of
Food Technology 2 (3) : 169-175.
Ofusori DA et al. 2008. Waterleaf (Talinum triangulare) enhances cerebral
function in Swiss Albino Mice. Journal of Neurological Sciences
(Turkish) 25(4) : 239-246.
Ohe M, Rapolu M, Mieda T, Miyagawa Y, Yabuta Y, Yoshimura K, Shigeoka S.
2005. Decline in leaf photooxidative-stress tolerance with age in tobacco.
Plant Science 168 : 1487-1493.
Oren-Shamir M. 2009. Does anthocyanin degradation play a significant role in
determining pigment concentration in plants? Plant Science 177 : 310-316.
Patil RP, Chetti MB, Hiremath SM. 2009. Influence of agrochemical on morpho-
physiological characters yield and yield component of sugarcane under
moisture stress. Karnataka Journal of Agricultural of Science 22(4): 759-
761.
Patterson RT, Karanja GM, Roothaert RL, Nyaata OZ, and Kariuki IW. 1998. A
review of tree fodder production and utilization within smallholder
agroforestry systems in Kenya. Agroforestry Systems 41: 181-199.
Peng M, Hudson D, Schofield A, Tsao R, Yang R, Gu H, Bi YM, Rothstein SJ.
2008. Adaptation of Arabidopsis to nitrogen limitation involves induction
of anthocyanin synthesis which is controlled by the NLA gene. Journal of
Experimental Botany 59(11) : 2933-2944.
Peng Y, Niu J, Peng Z, Zhang F, Li C. 2010. Shoot growth potential drives N
uptake in maize plants and correlates with root growth in the soil. Field
Crops Research 115: 85-93.
Pieters AJ, Tezara W, Herrera A. 2003. Operation of the xanthophyll cycle and
degradation of D1 protein in the inducible CAM plant, Talinum
triangulare, under water deficit. Annals of Botany 92 : 393-399.
Restrepo-Diaz H, Benlloch M, Navarro C, Ferna´ndez-Escobar R. 2008.
Potassium fertilization of rainfed olive orchards. Scientia Horticulturae
116: 399–403.
Richter A, Peter E, Pors Y, Lorenzen S, Grimm B, Czarnecki O. 2010. Rapid
dark repression of 5-aminolevulinic acid synthesis in green barley leaves.
Plant & Cell Physiology 51 (5) : 670-681.
Ronen E. 2000. Foliar feeding : Another successful way of feeding plants.
http://www.haifachem.com/download/files/foliar.pdf [15 pebruari 2011].
Rubio-Covarrubias OA, Brown PH, Weinbaum SA, Johnson RS, Cabrera RI.
2009. Evaluating foliar nitrogen compounds as indicators of nitrogen
status in Prunus persica trees. Scientia Horticulturae 120: 27-33.
Saidi MM, Ngouajio FM, Itulya, Ehler J. 2007. Leaf Harvesting initiation time
and frequency affect biomass partitioning and yield of cowpea. Crop
Science 47:1159-1166.
Saidu AN, Jideobi NG. 2009. The Proximate and elemental Analysis of some
Leafy Vegetables Grown in Minna and Environs. Journal of Applied
Science and Environmental Management 13 (4):21-22.
Sanchez E, Soto JM, Garcia PC, Lopez-Lefebre LR, Rivero RM, Ruiz JM,
Romero L. 2000. Phenolic compounds and oxidative metabolism in green
bean plants under nitrogen toxicity. Australian Journal of Plant
Physiology 27 : 272-277
Sanchez NR, Ledin S, Ledin I. 2007. Biomass production and nutritive
composition of ―Cratylia argentea‖ under different planting densities and
harvest intervals. Journal of Sustainable Agriculture 29(4) : 5-22.
Santa IGP, Prajogo SB. 1999. Studi taksonomi Talinum paniculatum (JACQ.)
Gaertn. dan Talinum triangulare (JACQ.) Willd. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia 5(4) : 9-10.
Sarrwy SMA, Mohamed EA, Hasan HAS. 2010. Effect of foliar sprays with
potassium nitrate and mono-potassium phosphate on leaf mineral contents,
fruit set, yield and fruit quality of picual olive trees grown under sandy soil
conditions. American-Eurasian Journal of Agricultural & Environmental
Scence 8(4):420-430.
Sarwar M, Nisa M, Khan MA, Mushtaque M. 2006. Chemical composition,
herbage yield and nutritive value of Panicum antidole and Pennisetum
orientale for Nili buffaloes at different clipping intervals. Asian-
Australian Journal of Animal Science 19(2):176-180.
Sawan ZM, Fahmy AH, Yousef SE. 2009. Direct and residual effects of nitrogen
fertilization, foliar application of potassium and plant growth retardant on
Egyptian cotton growth, seed yield, seed viability and seedling vigor. Acta
Ecologica Sinica 29: 116–123.
Sideris CP. 1946. Chrophyll and protein interrelationships in Ananas comosus
(L.) Merr. Plant Physiology : 160-173.
Sideris CP, Young HY. 1945. Effect of Potassium on chlorophyll, acidity,
ascorbic acid, and carbohydrates of Ananas comosus (L.) Merr. Plant
Physiology 20(4): 649-670.
Simon JC, Jacquet A, Decau ML, Goulas E, Dily FL. 2004. Influence of
cutting frequency on the morphology and the C and N reserve status of
two cultivars of white clover (Trifolium repens L.). European Journal of
Agronomy 20: 341-350.
Sims DA, Gamon JA. 2002. Relationships beetween leaf pigment content and
spectral reflectance across a wide range of species, leaf structures, and
development stages. Remote Sensing of Environment 81:337-354.
Smolen S, Sady W. 2009a. The effect of various nitrogen fertilization and foliar
nutrition regimes on the concentrations of nitrates, ammonium ions, dry
matter and N-total in carrot (Daucus carota L.) roots. Scientia
Horticulturae 119: 219–231.
Smolen S, Sady W. 2009b. The effect of various nitrogen fertilization and foliar
nutrition regimes on the concentrations of sugar, carotenoid and phenolic
compounds in carrot (Daucus carota L.). Scientia Horticulturae 120 : 315-
324.
Sritharan N, Aravazhi A, Vanangamudi M. 2005. Effect of foliar spray of
nutrients and plant growth regulators (PGRs) for yield maximazation in
blackgram. Madras Agricultural Journal 92 (4-6): 301-307.
Srivastava LM. Plant Growth and Development : Hormones and Environment.
USA : Academic Press. 722 p.
Stagnari F, Bitetto VD, Pisante M. 2007. Effects of N fertilizers and rates on
yield, safety and nutrients in processing spinach genotypes. Scientia
Horticulturae 114: 225–233.
Stancheva I, Geneva M, Zehirov G, Georgiev G. 2005. Effect of foliar fertilizer
concentration on the biomass accumulation and nitrate assimilation rate of
milk thistle (Silybum marianum L.). Proceeding of the Balkan Scientific
conference of Biology in Plovdiv (Bulgaria) from 19th
till 21st
of May
2005: 343-348.
Stefanelli D, Goodwin I, Jones R. 2010. Minimal nitrogen and water use in
horticulture: Effects on quality and content of selected nutrients. Food
Research International 43: 1833-1843.
Stino RG, Fayed TA, Ali MM, Alaa SA. 2010. Enhancing fruit quality of Florida
Prince Peaches by some foliar treatments. Journal of Horticultural
Science & Ornamental Plants 2(1): 38-45.
Stintzing FC, Carle R. 2004. Functional properties of anthocyanins and betalains
in plants, food, and in human nutrition. Trends in Food Science &
Technology 15 : 19-38.
Sugiarto NT. 2006. Pengaruh umur dan frekuensi panen pada produksi pucuk
kolesom (Talinum triangulare Wild.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sultana N, Ikeda T, Kashem MA. 2001. Effect of foliar spray of nutrient
solutions on photosynthesis, dry matter accumulation and yield in
seawater-stressed rice. Environmental and Experimental Botany 46: 129–
140.
Susanti H, Aziz SA, Melati M. 2008. Produksi Biomassa dan bahan bioaktif
kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd ) dari berbagai asal bibit dan
dosis pupuk kandang ayam. Buletin Agronomi 36 (1) : 48-55.
Syukur C, Hernani. 2003. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Jakarta : Penebar
Swadaya. 136 hal.
Szczerba MW, Britto DT, Kronzucker HJ. 2009. K+ transport in plants :
physiology and molecular biology. Journal of Plant Physiology 166 : 447-466.
Szostak D, Burda S, Podolska G. 2005. Effect of N fertilization and Growth
regulator on buckwheat yield and some phenolic compounds in seeds.
Proceedings of the 10th
international symposum on buckwheat : 313-317.
Tagliavini M, Drahorad W, Dalla VJ. 2002. Preface. Acta Horticulturae : 594.
Tatar O, Ilker E, Tonk FA, Aygun H, Caylak O. 2010. Impact of different
nitrogen and potassium application on yield and fiber quality of ramie
(Boehmeria nivea). International Journal of Agriculture & Biology
12:369-372.
Teixera EI, Moot DJ, Brown HE, M Keith, Pollock KM. 2007. How does
defolition management impact on yield, canopy forming processes and
light interception of lucerne (Medicago sativa L.) crops? European
Journal of Agronomy 27: 154–164.
Tisdale SL, Nelson WL. 1975. Soil Fertility and Fertilizer. 3th
Edition. New
York : Mc Millan.
Tsukaya H, Ohshima T, Naito S, Chino M, Komeda Y. 1991. Sugar dependent
expression of the CHS-A gene for chalcone synthase from petunia in
transgenic Arabidopsis. Plant Physiology 97: 1414-1421.
Umar S, Bansal SK, Imas P, Magen H. 1999. Effect of foliar fertilization of
potassium on yield, quality, and nutrient uptake of groundnut. Journal of
Plant Nutrition 22(11): 1785-1795.
Vaknin H, Bar-Akiva A, Ovadia R, Nissim-Levi A, Forer I, Weiss D, Oren-
Shamir M. 2005. Active anthocyanin degradation in Brunfelsia calycina
(yesterday-today-tomorrow) flowers. Planta 222:19-26.
Venkatesan S, Murugesan S, Pandian VKS, Ganapathy MNK. 2005. Impact of
sources and doses of potassium on biochemical and greenleaf parameters
of tea. Food Chemistry 90: 535-539.
Wahyuni S, Hadipoentyanti E. 1999. Karakteristik Talinum paniculatum Gaertn.
dan Talinum triangulare Willd. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 5(4) :
5-6.
Wang S, Zhu Y, Jiang H, Cao W. 2006. Positional differences in nitrogen and
sugar concentrations of upper leaves relate to plant N status in rice under
different N rates. Field Crop Research 96:224-234.
Wang WH, Kohler B, Cao FQ, Liu LH. 2008. Molecular and physiological
aspect of urea transport in higher plants. Plant Science 175: 467-477.
Waterborg JH. 2002. The Lowry method for protein in : Walker JM (ed). The
protein protocols handbook. 2nd
Ed. New Jersey : Humana Press Inc. p 7-
9.
Xiaoping X, Yizhuo S, Wenqi G, Zhiguo Z. 2008. Accumulation characteristics
of biomass and nitrogen and critical nitrogen concentration dilution model
of cotton reproductive organ. Acta Ecologica Sinica 28 (12) : 6204-6211.
Yemm EW, Willis AJ. 1954. The estimation of carbohydrates in plant extracts
by antrone. Biochemistry Journal 57: 508-514.
Yu-Fan F, Min C, Xiao-li Y, Qi-tang Z, Zhi-hua L, Chun-Xian Y, Ping H. 2008.
Variation laws of anthocyanin content in roots and their relationships with
major economic traits in purple-fleshed sweetpotato [Ipomoea batatas (L.)
Lam]. Agricultural Sciences in China 7(1): 32-40.
Zhao-Hui L, Li-Hua J, Xiao-Lin L, Hardrter R, Wen-Jun Z, Yu-Lan Z, Dong-
Feng Z. 2008. Effect of N and K Fertilizers on Yield and Quality of
Greenhouse Vegetable Crops. Pedosphere 18(4): 496–502.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Analisis sifat kimia tanah
Lampiran 2 Metode Lowry untuk analisis protein (Waterborg 2002)
Peralatan :
- Mortar
- Pipet Mohr (volumetrik)
- Pipet mikro 1 mL
- Microtube 2 mL
- Tabung reaksi 10 mL
- Waterbath
- Spektrofotometer
Bahan :
- Na-Phosphate
- Reagen A : 7 mM K-Na Tartrate.4H2O (garam Rochelle); 0.81 M Na2CO3
dalam 500 mL NaOH 1 N; H2O sampai 1 L bisa tahan 2 sampai 3 bulan.
- Reagen B : 70 mM K-Na Tartrate. 4H2O; 40 mM CuSO4.5H2O dalam 10 mL
NaOH 1 N; H2O sampai 100 mL.
- Reagen C : 1 mL Folin-Ciocalteu dilarutkan dengan 15 mL H2O.
- Standar Bovin Serum Albumin (BSA).
Prosedur :
A. Ekstraksi
1 mL 0.01 M buffer Na-Phosphate (pH 6) ditambahkan ke dalam 100 mg
jaringan yang telah digerus halus kemudian di sentrifuge. 5-200 µL
supernatan ditera menjadi 1 mL dalam buffer ekstrak yang digunakan untuk
penentuan protein.
B. Penentuan
1. Supernatan ditambahkan 0.90 mL Reagent A lalu dikocok dan diinkubasi
selama 10 menit pada suhu 500 C kemudian dinginkan.
2. Tambahkan 0.10 mL Reagent B lalu kocok dan diinkubasi selama 10
menit pada suhu kamar.
3. Tambahkan 3 mL Reagent C dengan cepat dan diinkubasi selama 10 menit
pada suhu 500 C kemudian dinginkan sampai suhu kamar.
4. Ukur absorbans pada 650 nm.
C. Perhitungan
Protein µg/g = A x (B/Wt) x fp
Keterangan :
A = protein dalam ekstrak (µg/mL)
B = volume ekstrak (mL)
Wt = Bobot contoh (g)
fp = faktor pengencer
Lampiran 3 Metode analisis antosianin dan klorofil (Sims & Gamon 2002)
Cara kerja :
1. Sampel daun diambil yang telah terbentuk sempurna.
2. Sampel daun segar diberi pelubang untuk diambil sampel luasan daun
berbentuk lingkaran dan diukur diameternya.
3. Sampel tersebut digerus dengan menggunakan mortal porselen dan
ditambahkan 2 ml asetris, kemudian masukkan ke mikrotube 2 ml.
4. Sampel dalam mikrotube di centrifuge 14 000 rpm selama 10 menit
5. Pipet 1 ml supernatan, tambahkan 3 ml asetris, lalu masukkan ke dalam tabung
reaksi
6. Pengukuran absorban menggunakan spektrofotometer UV/VIS pada panjang
gelombang 663, 647, dan 537 nm.
Perhitungan :
Antosianin total (µmol/cm2) = ((0.08173 x A537) – (0.00697 x A647) –
(0.002228 x A663) x fp x vol)) / luas daun
Klorofil a (µmol/cm2) = ((0.01373 x A663) – (0.000897 x A537) –
(0.003046 x A647) x fp x vol)) / luas daun
Klorofil b (µmol/cm2) = ((0.02405 x A647) – (0.004305 x A537) –
(0.005507 x A663) x fp x vol)) / luas daun
Klorofil total = klorofil a + klorofil b
A = nilai absorban pada panjang gelombang
fp = faktor pengencer
vol = volume
Konversi µmol/cm2 ke µmol/g dengan cara menghitung terlebih dahulu bobot
basah sampel per luasan daun.
Lampiran 4 Metode penentuan gula total (Yemm & Willis 1954)
Peralatan
Mortar dan Pestle
Pipet Mohr ; Volumetrik
Pipet Mikro 1mL
Gelas Piala 100mL
Kertas saring
Tabung Reaksi 10mL
Labu takar 50mL
Waterbath
Spektrofotometer
Bahan
Ethanol 80%
Anthrone 1%
Standar Glukosa
Prosedur
A. Ekstraksi
1 g daun segar digerus bersama dengan ethanol 80% 10mL lalu disaring
kedalam gelas piala 100mL, bilas dengan 10 mL ethanol 80%. Uapkan
ethanol diatas penangas air sampai tidak tercium bau alkohol. Tera sampai 50
mL menggunakan labu takar (larutan A)
B. Penentuan
1. Siapkan 1mL larutan A ditambah air 1mL; 2 mL blanko (H2O) ; 2mL deret
standar Glukosa dengan konsentrasi 25;50;100;250;500 ug/mL
2. Tambahkan 5mL Anthrone lalu kocok, inkubasi 12 menit pada suhu
100OC
3. Dinginkan sampai suhu kamar
4. Ukur Absorbans pada 620nm
5. Hitung konsentrasi contoh dengan menggunakan kurva kalibrasi standar
C. Perhitungan
Gula total = A x (B/Wt) x fp
A = gula dalam ekstrak (ug/mL)
B = volume ekstrak (mL)
Wt= Bobot contoh (g)
fp = faktor pengencer