pro kontra perkembangan ritel modern

Upload: wendi-irawan-dediarta

Post on 12-Jul-2015

415 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

INDUSTRI RITEL MODERNPRO DAN KONTRA TENTANG PERKEMBANGAN RITEL MODERN DI INDONESIA³Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Industri Ritel Modern´Disusun Oleh: Wendi Irawan Dediarta (150310080137)PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011PENDAHULUANUntuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan, manusia berjuang dan mengatasi kesulitannya dengan gigih, memanfaatkan alam, memanfaatkan segala tenaga dan pikiran yang ada padanya, menggunakan organisasi

TRANSCRIPT

INDUSTRI RITEL MODERN

PRO DAN KONTRA TENTANG PERKEMBANGAN RITEL MODERN DI INDONESIAMakalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Industri Ritel Modern

Disusun Oleh: Wendi Irawan Dediarta (150310080137)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

PENDAHULUANUntuk mendapatkan dan memenuhi kebutuhan, manusia berjuang dan mengatasi kesulitannya dengan gigih, memanfaatkan alam, memanfaatkan segala tenaga dan pikiran yang ada padanya, menggunakan organisasi dan serta modal yang ada pada diri dan lingkungannya. Di suatu daerah, di suatu negeri, desa dan dusun sebagai tempat hunian, manusia kadang-kadang juga tak dapat memenuhi kebutuhan dan seleranya yang beraneka ragam itu. Adapun salah satu wadah yang bisa menjawab segala sesuatu, terutama kebutuhan yang bersifat ekonomi adalah pasar. Pasar dapat berbentuk sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sebagai pusat kegiatan budaya. Sebagai pusat kegiatan ekonomi pasar menunjukkan perannya dalam aspek perekonomian di tengah-tengah masyarakat dan lingkungannya. Suatu pasar dapat terjadi karena sesuatu hal secara kebetulan dan karena sesuatu hal yang direncanakan. Di pasar berdatangan berbagai calon dan jenis pembeli dan penjual. Mereka menyediakan, memasarkan dan menjual hasil produksi berupa hasil-hasil produksi pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kerajinan rumah tangga, hasil pabrik, hasil industri, bahkan menyediakan barang-barang yang sudah langka peredarannya. Berbagai kemungkinan kebutuhan manusia terjadi di pasar. Bagi manusia yang mengerti akan kebutuhan pasar, segera mencari bahan sarana, peralatan dan barang yang di tawarkan untuk dijual di pasar. Kita tahu bahwa kebutuhan dan keinginan manusia tidak ada batasnya, karena itu di pihak lain masyarakat calon penjual mengusahakan berbagai hal yang diperlukan masyarakat calon pembeli. Mereka meneliti dan mengobservasi jenis barang apa saja yang merupakan selera masyarakat masa kini. Dengan demikian pasar merupakan suatu medan untuk mendapatkan lapangan usaha baru (Depdikbud, 1990). Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawarmenawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar, kebanyakan menjual kebutuhan seharihari dan barang barang lainnya. Kehadiran pasar tradisional sangat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena di pasar tradisional segala kebutuhan rumah tangga tersedia (Malau, 2009). Pasar tradisional memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar-menawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional. Selain memiliki keunggulan alamiah, pasar tradisional memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor disain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keragaman dan kualitas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern. Ketika konsumen menuntut nilai lebih atas setiap uang yang dibelanjakannya, maka kondisi pasar tradisional yang kumuh, kotor, bau, dengan atmosfir seadanya dalam jam operasional yang relatif terbatas tidak mampu mengakomodasi hal ini. Kondisi ini menjadi salah satu alasan konsumen untuk beralih dari pasar tradisional ke pasar modern. Artinya, dengan nilai uang yang relatif sama, pasar modern memberikan kenyamanan, keamanan, dan keleluasaan berbelanja yang tidak dapat diberikan pasar tradisional. Indonesia adalah negara dengan mayoritas konsumen berasal dari kalangan menengah kebawah. Kondisi ini menjadikan konsumen Indonesia tergolong ke dalam konsumen yang

sangat sensitif terhadap harga. Ketika faktor harga rendah yang sebelumnya menjadi keunggulan pasar tradisional mampu diambil alih oleh pasar modern, secara relatif tidak ada alasan konsumen dari kalangan menengah ke bawah untuk tidak turut berbelanja ke pasar modern dan meninggalkan pasar tradiasional (Artikel Ekonomi, 2009). Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas). Pasar modern antara lain mall, supermarket, departemen store, shopping centre, waralaba, toko mini swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya. Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain menyediakan barang barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor. Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian terlebih dahulu secara ketat sehingga barang yang tidak memenuhi persyaratan klasifikasi akan ditolak. Fenomena kebangkitan bisnis ritel sebenarnya sudah terlihat sejak pertengahan tahun 1990an. Survei yang dilakukan Nielsen menunjukkan bahwa jumlah pasar tradisional di Indonesia sebanyak 1,7 juta atau sebesar 73% dari keseluruhan pasar yang ada, sisanya sebanyak 27% berupa ritel pasar modern, yang lebih mengejutkan adalah survei yang dilakukan FAO (2006) menyatakan bahwa antara tahun 1997 hingga 2005, bisnis ritel meningkat hampir 30% dengan pertumbuhan mencapai 15% untuk ritel modern dan 5% untuk pasar tradisional, hal tersebut menunjukkan terjadinya pergeseran dari pasar rakyat menjadi pasar modern. Tingkat pertumbuhan yang jauh berbeda tersebut membuat pasar tradisional tersingkir. Nielsen dalam perhitungannya menyebutkan bahwa eliminasi pasar tradisional untuk setiap tahunnya sebesar 1,5%(Anonimus, 2008). Pasar modern terus menggeser peran pasar tradisional. Sebagian masyarakat, khususnya di perkotaan, kini dalam memenuhi kebutuhan hidupnya lebih memilih pasar modern. Bagi penganut liberalism yang menjadi mayoritas dalam praktik ekonomi kita saat ini, hancurnya pasar tradisional karena kalah bersaing dengan pasar modern. Fenomena berubahnya pilihan konsumen dari pasar tradisional, yang bau, kumuh, kotor, becek, dengan harga yang tidak pasti, kepada pasar modern yang bersih, nyaman, dengan harga yang pasti. Walau bagaimana pun pasar tradisional merupakan simbolisasi dari kemandirian ekonomi rakyat. Pengalaman krisis ekonomi membuktikan sektor informal yang berpusat dipasar tradisional berhasil menjadi pengaman perekonomian saat lemahnya fundamental ekonomi kita (Indrawan, 2008). Bagi pedagang tradisional keadaan memang semakin sulit, dimana selain melawan modal pasar modern yang lebih kuat, nilai budaya dan perilaku konsumen yang telah berubah juga menjadi ancaman bagi pasar tradisional. Masyarakat bergerak mengarah pada budaya instan, mementingkan individualisme. Dalam memenuhi kebutuhannya, konsumen mencari tempat yang menawarkan keindahan, kenyamanan dan pelayanan yang prima (Sindo, 2006). Perilaku konsumen merupakan tindakan suatu individu dalam membuat keputusan dalam membelanjakan sumberdaya yang dimilikinya untuk memperoleh atau untuk mendapatkan barang dan jasa yang akan dikonsumsi nantinya. Dalam menganalisis perilaku konsumen tidak hanya menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen dalam berbelanja tetapi proses pengambilan keputusan yang disertai dengan kegiatan pembelian suatu barang dan jasa. Perilaku konsumen adalah soal keputusan. Lebih jauh lagi, keputusan adalah soal pilihan. Keputusan meliputi pilihan antara dua atau lebih alternatif, tindakan atau perilaku. Pilihan meliputi produk, merek, waktu pembelian, dan jumlah pembelian. Pilihan pilihan itu digolongkan sebagai respons konsumen dalam membeli atau memlilih suatu produk (Simamora, 2003).

Keputusan membeli suatu produk untuk memenuhi kebutuhan hidup ada pada diri konsumen. Proses keputusan konsumen terdiri atas tahap pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, dan kepuasan konsumen (Sumarwan, 2003). Konsumen saat ini mempunyai banyak pillihan terhadap suatu produk, waktu pembelian, merek suatu produk dan tempat berbelanja produk yang mereka inginkan. Pada saat ini semua kebutuhan konsumen dapat terpenuhi dan menjadi penelitian bagi pelaku pasar untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan konsumen saat ini. Kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan perilaku konsumen yang maunya serba instan dan ingin dimanjakan dengan uang yang mereka miliki banyak mengubah gaya hidup konsumen saat ini. Perubahan perilaku konsumen dan jawaban dari perubahan perilaku konsumen tersebut dapat kita lihat saat ini dengan semakin banyaknya pasar-pasar yang ada, baik pasar tradisional maupun pasar modern. Berkembang pesatnya pasar modern seperti Minimarket, Supermarket, Mal, Hypermarket dan lain sebagainya.

PEMBAHASANPasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah, pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar. Toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Departemen Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan (Prabu, 2009). Keadaan pasar tradisional pada era modern seperti sekarang ini tidak saja masih dibutuhkan, tetapi juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kehidupan masyarakat Indonesia. Kondisi ini disebabkan karena pada sebagian besar mayarakat Indonesia masih banyak yang belum memahami manfaat dari perkembangan ilmu dan teknologi, misalnya berbelanja melalui internet. Sampai saat ini pasar tradisional masih dominan perannya di Indonesia dan masih sangat di butuhkan keberadaannya, terutama bagi masyarakat kelas menengah bawah (Basalah, 2000). Perkembangan pasar modern telah menggeser peran pasar tradisional, sebagian masyarakat kini telah memenuhi kebutuhan rumah tangganya dari pasar modern, terutama masyarakat perkotaan. Jumlah konsumen yang berbelanja di pasar modern terus meningkat (ACNielsen,2004). Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa ada sebagian besar pasar tradisional yang terkena dampak Supermarket sementara sebagian lainnya tidak. Pertama adalah faktor jarak antara pasar tradisional dan Supermarket, dimana pasar tradisional yang berada relatif dekat dengan Supermarket merasakan paling banyak terkena dampak. Kedua, faktor terpenting adalah karakteristik konsumen pada pasar tradisional. Pasar tradisional yang pelanggan utamanya dari kalangan kelas menengah ke bawah mengalami dampak preritel modern (Suryadarma, dkk. 2007). Eksistensi pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) hypermarket merupakan peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25 %), koperasi (14,2 %), minimarket/convenience stores (12,5 %), independent grocers (8,5 %) dan supermarket (3,5 %). Selain mengalami pertumbuhan dari sisi jumlah dan angka penjualan, preritel modern mengalami pertumbuhan pangsa pasar sebesar 2,4% pertahun terhadap pasar tradisional. Berdasarkan survey AC Nielsen (2006) menunjukan bahwa pangsa pasar dari pasar modern meningkat sebesar 11,8 % selama lima tahun terakhir. Jika pangsa pasar dari pasar modern pada tahun 2001 adalah 24,8 % maka pangsa pasar tersebut menjadi 32,4 % tahun 2005. Hal ini berarti bahwa dalam periode 2001-2006, sebanyak 11,8 % konsumen ritel Indonesia telah meninggalkan pasar tradisional dan beralih kepasar modern. Perkembangan pasar modern menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang (Ekapriadi, 2007). Ritel mempunyai arti pengeluaran secara eceran. Seiring tuntutan pasar bebas, ritel pun belakangan bertambah dengan konsep ritel modern. Ritel tradisional merupakan ritel sederhana dengan tempat yang tidak terlalu luas, barang yang dijual terbatas jenisnya. Sistem manajemen yang sederhana memungkinkan adanya proses tawar menawar harga. Berbeda dengan ritel modern menawarkan tempat lebih luas, banyak jenis barang yang dijual, manajemen lebih terkelola, harga pun sudah menjadi harga tetap. Ritel modern ini menggunakan konsep melayani sendiri atau biasa disebut swalayan. Dalam ritel modern dikenal Hypermarket, Supermarket dan Minimarket. Gerai ritel modern biasanya disebut pasar modern. Dari catatan Business Watch Indonesia (BWI) perkembangan ritel modern di Indonesia sejak tahun 2000 semakin pesat. Apalagi sejak masuknya preritel asing asal Prancis

dengan Carrefour membuka ritel jenis Hypermarket kemudian Giant yang dibuka oleh Hero Dairy Farm dari Hongkong (Solopos, 2008). Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan pasar modern dewasa ini sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang di masyarakat kita. Tidak hanya di kota metropolitan tetapi sudah merambah sampai kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai Minimarket, Supermarket bahkan Hypermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Namun dibalik kesenangan tersebut ternyata telah membuat para preritel kelas menegah dan kecil mengeluh. Mereka dengan tegas memprotes ekspansi yang sangat agresif dari preritel kelas besar (Esther dan Dikdik, 2003). Untuk beberapa alasan perubahan gaya hidup konsumen saat ini tidaklah mengejutkan. Pertama, melalui skala ekonominya, pasar modern dapat menjual lebih banyak produk yang lebih berkualitas dengan harga yang lebih murah. Kedua, informasi daftar harga setiap barang tersedia dan dengan mudah diakses publik. Ketiga, pasar modern menyediakan lingkungan berbelanja yang lebih nyaman dan bersih dengan jam buka yang lebih panjang, dan menawarkan aneka pilihan pembayaran seperti kartu kredit dan kartu debit dan menyediakan layanan kredit untuk peralatan rumah tangga berukuran besar. Keempat, produk yang dijual di pasar modern, seperti bahan pangan, telah melalui pengawasan mutu dan tidak aka dijual bila telah kadaluwarsa (Setiadi. N, 2003). Kendati persaingan antar pasar modern secara teoritis menguntungkan konsumen, dan mungkin perekonomian secara keseluruhan, relatif sedikit yang diketahui mengenai dampaknya pada pasar tradisional. Mengukur dampak amat penting mengingat Supermarket saat ini secara langsung bersaing dengan pasar tradisional, tidak hanya melayani segmen pasar tertentu (Harmanto, 2007). Persaingan antar preritel di Indonesia sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan orang. Persaingan tidak hanya terjadi antara yang besar melawan yang kecil, melainkan juga antara yang besar dengan yang besar, serta yang kecil dengan yang kecil. Pemerintah sebagai regulator harus mampu mewadahi semua aspirasi yang berkembang tanpa ada yang merasa dirugikan. Pemerintah harus mampu melindungi dan memberdayakan preritel kecil karena jumlahnya yang mayoritas. Dilain pihak, preritel besar pun mempunyai sumbangan besar dalam ekonomi. Selain menyerap tenaga kerja, banyak preritel besar yang justru memberdayakan dan meningkatkan kualitas ribuan pemasok yang umumnya juga pengusaha kecil dan menengah (Indrakh, 2007). Pemerintah seharusnya serius dalam menata dan mempertahankan eksistensi pasar tradisional. Pemerintah menyadari bahwa keberadaan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Perhatian pemerintah tersebut dibuktikan dengan melakukan revitalisasi pasar tradisional di berbagai tempat. Selama ini pasar tradisonal selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, becek serta bau dan hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Gambaran pasar seperti itu harus diubah menjadi tempat yang bersih dan nyaman bagi pengunjung. Dengan demikian masyarakat dari semua kalangan tertarik untuk datang dan melakukan transaksi di pasar tradisional. Pemerintah mempunyai hak untuk mengatur keberadaan pasar tradisional dan modern. Tetapi aturan yang dibuat pemerintah tidak boleh diskriminatif dan seharusnya tidak membuat dunia usaha mandek. Pedagang kecil, menengah, besar bahkan perantara ataupun pedagang toko harus mempunyai kesempatan yang sama dalam berusaha (Harian Kompas, 2007). Perkembangan bisnis ritel di Indonesia pada akhir-akhir ini semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan semakin banyak investor yang melakukan investasi di bidang tersebut. Bisnis ritel di Indonesia berkembang dari gerai tradisional ke gerai modern berupa supermarket. Supermarket dan department store pertama di Indonesia adalah Sarinah, yang

didirikan tahun 1962 di Jakarta. Supermarket dan department store baru berkembang beberapa tahun kemudian. Konsep yang muncul berikutnya dalam bisnis ritel adalah one-stop shopping, yaitu suatu tempat berbelanja yang memenuhi semua kebutuhan individu dan kelurga. Seiring dengan ini muncul suatu model yang berkembang, yaitu chainstore. Chainstore adalah bersatunya beberapa gerai yang beroperasi di wilayahwilayah yang berbeda dalam suatu pengelolaan tim manajemen, gerai-gerai itu serupa dalam hal tampilan (luar dan dalam), barang-barang yang dijual, dan dalam hal sistem operasionalnya. Selanjutnya bisnis ritel berkembang lagi dengan munculnya pusat perbelanjaan dengan format baru yang lebih memikat konsumen, yaitu mal. Pusat perbelanjaan atau mal memberikan nilai tambah lain yaitu berupa hiburan dan kenyamanan berbelanja yang ditandai dengan gerai bermain, restoran yang beragam, bank atau anjungan tunai mandiri (ATM), ruang publik indoor yang nyaman dan menarik, serta area parkir yang luas. Indonesia dengan jumlah penduduk ke-Empat terbanyak di dunia setelah Cina dan India memiliki potensi yang sangat besar bagi pasar ritel. Sejalan dengan perkembangan waktu dan perubahan gaya hidup masyarakat yang berpengaruh pada pola belanja, kegiatan bisnis ritel atau bisnis eceran modern di Indonesia menunjukan perkembangan pesat. Pada awal tahun 1980-an perkembangan pasar ritel ditunjukan dengan munculnya gerai perdagangan eceran modern di kota-kota besar dan pada awal 1990-an sampai dengan sekarang gerai perdagangan eceran modern merambah kota-kota kecil. Catatan tahun 2008, pasar ritel barang konsumen di Indonesia berkembang baik. Bahkan, pertumbuhan ritel di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 21 persen dan menempati urutan ke dua di Asia-Pasifik setelah China. Adanya krisis global bukan berarti industri ritel tidak bisa berekspansi, meskipun terjadi perlambatan namun ritel modern dapat tumbuh sekitar 20 persen. (Sigit, 2009). Industri ritel tumbuh pesat dengan menjamurnya pasar modern. Yang dimaksud dengan pasar modern adalah swalayan yang mana pelayanan dilakukan sendiri oleh konsumen karena toko tidak menyediakan pramuniaga yang khusus melayani konsumen. Bentuk kegiatan perdagangan eceran modern yang bergerak pada sektor industri ritel umumnya berupa hypermarket, supermarket, minimarket. Minimarket merupakan pasar swalayan yang hanya memiliki satu atau dua mesin kasir dan hanya menjual produk-produk kebutuhan dasar rumah tangga (basic necessities), sedangkan supermarket yang juga merupakan pasar swalayan memiliki lebih dari dua mesin kasir dan menjual kebutuhan dasar rumah tangga yang lebih beragam dibanding minimarket serta menjual barang segar (fresh good). Konsep hypermarket hampir sama dengan supermarket, namun barang yang dijual lebih beragam dan selain itu hypermarket menjual barang-barang white goods atau elektronik seperti mesin cuci, air condisioner dan lainnya. Khusus untuk minimarket, salah satu jenis pasar modern yang saat ini sedang berkembang pesat menawarkan kemudahan karena lokasi toko atau gerai yang dekat dengan konsumen serta mengutamakan kepraktisan dan kecepatan atau waktu yang tidak lama dalam belanja dengan didukung luas dari toko atau gerai tidak terlalu besar, sekitar 90-150 meter persegi dan menjual 3.000-4.000 jenis barang. Keuntungan lain dengan berbelanja di minimarket yaitu suasana nyaman dan aman dalam berbelanja, mudah dalam memilih barangbarang yang diperlukan, kualitas barang lebih terjamin dibandingkan belanja di pasar tradisional, harga barang sudah pasti sehingga tidak perlu ditawar dan dapat berbelanja berbagai keperluan dalam satu tempat saja sehingga akan menghemat waktu dan tenaga. Minimarket telah menyebar ke berbagai daerah seiring dengan perubahan orientasi konsumen dalam pola berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari. Konsumen tidak hanya mengejar harga murah, tetapi kenyamanan berbelanja menjadi daya tarik tersendiri. Bisnis minimarket melalui jejaring waralaba dapat ditemukan sampai pelosok kota dan kecamatan

kecil. Di Indonesia terdapat beberapa merek minimarket diantaranya adalah Circle K, Starmart, Alfamart, Indomart AMPM. Persaingan minimarket yang semakin ketat di Indonesia dapat dilihat pada persaingan bisnis ritel minimarket yang lebih banyak dilakukan oleh dua pelaku utama yaitu Indomaret dan Alfamart yang sterus bertarung mengerahkan semua kekuatan, kecerdikan dan strategi. Meskipun perekonomian nasional kini dihadapkan kepada dampak krisis ekonomi global, namun bisnis ritel modern di Indonesia tidak terkendala bahkan masih menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Hal itu dikarenakan potensi pasar di Indonesia masih cukup besar dan menguatnya usaha kelas menengah dan kecil, telah menambah banyaknya kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas yang memiliki gaya hidup belanja di ritel modern. Perkembangan bisnis ritel modern ini dapat ditunjukan pula dari segi omzet yang masih tumbuh secara nyata yakni dari sekitar Rp 42 triliun pada tahun 2005, meningkat menjadi sekitar Rp 58 triliun pada tahun 2007 dan tahun 2008 sudah mencapai sekitar Rp 67 triliun. Peningkatan omzet belakangan ini, terutama didorong semakin maraknya pembukaam outlet gerai baru hypermarket dan minimarket. Misalnya, peritel asing hypermarket, Carrefour dalam waktu singkat telah berhasil mengepung potensi pasar ritel di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, dengan kepemilikan gerai hingga akhir tahun 2008 sebanyak 70 unit. Begitu juga konsolidasi Hero Supermarket yang mengarah ke hypermarket setelah supermarketnya belakangan cenderung menurun, cukup membuahkan hasil. Dari gerai pertama hypermarketnya yang bekerjasama dengan peritel asing dari Malaysia tahun 2002 lalu -- Hypermarket Giant terus berkembang menjadi 17 gerai pada 2007 dan meningkat menjadi sekitar 23 gerai pada tahun 2008. Selanjutnya peritel lokal Matahari tak mau menjadi penonton saja, hanya dalam waktu setahun pada 2004 sudah membuka 4 gerai Hypermart, gerai hypermarketnya. Bahkan sampai akhir 2008 Hypermat sudah mencapai 39 gerai. Besarnya minat peritel lokal mengikuti sukses Carefour, dikarenakan omzet hypermarket bisa mencapai Rp 500 juta per hari, bahkan beberapa gerai Carrefour pada masa peak season-nya bisa meraih omzet hingga Rp 1 milyar per hari. Hal ini tentunya sangat potensial menggerus pasar supermarket yang polanya sama menjaring konsumen belanja bulanan. Begitu juga perkembangan hypermarket yang sangat pesat ini, karena formatnya cocok dengan karakter konsumen di Indonesia yang menjadikan belanja sebagai bagian dari rekreasi. Selain itu mampu menawarkan harga paling rendah, produk selalu fresh, area belanja luas serta jumlah produknya yang sangat lengkap. Namun, pesatnya perkembangan pasar modern belakangan ini seringkali menuai protes dengan pihak yang merasa dirugikan seperti pasar tradisional atau bahkan dengan sesama ritel modern. Bahkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Pasar Modern yang baru saja diberlakukan pada Desember 2008 justru masih mengundang kontroversi. Terutama, menyangkut pelanggaran ritel modern yang menjual sembako di bawah harga pasar tradisional. Bahkan pelanggaran zonasi dan jarak yang sudah berlangsung lama, telah memakan banyak korban dari pasar tradisional. Tetapi pihak Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) pun telah mengajukan keberatan peritel modern atas isi Permendag Nomor 53 Tahun 2008, diantaranya menyangkut pembatasan biaya syarat perdagangan (trading term) dari aspek yuridis maupun komersialnya. Selain mengulas kebijakan pemerintah yang masih perlu sosialisasi itu, juga berbagai aspek lainnya di bidang ritel kami bahas . Terutama dengan menyajikan peta persaingan bisnis ritel di Indonesia ini, akan sangat bermanfaat bagi kalangan bisnis khususnya yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan bisnis ritel modern seperti lembaga keuangan, perbankan, pemasok (supplier) dan sebagainya. Studi ini juga sangat bermanfaat bagi para investor atau calon investor yang akan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang aktif di bisnis ritel modern di Indonesia saat ini.

Pertumbuhan bisnis ritel dari tahun ke tahun cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bisnis ritel tradisional yang mulai membenahi diri menjadi bisnis ritel modern maupun munculnya bisnis ritel modern yang baru. Ritel-ritel modern telah muncul dan berkembang di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini. Indonesia menjadi pasar yang menggiurkan bagi peritel modern asing. Potensi pasar cukup besar mengingat jumlah penduduk Indonesia merupakan keempat terbesar di dunia. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari www.indocashregister.com pertumbuhan omset sektor ritel nasional yang mencakup modern dan tradisional diperkirakan mencapai 15% menjadi Rp 109,59 triliun pada 2009 dibandingkan 2008 yang sebesar Rp 95,3 triliun. Perkiraan pertumbuhan omset sektor ritel 2009 ini menurun dibandingkan realisasi 2008 yang tumbuh hingga 21,1% dan 2007 yang tumbuh 15,2%. Ritel modern menikmati pertumbuhan omset hingga 23,6% pada 2008, sedangkan ritel tradisional tumbuh sekitar 19,6%. Data tersebut berasal dari data survei The Nielsen Company terhadap tren belanja di sektor ritel nasional. Survei dilakukan terhadap 54 item produk konsumsi olahan baik pangan maupun non-pangan (fast moving consumer goods / FMCG). Masih bersumber dari situs yang sama, Retailer Service Director The Nielsen Indonesia, Yongky Surya Susilo menjelaskan bahwa ritel modern masih menjadi penggerak pertumbuhan ritel nasional. Hal ini tampak dari pertumbuhan omset ritel modern sebesar 17,9% pada Januari 2009 dibandingkan pada Januari 2008. Sedangkan ritel tradisional tumbuh sekitar 10,2% pada Januari 2009 dibandingkan periode yang sama tahun 2008. Pertumbuhan omset ritel modern disokong oleh mekanisme distribusi yang lebih baik dan promosi. Pertumbuhan juga disokong oleh ekspansi yang dilakukan oleh para peritel modern. Selain itu, faktor sosial dan budaya seperti perubahan gaya hidup dan kebiasaan berbelanja turut berpengaruh. Konsumen saat ini menginginkan tempat berbelanja yang aman, lokasinya mudah dicapai, ragam barang yang bervariasi, dan sekaligus dapat dijadikan tempat berekreasi (Utami, 2006). Di Indonesia terdapat beberapa ritel modern seperti Giant, Carrefour dan Hypermart yang merupakan ritel-ritel modern yang beromset sangat besar. Dari 10 ritel beromset terbesar di Indonesia pada 2006, Ritel Asia merilis, Carrefour berada di posisi pertama dengan omset Rp 7,2 triliun. Hypermart berada di posisi keempat dengan omset Rp 3,5 triliun dan Giant berada di urutan kelima dengan omset Rp 3,2 triliun (Gatra, No.12 Th XV Februari 2009,halaman 14). Dikotomi tentang ritel modern dan tradisional selalu menarik perhatian bagi pembuat kebijakan. Tekanan persaingan terbesar peritel tradisional adalah minimarket (convenience strore). Menurut Rhenald Kasali (2007) hubungan diantara kedua pelaku usaha tersebut tidak bersifat dikotomi. Menurutnya para pengembang gedung-gedung pertokoan memanfaatkan kehadiran ritel modern untuk memajukan ritel-ritel tradisional. Namun demikain seiring dengan perubahan struktur penghasilan masyarakat, jumlah wanita yang memasuki dunia kerja terus meningkat, waktu yang dimiliki konsumen terbatas, serta semakin meningkatnya transportasi, alat pembayaran, kemasan dan alat pendingin menyebabkan peran usaha ritel tradisional memudar. Menurut Direktur Ritailer Service AC Nielsen Yongky Surya Susilo (dalam Ritel Modern Masih Tumbuh Lebih Pesat dari Toko Tradisional), Industri ritel modern tumbuh lebih pesat dibandingkan ritel tradisional pada 2008. Ritel tradisional tumbuh sebesar 19,6%, industri ritel modern tumbuh hingga 23,6% dibandingkan tahun 2007. Padahal, pertumbuhan ritel tradisional ini jauh lebih tinggi dari sebelumnya. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa ritel tradisional pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan ritel modern.

KESIMPULANHal-hal yang dianggap positif dari perkembangan ritel modern adalah: Seiring dengan terus meningkatnya jumlah ritel modern di Indonesia, maka banyak pula tenaga kerja yang terserap dalam usaha ritel modern ini, ini tentu saja akan mengurangi pengangguran khususnya masyarakat usia muda yang biasanya dibutuhkan sebagai karyawan dalam usaha ritel modern. Konsumen akan lebih diuntungkan dengan kehadiran ritel modern ini, karena selain menawarkan barang-barang yang lebih terjamin kualitasnya serta tempat belanja yang praktis dan nyaman, harga yang ditawarkan oleh ritel-ritel modern ini relatif lebih murah dibandingkan dengan pasar tradisional. Ritel modern masih menjadi penggerak pertumbuhan ritel nasional. Hal ini tampak dari pertumbuhan omset ritel modern sebesar 17,9 % pada Januari 2009 dibandingkan pada Januari 2008. Sedangkan ritel tradisional tumbuh sekitar 10,2 % pada Januari 2009 dibandingkan periode yang sama tahun 2008, dan ini terus berkembang dari tahun ke tahun. Hal-hal yang dianggap negatif dari perkembangan ritel modern adalah: Merosotnya omset penghasilan dari pedagang di pasar tradisional yang diakibatkan oleh kehadiran pasar-pasar modern karena para konsumen cenderung memilih untuk berbelanja di pasar modern daripada di pasar tradisional karena memang gaya hidup masyarakat yang terus modern. Banyaknya ritel modern yang dibangun dekat dengan pasar tradisional menjadikan pasar tradisional sulit bersaing karena pasar modern lebih diminati oleh para konsumen. Banyaknya ritel modern yang dikuasai oleh pihak asing merupakan salah satu yang dianggap negatif, karena memang keuntungan yang diperoleh akan masuk pada kantong pihak asing, sedangkan usaha di bidang ritel modern telah banyak mengorbankan para pedagang kecil yang berusaha di pasar tradisional. Permasalahan dalam industri ritel lebih banyak merupakan masalah ketidaksebandingan bersaing dan bargaining position. Akar permasalahan industri ritel saat ini berasal dari market power ritel modern yang tinggi yang antara lain terbangun karena modal yang tidak terbatas, brand image yang kuat, terdapat peritel yang menjual barang termurah, trend setter ritel Indonesia, serta pencipta traffic konsumen Indonesia. Market power ini menciptakan ketidaksebandingan dalam persaingan ritel modern dengan ritel kecil/tradisional. Market power semakin bertambah dengan semakin luasnya cakupan wilayah yang terjangkau oleh gerai ritel modern, karena minimnya kebijakan pembatasan jumlah dan wilayah (zonasi) bagi ritel modern.

DAFTAR PUSTAKAAC Nielsen. 2004. Pasar Modern Terus Geser Peran Pasar Tradisional. http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/promarketing/2004/0622/prom1.html (Diakses pada tanggal 25 September 2011).

Anonimus, 2008. Carrefour dan Museum Pasar Tradisional. http://didikurniawan.web.id/2008/12/22/carrefour-dan-museum-pasar-tradisional.html (Diakses pada tanggal 25 September 2011). Artikel Ekonomi, 2009. Pasar Tradisional vs Pasar Modern. http://warnadunia.com/artikelekonomi-pasar-tradisional-vs-pasar-modern.html (Diakses pada tanggal 25 September 2011).

Ekapriadi, W. 2007. Pasar Modern; Ancaman Bagi Pasar Tradisional. http://amartabisma.wordpress.com/2007/11/08/pasar-modern-ancaman-bagi-pasartradisional.html (Diakses pada tanggal 25 September 2011). Ester dan Didik. 2003. Membuat Pasar Tradisional Tetap Eksis. Copyright: Sinar Harapan 2003. Jakarta. http://sinarharapan.co.id/berita/0704/28eko0.html (Diakses pada tanggal 25 September 2011).