prevalensi malaria 1

1

Click here to load reader

Upload: yanuarep

Post on 03-Jul-2015

289 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prevalensi Malaria 1

DALAM penanggulangan penyakit menular, pemerintah terlalu

fokus pada sisi kesehatan semata. Padahal penyakit menular terkait dengan lingkungan, gaya hidup sehat, dan infrastruktur.

Hingga detik ini, pemerintah masih saja kelabakan dengan berbagai kasus penyakit menular lama yang masih terjadi (reemerging diseases) seperti demam berdarah dengue (DBD), diare, tuberkulosis (Tb), dan lainnya. Depkes mendapat tambahan pekerjaan rumah sejumlah penyakit menular baru (new emerging diseases) yang tidak kalah rumitnya seperti wabah flu burung.

Beban di pundak Depkes tampaknya bakal semakin berat. Kala penyakit menular sukar diberantas, tren menunjukkan kematian yang dipicu penyakit tidak menular makin luas jangkauannya, baik karena degenerasi atau kerusakan sel tubuh, kelainan sistem

tubuh tertentu, serta kanker dan lain-lain. Kala sejumlah negara telah murni terbebas dari sejumlah penyakit menular kuno, Indonesia tampak jalan di tempat. Sebut saja penyakit yang sudah beredar semenjak zaman penjajahan Belanda seperti, kusta, malaria, dan filariasis (kaki gajah), masih saja bercokol di Tanah Air.

“Tidak teratasinya sejumlah penyakit menular, jelas berpotensi sebagai degradasi tingkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia,” papar Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Umar Fahmi Ahmadi.

Tengok data Riset Kesehatan Dasar (Rinkesdas) hasil riset pada Agustus 2007 hingga

TANTANGAN 2009 31

Departemen Kesehatan (Depkes) terlampau asyik bermain di sektor hilir kesehatan. Sedangkan sektor hulu dinisbikan. Imbasnya jelas, penyakit menular masih saja belum tuntas diberantas.

Untuk penyakit menular yang ditularkan melalui makanan dan minuman, diare masih menjadi ‘primadona’. Dengan rata-rata prevalensi nasional mencapai 9%, sebanyak 14 provinsi masih berada pada tingkat rata-rata nasional. Diare merupakan penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia 29 hari hingga 4 tahun baik di perkotaan maupun di perdesaan.

Lintas sektorMenurut Umar, selama

penanganan hanya terpaku di hilir saja, amat sukar prevalensi penyakit menular dapat ditekan. Di mata mantan Dirjen Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes ini, langkah yang dilakukan pemerintah lebih bersifat kuratif.

September 2008. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes dr Triono Sundoro memaparkan bahwa penyakit menular yang ditularkan via vektor (virus, kuman, dll), prevalensi penyakit kaki gajah (filariasis) rata-rata nasional seharusnya adalah 0,11%.

Namun tercatat delapan provinsi, yakni NAD, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Papua, dan Papua Barat prevalensinya berada di atas rata-rata nasional.

Hal serupa juga terjadi pada prevalensi nasional DBD yang dipatok rata-ratanya 0,62% saja. Fakta di lapangan menunjukkan, 12 provinsi termasuk di antaranya DKI Jakarta memiliki catatan nilai prevalensi di atas rata-rata.

Prevalensi malaria nasional tercatat 2,85%. Namun terdapat 15 provinsi di luar Pulau Jawa dengan tingkat rata-rata lebih tinggi daripada prevalensi nasional.

Tidak jauh berbeda pada penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Prevalensi nasional infeksi saluran pernapasan secara nasional masih tinggi, yakni 25,5%. Sebanyak 16 provinsi terbukti memiliki angka di atas nilai rata-rata nasional. Pada Tb, dari rata-rata prevalensi nasional 0,99%, sebanyak 17 provinsi memiliki angka di atas rata-rata nasional.

Berdasarkan data Rinkesdas, penyakit menular yang ditularkan lewat wahana udara menjadi penyebab kematian terbanyak pada sejumlah kategori. Contohnya pada proporsi usia 0-6 hari. Pemicu kematian utama pada kelompok ini adalah kelainan pernapasan yang mencapai rata-rata 35,9%.

Penyakit Menular makin Garang

PENANGANAN PASIEN: Beban di pundak Depkes tampaknya bakal semakin berat. Kala penyakit menular sukar diberantas, tren menunjukkan kematian yang dipicu penyakit tidak menular makin luas jangkauannya,

MI/M IRFAN

Kesehatan 2008: Dominasi Aspek Politis

HIDUP sehat dan produktif merupakan impian semua orang

dan sebagian besar negara-negara yang berbudaya. Tidaklah mengherankan jika di hampir semua negara maju, kecuali di Amerika Serikat, pemerintahnya mendominasi program dan penyediaan layanan kesehatan untuk mengurangi risiko sakit, serta menjamin semua yang sakit dapat sembuh dan produktif kembali.

Tampaknya, di Indonesia isu kesehatan mulai masuk isu politik yang mencuat dalam janji-janji pilkada dan debat-debat politik. Hanya, intensitas program untuk benar-benar menyehatkan rakyat masih belum menunjukkan keseriusan upaya pejabat publik. Keba-

nyakan masih sekadar jargon politik yang bersifat populis.

Belajar dari program ad hoc nasional, banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menebar janji menjamin layanan kesehatan dapat diterima dengan gratis. Sayangnya banyak pejabat publik yang berjanji menjamin layanan kesehatan gratis bagi rakyatnya dan mendapat pujian publik justru mendapat keluhan dari petugas kesehatan. Pasalnya, janji-janji itu tidak diikuti pendanaan dan aturan yang memadai.

Tampaknya banyak pejabat publik belum secara konsisten melaksanakan peraturan perundangan yang ada seperti UU 32/2004 tentang Pembagian Kewenangan Pemerintahan dan UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Kedua UU tersebut sesungguhnya saling melengkapi dalam menjamin rakyat yang terkena musibah sakit dapat tertolong. Kewajiban pemerintah/pemda menyediakan fasilitas kesehatan agar rakyat mendapat akses yang memadai, misalnya, tidak tampak mengemuka.

Sepanjang 2008 lebih banyak RS swasta yang diresmikan pejabat publik ketimbang RS publik. Padahal RS swasta bertujuan ‘berdagang’ layanan RS. Yang meresmikan, sekaligus mempromosikan RS swasta yang ‘berdagang’ kepada yang terkena musibah tersebut tidak tanggung-tanggung, mulai RI-1 sampai gubernur/bupati.

Di Jakarta tidak ada satu pun tambahan RS publik. Dari lebih 100 RS di Jakarta, hanya 12 RS publik. Padahal peraturan perundangan, yang merumuskan lebih lanjut amanat UUD Pasal 34 ayat 3, jelas-jelas mewajibkan pemerintah/pemda ‘menyediakan’ fasilitas kesehatan. Kata ‘wajib menyediakan’ bukanlah ‘berdagang’ layanan kesehatan yang wajar dilakukan RS swasta. Entah karena mereka tidak setuju atau tidak tahu, yang jelas fenomena kebijakan publik yang tidak sejalan dengan UU masih menonjol pada 2008.

Dapat dilihat, meski dalam kancah politik kesehatan mulai masuk isu-isu yang mengemuka, kenyataannya

program-program pemerintah/pemda belum berbasis sistem yang menjamin kesinambungan. Kebanyakan program bersifat ad hoc dan lebih menonjolkan ‘inisiatif kami’ ketimbang mendahulukan ‘pemenuhan hak rakyat’.

Ada beda besar antara keduanya. Yang pertama bertujuan politis dan yang kedua melaksanakan amanat UUD. Selanjutnya, koordinasi antara pusat dan daerah untuk menghasilkan program yang sinkron dan sinergis belum tampak.

Tentu saja, manajemen berbasis prejudice akan menghabiskan energi yang tidak perlu. Pendekatan rasional-profesional masih harus dikembangkan. Kepentingan politis 2009 mungkin akan memperkuat politisasi kesehatan ketimbang komitmen pemenuhan hak-hak rakyat akan layanan kesehatan sebagaimana diamanatkan UUD.

Polemik kuratif-preventifKetika program askeskin,

jamkesmas, atau layanan kesehatan gratis diluncurkan atau dijanjikan pejabat

publik, banyak akademisi dan pengamat kesehatan mengkritik program tersebut sebagai tidak konstruktif dan merupakan pemborosan.

Sesungguhnya konsep layanan kesehatan tidak mendikotomikan layanan kuratif-preventif. Layanan preventif-kuratif-rehabilitatif merupakan kontinum, tidak dikotomis.

Polemik seperti itu telah menghabiskan banyak energi yang tidak perlu. Sesungguhnya semua program tersebut masih tidak ditunjang dana yang memadai. Yang jelas argumen politik bahwa kesehatan akan diutamakan atau pengalihan subsidi BBM untuk kesehatan belum dibuktikan dengan alokasi anggaran kesehatan yang memadai.

Di tingkat nasional, anggaran kesehatan Depkes 2008 tidak mencapai 3% APBN. Di banyak daerah, anggaran kesehatan juga umumnya tidak melebihi 5% APBD. Hanya di beberapa daerah anggaran kesehatan melebihi 10% APBD, tetapi jumlah APBD-nya sangat kecil.

Yang jelas, data-data survei, baik Susenas sampai Riset

Upaya pencegahan jauh ditinggalkan. Sebagai contoh Depkes menganggarkan dana hingga triliunan rupiah pada program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), namun sangat minim dana bagi program pencegahan seperti posyandu, juru malaria desa, juru kusta, dan lainnya.

Kendala paling mendasar adalah dicabutnya sistem kesehatan lama (Orde Baru) yang sebetulnya sangat baik. Di sisi lain, program-program baru kendati telah diluncurkan namun implementasinya sangat lemah. Ambil contoh posyandu. Dulu sarana kesehatan berbasis masyarakat ini merupakan ujung tombak upaya sosialisasi kesehatan. Kendati telah ada upaya revitalisasi, operasional

posyandu belum pulih seperti pada masa jayanya.

Kesehatan, lanjut Umar, sejatinya merupakan program lintas sektor. Pasalnya untuk memberantas penyakit menular, mau tidak mau semua terkait dengan faktor lingkungan, gaya hidup, dan infrastruktur.

Tentu saja, program kuratif seperti jamkesmas baik adanya. Namun kebijakan itu juga harus diimbangi dengan program pencegahan yang apik. “Jamkesmas itu program yang duduk di atas meja. Ada pasien sakit baru jalan proses pengobatan,” tandasnya.

Umar menjabarkan, Depkes sudah sepatutnya merevisi alokasi anggaran dana pada program pengerahan massa yang sejatinya hanya

merupakan upaya mencari dukungan politik semata.

Pilihan paradigma preventif tentu lebih murah ongkosnya. Tidak perlu merogoh rupiah dalam-dalam sekadar untuk merekrut tenaga dokter. Sejatinya, di desa-desa yang perlu diperbanyak, cukup dengan lulusan D-3 yang menguasai ilmu sanitasi, kesehatan lingkungan dan sebagainya.

Seperti pepatah ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’, pola pikir kuratif yang dianut pemerintah pusat, secara mentah juga diadopsi oleh daerah. Sangat jarang terlihat pemda bersedia alokasikan dana bagi program posyandu, jemantik, juru malaria, dan lainnya.

Sejumlah daerah yang baru saja dimekarkan malah berlomba membuat sarana rumah sakit mewah. Hal ini jelas mubazir. Pasalnya, keluhan penyakit terbanyak di daerah umumnya penyakit ringan yang lebih banyak dipicu oleh lingkungan dan pola hidup. Misalnya, diare, infeksi saluran pernapasan dan lainnya.

Fakta pemda menomordua-kan masalah kesehatan tentu memprihatinkan. Pasalnya di era otonomi daerah, pusat tidak lagi memberikan dana pada pernik-pernik seperti itu.

Bukti lain pemerintah terlalu fokus pada masalah kuratif adalah terletak pada data. Hingga saat ini pemerintah tidak memiliki data yang akurat perihal perilaku hidup sehat masyarakat dan lingkungan kesehatan. Pernyataan senada diutarakan Deputi Bidang Koordinasi Kependudukan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup Depkes dr Emil Agustiono MKes. Menurutnya, variabel penyakit menular sederhana. Bentuknya segitiga. Komponen yang bermain yakni faktor agen, yakni virus, kuman, dan bakteri. Kedua adalah faktor risiko. Dan, terakhir adalah lingkungan.

Lingkungan yang becek dan kotor tempat ideal untuk tumbuhnya bermacam variasi virus. Nyamuk penyebab DBD (Aedes aegypti), nyamuk penyebab kaki gajah (genus Anopheles, Culex, dll) gemar menelurkan larva mereka dalam genangan air.

“Penyakit kuno seperti kaki gajah muncul lagi kenapa? Ini pengaruh iklim global. Banjir ada di mana-mana. Imbasnya, tempat bertelur nyamuk ada di mana saja,” tandasnya.

Emil menyimpulkan, jelas pemberantasan penyakit menular adalah masalah lintas sektor. (Tlc/S-6)

[email protected]

SELASA, 16 DESEMBER 2008 I MEDIA INDONESIA I EDISI KHUSUS AKHIR TAHUN

Cornelius Eko

Hasbullah Thabrany *)DOK PIRBADI

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, menunjukkan angka kematian karena penyakit tidak menular sudah melampaui angka kematian karena penyakit menular.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah upaya pemerintah untuk menurunkan risiko penyakit akibat rokok yang masih nol besar. Bahkan sampai saat ini, Indonesia masih belum meratifikasi (aksesi) FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), yang merupakan road map mengurangi risiko masa depan.

Padahal, 170 negara lain di dunia sudah meratifikasi. Padahal pula, kajian-kajian ekonomi yang dilaksanakan Lembaga Demografi Universitas Indonesia telah menunjukkan dan disampaikan kepada pemerintah bahwa menaikkan cukai rokok sampai 57% tidak akan menurunkan penerimaan pemerintah dan tidak akan menimbulkan masalah ketenagakerjaan.

*) Pengamat kesehatan, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

KLB Penyakit Menular 20081. Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Purbalingga, Jawa Tengah, ditetapkan sebagai kejadian

luar biasa (KLB). Sampai pekan kedua Februari, terdapat 57 kasus satu di antaranya meninggal.

2. Dalam waktu kurang dari sebulan13 pasien demam berdarah dengue (DBD) di Jombang, JawaTimur, meninggal.

3. Enam orang meninggal akibat terserang malaria jenis plasmodium vivax di Desa Anin, KecamatanAmanatun Selatan, Kab. Timor Tengah Selatan, NTT, sebanyak 29 orang dinyatakan positifterserang malaria.

4. Kasus malaria ditetapkan sebagai KLB setelah jumlah penderitanya mencapai 230 orang diSumenep, Jawa Timur.

5. Penyakit cikungunya menyerang 50 warga di Kampung Dadapan, Kelurahan Sangkrah, KecamatanPasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah.

6. Dinas Kesehatan (Dinkes) Cilacap, Jawa Tengah, menyatakan serangan cikungunya di wilayahsetempat sebagai kejadian luar biasa (KLB). Hingga saat ini jumlah korban cikungunya di daerahtersebut sudah mencapai 484 orang.

7. Jumlah penderita cikungunya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak awal tahun sudahmencapai 222 orang.

8. Kasus DBD di Klaten, dinilai cukup tinggi. Tahun ini, tercatat sebanyak 246 kasus dan korbanmeninggal delapan orang.

9. Kasus demam berdarah dengue atau DBD di Banyumas, Jawa Tengah tertinggi dalam kurunwaktu tujuh tahun belakangan. Jumlah kasus dari Januari hingga pertengahan Novembermencapai 551, meninggal lima orang,

10. Penyakit malaria di Temanggung ditemukan 47 kasus. 42 kasus karena penularan dari pendatangdan lima lainnya penularan lokal.

11. Dinas Kesehatan Provinsi DI Yogyakarta mencatat, sebanyak 683 orang positif mengidap hepatitisA sepanjang Januari-Agustus 2008. Gejala penyakit ini berupa rasa letih, tidak nafsu makan,demam, dan muntah. Selain itu, urine berwarna gelap.

Grafis: CAKSONOSumber: Dari Berbagai Sumber