presus dr iwan
TRANSCRIPT
PRESUS
TIVA PADA KANKER EPIDERMOID
Disusun oleh:
Muhammad Ali Mukti G1A212069Dyah Isnani Fitriana G1A212070Idayu Nourmalita P G1A212071
Pembimbing :dr. Iwan Dwi C Sp. An.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN
SMF ANESTESIOLOGIRSUD PROF. DR MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
LEMBAR PENGESAHAN
PRESUS TIVA PADA KANKER EPIDERMOID
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepanitraan KlinikDi bagian SMF Anestesiologi
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun Oleh :Muhammad Ali Mukti G1A212069Dyah Isnani Fitriana G1A212070Idayu Nourmalita P G1A212071
Purwokerto, November 2012Mengetahui
Pembimbing
dr. Iwan Dwi C Sp. An.
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam dunia kedokteran khususnya dibidang pembedahan tidak
terlepas peran dari kemajuan bidang anestesiologi. Seorang ahli bedah
sekarang sudah dapat melakukan pembedahan secara luas dan rumit pada bayi
baru lahir sampai orang tua. Pembedahan yang berlangsung selama berjam-jam
berlangsung dengan aman tanpa rasa sakit sedikit pun adalah bentuk dari
dukungan dan keberhasilan tindakan anestesi yang sudah semakin canggih.
Dalam melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien yang akan
dilakukan tindakan operasi, kita dapat memilih berbagai macam pilihan cara
anestesi. Dari berbagai macam pilihan tersebut, sebagian besar operasi (70%-
75%) dilakukan dengan cara anestesi umum. Sedangkan sisanya dilakukan
dengan cara regional atau anestesi lokal. Operasi yang dilakukan di daerah
kepala, leher, intra toraks, intra abdomen akan lebih baik jika dilakukan dengan
cara anestesi umum dengan pemasangan pipa endotrakea. Hal ini akan
menjadikan jalan nafas lebih mudah dikontrol, selain jalan nafas menjadi lebih
bebas .
Pilihan cara anestesi harus selalu terlebih dahulu mementingkan segi –
segi keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor – faktor yang mempengaruhi
pemilihan cara anestesia antara lain adalah umur, status fisik pasien, posisi
pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dari dokter pembedah, serta
ketrampilan dan pengalaman dokter anestesi. Salah satu pilihan cara anestesi
umum adalah teknik total intra venous anesthesia (TIVA).
TIVA merupakan salah satu jenis teknik anastesi umum dengan
menggunakan kombinasi beberapa agen yang semuanya diberikan melalui
pembuluh darah vena dan tanpa menggunakan tambahan agen – agen inhalasi
termasuk nitrous oxide. Tekhnik ini pertama kali digunakan pada tahun 1870
dengan menggunakan chloral hidrate.
Pada kasus pembedahan yang tidak membutuhkan banyak waktu operasi
seperti ekstirpasi kanker epidermoid di sebelah punggung tengah dianjurkan
untuk menggunakan tekhnik anastesi TIVA. Dengan teknik ini pasien akan
lebih mudah dikontrol kesadarannya karena kebanyakan agen yang diberikan
dengan teknik TIVA bersifat short acting.
B. Tujuan Penulisan
1. Meninjau kasus managemen tindakan anestesi dengan TIVA pada kanker
epidermoid
2. Mengetahui pembiusan TIVA pada kasus kanker epidermoid
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Persiapan Pra Anastesi
Kunjungan pra anestesi adalah kunjungan yang dilakukan pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik secara elektif maupun
secara darurat mutlak harus dilakukan untuk menilai keberhasilan dari tindakan
tersebut. Adapun tujuan dari tindakan pra anestesi adalah:
1. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obatan anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien.
3. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA ( American Society
Anesthesiology):
a. ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan
faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
b. ASA II: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
c. ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
harian terbatas. Angka mortalitas 38%.
d. ASA IV: Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa,
tidak selalu sembuh dengan operasi. Misalnya insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi
hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%. Untuk operasi cito,
ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat .
f. ASA VI : Pasien yang telah dinyatakan mati batang otak dan organ
tubuhnya akan digunakan untuk donor organ.
Premedikasi pada anestesi adalah dengan pemberian obat-obatan yang
dilakukan sebelum anestesi. Tujuannya antara lain untuk memberikan rasa
nyaman pada pasien, menghilangkan rasa khawatir, membuat pasien lupa akan
kejadian pada awal penyuntikan obat-obatan hingga efek obat habis,
memberikan analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi
jumlah obat-obatan anestesi, menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, serta
mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat-obat premedikasi yang biasa digunakan adalah :
1. Sulfas Atropin
Merupakan obat yang dapat mengurangi sekresi pada traktus
respiratorius dan merupakan obat pilihan utama dalam mengurangi efek
bronkhial dan kardial yang berasal dari parasimpatis akibat rangsangan obat
anestesi atau tindakan operasi. Dosis klinik (0,4 - 0,6 mg) akan
menimbulkan bradikardi yang disebabkan perangsangan nervus vagus.
Dosis yang besar (>2mg) akan memblokade dari system parasimpatis
sehingga terjadi takikardi.
Efek lainnya yaitu melemaskan tonus otot polos dan menurunkan
spasme gastro intestinal. Atropin tersedia dalam bentuk atropin sulfas ampul
0,25 mg dan 0,5 mg. Obat ini dapat diberikan secara intra muskuler, intra
vena dan subkutan. Untuk dosisnya adalah 0,5 mg atau 0,01 mg/kg BB
untuk dewasa dan 0,1-0,4 mg untuk anak-anak.
2. Pethidin
Pethidin adalah derivat fenil disperidin, suatu obat sintetik dengan
rumus molekul yang berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek dan
efek samping yang hampir sama dengan morfin. Efek analgesi hampir sama
dengan morfin, tetapi mula kerja dan masa kerjanya lebih singkat. Efek
sedasi, euforia dan eksitasi hampir sama dengan morfin tetapi pethidin dapat
menyebabkan kedutan dan tremor akibat rangsangan SSP.
Terhadap sistem respirasi akan mendepresi dan menekan reaksi pusat
pernapasan terhadap rangsangan CO2. Obat ini juga meningkatkan
kepekaan terhadap alat keseimbangan sehingga menimbulkan muntah,
pusing terutama pada penderita berobat jalan. Obat ini dapat mengatasi
kejang. Pethidin biasanya digunakan untuk nyeri berat atau pada penderita
dengan terapi inhibitor monoamin oksidase, oleh karena tidak adanya
kemampuan untuk memetabolisme, sehingga dapat menyebabkan koma.
Dosis Pethidin untuk dewasa 1 mg/kgBB IM. Efek analgetik tercapai dalam
15 menit, efek puncak 45-60 menit durasinya 3-4 jam.
3. Diazepam (Valium)
Merupakan obat hipnotik sedatif sebagai premedikasi untuk
menghilangkan rasa takut dan gelisah serta sebagai anti konvulsi yang baik.
Dapat mendepresi pusat pernafasan dan sirkulasi. Sediaan dalam bentuk
ampul berisi diazepam 10 mg/ml injeksi. Dosis 0,2-0,5 mg/kgBB untuk
anak 5-10 mg. Pemberian IV, 30 menit sebelum induksi.
4. Midazolam
Berdasarkan kecepatan metabolismenya, midazolam termasuk
golongan ultra short acting benzodiazepin yang mempunyai sifat hipnotik
sedatif, heart rate meningkat (atropine like effect), pelemas otot ringan (anti
kejang), vasodilatasi perifer, cepat melewati barier plasenta. Midazolam
cenderung menimbulkan efek amnesia anterogade. Selain itu, resiko akan
terjadinya efek abstinensi dan rebound insomnia cukup besar pada obat ini,
sehingga jangan digunakan lebih dari 2 minggu. Kontraindikasi terhadap
porfiria dan kehamilan. Obat ini memiliki t1/2 dalam plasma : 2 jam. Dosis
untuk premedikasi 0,07 - 0,2 mg/kg BB, induksi0,15 - 0,45 mg/kg BB, drip
0,03 - 0,2 mg / kg BB.
5. Metoklopramid
Merupakan senyawa golongan benzamid, biasa digunakan sebagai
premedikasi untuk mencegah muntah. Pada gaster, metoklopramid
memperkuat kontraksi terutama pada antrum, memperbaiki
kontraktilitasantrum dan duodenum sehingga mempercepat pengosongan isi
lambung Efek pada saluran cerna diperlemah oleh atropin. Dosis untuk
penggunaani.m atau i.v 10 mg, obat ini bekerja sebagai antagonis dari
reseptor Dopamine D2.
B. Total Intra Venous Anaesthesia (TIVA)
a. Definisi
Anastesi umum adalah tindakan manipulasi medis dengan
menggunakan agen – agen anastesi yang menyebabkan trias anastesi
hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot pada pasien yang diberikan agen ini.
Teknik TIVA merupakan teknik anastesi umum dengan menggunakan
kombinasi agen – agen anastesi yang semuanya diberikan melalui jalur
pembuluh darah vena tanpa menggunakan tambahan agen – agen inhalasi
termasuk nitrous oxide.
Kelebihan TIVA :
a. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang
lebih akurat dalam pemakaiannya.
b. Tidak menggangu jalan nafas pada pasien
c. Mudah dilakukan
b. Indikasi
TIVA dalam prakteknya sehari – hari digunakan sebagai :
a. Obat induksi anastesi umum
b. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat
c. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
d. Obat tambahan anastesi regional
e. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
c. Teknik Anastesi
a. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat
b. Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan
c. Diteteskan lewat infus
d. Jenis – Jenis Anastesi Intravena
a. Golongan barbiturat
Pentothal / Thiopenthal Sodium / Penthio Barbital / Thiopenton
Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa,
berbau belerang, larut dalam air dan alkohol. Penggunaannya sebagai
obat induksi, suplementasi dari anastesi regional, antikonvulsan,
pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi serebral. Metabolismenya di
hepar dan di ekskresi lewat ginjal
Onset : 20 – 30 detik
Durasi : 20 – 30 menit
Dosis :
1) Induksi iv : 305 mg/KgBB, anak 5 – 6 mg/KgBB, bayi
7 – 8 mg/KgBB
2) Suplementasi anastesi : iv 0,5 – 1 mg/KgBB
3) Induksi rectal : 25 mg/KgBB
4) Antikonvulsan : iv 1 – 4 mg/KgBB
Efek samping obat :
1) Sistem kardiovaskuler
a) Depresi otot jantung
b) Vasodilatasi perifer
c) Turunnya curah jantung
2) Sistem pernafasan, menyebabkan depresi saluran pernafasan
3) Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI
4) Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar
5) Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian
dihentikan)
6) Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada
dewasa muda
7) Menyebabkan mual, muntah, dan salivasi
8) Menyebabkan trombophlebitis, mekrosis, dan gangren
Kontraindikasi :
1) Alergi barbiturat
2) Status ashmatikus
3) Porphyria
4) Pericarditis constriktiva
5) Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik
6) Syok
7) Anak usia < 4 tahun (depresi saluran pernafasan)
b. Golongan benzodiazepin
Obat ini dapat dipakai sebagai transqualizer, hipnotik, maupun
sedative. Selain itu oabat ini mempunyai efek antikonvulsi dan amnesia.
Obat – obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :
1) Obat induksi
2) Hipnotik pada balance anastesi
3) Untuk tindakan kardioversi
4) Antikonvulsi
5) Sebagai sedasi pada anastesi regional, lokal, atau tindakan diagnostik
6) Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin
7) Untuk premedikasi
Jenis – jenis obat :
1) Diazepam
Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organik
(propilen glikol dan sodium benzoate). Karena itu obat ini bersifat
asam dan menimbulkan rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis,
phlebitis apabila disuntikan pada vena kecil. Obat ini dimetabolisme
di hepar dan diekskresikan melalui ginjal.
Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri. Karena itu, obat ini
digunakan untuk induksi dan suplemen pada pasien dengan gangguan
jantung berat.
Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat
induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan
alkohol akut dan serangan panik.
Awitan aksi : iv < 2 menit, rectal < 10 menit, oral 15 menit – 1 jam
Lama aksi : iv 15 menit – 1 jam, PO 2 – 6 jam
Dosis :
1) Premedikasi : iv/im/po/rectal 2 – 10 mg
2) Sedasi : 0,04 – 0,2 mg/kgBB
3) Induksi : iv 0,3 – 0,6 mg/kg
4) Antikonvulsan : iv 0,05 – 0,2 mg/kgBB setiap 5 – 10 menit
dosis maksimal 30 mg
PO/rectal 2 – 10 mg 2 – 4 kali sehari
Efek samping obat :
1) Menyebabkan bradikardi dan hipotensi
2) Depresi pernafasan
3) Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi
4) Inkontinensia
5) Ruam kulit
6) DVT, phlebitis pada tempat suntikan
2) Midazolam
Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan
anteretrogad amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya
1,5 – 3 x diazepam. Obat menembus plasenta, akan tetapi tidak
didapatkan nilai APGAR kurang dari 7 pada neonatus.
Dosis :
1) Premedikasi : im 2,5 – 10 mg, Po 20 – 40 mg
2) Sedasi : iv 0,5 – 5 mg
3) Induksi : iv 50 – 350 µg/kg
Efek samping obat :
1) Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature,
hipotensi
2) Bronkospasme, laringospasme, apneu, hipoventilasi
3) Euphoria, agitasi, hiperaktivitas
4) Salvasi, muntah, rasa asam
5) Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan
3) Propofol
Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini
terdiri dari gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida,
minyak kedelai dan air. Obat ini sangat larut dalam lemak sehingga
dapat dengan mudah menembus sawar darah otak dan didistribusikan
di otak. Propofol dimetabolisme di hepar dan diekskresikan lewat
ginjal. Penggunaannya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi,
pengobatan mual dan muntah dari kemoterapi
Dosis :
1) Sedasi : bolus, iv, 5 – 50 mg
2) Induksi : iv 2 – 2,5 mg/kg
3) Pemeliharaan : bolus iv 25 – 50 mg, infus 100 – 200
µg/kg/menit
antiemetic iv 10 mg
pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabkan
depresi janin. Pada sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan
tekanan darah dan sedikit menurunkan nadi. Obat ini tidak memiliki
efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa menyebabkan asystole.
Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya pasien
diberikan obat – obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini
dapat menyebabkan kejang.
4) Ketamin
Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya
menyebabkan pasien mengalami katalepsi, analgesik kuat, dan
amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan . pemberian ketamin dapat
menyebabkan mimpi buruk
Dosis :
1) Sedasi dan analgesia : iv 0,5 – 1 mg/kgBB, im/rectal 2,5 – 5
mg/kgBB, Po 5 – 6 mg/kg BB
2) Induksi : iv 1 – 2,5 mg/kgBB, im/rectal 5 – 10
mg/kgBB
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, karena itu pemberian
ketamin berbahaya bagi orang – orang dengan tekanan intracranial
yang tinggi. Pada kardiovaskuler, ketamin meningkatkan tekanan
darah, laju jantung dan curah jantung. Dosis tinggi menyebabkan
depresi nafas.
Kontraindikasi :
1) Hipertensi tak terkontrol
2) Hipertiroid
3) Eklampsia/pre eklampsia
4) Gagal jantung
5) Unstable angina
6) Infark miokard
7) Aneurisma intracranial, thoraks, dan abdomen
8) TIK tinggi
9) Perdarahan intraserebral
10) TIO tinggi
11) Trauma mata terbuka
5) Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak menggangu kardiovaskuler, sehingga
banyak digunakan untuk induks pada pasien jantung.
a) Morfin
Penggunaannya untuk premedikasi, analgesik, anastesi, pengobatan
nyeri yang berkaitan dengan iskemia miokard, dan dispneu yang
berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru
Dosis :
1. Analgesik : iv 2,5 – 15 mg, im 2,5 – 20 mg, Po 10 – 30 mg,
rectal10 – 20 mg setiap 4 jam
2. Induksi : iv 1 mg/kg
Awitan aksi : iv < 1 menit, im 1 – 5 menit
Lama aksi : 2 – 7 jam
Efek samping obat :
1) Hipotensi, hipertensi, bradikardi, aritmia
2) Bronkospasme, laringospasme
3) Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
4) Retensi urin, spasme ureter
5) Spasme trakrtus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah,
penundaan pengosongan lambung
6) Miosis
b) Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen
sedasi sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium
walaupun tidak seefektif morfin sulfat, untuk menghilangkan
ansietas pada pasien dengan dispneu karena acute pulmonary
edema dan acute left ventricular failure.
Dosis :
Oral/IM/SK
1) Dosis lazim 50 – 150 mg setiap 3 – 4 jam jika perlu
2) Injeksi intravena lambat : dewasa 15 – 35 mg/jam
3) Anak – anak oral/IM/SK : 1,1 – 1,8 mg/kg setiap 3 – 4 jam
jika perlu
4) Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg
IM/SK
Petidin dimetabolisme terutama di hati
Kontraindikasi
1) Pasien yang mengunakan trisiklik antidepresan dan MAOi 14
hari sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernafasan yang
parah, sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit
kepala, kejang)
2) Hipersensitiv
3) Pasien dengan gagal ginjal lanjut
Efek samping obat :
1) Depresi pernafasan
2) Sistem syaraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo,
depresi, rasa mengantuk , koma, eforia, disforia, lemah, agitasi,
ketegangan, kejang
3) Pencernaan : mual, muntah, konstipasi
4) Kariovaskular : aritmia, hipotensi postural
5) Reproduksi, ekskresi, dan endokrin : retensi urin, oliguria
6) Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia,
tremor otot, pergerakan yang tidak terkoordinasi, delirium atau
disorientasi, halusinasi
7) Lain – lain : berkeringat, mukamerah, pruritus, urtikaria, ruam
kulit
Peringatan :
Hati – hati pada pasien dengan disfungsi hati dan ginjal karena
akan memperlama kerja dan efek kumulasi opioid, pasien usia
lanjut, depresi sistem saraf pusat yang parah, anoreksia,
hiperkapnia, depresi pernafasan, aritmia, kejang, cedera kepala,
tumor otak, asma bronchial
c) Fentanil
Digunakan sebagai analgesik dan anastesi
Dosis :
1) Analgesik : iv/im 25 – 100 µg
2) Induksi : iv 5 – 40 µg/kgBB
3) Suplemen anastesi : iv 2 – 20 µg/kgBB
4) Anastesi tunggal : iv 50 – 150 µg/kgBB
Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit
Lama aksi : iv 30 – 60 menit, im 1 – 2 jam
Efek samping obat :
1) Bradikardi, hipotensi
2) Depresi saluran pernafasan, apneu
3) Pusing, penglihatan kabur, kejang
4) Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
5) Miosis
C. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan
untuk :
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
1. Pra operasi. Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, dan
adanya muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam.
Setiap kenaikan suhu 1° Celcius kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
2. Selama operasi. Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
b. Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c. Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10 % EBV maka dapat digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali
volume darah yang hilang atau dengan cairan koloid sebanyak 1 kali volume
darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka harus
dipertimbangkan untuk pemberian darah sebanyak jumlah darah yang hilang.
Setelah operasi pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.
D. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan
perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi
dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh
anestesinya.
E. Karsinoma Epidermoid
1. Definisi
Karsinoma epidermoid atau karsinoma sel skuamosa adalah suatu
proliferasi ganas dari keratinosit epidermis yang merupakan tipe sel
epidermis yang paling banyak dan merupakan salah satu dari kanker kulit
yang sering dijumpai setelah basalioma. Faktor predisposisi karsinoma sel
skuamosa antara lain radiasi sinar ultraviolet, bahan karsinogen, arsenic, dan
lain lain.
2. Epidemiologi
Karsinoma epidermoid lebih sering dijumpai pada orang kulit putih
daripada kulit berwarna dan lebih banyak dijumpai pada laki – laki
dibanding wanita, terutama pada usia 40 – 50 tahun. Insiden karsinoma
epidermoid meninggi seiring dengan bertambahnya usia.
3. Etiologi
Penyebab kanker kulit ini belum diketahui secara pasti. Terdapat
banyak faktor yang dapat menyebabkan pertumbuhan karsinoma epidermoid
pada kulit yaitu faktor sinar matahari, arsen, hidro karbon, suhu, radiasi
kronis, parut, virus.
4. Gambaran klinis
Pada umumnya sering terjadi pada usia 40 – 50 tahun dengan lokasi
yang tersering adalah pada daerah yang paling sering terpapar sinar matahari
seperti wajah, telinga, bibir bawah, punggung, tangan dan tungkai bawah.
Secara klinis ada 2 bentuk karsinoma epidermoid :
a. Karsinoma epidermoid in situ
Karsinoma sel skuamosa ini terbatas pada epidermis dan terjadi pada
berbagai lesi kulit yang telah ada sebelumnya seperti pada solar keratosis,
kronis radiasi keratosis, hidrokarbon keratosis, arsenikal keratosis, kornu
kutanea, penyakit bowen, dan eritroplasia Queyrat. Karsinoma
epidermoid in situ ini dapat menetap di epidermis dalam jangka waktu
lama dan tidak dapat diprediksi, dapat menembus lapisan basal sampai ke
dermis dan selanjutnya bermetastase melalui saluran getah bening
regional.
b. Karsinoma epidermoid invasif
Karsinoma epidermoid invasif ini dapat berkembang dari karsinoma
epidermoid in situ dan dapat juga dari kulit normal, walaupun jarang.
Karsinoama epidermoid invasif yang dini baik yang muncul pada
karsinoma in situ, lesi premaligna atau kulit normal, biasanya adalah
berupa nodul kecil dengan batas yang tidak jelas, berwarna sama dengan
warna kulit atau agak sedikit eritema. Permukaannya mula – mula lembut
kemudian berkembang menjadi verukosa atau papilomatosa. Ulserasi
biasanya timbul didekat pusat dari tumor, dapat terjadi cepat atau lambat,
sering sebelum tumor berdiameter 1 – 2 cm. Permukaan tumor mungkin
granular dan mudah berdarah, sedangkan pinggir ulkus biasanya
meninggi dan mengeras. Dapat dijumpai krusta.
5. Metastasis
Sebagian besar karsinoma epidermoid bermetastasis melalui saluran
kelenjar limfe regional. Kemampuan metastasis karsinoma epidermoid
berhubungan dengan ukuran kedalaman invasi tumor, lokasi tumor dan
status imunologis penderita.
6. Histopatologi
Secara histopatologis karsinoma epidermoid terdiri dari massa yang
irreguler dari sel – sel epidermis yang berproliferasi dan menginvasi ke
dermis. Karsinoma epidermoid yang berdiferensiasi baik menunjukkan
keratinisasi yang cepat dari lapisan sel skuamosa. Sel – sel tumor tersusun
secara fokal dan konsentris disertai massa keratin, sehingga terbentuklah
mutiara tanduk (horn pearls) yang khas pada karsinoma epidermoid
berdiferensiasi baik.
Pada karsinoma epidermoid diferensiasi buruk menunjukkan
keratinisasi yang terbatas atau kurang sel – sel atipik dengan gambaran
mitosis yang abnormal. Tidak dijumpai interseluler bridge.
7. Diagnosis
Diagnosis karsinoma epidermoid ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan histopatologis.
8. Diagnosis banding
a. Keratoakantoma
b. Keratosis aktinik
c. Pseudo epitheliomatosus hiperplasia
d. Karsinoma sel basal
e. Kutaneus granuloma
9. Penatalaksanaan
Pengobatan karsinoma epidermoid tergantung dari ukuran tumor, bentuk
dan lokasi tumor, sifat dasar dari kulit dimana tumor itu timbul, tipe,
kedalaman jaringan yang diinvasi tumor tersebut. sebaiknya pemilihan cara
pengangkatan karsinoma epidermoid ini menghasilkan seminimal mungkin
cacat dan gangguan pada pasien. Ada 4 metode pengobatan yang umumnya
dilakukan pada karsinoma epidermoid, yaitu bedah listrik, bedah eksis,
radiasi, dan kemoterapi.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. Dirjo
Umur : 70 tahun
Berat badan : ± 55 kg
Tinggi badan : ± 155 cm
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Banyumas
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Tanggal masuk RSMS : 19 Oktober 2012
No. CM : 780367
B. Primary Survey
A : airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), maxillofacial injury (-),
C-Spine stabil
B : spontan, RR : 28x/menit, suara dasar vesikuler, Wh (-), Rh (-)
C : akral hangat, TD 140/90, tegangan dan isi cukup, N/HR (88), S1>S2, G (-),
M (-)
D : GCS 15, BB 55 kg, S 35,8 °C
C. Secondary Survey
1. Anamnesis
a) Keluhan utama : benjolan di punggung tengah mulai dari 3 bulan yang
lalu
b) Keluhan tambahan : -
c) Riwayat penyakit sekarang : pasien datang ke Rumah Sakit Margono
Soekarjo dengan keluhan terdapat
benjolan di punggung tengah. Benjolan
dirasa sejak 3 bulan yang lalu dan
semakin membesar.
d) Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat penyakit darah tinggi : ada
2) Riwayat penyakit DM : disangkal
3) Riwayat penyakit alergi : ada
4) Riwayat penyakit asma : ada
5) Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
e) Riwayat penyakit keluarga :
1) Riwayat penyakit darah tinggi : ada
2) Riwayat penyakit DM : disangkal
3) Riwayat penyakit alergi : ada
4) Riwayat penyakit asma : disangkal
5) Riwayat penyakit yang sama : disangkal
f) Riwayat kebiasaan pasien
1) Merokok : disangkal
2) Alkohol : disangkal
3) Obat-obat : disangkal
2. Pemeriksaan Fisik
a. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah : 140/90 mmHg
Respirasi : 28 kali/menit
Nadi : 88 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Suhu : 35,8 °C
Kepala : Mesochepal, simetris, tumor (-)
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Reflek
cahaya (+/+), Pupil isokor, (/) 3 mm
Hidung : Discharge(-), epistaksis (-),deviasi septum(-)
Mulut : Lidah Kotor (-) bibir kering (-), hiperemis (-),
pembesaran tonsil (-), Mallapati kelas 1
Gigi : Gigi ompong (+), Gigi palsu (-)
Telinga : Discharge (-) tidak ada kelainan bentuk
Leher : Simestris, trakea ditengah, pembesaran tiroid dan
kelenjar getah bening (-)
Thorax : Pulmo : simetris kanan – kiri, tidak ada retraksi
SD : vesikuler (+/+) normal
ST : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Cor : BJ I-II reguler, S1>S2, bising (-)
Abdomen : Datar, Bunyi Usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Dorsum : Status lokalis
Ekstremitas : Superior : edema (-/-), sianosis (-/-)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-)
Turgor kulit : Cukup
Akral : Hangat
Vertebrae : tidak ada kelainan
b. Status lokalis
Regio Dorsum
Inspeksi : Benjolan di punggung tengah, berwarna hitam, berbentuk tidak
beraturan, berukuran diameter 4 cm, permukaan tidak rata,
mengeluarkan nanah
3. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 19 – 10 – 2012)
Pemeriksaan darah lengkap :
a. Hb : 15,1
b. Leukosit : 9820
c. Ht : 42
d. Eritrosit : 5,1
e. Trombosit : 466.000
f. PT : 13,2
g. APTT : 30
h. SGOT : 18
i. SGPT : 13
j. Ureum : 13,5
k. Kreatinin : 0,75
l. GDS : 143
m. Natrium : 136
n. Kalium : 4
o. Klorida : 100
p. Kalsium : 8,8
Pemeriksaan Thorax PA
Cor : CTR > 50%
LVH
Pulmo : Penuh dengan corakan vaskuler, hemidiafragma kanan
setinggi costa 10 posterior, sinus costoprenicus kanan kiri
lancip
Kesan : Cor membesar dan pulmo tak tampak kelainan
4. Diagnosis Klinis
Diagnosis prabedah : Ca epidermoid
Diagnosis pasca bedah : Ca epidermoid post ekstirpasi
Jenis pembedahan : TIVA
5. Kesimpulan Pemeriksaan Fisik
Status ASA II
6. Tindakan
Dilakukan : Ekstirpasi
Tanggal : 24 Oktober 2012
7. Laporan Anastesi
Status anastesi
a. Persiapan anastesi
1) Informed consent
2) Puasa 6 jam pre op
3) Pasang infus IV line
b. Penatalaksanaan anastesi
1) Jenis anastesi : General Anastesi (GA)
2) Premedikasi : Deksametason 2 x 1 amp
3) Medikasi : Ketamine
Recofol
Fentanil
Ketorolac
c) Teknik anastesi
1) Pasien dalam posisi berbaring terlentang
2) Dilakukan penyuntikan obat ketamine ke dalam bolus IV line
3) Respirasi : spontan
4) Posisi : terlentang
5) Jumlah cairan yang masuk : Kristaloid = 500 cc (RL 1)
Perdarahan selama operasi : ± 15 cc
d) Pemantauan selama anastesi :
Mulai anestesi : 11.30
Mulai operasi : 11.35
Selesai operasi : 12.55
Selesai anestesi : 12.00
e) Cairan yang masuk durante operasi :
RL : 500 cc
Terapi cairan
Berat badan = 58 kg
Lama puasa 8 jam kebutuhan cairan
Maintenance : 2 x 58 = 116 cc
Pengganti puasa : 8 x 116 = 928 cc
Stres Operasi : 8 x 58 = 464 cc
Kebutuhan jam pertama 50% puasa + stres operasi + kebutuhan per
jam
116 cc + 464cc + 464cc = 1044cc
Kebutuhan ham kedua 25% puasa + stres operasi + kebutuhan per jam
231cc + 116cc + 464cc = 811cc
Cairan yang masuk selama operasi RL 500
Cairan yang keluar darah 15cc
f) Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi
Pukul (WIB) Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
11.30 : TD : 110/83, N : 113, SpO2 : 100
11.35 : TD : 120/70, N : 110, SpO2 : 98
Mulai operasi
11.40 : TD : 122/68, N : 113, SpO2 : 97
11.45 : TD : 129/68, N : 115, SpO2 : 98
11.50 : TD : 123/65, N : 112, SpO2 : 98
11.55 : TD : 119/65, N : 99, SpO2 : 98
12.00 : TD : 121/68, N : 110, SpO2 : 98
g) Pemantauan post operasi
Pemantauan tanda vital setiap 15 menit selama 4 jam, kemudian
pengawasan per jam selama 24 jam
Lanjutkan infus RL
Bila nyeri berikan analgetik adekuat seperti ketorolac
Bila mual dan muntah berikan antimual dan muntah seperti
ondansetron
8. Prognosa
Ad Vitam : Ad malam
Ad Functionam : Ad malam
Ad Sanationam : Ad malam
BAB IVPEMBAHASAN
A. Pre Operatif
Persiapan pre operatif pada pasien ini meliputi persiapan alat, penilaian
dan persiapan pasien, dan persiapan obat anestesi yang diperlukan.
Penilaian dan persiapan pasien diantaranya meliputi :
1. Penilaian klinis penanggulangan keadaan darurat
2. Informasi penyakit
a) Riwayat alergi, hipertensi, diabetes mellitus, operasi sebelumnya dan
asma.
b) Riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia).
c) Makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena
regurgitasi atau muntah pada saat anestesi).
3. Persiapan informed consent, suatu persetujuan medis untuk mendapatkan
ijin dari pasien sendiri dan keluarga pasien untuk melakukan tindakan
anestesi dan operasi, sebelumnya pasien dan keluarga pasien diberikan
penjelasan mengenai risiko yang mungkin terjadi selama operasi dan post
operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan pada pasien, maka pasien
termasuk dalam klasifikasi ASA I.
B. Durante Operatif
Premedikasi diberikan dengan pemberian premedikasi secara intravena
atau intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian antasida,
antagonis reseptor H2 atau metoclopramide, walaupun tidak efektif dan
menguntungkan. Pada pasien ini diberikan premedikasi yaitu deksametason
sebanyak 2 ampul secara intravena. Selain itu juga diberikan ondansentron
sebanyak 4 mg secara intravena. Pemberian obat anti mual dan muntah ini
sangat diperlukan dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi
dari asam lambung.
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada diperlukan beberapa
pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis
dan lamanya pembedahan dan bidang kedaruratan. Pada pasien ini digunakan
teknik General Anestesi (GA) dengan menggunakan TIVA, yaitu pemberian
obat anestesi umum mealui jalur pembuluh darah vena. Alasan menggunakan
anestesi umum ini adalah tindakan pembedahan yang dilakukan membutuhkan
waktu yang relatif singkat. Maka, dipilihlah anestesi TIVA pada pasien ini.
Induksi menggunakan ketamine yang merupakan anestesi umum
golongan benzodiazepine. Obat ini mempunyai efek trias anastesi, dengan efek
sedasi yang lemah. Pada pasien ini jg diberikan fentanyl, pemakaian fentanyl
ini digunakan sebagai adjuvant sehingga hipotensi lebih sedikit dan
meningkatkan efek analgesinya.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Pada pasien ini tekanan darah pre
operasi 140/90 mmHg, namun selama durante operatif tekanan darah pasien
pada awalnya menurun menjadi 130/70 mmHg, kemudian normal menjadi
120/80 sampai akhir operasi.
Setelah ekstirpasi ca epidermoid, penjahitan bekas luka dilakukan,
kemudian disuntikkan ketorolac 30 mg secara intravena diberikan sesaat
sebelum operasi selesai. Ketorolac adalah golongan NSAID (Non steroidal
anti-inflammatory drug) yang bekerja menghambat sintesis prostaglandin.
Ketorolac diberikan untuk mengatasi nyeri akut jangka pendek post operasi,
dengan durasi kerja 6-8 jam. Pada pasien ini nyeri pasca operasi mulai
dirasakan 4 jam setelah operasi, dan nyeri semakin memberat hingga
memuncak 5 jam setelah operasi. Pada pasien ini berikan cairan infus RL.
(ringer laktat) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit
yang hilang.
Pasien sudah tidak makan dan minum ± 8 jam, maka kebutuhan cairan pada
pasien ini :
BB = 55 kg
a. Maintenance = 2 cc/kgBB/jam = 2 x 55 kg = 110 cc/jam
b. Pengganti puasa = 8 x maintenance = 8 x 110 cc = 880 cc/jam
c. Stress operasi = 8 cc/kgBB/jam = 8 x 55 = 440 cc/jam
d. EBV = 70 cc/kgBB = 70 x 55 = 3850 cc
e. ABL = EBV X 20% = 3850 X 20 % = 770 cc
Pemberian Cairan :
1 jam pertama = (50 % X pengganti puasa ) + maintenance + stress operasi
= (50 % X 880) +110 + 440
= 440 + 110 + 440
= 990 cc
C. Post Operatif
Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pemulihan. Pasien
berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache,
karena efek obat anestesi masih ada. Observasi post ekstirpasi ca epidermoid
dilakukan dengan pemantauan secara ketat meliputi vital sign (tekanan darah,
nadi, suhu dan respiratory rate). Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit.
Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan.
BAB VKESIMPULAN
Pada pasien ini dilakukan ekstirpasi pada tanggal 24 Oktober 2012 atas
indikasi adanya karsinoma epidermoid di kamar operasi instalasi bedah sentral.
Jenis anastesi yang dipakai adalah general anastesi dengan teknik TIVA karena
estimasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan operasi relatif singkat.
Agen anastesi yang digunakan adalah ketamine yang dencerkan dengan
menggunakan aquadest. Selain itu diberikan recofol untuk menguatkan efeknya.
Untuk mengatasi rasa nyeri setelah operasi digunakan ketorolac 30 mg. Perawatan
post operatif dilakukan dengan diawasi vital sign, tanda-tanda perdarahan dan
infus cairan sesuai dengan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Astowo. Pudjo. 2005. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta.
Ganong, F. William. 2003. Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC.
Latief, A. Said. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta.
Partogi, Donna. 2008. Karsinoma Sel Skuamosa. Repository USU. Sumatera Utara