preskas.lma
DESCRIPTION
lmaTRANSCRIPT
PRESUS
LMA PADA PASIEN DENGAN FISTULA PERIANAL
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun oleh :
Khoirurrohmah Nuzula
(20080310068)
Dokter Penguji :
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes
SMF ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2013
HALAMAN PENGESAHAN
LMA PADA PASIEN DENGAN OPERASI MOW
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Anastesiologi dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh:
Khoirurrohmah Nuzula
20080310068
Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Januari 2014
Oleh :
Dokter Penguji
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An.
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. RD
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sewon, Bantul
Tanggal diperiksa : 20 Januari 2014
Pekerjaan : pelajar
Berat Badan : 45 kg
Diagnosis : Fistula perianal
B. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 20 Januari 2014 di bangsal
Alamanda 3
1. Keluhan Utama :
Nyeri di sekitar anus.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Tumbuh bisul di sekitar lubang anus, terasa nyeri. Pasien mengaku, bisul
baru pertamakali muncul sekitar kulang lebih dua minggu yang lalu,
kemudian pecah dan mengeluarkan nanah. Pasien tidak merasakan mual (-)
muntah (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak mempunyai riwayat Hipertensi, DM, jantung, asma,
alergi, kejang dan tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign
A : Clear
B : Spontan, RR : 16x/menit, vesikuler +/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
C : TD : 110/70 mmHg, HR : 72x/menit, S1-S2 reguler
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorax Foto : cor dan pulmo dalam batas normal
2. EKG : tidak dilakukan.
3. EEG : tidak dilakukan.
4. Laboratorium :
Tanggal 20/01/2014
Hb : 11,7 gr/dl
AL : 8,9 ribu/ul
AT : 270 ribu/ul
AE : 4,67 ribu/ul
HMT : 38,6 %
Eosinophil : 3
Basophil : 0
Batang : 2
Segmen : 93
Limposit : 28
Monosit : 6
PPT : 13,1 detik
APTT : 30,5 detik
Control PPT : 13,5
Control APTT : 32,6
Ureum : 15 mg/dl
Kreatinin : 0,61 mg/dl
Albumin : 3,99 g/dl
GDS : 97
Natrium : 140,3
Kalium : 3,58
Klorida : 108,6
HbsAg : negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
- Pre-op fistulotomi ao fistula perianal, status fisik ASA I
- Rencana General Anestesi
F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
- Puasa 8 jam sebelum operasi
2. Premedikasi : Midazolam 2,5 mg IV; Fentanyl 50 µg IV
3. Diagnosis Pra Bedah : Fistula perianal
4. Diagnosis pasca Bedah : Post-op Fistulotomi
5. Jenis Anestesi : General Anestesi
6. Teknik : Laryngeal Mask Airway-Semi Close no. 3
7. Induksi : Profofol 90 mg IV
8. Pemeliharaan : O2 2L/menit , N2O, Sevoflurane
9. Obat-obat : Ondansentron 4 mg IV, Ketorolac 30 mg
IV
10. Jenis Cairan : Ringer laktat
11. Kebutuhan cairan selama Operasi
MO : 2 x 45 = 90 cc
PP : 10 x 90 = 900 cc
SO : 4 ml (op sedang) x 45 = 180 cc
Keb. Cairan jam I : (1/2x 900) + 900 + 180 = 1530 cc
EBV : 70 x 45 = 3150 cc
ABL : 20% x 3150 = 630 cc
12. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Supine
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Antibiotik : -
Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 20.00
Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam 20.00
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
coba minum makan perlahan.
13. Lama Operasi : 15 menit
14. Maintanence anastesi
B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol,
B2 (Bleeding) :Perdarahan ± 20 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) : tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : Intak
15. Monitoring pasca Operasi
Skor Lockharte / Aldrete Pasien
Jam I (per 15’) Jam II Jam III Jam IV
Aktivitas 1 2
Respirasi 2 2
Sirkulasi 2 2
Kesadaran 1 2
Warna kulit 2 2
Skor total 9 10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Fistula ani, fistula in ano, atau sering juga disebut fistula perinanal merupakan
sebuah hubungan yang abnormal antara epitel dari kanalis anal dan epidermis dari
kulit perianal. Hubungan ini berupa sebuah traktus yang terbentuk oleh jaringan
granulasi. Bukaan primernya terletak pada kanalis anal dan bukaan sekundernya
terletak pada kulit perianalis. Bukaan sekundernya dapat multipel yang berasal
dari satu bukaan primer saja. 1,2,3
Apabila tidak ditutup secara permanen dengan tindakan bedah, fistula akan
tetap terbuka sehingga dapat terinfeksi ulang dari anal atau rektum yang berakibat
terbentuknya pus terus menerus. Traktus yang terbentuk oleh abses, dapat juga
tidak berhubungan dengan anal atau rektum dan secara definisi disebut sebagai
sinus, bukan fistula.4
Fistula ani adalah bentuk kronik dari abses anorektal yang tidak sembuh
sehingga membentuk traktus akibat inflamasi. Akibat dari keterkaitan ini
dikatakanlah bahwa abses anorektal dan fistula ani menggambarkan stadium yang
berbeda dari suatu keadaan patologis yang berkelanjutan. Abses menggambarkan
fase inflamasi akut dan fistula proses kronik. 5,6
Fistula ani suatu kondisi yang telah tergambarkan sebelum mulainya sejarah
kedokteran. Pada sekitar tahun 430 sebelum masehi, Hipokrates mengemukakan
bahwa fistula ini disebabkan akibat kontusi dari seringnya berkuda atau
mendayung. Dia juga orang pertama yang menyarankan penggunaan seton untuk
penatalaksanaannya. Usaha mencari penanganan yang tepat telah tercatat dalam
buku-buku selama lebih dari 2000 tahun. Bahkan rumah sakit St.Mark di London,
dibangun khusus untuk menangani pasien-pasien dengan fistula ani dan kondisi
rektal lainnya. 7
Suatu hal yang perlu dimengerti bahwa fistula ani bukan kondisi yang
membahayakan jiwa pasien, namun lebih memberi penderitaan akibat pus yang
keluar atau saat defekasi. Dan hal ini juga berujung pada keadaan psikososial dari
penderita.2
II. ANATOMI
Kanalis anal merupakan bagian akhir dari usus besar dan rektum, yang
berawal dari diafragma pelvis yang melewati otot levator ani dan berakhir pada
pinggiran anal. Kanalis ini mempunyai panjang sekitar 4 cm. Dinding otot dari
kanalis anal merupakan kelanjutan dari lapisan otot sirkuler rektum yang
kemudian menebal dan membentuk sfingter internal. 5,8
Secara anatomis kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke
linea dentata. Akan tetapi untuk alasan praktis, ahli bedah terkadang
mendefinisikan kanalis anal memanjang dari pinggiran anal sampai ke cincin
anorektal. Cincin anorektal sendiri teraba saat pemeriksaan rektal sekitar 1-1,5 cm
di atas linea dentata. 5,8
Pinggiran anal adalah pertemuan antara anoderm dan kulit perianal.
Anoderm merupakan epitel tersendiri yang kaya akan saraf tapi kurang dalam hal
perangkat kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat). Linea
dentata atau linea pectinata yang merupakan pertemuan mukokutaneus
Gambar 1. Anatomi kanalis anal
sebenarnya, terletak 1 – 1,5 di atas pinggiran anal. Terdapat zona transisional atau
cloacogenik sebesar 6 – 12 mm di atas linea dentata, yang merupakan peralihan
epitel skuamosa anoderm menjadi kuboidal dan kemudian epitel kolumnar. 5,8
Kanalis anal dikelilingi oleh sebuah sfingter eksternal dan internal, yang
keduanya menjalankan mekanisme sfingter anal. Sfingter internal merupakan
kelanjutan dari bagian dalam otot polos sirkuler rektum. Juga merupakan otot
involunter dan normalnya berkontraksi saat istirahat. Bidang intersfingterik
menggambarkan kelanjutan fibrosa dari lapisan otot polos longitudinal rektum.5,8
Sfingter eksternal merupakan otot volunter berlurik, yang terbagi menjadi
tiga putaran bentuk U (subkutaneus, superfisial, dan profunda) namun bekerja
sebagai satu kesatuan. Sfingter eksternal merupakan kelanjutan dari otot-otot
levator dari dasar pubis, khususnya otot puborectalis. Putaran paling atas
terbentuk oleh otot puborektalis, yang berasal dari pubis. Putaran di tengah
terbentuk oleh otot sfingter eksternal superfisial, yang berasal dari ujung coccyx
atau ligamentum anococcygeal. Putaran yang paling bawah tersusun oleh lapisan
subkutaneus dari otot sfingter eksternal. Otot puborektalis berasal dari pubis dan
menyatu pada posterior dari rektum. Normalnya sfingter berkontraksi
menghasilkan penyudutan 80° dari sudut pertemuan anorektal.5,8
Dari area setinggi cincin anorectal ke arah distal dan antara otot sfingter
internal dan eksternal, lapisan otot longitudinal rektum menyatu dengan serat dari
levator ani dan otot puborektalis yang kemudian membentuk otot longitudinal
conjoined. Serat-serat otot ini, yang dapat memotong bagian bawah dari sfingter
eksternal untuk kemudian masuk ke dalam kulit perianal dan mengerutkan
pinggiran anal, disebut sebagai corrugator cutis ani.5
Kolumna Morgagni terdiri dari 8 – 14 lipatan mukosa longitudinal yang
terletak tepat di atas linea dentata dan membentuk kripta analis pada ujung
distalnya. Kelenjar-kelenjar rudimenter kecil membuka pada kripta-kripta ini.
Saluran dari kelenjar-kelenjar ini menembus sfingter internal dan badan dari
kelenjar ini terletak pada bagian intersfingterik. 8
III. ETIOLOGI
Fistula ani hampir selalu disebabkan oleh abses anorektal yang
mendahului. Kelenjar anal yang terletak pada linea dentata menyediakan jalan
bagi organisme patogen untuk mencapai ruang intersfingterik.6
Namun penyebab lainnya dapat berupa trauma, penyakit Crohn, fisura
anal, kanker, terapi radiasi, infeksi actinomycoses, tuberkulosis, dan chlamydial.6
IV. PATOFISIOLOGI
Hipotesis yang paling jelas adalah kriptoglandular, yang menjelaskan
bahwa fistula in ano merupakan abses anorektal tahap akhir yang telah terdrainase
dan membentuk traktus. Kanalis anal mempunyai 6-14 kelenjar kecil yang
terproyeksi melalui sfingter internal dan mengalir menuju kripta pada linea
dentata. Kelenjar dapat terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan. Bersamaan
dengan penyumbatan itu, terperangkap juga feces dan bakteri dalam kelenjar.
Penyumbatan ini juga dapat terjadi setelah trauma, pengeluaran feces yang keras,
atau proses inflamasi. Apabila kripta tidak kembali membuka ke kanalis anal,
maka akan terbentuk abses di dalam rongga intersfingterik. Abses lama kelamaan
akan menghasilkan jalan keluar dengan meninggalkan fistula.1,9
V. KLASIFIKASI
Pada kasus-kasus mudah, aturan Goodsall dapat membantu untuk
mengantisipasi keadaan anatomi dari fistula ani. Aturan ini menyatakan bahwa
fistula dengan bukaan eksternal yang terletak anterior dari garis transversal tengah
anus akan mengikuti garis radial lurus menuju linea dentata. Fistulae dengan
bukaan posterior dari garis transversal akan mengikuti garis membelok menuju
garis tengah posterior. Pengecualian untuk aturan ini bila bukaan eksternal
berjarak lebih dari tiga sentimeter dari pinggiran anus. Gambaran yang terakhir ini
hampir selalu berasal dari traktus primer atau sekunder dari garis tengah posterior
yang konsisten dengan abses tapal kuda sebelumnya.3
Klasifikasi yang paling membantu namun tetap rumit dikemukakan oleh
Parks et al. Empat bentuk dasar dari fistula in ano digambarkan dalam klasifikasi
ini, yang berdasarkan pada hubungan antara fistula dan otot-otot sfingter.
1) Fistula intersfingterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses perianal. Traktus berjalan di dalam
ruang intersfingterik. Jenis juga merupakan tipe yang paling sering dengan
kisaran 70% dari semua fistula in ano. Pada fistula intersfingterik juga dapat
didapatkan sebuah traktus buntu yang tinggi dengan arah ke atas dari ruang
intersfingterik menuju ruang supralevator. Bukaan eksternalnya biasanya pada
kulit perianal yang dekat dengan pinggiran anal. 1,5,6
2) Fistula Transsfingterik
Merupakan fistula kedua yang tersering, mencakup 23% dari semua fistula
yang didapatkan. Umumnya hasil dari abses ischiorektal. Traktus fistula
berjalan dari ruang intersfingterik melewati sfingter eksternal, menuju ke
dalam fossa ischiorektal, dan kemudian berakhir pada kulit. Ketinggian traktus
melewati sfingter eksternal agak bervariasi. Fistula transsfingterik dapat
melibatkan hampir seluruh sfingter eksternal atau hanya bagian superfisialnya
saja. Fistula jenis ini juga dapat mempunyai traktus buntu yang tinggi dan
dapat mencapai apeks dari fossa ischiorectal atau dapat memanjang melalui
otot levator ani dan ke dalam pelvis. 1,5,6
Gambar 2. Penampang yang menunjukkan Goodsall’s rule
3) Fistula Suprasfingterik
Fistula jenis ini diakibatkan oleh abses supralevator dan mencakup 5% dari
semua jenis fistula. Traktus berjalan di atas dari puborektalis setelah naik
seperti abses intersfingterik. Traktus kemudian berbelok ke arah bawah lateral
menuju sfingter eksternal dalam ruang ischioanal dan kulit perianal. Traktus
buntu dapat juga timbul pada jenis ini dan mengakibatkan pemanjangan bentuk
tapal kuda. 1,5,6
4) Fistel Ekstrasfingterik
Merupakan jenis yang paling jarang dan hanya 2% dari semua fistula. Pada
jenis ini traktus terdapat di luar dari kompleks sfingter. Traktus berjalan dari
rektum di atas dari levator ani dan melewatinya untuk menuju ke kulit perianal
via ruang ischioanal. Fistul ini dapat terjadi akibat penetrasi benda asing pada
rektum disertai drainase melalui levator, akibat cedera penetrasi pada
perineum, akibat penyakit Crohn, atau kanker serta penatalaksanaannya. Akan
Gambar 3. Fistula intersfingterik, fistula transfingterik, dan fistula transfingterik yang memanjang ke atas (dikutip dari kepustakaan no. 7)
tetapi, penyebab yang paling sering mungkin akibat iatrogenik sekunder setelah
pemeriksaan yang terlalu berlebih saat operasi fistula. 1,5,6
VI. MANIFESTASI KLINIK
Umumnya, gejala utama yang tersering adalah keluarnya pus seropuruluen
yang mengiritasi kulit di sekitarnya dan menyebabkan perasaan tidak enak.
Terkadang anamnesis mengatakan gejala ini sudah menahun. Abses perianal yang
rekurens menyarankan adanya fistula ani. Selama bukaannya cukup besar untuk
pus keluar, maka nyeri belum menjadi gejala. Tapi bila bukaan tersumbat maka
nyeri akan timbul meningkat hingga pus dapat keluar. Biasanya bukaan hanya
soliter, terletak 3,5 – 4 cm dari anus, memberi gambaran elevasi kecil dengan
jaringan granulasi warna merah pada mulut lubang. Bila elevasi ditekan akan
keluar pus. Pada fistula sederhana atau superfisial, traktus dapat teraba sebagai
jalinan yang keras.5
Terkadang terjadi penyembuhan superfisial yang kemudian menyebabkan pus
terakumulasi dan abses terbentuk kembali. Abses kemudian akan pecah lagi
melalui lubang yang sama atau lubang baru. Oleh sebab ini terkadang ditemukan
dua atau lebih bukaan eksternal, yang biasanya terkelompok bersama pada sisi kiri
Gambar 4. Fistula suprasfingterik, fistula ekstrasfingterik, dan fistula tapal kuda (dikutip dari kepustakaan no.7)
atau kanan dari garis tengah pantat. Tapi bila kedua fossa ischiorektal terkait maka
bukaan akan terlihat pada kedua sisi.5
VII. DIAGNOSIS
Dengan keluhan yang beragam dan hampir serupa dengan beberapa penyakit
lain. Maka penegakan diagnosis fistula ani membutuhkan anamnesis yang
terperinci, pemeriksaan fisik yang mendetail, serta dengan bantuan pemeriksaan
penunjang. 3
Dari anamnesis pasien dengan fistula ani, keluhan-keluhan yang sering adalah
pengeluaran pus dari lubang pantat, nyeri pada daerah pantat, bengkak,
perdarahan, diare, ekskoriasi kulit pantat, dan lubang yang terlihat di daerah dekat
lubang pantat. 3
Pada riwayat penyakit terdahulu dapat ditemukan hal-hal penting seperti
riwayat inflammatory bowel disease, diverticulitis, radiasi untuk kanker prostat
atau rektal, terapi steroid, infeksi HIV. Perlu juga ditanyakan mengenai ada
tidaknya nyeri perut, kehilangan berat badan yang berarti, serta perubahan dari
pola defekasi. 3
Pemeriksaan fisik yang mendetail merupakan cara diagnosis yang paling
penting dan tepat pada fistula ani. Pemeriksa harus memeriksa keseluruhan
perineum untuk mencari bukaan eksternal yang akan tampak seperti sinus terbuka
atau elevasi jaringan granulasi. Pada rectal touche dapat ditemukan traktus fibrosa
atau uliran di bawah kulit. Pengeluaran pus secara spontan dapat terlihat atau
terjadi saat penekanan dengan jari tangan.3,5
Anoskopi harus dilakukan untuk mengidentifikasi bukaan internalnya.
Pemeriksa harus menentukan hubungan antara cincin anorektal dan posisi dari
traktus sebelum pasien direlaksasi dengan anestesi. Proctoskopi atau
sigmoidoskopi fleksibel dilakukan untuk menyingkarkan lesi lainnya atau
inflammatory bowel disease. Probe fistula dimasukkan ke dalam traktus fistula
untuk menentukan arah dan bukaan internalnya. Namun tidak selalu probe dapat
tembus keluar dari bukaan internalnya.3,5
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
Tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk penyakit
ini. Yang biasa dilakukan hanya pemeriksaan preoperatif sesuai umur dan
komorbiditas.3
- Pencitraan
Pemeriksaan radiologi bukanlah pemeriksaan rutin untuk evaluasi fistula.
Pemeriksaan dilakukan untuk membantu saat dari bukaan primer/internal sulit
diidentifikasi atau pada kasus fistulae rekuren atau fistulae multipel untuk
mengidentifikasi traktus sekunder atau bukaan primer yang terlewatkan. 3
Fistulografi dapat dilakukan dengan menginjeksi zat kontras melalui
bukaan internal yang kemudian diikuti dengan x-ray anteroposterior, lateral,
dan oblik untuk melihat jalannya traktus fistula. Prosedur ini mempunyai
tingkat akurasi 16-48 % dan membutuhkan kemampuan untuk memvisualisasi
bukaan internal. Jaringan granulosa dan materi purulen di dalam traktus fistula
seringkali mengobstruksi aliran kontras menuju perpanjangan fistula sehingga
dapat memberikan gambaran yang salah. Yang lebih menambah kesulitan
adalah tidak adanya patokan anatomis dalam melihat fistula pada pemeriksaan
ini.1,3,6
Gambar 5. Beragam jenis probe fistula yang digunakan (dikutip dari kepustakaan no. 7)
CT-scan yang dilakuan dengan kontras intravena dan rektal merupkan
metode noninvasif untuk melihat ruang perirektal. Pemeriksaan ini sangat
berguna untuk mengidentifikasi abses-abses anorektal dengan letak dalam,
tapi jarang digunakan sebagai evaluasi preoperatif fistula ani. CT-scan
mempunyai resolusi yang kurang baik dalam memberi gambaran jaringan
lunak sehingga sulit memberikan gambaran fistula berkaitan dengan otot –
otot levator dan sfingter khususnya pada potongan aksial.1,3,6
USG endoanal dilakukan untuk menentukan hubungan antara traktus
primer dengan sfingter anal, untuk menentukan apakah fistula sederhana atau
kompleks dengan perpanjangan, dan untuk menentukan lokasi bukaan primer.
Transduser dimasukkan ke dalam kanalis analis kemudian hidrogen peroksida
dapat dimasukkan melalui bukaan eksternal. USG endo anal memberikan
gambaran yang baik dari daerah anal dan sangat akurat dalam
mengidentifikasi pengumpulan cairan dan traktus fistula. Akan tetapi
identifikasi dari bukaan internal masih sukar. Bahkan dengan penggunaan
hidrogen peroksida yang masih sering terasa agak sulit. Pada beberapa
penelitian, pemeriksaan ini 50% lebih baik dalam menemukan bukaan internal
yang sulit daripada pemeriksaan fisik saja. 1,3,6
MRI mempunyai resolusi jaringan yang bagus dan kapabilitas multiplanar
sehingga sangat akurat dalam mengidentifikasi bukaan internal dan traktus
fistula. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hasil MRI 80-90%
mendekati penemuan saat operasi. Hal ini membuat MRI menjadi pilihan
utama dalam mengidentifikasi fistulae yang kompleks. Walaupun terlihat
Gambar 6. Hasil fistulogram tampak anteroposterior (dikutip dari kepustakaan no.7)
lebih baik daripada USG dalam mengevaluasi fistula ani, namun USG lebih
murah dan dapat digunakan saat operasi sedang berlangsung dalam kamar
operasi. 1,3
IX. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum dalam penanganan bedah fistula ani adalah untuk
menghilangkan fistula, mencegah rekurens, dan untuk memelihara fungsi sfingter.
Keberhasilan biasanya ditentukan oleh identifikasi bukaan primer dan memotong
otot dengan jumlah yang paling minimal.6
Beberapa metode telah diperkenalkan untuk mengidentifikasi bukaan saat
berada di kamar operasi: 6
1. Memasukkan probe melalui bukaan eksternal sampai ke bukaan internal,
atau sebaliknya.
2. Menginjeksi cairan warna seperti methylene blue, susu, atau hidrogen
peroksida, dan memperhatikan titik keluarnya di linea dentata. Walaupun
methylene blue dapat mewarnai jaringan sekitarnya, namun
mencairkannya dengan saline atau hidrogen peroksida akan mengatasi
masalah ini.
3. Mengikuti jaringan granulasi pada traktus fistula.
4. Memperhatikan lipatan kripta anal saat traksi dilakukan pada traktus. Hal
ini dapat berguna pada fistula sederhana namun kurang berhasil pada
varian yang kompleks.
Kesulitan dari penanganan fistula ani terlihat dari banyaknya teknik berbeda
yang berkembang. Teknik lay-open dengan pembelahan semua jaringan yang
distal dari traktus primer, merupakan cara yang paling efektif untuk
menghilangkan fistula. Namun efektifitasnya harus diseimbangkan dengan risiko
inkontinensia ani yang mengganggu. Teknik ini yang disebut juga sebagai
fistulotomi ini mengandung risiko yang sebanding dengan jumlah otot sfingter
yang terkait dengan fistula. Maka kriteria tunggal yang sangat penting dalam
pemilihan penanganan bedah adalah hubungan antara traktus fistula dan kompleks
sfingter.1
Pada prosedurnya pasien dibaringkan dengan posisi jackknife prone setelah
diinduksi dengan anestesi regional. Setelah insersi spekulum anal, anestesi lokal
lidokain dengan epinefrin diinjeksi sepanjang traktus fistula untuk hemostasis.
Probe dimasukkan sepanjang fistula, kemudiang jaringan kulit, subkutaneus, otot
sfingter di atas probe diinsisi dengan pisau bedah atau kauter listrik dan jaringan
granulasi dikuretase serta dikirim untuk evaluasi patologis. Probe yang lembut
dimasukkan untuk mengidentifikasi adanya traktus buntu yang tersembunyi atau
adanya pemanjangan. Bila ada, dilanjutkan dengan insisi untuk membuka.6
Pada daerah yang rendah di anus, sfingter internal dan subkutaneus
sfingter eksternal dapat dibelah pada sudut yang tepat dari jaringan di atas tanpa
mengganggu kontinensia. Tapi hal ini tidak berlaku apabila fistulotomi dilakukan
anterior pada pasien wanita. Apabila lajur traktus terletak tinggi dari mekanisme
sfingter, maka pemasangan seton harus dilakukan.3
Seton dapat berupa benda asing apapun yang dapat dimasukkan ke dalam
fistula untuk mengelilingi otot sfingter. Materi yang sering digunakan adalah
sutera atau bahan lain yang tidak terserap, karet, kateter silastik. Seton dapat
digunakan secara tunggal, dikombinasikan dengan fistulotomi, atau digunakan
secara bertahap. Penggunaannya sangat berguna pada pasien dengan kondisi-
kondisi berikut: 3
- Fistulae yang kompleks (transsfingterik tinggi, suprasfingterik,
extrasfingterik atau multipel fistulae
- Fistulae rekuren setelah fistulotomi
- Fistulae anterior pada pasien wanita
- Tekanan sfingter yang buruk pada preoperatif
Gambar 8. Fistulotomi (dikutip darikepustakaan no. 7)
- Pasien dengan penyakit Crohn atau dengan imunosupresi
Penggunaan seton mempunyai dua tujuan selain memberikan identifikasi
visual terhadap banyaknya otot sfingter yang terlibat. Yang pertama untuk
mengalirkan dan memajukan fibrosis dan kedua untuk memotong fistula.
Penggunaannya dapat satu tahap atau dua tahap. 3
Penggunaan satu tahap (cutting seton) dilakukan dengan memasukkan
seton ke dalam traktus fistula sekitar sfingter eksternal yang dalam setelah
membelah kulit, jaringan subkutaneus, otot sfingter interna, dan subkutaneus otot
sfingter eksterna. Seton kemudian diikat dan diamankan dengan ikatan sutera
yang berbeda. Dengan berjalannya waktu, fibrosis akan muncul di atas dari seton
seiring dengan pemotongan otot sfingter oleh seton yang akhirnya mengeluarkan
traktus tersebut. Seton diperkuat tiap kunjungan poliklinik sampai dilepas yaitu ±
6 – 8 minggu kemudian. Cutting seton dapat juga digunakan tanpa berbarengan
dengan fistulotomi. 3
Penggunaan dua tahap (draining/fibrosing) dilakukan dilakukan dengan
memasukkan seton ke dalam traktus fistula sekitar sfingter eksternal yang dalam
setelah membelah kulit, jaringan subkutaneus, otot sfingter interna, dan
subkutaneus otot sfingter eksterna. Tidak seperti cutting seton, seton dibiarkan
lepas untuk mengosongkan ruang intersfingterik dan memajukan fibrosi pada otot
sfingter yang dalam. Ketika luka superfisial telah sembuh sempurna (± 2 – 3 bulan
kemudian), otot sfingter yang masih dilingkari seton dibelah.3
Saat fistulotomi tidak tepat, sebagai contoh pada pasien wanita dengan fistula
anterior, pasien dengan inflammatory bowel disease, pada pasien dengan fistula
transfingterik dan suprasfingterik, begitu juga dengan pasien yang telah menjalani
operasi sfingter sebelumnya, dan fistula kompleks, maka penggunaan anorectal
advancement flap disarankan. Keuntungan dari teknik ini termasuk reduksi dari
waktu penyembuhan, reduksi dari rasa tidak nyaman, kurangnya deformitas dari
kanalis anal, dan kurangnya kerusakan tambahan pada otot sfingter karena tidak
ada otot yang dibelah. Setelah identifikasi, bukaan internal dieksisi. Kemudian
bukaan eksterna diperbesar untuk memudahkan drainase. Lipatan tebal dari
mukosa rektal, submukosa, dan sebagian sfingter interna diangkat. Bukaan
internal yang tersisa ditutup dengan jahitan mudah serap. Lipatan kemudian
ditarik sampai 1 cm di bawah bukaan internal. Ujung bukaan yang mengandung
jaringan fistula dieksisi dan lipatan dijahit dengan jahitan mudah serap sambil
menjaga garis jahitan otot dan mukosa tidak bertumpang tindih. Dasar dari lipatan
harus dua kali lebar bagian atas untuk menjaga aliran darah yang baik.
Keberhasilan dilaporkan pada 90% pasien. 6
Saat ini penggunaan lem fibrin sebagai penatalaksanaan tunggal maupun
kombinasi dengan advancement flap telah digemari. Penggunaannya menarik
karena pendekatan noninvasif yang tidak berisiko inkontinensia. Apabila gagal,
dapat diulang beberapa kali tanpa mengganggu kontinensia. Serupa dengan
fistulotomi, jalur fistula diidentifikasi dengan bukaan interna dan eksternanya
dikuret. Kemudian lem fibrin diinjeksikan ke dalam traktus fistula melalui
konektor-Y hingga seluruh traktus terisi dan lem dapat terlihat keluar pada bukaan
interna. Secara pelan, kateter injeksi ditarik sehingga seluruh traktus terisi. Lem
fibrin sedang dipertimbangkan untuk menjadi terapi lini pertama untuk fistula ani
kompleks.6
Setelah operasi pilihan dilakukan, pasien diberikan diet normal, obat
pengumpul feces, dan analgesik non codein. Pasien diberi instruksi sitz bath
secara rutin untuk menjaga higienitas perianal. Pasien dievaluasi dengan interval 2
minggu untuk menjaga penyembuhan terjadi dari dalam traktus. Jaringan
granulasi dapat dikauterisasi dengan nitrat perak dan batang kapas digunakan
untuk memeriksa kedalaman agar penyembuhan yang secukupnya tetap jalan.
Pada operasi advancement flap, kateter foley dilepas sehari setelah operasi. Dan
disarankan untuk menjaga pasien dengan terapi intravena dan tanpa nutrisi oral
untuk menginjinkan penyembuhan yang adekuat dari flap.6
X. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi langsung setelah operasi atau tertunda. Komplikasi
yang dapat langsung terjadi antara lain: 3
- Perdarahan
- Impaksi fecal
- Hemorrhoid
Komplikasi yang tertunda antara lain adalah:
- Inkontinensia
Munculnya inkontinensia berkaitan dengan banyaknya otot sfingter yang
terpotong, khususnya pada pasien dengan fistula kompleks seperti letak
tinggi dan letak posterior. Drainase dari pemanjangan secara tidak sengaja
dapat merusak saraf-saraf kecil dan menimbulkan jaringan parut lebih
banyak. Apabila pinggiran fistulotomi tidak tepat, maka anus dapat tidak
rapat menutup, yang mengakibatkan bocornya gas dan feces. Risiko ini
juga meningkat seiring menua dan pada wanita. 3,6
- Rekurens
Terjadi akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukaan primer atau
mengidentifikasi pemanjangan fistula ke atas atau ke samping. Epitelisasi
dari bukaan interna dan eksterna lebih dipertimbangkan sebagai penyebab
persistennya fistula. Risiko ini juga meningkat seiring penuaan dan pada
wanita. 3,6
- Stenosis analis
Proses penyembuhan menyebabkan fibrosis pada kanalis anal. 3,6
- Penyembuhan luka yang lambat
Penyembuhan luka membutuhkan waktus ± 12 minggu, kecuali ada
penyakit lain yang menyertai (seperti penyakit Crohn). 3,6
1. Anastesi pada Fistulotomi
Tujuan anastesi pada fistulotomi adalah :
1. Menghindarkan nyeri dan rasa tidak nyaman
2. Mengurangi kecemasan dan ketegangan.
A. Tata Laksana Anestesi dan Terapi Intensif pada Tindakan Operasi
Fistulotomi
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi fistulotomi
2. Masalah anestesi dan terapi intensif
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan terapi intensif
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang yang lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 30 – 45 menit pra induksi dengan obat-obat
sebagai berikut:
Midazolam : 0,05 – 0,10 mg/kgBB
Fentanyl : 1-3 µg/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Anestesi umum total intravena anestesia dengan profofol 2-2,5 mg/kgBB
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan dengan cairan Ringer
Lactate apabila perdarahan yang terjadi < 10 % dari erkiraan volume
darah, HES jika perdarahan 10% - 20% dari perkiraan volume darah dan
apabila > 20%, berikan tranfusi darah.
8. Pemulihan Anestesi
Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan
oksigen 100%
Bersihkan jalan nafas
Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta
jalan nafas sudah bersih
9. Pasca bedah/anestesi
Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas
akibat nyeri dan kompresi luka operasi
Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria
penegeluaran
B. LMA
Hilangnya kesadaran karena induksi anestesi berhubungan dengan
hilangnya pengendalian jalan nafas dan reflex-reflex proteksi jalan nafas.
Tanggung jawab dokter anestesi adalah untuk menyediakan respirasi dan
managemen jalan nafas yang adekuat untuk pasien. LMA telah digunakan
secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET dan pemakaian face
mask. LMA di insersi secara blind ke dalam pharing dan membentuk suatu
sekat bertekanan rendah sekeliling pintu masuk laring.
3.1. Desain dan Fungsi
Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway,
didesain untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring
untuk ventilasi spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode
level (< 15 cm H2O) tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran
untuk neonatus, infant, anak kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
Gambar 1. Berbagai macam ukuran LMA
Dibawah ini tabel dengan berbagai ukuran LMA dengan volume cuff yang
berbeda yang tersedia untuk pasien-pasien ukuran berbeda
Tabel 3. Berbagai
ukuran LMA
3.2. Macam-macam LMA
3.2.1. Clasic LMA
Merupakan suatu peralatan yang digunakan pada airway management
yang dapat digunakan ulang dan digunakan sebagai alternatif baik itu untuk
ventilasi facemask maupun intubasi ET. LMA juga memegang peranan
penting dalam penatalaksanaan difficult airway. Jika LMA dimasukkan dengan
tepat maka tip LMA berada diatas sfingter esofagus, cuff samping berada di
fossa pyriformis, dan cuff bagian atas berlawanan dengan dasar lidah.
Dengan posisi seperti ini akan menyebabkan ventilasi yang efektif dengan
inflasi yang minimal dari lambung.
3.2.2. LMA Fastrach ( Intubating LMA )
LMA Fastrach terdiri dari sutu tube stainless steel yang
melengkung ( diameter internal 13 mm ) yang dilapisi dengan silicone,
connector 15 mm, handle, cuff, dan suatu batang pengangkat epiglotis.
Perbedaan utama antara LMA clasic dan LMA Fastrach yaitu pada tube baja,
handle dan batang pengangkat epiglottic.
Nama lain dari Intubating LMA : Fastrach. Laryngeal mask yang
dirancang khusus untuk dapat pula melakukan intubasi tracheal. Sifat ILMA :
airway tube-nya kaku, lebih pendek dan diameternya lebih lebar dibandingkan
cLMA. Ujung proximal ILMA terdapat metal handle yang berfungsi
membantu insersi dan membantu intubasi, yang memungkinkan insersi dan
manipulasi alat ini. Di ujung mask terdapat
”pengangkat epiglotis”, yang merupakan batang semi rigid yang menempel
pada mask. ILMA didesign untuk insersi dengan posisi kepala dan leher yang
netral.
Ukuran ILMA : 3 – 5, dengan tracheal tube yang terbuat dari silicone
yang dapat dipakai ulang, dikenal : ILMA tube dengan ukuran : 6,0 – 8,0
mm internal diameter.
ILMA tidak boleh dilakukan pada pasien-pasien dengan patologi
esofagus bagian atas karena pernah dilaporkan kejadian perforasi esofagus.
Intubasi pada ILMA bersifat ”blind intubation technique”. Setelah intubasi
direkomendasikan untuk memindahkan ILMA. Nyeri tenggorok dan suara
serak biasanya ringan, namun lebih sering terjadi pada pemakaian ILMA
dibandingkan cLMA. ILMA memegang peranan penting dalam managemen
kesulitan intubasi yang tidak terduga. Juga cocok untuk pasien dengan cedera
tulang belakang bagian cervical. Dan dapat dipakai selama resusitasi
cardiopulmonal.
Respon hemodinamik terhadap intubasi dengan ILMA mirip dengan
intubasi konvensional dengan menggunakan laryngoscope. Kemampuan untuk
insersi ILMA dari belakang, depan atau dari samping pasien dan dengan posisi
pasien supine, lateral atau bahkan prone, yang berarti bahwa ILMA
merupakan jalan nafas yang cocok untuk insersi selama mengeluarkan pasien
yang terjebak.
ILMA merupakan alat yang mahal dengan harga kira-kira 500 dollar
America dan dapat digunakan sampai 40 kali.
3.2.3. LMA Proseal
LMA Proseal mempunyai 2 gambaran design yang menawarkan
keuntungan lebih dibandingkan LMA standar selama melakukan ventilasi
tekanan positif. Pertama, tekanan seal jalan nafas yang lebih baik yang
berhubungan dengan rendahnya tekanan pada mukosa. Kedua, LMA Proseal
terdapat pemisahan antara saluran pernafasan dengan saluran gastrointestinal,
dengan penyatuan drainage tube yang dapat mengalirkan gas-gas esofagus
atau memfasilitasi suatu jalur tube orogastric untuk dekompresi lambung.
PLMA diperkenalkan tahun 2000. PLMA mempunyai “mangkuk”
yang lebih lunak dan lebih lebar dan lebih dalam dibandingkan cLMA.
Terdapat drainage tube yang melintas dari ujung mask, melewati “mangkuk”
untuk berjalan paralel dengan airway tube. Ketika posisinya tepat, drain
tube terletak dipuncak esofagus yang mengelilingi cricopharyngeal, dan
“mangkuk” berada diatas jalan nafas. Lebih jauh lagi, traktus GI dan traktus
respirasi secara fungsi terpisah.
PLMA di insersi secara manual seperti cLMA. Akhirnya saat insersi
sulit dapat melalui suatu jalur rel melalui suatu bougie yang
dimasukkan kedalam esofagus. Tehnik ini paling invasif tetapi paling
berhasil dengan misplacement yang kecil.
Terdapat suatu teori yang baik dan bukti performa untuk
mendukung gambaran perbandingan antara cLMA dengan PLMA,
berkurangnya kebocoran gas, berkurangnya inflasi lambung, dan
meningkatnya proteksi dari regurgitasi isi lambung. Akan tetapi, semua ini
sepenuhnya tergantung pada ketepatan posisi alat tersebut.
Pada pasien dengan keterbatasan komplian paru atau peningkatan
tahanan jalan nafas, ventilasi yang adekuat tidak mungkin karenadibutuhkan
tekanan inflasi yang tinggi dan mengakibatkan kebocoran. Modifikasi baru,
Proseal LMA telah dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan ini dengan
cuf yang lebih besar dan tube drain yang memungkinkan insersi gastric tube.
Versi ini sering lebih sulit untuk insersinya dan pabrik merekomendasikan
dengan bantuan introduser kaku.
3.2.4. Flexible LMA
Bentuk dan ukuran mask nya hampir menyerupai cLMA, dengan
airway tube terdapat gulungan kawat yang menyebabkan fleksibilitasnya
meningkat yang memungkinkan posisi proximal end menjauhi lapang
bedah tanpa menyebabkan pergeseran mask. Berguna pada pembedahan
kepala dan leher, maxillo facial dan THT. fLMA memberikan perlindungan
yang baik terhadap laryng dari sekresi dan darah yang ada diatas fLMA.
Populer digunakan untuk pembedahan nasal dan pembedahan intraoral,
termasuk tonsilektomy. Airway tube fLMA lebih panjang dan lebih sempit,
yang akan menaikkan resistensi tube dan work of breathing. Ukuran fLMA :
2 – 5. Insersi fLMA dapat lebih sulit dari cLMA karena flexibilitas airway
tube. Mask dapat ber rotasi 180 pada sumbu panjangnya sehingga masknya
mengarah ke belakang.
4. TEHNIK ANESTESI LMA
4.1. Indikasi :
a. Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk
airway management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika
pemakaian ET menjadi suatu indikasi.
b. Pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang
tidak diperkirakan.
c. Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak
sadarkan diri.
4.2. Kontraindikasi :
a. Pasien-pasien dengan resiko aspirasi isi lambung ( penggunaan
pada emergency adalah pengecualian ).
b. Pasien-pasien dengan penurunan compliance sistem pernafasan, karena
seal yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami
kebocoran pada tekanan inspirasi tinggi dan akan terjadi
pengembangan lambung. Tekanan inspirasi puncak harus dijaga
kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff dan
pengembangan lambung.
c. Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka
waktu lama.
d. pasien-pasien dengan reflex jalan nafas atas yang intack karena insersi
dapat memicu terjadinya laryngospasme.
4.3. Efek Samping :
Efek samping yang paling sering ditemukan adalah nyeri tenggorok,
dengan insidensi 10 % dan sering berhubungan dengan over inflasi cuff LMA.
Efek samping yang utama adalah aspirasi.
4.4. Tehnik Induksi dan Insersi
Untuk melakukan insersi cLMA membutuhkan kedalaman anestesi
yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan suatu hal yang penting
untuk keberhasilan selama pergerakan insersi cLMA dimana jika kurang
dalam sering membuat posisi mask yang tidak sempurna ( 5 )
Sebelum insersi, kondisi pasien harus sudah tidak ber respon
dengan mandibula yang relaksasi dan tidak ber-respon terhadap tindakan jaw
thrust. Tetapi, insersi cLMA tidak membutuhkan pelumpuh otot.
Hal lain yang dapat mengurangi tahanan yaitu pemakaian
pelumpuh otot. Meskipun pemakaian pelumpuh otot bukan standar praktek di
klinik, dan pemakaian pelumpuh otot akan mengurangi trauma oleh
karena reflex proteksi yang di tumpulkan, atau mungkin malah akan
meningkatkan trauma yang berhubungan dengan jalan nafas yang
relax/menyempit jika manuver jaw thrust tidak dilakukan.
Propofol merupakan agen induksi yang paling tepat karena propofol
dapat menekan refleks jalan nafas dan mampu melakukan insersi cLMA
tanpa batuk atau terjadinya gerakan.
Introduksi LMA ke supraglotis dan inflasi the cuff akan menstimulasi
dinding pharing akan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
nadi. Perubahan kardiovaskuler setelah insersi LMA dapat ditumpulkan
dengan menggunakan dosis besar propofol yang berpengaruh pada tonus
simpatis jantung.
Jika propofol tidak tersedia, insersi dapat dilakukan setelah pemberian
induksi thiopental yang ditambahkan agen volatil untuk mendalamkan
anestesi atau dengan penambahan anestesi lokal bersifat topikal ke oropharing.
Untuk memperbaiki insersi mask, sebelum induksi dapat diberikan opioid
beronset cepat ( seperti fentanyl atau alfentanyl ). Jika diperlukan, cLMA
dapat di insersi dibawah anestesi topikal.
Insersi dilakukan dengan posisi seperti akan dilakukan laryngoscopy (
Sniffing Position ) dan akan lebih mudah jika dilakukan jaw thrust oleh
asisten selama dilakukan insersi. Cuff cLMA harus secara penuh di deflasi
dan permukaan posterior diberikan lubrikasi dengan lubrikasi berbasis air
sebelum dilakukan insersi.
Meskipun metode standar meliputi deflasi total cuff, beberapa klinisi
lebih menyukai insersi LMA dengan cuff setengah mengembang.
Tehnik ini akan menurunkan resiko terjadinya nyeri tenggorokan dan
perdarahan mukosa pharing.
Dokter anestesi berdiri dibelakang pasien yang berbaring supine
dengan satu tangan men-stabilisasi kepala dan leher pasien, sementara tangan
yang lain memegang cLMA. Tindakan ini terbaik dilakukan dengan cara
menaruh tangan dibawah occiput pasien dan dilakukan ekstensi ringan pada
tulang belakang leher bagian atas. cLMA dipegang seperti memegang pensil
pada perbatasan mask dan tube. Rute insersi cLMA harus menyerupai rute
masuknya makanan. Selama insersi, cLMA dimajukan ke arah posterior
sepanjang palatum durum kemudian dilanjutkan mengikuti aspek posterior-
superior dari jalan nafas. Saat cLMA ”berhenti” selama insersi, ujungnya
telah mencapai cricopharyngeus ( sfingter esofagus bagian atas ) dan harusnya
sudah berada pada posisi yang tepat. Insersi harus dilakukan dengan satu
gerakan yang lembut untuk meyakinkan ”titik akhir” ter-identifikasi.
Gambar Insersi LMA
Cuff harus di inflasi sebelum dilakukan koneksi dengan sirkuit pernafasan.
Lima tes sederhana dapat dilakukan untuk meyakinkan ketepatan posisi cLMA:
1. ”End point” yang jelas dirasakan selama insersi.
2. Posisi cLMA menjadi naik keluar sedikit dari mulut saat cuff di
inflasi.
3. Leher bagian depan tampak mengelembung sedikit selama
cuff di inflasi.
4. Garis hitam di belakang cLMA tetap digaris tengah.
5. Cuff cLMA tidak tampak dimulut.
Jumlah udara yang direkomendasikan untuk inflasi cuff tergantung
dari pembuat LMA yang bervariasi sesuai dengan ukuran cLMA. Penting
untuk dicatat bahwa volume yang direkomendasikan adalah volume yang
maksimum.Biasanya tidak lebih dari setengah volume ini yang dibutuhkan.
Volume ini dibutuhkan untuk mencapai sekat bertekanan rendah dengan jalan
nafas. Tekanan didalam cuff tidak boleh melebihi 60 cmH2O. Inflasi yang
berlebihan akan meningkatkan resiko komplikasi pharyngolaryngeal,
termasuk cedera syaraf (glossopharyngeal, hypoglossal, lingual dan
laryngeal recuren ) dan biasanya menyebabkan obstruksi jalan nafas.
Setelah cLMA di insersikan, pergerakan kepala dan leher akan
membuat perbedaan kecil terhadap posisi cLMA dan dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan intra cuff dan sekat jalan nafas. N2O jika digunakan
akan berdifusi kedalam cuff cLMA sampai tekanan partial intracuff sama
dengan tekanan campuran gas anestesi. Hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan didalam cuff pada 30 menit pertama sejak pemberian
N2O. Tekanan cuff yang berlebihan dapat dihindari dengan mem-palpasi
secara intermiten pada pilot ballon.
Setelah insersi, patensi jalan nafas harus di test dengan cara mem-
bagging dengan lembut. Yang perlu diingat, cuff cLMA menghasilkan
sekat bertekanan rendah sekitar laryng dan tekanan jalan nafas diatas sekat
ini akan menyebabkan kebocoran gas anestesi dari jalan nafas. Dengan
lembut, ventilasi tangan akan menyebabkan naiknya dinding dada tanpa
adanya suara ribut pada jalan nafas atau kebocoran udara yang dapat
terdengar. Saturasi oksigen harus stabil. Jika kantung reservoir tidak terisi
ulang kembali seperti normalnya, ini mengindikasikan adanya kebocoran
yang besar atau obstruksi jalan nafas yang partial, jika kedua hal tadi
terjadi maka cLMA harus dipindahkan dan di insersi ulang.
cLMA harus diamankan dengan pita perekat untuk mencegah
terjadinya migrasi keluar. Saat dihubungkan dengan sirkuit anestesi, yakinkan
berat sirkuit tadi tidak menarik cLMA yang dapat menyebabkan pergeseran.
Sebelum LMA difiksasi dengan plaster, sangat penting mengecek
dengan capnograf, auskultasi, dan melihat gerakan udara bahwa cuf telah
pada posisi yang tepat dan tidak menimbulkan obstruksi dari kesalahan tempat
menurun pada epiglotis. Karena keterbatasan kemampuan LMA untuk
menutupi laring dan penggunaan elektif alat ini di kontraindikasikan dengan
beberapa kondisi dengan peningkatan resiko aspirasi. Pada pasien tanpa
faktor predisposisi, resiko regurgitasi faring rendah.
4.5. Maintenance ( Pemeliharaan )
Untuk anak kecil dan bayi, nafas spontan lewat cLMA untuk periode
yang lama kemungkinan tidak dianjurkan. cLMA meningkatkan resistensi
jalan nafas dan akses ke jalan nafas untuk membersihkan sekret, tidak
sebaik lewat tube trakea. Untungnya ventilasi kendali pada grup ini sering
lebih mudah sebagaimana anak-anak secara umum mempunyai paru-paru
dengan compliance yang tinggi dan sekat jalan nafas dengan cLMA secara
umum sedikit lebih tinggi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa.
Selama fase maintenance anestesi, cLMA biasanya menyediakan jalan nafas
yang bebas dan penyesuaian posisi jarang diperlukan. Biasanya pergeseran
dapat terjadi jika anestesi kurang dalam atau pasien bergerak. Kantung
reservoir sirkuit anestesi harus tampak dan di monitoring dengan alarm yang
tepat harus digunakan selama tindakan anestesi untuk meyakinkan kejadian-
kejadian ini terdeteksi. Jika posisi pasien butuh untuk di ubah, akan bijaksana
untuk melepas jalan nafas selama pergerakan. Saat pengembalian posisi telah
dilakukan, sambungkan kembali kea sirkuit anestesi dan periksa ulang jalan
nafas.
4.6. Tehnik Extubasi
Pada akhir pembedahan, cLMA tetap pada posisinya sampai pasien
bangun dan mampu untuk membuka mulut sesuai perintah, dimana reflex
proteksi jalan nafas telah normal pulih kembali. Melakukan penghisapan pada
pahryng secara umum tidak diperlukan dan malah dapat men-stimuli dan
meningkatkan komplikasi jalan nafas seperti laryngospasme. Saat pasien
dapat membuka mulut mereka, cLMA dapat ditarik. Kebanyakan sekresi
akan terjadi pada saat-saat ini dan adanya sekresi tambahan atau darah
dapat dihisap saat cLMA ditarik jika pasien tidak dapat menelan sekret
tersebut. Beberapa kajian menyebutkan tingkat komplikasi akan lebih tinggi
jika cLMA ditarik saat sadar, dan beberapa saat ditarik ”dalam”. Jika cLMA
ditarik dalam kondisi masih ”dalam”, perhatikan mengenai obstruksi
jalan nafas dan hypoksia. Jika ditarik dalam keadaan sadar, bersiap
untuk batuk dan terjadinya laryngospasme ( 5 )
4.7. Komplikasi Pemakaian LMA
cLMA tidak menyediakan perlindungan terhadap aspirasi paru
karena regurgitasi isi lambung dan juga tidak bijaksana untuk menggunakan
cLMA pada pasien-pasien yang punya resiko meningkatnya regurgitasi, seperti
: pasien yang tidak puasa, emergensi, pada hernia hiatus simtomatik atau
refluks gastro-esofageal dan pada pasien obese.
Insidensi nyeri tenggorokan dengan menggunakan LMA sekitar 28 %.
Clasic LMA mempunyai insidensi kejadian batuk dan komplikasi jalan
nafas yang lebih kecil dibandingkan dengan ET ( 10). Namun clasic
LMA mempunyai kerugian. LMA jenis ini hanya menyediakan sekat tekanan
rendah ( rata-rata 18 – 20 cmH2O ) ( 11,12 ), sehingga jika dilakukan
ventilasi kendali pada paru, akan menimbulkan masalah. Peningkatan
tekanan pada jalan nafas akan berhubungan dengan meningkatnya
kebocoran gas dan inflasi lambung ( 11 ). Lebih lanjut lagi, clasic LMA tidak
memberikan perlindungan pada kasus regurgitasi isi lambung. Proseal LMA
berhubungan dengan kurangnya stimulasi respirasi dibandingkan ET selama
situasi emergensi pembiusan ( 12,13 )
ProSeal LMA juga mempunyai keuntungan dibandingkan clasic LMA
selama ventilasi kendali ; sekat pada ProSeal LMA meningkat sampai
dengan 50 % dibandingkan clasic LMA sehingga memperbaiki ventilasi
dengan mengurangi kebocoran dari jalan nafas ( 10 ). Sebagai tambahan drain
tube pada ProSeal LMA akan meminimalisir inflasi lambung dan dapat
menjadi rute untuk regurgitasi isi lambung jika hal ini terjadi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien ini didiagnosis fistula perianal dengan rencana fistulotomi. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan yang normal. Pemeriksaan penunjang
laboratorium juga menunjukkan nilai dalam batas normal. Kadar elektrolit dalam
batas normal.
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I ( pasien keadaan
sehat normal, tidak ada kelainan organ atau gangguan fisiologi, biokimia dan
psikiatri). Teknik general anestesi dengan laryngeal mask airway pada pasien ini
dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif singkat, yaitu sekitar
30 menit.
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa midazolam 2,5 mg (0,05-0,1
mg/kgBB) intravena. Selanjutnya diberikan fentanyl 50 meq. Induksi anestesia
dilakukan dengan pemberian profofol 90 mg (intravena). Pada pasien ini
diberikan maintenance oksigen, N2O dan sevoflurane. Oksigen diberikan untuk
mencukupi oksigenasi jaringan. N2O sebagai analgetik dan isoflurane untuk efek
hipnotik.
Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1
(merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 2 (empat ekstremitas dapat
digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah
dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Sehingga
Aldrete Score pada pasien ini adalah 9 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang laki-laki 18 tahun diagnosis fistula perianal dengan rencana fistulotomi dengan
general anastesi laryngeal mask airway dan pemeriksaan status fisik ASA I.
DAFTAR PUSTAKA
Dachlan, R., Suryadi, KA., Latief Said. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta:Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI.
Muhiman, M., Thaib, R., Sunatrio, Dachlan, R. Anestesiologi. Jakarta:Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif, FK UI.
Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4 th edition. McGraw
Hill. New York. 2006.