preskas_antihipertensi pada chf
DESCRIPTION
kardioTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. I
Usia : 56 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Blok Tarikolot
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Masuk RS : 27 Mei 2015
Keluar RS : 30 Mei 2015
II. ANAMNESA (AUTOANAMNESA)
Keluhan Utama
Sesak nafas
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan sesak nafasyang
memberat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS), keluhan
dirasakan saat melakukan aktivitas ringan dan disertai dengan adanya batuk
tidak berdahak, jantung terasa berdebar, pusing, badan terasa lemah serta kedua
kaki yang bengkak. Mual muntah tidak ada, buang air keciltidak ada keluhan
Congestive HeartFailure | 1
dan tidak terdapat nyeri pinggang atau nyeri perut bagian bawah. Buang air
besar tidak ada keluhan. Riwayat buang air besar berwarna hitam tidak ada.
Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi dan kencing manis selama
4 tahun yang lalu, dan jarang kontrol ke puskesmas atau dokter serta memiliki
kebiasaan untuk makan-makanan yang asin dan minum jamu.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat kencing manis
Riwayat Penyakit dalam keluarga
Tidak ditemukan keluhan yang sama pada keluarga
III.PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 80x/ menit
RR : 24 x/ menit
Suhu : 36,9oC
Congestive HeartFailure | 2
Keadaan Spesifik
Kepala
Normocephal, rambut beruban distribusi tidak merata dan tidak mudah rontok.
Mata
Conjunctiva palpebra anemis +/+, sklera ikterik (-), pupil isokhor +/+,
reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)normal, pergerakan bola mata
ke segala arah baik, lapang pandang luas.
Hidung
Mukosa hidung lembab +/+, hiperemis-/-, epistaksis-/-, pernapasan
cuping hidung (-), rhinore (-/-)
Telinga
Serumen (-/-), nyeri tekan proc. Mastoideus (-/-), membran timpani intake.
Mulut
Mukosa bibir lembab, lidah deviasi (-), caries dentis (-), pembesaran tonsil
(-/-), gusi berdarah (-),stomatitis (-), atropi papil (-), sianosis (-).
Leher
Pembesaran KGB (-), tekanan vena jugularis 5 (+2)
Dada
Paru-paru
Inspeksi : Statis & dinamis kiri tertinggal
Palpasi : Fremitus taktil dan vocal kirimelemah
Perkusi : Redup di kiri
Congestive HeartFailure | 3
Auskultasi:Vesikuler (+), ronkhi basah halus (+) basal paru kanan dankiri,
wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 LMCS
Perkusi : Batas atas jantung atas ICS 2, batas kanan LS Dextra, atas
kiri LMC sinistra
Auskultasi : HR 80 x/menit, Bunyi Jantung irreguler, Murmur (-),
Gallop (+)
Abdomen
Inspeksi : Tampak buncit
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi : Bising Usus (+)
Genital :tidak diperiksa
Ekstremitas
Ekstremitas atas : akral hangat, nyeri sendi (-),edema (-)
Ekstremitas bawah : akral hangat, nyeri sendi (-),edema (+)
Congestive HeartFailure | 4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap 27 Mei 2015
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMALDarah rutin
WBC 6,74 103/uL 5,2-12,4RBC 3,13 103/uL 4,2-6,1HGB 8,4 g/dL 12-18HCT 25,1 % 37-52MCV 89,6 F1 80-99MCH 29,5 Pg 27-31MCHC 33,0 g/dL 33-37RDW 18,7 % 11,5-14,5PLT 307 103/uL 150-450
Netrofil 80,6 ↑ % 40-74Limfosit 13,1 % 19-48Monosit 2,7 % 3,4-9Eosinophil 4,9 % 0-7Basophil 0,2 % 0-1,5Luc 0,5 % 0-4
Kimia klinikGlukosa 185 ↑ mg/dL 70-150Ureum 61,5 ↑ mg/dL 10,0-50,0Kreatinin 3,20 ↑ mg/dL 0,6-1,38
V. RESUME
Pasien Ny I usia 56 tahun, datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3
bulan yang lalu, dan semakin memberat sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) disertai jantung terasa berdebar, kedua kaki yang
membengkak, batuk tidak berdahak serta pusing.
Status generalis tekanan darah tekanan darah: 140/90 mmHg, Nadi: 80
x/ menit, RR: 24 x/ menit, Suhu: 36,9oC. Pemeriksaan fisik
ditemukanpergerakan dada statis dan dinamis kiri tertinggal, fremitus taktil
Congestive HeartFailure | 5
dan vocal kiri melemah, Bunyi jantung I-II ireguler terdapat Gallop, rhonki
basah halus di bagian basal paru+/+ dan edema pada ekstremitas bawah kanan
dan kiri.
VI. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA
CongestiveHeart Failure
DIAGNOSIS BANDING
- Pneumonia
- Emboli paru
VII. PENATALAKSAAN
Non Medikamentosa:
- Bed rest dengan posisi semi fowler
- diet rendah garam
Medikamentosa
Isosorbit dinitrat 2x1 tab
Aspilet 2x1 tab
Ranitidine 1x1 tab
Furosemid 2x1 Tab
Amlodipine 1x1 tab
Glucodex 2x1
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
- Elektrolit
- Foto rontgen
- Elektrokardiografi (EKG)
- Ekokardiografi
Congestive HeartFailure | 6
IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad functionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
X. FOLLOW UP PASIEN SELAMA DIRAWAT
Tanggal 28 Mei 2015, pukul 07.00 WIB
S : Pasien mengeluhkan sesak nafas, dan kaki bengkak,badan lemas, batuk kering (+), pusing (+)
O:
Kadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah : 160/90 mmhg
Nadi : 88x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 37,3 oC
Kepala : Sklera ikterik -/-
Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/-
Leher: : tidak teraba KGB, JVP 5(+2)
Cor : BJ 1 & 2 irreguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, Ronki basah halus +/+, wheezing -/-
Abdomen : : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+)
Extremitas : Edema extr. superior -/-
Congestive HeartFailure | 7
Edema extr. Inferior +/+
A : Congestive Heart Failure
P : Bed rest
Furosemid 20 mg 2x1 Tab
Amlodipin 1x1 Tab
Glucodex 2x1
Tanggal 29 Mei 2015, pukul 07.00 WIB
S : pasien merasa sesak, badan lemas, kaki bengkak, batuk kering(+), BAB (-) sejak kemarin, konstipasi (-)
O :
KU : Tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan Darah : 160/90 mmhg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 36,9oC
Kepala : Sklera ikterik -/-
Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/-
Cor : BJ 1 & 2 irreguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo : VBS +/+, Ronki basah halus +/+, wheezing -/-
Abdomen : buncit, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+)
Extremitas : Edema extr. superior -/-
Edema extr. Inferior +/+
A :CongestiveHeart Failure
Congestive HeartFailure | 8
P : Bed Rest
Isosorbitdinitrat 2x1 tab
Furosemid 2x1 tab
Amlodipine 1x1 tab
Tanggal 30 Mei 2015, pukul 07.00 WIB
S : Keluhan sesak (+),kaki bengkak, badan lemas (+), batukkering (+)
O :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Tekanan Darah : 150/80 mmhg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 32 x/menit
Suhu : 36oC
Kepala : Sklera ikterik -/-
Konjunctiva anemis +/+
Edema Palpebra -/-
Cor : BJ 1 & 2 irreguler, murmur (-), gallop (+)
Pulmo : VBS +/+, Ronki +/+, wheezing -/-
Abdomen : cembung, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+)
Extremitas : Edema extr. superior -/-
Edema extr. Inferior +/+
A :Congestive Heart Failure
P :Bed Rest Furosemide 2x1
Amlodipine 1x1 Tab
Congestive HeartFailure | 9
Glucodex 1x1
Congestive HeartFailure | 10
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal: 30 Mei 2015
LAB RESULT FLAGS UNIT NORMALDarah rutin
WBC 6,74 103/uL 5,2-12,4RBC 3,13 103/uL 4,2-6,1HGB 8,4 g/dL 12-18HCT 25,1 % 37-52MCV 89,6 F1 80-99MCH 29,5 Pg 27-31MCHC 33,0 g/dL 33-37RDW 18,7 % 11,5-14,5PLT 307 103/uL 150-450
Netrofil 80,6 ↑ % 40-74Limfosit 13,1 % 19-48Monosit 2,7 % 3,4-9Eosinophil 4,9 % 0-7Basophil 0,2 % 0-1,5Luc 0,5 % 0-4
Kimia klinikGlukosa 185 ↑ mg/dL 70-150Ureum 67,5 ↑ mg/dL 10,0-50,0Kreatinin 3,20 ↑ mg/dL 0,6-1,38
Congestive HeartFailure | 11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL JANTUNG KONGESTIF
1. Definisi
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya
ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan
gagal jantung kongestif yang sering digunakan jika terjadi gagal jantung sisi
kiri dan sisi kanan.1
2. Etiologi
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif
meliputi meningkatnya preload, meningkatnya afterload dan penurunan
kontraktilitas miokardium. Kelainan yang mnegakibatkan gangguan
kontraktilitas miokardium diperkirakan akibat dari kelainan hantaran kalsium
dalam sarkomer seperti pada infark miokardium dan kardiomiopati.4
3. Patofisiologi
Penurunan kontraksi venterikel diikuti dengan penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume
darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi
neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini
tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi
Congestive HeartFailure | 12
jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung
yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung adalah
dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik
untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard.
Distensi Vena Jugularis. Bila ventrikel kanan tidak mampu
berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi venterikel dan peningkatan volume
curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan laju tekanan darah
pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya memantau aliran darah dari
vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata lain
apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka kondisi pasien dapat
ditandai adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis pada leher.2
Edema. Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung
kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.
Edema ini di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara
bertahap bertambah keatastungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna
dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang
berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila
terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting
edema. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah
penekanan ringan pada ujung jari, baru jelas terlihat setelah terjadinya
retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama
mengalami edema.3
Table 1. Grading Edema
Grade Edema
+1 Pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat
+2 Pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam 10-15 detik
+3 Lubang yang dalam/ 6mm, menghilang dalam 1 menit
Congestive HeartFailure | 13
+4 pitting sangat mendalam / 8mm, berlangsung 2-5 menit, eksremitas
dep terlalu terdistruksi
4. Klasifikasi gagal jantung
Gagal jantung berdasarkan manifestasi klinik:
a. Gagal jantung kanan-kiri
b. Gagal jantung high output and low output
c. Gagal jantung akut dan kronik
d. Gagal jantung forward and backward
Table 2. Derajat Gagal Jantung Menurut Kriteria Framingham4
Kriteria mayor- Paroxysmal nocturnal
dyspnea- Distensi vena leher
- Peningkatan vena jugularis
- Ronki
- Kardiomegali
- Edema paru akut
- Bunyi jantung Gallop (S3)
- Refluks hepatojugular (+)
Kriteria minor- Edema ekstremitas
- Batuk malam
- Sesak pada aktivitas
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
- Takikardi (>120x/menit)
Mayor atau minorPenurunan berat badan ≥4,5 kg dalam 5 hari terapi
*Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila terdapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
5. Manifestasi klinis
Berdasarkan derajat gagal jantung menurut NewYork Heart Assosiation
(NYHA), gagal jantung dibagi menjadi:Error! Bookmark not defined.
Congestive HeartFailure | 14
Table 3.Derajat Gagal Jantung Menurut NYHA
Derajat Manifestasi
NYHA IPenyakit jantung, tetapi tidak ada gejala atau keterbatasan dalam aktivitas fisik sehari-hari, misalnya dalam berjalan atau naik tangga.
NYHA IIGejala ringan, terdapat keterbatasan ringan dalam aktifitas fisik sehari-hari
NYHA IIITerdapat keterbatasan fisik sehari-hari, akibat gejala gagal jantung pada tingkatan lebih ringan, misal dalam berjala 20-100m, dan merasa nyaman saat istirahat.
NYHA IVTerdapat keterbatasan aktivitas yang berat, gejala muncul saat istirahat.
6. DiagnosisError! Bookmark not defined.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klasik Framingham:
bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor.
Pemeriksaan penunjang:
a. Laboratorium rutin: darah tepi lengkap, elektrolit, BUN, kreatinin, enzim
hepar, urinalisis. Pemeriksaan untuk diabetes mellitus, dyslipidemia, dan
kelainan tiroid juga penting untuk dilakukan.
b. Elektrokardiografi (EKG): pada gagal jantung, interpretasi EKG yang
perlu diperhatikan adalah ritme, ada atau tidaknya hipertrofi ventrikel kiri,
ada atau tidaknya infark (riwayat sedang berlangsung). Meski tidak
spesifik, tetapi EKG yang normal dapat mengeklusi disfungsi sistolik.
c. Rontgen thoraks: dapat menilai ukuran dan bentuk jantung serta
vaskularisasi paru dan kelainan non-jantung lain, seperti hipertensi
pulmonal, edema interstisial, edema paru).
d. Pemeriksaan fungsi ventrikel kiri: ekokardiografi 2D/Doppler, untuk
menilai ukuran dan fungsi ventrikel kiri, kondisi katup jantung, dan
gerakan dinding jantung dan melihat fraksi ejeksi.
Congestive HeartFailure | 15
JENIS TERAPI ANTIHIPERTENSI PADA GAGAL JANTUNG
KONGESTIF
Ada tiga pendekatan utama dalam terapi antihipertensi
yaitu: menurunkan curah jantung, menurunkan volume darah
dan menurunkan resistensi perifer. Terdapat banyak jenis obat
antihipertensi, yaitu:
1. Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan
cairan tubuh (lewat urin) sehingga volume cairan ditubuh
berkurang yang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi
lebih ringan. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek
hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di
ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah
yang selanjutnya menghambat impuls kalsium. Hal ini terlihat
jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai
menunjukan efek hipotensi pada dosis kecil sebelum
timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah
jantung akan kembali ke normal, namun efek hipotensif masih
tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer.
Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
kardiovaskuler diuretik belum terkalahkan oleh obat lain
sehingga diuretik dianjurkan untuk sebagian besar kasus
hipertensi ringan maupun sedang.7
a. Golongan Tiazid. Golongan obat ini bekerja dengan
menghambat transfort bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga eksresi Na+ dan Cl- meningkat. Ada
beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
Congestive HeartFailure | 16
Hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik
lain yang memiliki gugus aryl-sulfonamida (indapamid dan
klortaridon).7
Hidroklorotiazid (HCT), merupakan prototipe golongan
tiazid dan dianjurkan untuk sebagian besar kasus
hipertensi ringan maupun sedang dan dalam kombinasi
dengan berbagai antihipertensi lain. dalam dosis yang
ekuipoten berbagai golongan tiazid mempunyai efek dan
efek samping sama. Perbedaan utama terletak pada masa
kerjanya.
Bendroflumetiazid memiliki waktu paruh 3 jam,
Hidroklorotiazid 10-12 jam dan indapamid 15-25 jam.
Golongan tiazid umumnya kurang efektif pada gangguan
fungsi ginjal, dapat memperburuk fungsi ginjal dan pada
pemakaian lama menyebabkan hiperlipidemia
(peningkatan kolesterol, LDL dan trigliserida). Efek
hipotensif tiazid baru terlihat setelah 2-3 hari dan
mencapai maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu,
peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval
waktu tidak kurang dari 4 minggu. 7
Indapamid memiliki kelebihan karena masih efektif
pada pasien gangguan fungsi ginjal, bersifat netral pada
metabolisme lemakdan efektif meregresi hipertrofi
ventrikel.Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan
efektivitas diuretik dan antihipertensinya. Untuk pasien ini
dianjurkan penggunaan diuretik kuat. Tiazid terutama
efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang
rendah, misalnya pada orang tua. Pada kebanyakan
pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis HCT
Congestive HeartFailure | 17
12,5 mg/hari. Bila digunakan sebagai menoterapi, dosis
maksimal sebaiknya tidak melebihi 25 mg HCT atau
klortalidon per hari, karena peningkatan dosis selanjutnya
akan meningkatkan efek samping lainnya tanpa
meningkatkan efek antihipertensi yang nyata. Tiazid dapat
digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan
dan sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi
lain bila tekanan darah tidak berhasil diturunkan dengan
diuretik saja. Tiazid jarang menyebabkan hipotensi
ortostatik dan ditoleransi dengan baik, harganya murah,
dapat diberikan 1 kali sehari dan efek antihipertensinya
bertahan pada pemakaian jangka penjang. Tiazid
seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain
karena dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain
dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga dosis ini
dapat dikurangi, tiazid mencegah retensi cairan oleh
antihipertensi lain sehingga efek obat-obatan tersebut
dapat bertahan.5
Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh
antiinflamasi non steroid (AINS), terutama indometasin
karena AINS menghambat sintesis prostaglandin yang
berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan
transfort air dan garam. Akibatnya terjadi retensi natrium
dan air yang akan mengurangi efek samping semua obat
antihipertensi.Efek samping tiazid terutama dalam dosis
tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat
berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek
samping ini dapat dihindari bila tiazid diberikan dalam
dosis rendah atau dikombinasi dengan obat lain seperti
Congestive HeartFailure | 18
diuretik hemat kalium, atau penghambat enzim konversi
angiotensin (ACE-inhibitor).sedangkan suplemen kalium
tidak lebih efektif. Tiazid juga dapat menyebabkan
hiponatremia dan hipomagnesemia serta hiperkalsemia.
Selain itu, tiazid dapat menghambat eksresi asam urat dari
ginjal, dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan
serangan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini,
tiazid harus digunakan dalam dosis rendah dan dilakukan
pengaturan diet. Tendensi hiperkalsemia oleh tiazid
dilaporkan dapat mengurangi risiko osteoporosis. Tiazid
dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida,
tetapi kemaknaanya dalam peningkatan risiko penyakit
jantung koroner belum jelas. Pada penderita DM, tiazid
dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi
sekresi insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi seksual
merupakan efek samping tiazid yang kadang-kadang
cukup mengganggu.
b. Obat Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretic)
Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel
tebal dengan cara menghambat kotransfort Na+, K+, Cl-
dan menghambat reabsorpsi air dan elektrolit. Mula
kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat
daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat
jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatin serum > 2,5
mg/dL) atau gagal jantung.
Yang termasuk dalam golongan diuretik kuat antara lain
furosemid, bumetamid dan asam etakrinat. Waktu paruh
diuretik kuat umumnya pendek sehingga diperlukan
Congestive HeartFailure | 19
pemberian 2 atau 3 kali sehari. Efek samping diuretik kuat
hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretik kuat
menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium
darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan
meningkatkan kadar kalsium darah.
c. Diuretik Hemat Kalium
Amilorlid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah hipokalemia. Diuretik hemat
kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan
pada pasien dengan gagal ginjal, ARB, beta blocker, AINS
atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus
dihindarkan bila kreatininserum lebih dari 2,5 mg/dL.
Spironolakton merupakan antagonis aldosteron
sehingga merupakan obat yang terpilih pada
hioperaldosteronisme primer (sindrom conn). Obat ini
sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemia,
hipokalemia dan dengan toleransi glukosa. Berbeda
dengan tiazid, spironolakton tidak mempengaruhi kadar
Ca²+ dan gula darah. Efek samping spironolakton antara
lain ginekomasti, matodinia, gangguan menstruasi dan
penurunan libido pada pria.7
Interaksi obat, efek hipokalemia dan hipomagnesia
akibat tiazid dan diuretik kuat mempermudah terjadinya
aritmia oleh digitalis. Pemberian kortikosteroid, agonis β-2
dan amfoterisin B memperkuat efek hipokalemia diuretik.
Pengunaan diuretik bersamaan dengan kuinidin dan obat
lain yang dapat menyebabkan aritmia ventrikel polimorfik
akan meningkatkan risiko efek samping ini. Semua diuretik
Congestive HeartFailure | 20
mengurangi kliens litium sehingga meningkatkan risiko
toksisitas litium.AINS mengurangi efek antihipertensi
diuretik karena menghambat sintesis prostaglandin di
ginjal. AINS, menghambat ACE dan β blocker dapat
meningkatkan risiko hiperkalemia bila diberikan bersama
diuretik hemat kalium.
2. Penghambat Adrenergik (B-bloker)
a. Penghambat adrenoseptor beta (β-bloker)
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui
penurunan daya pompa jantung. Berbagai mekanisme
penurunan tekanan darah akibat pemberian betabloker
dapat diakibatkan dengan hambatan reseptor β 1 antar
lain : penurunan frekuensi denyut jantung dan
kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung, hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler
ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II,
efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis,
perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan
aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin. Penurunan tekanan darah oleh β-
bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini
mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah
terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih
lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak
menimbulkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan
retensi air dan garam.
β-bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada
hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien
dengan penyakit jantung koroner, pasien dengan aritmia
Congestive HeartFailure | 21
supraventrikel tanpa kelainan konduksi, pada pasien muda
dengan sirkulasi hiperdinamik, dan pada pasien yang
memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik karena
efek antihipertensi β-bloker tidak dihambat oleh obat-
obatan tersebut. β-bloker lebih efektif pada pasien muda
dan kurangg efektif pada pasien usia lanjut.
Dari berbagai β-bloker, atenolol merupakan obat yang
sering dipilih. Obet ini bersifat kardioselektif dan
penetrasinya ke SSP minimal, sehingga kurang
menimbulkan efek samping sentral dan cukup diberikan
sekali sehari. Dosis lazim adalah 50-100 mg per oral sekali
sehari.Efek samping dan kontraindikasi, β-bloker dapat
menyebabkan bradikardi blokade AV, hambatan nodus SA
dan menurunkan kontraksi miokard. Oleh karena itu,
golongan obat ini dikontraindiksikan pada keadaan
bradikardi, blokade AV derajat 2 dan 3, sick sinus
syndrome dan gagal jantung yang belum stabil. Khusus
pada gagal jantung, pendapat lama mengatakan bahwa β-
bloker merupakan kontraindikasi karena bersifat inotropik
negatif. Namun pendapat baru membuktikan bahwa β-
bloker, terutama carvedilol dan juga bisoprolol terbukti
bermanfaat dan telah direkomendasikan dalam JNC VI dan
VII untuk pengobatan gagal jantung dalam kombinasi
dengan ACE inhibitor. 7
β-bloker merupakan obat yang baik untuk hipertensi
dengan angina stabil kronik, tapi dapat memperberat
gejala angina Prizmental, sehingga pemberiannya pada
pasien dengan angina harus memperlihatkan perbedaan
kedua jenis angina ini. Selain itu, penghentian β-bloker
Congestive HeartFailure | 22
pada pasien dengan angina tidak boleh dilakukan secara
mendadak karena dapat menimbulkan kambuhnya
serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi,
kambuhnya angina bahkan infark miokard pada pasien
angina pektoris.
Bronkospasme merupakan efek samping yang penting
pada pasien dengan riwayat asma bronkial atau PPOK,
sehingga pemakaian β-bloker termasuk yang kardioselektif
merupakan kontraindikasi untuk keadaan ini. Efek sentral
beruap depresi, mimpi buruk, halusinasi dapat terjadi
dengan β-bloker yang lipofilik seperti propanolol dan
oksprenolol. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat
pemakaian β-bloker, terutama yang tidak selektif.
Pemakaian β-bloker pada pasien DM yang mendapat
insulin atau obat hipoglikemik oral, sebaiknya dihindari.
Sebab β-bloker dapat menutupi gejala hipoglikemia,
kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi
sangat rendah yang bisa berakibat bahaya bagi
penderitanya.
Congestive HeartFailure | 23
b. Penghambat adrenoseptor alfa (α-bloker)
Hanya α-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa 1
yang digunakan sebagai antihipertensi karena hambatan
reseptor alfa 2 di ujung saraf andrenergik akan
meningkatkan aktivitas simpatis. Hambatan alfa 1
menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga
menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada
pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama),
menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas
renin plasma. Pada pemakaian jangka panjang refleks
kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensi
tetap bertahan.7
α-bloker mimiliki beberapa keunggulan antara lain efek
positif terhadap lipid darah dan mengurangi resistensi
insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan
dislipidemia atau DM. α-bloker sangat baik untuk pasien
dengan hipertropi prostat, karena hambatan reseptor alfa
1 akan merelaksasikan otot polos prostat dan spingter
uretra sehingga mengurangi retensi urin. Obat ini juga
memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak
mengganggu fungsi jantungg, tidak mengganggu aliran
darah ginjal dan tidak berinteraksi dengan AINS.7
Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis
awal atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat
yang kerjanya singkat seperti prazosin. Pasien dengan
deplesi cairan dan usia lanjut lebih mudah mengalami
gejala ini. Gejalanya dapat berupa pusing sampai sinkop.
Untuk menghindari hal ini, sebaiknya penggunaan dimulai
Congestive HeartFailure | 24
dengan dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek
samping antar lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer,
hidung tersumbat, mual, dan lain-lain.
c. Adrenolitik Sentral. Paling sering digunakan adalah
metildopa dan klonidin. Guanabenz dan guanfasin sudah
jarang digunakan, dan analog klonidin yaitu moksonidin
dan rilmedin masih dalam penelitian.
o Metildopa. Metildopa merupakan prodrug yang dalam
SSP menggantikan kedudukan DOPA dalam sintesis
katekolamin dengan hasil akhir α-metilnorepinefrin.
Diduga efek antihipertensinya lebih disebabkan
karena stimulasi reseptor α-2 di sentral sehingga
mengurangi sinyal simpatis ke perifer. Metildopa
menurunkan resistensi vaskular tanpa banyak
mempengaruhi frekuansi dan curah jantung. Tapi pada
pasien usia lanjut, dilatasi vena, penurunan beban
hulu dan penurunan frekuensi jantung dapat
menyebabkan curah jantung menurun. Efek maksimal
tercapai 6-8 jam setelah pemberian oral atau IV.
Walaupun penurunan tekanan darah waktu berdiri
lebih besar dibandingkan waktu berbaring, hipotensi
ortostatik lebih jarang terjadi dibandingkan dengan
pemberian obat yang bekerja di perifer atau di
ganglion otonom. Aliran darah ginjal tidak dipengaruhi
oleh metildopa. Pada pemakaian jangka panjang
sering terjadi retensi air sehingga efek efek
antihipertensinya makin berkurang.
Metildopa merupakan obat antihipertensi tahap 2
dan efektif jika dikombinasikan dengan diuretik. Dosis
Congestive HeartFailure | 25
efektif minimal adalah 2x125 mg tiap 6 jam. Efek
samping yang paling sering adalah sedasi, hipotensi
postural, pusing, mulut kering dan sakit kepala. Efek
samping lain adalah depresi, gangguan tidur,
impotensi, kecemasan, penglihatan kabur dan hidung
tersumbat. Penghentian mendadak dapat
menimbulkan fenomena rebound berupa peningkatan
tekanan darah mendadak. Bila hal ini terjadi,
metildopa harus diberikan kembali atau diberikan obat
lain.
o Klonidin. Klonidin terutama bekerja pada reseptor alfa-
2 di susunan saraf pusat dengan efek penurunan
simpatheic outflow. Efek hipotensif klonidin terjadi
karena penurunan resistensi perifer dan curah
jantung. Penurunan tonus simpatik menyebabkan
penurunan kontraktilitas miokard vdan frekuensi
denyut jantung. Absorpsi oral berlangsung cepat dan
lengkap dengan bioavaibilitas mencapai 95%. Klonidin
juga dapat diberikan secara transdermal dengan kadar
plasma setara dengan pemberian per oral. Sekitar
50% klonidin dieliminasi dalam bentuk utuh melalui
urin. Dosisnya 0,075 mg dua kali sehari dan dapat
ditingkatkan sampai 0,6 mg/hari.
Klonidin digunakan sebagai obat kedua atau
ketiga bila penurunan tekanan darah dengan diuretik
belum optimal. Efek samping yang dapat terjadi yaitu
mulut kering, sedasi, pusing, mual dan impotensi. Efek
sentral berupa mimpi buruk, insomnia, cemas dan
depresi. Retensi cairan dan toleransi semu terutama
Congestive HeartFailure | 26
terjadi bila klonidin diggunakan sebagai dosis tunggal.
Bradikardia, blokade sinus dan AV dapat terjadi pada
pasien dengan gangguan fungsi nodus SA atau nodus
AV atau yang mendapat obat yang mendepresi nodus
AV. Reaksi putus obat sering terjadi pada penghentian
mendadak. Ditandai dengan rasa gugup, tremor, sakit
kepala, nyeri abdomen, takikardia dan berkeringat.
Gejala putus obat biasanya terjadi 18-36 jam setelah
dosis terakhir, terutama pada pasien yangg mendapar
dosis lebih dari 0,3 mg/hari dan lebih sering lagi bila
betabloker yang diberikan bersamaan juga dihentikan.
o Guanfasin dan Guanabenz. Sifat-sifat farmakologik
dan efek sampingnya mirip dengan klonidin. Efek
antihipertensi Guanabenz mencapai maksimal setelah
2-4 jam setelah pemberian per oral dan menghilang
10 jam kemudian. Bioavaibilitasnya tinggi, waktu
paruh sekitar 6 jam dan sebagian besar obat ini
dimetabolisme. Guanabenz mempunyai waktu paruh
relatif panjang (14-18 jam). Obat ini dieliminasi
melalui ginjal dalam bentuk utuh dan metabolik. Dosis
pemberian 0,5-3 mg/hari, sebaiknya diberikan
sebelum tidur.
Congestive HeartFailure | 27
3. Penghambat Ensim Konversi Angiotensin dan Antagonis Reseptor
Angiotensin II
a. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (SRAA)
SRAA berperan dalam pengaturan tekanan darah dan volume cairan
tubuh. Sistem ini tidak terlalu aktif pada individu dengan volume darah
dan kadar natrium normal, tetapi sangat penting bila ada penurunan
tekanan darah atau deplesi cairan atau garam. Reaksi pertama tubuh
terhadap penurunan volume darah adalah peningkatan sekresi renin dari
sel jusktaglomeruler di arteriol aferen ginjal.Renin adalah enzim
proteolitik yang disintesis oleh sel-sel jusktagglomeruler di ginjal
merupakan penentu aktivitas SRAA. Sekresinya meningkat bila terjadi
penurunan aliran darah ginjal (misalnya akibat penurunan tekanan darah,
stenosis arteri renalis, gagal jantung, perdarahan dan dehidrasi),
hiponatremia (akibat diet rendah garam) dan rangsangan andrenergik
melalui reseptor beta 1.6
Angiotensinogen adalah suatu alfa globulin yang disintesis dalam hati
dan beredar dalam darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen
menjadi angiotensin I yang merupakan hormon yang belum aktif.
Selanjutnya angiotensin I akan diubah oleh angiotensin converting
enzyme (ACE) menjadi angiotensin II yang memiliki efek vasiokontriksi
yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosteron dari korteks adrenal.
ACE disintesis dalam sel-sel endotel seluruh sistem vaskular terutama
dalam sistem kapiler paru-paru dan ginjal. Disamping mengubah
angiotensin I menjadi angiotensin II, ACE juga berperan dalam degradasi
bradikinin menjadi kinin non aktif. Bradikinin merupakan vasodilator
yang poten yang bekerja dengan meningkatkan sintesis EDRF dan
prostasiklin di sel-sel endotel vaskular.
Pada sistem kardiovaskular, angiotensin II menyebabkan vasokontriksi
arteriol dan venula dan meningkatkan kontraksi miokard. Pada sistem
neuroendokrin terjadi stimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal
yang menyebabkan retensi air dan natrium serta eksresi kalium di ginjal.
Selain itu, ditingkat SSP angiotensin II menyebabkan stimulasi rasa haus
dan peningkatan sekresi ADH, sehingga mempertinggi volume cairan
dalam sirkulasi dan memperkuat efek vasokontriksi. Angiotensin II juga
Congestive HeartFailure | 28
meningkatkan sekresi katekolamin dari ujung saraf simpatis dan
menambah efek vasokontriksi dan stimulasi jantung. Semua ini akan
berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dalam jangka panjang
angiotensin II merangsang proliferasi sel otot-otot polos pembuluh darah
dan miokard dan memfasilitasi proses aterosklerosis. Angiotensin II
sendiri menyebabkan reaksi umpan balik negatif di ginjal yang
mengurangi sekresi renin.
4. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan
banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung.
Secara umum ACE-inhibitor dibagi menjadi dua kelompok yaitu 1) yang
bekerja langsung, contohnya kaptopril dan lisinopril. 2) prodrug, contohnya
enalapril, kuinapril, peridopril, ramipril, silazapril, benazepril, fosinopril, dll.
Obat-obat ini dalam tubuh diubah menjadi bentuk aktif yaitu berturut-turut
enalaprilat, kuinaprilat, peridoprilat, ramipilat, silazaprilat, benazeprilat,
fosinprilat, dll.8
ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin
dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor.
Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menybabkan eksresi air dan natrium dan retensi
kalium.ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat.
Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergitik, sedangkan efek
hipokalemia diuretik dapat dicegah. Kombinasi dengan betabloker
memberikan efek adaptif. Kombinasi dengan vasodilator lain, termasuk
prozosin dan antagonis kalsium, memberi efek yang baik. Tetapi pemberian
bersama penghambat adrenergik lain yang menghambat respons adrenergik
alfa dan beta sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat
dan berkepanjangan. ACE-inhibitor terpilih untuk hipertensi dengan gagal
jantung kongestif. Obat ini juga menunjukan efek positif terhadap lipid darah
dan mengurangi resistensi insulin sehingga sangat baik untuk hipertensi pada
diabetes, dislipidemia, dan obesitas. Obat ini juga sering digunakan untuk
Congestive HeartFailure | 29
mengurangi proteinuria pada sindrom nefrotik dan nefropati diabetes melitus.
Selain itu, ACE-inhibitor juga sangat baik untuk hipertensi dengan atropi
ventrikel kiri, PJK, dll.
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat ini diantaranya :7
a. Hipotensi. Dapat terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor, terutama
pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Pemberian harus hati-
hati pada pasien dengan deplesi cairan dan natrium, gagal jantung atau
yang mendapat kombinasi beberapa antihipertensi.
b. Batuk Kering. Merupakan efek samping yang sering terjadi dengan
insidens 5-20%, lebih sering pada wanita dan terjadi pada malam hari.
Diduga efek samping ini ada kaitannya dengan peningkatan kadar
bradikinin dan substansi P, atau prostaglandin. Efek samping ini
bergantung pada besarnya dosis dan bersifat reversibel bila obat
dihentikan.
c. Hiperkalemia. Dapat terjadi pada pasien dnegan gangguan fungsi ginjal
atau pasien yang mengalami diuretik hemat kalium, AINS, suplemen
kalium atau beta bloker.
d. Rash dan gangguan pengecapan lebih sering terjadi dengan kaptopril, tapi
juga dapat terjadi dengan ACE-inhibitor yang lain. Sekitar 10% pemakai
kaptopril mengalami rash makulopapular yang bersifat reversibel pada
penghentian obat atau dengan pemberian antihistamin.
e. Edema angioneurotik terjadi pada 0,1-0,2 % pasien berupa pembengkakan
di hidung, bibir, tenggorokan, laring dan sumbatan jalan nafas yang bisa
berakibat fatal. Efek samping ini terjadi dalam beberapa jam pertama
setelah pemberian ACE-inhibitor. Efek samping yang berat sering
memerlukan epinefrin, antihistamin atau kortikosteroid.
f. Gagal ginjal Akut yang reversibel dapat terjadi pada pasien dengan
stenosis arteri renalis bilateral atau pada satu-satunya ginjal yang
berfungsi. Hal ini disebabkan dominasi ACE-inhibitor pada arteriol eferen
yang menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah sehingga
filtrasi glomerulus semakin menurun.
g. Proteinuria jika pemberian lebih dari 1 gram/hari. Secara umum, ACE-
inhibitor diiindikasikan untuk mengurangi proteinuria, karena obat ini
bersifat renoprotektif pada berbagai kelainan ginjal.
Congestive HeartFailure | 30
h. Eefek teratogenik. Terutama terjadi pada pemberian selama trimester 2
dan 3 kehamilan. Dapat menimbulkan gagal ginjal fetus atau kematian
fetus akibat berbagai kelainan lainnya. Oleh karena itu, begitu ada
kecurigaan kehamilan, maka ACE-inhibitor harus segera dihentikan.
Kaptopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan
bioavaibilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi
absorpsi sekitar 30% oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam
sebelum makan. Sebagian ACE-inhibitor mengalami metabolisme di hati,
kecuali lisinopril yang tidak dimetabolisme. Eliminasi umumnya melalui
ginjal, kecuali fosinopril yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.
ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada wanita hamil karena bersifat
teratogenik. Pemberian ibu menyusui juga kontraindikasi karena ACE-
inhibitor dieksresi melalui ASI dan berakibat buruk terhadap fungsi ginjal
bayi. Dalam JNC VII, ACE-inhibitor diindikasikan untuk hipertensi
dengan penyakit ginjal kronik. Namun harus hati-hati terutama bila ada
hiperkalemia. Kadar kreatinin darah perlu dipantau selama pemberian
ACE-inhibitor. Bila terjadi peningkatan kreatinin, maka obat ini harus
dihentikan. ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis
bilateral atau unilateral pada keadaan ginjal tunggal. Pemberian bersama
diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia. Pemberian
bersama antasida akan mengurangi absorpsi, sedangkan kombinasi dengan
AINS akan mengurangi efek antihipertensinya dan menambah risiko
hiperkalemia.
5. Antagonis Antireseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocer,
ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu reseptor
AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terdapat di otot polos pembuluh darah dan di
otot jantung. Selain terdapat juga di ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor
AT1 memperantarai semua efek fisiologis Angiotensin II terutama yang
berperan dalam homeostasis kardiovaskuler. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang fungsinya belum
jelas.
Congestive HeartFailure | 31
- Losartan merupakan prototipe obat golongan ARB yang bekerja selektif
pada reseptor AT1. pemberian obat ini akan menghambat semua efek
angiotensin II, seperti vasokontriksi, sekresi aldosteron, ranggsangan saraf
simpatis, sekresi vasopresin, rangsangan haus, stimulasi jantung, efek renal
serta efek jangka panjang berupa hipertropi otot polos pembuluh darah dan
miokard. Dengan kata lain, ARB menimbulkan efek yang mirip dengan
ACE-inhibitor. Tapi karena tidak mempengaruhi metabolisme bradikinin,
maka obat ini dilaporkan tidak memiliki efek samping batuk kering dan
angioedema seperti yang sering terjadi pada ACE-inhibitor.
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi dengan kadar renin yang
tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik, tapi kurang
efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah. Pada pasien
dengan hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan.Losartan diabsorpsi
dengan baik melalui saluran cerna dan tidak dipengaruhi oleh adanya
makanan di lambung. Losartan dan metabolitnya tidak dapat menembus
sawar darah otak. Sebagian besar obat dieksresi melalui feses sehingga tidak
diperlukan penyesuaian dosis pada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien
hemodialisis dan pada usia lanjut. Tapi dosis harus disesuaikan pada
gangguan fungsi hepar.7
Efek samping dan perhatian. Hipotensi dapat terjadi pada pasien
dengan kadar renin tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi
renovaskular dan sirosis hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam
keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal atau bila dikombinasi dengan
obat-obat yang cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium
dan AINS. Fetotoksik, seperti ACE-inhibitor, antaggonis reseptor
angiotensin II potensial bersifat fetotoksik sehingga harus dihentikan bila
pemakainya ternyata hamil.Seperti ACE-inhibitor, ARB dikontraindikasikan
pada kehamilan trimester 2 dan 3 dan ibu menyusui. Selain itu juga
dikontraindikasikan pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada
satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.7
Congestive HeartFailure | 32
6. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot pplos
pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium
menimbulkan relaksasi arteriol sedangkan vena kurang dipengaruhi.
Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh refleks takikardia dan
vasokontriksi, terutama bila menggunakan golongan dihidropiridin kerja
pendek (nifedipin). Sedangkan diltiazem dan verapamil tidakm menimbulkan
takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila refleks
takikardia kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian antagonis
kalium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan.Sebagai monoterapi
antagonis kalsium memberikan efektivitas yang sama dengan obat AH lain.
Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar renin
yang rendah seperti pada usia lanjut.Kombinasi dengan ACE-inhibitor,
metildopa atau beta bloker. Bila kombinasi dengan betabloker sebaiknya
dipilih antagonis yang bersifat vaskuloselektif.8
- Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi darurat. Dosis
awal 10 mg akan menurunkan tekanan darah dalam waktu 10 menit dan
dengan efek maksimal setelah 30-40 menit. Untuk mempercepat absorpsi,
obat sebaiknya dikunyah lalu ditelan. Pemberian sublingual tidak
mempercepat pencapaian efek maksimal. Antagonis kalsium tidak
mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula darah
maupun asam urat. Pada pasien dengan PJK, pemakaian nifedipin kerja
singkat dapat meninggikan risiko infark miokard dan stroke iskemik dan
dalam janggka panjang terbukti mempertinggi mortalitas. Oleh karenanya
antagonis kalsiumkerja singkat tidak boleh diberikan pada pasien hipertensi
dengan PJK. Pemakaian dosis tinggi sebaiknya dihindarkan untuk semua
hipertensi.
Nifedipin kerja singkat sering menyebabkan hipotensi
danmenyebabkan iskemia miokard atau serebral. Refleks takikardia dan
palpitasi mempermudah terjadinya serangan angina pada pasien dengan
PJK. Hipotensi sering terjadi pada pasien usia lanjut, keadaan deplesi cairan
dan yang mendapat antihipertensi lain. amlodipin dan nifedipin lepas lambat
dengan mula kerja yang lambat dapat menimbulkan efek samping yang
lebih jarang dan lebih ringan. Sakit kepala, muka merah terjadi karena
Congestive HeartFailure | 33
vasodilatasi arteri meningeal dan di daerah muka. Edema perifer terutama
terjadi oleh dihidropiridin dan yang paling sering adalah Nifedipin. Edema
terjadi akibat dilatasi arteriol yang melebihi dilatasi vena, sehingga
meningkatkan tekanan hidrostatik yang mendorong cairan ke luar ke ruang
interstitial tanpa adanya retensi cairan dan garam.Bradiaritmia dan
gangguan konduksi terjadi akibat verapamil, kurang dengan diltiazem dan
tidak terjadi dengan dihidropiridin. Oleh karena itu verapamil dan diltiazem
tidak boleh diberikan pada pasien dengan bradikardi, blok AV derajat 2 dan
3 dan sick sinus syndrome.
- Efek inotropik negatif, terutama oleh verapamil dan diltiazem dan minimal
oleh dihidropiridin. Hal ini dapat berbahaya jika diberikan pada pasien
dengan gagal jantung. Pada gagal jantung kongestif akut, pemberian
nifedipin masih dapat dibenarkan bila tidak tersedia vasodilator yang lain,
dan amlopidin dianggap aman.
- Verapamil menyebabkan konstipasi, retensi urin akibat relaksasi otot dan
kadang-kadang terjadi refluks esofagus. Hiperplasia gusi dapat terjadi
dengan semua antagonis kalsium.Golongan obat ini menurunkan daya
pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas).
Yang termasuk golongan obat ini adalah : Nifedipin, Diltiasem dan
Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit, pusing,
sakit kepala dan muntah.8
Congestive HeartFailure | 34
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang pasien perempuan 56 tahun di rawat di RSUD Arjawinangun dengan
diagnosis kerja Congestive Heart Failure. Berdasarkan keluhan yaitu sesak nafas
yang dirasakan saat melakukan aktivitas ringan, disertai edema ekstremitas bawah,
konjungtiva anemis, batuk memberat pada malam hari, membutuhkan 3 bantal saat
tidur, pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis 5(+2),
suara jantung irregular disertai gallop (S3), dan rhonki pada basal paru.
Sesuai dengan definisinya yaitukelainan fungsi jantung atau structural jantung
yang mengganggu kemampuan jantung untuk memompakan darah keseluruh tubuh.
Ditunjang dengan gejala klinis yang ditemukan pada pasien sesuai dengan kriteria
Framingham untuk penegakkan diagnosis gagal jantung kongestif.
Congestive HeartFailure | 35
DAFTAR PUSTAKA
Price SA, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta. 2005. Hal. 1345-1360.
Siswanto BB. Gagal jantung. Dalam: Rilantono LI, Rahajoe AU, Karo-
Karo S, Penyunting. Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2012.
Adriaan A. Voors J.Herre Kingma and Wiek H.Drug differences
between ACE-inhibitors in experimental settings and clinical
practice. Department of Clinical Pharmacology, University of
Groningen, the Netherlands. 2006. Hal: 1-22.
Kabo P, Karim S. Gagal Jantung Kongestif. Dalam EKG dan
Penanggulan Beberapa Penyakit Jantung Untuk Dokter Umum.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2000. Hal 187- 205.
Katzung G, Bertram M. Basic and Clinical Pharmacology, 10th
edition. The McGraw-Hill Company, USA. 2007. Hal. 77-79.
Panggabean MM.Gagal Jantung.Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. III.
Internal Publishing, Jakarta. 2009. Hal 1583-1585.
Nafrialdi. Antihipertensi dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Editor Gunawan SG. Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal.
341-360.
Tatro, David S., Pharm D. A to Z Drug Facts, 5th edition, Wolters
Kluwer Health, Inc, USA. 2004. Hal 80-82.
Congestive HeartFailure | 36
Congestive HeartFailure | 37
1Price S A, Lorraine M. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC, Jakarta. 2005. Hal. 1345-1360.2Kabo P, Karim S. Gagal Jantung Kongestif. Dalam EKG dan Penanggulan Beberapa Penyakit Jantung Untuk Dokter Umum. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2000. Hal 187- 205.3Siswanto BB. Gagal jantung. Dalam: Rilantono LI, Rahajoe AU, Karo-Karo S, Penyunting. Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2012.4Panggabean MM. Gagal Jantung. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. III. Internal Publishing, Jakarta. 2009. Hal 1583-1585.5Adriaan A. Voors J. Herre Kingma and Wiek H. Drug differences between ACE-inhibitors in experimental settings and clinical practice. Department of Clinical Pharmacology, University of Groningen, the Netherlands. 2006. Hal: 1-22.6Katzung G, Bertram M. Basic and Clinical Pharmacology, 10th edition. The McGraw-Hill Company, USA. 2007. Hal. 77-79.7Nafrialdi. Antihipertensi dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Editor Gunawan SG. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2007. Hal. 341-360.8Tatro, David S., Pharm D. A to Z Drug Facts, 5th edition, Wolters Kluwer Health, Inc, USA. 2004. Hal 80-82.