preceptorship dan pemenuhan kompetensi perawat

8
5 Preceptorship dan Pemenuhan Kompetensi Perawat Kusnadi Jaya Mahasiswa Prodi Magister Keperawatan FK Undip Konsentrasi Manajamen Keperawatan A. Issue profesionalisme perawat Telah disepakati bersama bahwa kriteria profesional harus didasarkan pada kepemilikan kualifikasi tertentu dan demonstrasi dari keahlian, pengetahuan dan keterampilan yang dipertahankan pada tingkatan tertentu. Untuk itu dibutuhkan sedikitnya dua pendekatan utama untuk mengembangkan profesionalisme klinis, yaitu : 1) pengembangan keprofesian berkelanjutan/continuing professional development yang menekankan perubahan 'bottom-up' pada nilai-nilai, keyakinan dan motivasi sedemikian rupa bahwa belajar dan perubahan adalah sesuatu yang diprioritaskan; dan 2) tata kelola klinik yang baik/good clinical governance, yang pada dasarnya adalah 'top-down', dan dibangun di sekitar standar formal, prosedur yang ditetapkan, dan pemantauan dan pelaporan rutin (Carbon, 2005). Hal ini juga yang diharapkan terjadi pada keperawatan di Indonesia pasca terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Sebagai contoh praktik profesional dalam hal patient safety, perawat diminta untuk mengembangkan Preceptorship dan Pemenuhan Kompetensi Perawat Kusnadi Jaya

Upload: kusnadi-jaya-bin-djohansyah

Post on 14-Sep-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Preceptorship dan Pemenuhan Kompetensi Perawat

Kusnadi JayaMahasiswa Prodi Magister Keperawatan FK UndipKonsentrasi Manajamen Keperawatan

A. Issue profesionalisme perawatTelah disepakati bersama bahwa kriteria profesional harus didasarkan pada kepemilikan kualifikasi tertentu dan demonstrasi dari keahlian, pengetahuan dan keterampilan yang dipertahankan pada tingkatan tertentu. Untuk itu dibutuhkan sedikitnya dua pendekatan utama untuk mengembangkan profesionalisme klinis, yaitu : 1) pengembangan keprofesian berkelanjutan/continuing professional development yang menekankan perubahan 'bottom-up' pada nilai-nilai, keyakinan dan motivasi sedemikian rupa bahwa belajar dan perubahan adalah sesuatu yang diprioritaskan; dan 2) tata kelola klinik yang baik/good clinical governance, yang pada dasarnya adalah 'top-down', dan dibangun di sekitar standar formal, prosedur yang ditetapkan, dan pemantauan dan pelaporan rutin (Carbon, 2005). Hal ini juga yang diharapkan terjadi pada keperawatan di Indonesia pasca terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan. Sebagai contoh praktik profesional dalam hal patient safety, perawat diminta untuk mengembangkan metode mereka sendiri dalam menerapkan tata kelola klinis. Dengan berdasarkan pengalaman praktek yang mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan sendiri, perawat kemudian menentukan kebutuhan belajar mereka dan menjaga portofolio pembelajaran yang dihasilkan dari praktek, refleksi atas pengalaman klinis, pertemuan dalam konteks pendidikan berkelanjutan, membaca jurnal, dan konsul pakar yang kemudian dijadikan kegiatan belajar swakelola dengan refleksi tentang pengalaman dari praktek mereka sendiri. Setiap kasus yang ditangani adalah implementasi dari standar yang telah dibuat, sekaligus sebagai bahan refleksi untuk mengembangkan standar di masa yang akan datang. Dengan demikian tata kelola klinik yang baik dan pengembangan keprofesian berkelanjutan merupakan dua sisi yang saling melengkapi.B. Clinical governance dan preceptorshipBad clinical governance (tata kelola klinis yang buruk) hanya akan menghasilkan kualitas pelayanan yang diterima oleh pasien menjadi buruk, meskipun anggota organisasinya sudah menjalankan peran dengan efektif (Bassett & Westmore, 2012). Karena itu leadership harus dikembangkan untuk dapat mewujudkan tata kelola klinis yang baik dan pendidikan berkelanjutan dalam keperawatan. Untuk itu harus dibangun sebuah sistem yang memungkinkan perawat mentransfer pengalaman-pengalaman klinis di antara sesama perawat maupun kepada mahasiswa keperawatan agar hal itu menjadi refleksi bagi mereka dalam aktifitas belajarnya. Pengalaman klinis yang disupervisi memberikan kesempatan bagi perawat pembelajar untuk mengaplikasikan pengetahuan didaktif mereka kedalam praktik, dan menyerap pengalaman klinis orang lain sebagai bahan refleksi untuk belajar (Brien, 2015). Agar bermakna, maka proses ini harus memanfaatkan prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa, praktik refleksi terhadap pengalaman klinis nyata, serta memberikan kesempatan saling berinteraksi diantara sesama perawat, sesama mahasiswa keperawatan, mahasiswa dengan perawat, melibatkan institusi yang berbeda (Ford et al., 2013). Terkait dengan interaksi perawat dengan mahasiswa keperawatan dalam konteks pembelajaran klinik maka dikenal istilah preceptorship.C. Preceptorship dan continous professional developmentPreceptorship dapat dipahami sebagai hubungan interaksi antara perawat dengan mahasiswa keperawatan dan saling berbagi aktifitas keperawatan yang dilandasi saling percaya. Preceptorship merupakan peran yang komplek dan tingkat ahli (complex and advanced role) untuk seorang perawat yang harus dipersiapkan dengan baik dan terorganisir dalam kolaborasi antara rumah sakit dan institusi pendidikan keperawatan. Program penyiapan preceptor harus difokuskan pada keahlian refleksi, berfikir kritis dan komunikasi (Carlson, 2013). Melalui kegiatan preceptorship ini perawat klinis mengorientasikan mahasiswa terhadap praktik keperawatan secara nyata melalui pengalaman langsung. Dengan kata lain, seorang preceptor mentransformasikan calon perawat agar mampu menjadi perawat klinis dalam situasi klinis yang sesungguhnya. Mengantarkan seorang mahasiswa menjadi seorang profesional yang memiliki kompetensi dengan kualifikasi tertentu, mampu mendemonstrasikan keahlian, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang klinisi dalam aktivitas klinisnya sebagai seorang perawat.Namun demikian ternyata tidak semua preceptor memiliki pemahaman yang baik tentang preceptorship, sedangkan institusi pendidikan seringkali menaruh harapan yang sangat tinggi terhadap peran preceptor dalam mendidik mahasiswa di lahan klinik (Brooks & Niederhauser, 2010; Josephsen, 2013; Kelly & McAllister, 2013). Agar proses pembelajaran klinik benar-benar berjalan sesuai dengan prinsip student-centered learning maka seorang preceptor membutuhkan kompetensi-kompetensi pendidik, seperti : 1) melakukan evaluasi; 2) mendesain tujuan pembelajaran dan pengajaran individual; 3) strategi mengajar; dan 4) mengorganisasikan pengetahuan (Hsu, Hsieh, Chiu, & Chen, 2014). Selain itu, agar lingkungan belajar klinik menjadi konstruktif, maka dibutuhkan seorang preceptor yang bersahabat, mudah didekati, selalu siap dan mau mengajarkan sesuatu kepada mahasiswa. Mahasiswa juga harus diberikan kesempatan mengembangkan rasa percaya diri dan kompetensi yang berfokus pada kebutuhan belajarnya sendiri, bukan hanya mengerjakan tugas-tugas pelayanan (Maginnis & Croxon, 2007). Seluruh atribut preceptor diatas diharapkan dapat menolong mahasiswa untuk merasakan pengalaman menjadi perawat dan merubah persepsi mereka tentang bagaimana pelayanan keperawatan diberikan dalam lingkungan klinik. Pengalaman dan persepsi tadi akan membuat mahasiswa mengambil keputusan untuk melanjutkan berkarir sebagai seorang perawat. Memilih area peminatan mana yang akan didalami untuk menjadi klinisi yang qualified. Dengan demikian preceptor yang baik adalah seorang fasilitator yang membantu mahasiswa memutuskan arah pengembangan karir yang akan dipilihnya setelah menjadi klinisi sesungguhnya. Inilah yang akan membantu mahasiswa membuat goal setting dari pembelajaran kliniknya, mengidentifikasi kebutuhan belajarnya sendiri, serta mengidentifikasi keahlian, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi kompeten dalam area tersebut.D. ConclusionKapasitas mahasiswa yang didapatkan sebagai hasil dari kegiatan preceptorship akan berguna bagi saat mereka menjadi klinisi. Mereka akan terbiasa untuk merefleksikan praktik yang dilakukannya untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan belajar baru dalam jenjang karir klinisnya sehingga tujuan akhir dari pengembangan profesional berkelanjutan dapat terlaksana dengan baik. Dengan demikian, terbatasnya waktu interaksi dalam sebuah hubungan preceptorship harus diarahkan untuk membangun kesadaran mahasiswa terhadap orientasi karir kedepan. Bukan hanya belajar kompetensi-kompetensi klinis tertentu saja sebab seiring waktu dan kemajuan riset, kompetensi-kompetensi tersebut akan terus berkembang. Agar perawat dapat terintegrasi dalam perkembangan klinis yang terjadi seiring perkembangan riset dan konsep keilmuan tersebut, maka sejak dini mereka harus memiliki kemampuan untuk berubah agar senantiasa mampu memenuhi unsur-unsur kompetensi klinis yang juga berkembang seiring waktu. Inilah yang harus diwujudkan dalam sebuah hubungan preceptorship.

Kepustakaan Bassett, S., & Westmore, K. (2012). How nurse leaders can foster a climate of good governance. Nursing Management, 19(5), 2224. http://doi.org/10.7748/nm2012.09.19.5.22.c9261Brien, M. O. (2015). Development of Clinical Sites. AANA Journal, 83(1), 1721.Brooks, M. V., & Niederhauser, V. P. (2010). Preceptor expectations and issues with nurse practitioner clinical rotations. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners, 22(11), 573579. http://doi.org/10.1111/j.1745-7599.2010.00560.xCarbon, C. (2005). Continuing professional development and clinical governance: the role of scientific societies. Clinical Microbiology and Infection: The Official Publication of the European Society of Clinical Microbiology and Infectious Diseases, 11 Suppl 1, 2427.Carlson, E. (2013). Precepting and symbolic interactionism - a theoretical look at preceptorship during clinical practice. Journal of Advanced Nursing, 69(2), 457464. http://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2012.06047.xFord, C. R., Foley, K. T., Ritchie, C. S., Sheppard, K., Sawyer, P., Swanson, M., Brown, C. J. (2013). Creation of an interprofessional clinical experience for healthcare professions trainees in a nursing home setting. Medical Teacher, 35(7), 544548. http://doi.org/10.3109/0142159X.2013.787138Hsu, L. L., Hsieh, S. I., Chiu, H. W., & Chen, Y. L. (2014). Clinical teaching competence inventory for nursing preceptors: instrument development and testing. Contemporary Nurse, 46(2), 214224. http://doi.org/10.5172/conu.2014.46.2.214Josephsen, J. M. (2013). Evidence-Based Reflective Teaching Practice: A Preceptorship Course Example. Nursing Education Perspectives, 34(1), 811.Kelly, J., & McAllister, M. (2013). Lessons students and new graduates could teach: A phenomenological study that reveals insights on the essence of building a supportive learning culture through preceptorship. Contemporary Nurse, 44(2), 170177. http://doi.org/10.5172/conu.2013.44.2.170Maginnis, C., & Croxon, L. (2007). Clinical teaching model for nursing practice. Australian Journal of Rural Health, 15(3), 218219. http://doi.org/10.1111/j.1440-1584.2007.00888.x

Preceptorship dan Pemenuhan Kompetensi PerawatKusnadi Jaya