praktik an ham terhadap perempuan kelompok rentan di indonesia

16
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 4 dari 6 instrumen pokok HAM intemasional. 1 Indonesia juga menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan Intemasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Intemasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A). Namun, sayangnya belum ada satu komitmen terlebih lagi upaya nyata untuk melindungi hak hak asasi perempuan kelompok rentan di Indonesia. Berdasarkan Pasal 8 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab 1 yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan clan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1

Upload: diduga-mirip-izul

Post on 27-Jun-2015

619 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 4 dari 6 instrumen pokok HAM

intemasional.1 Indonesia juga menandatangani Protokol Tambahan Konvensi

Hak Anak dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan

Intemasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Intemasional Hak-Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah

peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya

trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden

No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002

tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan

Anak (P3A). Namun, sayangnya belum ada satu komitmen terlebih lagi upaya

nyata untuk melindungi hak hak asasi perempuan kelompok rentan di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 8 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (HAM), perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan

HAM merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.

Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di

Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian

dari seluruh elemen bangsa. Dalam Garis Garis Besar Haluan Negara 1999 -

2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari pembangunan nasional adalah

menempatkan HAM dan supremasi hukum sebagai suatu bidang pembangunan

yang mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu diperlukan perwujudan

sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM

yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.

1 yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan clan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

1

Page 2: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

Memang pada satu sisi Pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai

peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti

konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap

perempuan dan lain-lain. Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi empat dari

enam instrumen pokok HAM intemasional, yaitu Konvensi Penghapusan

Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang

Penyiksaan clan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.

Indonesia telah pula menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak

dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap

Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan

Intemasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Intemasional Hak-Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah peraturan untuk melindungi hak-

hak perempuan dan anak dari upaya-upaya trafickking yaitu dengan Undang-

Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden

No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk

Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No.87 tahun 2002 tentang

Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak

(PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi

Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A).

Dalam hal kelembagaan, Komisi Nasional HAM telah dibentuk pada tahun

1993 dengan Keputusan Presiden No.50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan

dengan Undang-Undang No.39 tahun 1999, Komisi Anti Kekerasan terhadap

Perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden no.181

tahun 1998, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun 2003

melalui Keputusan Presiden no. 77 tahun 2003. Tetapi pada sisi lain, masyarakat

belum terdukung secara menyeluruh melalui komitmen Pemerintah yang kuat

untuk menerapkan instrumen-instrumen tersebut. Sehingga sudah jadi rahasia

umum kalau hak-hak asasi di Indonesia, terutama Kelompok Rentan belum

sepenuhnya terpenuhi.

Padahal gagalnya pemenuhan dan jaminan perlindungan HAM oleh negara

merupakan tindakan pelanggaran HAM itu sendiri. Selaku penandatangan

Deklarasi Pembela HAM maka Indonesia bertanggungjawab melaksanakan dan

2

Page 3: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

menghormati semua ketentuan-ketentuan deklarasi tersebut, khususnya pada

pasal 2, 9, 12, 14 dan 15 yaitu secara garis besar mencakup:

1) Melindungi, memajukan dan melaksanakan seluruh hak asasi manusia;

2) Memastikan bahwa semua individu di dalam yuridiksi hukumnya dapat memperoleh penikmatan seluruh hak-hak sosial, ekonomi, politik dan hak-hak lain serta kebebasan dalam pelaksanaannya;

3) Melaksanakan dan merancang langkah-langkah legislatif, administratif maupun lainnya yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan efektif atas HAM dan kebebasan;

4) Menyediakan penyelesaian yang efektif bagi individu yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM;

5) Mendorong pemahaman masyarakat umum terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;

6) Mendorong dan memfasilitasi pengajaran mengenai HAM pada setiap tingkat pada pendidikan formal maupun pelatihan profesional.

Dan yang terpenting dan harus diperhatikan adalah ketentuan dalam pasal

12 ayat 2 dari Deklarasi Pembela HAM, yang menyatakan bahwa: Negara

diharapkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin

perlindungan oleh aparat berwenang yang terkait kepada seseorang, baik secara

individual maupun kelompok, terhadap segala bentuk kekerasan, ancaman,

pembalasan, diskriminasi yang tidak menyenangkan baik secara de facto atau de

jure, tekanan atau tindakan sepihak lainnya sebagai akibat dari pelaksanaan

hak-hak yang sah sebagaimana termaktub dalam Deklarasi saat ini).

B. Tujuan Penulisan

Secara subyektif, penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas

Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Hukum Hak Asasi Manusia. Adapun

secara obyektif makalah ini disusun untuk mengetahui bagaimana penegakan

hukum dalam rangka perlindungan HAM anak dan perempuan yang menjadi

korban trafficking.

C. Manfaat Penulisan

Melalui makalah ini diharapkan penulis maupun pembaca memperdalam

pemahaman serta memperkaya wawasan mengenai perlindungan HAM untuk

perempuan sebagai salah satu kelompok rentan di Indonesia.

3

Page 4: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

BAB II

BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH

A. Batasan Masalah

Keberadaan kelompok rentan yang diantaranya mencakup anak-anak dan

perempuan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif

untuk melindungi seluruh hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui

penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Apabila Hak Asasi orang-orang

yang diposisikan sebagai masyarakat Kelompok Rentan belum terpenuhi secara

maksimal, akan membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya,

serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.

Apalagi selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada

pemenuhan dan perlindungan Ham yang termaktub dalam kovenan Hak-Hak

Sipil Politik dan kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan

pihak hak-hak yang terdapat didalam komunitas masyarakat rentan belum

mendapatkan prioritas dari kebijakan tersebut. Sedangkan permasalahan yang

mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya

penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak anak, kelompok

perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas dalam perspektif

HAM.

Tidak mengherankan jika kemudian muncul kelemahan penegakan hukum

dapat disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang kurang responsif

dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai

konsekuensi logis akibat kurangnya penelitian sebelum menyusun suatu

rancangan peraturan perundang-undangan.

Ironis mengingat di bidang kelembagaan, Indonesia merupakan satu dari

sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM.2 Demikian halnya di

bidang penegakan HAM dari aspek hukum, Indonesia merupakan salah satu dari

hanya sedikit yang memiliki pengadilan HAM. Selain itu telah berdiri pula Pusat-

pusat Kajian HAM di sejumlah perguruan tinggi.

2 RANHAM ke-1 periode 1998-2003 dan RANHAM ke-2 periode 2004-2009

4

Page 5: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

Kondisi seperti ituah yang melatari penulis memandang perlu mengangkat

tema ini dalam sebuah karya tulis hukum. Sudah mutlak diperlukan perumusan

suatu mekanisme pelaksanaan yang efektif untuk melindungi hak-hak warga

masyarakat, kelompok rentan, terutama perempuan dan anak dari praktik-praktik

pelanggaran HAM.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalahnya akan tertuang dalam bentuk menjawab dua

pertanyaan pokok, yaitu:

1. Bagaimana kondisi obyektif perempuan kelompok rentan di Indonesia?

2. Bagaimana seharusnya praktik perlindungan HAM terhadap perempuan

kelompok rentan di Indonesia?

5

Page 6: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

BAB III

ANALISIS MASALAH

A. Kondisi Obyektif Perempuan Kelompok Rentan

Pengertian Perempuan Kelompok Rentan tidaklah dirumuskan eksplisit

dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang

termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan

perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Barulah dalam

Penjelasan pasal 5 ayat (3) tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-

anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.

Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999

disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-

anak, fakir-miskin, perempuan hamil, dan penyandang cacat. Oleh karena itu

secara eksplisit hanya perempuan hamil yang termasuk Kelompok Rentan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai:

(1) mudah terkena penyakit; dan

(2) peka, mudah merasa.3

Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,

sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga

diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua

merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai

kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.

Senada dengan penjelasan pasal 5 ayat (3) UU nomor 39 tahun 1999, van

Genugten dalam Human Rights Reference menyebutkan, bahwa yang tergolong

Kelompok Rentan adalah:4

1) Pengungsi,

2) Penyandang Cacat;

3) Kaum Minoritas,

3 Kamus Besar Bahasa lndonesia, edisi ketiga, 2001, hlm. 948.4 Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, (Den Haah: Kementrian Luar Negeri Belanda, 1994), hlm. 73

6

Page 7: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

4) Pekerja Migran;

5) Penduduk Pribumi, Anak; dan

6) Perempuan.

Secara empiris pelanggaran HAM sudah lama berlangsung terhadap

perempuan kelompok rentan, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya,

mulai dari isu domestik seperti kekerasan suami terhadap istri dalam bentuk

kekerasan rumah tangga (KDRT) akibat kehamilan yang tak diinginkan, hingga

beragam pelanggaran lainnya seperti minimnya perhatian pemerintah di bidang

akses kesehatan, ketiadaan fasilitas umum bagi perempuan hamil, pemotongan

upah pekerja perempuan akibat penurunan kinerja karena sedang hamil oleh

kalangan industri, dan lain sebagainya.

Memang, kehadiran UU penghapusan KDRT harus diapresiasi karena mulai

mengikis opini yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bahwa kekerasan

yang terjadi dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar.

Akan tetapi, pemenuhan hak kaum perempuan kelompok rentan tidak hanya

terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangganya, melainkan juga

berhubungan dengan reproduksi perempuan. Terlebih di Indonesia, secara

sosiologis, sebagian besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh budaya

masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat kuat, yang mengindikasikan

bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu rumah tangga semata.

Sehingga kekerasan itu akan berlanjut terus tanpa seorangpun mencegahnya.

Padahal kekerasan dalam bentuk penganiayaan dalam lingkungan keluarga

sekalipun merupakan suatu pelanggaran hukum sebagaimana telah diatur dalam

undang undang berikut sanksinya.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kalyanamitra tahun 1996 tercatat

situasi kesehatan reproduksi perempuan yang tergolong miskin masih

memprihatinkan, meski telah banyak usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf

kesehatan ibu dan anak. Di samping itu terdapat fenomena semakin

meningkatnya kasus aborsi/illegal di kalangan masyarakat. Diperkirakan akhir

tahun 2002 terdapat sekitar tiga juta kasus aborsi, baik yang legal maupun

illegal. Angka kematian Ibu juga masih relatif tinggi, yaitu 350 per 100.000

kelahiran.

7

Page 8: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

B. Praktik Perlindungan Terhadap Perempuan Kelompok Rentan

Bukti-bukti empiris diatas menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari

kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya

perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak

dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada

beberapa kendala yang antara lain berupa kurangnya koordinasi antar instansi

pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang

masih dialami masyarakat. Kelompok Perempuan Rentan. Dibandingkan dengan

payung hukum terhadap isu trafickking saja payung hukum terhadap perempuan

kelompok rentan ini jauh tertinggal. Contohnya, Indonesia mengadopsi sejumlah

peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya

trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional

Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden

No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi

Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002

tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan

Anak (P3A).

Masalah kekerasan terhadap kemanusiaan, khususnya perempuan sebagai

kelompok rentan seharusnya menjadi perhatian dan kepedulian banyak pihak.

Kekerasan terhadap perempuan baik di dalam maupun di luar rumah tangga

merupakan suatu pelanggaran HAM dan di banyak negara dikategorikan sebagai

kejahatan. Ironisnya pencegahannya tidak dapat sepenuhnya dilakukan para

petugas penegak hukum karena berbagai kebijakan yang mengatur tindak

kekerasan belum sepenuhnya memayungi kelompok rentan ini.

Misalnya saja tidak setiap perbuatan kekerasan dapat dijerat dengan pasal-

pasal dalam UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Perbuatan

kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dikaitkan dengan UU tersebut

apabila hal itu dilakukan dalam lingkup rumah tangga, yaitu: perbuatan itu

mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan

untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada

seseorang.5 Selain itu juga terkait dengan ketentuan berikutnya yaitu

5 Pasal 7

8

Page 9: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

"pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

tangganya dengan orang; lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu".6

Dalam hal ini, pelaku melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan

keuntungan komersial atas perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang

berada di dalam lingkup rumah tangga. Dan, kelemahan dasar pengguanan UU

PKDRT ini sebagai payung hukum adalah, ketentuan dalam UU ini tidak dapat

dikenakan kepada perdagangan perempuan dan anak yang terjadi di luar rumah

tangga.

Atas dasar pemikiran itulah perlu aturan atau hukum yang secara khusus

untuk memberikan hak yang secara khusus untuk memberikan perlindungan

terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam arti kelompok rentan

yang merumuskan tindak pidana sebagai kejahatan sampai dengan upaya

hukum bagi para korban dan saksi. Dalam hal ini tidak hanya pengaturan dalam

pemberian sanksi kepada para pelaku, tapi juga mengatur tentang proses

tuntutan hukum serta kompensasi, pemulihan dan pengamanan diri korban.

Beruntung, menyadari bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat

Internasional yang terikat komitmen Internasional, Indonesia menandatangani

CEDAW (Convention on Elimination of all Forum of Discrimination Against

Women), yaitu Konvensi PBB tentang penghapusan terhadap semua bentuk

diskriminasi terhadap perempuan, pada tanggal 24 Juli 1984. Melalui komitmen

itu maka pemerintah Indonesia terikat dan tunduk pada konvensi tersebut dan

menjadikannya sebagai instrumen hukum nasional yang sah dan mengikat

sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang dikenal dengan Konvensi

Perempuan.

Konkritnya, dalam Pasal 5 Konvensi Perempuan tersebut dinyatakan bahwa

adanya jaminan persamaan tingkah laku, baik sosial dan budaya, antara laki-Iaki

dan perempuan untuk mencapai penghapusan prasangka, kebiasaan dan segala

praktek yang menimbulkan penindasan salah satu jenis kelamin. Disamping itu,

Pasal 15 juga menyatakan bahwa negara juga menjamin dan mewajibkan

persamaan laki-Iaki dan perempuan dihadapan hukum.

Di bidang kesehatan reproduksi, Pasal 12 menetapkan bahwa negara-

negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk

6 Pasal 8 ayat (2)

9

Page 10: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang pemeliharaan kesehatan, dan

supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang

berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara pria

dan wanita.

Dalam kerangka kebijakan nasional yang berkaitan dengan tindak kekerasan

terhadap perempuan, perlu didasari oleh Zero Tolerance Policy artinya tidak ada

tindak kekerasan pada apapun yang dapat diterima. Hal ini berarti bahwa

kebijakan sosial (Social Policy) dan kebijakan penegakan hukum (Law

Enforcement Policy) yang menghormati dan melindungi harkat, martabat dan

kodrat perempuan adalah sarana guna memerangi tindak kekerasan terhadap

perempuan.

Berbagai kerjasama Internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan

HAM dilakukan pemerintah RI. Beberapa diantaranya adalah Penyelenggaraan

Lokakarya HAM Regional Kedua untuk kawasan Asia Pasifik tahun 1993 dan

MOU Pemri - KTHAM di bidang kerjasama teknik di bidang HAM tahun 1998. Di

tingkat ASEAN, sejak tahun 1993 Indonesia menjadi salah satu pelopor bagi

upaya pembentukan mekanisme HAM ASEAN dan telah dua kali menjadi tuan

rumah Lokakarya Kelompok Kerja Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN.

Indonesia juga mendorong kerjasama bilateral dalam upaya pemajuan HAM

dengan Kanada, Norwegia dan Perancis, dalam rangka ASEM bersama Swedia,

Perancis dan China serta kerjasama Plurilateral bersama China, Kanada dan

Norwegia. Diharapkan pada gilirannya nanti kerjasama-kerjasama internasional

tersebut meliputi pula agenda perlindungan HAM bagi perempuan kelompok

rentan, khususnya di Indonesia.

IV

PENUTUP

10

Page 11: Praktik an HAM Terhadap Perempuan Kelompok Rentan Di Indonesia

A. Kesimpulan

Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada sebenarnya sudah cukup

memadai untuk menyelesaikan persoalan penegakan hukum HAM. Pemenuhan

dan perlindungan HAM terhadap kelompok perempuan rentan belum

sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan

hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum

maksimal disamping penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat

perundang-undangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat,

khususnya perempuan Kelompok Rentan. Atas dasar pemikiran itulah perlu

aturan atau hukum yang secara khusus untuk memberikan hak yang secara

khusus untuk memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan terhadap

perempuan dalam arti kelompok rentan yang merumuskan tindak pidana sebagai

kejahatan sampai dengan upaya hukum bagi para korban dan saksi. Dalam hal

ini tidak hanya pengaturan dalam pemberian sanksi kepada para pelaku, tapi

juga mengatur tentang proses tuntutan hukum serta kompensasi, pemulihan dan

pengamanan diri korban.

B. Saran-Saran

1) Perlu penegakan hukum (Law Enforcement) dari instansi pemerintah

yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan

perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan

HAM bagi perempuan Kelompok Rentan.

2) Dipandang mendesak untuk melakukan harmonisasi peraturan

perundang-undangan yang menyangkut hak-hak perempuan Kelompok

Rentan dengan mengakomodasikan perspektif HAM dalam peraturan

perundang-undangan.

3) Perlu peningkatan penyuluhan hukum dan HAM kepada aparatur

pemerintah yang menangani masalah kelompok rentan dan kelompok-

kelompok strategis lainnya, seperti pemuka masyarakat, tokoh-tokoh

agama dan Lepmbaga Swadaya Masyarakat (LSM).

11