BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi 4 dari 6 instrumen pokok HAM
intemasional.1 Indonesia juga menandatangani Protokol Tambahan Konvensi
Hak Anak dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan
Intemasional Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Intemasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah
peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya
trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden
No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak (P3A). Namun, sayangnya belum ada satu komitmen terlebih lagi upaya
nyata untuk melindungi hak hak asasi perempuan kelompok rentan di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 8 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM), perlindungan; pemajuan; penegakan; dan pemenuhan
HAM merupakan tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat.
Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di
Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian
dari seluruh elemen bangsa. Dalam Garis Garis Besar Haluan Negara 1999 -
2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari pembangunan nasional adalah
menempatkan HAM dan supremasi hukum sebagai suatu bidang pembangunan
yang mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu diperlukan perwujudan
sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
1 yaitu Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang Penyiksaan clan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
1
Memang pada satu sisi Pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan dan meratifikasi berbagai konvensi, seperti
konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dan lain-lain. Hingga saat ini Indonesia telah meratifikasi empat dari
enam instrumen pokok HAM intemasional, yaitu Konvensi Penghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Menentang
Penyiksaan clan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial.
Indonesia telah pula menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak
dan Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap
Perempuan. Indonesia saat ini sedang dalam proses meratifikasi Kovenan
Intemasional Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Intemasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Indonesia telah pula mengadopsi sejumlah peraturan untuk melindungi hak-
hak perempuan dan anak dari upaya-upaya trafickking yaitu dengan Undang-
Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Keputusan Presiden
No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden No.87 tahun 2002 tentang
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak
(PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi
Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (P3A).
Dalam hal kelembagaan, Komisi Nasional HAM telah dibentuk pada tahun
1993 dengan Keputusan Presiden No.50 tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan
dengan Undang-Undang No.39 tahun 1999, Komisi Anti Kekerasan terhadap
Perempuan telah dibentuk pada tahun 1998 dengan Keputusan Presiden no.181
tahun 1998, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibentuk pada tahun 2003
melalui Keputusan Presiden no. 77 tahun 2003. Tetapi pada sisi lain, masyarakat
belum terdukung secara menyeluruh melalui komitmen Pemerintah yang kuat
untuk menerapkan instrumen-instrumen tersebut. Sehingga sudah jadi rahasia
umum kalau hak-hak asasi di Indonesia, terutama Kelompok Rentan belum
sepenuhnya terpenuhi.
Padahal gagalnya pemenuhan dan jaminan perlindungan HAM oleh negara
merupakan tindakan pelanggaran HAM itu sendiri. Selaku penandatangan
Deklarasi Pembela HAM maka Indonesia bertanggungjawab melaksanakan dan
2
menghormati semua ketentuan-ketentuan deklarasi tersebut, khususnya pada
pasal 2, 9, 12, 14 dan 15 yaitu secara garis besar mencakup:
1) Melindungi, memajukan dan melaksanakan seluruh hak asasi manusia;
2) Memastikan bahwa semua individu di dalam yuridiksi hukumnya dapat memperoleh penikmatan seluruh hak-hak sosial, ekonomi, politik dan hak-hak lain serta kebebasan dalam pelaksanaannya;
3) Melaksanakan dan merancang langkah-langkah legislatif, administratif maupun lainnya yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan efektif atas HAM dan kebebasan;
4) Menyediakan penyelesaian yang efektif bagi individu yang menyatakan dirinya sebagai korban pelanggaran HAM;
5) Mendorong pemahaman masyarakat umum terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
6) Mendorong dan memfasilitasi pengajaran mengenai HAM pada setiap tingkat pada pendidikan formal maupun pelatihan profesional.
Dan yang terpenting dan harus diperhatikan adalah ketentuan dalam pasal
12 ayat 2 dari Deklarasi Pembela HAM, yang menyatakan bahwa: Negara
diharapkan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin
perlindungan oleh aparat berwenang yang terkait kepada seseorang, baik secara
individual maupun kelompok, terhadap segala bentuk kekerasan, ancaman,
pembalasan, diskriminasi yang tidak menyenangkan baik secara de facto atau de
jure, tekanan atau tindakan sepihak lainnya sebagai akibat dari pelaksanaan
hak-hak yang sah sebagaimana termaktub dalam Deklarasi saat ini).
B. Tujuan Penulisan
Secara subyektif, penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
Ujian Akhir Semester pada mata kuliah Hukum Hak Asasi Manusia. Adapun
secara obyektif makalah ini disusun untuk mengetahui bagaimana penegakan
hukum dalam rangka perlindungan HAM anak dan perempuan yang menjadi
korban trafficking.
C. Manfaat Penulisan
Melalui makalah ini diharapkan penulis maupun pembaca memperdalam
pemahaman serta memperkaya wawasan mengenai perlindungan HAM untuk
perempuan sebagai salah satu kelompok rentan di Indonesia.
3
BAB II
BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
A. Batasan Masalah
Keberadaan kelompok rentan yang diantaranya mencakup anak-anak dan
perempuan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif
untuk melindungi seluruh hak-hak dan kepentingan-kepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Apabila Hak Asasi orang-orang
yang diposisikan sebagai masyarakat Kelompok Rentan belum terpenuhi secara
maksimal, akan membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya,
serta secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
Apalagi selama ini kebijakan pemerintah lebih banyak berorientasi kepada
pemenuhan dan perlindungan Ham yang termaktub dalam kovenan Hak-Hak
Sipil Politik dan kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Sedangkan
pihak hak-hak yang terdapat didalam komunitas masyarakat rentan belum
mendapatkan prioritas dari kebijakan tersebut. Sedangkan permasalahan yang
mendasar di dalam komunitas masyarakat rentan adalah belum terwujudnya
penegakan perlindungan hukum yang menyangkut hak-hak anak, kelompok
perempuan rentan, penyandang cacat dan kelompok minoritas dalam perspektif
HAM.
Tidak mengherankan jika kemudian muncul kelemahan penegakan hukum
dapat disebabkan karena peraturan perundang-undangan yang kurang responsif
dan aspiratif terhadap kebutuhan perlindungan dan pemenuhan HAM sebagai
konsekuensi logis akibat kurangnya penelitian sebelum menyusun suatu
rancangan peraturan perundang-undangan.
Ironis mengingat di bidang kelembagaan, Indonesia merupakan satu dari
sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM.2 Demikian halnya di
bidang penegakan HAM dari aspek hukum, Indonesia merupakan salah satu dari
hanya sedikit yang memiliki pengadilan HAM. Selain itu telah berdiri pula Pusat-
pusat Kajian HAM di sejumlah perguruan tinggi.
2 RANHAM ke-1 periode 1998-2003 dan RANHAM ke-2 periode 2004-2009
4
Kondisi seperti ituah yang melatari penulis memandang perlu mengangkat
tema ini dalam sebuah karya tulis hukum. Sudah mutlak diperlukan perumusan
suatu mekanisme pelaksanaan yang efektif untuk melindungi hak-hak warga
masyarakat, kelompok rentan, terutama perempuan dan anak dari praktik-praktik
pelanggaran HAM.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya akan tertuang dalam bentuk menjawab dua
pertanyaan pokok, yaitu:
1. Bagaimana kondisi obyektif perempuan kelompok rentan di Indonesia?
2. Bagaimana seharusnya praktik perlindungan HAM terhadap perempuan
kelompok rentan di Indonesia?
5
BAB III
ANALISIS MASALAH
A. Kondisi Obyektif Perempuan Kelompok Rentan
Pengertian Perempuan Kelompok Rentan tidaklah dirumuskan eksplisit
dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Barulah dalam
Penjelasan pasal 5 ayat (3) tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-
anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat.
Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun 1999
disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-
anak, fakir-miskin, perempuan hamil, dan penyandang cacat. Oleh karena itu
secara eksplisit hanya perempuan hamil yang termasuk Kelompok Rentan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai:
(1) mudah terkena penyakit; dan
(2) peka, mudah merasa.3
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri,
sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga
diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua
merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai
kelompok lemah sehingga mudah dipengaruhi.
Senada dengan penjelasan pasal 5 ayat (3) UU nomor 39 tahun 1999, van
Genugten dalam Human Rights Reference menyebutkan, bahwa yang tergolong
Kelompok Rentan adalah:4
1) Pengungsi,
2) Penyandang Cacat;
3) Kaum Minoritas,
3 Kamus Besar Bahasa lndonesia, edisi ketiga, 2001, hlm. 948.4 Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, (Den Haah: Kementrian Luar Negeri Belanda, 1994), hlm. 73
6
4) Pekerja Migran;
5) Penduduk Pribumi, Anak; dan
6) Perempuan.
Secara empiris pelanggaran HAM sudah lama berlangsung terhadap
perempuan kelompok rentan, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya,
mulai dari isu domestik seperti kekerasan suami terhadap istri dalam bentuk
kekerasan rumah tangga (KDRT) akibat kehamilan yang tak diinginkan, hingga
beragam pelanggaran lainnya seperti minimnya perhatian pemerintah di bidang
akses kesehatan, ketiadaan fasilitas umum bagi perempuan hamil, pemotongan
upah pekerja perempuan akibat penurunan kinerja karena sedang hamil oleh
kalangan industri, dan lain sebagainya.
Memang, kehadiran UU penghapusan KDRT harus diapresiasi karena mulai
mengikis opini yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bahwa kekerasan
yang terjadi dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar.
Akan tetapi, pemenuhan hak kaum perempuan kelompok rentan tidak hanya
terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangganya, melainkan juga
berhubungan dengan reproduksi perempuan. Terlebih di Indonesia, secara
sosiologis, sebagian besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh budaya
masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat kuat, yang mengindikasikan
bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu rumah tangga semata.
Sehingga kekerasan itu akan berlanjut terus tanpa seorangpun mencegahnya.
Padahal kekerasan dalam bentuk penganiayaan dalam lingkungan keluarga
sekalipun merupakan suatu pelanggaran hukum sebagaimana telah diatur dalam
undang undang berikut sanksinya.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kalyanamitra tahun 1996 tercatat
situasi kesehatan reproduksi perempuan yang tergolong miskin masih
memprihatinkan, meski telah banyak usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf
kesehatan ibu dan anak. Di samping itu terdapat fenomena semakin
meningkatnya kasus aborsi/illegal di kalangan masyarakat. Diperkirakan akhir
tahun 2002 terdapat sekitar tiga juta kasus aborsi, baik yang legal maupun
illegal. Angka kematian Ibu juga masih relatif tinggi, yaitu 350 per 100.000
kelahiran.
7
B. Praktik Perlindungan Terhadap Perempuan Kelompok Rentan
Bukti-bukti empiris diatas menunjukan bahwa masih dijumpai keadaan dari
kelompok rentan yang belum sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Upaya
perlindungan guna mencapai pemenuhan hak kelompok rentan telah banyak
dilakukan Pemerintah bersama masyarakat, namun masih dihadapkan pada
beberapa kendala yang antara lain berupa kurangnya koordinasi antar instansi
pemerintah, belum terlaksananya sosialisasi dengan baik, dan kemiskinan yang
masih dialami masyarakat. Kelompok Perempuan Rentan. Dibandingkan dengan
payung hukum terhadap isu trafickking saja payung hukum terhadap perempuan
kelompok rentan ini jauh tertinggal. Contohnya, Indonesia mengadopsi sejumlah
peraturan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dari upaya-upaya
trafiking yaitu dengan Undang-Undang No.32 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Keputusan Presiden No.59 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Anak, Keputusan Presiden
No.87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi
Seksual Komersial Anak (PESKA) dan Keputusan Presiden No.88 tahun 2002
tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan
Anak (P3A).
Masalah kekerasan terhadap kemanusiaan, khususnya perempuan sebagai
kelompok rentan seharusnya menjadi perhatian dan kepedulian banyak pihak.
Kekerasan terhadap perempuan baik di dalam maupun di luar rumah tangga
merupakan suatu pelanggaran HAM dan di banyak negara dikategorikan sebagai
kejahatan. Ironisnya pencegahannya tidak dapat sepenuhnya dilakukan para
petugas penegak hukum karena berbagai kebijakan yang mengatur tindak
kekerasan belum sepenuhnya memayungi kelompok rentan ini.
Misalnya saja tidak setiap perbuatan kekerasan dapat dijerat dengan pasal-
pasal dalam UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Perbuatan
kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dikaitkan dengan UU tersebut
apabila hal itu dilakukan dalam lingkup rumah tangga, yaitu: perbuatan itu
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.5 Selain itu juga terkait dengan ketentuan berikutnya yaitu
5 Pasal 7
8
"pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang; lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu".6
Dalam hal ini, pelaku melakukannya dengan tujuan untuk mendapatkan
keuntungan komersial atas perbuatan yang dilakukan terhadap orang yang
berada di dalam lingkup rumah tangga. Dan, kelemahan dasar pengguanan UU
PKDRT ini sebagai payung hukum adalah, ketentuan dalam UU ini tidak dapat
dikenakan kepada perdagangan perempuan dan anak yang terjadi di luar rumah
tangga.
Atas dasar pemikiran itulah perlu aturan atau hukum yang secara khusus
untuk memberikan hak yang secara khusus untuk memberikan perlindungan
terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan dalam arti kelompok rentan
yang merumuskan tindak pidana sebagai kejahatan sampai dengan upaya
hukum bagi para korban dan saksi. Dalam hal ini tidak hanya pengaturan dalam
pemberian sanksi kepada para pelaku, tapi juga mengatur tentang proses
tuntutan hukum serta kompensasi, pemulihan dan pengamanan diri korban.
Beruntung, menyadari bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
Internasional yang terikat komitmen Internasional, Indonesia menandatangani
CEDAW (Convention on Elimination of all Forum of Discrimination Against
Women), yaitu Konvensi PBB tentang penghapusan terhadap semua bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, pada tanggal 24 Juli 1984. Melalui komitmen
itu maka pemerintah Indonesia terikat dan tunduk pada konvensi tersebut dan
menjadikannya sebagai instrumen hukum nasional yang sah dan mengikat
sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang dikenal dengan Konvensi
Perempuan.
Konkritnya, dalam Pasal 5 Konvensi Perempuan tersebut dinyatakan bahwa
adanya jaminan persamaan tingkah laku, baik sosial dan budaya, antara laki-Iaki
dan perempuan untuk mencapai penghapusan prasangka, kebiasaan dan segala
praktek yang menimbulkan penindasan salah satu jenis kelamin. Disamping itu,
Pasal 15 juga menyatakan bahwa negara juga menjamin dan mewajibkan
persamaan laki-Iaki dan perempuan dihadapan hukum.
Di bidang kesehatan reproduksi, Pasal 12 menetapkan bahwa negara-
negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk
6 Pasal 8 ayat (2)
9
menghapus diskriminasi terhadap wanita di bidang pemeliharaan kesehatan, dan
supaya menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan yang
berhubungan dengan keluarga berencana, atas dasar persamaan antara pria
dan wanita.
Dalam kerangka kebijakan nasional yang berkaitan dengan tindak kekerasan
terhadap perempuan, perlu didasari oleh Zero Tolerance Policy artinya tidak ada
tindak kekerasan pada apapun yang dapat diterima. Hal ini berarti bahwa
kebijakan sosial (Social Policy) dan kebijakan penegakan hukum (Law
Enforcement Policy) yang menghormati dan melindungi harkat, martabat dan
kodrat perempuan adalah sarana guna memerangi tindak kekerasan terhadap
perempuan.
Berbagai kerjasama Internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan
HAM dilakukan pemerintah RI. Beberapa diantaranya adalah Penyelenggaraan
Lokakarya HAM Regional Kedua untuk kawasan Asia Pasifik tahun 1993 dan
MOU Pemri - KTHAM di bidang kerjasama teknik di bidang HAM tahun 1998. Di
tingkat ASEAN, sejak tahun 1993 Indonesia menjadi salah satu pelopor bagi
upaya pembentukan mekanisme HAM ASEAN dan telah dua kali menjadi tuan
rumah Lokakarya Kelompok Kerja Pembentukan Mekanisme HAM ASEAN.
Indonesia juga mendorong kerjasama bilateral dalam upaya pemajuan HAM
dengan Kanada, Norwegia dan Perancis, dalam rangka ASEM bersama Swedia,
Perancis dan China serta kerjasama Plurilateral bersama China, Kanada dan
Norwegia. Diharapkan pada gilirannya nanti kerjasama-kerjasama internasional
tersebut meliputi pula agenda perlindungan HAM bagi perempuan kelompok
rentan, khususnya di Indonesia.
IV
PENUTUP
10
A. Kesimpulan
Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada sebenarnya sudah cukup
memadai untuk menyelesaikan persoalan penegakan hukum HAM. Pemenuhan
dan perlindungan HAM terhadap kelompok perempuan rentan belum
sepenuhnya tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan anatara lain penegakan
hukum dan implementasi atas perangkat hukum yang masih ada belum
maksimal disamping penyebarluasan informasi (sosialisasi) terhadap perangkat
perundang-undangan tersebut belum dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat,
khususnya perempuan Kelompok Rentan. Atas dasar pemikiran itulah perlu
aturan atau hukum yang secara khusus untuk memberikan hak yang secara
khusus untuk memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan terhadap
perempuan dalam arti kelompok rentan yang merumuskan tindak pidana sebagai
kejahatan sampai dengan upaya hukum bagi para korban dan saksi. Dalam hal
ini tidak hanya pengaturan dalam pemberian sanksi kepada para pelaku, tapi
juga mengatur tentang proses tuntutan hukum serta kompensasi, pemulihan dan
pengamanan diri korban.
B. Saran-Saran
1) Perlu penegakan hukum (Law Enforcement) dari instansi pemerintah
yang berwenang dengan meningkatkan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan guna meningkatkan pemenuhan dan perlindungan
HAM bagi perempuan Kelompok Rentan.
2) Dipandang mendesak untuk melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang menyangkut hak-hak perempuan Kelompok
Rentan dengan mengakomodasikan perspektif HAM dalam peraturan
perundang-undangan.
3) Perlu peningkatan penyuluhan hukum dan HAM kepada aparatur
pemerintah yang menangani masalah kelompok rentan dan kelompok-
kelompok strategis lainnya, seperti pemuka masyarakat, tokoh-tokoh
agama dan Lepmbaga Swadaya Masyarakat (LSM).
11