pr ujian dr katharina, sp. pd

28
Tugas dr. Katharina, Sp. PD Patogenesis Tuberkulosis Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Kuman akan dihadapi oleh neutrofil kemudian makrofag. Kebanyakan dari kuman ini akan mati dan dikeluarkan dari paru dengan gerakan silia dan sekretnya. Bila kuman menetap, maka kuman akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman akan bersarang di jaringan paru, yang disebut sarang primer atau afek primer (fokus Ghon) dan terjadi limfadenopati regional, dari sini kuman dapat masuk ke vena dan menjalar ke seluruh organ seperti otak, ginjal dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis dapat terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru dan menjadi TB milier. Dari sarang primer akan terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuit pembesaran kelenjar getah bening hilus ( limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini disebut komplek paru (Ranke). Proses ini dapat memakan waktu selama 3-8 minggu. Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami salah satu sebagai berikut: 1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum) 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus), keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan ± 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi dari kuman yang dormant.

Upload: zien-sien

Post on 25-Sep-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tugas dr. Katharina, Sp. PDPatogenesis TuberkulosisKuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Kuman akan dihadapi oleh neutrofil kemudian makrofag. Kebanyakan dari kuman ini akan mati dan dikeluarkan dari paru dengan gerakan silia dan sekretnya. Bila kuman menetap, maka kuman akan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman akan bersarang di jaringan paru, yang disebut sarang primer atau afek primer (fokus Ghon) dan terjadi limfadenopati regional, dari sini kuman dapat masuk ke vena dan menjalar ke seluruh organ seperti otak, ginjal dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis dapat terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru dan menjadi TB milier. Dari sarang primer akan terjadi peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuit pembesaran kelenjar getah bening hilus ( limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini disebut komplek paru (Ranke). Proses ini dapat memakan waktu selama 3-8 minggu. Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami salah satu sebagai berikut:1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)1. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus), keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi dari kuman yang dormant.1. Menyebar dengan cara:1. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberklosis.1. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan sehingga dapat mencapai usus.1. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis TB, dll. TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa tempat.

Dosis OATObatDosis(mg/kgBB/hr)Dosis yg dianjurkanDosis max(mg)Dosis(mg)/BB(kg)

Harian(mg/kgBB/hr)Intermiten (mg/kgBB/kali)60

R8-121010600300450600

H4-6510300150300450

Z20-30253575010001500

E15-20153075010001500

S15-1815151000Sesuai BB7501000

1. ISONIAZIDA (H) Sediaan: 100 mg dan 300 mg Indikasi: obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis lain. Kontraindikasi: riwayat hipersensistifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, kehamilan(kecuali risiko terjamin). Kerja Obat: bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri. Efek Samping neurologi: parestesia, neuritis perifer, gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus, vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot melintir, konvulsi. Hipersensitifitas demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili,mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis, vaskulitis, keratitis. Hepatotoksik: SGOT dan SGPT meningkat, bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal. Metabolisme dan endrokrin: defisiensi Vitamin B6, hiperglikemia, glukosuria, asetonuria, asidosis metabolik, proteinurea. Hematologi: agranulositosis, anemia aplastik, atau hemolisis, anemia, trambositopenia, eusinofilia, methemoglobinemia. Saluran cerna: mual, muntah, sakit ulu hati, sembelit. Intoksikasi lain: sakit kepala, takikardia, dispenia, mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik. Efek samping berat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus membaik. Bila tanda-tanda hepatitis-nya berat maka penderita harus dirujuk ke UPK spesialistik. Efek samping INH yang ringan dapat berupa: Tanda tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, dan nyeri otot, rasa terbakar di kaki atau gangguan kesadaran. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (vitamin B6 dengan dosis 5 - 10 mg per hari atau dengan vitamin B kompleks) Kelainan yang menyerupai defisiensi piridoksin (syndroma pellagra) Kelainan kulit yang bervariasi, antara lain gatal-gatal. Bila terjadi efek samping ini pemberian OAT dapat diteruskan sesuai dosis.2. RIFAMPISIN (R) Sediaan: 300mg, 450 mg dan 600 mgIndikasi: di indikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang. Kerja Obat: bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Efek Samping (Rifampisin bila diberikan sesuai dosis yang dianjurkan, jarang menyebabkan efek samping, terutama pada pemakaian terus-menerus setiap hari.): Salah satu efek samping berat dari Rifampisin adalah hepatitis, walaupun ini sangat jarang terjadi. Alkoholisme, penyakit hati yang pernah ada, atau pemakaian obat-obat hepatotoksis yang lain secara bersamaan akan meningkatkan risiko terjadinya hepatitis. Bila terjadi ikterik (kuning) maka pengobatan perlu dihentikan. Bila hepatitisnya sudah hilang/sembuh pemberian Rifampisin dapat diulang lagi.Efek samping Rifampisin yang berat tapi jarang terjadi adalah : Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas, kadang-kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok). Penderita ini perlu dirujuk ke UPK spesialistik karena memerlukan perawatan darurat. Purpura, anemia haemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi meskipun gejalanya sudah menghilang. Sebaiknya segera dirujuk ke UPK spesialistik. Efek samping Rifampisin yang ringan adalah: Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan Sindrom flu berupa demam, menggigil, nyeri tulang Sindrom perut berupa nyeri perut, mual, muntah, kadang-kadang diare. Efek samping ringan sering terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar penderita tidak jadi khawatir. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.Efek samping lainnya: Saluran cerna : rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang perut, diare SSP: letih, rasa kantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi rendah sementara ( jarang). Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal akut( reversibel). Hematologi: trombositopenia, leukopenia transien, anemia, termasuk anemia hemolisis. Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan menstruasi, sindrom hematoreal. 3. PIRAZINAMIDA (Z) Sediaan: tablet 500 mgIndikasi: digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis lain. Kontraindikasi: terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas. Kerja Obat: bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Efek Samping: Efek samping utama dari penggunaan Pirazinamid adalah hepatitis. Hepatotoksisitas: termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria. Juga dapat terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi hipersensitas misalnya demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.4. ETAMBUTOL (E) Sediaan: 250 mg, 500 mgIndikasi: etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk nak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual. Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik. Kerja Obat: bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin.Efek Samping yang muncul antara lain gangguan penglihatan (ketajaman penglihatan) dengan penurunan visual, buta warna(merah dan hikau) dan penyempitan lapangan pandang. Setiap penderita yang menerima Etambutol harus diingatkan bahwa bila terjadi gejala-gejala gangguan penglihatan supaya segera dilakukan pemeriksaan mata. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan akan pulih. Anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti gangguan penglihatan. 5. STREPTOMISIN (S) Sediaan: 1,5 gram (vial)Indikasi: sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut. Kontraindikasi: hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya. Kerja Obat: bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal. Efek Samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Efek samping utama dari Streptomisin adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Kerusakan alat keseimbangan biasanya terjadi pada 2 bulan pertama dengan tanda-tanda telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi dengan 0,25 gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Risiko ini terutama akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Reaksi hipersensitas kadang-kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai dengan sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Hentikan pengobatan dan segera rujuk penderita ke UPK spesialistik. Efek samping sementara dan ringan misalnya reaksi setempat pada bekas suntikan, rasa kesemutan pada sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu (jarang terjadi) maka dosis dapat dikurangi dengan 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin.

Secara ringkas:

Drug Induced HepatitisMetabolisme ObatHati memetabolisme hampir setiap obat atau racun yang masuk ke dalam tubuh. Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga mampu menembus membran sel intestinal. Kemudian obat di ubah menjadi hidrofilik melalui proses biokimiawi dalam hepatosit, sehingga lebih larut air dan diekskresi dalam urin atau empedu. Biotransformasi hepatik ini melibatkan jalur oksidatif terutama melalui system enzim sitokrom P-450. Metabolisme obat terjadi dalam 2 fase. Pada fase pertama, terjadi reaksi oksidasi atau hidroksilasi. Semua obat tidak mungkin menjalani langkah ini, dan beberapa dapat langsung menjalani fase kedua. Sitokrom P-450 mengkatalisis reaksi pada fase pertama (terletak dalam retikulum endoplasma halus hati). Sebagian besar produk bersifat sementara dan sangat reaktif. Reaksi ini dapat mengakibatkan pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun daripada substrat induk dan dapat mengakibatkan luka pada hati. Sebagai contoh, metabolit acetaminophen, N-asetil-p-benzoquinon-imina (NAPQI), bersifat toksik apalagi jika dikonsumsi dengan dosis tinggi. NAPQI bertanggung jawab atas luka pada hati dalam kasus keracunan Setidaknya 50 enzim telah diidentifikasi, dan berdasarkan struktur, mereka dikategorikan ke dalam 10 kelompok, dengan kelompok 1, 2, dan 3 menjadi yang paling penting dalam metabolisme obat. Sitokrom P-450 dapat memetabolisme banyak obat. Obat dapat mengalami biotransformasi kompetitif dan menghambat satu sama lain, sehingga terjadi interaksi obat. Beberapa obat dapat menginduksi dan menghambat Sitokrom P-450 enzim. Fase kedua dapat terjadi baik di dalam ataupun di luar hati. Terjadi reaksi konjugasi dengan bagian (yaitu, asetat, asam amino, sulfat, glutathione, asam glukuronat) sehingga akan meningkatkan kelarutan obat. Selanjutnya, obat dengan berat molekul tinggi akan dikeluarkan dalam empedu, sementara ginjal mengeluarkan obat dengan molekul yang lebih kecil. Obat yang menginduksi dan menghambat sitokrom P-450 enzim adalah sebagai berikut:1. Inducers0. Phenobarbital0. Phenytoin0. Carbamazepine0. Primidone0. Ethanol0. Glucocorticoids0. Rifampin0. Griseofulvin0. Quinine0. Omeprazole - Induces P-450 1A21. Inhibitors1. Amiodarone1. Cimetidine1. Erythromycin1. Grape fruit1. Isoniazid1. Ketoconazole (Mehta, Nilesh, 2010)Sebagian besar obat memasuki saluran cerna, dan hati sebagai organ diantara permukaan absorptif dari saluran cerna dan organ target obat dimana hati berperan penting dalam metabolisme obat. Sehingga hati rawan mengalami cedera akibat bahan kimia terapeutik. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat. Walaupun kejadian jejas hati jarang terjadi, tapi efek yang ditimbulkan bisa fatal. Reaksi tersebut sebagian besar idiosinkratik pada dosis terapeutik yang dianjurkan, dari 1 tiap 1000 pasien sampai 1 tiap 100.000 pasien dengan pola yang konsisten untuk setiap obat dan untuk setiap golongan obat. Sebagian lagi tergantung dosis obat. Hepatoksisitas imbas obat merupakan alasan paling sering penarikan obat dari pasaran di Amerika Serikat dan di dalamnya termasuk lebih dari 50 persen kasus gagal hati akut. Mekanisme HepatotoksisitasMekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas empedu. Terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transport pada kanalikuli yang meghasilkan translokasi fassitoplasmik ke membrane plasma, dimana reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Di samping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan system sitokrom P-450 yang mengandung heme dan menghasilkan reaksi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks obat-enzim ini bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitim ke sel T, merangsang respon imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan bebagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu. Cedera pada hepatosit dapat terjadi akibat toksisitas langsung, terjadi melalui konversi xenobiotik menjadi toksin aktif oleh hati, atau ditimbulkan oleh mekanisme imunologik (biasanya oleh obat atau metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk mengubah protein sel menjadi immunogen).Reaksi obat diklasifikasikan sebagai reaksi yang dapat diduga (intrinsik) dan yang tidak dapat diduga (idiosinkratik). Reaksi Intrinsik terjadi pada semua orang yang mengalami akumulasi obat pada jumlah tertentu. Reaksi idiosinkratik tergantung pada idiosinkrasi pejamu (terutama pasien yang menghasilkan respon imun terhadap antigen, dan kecepatan pejamu memetabolisme penyebab). Implikasi KlinisGambaran klinis hepatoksisitas imbas obat sulit dibedakan secara klinis dengan penyakit hepatitis atau kolesatsis dengan etiologi lain. Riwayat pemakaian obat-obat atau substansi-substansi hepatotoksiklain harus dapat diungkap. Cedera hati mungkin timbul atau memerlukan waktu beberapa minggu dan bulan, dan dapat berupa nekrosis hepatosit, kolestasis, disfungsi hati. Gambaran klinis pada hepatitis kronis akibat virus atau autoimun, tidak dapat dibedakan dengan hepatitis kronis akibat obat, baik secara klinis maupun histologist, sehingga pemeriksaan serologis virus sering dipakai untuk mengetahui perbedaannya.Beberapa International Consensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan :1. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat.1. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari konsentrasi di atas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (pemurunan konsentrasi enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kolestatik) dari reaksi obat.1. Alternatif sebab lain dari reaksi telah diekslusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus1. Dijumpai respon positif pada pemeriksaan ulang dengan obat yang sama paling tidak kenaikan dua kali lipat enzim hati Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respon positif pada pemaparan ulang obat. Mengidentifikasikan reaksi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternative lainnya. Obat harus selalu menjadi diagnosis banding pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan/atau histologi. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan dengan risiko tinggi kerusakan hati persisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal essensial dalam diagnosis hepatotoksisitas imbas obat. Awitan umumnya cepat, gejalanya dapat berupa malaise, ikterus, gagal hati akut terutama jika masih meminum obat setelah awitan hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosist lebih dominan maka konsentrasi aminotransferas dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan alkali fosfatase dan bilirubin menonjol pada kolestasi. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya. Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol, seperti fenitoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemenuhan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatoksisitas obat yang tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobular. Konsentrasi aminotransferase biaanya sangat tinggi, melebihi 3500 IU/L. Faktor Risiko Kelainan Hapatoseluler Imbas Obat

1. Ras: Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras/suku bangsa. Misalnya, orang kulit hitam dan Hispanik mungkin lebih rentan terhadap isoniazid (INH). Tingkat metabolisme berada di bawah kendali sitokrom P-450 dan dapat bervariasi antar individu.

2. Umur: Terlepas dari paparan disengaja, reaksi obat pada hati jarang terjadi pada anak-anak. Orang tua mempunyai risiko lebih tinggi cedera hati karena clearance menurun, adanya interaksi antar obat, berkurangnya aliran darah ke hati, dan menurunnya volume hati. Selain itu, pola makan yang buruk, infeksi, dan rawat inap yang sering menjadi salah satu alasan penting terjadinya hepatotoksisitas imbas obat.3. Seks : Meskipun alasan tidak diketahui, reaksi obat hati lebih sering terjadi pada wanita.

4. Konsumsi alkohol: orang yang sering mengkonsumsi alkohol rentan terhadap keracunan obat karena alkohol menyebabkan cedera pada hati yang mengubah metabolisme obat. Alkohol menyebabkan deplesi penyimpanan glutation (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan terhadap toksisitas obat. 5. Penyakit hati: Secara umum, pasien dengan penyakit hati kronis mengalami peningkatan risiko cedera hati. Meskipun total sitokrom P-450 berkurang, beberapa orang mungkin akan terpengaruh lebih dari yang lain. Modifikasi dosis pada orang dengan penyakit hati harus didasarkan pada pengetahuan enzim spesifik yang terlibat dalam metabolisme. Pasien dengan infeksi HIV yang koinfeksi dengan virus hepatitis B atau C akan meningkatkan risiko untuk efek hepatotoksik apabila diobati dengan terapi antiretroviral. Demikian pula, pasien dengan sirosis beresiko mengalami peningkatan dekompensasi dengan obat beracun.

6. Faktor genetik: Sebuah gen yang unik pada pengkodean P-450 protein. Perbedaan genetik di P-450 enzim dapat menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat. Debrisoquine adalah obat antiaritmiayang mengalami metabolisme yang tidak baik karena ekspresi abnormal P-450-II-D6. Hal ini dapat diidentifikasi dengan amplifikasi polymerase chain reaction gen mutan. Hal ini mengakibatkan kemungkinan deteksi masa depan orang-orang yang dapat memiliki reaksi abnormal terhadap suatu obat.

7. Komorbiditas lain: penderita AIDS, orang-orang yang kekurangan gizi, dan orang-orang yang berpuasa mungkin rentan terhadap reaksi obat karena penyimpanan glutation rendah.

8. Formulasi obat: obat long-acting dapat menyebabkan cedera lebih pendek dibandingkan obat short-acting

9. Faktor Host dapat meningkatkan kerentanan terhadap obat dan kemungkinan mendorong terjadinya penyakit hati, yakni:o Wanita - Halotan, nitrofurantoin, sulindaco Pria - Asam Amoksisilin-klavulanat (Augmentin)o Usia Dewasa- Asetaminofen, halotan, INH, asam amoksisilin-klavulanato Usia Muda - Salisilat, asam valproiko Puasa atau malnutrisi - Asetaminofeno Indeks massa tubuh Besar / obesitas - Halotano Diabetes mellitus - Methotrexate, niacino Gagal ginjal - Tetracycline, allopurinolo AIDS - Dapson, trimetoprim-sulfametoksazolo Hepatitis C - Ibuprofen, ritonavir, flutamideo Penyakit Hati sebelumnya - Niasin, tetrasiklin, methotrexate (Mehta, Nilesh, 2010)Drug induced hepatitis karena Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kerusakan hati disebabkan oleh sebagian besar obat lini pertama dan hal ini tidak hanya menjadi sebuah tantangan serius dalam menghadapi pengobatan dan perawatan TB tetapi juga menimbulkam kesulitan dalam memulai pengobatan. Regimen pengobatan untuk TB Nasional yang direkomendasikan yakni Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S). Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z) dan etambutol (E)/ streptomisin (S) (3 obat pertama bersifat hepatotoksik). Faktor risiko hepatotoksisitas: Faktor klinis (usia lanjut, pasien wanita, status nutrisi buruk, alkohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV, prevalensi tinggi di negara berkembang, hipoalbumin, TBC lanjut, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan status asetilatornya) dan faktor Genetik. Risiko hepatotoksisitas pasien TBC dengan HCV atau HIV yang memakai OAT adalah 4-5 x lipat. Telah dibuktikan secara meyakinkan adanya keterkaitan antara HLA-DR2 dengan tuberculosis pada berbagai populasi dan keterkaitan variasi gen NRAMPI dengan kerentanan terhadap tuberkulosis. Manifestasi Klinis : Presentasi klinis hepatitis akibat Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terkait mirip dengan hepatitis virus akut. OAT bisa menyebabkan hepatotoksisitas dengan tingkat gejala yang bervariasi dari asimtomatik hingga simptomatik seperti mual, muntah, anoreksia, jaundice, dll. Enzim hati transaminase mengalami kenaikan seperti pada kegagalan hati akutJika dalam pasien tuberculosis yang sedang dalam pengobatan OAT dan memberikan gejala hepatitis akut seperti di bawah ini, maka hal ini dapat dijadikan acuan diagnosa hepatotoksisitas imbas OAT telah terjadi. Individu yang dijangkiti akan mengalami sakit seperti kuning, keletihan, demam, hilang selera makan, muntah-muntah, sklera ikterik, jaundice, pusing dan kencing yang berwarna hitam pekatEfek Hepatotoksik OAT

Disfungsi hati dapat didefinisikan sebagai peningkatan enzim hati alanine transaminase (ALT) hingga 1,5 kali di atas batas atas normal atau paling tidak terdapat peningkatan dua kali dalam empat minggu pengobatan tuberculosis. Kenaikan progresif ALT dan kadar bilirubin jauh lebih berbahaya. Beberapa penulis menyarankan menghentikan obat-obatan hepatotoksik jika tingkat ALT meningkat tiga kali atau lebih dibandingkan dengan normal, sementara yang lain merekomendasikan lima kali. Drug-Induced Hepatitis dapat diklasifikasikan berdasarkan potensi masing-masing OAT yang menyebabkan hepatotoksisitas

Isoniazid (INH)Sekitar 10-20% dari pasien selama 4-6 bulan pertama terapi memiliki disfungsi hati ringan yang ditunjukkan oleh peningkatan ringan dan sementara serum AST, ALT dan konsentrasi bilirubin. Beberapa pasien, kerusakan hati yang terjadi dapat menjadi progresif danmenyebabkan hepatitis fatal. Asetil hidrazin, suatu metabolit dari INH bertanggung jawab atas kerusakan hati. INH harus dihentikan apabila AST meningkat menjadi lebih dari 5 kalinilai normal. Sebuah penelitian prospektif kohort, sebanyak 11.141 pasien yang menerima terapi pencegahan INH dilaporkan memiliki tingkat terjangkit hepatitis lebih rendah. Sebanyak 11 dari mereka (0,10% dari mereka yang memulai, dan 0,15% dari mereka yang menyelesaikan terapi) terjangkit hepatitis. Dilaporkan juga dari bulan Januari 1991 sampai Mei 1993, oleh Pusat Transplantasi Hati di New York dan Pennsylvania bahwa terkait hubungan antara pasien hepatitis dengan terapi INH. Terdapat 8 pasien yang sedang menjalankan monoterapi INH dg dosis biasa 300 mg per hari (untuk mencegah TB) terjangkit hepatitis. Hepatotoksisitas jarang terjadi pada anak-anak yang menerima INH. Dalam 10 tahun analisis retrospektif, kejadian hepatotoksisitas pada 564 anak yang menerima INH (10 miligram per kilogram per hari (mg / kg / hari) dan dosis maksimum 300 mg / hari) untuk profilaksis pada pengobatan TB adalah 0,18% . Namun demikian, kejadian hepatotoksisitas pada anak-anak yang menerima INH dan rifampisin untuk TB adalah 3,3% di lain Studi retrospektif (14 dari 430 anak-anak).

Rifampisin Rifampisin dapat mengakibatkan kelainan pada fungsi hati yang umum pada tahap awal terapi. Bhakan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan hepatotoksisitas berat, lebih lagi pada mereka dengan penyakit hati yang sudah ada sebelumnya, sehingga memaksa dokter untuk mengubah pengobatan dan memilih obat yang aman untuk hati. Rifampicin menyebabkan peningkatan transient dalam enzim hati biasanya dalam 8 minggu pertama terapi pada 10- 15% pasien, dengan kurang dari 1% dari pasien menunjukkan rifampisin terbuka-induced hepatotoksisitas. Sebanyak 16 pada 500.000 pasien yang menerima rifampisin dilaporkan meninggal berkaitan dengan hepatotoksisitas Rifampicin. Insiden hepatotoksisitas yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada pasien yang menerima rifampisin dengan anti TB lain terutama Pirazinamid, dan diperkirakan sebanyak kurang dari 4%. Data ini telah merekomendasikan bahwa rejimen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan laten tuberculosis.

PirazinamidEfek samping yang paling utama dari obat ini adalah hepatotoksisitas. Hepatotoksisitas dapat terjadi sesuai dosis terkait dan dapat terjadi setiap saat selama terapi. Di Centre Disease Control (CDC) Update, 48 kasus hepatotoksisitas yang dilaporkan pada pengobatan TB dengan rejimen 2 bulan Pirazinamid dan Rifampisin antara Oktober 2000 dan Juni 2003. 37 pasien pulih dan 11 meninggal karena gagal hati. Dari 48 kasus yang dilaporkan, 33 (69%) terjadi pada kedua bulan terapi.

EtambutolAda sedikit laporan hepatotoksisitas dengan Etambutol dalam pengobatan TB. Tes fungsi hati yang abnormal telah dilaporkan pada beberapa pasien yang menggunakan etambutol yang dikombinasi dengan OAT lainnya yang menyebabkan hepatotoksisitas. (Kishore, dkk, 2010)StreptomisinTidak ada kejadian hepatotoksisitas yang dilaporkan.

Penatalaksanaan:Hepatitis imbas obat adalah kelainan fungsi hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug induced hepatitis). Penatalaksanaan:1. Bila Klinis (+) (Ikterik, gejala mual, muntah), maka OAT distop1. Bila gejala (+) dan SGOT, SGPT > 3 kali, maka OAT distop1. Bila gejala klinis (-), laboratorium terdapat kelainan (Bilirubin>2), maka OAT distop1. SGOT dan SGPT >5 kali nilai normal, maka OAT distop1. SGOT dan SGPT> 3 kali, maka teruskan pengobatan dengan pengawasanPaduan obat yang dianjurkan1. Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)1. Setelah itu monitor klinis dan laboratorium, bila klini dan laboratorium kembali normal (bilirubin, SGOT dan SGPT), maka tambahkkan Isoniazid (H) desensitisasi sampai dengan dosis penuh 300 mg. selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat Isoniazid dosis penuh. Bila klinis dan laboratorium kembali normal, tambahkan Rifampicin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh (sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES.1. Pirazinamid tidak boleh diberikan lagi (PDPI, 2006)Pada pasien tuberkulosis dengan hepatitis C atau HIV mempunyai risiko hepatotksisitas terhadap obat aniti tuberculosis lima kali lipat. Sementara pasien dengan karier HBsAg positif dan HBeAg negative yang inaktif dapat diberikan obat standard jangka pendek, yakni Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan/atau Pirazinamid dengan syarat pengawasan tes fungsi hati paling tidak dilakukan setiap bulan. Sekitar 10% pasien tuberculosis yang mendapatkan Isoniazid mengalami kenaikan konsentrasi aminotransferase serum dalam minggu-minggu pertama terapi yang nampaknya menunjukkan respon adaptif terhadap metabolit toksik obat. Isoniazid dilanjutkan atau tidak tetap akan terjadi penurunan konsentrasi aminotransferase sampai batas normal dalam beberapa minggu. Hanya sekitar 1% yang berkembang menjadi seperti hepatitis viral, 50% kasus terjadi pada 2 bulan pertama dan sisanya baru muncul beberapa bulan kemudian.

Anemia AplastikAnemia aplastik merupakan kegagalan hematopiesis yang ditandai pansitopenia dan aplasia sumsum tulang. Anemia aplastik dapat diwariskan atau didapat, biasanya muncul pada usia 15-25 tahun, dan dapat muncul pada usia >60 tahun (namun angka kejadiannya kecil). Anemia aplastik dapat terjadi: Toksisitas langsung: Iatrogenik: radiasi dan kemoterapi Benzena Metabolit intermediate beberapa jenis obat Penyebab yang diperantai imun: Iatrogenik: transfusion-associated graft-versus-host disease Fascilitis eosinofilik Penyakit terkait hepatitis Kehamilan Metabolit intermediate beberapa jenis obat Anemia aplastik idiopatikAnemia aplastik terkait obat terjadi karena hipersensitivitas atau dosis obat yang berlebihan. Obat yang banyak menimbulkan anemia aplastik adalah kloramfenikol, fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia yang dapat menimbulkan anemia aplastik adalah benzena.Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia aplastik: virus epstein-barr, influenza A, dengue, tuberkulosis (milier). Sitomegalovirus dapat menekan produksi sel sumsum tulang, melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. HIV-AIDS dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik oleh parvovirus pada pasien defisiensi imun juga dapat menimbulkan pansitopenia.Pada kehamilan, estrogen dengan adanya predisposisi genetik dengan adanya zat penghambat dalam darah atau tidak adanya perangsang hematopoiesis dan hilang setelah terminasi kehamilan.Adanya reaksi autoimunitas memperlihatkan bahwa limfosit dapat menghambat pembentukan hemopoietik alogenik dan autologus. Selain itu limfosit T sitotoksik memperantai destruksi sel. Sel T efektor menghasilkan interferon-gamma dan TNF-alfa yang merupakan inhibitor langsung hemopoiesis dan meningkatkan ekspresi Fas pada sel-sel CD34. Klon sel T imortal yang positif CD4 dan CD8 mensekresi sitokin T helper 1 yang bersifat toksik ke sel-sel CD34+ autologus.Kegagalan hematopoietikKegagalan produksi sel darah bertanggung jawab atas kosongnya sumsum tulang yang tampak jelas pada pemeriksaan apusan aspirat sumsum tulang atau spesimen core biopsi sumsum tulang. Hasil MRI vertebra memperlihatkan digantinya sumsum tulang oleh jaringan lemak. Pada anemia aplastik sel CD34+ hampir tidak ada, yang berarti bahwa sel-sel induk pembentuk koloni eritroid, myeloid dan megakaryositik sangat kurang jumlahnya. Pasien yang mengalami penurunan populasi sel dan sel induk sekitar 1% atau kkurang. Defisiensi berat dicerminkan oleh pemendekan telomer granulosit.Destruksi imunPada pasien anemia aplastik didapat limfosit bertanggung jawab atas destruksi kompartemen sel hematopoietik (destruksi). Sel ini memproduksi faktor penghambat yaitu interferon gamma. Perubahan imunitas menyebabkan destruksi, khususnya kematian sel CD34 yang diperantai Fas ligan dan aktivasi alur intraselular yang menyebabkan penghentian siklus sel. Sel T membunuh sel asal hematopoietik yang memiliki HLA-DR-restricted sehingga sel yang memiliki faktor tersebut dalam jumlah yang sedikit akan menngkat.

Anemia defisiensi besiPerdarahan dapat menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi menurun (iron depleted state) keadaaan ini ditandai penurunan kadar feritin serum, peningkatan absobsi besi dalam usus dan pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Jika kekurangan besi terus berlanjut maka terjadi gangguan bentuk eritrosit, tetapi asimptomatik (iron deficient erythropoiesis). Pada fase ini kelainan pertama adalah peningkatan kadar free protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat. Apabila jumlah besi terus menurun akan timbul anemia hipokrom mikrositer (iron deficiency anemia). Pada saat ini terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut, faring, dll.Diagnosa: Menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar Hb atau Ht. Memastikan adannya defisiensi besi Menentukan penyebabKriteria diagnosis:Anemia hipokrom mikrositer pada MDT atau MCV