potensi daun pucuk dan jarak genetik ubi kayu asal
TRANSCRIPT
P r o s i d i n g | 129
Potensi Daun Pucuk dan Jarak Genetik Ubi Kayu Asal
Indonesia Berbasis Keragaman Morfologi Daun sebagai
Sayuran Potensial
Fadhillah Laila1,*, Chindy Ulima Zanetta2, Budi Waluyo3, dan Agung
Karuniawan4
1Fakultas Pertanian Universitas Wiralodra, Indramayu 2Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Bandung
3Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang 4Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Sumedang
ABSTRAK
Daun pucuk ubi kayu mengandung protein tinggi yang dapat membantu pemenuhan gizi
masyarakat dan solusi alternatif dalam mengurangi krisis gizi buruk. Adanya diversitas
genetik ubi kayu berdasarkan morfologi daun pucuk berpotensi dalam peningkatan nilai
tambah pada ubi kayu, salah satunya terhadap kandungan nutrisi daun pucuknya.
Percobaan ini dilakukan pada bulan Juli 2013 sampai dengan Desember 2013. Metode
eksperimental yang digunakan adalah rancangan dengan tiga aksesi ubi kayu
lokal sebagai dan 154 aksesi lokal Indonesia sebagai perlakuan Karakter
morfologi daun yang diteliti berjumlah 14 karakter. Keragaman morfologi dianalisis
menggunakan analisis komponen utama. Diversitas dan jarak genetik dianalisis
menggunakan pendekatan . Hasil dan produksi pucuk dianalisis
berdasarkan statistika deskriptif. Terdapat empat komponen utama yang memunculkan
keragaman kumulatif sampai dengan 54.5 %. Karakter yang berkontribusi pada setiap
komponen utama ialah warna petiol, jumlah cuping daun, panjang cuping daun, lebar
cuping daun, dan warna tulang daun. Karakter-karakter tersebut mempunyai variasi
pada sifat yang dimiliki dari tinggi sampai dengan sedang. Berdasarkan karakter
morfologi aksesi ubi kayu terbagi menjadi 9 kelompok, yang berasal dari 5 wilayah asal.
Jarak genetik antar aksesi ubi kayu berdasarkan berkisar antara
0.00-1.00 dengan rata-rata jaraknya 0.46, sedangkan antar wilayah jarak genetiknya
berada pada nilai 0.14-0.56 dengan rata-rata 0.33. Potensi bobot pucuk per tanaman
ubi kayu di Indonesia berkisar antara 0.50 g sampai dengan 107.40 g dengan rata-rata
32.33 g. Potensi produksi hasil pucuk ubi kayu berkisar antara 5 kg/ha sampai dengan
1074 kg/ha (1.07 ton/ha) dengan rata-rata mencapai 323.31 kg/ha. Hal ini menunjukkan
bahwa aksesi ubi kayu memiliki diversitas yang luas berdasarkan karakter morfologi daun
pucuk.
Kata kunci: diversitas genetik, jarak genetik, sayuran daun, ubi kayu, nutrisi.
PENDAHULUAN
Ubi kayu ( Crantz.) merupakan sumber pangan utama di
beberapa negara tropis. Umumnya pemanfaatan ubi kayu terfokus pada umbi, seperti di
Republik Demokratik Kongo sekitar 90% digunakan sebagai makanan utama, sedangkan
di Thailand untuk pemanfaatan pati (CGIAR, 2014). Selain umbi dan pati, pucuk daun
P r o s i d i n g | 130
ubi kayu juga berpotensi sebagai sumber pangan. Pucuk daun ubi kayu memiki
kandungan protein, vitamin dan mineral tinggi (Montagnac 2009). Tingginya
kandungan nutrisi tersebut dapat membantu pemenuhan gizi masyarakat sehingga
terhindar dari krisis gizi buruk khususnya di negara berkembang.
Krisis gizi buruk masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Pada
tahun 2011, Indonesia mengalami penurunan angka konsumsi protein nabati yang
mencapai 2,43 gram/orang/hari (Badan Pusat Statistika, 2011). Padahal dengan
kandungan protein pucuk daun ubi kayu yang mencapai 12,7 gram akan mampu
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, dimana standar pemenuhan protein (nabati dan
hewani) adalah 57 gram/orang/hari. Kandungan protein dalam daun ubi kayu lebih tinggi
dibandingkan dengan ubinya. Dilaporkan oleh Nassar dan Marques (2002) kandungan
protein daun ubi kayu berada pada kadar 21%-32%, sedangkan kadar vitamin A dan
serat daun ubi kayu lebih tinggi dari tanaman legum (Montagnac 2009). Adanya
kandungan nutrisi tinggi tersebut menjadikan pucuk daun ubi kayu menjadi sumber
makanan kaya protein dan ekonomis.
Plasma nutfah tanaman merupakan sumber bahan genetik bagi program
pemuliaan tanaman. Indonesia memiliki bentang geografis yang beragam berpeluang
memiliki plasma nutfah ubi kayu dengan morfologi pucuk daun yang beragam.
Berdasarkan yang disusun oleh CIAT (2012) tentang pengembangan ubi kayu
di Asia, Indonesia menjadi referensi dalam hal konservasi sumber daya genetik ubi kayu.
Hal ini didasarkan pada kondisi geografis Indonesia berupa wilayah kepulauan yang
beragam. Komposisi nutrisi dari jenis daun ubi kayu tergantung dari kualitas dan
kuantitas dari variasi jenis ubi kayu itu sendiri (Montagnac 2009). Keragaman
genetik dapat dijadikan parameter awal dalam mengidentifikasi karakter pada suatu
tanaman. Seleksi akan dilakukan pada genotipe yang menampilkan hasil unggul (Fehr,
1987) dan dengan nilai keragaman yang tinggi (Hallauer ., 1988).
Penggunaan karakter morfologi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
studi keragaman genetik (Laila ., 2015). Penanda morfologi digunakan Osekita
(2014) di Afrika dan Garcia (2014) di Kuba untuk mengevaluasi keragaman
ubi kayu berdasarkan karakter-karakter morfologi tertentu dengan tujuan akhir
mendapatkan varietas yang unggul. Kajian tentang keragaman genetik melalui
identifikasi karakter morfologi memiliki kaitannya dengan jarak genetik. Jarak genetik
diperlukan dalam menentukan tingkat perbedaan genetik pada suatu populasi (Mueller
dan Ayala, 1982). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi
keragaman genetik dan jarak genetik karakter morfologi pucuk daun ubi kayu sebagai
database sumber genetik pengembangan kandungan nutrisi pucuk daun ubi kayu. Hal
ini seiring dengan tujuan dari program pemuliaan tanaman, khususnya dalam
pengembangan ubi kayu diharapkan dapat berkontribusi dalam mengurangi krisis
kekurangan gizi dengan pangan yang bernilai gizi cukup, mudah dan murah.
BAHAN DAN METODE
Percobaan dilaksanakan di kebun Unit Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Hayati (UPP SDH) Universitas Padjadjaran, Ciparanje-Jatinangor Kabupaten
Sumedang. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2013 sampai Oktober 2013. Metode
eksperimen yang digunakan adalah rancangan (Petterson, 1994) dengan
P r o s i d i n g | 131
tiga aksesi ubi kayu lokal sebagai cek dan 154 aksesi lokal Indonesia sebagai perlakuan
termasuk tiga aksesi ubi kayu lokal asal Jatinangor Sumedang sebagai cek, yaitu varietas
lokal Perak Raweuy, varietas Peteuy, dan varietas Jalang. Penggunaan aksesi tersebut
sebagai cek karena merupakan aksesi lokal asal Jatinangor. Karakter morfologi daun
yang diteliti berjumlah 14 karakter diantaranya warna pucuk daun, bulu pucuk daun,
bentuk daun tengah, warna petiol, warna daun, jumlah cuping daun, panjang cuping
daun, lebar cuping daun, rasio panjang cuping daun terhadap lebar cuping daun, tekstur
tepi cuping daun, warna tulang daun, orientasi/arah tangkai daun (petiol), bobot
pucuk/tanaman, potensi hasil pucuk daun. Pengamatan morfologi pucuk daun dilakukan
tiga bulan setelah tanam.
Keragaman morfologi dianalisis menggunakan analisis multivariat berupa
(PCA) berdasarkan tipe koefisien korelasi Pearson (n-1). Penentuan
jumlah PC yang memberikan pengaruh sebagai komponen utama yaitu memiliki nilai
> 1.00 (Jeffers, 1996). Pada masing-masing PC, karakter-karakter dengan
nilai (PC > |0.6|) memiliki kontribusi utama pada PC (Peres-Neto, Jackson, & Somers, 2003
Waluyo , 2016). Diversitas genetik pada gen dan alel, frekuensi alel dan PIC
( dihitung pada tiap penanda morfologi menggunakan
Power Marker versi 3.25 (Liu dan Muse, 2005 Goncalves, 2017). Jarak genetik
berdasarkan metode mariks dan dendogram menggunakan
pendekatan menggunakan Mega versi 6 (Tamura
2011 Goncalves, 2017). Hasil dan produksi pucuk dianalisis berdasarkan statistika
deskriptif morfologi menurut Fukuda (2010) dan Kambuou (2005). Analisis
data menggunakan perangkat lunak Microsoft® Excel 2007/XLSTAT Version 2009.3.02.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman karakter morfologi daun dianalisis berdasarkan PCA berupa
yang mempunyai nilai diatas 1. Analisis PCA merupakan metode untuk mengidentifikasi
beberapa karakter serta mengklasifikasikan variasi. Metode PCA yang dikenal sekarang
merupakan modifikasi dari teknik statistik yang dikembangkan oleh Pearson (1901) dan
Hotelling (1933) (Jolliffe, 2002). Hasil dari PCA untuk analisis keragaman morfologi pada
14 karakter morfologi daun dengan nilai antara 1.15-2.30, sehingga terdapat empat
komponen utama yang memunculkan keragaman kumulatif sampai dengan 54.5%.
Berdasarkan nilai persentase total keragaman pada 14 karakter morfologi terhadap 154
aksesi ubi kayu terlihat bahwa pada komponen utama (PC1) memiliki 2.30
dengan nilai keragaman 19.17% (Tabel 1). PC2 memiliki 1.60 dengan nilai
keragaman sebesar 13.30% dan memberikan akumulasi keragaman yaitu 32.47%. PC3
memiliki 1.50 dengan nilai keragaman sebesar 12.50 dan memberikan
akumulasi keragaman 44.96%. Untuk PC4 memiliki 1.15 dengan nilai
keragaman 9.54% dan akumulasi keragaman 54.50%. PCA merepresentasikan seberapa
besar kontribusi keragaman total tiap karakter pada keragaman. sering
digunakan untuk menunjukkan jumlah dominan komponen utama. PCA dan analisis
klustering menunjukkan pengelompokkan secara alami pada aksesi ubi kayu. Oleh
karena itu, penggunaan teknik pengukuran yang berbeda akan berkorelasi dengan
pengelompokkan aksesi (Bauer 2007; Kraic 2009 Khodadadi
P r o s i d i n g | 132
2011). Komponen utama (PC1) dan komponen kedua (PC2) merupakan nilai komponen
yang memberikan nilai kontribusi besar terhadap variasi yaitu sebesar 19.16% dan
13.29%. Dua PC merepresentasikan empat klaster dan membentuk pola aksesi.
Tabel 1. Nilai Eigenvalue, variabilitas and kumulatif 154 ubi kayu berdasarkan 14
karakter morfologi daun
PC1 PC2 PC3 PC4
Eigenvalue 2.300 1.596 1.500 1.145
Variability (%) 19.168 13.298 12.498 9.544
Cumulative % 19.168 32.466 44.964 54.507
Terdapat empat komponen utama pertama yang mempunyai
berdasarkan nilai(-0.6>PC>0.6) pada Tabel 2 sebagai indiktor keragaman karakteristik
morfologi (Waluyo, 2016).Karakter yang berkontribusi di setiap komponen utama ialah
warna petiol (0.707), jumlah cuping daun (0.662), panjang cuping daun (-0.611), lebar
cuping daun (0.823) dan warna tulang daun (0.664). Karakter-karakter tersebut
mempunyai variasi pada sifat yang dimiliki dari tinggi sampai dengan sedang.
Nilai positif (+) maupun negatif (-) menunjukkan adanya korelasi
positif dan negatif antara komponen dan karakter (Khodadadi 2011). Karakter
yang memiliki nilai tinggi baik positif maupun negatif berkontribusi lebih pada
keragaman genetik. Terdapat nilai kontribusi keragaman yang relatif rendah pada
karakter morfologi meskipun berasal dari wilayah yang berbeda secara geografis.
Berdasarkan Asante dan Offei (2003) Tumuhimbise (2013) keragaman genetik
pada spp. tinggi, namun keragaman dalam suatu wilayah geografis tertentu
mungkin rendah. Hal ini berhubungan dengan adanya pertukaran bahan stek ubi kayu
antara petani dan seleksi pada beberapa karakter yang diinginkan.
Tabel 2. Sumbu komponen utama pada 12 karakter morfologi pucuk daun ubi kayu
PC1 PC2 PC3 PC4
warna pucuk daun -0.288 -0.072 -0.452 0.430
bulu pucuk daun -0.462 -0.294 0.349 -0.291
bentuk daun tengah -0.505 -0.317 0.296 0.298
warna petiol 0.707 -0.058 0.290 0.344
warna daun -0.353 0.099 -0.302 -0.177
jumlah cuping daun -0.061 0.662 0.440 0.050
panjang cuping daun -0.611 0.505 0.157 0.126
lebar cuping daun 0.117 0.823 -0.098 0.005
ratio panjang-lebar -0.533 -0.022 0.334 0.481
tekstur tepi cuping daun -0.057 -0.138 0.516 0.053
warna tulang daun 0.664 -0.011 0.361 0.197
orientasi petiol 0.071 -0.006 -0.418 0.588
P r o s i d i n g | 133
Aksesi-aksesi ubi kayu yang diamati menunjukkan diversitas yang luas
berdasarkan karakter morfologi daun. Jumlah alel per lokus bervariasi dari 2 (pada marka
morfologi bulu pucuk daun) sampai 6 (pada marka morfologi bentuk daun tengah dan
warna petiol) dengan rata-rata 3.5 alel per lokus.Untuk nilai rata-rata PIC (
pada riset ini adalah 0.39 dengan nilai tertinggi PIC 0.63 pada
karakter warna pucuk daun dan terendah 0.07 pada karakter ratio panjang:lebar (Tabel
3). Nilai PIC merepresentasikan informasi keunikan hubungan kekerabatan tiap marker
(penanda) genetik yang berada pada rentang 0-1 (Guo dan Elston, 1999). PIC dapat
digunakan untuk menduga diversitas genetik. Jika nilai PIC 0 (nol) maka hal tersebut
disebabkan tidak adanya variasi pada alel. Berdasarkan hal tersebut, nilai PIC pada riset
ini bervariasi karena nilai PIC rata-rata 0.39. Pada studi yang dikembangkan Costa
(2013) dan Ortiz (2016) pada kultivar ubi kayu tradisional asal Paraná State, Brazil,
menunjukkan nilai PIC berada pada kisaran 0.4040 dan 0.4598. Nilai PIC yang lebih
rendah cenderung disebabkan ketika populasi yang semakin kecil dan homogenus.
Tabel 3. Frekuensi alel, diveristas gen dan nilai PIC pada 12 karakter morfologi
Marker
Frekuensi
alel mayor
Jumlah
perlakuann No.Alel
Diversitas
gen PIC
warna pucuk daun 0.46 154 4.00 0.68 0.63
bulu pucuk daun 0.68 154 2.00 0.44 0.34
bentuk daun tengah 0.58 154 6.00 0.55 0.48
warna petiol 0.27 154 6.00 0.80 0.77
warna daun 0.68 154 3.00 0.44 0.35
jumlah cuping daun 0.76 154 3.00 0.38 0.33
panjang cuping daun 0.73 154 3.00 0.43 0.39
lebar cuping daun 0.65 154 3.00 0.46 0.37
ratio panjang-lebar 0.96 154 3.00 0.08 0.07
tekstur tepi cuping daun 0.87 154 2.00 0.23 0.20
warna tulang daun 0.58 154 3.00 0.53 0.43
orientasi petiol 0.73 154 4.00 0.42 0.36
Mean 0.66 154 3.50 0.45 0.39
Tingkat diversitas gen bervariasi dari 0.08-0.80 dengan rata-rata 0.45 (Tabel 3).
Diversitas tertinggi pada marka warna petiol dengan tingkat diversitas (0.80) dan
terendah pada marka ratio panjang-lebar (0.08). Hasil ini lebih rendah dari penelitian
Goncalves (1999) dimana tingkat diversitas yang diestimasi pada nilai 0.6487. Kawuki
. (2013) Goncalves (1999) melansir nilai diversitas genetik pada nilai 0.58 pada
ubi kayu yang berasal dari beberapa negara Afrika menggunakan 26
Adanya perbedaan tersebut dapat dilihat dari kondisi ubi kayu yang merupakan
tanaman yang secara alami dapat melakukan penyerbukan silang, polinasi terbuka dan
memiliki jenis bunga protogeni (Fregene 2003). Dari perbandingan yang
dilakukan, diversitas genetik aksesi-aksesi ubi kayu asal Indonesia memiliki potensi
diversitas genetik yang luas. Meskipun dalam hal ini penggunaan marka morfologi masih
menghasilkan nilai yang lebih rendah daripada penggunaan marka molekuler. Namun,
P r o s i d i n g | 134
hal ini dapat dijadikan sebagai dasar awal perbandingan dalam pengembangan riset ubi
kayu selanjutnya dengan menggunakan marka molekuler.
Gambar 1. genetik 154 aksesi ubi
kayuberdasarkan 12 karakter morfologi daun
berdasarkan genetik dari 12 karakter
daun membagi aksesi ubi kayu menjadi 9 kelompok besar (Gambar 1) yang berasal dari
5 wilayah asal (Gambar 2). Pada kelompok besar tersebut terdiri dari sub-kelompok.
Rata-rata kelompok tersebut terbentuk oleh aksesi-aksesi ubi kayu yang berbeda pulau
secara geografis. Contohnya pada kelompok besar yang terdiri dari beberapa aksesi saja
seperti kelompok I (dendogram hitam) yang diisi oleh aksesi 531 dari Jawa Timur, 512
dari Banten, 593 dari Sulawesi Selatan dan 579 dari Sumatera Utara. Kelompok VII
(dendogram merah) mewakili aksesi 580 dari Sumatera Utara, 574 dari Papua, 660 dari
Nusa Tenggara, 584 dari Sulawesi dan 599 dari Madura. Pada kelompok VIII (dendogram
hijau muda) aksesi 528 dari Jawa Barat saling berdekatan dengan aksesi 626 dari Nusa
Tenggara dan 649 Sulawesi Tenggara. Kelompok IX (dendogram biru) terkelompok
aksesi 578 yang berasal dari Papua, 645 dari Maluku, 582 Sumatera Utara dan 596
Sumatera Barat. Meskipun beberapa varietas memiliki nama lokal yang sama, hal
tersebut tidak mengindikasikan bahwa varietas tersebut memiliki latar belakang genetik
P r o s i d i n g | 135
yang sama (Elias, Panaud dan Robert, 2000; Sardos et al., 2008). Di masyarakat,
kesamaan nama pada latar belakang genetik yang berbeda dapat disebabkan oleh
penggunaan khusus untuk tujuan tertentu dengan menggunakan bahan yang spesifik
sehingga mencari morfologi yang hamper sama.
Keragaman genetik pada suatu populasi dapat diukur dengan rata-rata
heterozigositas per lokusnya dimana perbedaan gen antara dua populasi dapat
diestimasi dengan jarak genetik (Nei dan Roychoudhury, 1974). Estimasi jarak genetik
berdasarkan karakter morfologi menunjukkan data sebaran normal yang bersifat
yang berguna dalam klasifikasi intergrup populasi (Camussi 1985).
Hubungan genetik antara dua individu atau populasi dapat diestimasi berdasarkan
kemiripan beberapa karakter yang disebabkan oleh perbedaan pada sturuktur
genetiknya (Kartikaningrum 2003). Jarak genetik memberikan gambaran seberapa
luas keragaman genetik pada suatu tanaman sehingga dapat digunakan sebagai dasar
atau standar pemilihan tetua unggul.
Aksesi-aksesi ubi kayu berdasarka morfologi daun memiliki jarak genetik 0.000-
1.000 dengan rata-rata jarak genetik 0.4560, terlihat pada Gambar 1. Jarak terjauh
terdapat antara aksesi 643 (dendogram warna coklat) dengan aksesi kode UP UJ K101
dari Maluku dan 521 (dendogram hijau tua) dari Pontianak dengan jarak genetik 1.000
berdasarkan . Dengan rata-rata jarak genetik 0.4560 menunjukkan
bahwa aksesi-aksesi ubi kayu dari berbagai wilayah di Indonesia memiliki jarak genetik
yang jauh. Adapun aksesi-aksesi yang memiliki jarak genetik 0 atau kecil (seperti aksesi
673 jenis ubi kayu kuning dari Lumajang dan 616 dari NTT pada dendogram hijau tua)
menunjukkan adanya duplikasi pada aksesi atau aksesi mempunyai karakter yang mirip.
Adanya duplikasi bisa disebabkan karena adanya perbanyakan ubi kayu secara vegetatif
(Waluyo, 2016). Jarak genetik berdasarkan dihitung untuk
menjumlahkan ketidaksamaan atau perbedaan antara tiap pasangan dan menampilkan
analisis jarak genetik berdasarkan rata-rata frekuensi allel pada setiap lokusnya
(Chakraborty dan Lin, 1993). Matriks diperoleh dari yang
digunakan untuk menyusun dendogram menggunakan (Saitou dan Nei,
1987). Informasi jarak genetik dapat dijadikan dasar untuk menentukan aksesi yang
akan dipilih sebagai materi persilangan untuk rekombinasi genetik. Semakin jauh jarak
genetik antar aksesi, maka akan memiliki efek heterosis yang tinggi apabila disilangkan.
Pengelompokkan aksesi-aksesi berdasarkan daerah asal dianalisis untuk
mengetahui jarak genetik antar wilayah. Pada beberapa aksesi memiliki nama daerah
yang sama dengan wilayah lain, meskipun secara genetik belum tentu memiliki latar
belakang yang sama. Jarak genetik antar wilayah asal aksesi-aksesi ubi kayu berada di
nilai 0.1407-0.5556 dengan rata-rata 0.3343. Pada Gambar 2 menunjukkan jarak genetik
berdasarkan pada kelompok aksesi dari Bengkulu (dendogram
hijau muda) dan Gorontalo (dendogram biru) memiliki jarak genetik terjauh yaitu 0.5556.
Jarak genetic terdekat pada kelompok aksesi dari NTT dan Jawa Timur (warna hijau)
dengan jarak 0.1407. Proses seleksi tetua persilangan yang unggul dapat dilakukan pada
populasi yang memiliki keragaman dan jarak genetik yang luas dengan karakter tertentu
yang diunggulkan. Jarak genetik diperlukan untuk mengestimasi perbedaan yang timbul
dari adanya keragaman genetik yang ada pada suatu populasi.
P r o s i d i n g | 136
Gambar 2. berdasarkan genetik 22 asal
wilayah aksesi ubi kayu
Berdasarkan karakter hasil berupa bobot pucuk/tanaman dan potensi hasil pucuk
daun aksesi ubi kayu (Tabel 3 dan Tabel 4) menunjukkan hasil yang beragam. Nilai
terkecil pada karakter bobot pucuk/tanaman berada pada nilai 0.5 gr, nilai terbesar pada
bobot sebesar 107.40 gr dengan nilai rata-rata bobot sebesar 32.22 gr/tanaman. Hampir
sepertiga dari aksesi ubi kayu yang diamati (50 aksesi), menghasilkan bobot pucuk daun
sekitar 15.71 g–31.43 g/tanaman. Untuk bobot diatas rata-rata sejumlah 65 aksesi, dua
aksesi diantaranya mencapai bobot 100 gr/tanaman.
Adanya perbedaan hasil bobot yang merupakan karakter kuantitatif pada aksesi
ubi kayu dapat disebabkan beberapa faktor seperti lingkungan, jenis varietas dan
lainnya. Terkait faktor lingkungan, hal ini sesuai dengan Allard (1960) yang menyatakan
bahwa lingkungan yang mempengaruhi tanaman dapat bervariasi untuk setiap tempat
tumbuh sehingga memberi pengaruh yang berbeda pada setiap penampilan karakter
morfologi dan hasil tanaman. Pada varietas yang unggul seperti halnya di Thailand
penggunaan varietas unggul Rayong 1 mampu menghasilkan 14 ton/ha yang dirilis sejak
tahun 1975 (Ratanawaraha 2000).
P r o s i d i n g | 137
Tabel 4. Data dekriptif karakter bobot pucuk/tanaman (g)
Nilai min 0.50
Nilai max 107.40
Rata-rata 32.33
Gambar 3. Histogram bobot pucuk/tanaman
Produksi pucuk daun dapat meningkat dengan melakukan panen daun ubi kayu
selama masa pertumbuhan, meskipun akan memberi efek kurang baik pada hasil umbi
ketika panen (Ravindran, 1987). Jumlah batang utama yang dihasilkan oleh tanaman
ubi kayu tergantung dari keberadaan jumlah pucuk daun (Alves, 2002). Secara tidak
langsung kualitas dan kuantitas pucuk daun ubi kayu akan berkorelasi pada
pembentukan batang dan umbi. Namun pada beberapa studi menunjukkan bahwa
panen daun dapat dilakukan bersamaan dengan masa pertumbuhan ubi kayu. Selain itu,
konsekuensi yang harus diperhatikan ketika memanen pucuk daun sebagai sayuran
adalah rentannya terhadap penyakit khususnya (CMD) (Ariyo
2010).
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0 20 40 60 80 100 120
Bobot Pucuk per Tanaman (g)
Histogram (Bobot Pucuk per Tanaman (g))
Batas
bawah Batas atas Frekuensi
0.00 15.71 39
15.71 31.43 50
31.43 47.14 30
47.14 62.86 19
62.86 78.57 7
78.57 94.29 7
94.29 110.00 2
P r o s i d i n g | 138
Untuk potensi hasil pada pucuk daun ubi kayu juga beragam. Potensi hasil dihitung
untuk memprediksi produktivitas pucuk daun dalam satuan luas. Jika dilihat rata-rata
potensi hasil pada Tabel 5 dan Gambar 4 didapatkan bobot 323 kg/ha (0.323 ton/ha).
Beberapa hasil penelitian untuk produktivitas pucuk daun menunjukkan potensi yang
dapat menghasilkan nilai yang tinggi. Menurut Ravindran dan Rajaguru(1988), hasil
tertinggi untuk potensi daun mencapai nilai 4.6 ton/ha. Adapun hasil rendah didapatkan
dengan nilai potensi bobot mencapai 1.2-1.8 ton/ha (Gomez dan Valdivieso, 1984).
Adanya potensi hasil pucuk daun ubi kayu sangat bervariasi tergantung pada kultivar,
umur tanaman, kesuburan tanah, frekuensi panen dan iklim (Ravindran, 1988). Potensi
hasil pada penelitian ini masih relatif rendah, namun terdapat dua aksesi yang memiliki
potensi hasil yang tinggi yang mencapai 1.1 ton/ha yakni aksesi 535 dari Jawa Barat dan
630 dari Bengkulu. Kedua aksesi tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi
sumber genetik pucuk daun ubi kayu sebagai sayuran daun.
Tabel 5. Data dekriptif karakter potensi hasil pucuk (kg/ha)
Nilai min 5.00
Nilai max 1074.00
Rata-rata 323.32
Gambar 4. Histogram potensi hasil pucuk
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0 200 400 600 800 1000 1200
Potensi Hasil Pucuk (kg/ha)
Histogram (Potensi Hasil Pucuk (kg/ha))
Batas
bawah Batas atas Frekuensi
0 157.14 39
157.14 314.29 50
314.29 471.43 30
471.43 628.57 19
628.57 785.71 7
785.71 942.86 7
942.86 1100.00 2
P r o s i d i n g | 139
KESIMPULAN
Aksesi-aksesi ubi kayu memiliki potensi untuk dijadikan sebagai sayuran daun
dengan keragaman morfologi yang luas pada warna petiol, jumlah cuping daun, panjang
cuping daun, lebar cuping daun dan warna tulang daun. Latar belakang genetik ubi kayu
asal Indonesia berupa tingkat diversitas genetik bervariasi dari 0.08-0.80 dengan rata-
rata 0.45 dengan nilai PIC 0.39 pada beberapa karakter morfologi daun. Jarak genetik
yang jauh dengan jarak genetik antar aksesi ubi kayu berdasarkan shared allele distance
berkisar antara 0.000-1.000 dengan rata-rata jaraknya 0.4560.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada LPPM UNPAD karena penelitian
merupakan rangkaian biaya penelitian Strategis Nasional 2014, Underutilize Crops
UNPAD sebagai sponsor eksplorasi dan identifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Allard, R.W. (1998). Canada: John Willey &
Sons, Inc.
Alves, A.A.C. (2002). Cassava Botany and Physiology. In Consensus Document on
. Paris: Organisation for Economic
Co-operation and Development (OECD).
Ariyo,O.A., Dixon, A.G.O., & Atiri, G.I.(2003). Cassava leaf harvesting as vegetables; a
cause of vulnerability of cassava plant to cassava mosaic disease and eventual
yield reduction.
Issue 3-4
Chakraborty, R & Jin, L.(1993) A unified approach to study hypervariable
polymorphisms: statistical considerations of determining relatedness and
population distances. In S.D.J Pena, R.Chakraborty, J.T Epplen & A.J.Jeffreys,
(pp.154-175). Basel Switzerland: Birkhauser
Verlag
(CGIAR). Retrieved March 1,
2014, from CGIAR website: http://www.cgiar.org/our-research /crop-factsheets
/cassava/.
Costa, T.R, Vidigal-Filho, P.S., Gonçalves-Vidigal,M.C., Galván, M.Z., Lacanallo, G.F.,
Silva, L.I., and Kvitschal, M.V. (2013). Genetic diversity and population structure
of sweet cassava using simple sequence repeat (SSR) molecular markers.
:1040-1048.
Elias, M., Panaud O, and Robert T. (2000).Assessment of genetic variability in a
traditional cassava ( Crantz.) farming system, using aflp
markers.In Consensus Document on
Paris: Organisation for Economic Co-operation and Development
(OECD).
Fehr, W.R. (1987). . Iowa State University-USA:
McGraw-Hill, Inc.
Fregene, M.A., Suarez, M., Mkumbira, J., Kulembeka, H., Ndedya, E., Kulaya, A., Mitchel,
S., Gullberg, U., Rosling, H., Dixon, A.G.O, Dean, R., Kresovich, S. (2003). Simple
P r o s i d i n g | 140
sequence repeat marker diversity in cassava landraces: genetic diversity and
differentiation in an asexually propagated crop. :1083-
1093
Fukuda, W.M.G., Guevara C.L., Kawuki R., and Ferguson M.E. (2010). Selected
morphological and agronomic descriptors for the characterization of cassava. (pp.
1–19).Ibadan Nigeria:IITA Research to Nourish Africa.
García, B.Y., Jiménez, M.M. D., Arbelo, C.O., Cabrera, R.A., Pérez, B.M., Pino, S.A.,
Torres, L.J., Vega, M.V. R., Alfonso,C.J.A., Díaz, R.E., and Pérez, R.D. (2014).
Morphological and agronomic characterization of Cuban cassava cultivars (
Crantz). Vol. 35 No. 2 pp. 43-50
Gonçalves, T.M. , Filho, P.S.V , Goncalves-Vidigal, M.S., Ferreira, R.C.U., Rocha, V.P.C.,
Ortiz, A.H.T., Moiana, L.D., and Kvitscha, M.V.Genetic diversity and population
structure of traditional sweet cassava accessions from Southern of Minas Gerais
State, Brazil, using microsatellite markers. Vol.
16(8), pp. 346-358
Guo, X., Elston, R.C. (1999). Linkage information content of polymorphic genetic
markers.
, 49(2):112-8.
Hallauer, A., and Miranda F.J.B Miranda.(1988).
. Iowa, USA: Iowa State University Press,.
Jeffers, J.N.R. (1996).
. . p.225-236. Wiley for the Journal oof the Royal Stastical
Society. doi: 10.2307/2985919.
Jolliffe, I. (2002). . USA: Springer.
Kambuou, R., Paofa, J and Winston, R. (2005).
Papua New Guinea:
National Agricultural Research Institute (NARI).
Kartikaningrum.,Hermiati,N.,Baihaki,A.,Karmana, M.H.,&Toruan-Mathius, N. (2003).
Kekerabatan 13 genotipe anggrek Subtribe Sarcanthinae berdasarkan karakter
morfologi & pola pita DNA. ,13(1): 7-15.
Khodadadi, M., Fotokian, M.H., Miransari, M. (2011).Genetic diversity of wheat
genotypes based on cluster&principal component analyses for breeding.
, 5(1):17-24
Laila, F., Zanetta, C.U., Waluyo, B., Amien, S., Karuniawan, A. (2015). Early identification
of genetic diversity and distance from indonesia cassava potential as food,
industrial and biofuel based on morphological characters. Energy Procedia 65:100-
106
Montagnac, J.A., Christopher, R. D., and Sherry A.T. (2009). Nutritional value of cassava
for use as a staple food and recent advances for improvement.
.Vol 8,Issue 3.Muller, L.D and F.J. Ayala.
(1982). Estimation and interpretation of genetic distance in empirical studies.
Res.,Camb, 40: 127-137
Nei M., and Roychoudhury, A.K.(1974). Sampling variances of heterozygosity and
genetic distance. : 379-390
P r o s i d i n g | 141
Ortiz, A.H.T., Rocha,V.P.C., Moiana, L.D., Gonçalves-Vidigal, M.C., Galván,M.Z., Vidigal-
Filho,P.S. (2016). Population structure and genetic diversity in sweet cassava
cultivars from Paraná, Brazil. 34(6):1153-1166.
Osekita, O.S., Ajayo, A.T., Obembe, A.O., and Yusuf, S.O. (2014). Evaluation for
distinctness and variability in morphological charcaters of some cassava (
Crantz) genotypes.
, Vol. 3 No. 2 pp. 628-631.
Petterson, R.G. (1994). New
York.USA: Marcel Dekker Inc..
Ratanawaraha, C., Senanarong, N., and Suriyapan, P.(2000). Status of cassava in
Thailand: implications for future research and development. FAO.
Ravindran,V. (1988).Cassava leaves as animal feed: potential and limitations.
, 61, 141-150.doi: 10.1002/jsfa.2740610202
Saitou, N., and Nei, M. (1987). The neighbour-joining method: a new method for
reconstructing phylogenetic trees. 4: 406-425.
Tumuhimbise, R. (2013). Breeding and evaluation of cassava for high storage root yield
and early bulking in Uganda. In
Pietermaritzburg, Republic of South Africa. Retrieved from
http://hdl.handle.net/10413/10883
Waluyo, B., Karuniawan, A, Ruswandi, D., and Istifadah, N. (2016). Respons aksesi ubi
jalar lokal yang dikoleksi secara ex-situ terhadap perubahan lingkungan.
Malang: Balitkabi Litbang
Pertanian.