positive accounting theory
DESCRIPTION
AkuntansiTRANSCRIPT
POSITIVE ACCOUNTING THEORY
1. PENDAHULUAN
Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh
Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT), dalam
paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman meluncurkan artikel
penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts dan Zimmerman
merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental sekaligus kontroversial.
Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung dijadikannya PAT sebagai
paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-kuantitatif.
Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih
menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai pada
kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling (1990), yang
mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh. Tetapi hanya
dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought. Atau disebut
Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh
akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah,
yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran
itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk
melakukan evaluasi konstruktif.
2. KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)
Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif”
yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan untuk
membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan prediksi
tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas akuntansi’.
Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman (1980) yang
mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi positif dan ekonomi
normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada kemajuan ekonomi
normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori ekonomi dapat
diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia mengatakan bahwa
“tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan ‘teori’ atau ‘hipotesis’
yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas fenomena yang belum diamati.
Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan
menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan
(knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains
normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang berhubungan
dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains positif” mulai
populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut dengan
“positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam yang
memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is) (untuk
lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987 misalnya).
Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus
dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris
bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang tersistem)
atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan atau
knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-rupakan
suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi empiris.
Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan sebagai suatu
proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah tidak penting
apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau positif,
semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu pengetahuan juga
perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya bersifat positif.
Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris lebih didasarkan
pada produk dan proses.
Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3
bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar Ekonomi
yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari Positivisme
Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling berkaitan dengan
penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang berjudul POSITIVE
ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi scientific dari PAT
hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang terdiri dari 14 halaman
dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan scientifik hanya setengahnya.
Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai Buku Akuntansi Empiris
Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade
kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel
Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang diedit kembali.
Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.
Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua, yaitu
studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan penelitian
praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap ilmiah bila
berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak ilmiah
(semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa tujuan
teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict). Studi
fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi fenomena
akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai formulae atau
mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO). Pertanyaan yang
muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa formula tersebut
yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui mathematical
constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk (informasi)
akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret kata-kata dan
angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian (events). Sindiran
Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut:
They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that they
need be images of matters (economic goods)
Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption
Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai
income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling
(1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah income,
tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar kepentingan self-
interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School yang tetap melihat
dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.
Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh
perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization
seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang terlihat
sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%. Dari sini
diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat menjelaskan realitas
utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk income dan derivasinya,
atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling misalnya mengusulkan adanya
Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena akuntansi bukan hanya dari hasil
mathematical constructions yaitu laporan keuangan misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982,
mengusulkan Historical Materialism).
Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan
proses akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan. Hal ini tidak dapat dilakukan
oleh PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu
dapat terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak,
kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena
akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang
menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai
tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun sebenarnya
merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang seragam, tetapi juga
dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan rumus E=mc2) atau
fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity Theory)
Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free
menghindari pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah.
Sedangkan yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu.
Science adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap
tidak ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan
Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.
Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang
dengan demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT
sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman
telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris
sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara
statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum
memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih
maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik lebih
baik
PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu
Ekonomi Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk
pada National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk
konsep Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam
sains merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung
dari Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh
Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep
positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan
penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh
positifisme.
Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman
(1986) memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan
utilitas mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT
mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk
memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi.
Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan
memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi
auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll).
Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori
normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual
dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau
pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh
Normative Theory.
3. SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)
Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun
keluarnya gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya
gagasan PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping
melakukan evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan
atas kritik-kritik terhadap PAT.
Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi
mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan
pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to
predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak
konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh
Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’. Kritik asumsi dasar PAT
sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya datang dari Boland dan Gordon
(1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT berasal dari Economic-Based
Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau lebih detil lagi menurut Boland
dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun 1978, 1979 dan 1980 merupakan
penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton Friedman. Instrumentalisme
menyatakan bahwa teori dan explanation harus dijustifikasi untuk kepentingan
usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari
Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis empiris tidak akan berjalan jika
hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman tahun 1986
berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan Popper, yaitu Conventionalism.
Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah
(never absolutely thrue or false).
Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi
Metodologis, Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi
seperti dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk
model yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic
considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori
formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size” tidak
jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik dari
variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam
penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat
bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.
Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis
mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker, Merino,
dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987; Whitley 1988).
Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti dijelaskan oleh
Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala London School
Economics dan Chicago School.
Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992)
beberapa pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck
1990). Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya
dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus mempertimbangkan
maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General Equilibrium dari
Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman. Mereka hanya
merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George Stigler dan
Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai konsekuensi
maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi kekayaan.
Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan pada asumsi
utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s
Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.
PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini
ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap
individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri.
Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk
menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku
opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan
compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT
tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan yang
simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak memiliki)
kontribusi praktis akuntansi.
4. EVALUASI KRITIS PAT
Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan kontribusi
keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam kritik filosofis-
saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki kontribusi apapun
terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan Zimmerman sepertinya lebih
didorong oleh pragmatism utility of knowledge of accounting research. Ukuran yang
dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan oleh
mereka sendiri, yang menurut mereka PAT lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan
kontribusi yang diinginkan oleh para kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada
substansi keilmuan akuntansi dan bukan hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an
sich.
Value Laden
Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami
pentingnya nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak
memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan bersentuhan
dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan misalnya.
Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja,
suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi, seperti
dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :
accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is
through its reflection and reinforcement of the values of society.
Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi world-
view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme, sekuler,
egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan akuntansi sebagai
decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi pada pasar modal
berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi kapitalisme. Hal ini
ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat dibangun atas dasar filsafat
materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa campur tangan Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari
substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran
Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia (world-
view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.
Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan
kekuatan di luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi
(materialism) dan penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-
Attas 1981). Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat
setelah Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh
kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna
sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam
akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti
terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas
perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya menyajikan
realitas materi saja.
Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003)
seorang pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti
binatang yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti
makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan
fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang,
karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui”
oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan
penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang
berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi
perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut
Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip
tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal
sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk
prestise.
Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain,
dan akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi
inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber,
melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam
mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat
dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan
pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang
dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya
bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh
kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi
berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar
diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang
paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna
informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi yang
dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest.
Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek
eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana hanya
hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung mereduksi hak-
hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.
Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan
pemikiran manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk
pondasi ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-
interest, berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau
shareholders.
Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak
berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada
kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali
berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan
manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan
kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi, mengarah
pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders maupun
stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002). Bentuk
riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir
perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).
Mathematical Constructions
Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi
akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things
dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian perlu
penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik, menjadi
penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis dari
Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika kuantum
dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal, memperoleh
unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks probabilitas reaksi
dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan konsep Kuantum dan
Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat informasi akuntansi
sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang dideskripsikan dalam knteks
kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa saham.
Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai
secara parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian
asumsi dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago
School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization yang
hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan asumsi
lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory mensyaratkan
empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis untuk
mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu pada
matriks S.
Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-
probabillitas reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan
eksperimental dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan
tergantung pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel
terhadap orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan
jumlah total rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat
mendasar bagi aktivitas ilmiah.
Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat
diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk
seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus
sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini
akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip
uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun elemen
matriks S.
Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip
kasualitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui
jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan
momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu
reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah
reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari partikel-
partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana penciptaan
partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur matematis dari
Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut matematikawan sebagai
singularitas
Ulitity Maximization
Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan
definisi utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk
income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak
menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan filantropis,
misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar utility
maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based accounting
theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli kita, shadaqah,
infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep Kapitalisme,
Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan substansi dari konsep
utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of
Economics.
5. CATATAN AKHIR
Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan
pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik.
Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah
pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori akuntansi
pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap perubahan
perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai informasi tersebut
untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness informasi. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau peristiwa (event) dengan
return, harga atau volume saham di pasar modal
Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi
harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan
selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility.
Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak pada
konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.
Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir,
cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh,
seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan
akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang dapat
memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi
lingkungan serta entitas di luarnya.
.