penggunaan metode positive deviance untuk …
TRANSCRIPT
1
PENGGUNAAN METODE POSITIVE DEVIANCE UNTUK MENGATASI
MASALAH GIZI BURUK
Oleh:
Zuldesni, Elfitra, Dwiyanti Hanandini, Wahyu Pramono, Aziwarti
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
ABSTRAK
Berbagai literature dan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang relevan
antara kemiskinan dan kekurangan gizi. Artinya, kemiskinan merupakan salah satu factor
yang sangat berpengaruh terhadap status gizi anak. Pemahaman ini mempengaruhi bentuk-
bentuk program yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah
kekurangan gizi. Sehingga dapat kita pahami program-program yang telah dilakukan adalah
seperti PMT (Pemberian Makanan Tambahan) kepada anak-anak keluarga yang mengalami
kekurangan gizi. Makanan tersebut dapat berupa susu, biscuit, telur,dll. Program tersebut
dibuat tentu dengan asumsi bahwa anak mengalami kekurangan gizi karena ketidakmampuan
(kemiskinan) keluarga untuk memberikan makanan-makanan yang bergizi kepada anak.
Pengabdian ini berangakat dari pemahaman yang sama tetapi dengan pendekatan yang
berbeda, dimana kemiskinan memang merupakan salah satu factor yang berpengaruh
terhadap kekurangan gizi, tetapi pendekatan yang digunakan adalah dari dalam komunitas itu
sendiri yaitu pendekatan penyimpangan positif (Positif Deviance). Penyimpangan Positif
adalah keluarga miskin dengan kebiasaan dan perilaku tertentu membuat mereka berhasil
keluar dari permasalahan kekurangan gizi (memiliki anak dengan status gizi baik).
Kata Kunci: Kurang Gizi, Anak Balita, Kemiskinan, Penyimpangan Positif.
PENDAHULUAN
Badan Pusat Statistik memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010
mencapai 234,2 juta atau naik dibanding jumlah penduduk 2000 yang mencapai 205,1 juta
jiwa. Sekitar 37,3 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, separo dari total rumah
tangga mengkonsumsi makanan kurang dari kebutuhan sehari-hari, lima juta balita berstatus
gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang
gizi.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mendata, akhir 2012, Indonesia
berada di peringkat nomor 5 di dunia untuk angka balita kekurangan gizi. Jumlah balita yang
kekurangan gizi di Indonesia saat ini sekitar 900 ribu jiwa. Jumlah tersebut merupakan 4,5
persen dari jumlah balita Indonesia, yakni 23 juta jiwa. Daerah yang kekurangan gizi tersebar
di seluruh Indonesia, tidak hanya daerah bagian timur Indonesia. Angka itu tak bisa
diacuhkan, tinggi badan mereka lebih rendah dibanding balita normal.
Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang dihadapi Indonesia saat ini
adalah beban ganda masalah gizi. Pada tahun 1990, prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
sebanyak 31%, sedangkan pada tahun 2010 terjadi penurunan menjadi 17,9%. Berdasarkan
2
data Riskesdas 2010, prevalensi gizi lebih pada Balita sebesar 14,0 %, meningkat dari
keadaan tahun 2007 yaitu sebesar 12,2 %. Masalah gizi lebih yang paling mengkhawatirkan
terjadi pada perempuan dewasa yang mencapai26,9% dan laki-laki dewasa sebesar 16,3%.
Menurut Sihad, dkk (2001), anak balita gizi buruk jika tidak segera mendapat penanganan
yang serius akan memberikan dampak yang cukup fatal. Hasil penelitian pada awal usia 6 9
tahun yang sewaktu balita menderita gizi buruk memiliki rata-rata IQ yang lebih rendah 13,7
poin dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami gangguan gizi.
Jumlah Kasus gizi buruk saat ini menggambarkan fenomena puncak gunung es
dimana kondisi sebenarnya dilapangan jauh lebih banyak. Kasus gizi buruk di Lombok Timur
misalnya, hingga Januari 2011 mencapai 330 orang dengan rincian 130 balita gizi buruk dan
200 balita gizi kurang (VIVAnews.com). Tak hanya di Lombok Timur, Jumlah penderita gizi
buruk di Sulawesi Selatan hingga Oktober 2011 dilaporkan 286 kasus meningkat dari tahun
sebelumnya yang hanya 150 kasus sehingga jumlahnya mencapai 436 kasus (tribun
timur.com). Adapun di Gorontalo berjumlah 250 kasus, salah satunya adalah Fitri yang
berusia delapan tahun tubuhnya kurus kering, kulit disekujur tubuhnya mengelupas dan
mulutnya penuh luka. Kondisi yang lebih ironis dialami oleh Nurmayasari anak dari salah
satu keluarga miskin di Bogor, Jawa Barat, pada November 2011 sudah tak bernyawa,
karena tidak mampu lagi menerima asupan gizi (liputan 6.com). Dan masih banyak daerah-
daerah lain di Indonesia yang mengalami kasus serupa. Sehingga tak heran jika Direktur Bina
Gizi Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes Dr dr Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H,
MARS,mengatakan bahwa“Ada sekitar 1 juta anak gizi buruk di Indonesia diantara 240 juta
penduduk Indonesia.”
Persentase kasus gizi buruk dibeberapa provinsi berada diatas prevalensi nasional
(5,4%). Misalnya, Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan yang tertinggi di Indonesia
mencapai 30,5 % dan yang terendah adalah di Provinsi Sulawesi Utara, sebesar 10,6 %
(Babuju.com). Millennium Development Goals (MDGs) merupakan kerangka kerja
pembangunan yang telah disepakati seluruh anggota PBB termasuk Indonesia. Salah satu
sasaran utama MDGs adalah pemberantasan kemiskinan dan kelaparan.Indikator tingkat
kemiskinan di Indonesia salah satunya dilihat dari prevalensi gizi buruk. Oleh karena itu,
MDGs menargetkan tercapainya penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menjadi
15% dan 3,5 % pada tahun 2015.
Sumatera Barat memiliki prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang tinggi di
Indonesia. Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2004, Sumatera Barat memiliki
prevalensi 25,42%. Hasil penelitian HKI dan Fakultas Kedokteran Unand tahun 2000 di
3
Sumatera Barat diperoleh informasi anak usia 0 – 59 bulan yang stunting ringan/sedang
(TB/U nya ≥ -2 SD) ada sebanyak 36,7%, stunting tingkat berat (TB/U < -3 SD) sebesar
10,6%, sedangkan prevalensi stunting untuk 4 kota besar di Sumatera Barat mencapai 31%.
Temuan dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat tahun 2001 melalui kegiatan
Pemantauan Status Gizi (PSG) ditemukan balita yang menderita KEP Berat sebesar 1,8%.
Prevalensi gizi buruk (skor Z berat badan menurut umur) di Indonesia tahun 2003 sebanyak
8,3 %, menjadi 8,8% tahun 2005, Propinsi Sumatera Barat 7,03% tahun 2003 dan meningkat
menjadi 10,8% tahun 2005 (Depkes, 2006).
Laporan hasil penimbangan massal di propinsi Sumatera Barat pada tahun 2005 angka
prevalensi gizi kurang telah turun menjadi 14,9% (2,9% adalah gizi buruk) dan pada tahun
2006 meningkat lagi menjadi 15,8% (2,9% menderita gizi buruk). Peningkatan angka
prevalensi gizi kurang terjadi di Kota Padang sebanyak (1,8%) dengan cakupan penimbangan
yang paling rendah (56,2%) dibandingkan daerah lain (Tabel 1). Walaupun cakupan
penimbangan masih rendah, tetapi data ini mampu memberikan gambaran bahwa kekurangan
gizi terus meningkat karena Indonesia masih mengalami krisis ekonomi yang
berkepanjangan.
Data dari Dinas Kesehatan Kota Padang bahwa data Balita gizi buruk tahun 2010
berjumlah 100 orang, sebanyak 12 balita gizi buruk yang dirawat inap dan 88 orang Balita
yang rawat jalan. Balita dengan status gizi kurang berjumlah 550 orang dan sebanyak 317
orang diantaranya berasal dari keluarga miskin. Balita dengan gizi kurang dan gizi buruk
tersebar di seluruh Puskesmas kota padang.
Pada tahun 1998 pemerintah melakukan perbaikan gizi melalui langkah pengamanan
yang disebut Social Safety Mate atau yang dikenal dengan jaring pengaman social. Dalam
bidang kesehatan dikenal dengan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) sebagai bagian dari
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). PMT dilakukan dengan memberian
makanan tambahan berupa telur, susu, biskuit pada anak-anak gizi buruk dan gizi kurang
selama 90 hari. PMT JPS-BK kemudian menjadi idola tetapi masih menyisakan masalah
besar akibat mewariskan karakter ketergantungan yang hebat, bukan saja pada level petugas
kesehatan tetapi juga pada level masyarakat penerima bantuan. Seringkali bantuan yang
diberikan berupa susu, telur dan biscuit bukan dikonsumsi oleh anak yang kurang gizi, tetapi
malah dikonsumsi oleh orang tua atau anggota keluarga lainnya. Sehingga program ini
bukannya menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah baru yaitu ketergantungan.
(Sirajuddin, 2004:2).
4
Pendekatan lain yang tak kalah penting yang pernah digalakkan oleh pemerintah
adalah konsep pemberdayaan keluarga. Hingga saat ini konsep pemberdayaan keluarga dalam
mengatasi gizi buruk masih jarang dilakukan, karena sulitnya untuk merumuskan bentuk
intervensi yang melibatkan aspek income generating keluarga. Terlebih jika kemudian
disimpulkan bahwa penyebab gizi buruk adalah sindroma kemiskinan.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa dibutuhkan sebuah pendekatan yang lebih
mengakar dan memberi hasil yang maksimal dalam menanggulangi masalah gizi buruk di
Indonesia. Pendekatatan positive deviance sebagai salah satu pendekatan yang pernah sukses
di Vietnam dalam menanggulangi masalah kekurangan gizi merupakan salah satu pilihan
(alternative) yang dapat dijadikan pilihan.
Walaupun kekurangan gizi berhubungan erat dengan kemiskinan, akan tetapi sebagian
anak dalam keluarga tertentu dengan sosial ekonomi yang rendah (miskin) mempunyai daya
adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik (tidak kurang
gizi). Mereka dapat keluar dari permasalahan yang sama (kekurangan gizi) ketika keluarga-
keluarga miskin lainnya terbelenggu dalam masalah kekurangan gizi. Padahal secara sosial
ekonomi mereka sama dan hidup dalam lingkungan yang sama serta memiliki akses yang
sama pula terhadap fasilitas kesehatan. Keluarga miskin yang memiliki anak yang sehat
inilah yang disebut sebagai penyimpangan positif (positive deviance).
TINJAUAN PUSTAKA
Ada beberapa faktor penyebab yang diduga menghambat masyarakat untuk
mengkonsumsi gizi. Ketiadaan bahan gizi murah merakyat dan yang paling disayangkan
adalah ketidaktahuan masyarakat akan gizi dan peran pentingnya dalam kehidupan manusia.
Faktor kemiskinan seringkali diduga penyebab masyarakat kurang gizi. Pendapat ini
tidak sepenuhnya benar. Fakta yang lebih kuat menyatakan bahwa ternyata masyarakat kita
belum sepenuhnya memahami gizi dengan benar. Ada kesan bahwa gizi itu barang mewah
yang mahal dan orang miskin tidak akan mampu menyediakannya. Jelas ini adalah opini yang
salah dan berakibat fatal. Salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi ini adalah perilaku
masyarakat yang dapat membuat struktur keluarga terpecah (pekerja migrasi, perceraian dll)
yang pada akhirnya membuat anak terlantar dan menjadi kurang gizi. Faktor lain yang juga
cukup dominan adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi dan kesehatan para ibu atau
keluarga yang mengasuh dan memelihara anak/balita tersebut, juga rapatnya jarak kehamilan
dan kelahiran. Selain itu juga anak tidak mendapat cukup perhatian dan ASI, karena ibunya
sangat sibuk mengurusi anak yang banyak serta asupan makanan yang kurang atau anak
sering sakit/terkena infeksi. Beberapa faktor penyebab:
5
Tidak tersedianya makanan secara adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial
ekonomi. Kadang-kadang bencana alam, perang maupun kebijakan politik maupun ekonomi
yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan
tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan adanya
hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan kemiskinan. Kemiskinan merupakan
penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik
dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang
kekurangan gizi. Kemiskinan sering dituding sebagai biang keladi munculnya penyakit ini di
negara-negara berkembang. Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan
paling mendasar yaitu pangan pun sering tidak bisa terpenuhi. Laju pertambahan penduduk
yang tidak diimbangi dengan bertambahnya ketersediaan bahan pangan akan menyebabkan
krisis pangan. Inipun menjadi penyebab munculnya penyakit kurang gizi.
Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang. Makanan alamiah terbaik
bagi bayi yaitu ASI, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat makanan pendamping
ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berakibat terhadap status gizi
bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga
mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya.
MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan
seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena ketidaktahuan. Faktor sosial:
yang dimaksud disini adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan
bergizi bagi pertumbuhan anak. Sehingga banyak balita yang diberi makan ”sekedarnya” atau
asal kenyang padahal miskin gizi.
Pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh
ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya
ASI, manfaat posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih
sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya
sebagian anak yang gizinya buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga
miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk
mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak
menderita gizi buruk. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan/ adat istiadat masyarakat
tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak. Misalnya
kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu
dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak-anak daging, telur,
6
santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapatkan asupan lemak,
protein maupun kalori yang cukup.
Sering sakit menjadi penyebab terpenting kekurangan gizi, apalagi di negara-negara
terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan
kebersihan/personal hygine yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu,
khususnya infeksi kronik seperti TBC masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi
seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan
saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan kurang gizi dan kondisi
malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. Tak dapat dipungkiri memang ada hubungan erat antara
infeksi dengan malnutrisi. Infeksi sekecil apapun berpengaruh pada tubuh. Sedangkan kondisi
malnutrisi akan semakin memperlemah daya tahan tubuh yang pada giliran berikutnya akan
mempermudah masuknya beraga
Sajogyo dkk (1999:34), bahwa penyebab timbulnya masalah gizi (kurang gizi) pada
anak balita adalah rendahnya penghasilan dari rumah tangga. Rendahnya penghasilan
membawa akibat pada penberian makanan yang kurang jumlahnya dan kualitas gizinya.
Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah uuntuk mengatasi masalah kekurangan
gizi antara lain malekukan penimbangan balita, KIE/Promkes, pemanfaatan pekarangan,
pemberian makanan tambahan (PMT), oralit, kapsul vitamin A. Kegiatan tersebut sifat
intervensi yang berasa dari lar komunitas. Oleh karena itu hasilnya seringkali kurang
memuaskan karena ketika intervesi selesai dilakukan masyarakat kurang mampu melanjutkan
sendiri program yang telah diintrodusir terebut. Untuk itu perlu dicarikan suatu metode yang
dapat menggugah kesadaran masyarakat agar mau berusaha sendiri untuk mengatasi
masalahnya melalui perilaku-perilaku yang telah dikerjakan oleh orang lain dalam
komunikatas yang menyimpang dari perilaku umum yang ada. Perilaku ersebut disebut
sebagai perilaku penyimpangan ositif.
Penyimpang positif (positive deviant) adalah individu-individu tertentu dalam
masyarakat atau komunitas yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku
special atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-cara yang lebih
baik untuk mengatasi masalah-masalah dibandingkan tetangga-tetangga mereka yang
7
memiliki sumber yang sama dan menghadapi resiko yang serupa.”(Monique and J. Sternin,
2003:2).1
Adapun yang dimaksud dengan memiliki sumber yang sama yaitu keluarga-keluarga
yang memiliki anak-anak kekurangan gizi dan keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak
sehat (positive deviant) hidup dalam lingkungan yang sama serta memiliki status social
ekonomi yang sama (miskin) dan menghadapi resiko yang serupa yaitu kekurangan gizi2.
Walaupun memiliki sumber yang sama (miskin) dan menghadapi resiko yang serupa
(kekurangan gizi), namun memiliki hasil yang berbeda yaitu keluarga miskin dengan anak
yang kekurangan gizi dan keluarga miskin dengan anak yang sehat. Keluarga miskin dengan
anak yang sehat inilah yang disebut dengan keluarga penyimpang positif.
Mengapa keluarga miskin dapat memiliki anak-anak yang sehat? karena keluarga
miskin tersebut memilki perilaku-perilaku yang tidak lazim atau biasa dilakukan oleh
kebanyakan (normal) keluarga miskin lainnya dalam komunitas yang sama. Perilaku-perilaku
tersebut adalah perilaku special yang berhubungan dengan kesehatan seperti pola
pengasuhan, pola pemberian makan, perilaku kebersihan, dll. Walaupun perilaku-perilaku
dan kebiasaan-kebiasaan yang special tersebut tidak umum dilakukan di dalam komunitas,
tetapi perilaku dan kebiasaan tersebut tidak menghambat atau bertentangan dengan
kearifan/kebijaksanaan konvensional (conventional wisdom). Perilaku dan kebiasaan tersebut
seperti memakan tanaman yang dianggap tabu oleh masyarakat, memasak makanan dengan
cara yang berbeda, perawatan anak selama sakit,dll.
Perilaku-perilaku keluarga devian positif tersebut di atas bukanlah perilaku yang tidak
dapat dilakukan oleh keluarga miskin lainnya. Tetapi karena adanya nilai-nilai dan kebiasaan-
kebiasaan tertentu membuat beberapa keluarga miskin tidak dapat melakukannya. Misalnya
dalam pemberian kolostrum, keluarga miskin yang memiliki anak kekurangan gizi tidak
memberikan kolostrum kepada anaknya karena adanya kepercayaan bahwa kolostrum
1 Lebih lanjut istilah positive deviance telah dipakai untuk menjelaskan suatu keadaan
penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak di dalam lingkungan masyarakat dan keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan factor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan atau status gizi yang baik dan anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dimana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan kekurangan gizi. Dapat dilihat dalam: Positive Deviance in Child Nutrition :with emphasis on psychosocial and behavioural aspects and implications for development, by Marian Zeitlin, Hossein Ghassemi and Mohamed Mansour, The United Nations University, Tokyo,1990)
2 Beberapa hasil peneltian menunjukkan hubungan yang erat antara kemiskinan dan kekurangan gizi. Lebih lanjut lihat: (Supariasa, 2002; Sajogyo dkk, 1999)
8
tersebut adalah susu basi, sehingga tidak baik untuk anak. Bahkan kolostrum tersebut
diyakini dapat membuat anak kuning dan panas.3Hal senada juga terdapat dalam penelitian
yang dilakukan oleh LSM Totalitas dimana di Desa Batu Panjang Kab. Solok Sumatera
Barat, beberapa keluarga miskin penyimpang positif memasak serangga sejenis belalang
(mereka menyebutnya sipasin) yang banyak terdapat pada saat panen padi untuk makan anak
mereka. Sipasin tersebut sebenarnya bisa didapatkan dengan mudah di lingkungan mereka
tetapi mereka tidak biasa memberikannya untuk anak-anak karena dianggap dapat
mengakibatkan anak sakit. Tetapi beberapa keluarga penyimpang positif memasak dan
memberikanya kepada anak mereka.
TUJUAN DAN MANFAAT KEGIATAN
Tujuan Kegiatan:
a. Mengenalkan metode positive deviant kepada para kader kesehatan untuk mengatasi
masalah gizi buruk
b. Melatih kader kesehatan dalam menggunakan metode positive deviant untuk
mengatasi masalah gizi buruk.
Manfaat Kegiatan:
a. Menambah pengetahuan kader kesehatan mengenai variasi metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah gizi buruk .
b. Meningkatkan ketrampilan para kader kesehatan dalam mengatasi masalah gizi buruk.
c. Mengatasi masalah gizi buruk di Kelurahan Bungus Timur , Kecamatan Padang
Selatan, Kota Padang.
KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
Kegiatan pengabdian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Pembantu Bungus
Timur, Kelurahan Bungus. Dibawah wilayah kerja Puekesemas tersebut terdapat 4 posyandu
yang cukup aktif. Beberapa program penangggulangan masalah kekuarangan gizi pernah
dilakasanakan di wilayah kerja Puskesmas tersebut diantaranya adalah Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) seperti biscuit, susu, telur, dll, Penyuluhan dan Perawatan atau dirujuk ke
Puskesmas bila status gizi anak tidak membaik. Pelaksnaan ketiga program tersebut ternyata
meninggalkan berbagai permasalahan yang cukup pelik dan memerlukan pemecahan
3 Zuldesni, “Positive Deviance”: Memahami Fenomena Penyimpangan Positif Dalam Kasus Kekurangan gizi”
(Thesis, UGM 2008)
9
masalah. Program yang diintrodusir dari luar ternyata menciptakan ketergantungan keluarga
yang memiliki anak kekurangan gizi terhadap bantuan yang datang dari luar. Hal ini dapat
dipahami karena permasalahan yang dihadapi oleh mitra diselesaikan dengan mendatangkan
bantuan dari luar komunitas.
Pendekatan yang digunakan selama ini dalam menanggulangi masalah kekurangan
gizi lebih bersifat memberikan bantuan yang berasal dari luar komunitas. Pendekatan ini
bukannya tidak bermanfaat sama sekali, tetapi hanya cocok untuk menanggulangi masalah
kekurangan gizi yang bersifat emergensi saja dan hanya akan menciptakan ketergantungan
pada masyarakat terhadap bantuan. Ketika bantuan tidak ada lagi maka anak-anak akan
kembali mengalami kekurangan gizi. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini
pendekatan penyimpangan positif memberikan alternative solusi dengan kerangka
pemecahan masalah sebagai berikut:
a. Memberikan pegetahuan kepada stackholder (staff puskesmas dan kader posyandu)
tentang pendekatan penyimpangan positif sebagai alternative dalam menanggulangi
masalah kekurangan gizi.
b. Memberikan pelatihan kepada stackholder (staff puskesmas dan kader posyandu) tentang
penggunaan metode penyimpangan positif sebagai alternative dalam menanggulangi
masalah kekurangan gizi.
c. Menerapkan pendekatan penyimpangan positif pada keluarga yang memiliki anak-anak
kekurangan gizi.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan dua cara, pertama memberikan pengetahuan
melalui pelatihan, menggunakan cara belajar orang dewasa. Kedua meningkatkan
keterampilan dengan mempraktekkan pendekatan ini kader posyandu. Khalayak sasaran
dalam kegiatan ini adalah staff puskesmas dan kader.
10
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi diatas, maka perlu dicari pemecahan yang
berakar pada masyarakat setempat dengan memberdayakan potensi yang ada pada komunitas
tersebut. Pemecahan masalah dilakukan dengan melihat dan mempelajari perilaku para ibu
rumah tangga yang mempunyai anak balita dengan status gizi yang baik tetapi kondisi
ekonominya lemah. Untuk mengenali hal tersebut maka pendekatan penyimpangan positif
dapat digunakan sebagai alternative yang dapat membantu para kader posyandu dalam
menemukenali perilaku sehat para ibu rumah tangga yang berstatus ekonomi miskin tetapi
mempunyai anak balita yang baik gizinya. Untuk mengenali hal tersebut perlu dilakukan
pelatihan.
Pelatihan pendekatan penyimpangan positif adalah memberikan solusi yang sudah ada
didalam masyarakat itu sendiri sehingga solusi itu lebih tahan lama dan tidak menciptakan
ketergantungan. Tugas kita adalah menemukan solusi tersebut didalam komunitas yaitu orang
miskin dengan anak berstatus gizi baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam kerangka
berikut:
IV PELAKSANAAN KEGIATAN
MASALAH
Kekurangan Gizi (Banyak keluarga Miskin
yg memiliki anak kekurangan gizi
SOLUSI:
Belajar pada perilaku dan kebiasaan
Keluarga Penyimpang Positif (Keluarga
Miskin tetapi memiliki anak dengan status
gizi baik) dalam komunitas yg sama
11
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini dilaksanalan melalui beberapa tahapan
kegiatan. Adapun kegiatan-kegiatan dimaksud adalah sebagai berikut:
Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini, tim mengumpulkan informasi tentang lokasi pengabdian dan
mengadakan pertemuan untuk membicarakan tentang hal-hal yang diperlukan dalam
melaksanakan kegiatan pengabdian. Pertemuan tim pengabdian dilakukan di kampus FISIP
yang dihadiri oleh semua anggota tim. Dalam pertemuan ini dibicarakan tentang; kapan
waktu turun ke lapangan, pengurusan izin mulai dari lembaga penelitian dan Pengabdian
sampai ke lokasi pengabdian (Posyandu di Wilayah Kerja Puskesmas Pembantu Bungus
Timur), penentuan materi pelatihan serta pemberi pelatihan, peralatan yang diperlukan dalam
kegiatan serta bagaimana pengadaannya, daftar hadir peserta pelatihan, dan penetapan
evaluasi awal dan akhir kegiatan penelitian. Disamping membicarakan materi pertemuan
digunakan juga untuk pembagian tugas masing-masing anggota tim.
Survai Lokasi
Survai dilakukan dalam bentuk pengamatan lapangan untuk menentukan kesiapan
objek sasaran dan Puskesmas Pembantu Bungus Timur dalam pelaksanaan kegiatan
pengabdian. Pengamatan lapangan ini dalam bentuk observasi di Posyandu, komunikasi
dengan Lurah Bungus Timur, kemudian dengan Kepala Puskesmas Pembantu dan Staff
pustu, dilakukan pada tanggal 24 Oktober 2013 ke Posyandu-Posyandu di wilayah kerja
Pustu di Bungus Timur.
Komunikasi tahap kedua dilakukan menjelang pelaksanaan pelatihan yaitu pada
tanggal 4 November 2013 sekaligus membawa Surat Tugas dari Lembaga Penelitian
danPengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas. Tim Pengabdian diterima oleh
Lurah Bungus Timur , kemudian kami ketemu dengan Kepala Pustu Bungus Timur Ibu Ery.
12
Penerimaan Bpk Lurah dan pimpinan pustu sangat baik. Kami menyampaikan kepada
mereka, terutama pihak pustu bahwa Tim Pengabdian dari Universitas Andalas pada hari
Selasa tanggal 12 November 2013 akan mengadakan Pelatihan Pendekatan Penyimpangan
Positif Untuk Mengatasi Masalah Kekurangan Gizi. Pihak puskesmas pun disambut dengan
antusias. Kemudian dalam pertemuan tersebut juga dibicarakan masalah persiapan seperti
tempat, peralatan dan undangan. Khusus untuk undangan kami tim peneliti dari Universitas
Andalas ingin menyampaikan secara langsung undangan tersebut ke tangan kader-kader
posyandu. Karena ada kekhawatiran nantinya, kalau undagan tidak disampaikan secara
langsung dan kita tidak berdialog dengan kader maka tingkat partisipasi kader untuk hadir
dalam kegiatan tersebut menjadi rendah. Argumentasi itu juga dipahami oleh pimpinan
puskesmas. .
Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran kegiatan ini adalah kader-kader posyandu di wilayah kerja
Puskesmas Bungus Timur dan staff puskesmas bidang gizi. Kader posyandu yang mengikuti
pelatihan ini terdaftar berjumlah 18 orang.
Realisasi Pemecahan Masalah
Sesuai dengan tujuan kegiatan dan kerangka pemecahan masalah, realisasi pemecahan
masalah dilakukan melalui urutan asara sebagai berikut:
Pembukaan dan Perkenalan
Kegiatan pelatihan berlangsung di Aula Puskesmas Bungus Timur. Pelatihan dimulai
pada tepat pada pukul. 09.00 Wib dengan susunan acara sebagai berikut: Moderator oleh Drs.
Wahyu Pramono, M.Si, Kata sambutan dan sekaligus membuka acara oleh Kepala Puskesmas
Bungus Timur yaitu Ibu Ery dan kata sambutan oleh Zuldesni sebagai Ketua Tim Pelaksana
Pengabdian kepada Masyarakat sekaligus memperkenalkan Tim Pengabdian kepada peserta
pelatihan yaitu Dr. Elfitra, Msi, Dra. Dwiyanti Hanandini MSi dan Aziwarti SH, MHum
13
Proses Pelatihan
Agar pelaksanaan pelatihan tidak berjalan kaku dan terjalin keakraban diantara
fasilitator dengan peserta maka peserta pelatihan diminta duduk ditikar dan membentuk
setengah lingkaran (membentuk huruf U). Pelatihan diawali dengan perkenalan kurang lebih
20 menit dengan menggunakan permainan ZIP-ZAP. Adapun aturan main permainan ini
adalah pada tahap awal semua peserta berdiri dan memperkenalkan diri masing-masing
dengan tiga item yaitu nama, hobi, dan saat atau moment yang paling menggembirakan
didalam hidupnya. Setelah semua peserta termasuk fasilitator memperkenalkan diri, maka
fasilitator akan berputar sambil berhitung dan akan menunjuk salah seorang peserta dan
menyebut ZIP, maka peserta yang ditunjuk harus memperkenalkan teman yang berada
disebelah kirinya, kemudian fasilitaor kembali berputar dan menyebut ZAP maka perserta
yang ditunjuk harus memperkenalkan teman yang berada di sebelah kanannya. Dan ketika
fasilitator menyebut ZIP-ZAP maka semua orang harus berpindah tempat. Hal yang sama
akan dilakukan secara sampai beberapa putaran hingga diperkirakan peserta cukup megenal
teman-temannya.
Setelah proses perkenalan melalui permainan ZIP-ZAP selesai dilakukan, maka Ibu
Zuldesni sebagai ketua sekaligus fasilitator kegiatan ini memulai pelatihan dengan membagi
peserta menjadi 3 kelompok. Kelompok dibentuk dengan cara peserta berhitung sebanyak 1-
3, lalu peserta yang menyebutkan angka yang sama akan masuk dalam kelompok yang sama.
Setelah seluruh peserta mendapatkan kelompoknya, maka pelatihan dimulai dengan diskusi
kelompok dengan tema diskusi a) Program-program apa sajakah yang telah pernah dilakukan
di posyandu masing-masing dalam menanggulangi masalah kekurangan gizi? b)
Bagaimanakah tingkat keberhasilan program tersebut, apakah berhasil, gagal, berhasil hanya
untuk sementara waktu kemudian gagal lagi c) Apa faktor yang menyebabkan keberhasilan
dan kegagalannya?
14
Setiap kelompok diberi waktu selama 20 menit untuk mendiskusikan pertanyaan
tersebut. Hasil diskusi kelompok ditulis dikertas flano dan ditempel di dinding. Kelompok II
adalah yang pertama kali menyelesaikan diskusi dan persentasi, lalu disusul oleh kelompok I
dan III. Dari hasil diskusi dapat disimpulkan bahwa: a) Program-program yang sudah
dijalankan di posyandu untuk menanggulangi masalah kekurangan gizi adalah (1). Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) seperti berupa telur, susu, biskuit, kacang hijau, dll. (2).
Penyuluhan; baik yang dilakukan sewaktu kegiatan psoyandu maupun penyuluhan yang
disampaikan langsung ke rumah-rumah sasaran, (3) ditujuk ke Puskesmas; hal ini dilakukan
bila pendekatan yang pertama dan kedua tidak memberikan hasil, maka anak yang
mengalami kekurangan gizi terseut dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan perawatan yang
lebih intensif. b) Sedangkan tingkat keberhasilannya; ada yang gagal dan ada yang berhsil.
Yang gagal adalah anak-anak yang walaupun sudah diberi bantuan (PMT) namun berat
badannya tidak naik-naik. Namun ada juga yang berhasil sementara waktu saja , dimana
ketika bantuan sudah tidak ada lagi maka mereka kembali mengalami kekurangan gizi.
Disamping itu, juga ada yang gagal, dimana walaupun ketiga pendekatan di atas sudah
diberikan namun berat badan anak tetap tidak naik. c) Adapun faktornya antara lain: ibu yang
malas, makanan yang diberikan tidak disukai oleh anak sehingga seringkali yang makan
bukan anak yang mengalami kekurangan gizi tetapi kakaknya atau pun orang tuanya, bahkan
ada yang dijual.
Selanjutnya, fasiltator mencoba memancing analisis peserta dengan pertanyaan: kira-
kira kenapa perogram pengentasan kekurangan gizi dilakukan demikian? Kenapa programnya
memberikan bantuan berupa makanan tambahan dan penyuluhan. Sebagian peserta
menjawab: ”karena mereka miskin sehingga tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara
memberikan makanan yang terbaik kepada anak”. Lalu fasilitator mengatakan bahwa:”ya,
betul, kenapa programnya adalah pemberian makanan tambahan karena pembuat kebijakan
15
melihat bahwa permasalahan kekurangan gizi itu memiliki hubungan yang relevan dengan
kemiskinan, sebetulnya asumsi itu tidak salah, dan bahkan beberapa data menunjukkan
bahwa memang ada hubungan yang signifikan antara kekurngan gizi dengan kemiskinan”.
Tetapi program itu akhirnya menimbulkan ketergantungan keluarga miskin terhadap bantuan
luar untuk mengatasi permasalahannya. Program itu tidak salah atau tidak bermanfaaat, tetapi
ada pendekatan lain yang lebih mengakar didalam masyarakat itu sendiri yang akan kita
bahas kali ini yaitu pendekatan penyimpangan positif.
Sebelum masuk kepada pembahasan mengenai apa itu pendekatan penyimpangan
positif, maka fasilitator mencoba memancing apa yang dipahami oleh peserta ketika berbicara
tentang penyimpangan. Sebagian peserta menjawab bahwa ”menyimpang adalah orang yang
keluar dari apa yang norma, wajar dilakukan oleh banyak orang”. Definisi sehari-hari tersebut
tidak jauh berbeda dengan apa yang dipahami dalam pelatihan ini, bahwa penyimpangan
adalah tindakan-tindakan, perilaku-perilaku yang berada diluar kebanyakan (normal) yang
terjadi di masyarakat. Jadi, bila dihubungkan dengan pendekatan penyimpangan positif dalam
kasus kekurangan gizi, maka: Normal: keluarga miskin yang memiliki anak kekurangan gizi,
penyimpangan negatif: keluarga kaya tetapi memiliki anak kekurangan gizi sedangkan
penyimpangan positif : keluarga miskin tetapi memiliki anak dengan status gizi baik. Jadi
pendekatan ini mencari solusi permasalahan yang ada didalam masyarakat dari dalam
masyarakat itu sendiri, yaitu keluarga-keluarga yang memiliki perilaku dan kebiasaan yang
spesial sehingga memungkinkan mereka menemukan jalan keluar terhadap permasalahan
yang dihadapi dibandingkan tetangga-tetangga mereka yang menghadapi resiko serupa.
Setelah perserta sudah mengerti dan paham tentang konsep penyimpangan positif
dalam kasus kekurangan gizi, maka sesi selanjutnya dilanjutkan dengan bagaimana
menerapkan pendekatan penyimpangan positif dalam kasus kekurangan gizi. Tahap-tahap
tersebut adalah:
16
Kita harus menmpunyai data yang akurat tentang status gizi balita. Untuk endapatkan
data yang valid, tidak ada jalan lain yaitu harus menimbang semua balita yang ada di
wilayah sasaran. Kita tidak bisa dengan hanya mengandalkan data yang terdapat di
posyandu saja, karena tidak semua orang membawa anaknya untuk ditimbang ke
posyandu. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kita harus menimbang sendiri ke rumah-
rumah penduduk untuk mendapatkan data yang valid.
Setelah mendapatkan data yang falid tentang status gizi balita, maka kita harus
mendapatkan kategori-kategori siapa yang disebut miskin oleh komunitas. Kita harus
menggunakan kategori-kategori lokal untuk menentukan siapa yang disebut miskin.
Karena akan sulit diterapkan kalau kita menggunakan kategori-kategori dari luar
komunitas seperti Miskin menurut BPS, BKKBN, Dinas Sosial, dll.
Setelah kita mendapatkan data yang valid tentang status gizi dan status sosial ekonomi,
maka kita akan mendapatkan data tentang berapa jumlah keluarga miskin yang memiliki
anak yang kekurangan gizi, dan berapa jumlah keluarga miskin yang memiliki anak
dengan status gizi baik (PD).
Langkah selanjutnya adalah mengetahui strategi, kebiasaan, perilaku apa saja yang
dilakukan oleh keluarga PD sehingga mereka berhasil atau sukses (memiliki anak yang
sehat). Langkah ini disebut Positive Devaince Inquiry (PDI= penjajakan penyimpangan
positif). PDI ini dilakukan dengan diskusi kelompok terarah (FGD), Observasi,
wawancara mendalam, dll.
Setelah mendapatkan data yang valid tentang perilaku dan kebiasaan keluarga PD, maka
selanjutnya adalah bagaimana memindahkan kebiasaan, strategi yang sudah diperoleh itu,
kepada keluarga miskin yang mempunyai anak kekurangan gizi. Untuk memindahkan
kebiasaan baru tersebut, maka dibentuk pos gizi (PD/Hearth). Di pos gizi tersebut
pengasuh utama dan anak-anak yang mengalami kekurangan gizi mempraktekkan secara
17
bersama perilaku dan kebiasaan tersebut. Kegiatan ini berlangsung selama 2 minggu
berturut-turut.
Setelah selama dua minggu mempraktekkan prilaku dan kebiasaan baru, maka hal-hal
baru tersebut juga dilanjtkan dengan mempraktekkannya di rumah. Sukarelawan akan
memantau dan tetap meotivasi supaya perilaku tersebut tetap dipraktekkan di rumah
sehingga menjadi sebuah kebiasaan baru. Secara teori perilaku, maka waktu satu bulan
dianggap cukup untuk membentuk sebuah kebiasaan baru.
Sebelum pelatihan berakhir, diadakan evaluasi sejauh mana tujuan pelatihan sudah
dicapai oleh peserta yaitu pemahaman terhadap konsep penyimpangan positif dan bagaimana
menerapkan pendekatan penyimpangan positif dalam menanggulangi masalah kekurangan
gizi. Berdasarkan evaluasi diketahui bahwa sebagian besar peserta sudah dapat mengetahui
apa yang dimaksud dengan penyimpangan positif. Disamping itu peserta juga sudah dapat
menjelaskan bagaimana cara menerapkan pendekatan ini dalam menanggulangi masalah
kekurangan gizi. Tetapi yang menjadi harapan peserta ke depan adalah bagaimana
pendekatan ini dipraktekkan secara langsung dilapangan.
HASIL DAN EVALUASI KEGIATAN
Hasil Kegiatan
Kegiatan pelatihan ini bertujuan untuk memperkenalkan u pendekatan penyimpangan
positif dan bagaimana menerapkan pendekatan tersebut untuk menanggulangi masalah
kekurangan gizi. Tujuan ini memang belum bisa terealisir secara maksimal dalam waktu
pelatihan yang sangat singkat. Namun demikian, dari pengamatan terhadap proses
berlangsungnya pelatihan terlihat banyak manfaat positif yang didapatkan kader posyandu
dan staf puskesmas bidang gizi terutama dalam melihat bagaimana sebuah solusi dapat
ditemukan didalam komunitas itu sendiri.
18
Pada sesi pertama, tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana pemahaman peserta
terhadap pendekatan dan program-program yang sudah dilakukan dalam menanggulangi
masalah kekurangan gizi. Pada sesi ini peserta dibuat dalam bentuk kelompok. Selama
diskusi didalam kelompok sangat terlihat antusias masing-masing peserta untuk
mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengalaman yang didapat di posyandunya masing-
masing. Pemahaman terhadap program yang sudah dilakukan sangat penting untuk dapat
melihat perbedaan dengan pendekatan penyimpangan positif.
Pada sesi kedua dari pelatihan adalah untuk mendudukkan pemahaman peserta
tentang pendekatan penyimpangan positif. Peserta dapat menyebutkan apa yang dimaksud
dengan penyimpangan dalam kehidupan sehari-hari. Setelah peserta memahami bagaimana
penyimpangan dalam kehidupan sehari-hari maka dihubungkan dengan penyimpangan positif
dalam masalah kekurangan gizi. Perserta dapat memahami bahwa keluarga penyimpangan
positif adalah keluarga miskin yang memiliki anak dengan status gizi baik. Peserta
menghubungkan dan memberikan contoh dalam wilayah kerjanya masing-masing.
Pada sesi ketiga adalah bagaimana menerapkan pendekatan penyimpangan positif
dalam menanggulangi masalah kekurangan gizi. Pada sesi ini sangat terlihat optimism dari
peserta untuk dapat menerapkan pendekatan penyimpangan positif di wilayah kerja masing-
masing. Bahkan beberapa peserta mengharapkan fasilitator dapat membantu mereka nantinya
di lapangan ketika akan menerapkan pendekatan penyimpangan positif di wilayah kerjanya
masing-masing.
Evaluasi Kegiatan
Evaluasi kegiatan dimulai sejak perencanaan dan pengorganisasian kegiatan
pengabdian, proses adsminisratif di LP2M Universitas Andalas dan Kantor Puskesmas
Pembantu Bungus Timur. Pelaksanaan kegiatan pengabdian berupa pelatihan di Aula Pustu
Bungus Timur. Dari proses keseluruhan perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan
kegiatan pengabdian diperoleh hasil evaluasi sebagai berikut:
19
1. Koordinasi Tim Pengabdian mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan
pelatihan relatif baik walaupun masih kurang maksimal. Hal ini ditandai dengan adanya
komunikasi yang terbangun di dalam tim dari awal hinggan akhir kegiatan pengabdian.
2. Pengurusan lokasi pengabdian di Puskesmas Bungus Timur sangat baik dan lancar.
Lurah Bungus Timur, Kepala Puskesmas Pembantu serta para staf sangat mendukung
dan mempercepat proses pelaksanaan kegiatan pengabdian.
3. Para kader posyandu sebagai peserta sangat antusias dan aktif terlibat dalam proses
pelatihan. Antusiasme dan keterlibatan kader-kader disebabkan model pendekatan yang
tidak kaku dan berorientasi pada metode pendidikan orang dewasa.
Keberhasilan kegiatan pelatihan yang telah dikemukakan di atas tentunya didukung
oleh banyak faktor. Di antara faktor pendukung itu adalah pertama, adanya dukungan moril
dan kerjasama yang baik dari pihak Pustu Bungus Timur dan seluruh kader posyandu untuk
pelaksanaan kegiatan pelatihan. Kedua, para kader sangat senang mengikuti kegiatan
pelatihan. Ketiga, materi pelatihan didesain dengan model dan metode pendidikan orang
dewasa.
Adapun kelemahan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengabdian hanya terletak
kepada koordinasi Tim yang harus benar-benar maksimal dari awal hingga akhir dan waktu
pelatihan yang harus lebih panjang sehingga pendalaman dan praktik dapat dilakukan secara
langsung di dalam masyarakat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian yang telah dilakukan dalam bentuk “Pelatihan
Pendekatan Penyimpangan Positif (Positive Deviance) Dalam Menanggulangi Masalah
Kekurangan Gizi”, maka dapat dikemukakan kesimpulan dan saran.
Kesimpulan
1. Pengabdian kepada masyarakat dalam bentuk pelatihan Pendekatan Penyimpangan
Positif (Positive Deviance) Dalam Menanggulangi Masalah Kekurangan Gizi
20
mendapat sambutan dan dukungan moril yang baik dari pihak Puskesmas Bungus
Timur, Kader-Kader posyandu di wilayah kerja Puskesmas Pembantu Bungus Timur
yang dibuktikan dengan kesiapan pihak pustu menyediakan tempat dan hadirnya
seluruh peserta yang diundang.
2. Motivasi dan keaktifan kader-kader dalam pelatihan sangat baik. Hal ini diindikasikan
dari antusiasme dan keterlibatan kader dalam mendengar materi pelatihan, bertanay
untuk mendalami materi, dan bermain bersama Tim dan fasilitator.
3. Proses pelatihan berlangsung sangat dinamis dan positif sesuai dengan kebutuhan para
peserta dan memakai pendekatan pendidikan orang dewasa, sehingga tidak terkesan
menggurui.
Saran
1. Untuk kegiatan pelatihan selanjutnya sebaiknya memiliki alokasi waktu yang panjang
sehingga pendalaman dan praktik pendekatan penyimpangan positif dapat dilakukan
secara langsung didalm masyarakat.
2. Koordinasi Tim Pengabdian dan fasilitator harus benar-benar telah terjalin dengan
baik sebelum turun ke lokasi pengabdian.
3. Hal-hal yang bersifat teknis seperti tempat, prasarana pelatihan dan konsumsi harus
benar-benar telah siap sebelum pelatihan dimulai sehingga pelatihan dapat
berlangsung efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Coser (1962), Some Function of Deviant Behavior and Normative Flexibility, American
Journal of Sociology 68: 171-179
Douglas (1977), Shame and Deceit in Creative Deviance, pp. 59-86 in Sagarin, Edward (ed):
Deviance and Social Change, California: Sage.
Dodge, D. (1985). The Over-negativized conceptualization of deviance: A programmatic
exploration. Deviant Behavior, 6 (1), 17-37.
21
Foster, George M and Barbara G. Anderson, Antropologi Kesehatan (Terjemahan dari
Medical Anthropology) oleh Priyanti suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, UI
Press, Jakarta, 1986.
Monique and J.Sternin (2003) Panduan Positive Deviance, (terjemah CORE Group) Project
Concern International. Tidak diterbitkan
Sajogyo, Goenardi, Roeli, S, Harjadi, S, Khumaedi, M, 1994, Menuju Gizi Baik Yang Merata
di Pedesaaan dan Kota, Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Supariasa, I, Bakri, B, Fajar, I, 2002, Penilaian Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Meiyenti, Sri, Yevita Nurti, Makanan dan Gizi dalam Konteks Sosial Budaya, Dalam Jurnal
Antropologi No. V Juli 2004, Lab antropologi “Mentawai”FISIP Unand, Padang,
2004
Meiyenti, Sri, Yevita Nurni, Masalah Gizi Buruk Ditinjau Dari Aspek Sosial Budaya (Studi
Pada Masyarakat Minangkabau di Desa Ganting Kec. X koto Kab Tanah Datar
Sumatera Barat), Dalam Jurnal Antropologi Th. IV No.6 Juli-Desember 2002, Lab
Antropologi “Mentawai” fiSIP Unand, Padang, 2002
Zeitlin, Marian, dkk, Positive Deviance in Child Nutrition with Emphasis on Psychosocial
and Behavioural Aspects and Implications for Development, The United Nations
University, Tokyo, 1990.
West, B. (2003), Synergies in Deviance, Revisiting the Positive Deviance Debate, Electronic
Journal of Sociology 7(4), dapat diakses pada http:/www.sociology.org/
content/vol7.4/west.html[11 Oktober 2006]
Zuldesni, 2008, “Positive Deviance”: Memahami Feomena Penyimpangan Positif Dalam
Kasus Kekurangan Gizi, thesis UGM.