tinjauan pustaka positive deviance · dibagi menjadi lingkungan pra natal dan ... terhadap tumbuh...

39
TINJAUAN PUSTAKA Positive Deviance Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami gizi kurang (Zeitlin et al 1990). Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara- cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan, pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003). Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak usia 6 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,

Upload: buixuyen

Post on 09-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Positive Deviance

Positive Deviance digunakan untuk menjelaskan suatu keadaan

penyimpangan positif yang berkaitan dengan kesehatan, pertumbuhan dan

perkembangan anak-anak tertentu dengan anak-anak lain di dalam lingkungan

masyarakat atau keluarga yang sama. Secara khusus pengertian positive deviance

dapat dipakai untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

serta status gizi yang baik dari anak-anak yang hidup di dalam keluarga miskin

dan hidup di lingkungan miskin (kumuh) di mana sebagian besar anak lainnya

menderita gangguan pertumbuhan dan perkembangan dengan kondisi mengalami

gizi kurang (Zeitlin et al 1990).

Positive Deviance didasarkan pada asumsi bahwa beberapa solusi untuk

mengatasi masalah gizi sudah ada di dalam masyarakat, hanya perlu diamati untuk

dapat diketahui bentuk penyimpangan positif yang ada, dari perilaku masyarakat

tersebut. Upaya yang dilakukan dapat dengan memanfaatkan kearifan lokal yang

berbasis pada keyakinan bahwa setiap individu memiliki kebiasaan dan perilaku

khusus, atau tidak umum yang memungkinkan mereka dapat menemukan cara-

cara yang lebih baik, untuk mencegah kekurangan gizi dibanding tetangga mereka

yang memiliki kondisi ekonomi yang sama tetapi tidak memiliki perilaku yang

termasuk penyimpangan positif. Studi positive deviance mempelajari mengapa

dari sekian banyak bayi dan balita di suatu komunitas miskin hanya sebagian kecil

yang gizi buruk. Kebiasaan yang menguntungkan sebagai inti program positive

deviance dibagi menjadi tiga atau empat kategori utama yaitu pemberian makan,

pengasuhan, kebersihan, dan mendapatkan pelayanan kesehatan (CORE 2003).

Adanya pengaruh perilaku terhadap masalah gizi, memerlukan pengamatan

untuk mengetahui perilaku seperti apa, yang diperlukan untuk menanggulangi

masalah gizi pada anak. Salah satu bentuk pengembangan perilaku dalam

penanggulangan masalah gizi adalah positive deviance yang telah dilakukan di

Jakarta, Bogor, dan Lombok Timur. Hasilnya adalah interaksi ibu dengan anak

usia 6 – 17 bulan berhubungan positif dengan keadaan gizi anak. Anak-anak yang

selalu diupayakan untuk mengkonsumsi makanan, mendapatkan senyum dari ibu,

6

keadaan gizinya lebih baik dibandingkan dengan teman sebaya lainnya yang

kurang mendapatkan perhatian orangtua (Jahari et al 2000).

Status Gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi

panganan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier 2004). Status gizi adalah tanda-

tanda atau tampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan zat

gizi dan pengeluaran oleh tubuh yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.

Status gizi masyarakat terutama digambarkan oleh status gizi anak balita dan

wanita hamil. Oleh karena itu, sasaran utama dari program perbaikan gizi makro

berdasarkan siklus kehidupan, dimulai pada wanita usia subur, ibu hamil, bayi

baru lahir, balita dan anak sekolah (Gibson 2005).

Dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) menyatakan bahwa

penentuan kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Patokannya berdasarkan hal yang

sama yakni penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan orang

tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan perkembangan,

jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (LIPI 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi adalah kesadaran gizi,

persediaan pangan, daya beli masyarakat dan kesehatan individu, yang saling

tidak dapat terpisahkan. Unicef (1998) menyatakan bahwa status gizi balita tidak

hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar

disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsung dan

determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang

mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi

intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit

infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan

tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan

kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan

pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya

adalah kemiskinan.

7

Sementara WHO mengidentifikasikan faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap status gizi seperti infeksi, distribusi zat gizi pada anggota keluarga,

ketersediaan pangan serta penghasilan rumah tangga. WHO melihat bahwa status

gizi kurang dipengaruhi oleh pokok masalah dimasyarakat (kurang pendidikan,

pengetahuan, ketrampilan) akan berdampak pada kurangnya persediaan pangan,

pola asuh anak yang kurang baik, pemberian pelayanan kesehatan dasar tidak

terpenuhi sehingga pemberian makan tidak seimbang yang pada akhirnya

terjadilah status gizi kurang (Suryono & Supardi 2004).

Secara tidak langsung status gizi masyarakat dapat diketahui berdasarkan

penilaian terhadap data kuantitatif maupun kualitatif konsumsi pangan. Informasi

tentang konsumsi pangan dapat diperoleh melalui survei yang akan menghasilkan

data kuantitatif (jumlah dan jenis pangan) dan kualitatif (frekuensi makan dan cara

mengolah makanan). Penentuan status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara

yaitu secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Cara yang paling umum

dan mudah digunakan untuk mengukur status gizi di lapangan adalah pengukuran

antropometrik. Indeks antropometri yang dapat digunakan adalah Berat Badan per

Umur (BB/U); Tinggi Badan per Umur (TB/U); Berat Badan per Tinggi Badan

(BB/TB); Lingkar lengan atas terhadap umur (LLA/U); Indeks Massa Tubuh

(IMT); Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur; Rasio Lingkar Pinggang dan

Pinggul (Depkes 2005). Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi

saat ini (saat diukur) karena mudah berubah, namun indikator BB/U tidak spesifik

karena berat badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi

badan. Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, dan indikator

BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini

(Soekirman 2000).

Alat ukur. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui berat badan yaitu

ada 2 macam timbangan yaitu tipe Salter spring balance (timbangan gantung) dan

tipe Bathroom scale. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui panjang/tinggi

badan yaitu Baby length board (untuk bayi) dan Vertical measures (microtoise).

Untuk mengukur lingkar lengan atas (LILA) dengan menggunakan pita ukur non-

elastis, sebagai alternatif bila tidak memungkinkan mengukur berat badan dan

tinggi badan .

8

Nilai Individu Subjek – Nilai Median Baku Rujukan

Nilai Simpang Baku Rujukan

Nilai Individu Subjek

Nilai Median

Analisis hasil pengukuran antropometri. Ada tiga cara yang biasa

digunakan, antara lain :

1. Nilai Skor-Z atau SD

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai nilai

SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median rujukan.

Dikatakan gizi normal, bila antara -2SD sampai +2SD. Gizi kurang, bila

<-2SD. Dan gizi lebih, bila >+2SD.

WHO menyarankan menggunakan cara ini untuk meneliti dan untuk

memantau pertumbuhan. Dengan ambang batas (cut off points), yaitu :

- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 11% dari median BB/U

- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 10% dari median BB/TB

- 1 SD unit (1 Z-skor) ± 5% dari median TB/U

Rumus perhitungan z-skor, adalah:

Z-skor =

2. Nilai persen terhadap nilai median

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai

persen dari nilai median rujukan, yaitu hasil analisis: Gizi baik, bila 90%

median TB-U mendekati nilai -2SD, 80% median BB-TB mendekati nilai

-2SD, dan 80% median BB-U mendekati nilai -2SD. Gizi kurang, bila

71%-80% median TB-U mendekati nilai -2SD, 71%-80% median BB-TB

mendekati nilai -2SD, dan 61%-70% median BB-U mendekati nilai -2SD.

Rumus perhitungan yang digunakan adalah:

X 100%

3. Nilai persentil

Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai

posisi individu dalam sebaran populasi rujukan. Dikatakan normal, bila

antara persentil 5 dan 95. Kurang, bila kurang persentil 5. Dan Lebih, bila

lebih persentil 95.

9

Status Gizi diukur dengan BB/U atau TB/U atau BB/TB dikatakan normal

apabila angka atau nilai z-skor terletak antara -2 SD sampai 2 SD dari nilai

median standar WHO. Status gizi dikatakan kurang, apabila nilai ketiga jenis

ukuran diatas kurang dari -2 SD atau di bawahnya. Nilai tersebut menjadi buruk,

apabila nilainya berada di bawah dari -3 SD. Sebaliknya apabila nilai z-skor di

atas 2 SD maka disebut gizi lebih (gemuk) dan diatas 3 SD dikatakan gemuk

sekali (Soekirman 2000).

Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran fisik dari waktu ke waktu yang

merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan mengikuti perjalanan waktu

(Jahari 2002). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan

ukuran, besar, jumlah atau dimensi pada tingkat sel, organ maupun individu.

Pertumbuhan bersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dengan satuan berat

(gram, kilogram), satuan panjang (cm, m), umur tulang, dan keseimbangan

metabolik (retensi kalsium dan nitrogen dalam tubuh) (Tanuwijaya 2003).

Pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan jenis

kelamin, yang termasuk dalam faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-

obatan dan penyakit (Supariasa 2002).

a. Genetik

Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang

tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan.

Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan

pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh

orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara

langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang

diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa system biologis

yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen

dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari

glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan

terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon

pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan

10

mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara

gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia

(Bogin 1999).

b. Lingkungan

Lingkungan biofisik dan psiko-sosial merupakan faktor yang mempengaruhi

individu setiap hari dan sangat berperan penting dalam menentukan tercapainya

potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (2004) secara garis besar lingkungan

dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

Lingkungan Pra Natal

Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh

terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir, antara

lain seperti :

a) Gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi

BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang

menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat

menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan

daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan akan

berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.

b) Mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang, dapat

menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor zat

kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-

obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan,

kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah.

c) Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada

pertumbuhan janin adalah somatotropin, yang disebut juga hormon

pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatik

terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat

dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya

somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya

meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah

latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.

11

d) Stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio

atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga

dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah

(BBLR).

Lingkungan Post Natal

Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain

lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi, perawatan

kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi

metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan

faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut

berpengaruh.

c. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi berkaitan dengan status gizi yang rendah, hubungan

kekurangan gizi dengan penyakit infeksi antara lain dapat dijelaskan melalui

mekanisme pertahanan tubuh dimana balita yang mengalami kekurangan gizi

dengan asupan energi dan protein yang rendah, maka kemampuan tubuh untuk

membentuk protein yang baru berkurang. Tubuh akan rawan terhadap serangan

infeksi karena terganggunya pembentukan kekebalan tubuh seluler (Jellife 1989).

Pertumbuhan pada usia 2 tahun pertama dicirikan dengan pertambahan

gradual baik pada kecepatan pertumbuhan linier maupun laju pertambahan berat

badan. Pertumbuhan bayi cenderung ditandai dengan pertumbuhan cepat (spurt of

growth) yang dimulai pada usia 3 bulan hingga usia 2 tahun, kemudian pada usia

2 tahun hingga 5 tahun pertumbuhan anak menjadi lebih lambat dibandingkan

ketika masih bayi, walaupun pertumbuhan terus berlanjut dan akan mempengaruhi

ketrampilan motor, sosial, emosional dan perkembangan kognitif (Seifert &

Hoffnung 1997).

Proses pertumbuhan anak berlangsung pada sel, organ dan tubuh.

Pertumbuhan tersebut terjadi dalam tiga tahap, yaitu hiperplasia (bertambahnya

jumlah sel), hyperplasia dan hipertropi (bertambahnya ukuran dan kematangan

sel). Selanjutnya, setiap organ atau bagian tubuh lain mengikuti pola pertumbuhan

yang berbeda dalam setiap tahapan tersebut (Anwar 2002).

12

Pertumbuhan pada masa kanak-kanak adalah proses yang relatif stabil.

Pertumbuhan ponderal yang dilihat dari kenaikan berat badan rata-rata pada

6 bulan pertama naik sebesar 0,5-1,0 kg per bulan dan kenaikan pada 6 bulan

kedua berkisar dari 0,35-0,50 kg per bulan. Sementara selama tahun kedua, angka

penambahan berat badan sekitar 0.25 kg per bulan dan pada usia 10 tahun

kenaikan berat badan sebesar 2 kg per tahun. Pertumbuhan linier yang dilihat dari

pertambahan panjang badan hingga tahun pertama kehidupan bertambah

50 persen dari panjang badan lahir dan menjadi dua kali lipat pada akhir tahun

keempat. Hingga usia 4 tahun, wanita tumbuh sedikit lebih cepat dibandingkan

dengan pria dan keduanya kemudian tumbuh dengan laju rata-rata 5-6 cm per

tahun sampai munculnya masa pubertas (Jellife 1994). Tinggi badan merupakan

antropometri yang menggambarkan keadaan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan

relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi

zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks

TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau

juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Jahari 2002).

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

Pertumbuhan linier yang tidak sesuai umur merefleksikan masalah gizi

kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak

mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan

dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan

pengasuhan yang tidak memadai (ACC/SCN 1997). WHO (1995) membuat

indeks beratnya masalah gizi pada keadaan darurat didasarkan pada prevalensi

underweight, wasting dan stunting yang ditemukan pada suatu wilayah survei.

Tabel 1 Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting

dan wasting

Klasifikasi Berat

Masalah Gizi

Prevalensi

Underweight (%)

Prevalensi

Stunting (%)

Prevalensi

Wasting (%)

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat tinggi

<10

10-19

20-29

≥30

<20

20-29

30-39

≥40

<5

5-9

10-14

≥15

Sumber : WHO (1995), diacu dalam Riyadi (2001)

13

Pada keadaan Stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan

normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang

terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan

sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang

kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita

pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena

masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri

masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang

sifatnya kronis (Kemenkes 2010a).

Gangguan tumbuh kembang dapat dicegah dan diperbaiki melalui:

perbaikan konsumsi, suplemen dan penyuluhan gizi, peningkatan kualitas pola

asuh, pelayanan kesehatan dan pencegahan terhadap infeksi sesuai dengan

kerangka UNICEF (1998).

Kemiskinan dan Masalah Gizi

Secara luas miskin diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam

memenuhi kebutuhannya dimana kebutuhan disini diartikan secara relatif sesuai

dengan persepsi dirinya. Kebutuhan tersebut mencakup berbagai aspek baik

ekonomi, sosial, politik, emosional maupun spiritual. Pengertian kemiskinan

menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa kemiskinan adalah suatu

kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-

hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang

bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah multidimensi di Indonesia, sehingga

pemecahannya memerlukan strategi yang komprehensif, terpadu dan terarah serta

berkesinambungan. Untuk penanggulangan kemiskinan, maka seluruh unsur

bangsa harus ikut serta memberikan perhatian terhadap kemiskinan, tidak hanya

pemerintah semata (BPS 2011).

Berbagai pendekatan untuk mengukur kemiskinan, dan tidak ada satu pun

yang sempurna dan bisa menjadi standar umum. Belum tentu standar-standar

nasional cocok untuk setiap wilayah, di mana keadaan ekonomi rumah tangga dan

budaya cukup beragam. Indonesia mengenal tiga model untuk mengukur tingkat

„kemiskinan‟. Ketiga model tersebut memiliki cara pandang dan lingkup

pengertian yang berbeda (Cahyat 2004), antara lain :

14

Model Tingkat Konsumsi

Pada awal tahun 1970-an, Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi

ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Dia membedakan tingkat

ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah

pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari

240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin,

sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras

per orang per tahun.

Hampir sejalan dengan model konsumsi beras dari Sayogyo, Pada tahun

1984 Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perhitungan jumlah dan persentase

penduduk miskin dengan menggunakan modul konsumsi Susenas (Survey sosial

ekonomi nasional). BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi

penduduk atas kebutuhan dasar. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator

yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100

kalori per orang per hari, sedangkan dari sisi kebutuhan non-makanan tidak hanya

terbatas pada sandang dan papan melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.

Dari sisi akurasi, survey BPS memiliki kaidah-kaidah statistik yang harus

dijalankan dalam survey dan pengolahan data. Sehingga secara metodologi

statistik, lebih dapat dipertanggung jawabkan. Dari sisi fleksibilitas standar, model

BPS lebih fleksibel dalam penilaian dengan dasar penilaian berdasarkan „Garis

Kemiskinan‟ yang ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional

maupun tingkat propinsi.

Garis kemiskinan yang sering dijadikan rujukan internasional antara lain

sebesar $1 atau $2 Amerika Serikat per hari per kapita. Bank Dunia adalah badan

internasional yang seringkali menggunakan cara ini, dengan menyusun indikator

tunggal, seperti pendapatan atau pengeluaran.

Model Kesejahteraan Keluarga

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat

dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survei yang

digunakan yaitu keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga

Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat

kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan

15

Keluarga untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka

program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok

data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1) Data demografi, misalnya

jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dll.; 2) Data keluarga

berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB, dll.; 3) Data

tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori

keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), sejahtera I (miskin), II, III dan III plus.

4) Data individu, seperti nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll.

Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai

tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat

Nasional. Dilakukan secara rutin setiap tahun, sehingga digunakan untuk

program-program pemberian bantuan bagi keluarga dan penduduk miskin.

Model Pembangunan Manusia

Pendekatan Pembangunan Manusia dipromosikan oleh lembaga

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk program pembangunan yaitu United

Nation Development Program (UNDP). Laporan tentang Pembangunan Manusia

atau yang sering disebut Human Development Report (HDR) dibuat pertama kali

pada tahun 1990 dan kemudian dikembangkan oleh lebih dari 120 negara.

Pemerintah Indonesia lewat Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional (Bappenas) turut mengembangkan model ini. HDR yang

pertama dibuat pada tahun 1996 untuk situasi tahun 1990 dan 1993. Garis-Garis

Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menjadikan model ini sebagai

model pembangunan nasional yang disebut sebagai "Pembangunan Manusia

Seutuhnya". Laporan terakhir adalah laporan tahun 2004 yang menjelaskan

keadaan pada tahun 1999 dan 2002.

HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih

komprehensif, di mana menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir.

Berisikan penjelasan tentang empat index yaitu Index Pembangunan Manusia atau

Human Development Index (HDI), Index Pembangunan Jender atau Gender

Development Index (GDI), Langkah Pemberdayaan Jender atau Gender

Empowerment Measure (GEM) dan Index Kemiskinan Manusia atau Human

Poverty Index (HPI). Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas

16

tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan

memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak.

Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia

dan penghormatan secara pribadi. Sumber data yang digunakan adalah survey dan

sensus yang dibuat oleh BPS. Namun demikian, laporan Pembangunan Manusia

sangat terbatas hanya tiga tahun sekali dan skala survey umumnya tingkat propinsi

yang ditingkatkan sampai kabupaten.

Penilaian kemiskinan dalam penelitian ini menggunakan model tingkat

konsumsi berdasarkan BPS menggunakan „Garis kemiskinan‟ untuk menghitung

pengeluaran penduduk dan rumah tangga meliputi kebutuhan makanan dan non

makanan. Selanjutnya penduduk dikelompokkan menjadi penduduk miskin dan

penduduk tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang pengeluarannya

berada pada dan dibawah garis kemiskinan. Sedang penduduk tidak miskin adalah

penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan

kota Bogor, menurut BPS (2011) yaitu Rp. 256.414,-.

Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi,

kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya

kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan

berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat

pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara.

Pertama, secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena

kelemahan fisik. Kedua, secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi

kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, dapat

menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk

berobat.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri,

atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya

(UU RI 1992). Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang

peranannya penting dalam tumbuh kembang anak.

Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga

tersebut dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Keadaaan sosial

17

ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan jumlah makanan

yang tersedia dalam keluarga sehingga turut menentukan status gizi keluarga

tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial adalah (Supariasa 2002):

a. Keadaan penduduk suatu masyarakat

b. Keadaan keluarga.

c. Tingkat pendidikan orang tua

d. Keadaan rumah

Sedangkan data ekonomi dari faktor sosial ekonomi meliputi :

a. Pekerjaan orang tua.

b. Pendapatan keluarga.

c. Pengeluaran keluarga.

d. Harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim.

Dalam penelitian ini, karakteristik keluarga yang diuraikan antara lain umur,

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga.

Umur Orang Tua. Umur orang tua terutama ibu berkaitan dengan

pengalaman ibu dalam mengasuh anak. Seorang ibu yang masih muda

kemungkinan kurang memiliki pengalaman dalam mengasuh anak sehingga dalam

merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Ibu dengan umur

muda cenderung memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan

anak dan keluarga. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan

menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu sehingga akan mempengaruhi

pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998).

Pendidikan orangtua. Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk

berbuat dan mengisi kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan

informasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah seseorang dalam menerima informasi

(Hidayat 2004). Tingkat pendidikan yang rendah menandakan minimmya kualitas

sumberdaya manusia dan berdampak buruk terhadap aspek kehidupan secara

keseluruhan. Lamanya sekolah atau pendidikan (years of schooling) adalah

sebuah angka yang menunjukkan lamanya bersekolah seseorang dari masuk

18

sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan terakhir (BPS 2007, diacu dalam

Khomsan 2007).

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi

pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi

sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat

pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi

dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Madanijah (2003) menyatakan bahwa

terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi,

kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung

mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik.

Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap tingkat

pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, dan kesadarannya

terhadap kesehatan anak dan keluarga.

Pendidikan ibu tidak berhubungan secara langsung dengan pertumbuhan

anak, namun melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas dan efisiensi

penjagaan kesehatan, peningkatan pengasuhan, karakteristik keluarga,

peningkatan nilai dan tingkat kesukaan dalam keluarga (Atmarita 2004). Status

pendidikan keluarga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Keluarga dengan tingkat pendidikan rendah akan sulit untuk menerima arahan

dalam pemenuhan gizi dan sulit meyakini pentingnya pemenuhan gizi atau

pentingnya pelayanan kesehatan lain yang menunjang dalam membantu

pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat 2004).

Besar Keluarga. Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang

terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan

sumberdaya yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran

rumahtangga. Besar keluarga akan mempengaruhi jumlah pangan yang

dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas

maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga

dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan

menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sukandar 2007).

19

Keluarga yang mempunyai banyak anak akan menimbulkan banyak masalah

bagi keluarga tersebut, jika penghasilan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam

penelitian di Indonesia membuktikan, jika keluarga mempunyai anak hanya tiga

orang, maka dapat mengurangi 60% angka kekurangan gizi anak balita.

Keluarga/ibu yang mempunyai banyak anak juga menyebabkan terbaginya kasih

sayang dan perhatian yang tidak merata pada setiap anak (Almatsier 2004).

Jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar

dibandingkan dengan keluarga kecil dan jumlah anak yang mengalami gizi kurang

pada keluarga besar, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil

(Berg 1986).

Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam

satu bangunan rumah yang akan mempengaruhi pula kesehatan anak-anak

(Khomsan 2007). Selanjutnya hasil penelitian Suradi dan Chandradewi (2007)

menunjukkan semakin kecil jumlah anggota keluarga, maka ibu mempunyai

waktu yang banyak untuk mengasuh anak sehingga tumbuh kembang anak dapat

dipantau.

Pekerjaan dan Pendapatan Keluarga. Pekerjaan atau mata pencaharian

berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi dan akan terkait dengan faktor-

faktor lain seperti kesehatan. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga

miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi diantara seluruh anggota keluarga

dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan

(Harper, Deaton & Driskel 1986).

Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah,

melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Meyer dan Dusek (1992) mengatakan

bahwa banyaknya waktu ibu rumah tangga yang digunakan untuk mengasuh anak

merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keadaan gizi anak. Anak

yang belum dilepaskan sendiri, maka kebutuhan sehari-hari seperti makan,

berpakaian dan lain-lain tergantung pada orang lain terutama ibu. Seorang ibu,

baik sebagai ibu rumah tangga maupun pekerja selalu dihadapkan pada berbagai

kesibukan yang memerlukan pengaturan waktu. Menurut Satoto (1997), ibu

rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara

otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak.

20

Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan

status gizi. Tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan

kualitas makanan yang dikonsumsi. Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan

merupakan penentu utama yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini

diperkuat oleh Suhardjo (1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat,

penyediaan lauk-pauk akan meningkat pula mutunya. Meningkatnya pendapatan

keluarga akan diikuti perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Keluarga

yang berpenghasilan rendah, menggunakan sebagian besar dari keuangannya

untuk membeli makanan dan bahan makanan. Pada kondisi pendapatan yang

rendah orang tidak memikirkan kualitas makanan yang dikonsumsi.

Tinggi Badan Orangtua. Tinggi badan orang tua merupakan salah satu

faktor dalam melihat tinggi badan anak. Bock (1986) dalam Bogin (1999),

melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap

pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup

dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar

belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi

pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang

anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam

penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang.

Faktor-faktor yang berperan dalam tinggi badan seorang anak adalah

genetik dan lingkungan. Untuk daerah-daerah di negara berkembang faktor

lingkungan dianggap lebih berperan terhadap pertumbuhan tinggi badan

dibandingkan dengan faktor genetik. Anak-anak di negara maju badannya lebih

tinggi dan besar dari anak di negara berkembang. Anak dari kelompok di negara

miskin lebih kecil dan pendek daripada anak-anak kelompok keluarga mampu dari

suku atau ras yang sama (Jahari 1988).

Karakteristik Ibu

Karakteristik ibu dalam penelitian ini yang berkaitan dengan kebijaksanaan

yang dilakukan pemerintah yang berkaitan dengan jumlah anak ideal, jarak

kelahiran anak yang ideal dan usia ideal untuk melahirkan dan mengakhiri

21

kehamilan. Selain itu, penyakit yang diderita ibu pada masa perencanaan

kehamilan akan mempengaruhi keadaan bayi yang dilahirkan.

Kebijakan dalam Program KB Nasional dilakukan melalui „Reproduksi

Sehat‟ diharapkan bahwa perempuan tidak hamil dan melahirkan sebelum usia

20 tahun dan sesudah usia lebih dari 30 tahun. Jarak yang aman untuk hamil dan

melahirkan adalah usia 20–30 tahun dengan jarak melahirkan yang aman dari

anak yang satu ke anak berikutnya adalah 3-5 tahun, sehingga diharapkan selama

masa suburnya wanita hanya melahirkan dua orang anak saja dan maksimalnya

adalah tiga orang (Saputra 2009). Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat

menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan

pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus

memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki

jarak kelahiran kurang dari dua tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk

menderita anemia (Wibowo & Basuki 2006).

Graef et al. (1996) mengemukakan bahwa makin muda atau makin tua usia

ibu, maka makin tinggi resiko ibu beserta anaknya. Bila seorang ibu telah

melahirkan anak lebih dari empat orang anak, maka resiko ibu dan anaknya makin

besar pada setiap kelahiran berikutnya. Taylor dalam penelitian di Thailand tahun

1970 menyebutkan bahwa ada hubungan kematian ibu dengan umur ibu. Ibu yang

melahirkan di bawah 20 tahun dan melahirkan di atas 35 tahun mempunyai resiko

kematian yang lebih besar dibandingkan ibu yang melahirkan dalam umur 20-34

tahun (Saputra 2009). Walaupun demikian, hasil penelitian Ventura et al. (1997),

usia ketika orang tua memulai keluarga telah berubah selama beberapa dekade

terakhir di Amerika Serikat, dengan peningkatan substantial angka kelahiran pada

wanita berusia 30 sampai 40 tahun dan penurunan angka kelahiran pada wanita

yang berusia 20 sampai 29 tahun (Wong 2008).

UU No 10 tahun 1992 menginsyaratkan agar keluarga-keluarga di Indonesia

mempunyai anak yang ideal. BKKBN sendiri sebagai pengelola dan pelaksana

Program KB menetapkan motto ”dua anak lebih baik”. UU NO 10 tahun 1992

menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok pembangunan keluarga berencana

menuju pembangunan keluarga sejahtera adalah upaya pengaturan kelahiran.

Program KB tidak hanya berupaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan

22

penduduk, namun juga menciptakan keluarga bahagia dan sejahtera. Melalui

Program KB setiap pasangan bisa merencanakan kehidupan dengan lebih baik,

sehingga dengan motto ”dua anak lebih baik” setiap rumah tangga bisa mendidik

serta memberi nutrisi yang baik bagi anak-anaknya. Jumlah anak yang sedikit

dapat mendorong kesehatan penduduk perempuan sehingga memiliki waktu yang

lebih untuk berkontribusi baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat

(Saputra 2009).

Konsumsi makanan yang rendah disebabkan oleh adanya penyakit terutama

penyakit infeksi saluran pencernaan. Disamping itu jarak kelahiran anak yang

terlalu dekat dan jumlah anak terlalu banyak akan mempengaruhi asupan zat gizi

dalam keluarga (Supariasa 2002). Selanjutnya penelitian Wyon dan Gordon

tentang pengaruh anak yang terlampau dekat di Punjab, India (1980) menyebutkan

bahwa kematian bayi baru lahir dan anak meningkat kalau jaraknya kurang dari

2 tahun sejak kelahiran anak sebelumnya, dan angka kematian itu akan menurun

dengan cepat kalau jaraknya menjadi lebih lama (Saputra 2009). Jumlah anak

yang dilahirkan oleh seorang ibu dan jarak anak yang terlalu dekat berhubungan

erat dengan beban pekerjaan rumah tangga dan juga berpengaruh terhadap

kemampuan fisiologis tubuh ibu menyediakan nutrisi bagi bayinya. Hasil

penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan status gizi terhadap fertilitas

menunjukkan bahwa bayi yang mempunyai saudara kandung dengan jumlah yang

sedikit, status gizinya lebih baik dibandingkan dengan bayi yang mempunyai

saudara kandung dalam jumlah yang lebih banyak (Zeitlin et al. 1990).

Hadirnya seorang anggota keluarga baru berpengaruh terhadap anak yang

lebih tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan

suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak paling tua masih

kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam. Seorang

anak yang lebih tua mempunyai tingkat pemahaman yang lebih baik terhadap

situasi yang terjadi dan tidak lagi memandang kehadiran anggota baru sebagai

suatu ancaman walaupun ia mengalami kehilangan kedudukannya sebagai anak

semata wayang. Berbagai studi telah dilakukan dan menunjukkan bahwa terdapat

kasih sayang yang lebih besar dan lebih sedikit persaingan atau perasaan kesepian

23

pada anak yang mempunyai adik baru dengan perbedaan usia sekitar 3 tahun atau

lebih. Namun, temuan tersebut tidak konsisten (Wong 2008).

Karakteristik Anak Balita

Karakteristik anak adalah segala hal yang melekat pada diri anak, baik fisik

maupun non fisik. Karakteristik anak yang banyak berpengaruh pada tumbuh

kembang dari beberapa penelitian terdahulu antara lain jenis kelamin, umur dan

urutan kelahiran anak (Hurlock 1997).

Jenis kelamin anak akan mempengaruhi bagaimana orangtua

memperlakukan anaknya, seperti anak laki-laki biasanya lebih diberi kebebasan

oleh orangtua dibandingkan dengan anak perempuan (Santrock 2003).

Umur anak mempengaruhi kuantitas waktu ibu untuk pengasuhan. Diatas

umur dua tahun anak makin mandiri dan mempunyai jaringan sosial yang lebih

luas dan ketergantungan dengan ibu mulai berkurang (Hurlock 1997). Hasil

penelitian Macharia et al. (2005) menunjukkan hubungan negatif antara umur

anak dengan status stunting pada anak balita. Selanjutnya menurut Ramli et al.

(2009) prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berusia 24-59 bulan.

Urutan kelahiran anak mempengaruhi ibu dalam pengasuhan. Anak tunggal,

anak pertama dan anak bungsu biasanya akan mendapatkan perhatian yang lebih

baik dibandingkan dengan anak lainnya (Maulani 2002). Anak tengah menurut

Wong (2008), lebih dituntut untuk membantu pekerjaan rumah, jarang dipuji,

menerima kekurangan waktu untuk bersama dengan orang tua, dan lebih dituntut

untuk berkompromi dan beradaptasi. Penelitian Macharia et al. (2005)

menunjukkan hubungan positif antara urutan kelahiran dengan status stunting

pada anak balita.

Pengetahuan Gizi dan Kesehatan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang mencakup ingatan akan hal-hal

yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi

fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui (Winkel 2007).

Berg (1986) mengemukakan bahwa pengetahuan tentang gizi sangat

diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi

gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap

24

konsumsi makanan bagi keluarga. Ibu harus memiliki pengetahuan tentang gizi

baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media

massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi.

Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan orang tua juga ikut

menentukan mudah dan tidaknya seseorang menyerap dan memahami

pengetahuan gizi yang mereka peroleh, serta berperan dalam penentu pola

penyusunan makanan dan pola pengasuhan anak. Dalam pola penyusunan

makanan erat hubungannya dengan pengetahuan ibu mengenai bahan makanan

seperti sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Apriadji 2007).

Pengetahuan tentang gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif

pemecahan masalah kondisi gizi keluarga. Untuk menanggulangi kekurangan

konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan

peningkatan keluarga dengan memanfaatkan pekarangan sekitar rumah

(Sediaoetama 2006). Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di

kota masih kurang mencukupi. Kebanyakan keluarga telah merasa lega kalau

sudah mengkonsumsi makanan pokok (Kartasapoetra 2005).

Menurut Suhardjo (2005) bahwa peningkatan pengetahuan gizi terhadap

konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu:

1) Status gizi yang cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

2) Setiap orang hanya akan cukup gizi yang diperlukan jika makanan yang

dimakan mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan

tubuh yang optimal, pemeliharaan dan energi.

3) Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat

belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi ibu berpengaruh

terhadap status gizi anak balita. Penelitian Mariani (2002), menemukan bahwa ibu

yang memiliki pengetahuan gizi yang tinggi akan membiasakan anaknya untuk

lebih memilih makanan yang sehat dan memenuhi kebutuhan gizi. Hasil penelitian

Martianto et al. (2008), pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan

dengan pendidikan ibu.

Menurut Sandra (2007), seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu

kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi

25

dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Karena

sekalipun berpendidikan rendah, kalau orang tersebut rajin mendengarkan atau

melihat informasi tentang gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih

baik.

Pengetahuan gizi seseorang dapat diukur dengan cara melakukan tes bentuk

objektif. Menurut Syah (2002), bentuk tes objektif adalah tes yang jawabannya

dapat diberi skor secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan

sebelumnya. Tes objektif ini ada lima macam yaitu tes benar salah, tes pilihan

berganda (Multiple choice), tes pencocokan, tes isian dan tes perlengkapan.

Khomsan (2007) mengemukakan bahwa untuk mengukur pengetahuan gizi

seseorang dapat dilakukan dengan menggunakan instrument berbentuk pertanyaan

pilihan ganda (Multiple choice). Dan pengkategorian dalam pengetahuan gizi

berdasarkan penetapan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen.

Masa Kehamilan

Kehamilan merupakan masa yang penting karena masa ini mempengaruhi

kualitas anak yang akan dilahirkan. Pemeliharaan kehamilan dimulai dari

perencanaan menu yang benar (Paath 2005).

Kebutuhan zat gizi. Kebutuhan zat gizi selama kehamilan dapat terpenuhi

dari makanan normal yang bervariasi, kecuali kebutuhan akan zat besi. Zat besi

merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh. Zat ini diperlukan dalam

pembentukan darah, yaitu dalam sintesa hemoglobin. Kehadiran protein hewani,

vitamin C, zink (Zn), asam folat, dapat meningkatkan penyerapan zat besi dalam

tubuh. Namun pada sebagaian menu masyarakat juga mengandung serat dan fitat

yang merupakan faktor penghambat penyerapan besi (Sediaoetama 1999).

Oleh karena itu, pada trimester kedua dan ketiga, ibu hamil harus mendapatkan

tambahan zat besi berupa suplementasi zat besi. Menurut Arisman (2004), jika

seluruh bahan makanan ini digunakan, maka seluruh zat gizi yang dibutuhkan

akan terpenuhi, kecuali zat besi dan asam folat harus ditambahkan melalui

suplementasi.

Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi

pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Bila status gizi ibu normal pada masa

sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat,

26

cukup bulan dengan berat badan normal. Selama masa kehamilan metabolisme

energi semakin meningkat sehingga kebutuhan energi dan zat gizi lainnya

meningkat pula. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan,

perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi

tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak

sempurna. Oleh karena itu kualitas bayi yang dilahirkan sangat tergantung pada

keadaan gizi ibu sebelum dan selama hamil (Lubis 2003).

Kebiasaan – kebiasaaan yang dilakukan saat kehamilan. Pemeriksaan

saat hamil merupakan suatu hal yang penting yang harus dilakukan untuk

mengetahui kesehatan janin. Menurut Buku Acuan Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal (Depkes 2005), kunjungan kehamilan atau kunjungan antenatal

sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu satu kali pada

triwulan pertama, satu kali pada triwulan kedua dan dua kali pada triwulan ketiga.

Pelayanan/asuhan standar minimal termasuk “7T” yaitu : (Timbang) berat badan;

ukur (Tekanan) darah; ukur (Tinggi) fundus uteri; Pemberian imunisasi (Tetanus

Toksoid) TT lengkap; Konsumsi Tablet tambah darah, minimum 90 tablet selama

kehamilan; Tes terhadap Penyakit Menular Seksual ; serta Temu wicara dalam

rangka persiapan rujukan.

Keuntungan pengawasan antenatal adalah diketahuinya secara dini keadaan

risiko tinggi ibu dan janin sehingga dapat melakukan pengawasan yang lebih

intensif, memberikan pengobatan sehingga risikonya dapat dikendalikan,

melakukan rujukan untuk mendapatkan tindakan yang adekuat serta segera dapat

dilakukan terminasi (Manuaba 1998). Menurut Wibowo dan Basuki (2006),

perawatan kehamilan dapat menurunkan resiko kematian bayi dalam dua tahun

pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan

resiko 1,2 kali resiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan

perawatan kehamilan.

Meminum jamu merupakan kebiasaan atau tradisi turun temurun yang

diwariskan dari nenek moyang. Menurut dr. Hasnah Siregar, Sp.OG, dari RSAB

Harapan Kita, Jakarta, bahwa baiknya minum jamu di saat hamil maupun setelah

melahirkan, walaupun ilmu kedokteran belum pernah meneliti tentang kandungan

27

dari bahan-bahan jamu tersebut. Namun dalam pemakaiannya harus tetap berada

di bawah pengawasan dokter kandungan. Sebaiknya membuat jamu buatan sendiri

yang segar dan tidak dalam bentuk kemasan, sehingga lebih fresh dan juga

terjamin kehigienisannya. Sesuaikan dosis pemakaiannya, disertai pemeriksaan

antenatal care pada ginekolognya. Selanjutnya Kepala Balitbangkes Depkes,

Prof.Dr. Umar Fahmi Achmadi MPH, PhD, jamu merupakan alternatif obat

alamiah yang berfungsi untuk menjaga kondisi kesehatan, "Bukan mencegah dan

mengobati kemungkinan seseorang terkena penyakit karena yang digunakan untuk

mengobati penyakit adalah obat-obatan" (Melindacare 2010).

Dalam mengkonsumsi jamu harus berhati-hati, terutama bila ada riwayat

keguguran, pernah melahirkan anak cacat, prematur, dan sebagainya. Pada

trimester pertama yang merupakan masa sangat rentan bagi kehamilan karena

pada tersebut janin sedang membentuk organ-organ vital seperti mata, hidung,

telinga, pertumbuhan otak, dan lainnya. Kemungkinan pada trimester kedua bisa

lebih longgar karena pembentukkan organ-organ janin sudah sempurna, tinggal

mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhannya, tapi meskipun demikian

harus tetap berhati-hati. Karena terkadang ada jamu yang pedas sehingga

membuat perut menjadi mulas. Dikhawatirkan akan mengakibatkan kelahiran

prematur (Melindacare 2010).

Umur saat hamil. Sebagian masalah kesehatan adalah berkaitan dengan

usia-resiko mengalami masalah kesehatan akan meningkat sejalan dengan

peningkatan usia. Usia mempengaruhi fertilitas (kesuburan), fertilitas mulai

menurun saat wanita berusia 20 tahun, menurun dengan cepat setelah anda berusia

35 tahun. Pasangan yang lebih tua dari 35 tahun membutuhkan waktu dua kali

lipat dari pasangan yang lebih muda (1,5 sampai 2 tahun). Seorang wanita yang

berusia di atas 40 tahun membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat mengandung

karena ovulasi sudah kurang sering terjadi (Curtis & Asih 2000).

Penyulit pada kehamilan remaja, lebih tinggi dibandingkan „kurun waktu

reproduksi sehat‟ antara umur 20 sampai 30 tahun. Keadaan ini disebabkan belum

matangnya alat reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu

maupun perkembangan dan pertumbuhan janin. Keadaan tersebut akan makin

menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stres) psikologis, sosial, ekonomi,

28

sehingga memudahkan terjadinya: keguguran, persalinan prematur, berat badan

lahir rendah (BBLR) dan kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia

kehamilan, keracunan kehamilan (gestosis) dan kematian ibu yang tinggi

(Manuaba 1998).

Wanita berusia lebih dari 30 tahun yang hamil sering kali mendapatkan

informasi yang lebih baik tentang kehamilannya. Mereka pada umumnya tertarik

dengan apa yang sedang terjadi pada diri mereka dan bayi yang sedang tumbuh

dalam kandungannya serta berkeinginan untuk merawat kesehatan mereka.

Dengan alasan ini, banyak peneliti sekarang berkeyakinan bahwa resiko tidak

banyak meningkat hanya karena usia wanita hamil lebih tua. Kebanyakan wanita

dapat mempunyai kehamilan dan melahirkan bayi yang sehat pada usia mereka

yang memasuki usia 40 tahun, dengan perawatan pralahir yang baik secara

signifikan dapat mengurangi komplikasi kehamilan (Curtis & Asih 2000).

Masalah-masalah pada kehamilan. Beberapa peneliti menetapkan

kehamilan dengan resiko tinggi, antara lain oleh umur kurang dari 19 tahun, umur

di atas 35 tahun, jarak anak terlalu dekat, tinggi badan kurang dari 145 cm,

kehamilan dengan penyakit ibu yang mempengaruhi kehamilan (faktor genetik),

serta riwayat kehamilan yang buruk disebabkan oleh pernah keguguran, pernah

persalinan prematur, lahir mati, riwayat persalinan dengan tindakan,

preeklampsia-eklampsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan

antepartum serta kehamilan dengan kelainan letak (Manuaba 1998).

Masalah-masalah yang lebih sering ditemukan dokter pada wanita hamil

dengan usia yang lebih dari 30 tahun termasuk kehamilan yang diperberat oleh

diabetes, tekanan darah tinggi dan masalah plasenta. Wanita yang berusia lebih

dari 30 tahun mempunyai kecenderungan tinggi untuk mengalami keguguran,

kelahiran dengan abnormalitas genetik dan kromosom. Setelah usia 40 tahun,

wanita merasakan ketegangan fisik karena kehamilan. Mereka akan lebih

terganggu oleh wasir, inkontinensia, varises, nyeri dan pegal otot, dan nyeri

pinggang (Curtis & Asih 2000).

Komplikasi yang sering terjadi di Indonesia yakni perdarahan, partus lama,

demam/infeksi, dan preeklamsia/eklamsia. Ibu hamil dikatakan mengalami

komplikasi persalinan jika mengalami salah satu atau gabungan dari dua atau

29

lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi

kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan

komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki

resiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu

yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe & Sulistiyowati 2004).

Riwayat Kelahiran

Berat dan panjang lahir menentukan status gizi dan pertumbuhan linier di

masa mendatang (Schimdt et al. 2002). Pengukuran panjang sangat mudah

dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Sinaga

(2011), panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan

bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia

selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai

manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan

sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang

badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi.

Berdasarkan Kemenkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52

cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Helath Statistics

(NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap

bulannya. Selanjutnya menurut Sinaga (2011), penambahan panjang akan

berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun

dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun.

Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan

kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g,

sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi

lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan

BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi

normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth

(<37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin

(intrauterine).

Menurut Kusharisupeni (2008), berat bayi lahir rendah diakibatkan oleh

kurangnya gizi selama kehamilan yang dapat diukur melalui beberapa hal, antara

lain yaitu kenaikan berat badan yang rendah, indeks massa tubuh yang rendah,

30

tinggi badan ibu yang pendek, defisiensi gizi mikro, Ibu hamil dengan usia muda,

menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil, dan merokok. Hal serupa

diungkapkan dalam penelitian Sistiarani (2008) bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian BBLR diantaranya anemia dan kualitas pelayanan

antenatal. Berdasarkan Kemenkes (2010a), kejadian BBLR di Indonesia masih

mencapai angka 11,1%.

Riwayat Pemberian ASI

Kebutuhan bayi akan zat-zat gizi adalah yang paling tinggi, bila dinyatakan

dalam satuan berat badan, karena bayi sedang ada dalam periode pertumbuhan

yang sangat pesat (Sediaoetama 2006). Makanan pertama dan utama bagi bayi

adalah ASI (Air Susu Ibu) karena mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan

bayi. Selain itu, tidak ada susu buatan manusia yang dapat memberikan

perlindungan kekebalan tubuh bayi seperti kolostrum (Krisnatuti & Yenrina

2000).

ASI memiliki banyak keuntungan bagi bayi. Ramaiah (2006)

mengungkapkan bahwa didalam ASI terdapat zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi

sehingga mengurangi resiko berbagai jenis kekurangan zat gizi. Selain steril dan

mudah diberikan, ASI juga selalu berada pada suhu yang paling cocok bagi bayi

karenanya tidak memerlukan persiapan apapun bila dibutuhkan segera oleh bayi.

ASI memiliki faktor pematangan usus yang melapisi bagian dalam saluran

pencernaan dan mencegah kuman penyakit serta protein berat untuk terserap ke

dalam tubuh. ASI juga menolong pertumbuhan bakteri sehat dalam usus yang

disebut Lactobacillus bifidus yang dapat mencegah bakteri penyakit lainnya

sehingga mencegah diare. Laktoferin yang dikombinasikan dengan zat besi di

dalam ASI dapat mencegah pertumbuhan kuman penyakit.

Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi ibu adalah mengurangi pendarahan,

mengurangi terjadinya anemia, menjarangkan kehamilan, mengecilkan rahim,

menurunkan berat badan, mengurangi kemungkinan menderita kanker, memberi

kepuasan pada ibu, praktis dan ekonomis. ASI memberikan manfaat ekonomi

karena akan mengurangi biaya pengeluaran terutama untuk membeli susu.

Lebih jauh, bagi negara pemberian ASI dapat menghemat devisa negara,

menjamin tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, menghemat subsidi

31

biaya kesehatan masyarakat, dan mengurangi pencemaran lingkungan akibat

gangguan plastik sebagai bahan peralatan susu formula (Depkes 2002a).

ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain

seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat

seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini

dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin

sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan

makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau

bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli 2000). Penelitian Chantry et al. (2006)

menyebutkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif selama enam bulan penuh

memiliki resiko lebih kecil terkena penyakit pneumonia dibandingkan bayi yang

diberi ASI kurang dari enam bulan. Selanjutnya penelitian Utomo (2009)

menunjukkan prevalensi ISPA pada anak usia 6-23 bulan 1,84 kali lebih banyak

pada anak yang riwayat pemberian ASI tidak eksklusif dibandingkan anak yang

diberi ASI secara eksklusif.

Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan

maupun secara psikologis, pada usia 6–9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai

diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka

makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan

gangguan pencernaan, timbulnya gas, konstipasi dll. Tubuh bayi belum memiliki

protein pencernaan yang lengkap. Asam lambung dan pepsin dibuang pada saat

kelahiran dan setelah 3-4 bulan kemudian jumlahnya meningkat mendekati jumlah

untuk orang dewasa. Amilase, enzim yang diproduksi oleh pankreas belum

mencapai jumlah yang cukup untuk mencernakan makanan kasar sampai usia

sekitar 6 bulan. Dan enzim pencerna karbohidrat seperti maltase, isomaltase dan

sukrase belum mencapai level orang dewasa sebelum 7 bulan. Bayi juga memiliki

jumlah lipase dan bile salts dalam jumlah yang sedikit, sehingga pencernaan

lemak belum mencapai level orang dewasa sebelum usia 6-9 bulan

(Anonim 2008).

Di Indonesia, pemerintah mengatur mengenai ASI dalam Undang-undang

No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak

mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan.

32

Berdasarkan penelitian Berek et al. (2007) yang menyatakan faktor yang

berhubungan dengan gangguan pertumbuhan adalah praktek pemberian prelactal

feeding. Beberapa penelitian yang berkaitan dengan kejadian stunting terhadap

status pemberian ASI telah banyak dilakukan. Kerentanan status gizi selama

periode tersebut merupakan akibat dari rendahnya kualitas dan kuantitas makanan

yang diberikan (WHO 1998 dalam Pelto et al. 2003). Faktor yang mempengaruhi

kejadian stunting pada anak usia 6-11 bulan di Ethopia menurut Umeta et al.

(2003) adalah konsentrasi seng dan kalsium dalam ASI serta kualitas dan

kuantitas pemberian MP-ASI. Sementara penelitian di Sudan melaporkan

konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status gizi, status pemberian ASI, status sosial

ekonomi merupakan faktor-faktor yang berkolerasi dengan kejadian stunting pada

anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000).

Kesehatan Balita

Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu

asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Penyakit yang sering terjadi antara

lain diare, kecacingan, dan infeksi saluran pernapasan. Apabila anak menderita

infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan

mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Apabila anak menderita infeksi

saluran pernapasan, maka nafsu makan akan menurun, sementara kebutuhannya

meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami

penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di bawah kulit

baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi

kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang

gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan

dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).

Penyakit Diare

Penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di

banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini disebabkan masih

tingginya angka kesakitan dan menimbulkan banyak kematian terutama pada bayi

dan balita, serta sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Hasil penelitian

Badan Litbangkes (2008), penyebab kematian bayi yang terbanyak adalah diare

33

(31,4%) dan pneumonia (23,8%), sedangkan untuk penyebab kematian anak balita

terbanyak adalah diare (25,2%) dan pneumonia (15,5%).

Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau

setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya

lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi,

yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer

tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Ciesla & Guerrant 2003).

Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung

kurang dari 14 hari, sedang diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih dari

14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab diare

yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan virus, bakteri,

dan parasit. Infeksi bakteri yang paling sering menimbulkan diare adalah infeksi

bakteri E. coli. Selain E. coli patogen, bakteri-bakteri yang dulu tergolong dalam

“non-pathogenic” bakteri seperti Pseudomonas, Pyocianeus, Proteus,

Staphylococcus, Streptococcus dan sebagainya menurut penyelidikan para ahli

sering pula menyebabkan diare (Lung 2003).

Penularan diare menyebar lewat makanan dan air dan melalui jalur fekal-

oral. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain (Procop & Cockerill 2003) :

a. Menjaga higiene pribadi yang baik. Mencuci tangan setelah keluar

dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan. Kotoran manusia

harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus

terjaga dari kotoran manusia.

b. Menjaga kebersihan air. Air yang digunakan untuk membersihkan

makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan

diklorinasi atau direbus sebelum dikonsumsi.

c. Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang

bersih (air rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi.

Menurut Faber dan Benade (1999), selain asupan makanan, penyakit diare

dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada

awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap

tinggi badan menurut umur. Selanjutnya menurut Adeladza (2009) terdapat

interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi

34

penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya

nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat

menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan

sistem imunitas bayi dan anak terganggu.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik

dinegara berkembang maupun dinegara maju dan sudah mampu. dan banyak dari

mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-

penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi

kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan

terjadinya Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ISPA dapat ditularkan melalui

air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup

oleh orang sehat kesaluran pernapasannya (Smith 2010).

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam

2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas

derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat.

Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas

bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian

besar penyakit jalan nafas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi

antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita.

Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin (Rasmaliah 2004).

Ada dua cara pokok untuk mencegah ISPA, meliputi:

a. Imunisasi.

b. Mengurangi faktor resiko ISPA, seperti : menjaga keadaan gizi agar tetap

baik, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan menjauhkan

anak dari orang yang menderita batuk/pilek.

Anak yang mengalami gejala-gejala ISPA berat/ pnemonia, seperti batuk

tambah sesak nafas/ nafas cepat, harus segera dibawa ke dokter. Dokter akan

memeriksa anak dan memutuskan apakah anak tersebut harus rawat inap atau

dapat diobati di rumah. Bila anak diobati di rumah, paling penting anak diberi

obat sesuai dengan jadwal dan dosis ditunjuk oleh dokter. Bila obat tidak diberi

35

secara benar, sakit akan semakin bertambah dan mungkin harus diobati rawat inap

(Smith 2010).

Menurut VSO Health Training & Information Resources, cara pengobatan

yang dapat dilakukan di rumah jika anak menderita ISPA ringan (batuk, pilek

biasa, dengan demam ringan tanpa ada masalah pernafasan), antara lain (Smith

2010) :

a. Menjaga anak supaya hangat

b. Memberi anak banyak minum

c. Memberi anak sirop madu-jeruk, 3 atau 4 kali sehari

d. Bila hidung tersumbat, membersihkan lubang hidung dengan kain bersih,

untuk membantu dia bernafas.

e. Bila anak demam, memberi obat parasetemol dengan dosis yang sesuai

dengan umur anak.

Apabila anak menderita infeksi saluran perncernaan, penyerapan zat-zat gizi

akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. sementara

kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan

mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan di

bawah kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk

memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan

menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit

sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa 2002).

Pengasuhan

Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita adalah

pengasuhan yang diberikan oleh orangtuanya. Menurut kerangka UNICEF (1998)

pola pengasuhan yang tidak memadai dapat mempengaruhi status gizi anak balita.

FAO/WHO (1992) mendefinisikan pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam

rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk

memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam rangka tumbuh kembang

anak dan anggota keluarga lainnya. Definisi lain mengenai pengasuhan adalah

kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian, cinta

dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dari

kelompok rawan gizi (Jallow 2006). Sedangkan Engle dan Lotska (1999) dalam

36

Jallow (2006) mendefinisikan pengasuhan sebagai perilaku dan praktek dari

pengasuh (ibu, saudara kandung, ayah dan pengasuh lainnya) dalam hal makanan,

kesehatan, perhatian, stimulasi dan dukungan emosional untuk tumbuh kembang

anak.

Pengasuhan dalam prakteknya meliputi beberapa aspek. Range et al.

(1997), mengemukakan bahwa pola pengasuhan dapat dikelompokkan menjadi

empat yaitu : (1) pola asuh makan (2) pola asuh higiene dan kesehatan (3) pola

asuh yang berhubungan dengan psikososial dan (4) pengasuhan untuk ibu dan

sistem dukungan sosial. Range et al. (1997) berpandangan bahwa ke empat aspek

tersebut akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi zat gizi dan terjadinya

penyakit, kedua hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi.

Pola asuh yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

Pola Asuh Makan

Salah satu aspek dalam pengasuhan adalah pola asuh makan yang diberikan

pengasuh, dalam hal ini biasanya dilakukan oleh ibu, nenek atau saudara kandung.

Pola asuh makan yang diberikan oleh ibu akan sangat berpengaruh terhadap status

gizi anak. Definisi pola asuh makan menurut Karyadi (1985), sebagai praktek-

praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan

cara dan situasi makan. Pola asuh makan anak akan selalu terkait dengan

pemberian makan yang akhirnya akan memberikan sumbangan terhadap status

gizinya.

Engle et al. (1996) mengemukakan bahwa dalam perilaku pemberian

makanan kepada anak balita ada beberapa aspek yang harus diperhatikan,

diantaranya yaitu:

1. Menyesuaikan metode pemberian makan dengan kemampuan psikomotor anak

2. Pemberian makanan yang responsif, termasuk dorongan untuk makan,

memperhatikan nafsu makan anak, waktu pemberian, kontrol terhadap

makanan antara anak dan pemberi makan, dan hubungan yang baik dengan

anak selama memberi makan.

3. Situasi pemberian makan, termasuk bebas gangguan, waktu pemberian makan

yang tertentu, seperti perhatian dan perlindungan selama makan.

37

Selama bertahun-tahun dipercayai bahwa penyimpangan pertumbuhan

akibat kurang gizi disebabkan oleh kuantitas dan kualitas makanan yang kurang

baik disertai penyakit infeksi. Namun, sejak tahun 1970-an, ditemukan bahwa

pola asuh makan yang dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain berhubungan

erat dengan terjadinya penyimpangan pertumbuhan (Engle & Ricciuti 1995).

Penelitian yang dilakukan oleh Ruel dan Menon (2002) bahwa anak usia 12-36

bulan di Amerika Latin yang mendapatkan pola asuh makan yang baik memiliki

status gizi yang lebih bagus. Penelitian oleh Ogunba (2006) bahwa perilaku ibu

yang benar selama memberi makan meningkatkan status gizi anak. Hasil

penelitian lain yang dilakukan Astari di Bogor (2005) bahwa pada keluarga sosial

ekonomi keluarga miskin memiliki praktek pengasuhan meliputi praktek

pemberian makan, praktek sanitasi pangan, praktek sanitasi lingkungan dan

praktek perawatan kebersihan serta kesehatan anak pada kelompok anak normal

lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak stunting.

Kebiasaan Pemberian Makan. Berbagai Kebiasaan baik, termasuk memberi

makan anak-anak kecil berusia di atas 6 bulan dengan berbagai variasi makanan

dalam porsi kecil setiap hari sebagai tambahan Air Susu Ibu (ASI), pemberian

makan secara aktif, pemberian makan selama sakit dan penyembuhan serta

menangani anak yang memiliki selera makan yang rendah (Turnip 2008).

Bagian pertumbuhan bayi yang penting adalah pemberian makanan dengan

kualitas dan kuantitas yang baik sehingga mencapai pertumbuhan yang normal

(Engle & Ricciuti 1995). Terjadi peningkatan interaksi antara ibu dan anak pada

saat makan, sehingga tidak hanya kuantitas dan kualitas antara ibu dan anak saja

tetapi lebih luas menyangkut cara pemberian dan penyiapan makan untuk anak.

Kebersamaan fisik saja tidak menjamin dapat membantu pertumbuhan dan

perkembangan anak, melainkan diperlukan juga kebersamaan juga secara

psikososial. Terlalu memaksakan anak untuk makan makanan yang tidak

disukainya secara terus menerus akan mempengaruhi status gizinya

(Karyadi 1985).

Kebiasaan Pengasuhan. Interaksi positif antara anak dan pengasuhan utama dan

pengganti, membantu perkembangan emosi dan psikologis anak. Kebiasaan

positif seperti sering melakukan interaksi lisan dengan anak, memberikan dan

38

menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada anak, adanya pembagian tugas

agar pengawasan dan pengasuhan anak berjalan baik, dan patisipasi aktif ayah

dalam pengasuhan anak, merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan

anak yang normal namun sering kali terabaikan (Turnip 2008).

Pola Asuh Kesehatan

Pola asuh kesehatan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status

kesehatan anak balita. Pola asuh kesehatan adalah cara dan kebiasaan orang

tua/keluarga melayani kebutuhan kesehatan anak balita. Eagle et al. (1996)

mengemukakan bahwa salah satu pola asuh yang berhubungan dengan kesehatan

dan status gizi anak balita adalah pola asuh kesehatan. Pola asuh ini meliputi pola

asuh yang sifatnya preventif seperti pemberian imunisasi maupun pola asuh ketika

anak dalam keadaan sakit.

Range et al. (1997) mengemukakan bahwa dalam pola asuh kesehatan tidak

terlepas juga dari praktek higiene yang diterapkan oleh ibu. Praktek higiene yang

mendukung dalam pola asuh kesehatan diantaranya adalah kebiasaan buang air

besar, kebiasaan mencuci tangan, kebersihan makanan dan akses terhadap fasilitas

kesehatan yang modern.

Kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan berperan penting dalam

memelihara kesehatan akan serta mencegah penyakit-penyakit diare dan infeksi

kecacingan. Beberapa penyakit tertentu misalnya penyakit kulit tertentu bakterial

dan jamur berhubungan erat dengan kebersihan perorangan (personal hygiene).

Ruang lingkup kebersihan pribadi meliputi kebersihan kulit, rambut, mata, kuku,

hidung, telinga, mulut dan gigi, tangan dan kaki, pakaian, serta kebersihan

sesudah buang air besar dan buang air kecil (Depkes 1995). Menurut Depkes

(1997), anak harus dapat belajar menjaga kesehatannya sendiri sejak dini seperti

memotong kuku setiap minggu dan menjaga kebersihannya, menggosok gigi

sehari dua kali, mandi dengan sabun sehari dua kali, mencuci anggota badan

sebelum tidur, menggunakan pakaian yang bersih dan sebagainya.

Dilihat dari aspek sanitasi, maka beberapa sarana lingkungan yang berkaitan

dengan perumahan sehat adalah sarana air bersih dan air minum, sarana

pembuangan air limbah, Jamban/kakus dan tempat sampah. Pemerintah mengatur

tentang Perumahan dan Pemukiman dalam Undang Undang No.4 Tahun 1992.

39

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat

apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari

udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan

kebisingan 45-55 dB.A.; (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi

penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air

bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang

saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi penghuninya dari

kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah

yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek

listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Keman 2005).

Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan

menunjukkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang merupakan

penyebab kematian terbanyak kedua dan tuberkulosis yang merupakan penyebab

kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang

tidak sehat. Penyediaan air bersih dan dan sanitasi lingkungan yang tidak

memenuhi syarat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare (penyebab

kematian urutan nomor empat) disamping penyakit kecacingan yang

menyebabkan produktivitas kerja menurun. Disamping itu, angka kejadian

penyakit yang ditularkan oleh vector penular penyakit demam berdarah, malaria,

pes dan filariasis yang masih tinggi (Ditjen PPM dan PL 2002).

Usaha yang perlu mendapatkan perhatian agar tidak membahayakan

kesehatan manusia adalah perlunya dilakukan pembuangan limbah kotoran

manusia dan pengelolaan terhadap sampah. Pembuangan limbah kotoran manusia

yang tidak sesuai dengan aturan akan memudahkan terjadinya water born disease

seperti penyakit pada saluran cerna, infeksi cacing gelang, disentri. Pengelolaan

terhadap sampah, seperti penyimpanan pengumpulan dan pembuangan. Tempat

sampah yang baik harus memenuhi kriteria, antara lain (a) terbuat dari bahan

yang mudah dibersihkan dan tidak mudah rusak, (b) harus mempunyai tutup

sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya, dan sangat

dianjurkan agar tutup sampah ini dapat dibuka atau ditutup tanpa mengotori

tangan, (c) ditempatkan di luar rumah. Bila pengumpulannya dilakukan oleh

pemerintah, tempat sampah harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga

40

karyawan pengumpul sampah mudah mencapainya. Pembuangan sampah yang

tidak pada tempatnya dapat menimbulkan dampak pencemaran lingkungan dan

pada gilirannya kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akan terganggu

(Entjang 2000).

Faktor lain yang mempengaruhi masalah gizi anak balita adalah lingkungan

termasuk ketersediaan air bersih dan pelayanan kesehatan, yang akan

mengakibatkan anak balita mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan

(Untoro 2004). Kualitas air bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan, yaitu

(1) syarat fisik: jernih, tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau; (2) syarat

kimia: tidak mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan seperti zat-zat racun,

dan tidak mengandung mineral-mineral serta zat-zat organik lebih tinggi dari

jumlah yang telah ditentukan; (3) Syarat bakteriologis, yaitu air tidak boleh

mengandung sesuatu bibit penyakit. Sumber yang dapat digunakan untuk

keperluan rumah tangga diantaranya yaitu air dalam tanah dan air permukaan. Air

dalam tanah adalah air yang diperoleh dari lapisan tanah yang dalam, contohnya

air sumur dan air yang berasal dari mata air. Sedangkan air permukaan adalah air

yang letaknya dipermukaan tanah, contohnya air kali, air danau, kolam, dan air

hujan yang ditampung (Entjang 2000).

Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan berperan dalam peningkatan

status kesehatan. Dipandang dari segi fisik, persebaran sarana pelayanan

kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit maupun sarana kesehatan lain termasuk

sarana penunjang kesehatan lain sudah merata ke seluruh pelosok Indonesia. Akan

tetapi persebaran fisik tersebut tidak diikuti sepenuhnya peningkatan mutu

layanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat (Kemenkes 2011).

Pola Konsumsi Makan Balita

Konsumsi makan adalah makanan yang dimakan seseorang (Almatsier

2004). Konsumsi makan merupakan jumlah makanan (tunggal atau beragam)

yang dikonsumsi masyarakat, keluarga dan individu dengan tujuan untuk

memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Supariasa 2002).

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis, jumlah pangan yang

dikonsumsi oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu

(Baliwati 2004).

41

Konsumsi makan oleh masyarakat atau keluarga tergantung pada jumlah

dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dalam

kebiasaan makan secara perorangan. Hal ini tergantung pada pendapatan, agama,

adat kebiasaan dan pendidikan (Almatsier 2004). Dalam keluarga, jumlah anggota

keluarga akan mempengaruhi pola konsumsi pangan anggota keluarga yaitu

pengetahuan, pendapatan rendah dan jumlah anak yang banyak cenderung pola

konsumsi pangan berkurang pula (Harper 1986). Faktor ekonomi dan harga serta

faktor sosial budaya dan religi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi

konsumsi pangan (Baliwati 2004).

Pola konsumsi makan. Merupakan berbagai informasi yang memberikan

gambaran mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari

oleh setiap orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat

tertentu. Pola makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok

orang (keluarga) memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh

fisiologis, psikologis, kebudayaan dan sosial (Suhardjo 2005).

Pola konsumsi pangan merupakan hasil budaya masyarakat yang

bersangkutan dan mengalami perubahan terus menerus sesuai dengan kondisi

lingkungan dan tingkat kemajuan budaya masyarakat. Pola konsumsi ini diajarkan

dan bukan diturunkan secara herediter dari nenek moyang sampai generasi

mendatang (Sediaoetama 2006).

Survei konsumsi pangan. Baik rumah tangga ataupun perorangan

merupakan cara pengamatan langsung. Data survey konsumsi pangan dapat

menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah (kota/desa), golongan

sosio-ekonomi dan sosial-budaya dari wilayah yang bersangkutan (Suhardjo

2005). Komponen anamnesis asupan pangan mencakup: method food recall 24

hours, food frequency questionnery, dietary history dan food records (Arisman

2004).

Metode food frequency questionnery (FFQ) menghasilkan data bahan

makanan dan frekuensi makan individu. Penggolongan bahan makanan di

Indonesia terdiri dari bahan makanan pokok, bahan makanan lauk-pauk, bahan

makanan sayur-mayur dan bahan makanan buah (Sediaoetama 2006). Proyek

Food and Nutrition Technical Assistance (FANTA) kerjasama FAO-European

Union, mengembangkan kuesioner untuk mengukur keragaman makanan baik

42

individu maupun rumah tangga dengan menjumlahkan kelompok makanan yang

dikonsumsi selama waktu yang ditentukan dengan cara di scoring sehingga dapat

dilihat kecukupan gizi. Kuesioner yang digunakan dapat melihat kemungkinan

mengkonsumsi mikronutrien penting yang cukup dan disesuaikan dengan daerah

setempat. Penelitian FANTA (2006) menunjukkan bahwa nilai keanekaragaman

makanan berkorelasi positif dengan peningkatan rata-rata kecukupan

mikronutrien. Selanjutnya beberapa penelitian (Hatloy et al. 1998; Ruel et al.

2004; Steyn et al. 2006; Kennedy et al. 2007) korelasi terhadap kecukupan

mikronutrien anak yang tidak mendapatkan ASI (FAO 2011).

Pola makan. Konsumsi makanan untuk anak balita harus mengandung

kualitas dan kuantitas cukup untuk menghasilkan pertumbuhan anak yang baik.

Asupan gizi dipengaruhi oleh ketersediaan pangan di rumahtangga yang terkait

dengan kemampuan keluarga. Kurang energi, protein dan beberapa zat gizi mikro

merupakan gejala awal dari penyebab utama stunting. Di negara miskin seperti

Peru, stunting disebabkan karena defisiensi energi dan zat gizi, serta frekuensi

infeksi (Victoria et al. 1998). Penyimpangan pertumbuhan karena kurang energi

protein (KEP) dan defisiensi mineral, disebabkan terbatasnya konsumsi makanan

dan morbiditas (Dewey 2001).

Usia anak balita 3-5 tahun merupakan usia prasekolah. Pada usia ini

menurut PERSAGI (1992) anak bersifat konsumen aktif, yaitu mereka telah dapat

memilih makanan yang disukai, di usia ini gigi susu sudah lengkap sehingga anak

dapat mengerat dan mengunyah dengan baik walaupun belum maksimal dan

bentuk makanan seperti orang dewasa, misalnya nasi dapat diberikan tetapi tetap

disertai dengan cairan atau sayuran berkuah.

Pola makanan yang sesuai untuk pemenuhan kebutuhan gizi anak balita

sebagai pendukung tumbuh kembang balita adalah pola makan gizi seimbang.

Berdasarkan piramida makanan gizi sehat seimbang, bahan makanan sehat

seimbang dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama gizi (triguna makanan) yang

terdiri dari sumber zat tenaga yaitu padi-padian atau serelia, sumber zat

pembangun yaitu sumber protein hewani dan sumber zat pengatur berupa sayuran

dan buah. Menurut Depkes (2002b), pola makan yang sehat menurut Pedoman

Umum Gizi Seimbang adalah makanan yang mengandung semua unsur gizi

43

seimbang sesuai kebutuhan tubuh, baik protein, karbohidrat, lemak, vitamin,

mineral dan air. Dan sumber nutrisinya dipilih yang sealami mungkin.

Berdasarkan karakteristik anak balita, pola makan yang diberikan menurut

Uripi (2003) adalah porsi kecil dengan frekuensi sering, yaitu 7-8 kali sehari. Pola

tersebut terdiri dari 3 kali makan utama seperti orang dewasa (makan pagi, makan

siang dan makan sore) dan 2-3 kali makan selingan ditambah 2-3 kali susu. Anak

batita diberikan susu 3 kali sehari, setelah itu kurangi pemberian susu menjadi

2 kali sehari. Anjuran Depkes RI (2006) pola makan balita yaitu anak sudah bisa

diberikan makan makanan orang dewasa minimal 3 kali sehari, beri makanan

selingan 2 kali sehari, makanan yang diberikan harus bervariasi dan susu perlu

ditambahkan ke dalam menu sehari-hari.

Menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang, angka kecukupan gizi rata-rata

per orang per hari dapat digunakan untuk merencanakan penyediaan makanan

bagi keluarga, kelompok maupun nasional. Angka kecukupan menurut takaran

konsumsi makanan sehari berdasarkan kelompok umur sebagai berikut :

Tabel 2. Anjuran jumlah porsi untuk balita menurut kecukupan energi

Bahan

Makanan

Anak Usia 1-3 Tahun

(1200 kkal)

Anak Usia 4-6 Tahun

(1700 kkal)

Nasi 3 p = 300 g 4 p = 400 g

Sayuran 1 p = 100 g 2 p = 200 g

Buah 3 p 3 p = 150 g

Tempe 1 p 2 p = 100 g

Daging 1 p 2 p = 100 g

ASI Dilanjutkan hingga 2 tahun

Susu 1 p 1 p = 200 g (1 gls)

Minyak 3 p 4 p = 20 g (4 sdm)

Gula 2 p 2 p = 20 g (2 sdm)

* 1 p susu dapat diganti dengan 1 p daging/ikan

Sumber : Depkes (2002b)