polypposus nasi2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Polip hidung merupakan salah satu jenis penyakit telinga, hidung dan
tenggorok (THT) yang sudah umum didengar di masyarakat. Sebagian orang sering
menyebutnya sebagai tumbuh daging dalam hidung. Sebagian orang juga
menamainya tumor hidung. Polip Hidung sebenarnya adalah suatu pertumbuhan dari
selaput lendir hidung yang bersifat jinak.
Polip hidung bukan penyakit yang murni berdiri sendiri. Pembentukannya
sangat terkait erat dengan berbagai problem THT lainnya seperti rinitis alergi, asma,
radang kronis pada mukosa hidung-sinus paranasal, kista fibrosis, intoleransi pada
aspirin.
Sampai saat ini para pakar belum mendapatkan jawaban secara pasti apa yang
mendasari munculnya benjolan putih keabu-abuan bertangkai itu. Namun dari studi
dan pengamatan medis, baru ditemukan ada sejumlah faktor yang “memudahkan”
pemunculan benjolan itu. Antara lain radang kronis yang berulang pada mukosa
hidung dan sinus paranasal, gangguan keseimbangan vasomotor, peningkatan cairan
interstitial serta oedema (pembengkakan) mukosa hidung.
1.2 Tujuan
Referat ini disusun sebagai salah satu tugas persyaratan mengikuti ujian akhir
dari serangkaian kegiatan kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Telinga Hidung dan
Tenggorok.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penyusunan referat ini, yaitu:
a) Bagi Institusi Pendidikan:
Sebagai bahan masukan bagi institusi pendidikan untuk menjadi kepustakaan
untuk penyusunan karya ilmiah lainnya.
b) Bagi mahasiswa:
1. Mahasiswa mampu mengaplikasikan semua ilmu yang telah diperoleh
selama proses penyusunan referat ini.
2. Menambah wawasan mahasiswa dalam memahami ilmu yang
diperoleh selama proses penyusunan referat ini.
BAB II
POLYPPOSUS NASI
2.1 ETIOLOGI
Polyp adalah pengertian morpologis (bentuk) yang berarti panjang dan
bertangkai.
2.2 FAKTOR PENYEBAB
Penjelasan yang pasti bagaimana polyp terbentuk masih dalam perdebatan.
Sampai saat ini yang dianut sebagai teori penyebab timbulnya polyp adalah :
Faktor radang kronis
Faktor allergi
Polip hidung sering ditemukan pada penderita :
Rhinitis alergika
Asma
Sinusitis kronis
Fibrosis kistik
2.3 PATOFISIOLOGI
Faktor bakteriil yang terjadi berulang-ulang dan lama, akan menimbulkan :
- Degenerasi nukosa
- Periphlebitis ) - aliran kembali cairan interatisiil terhambat (congesti pasi)
- Perilymphangitis ) – oedema-oedema yang berlangsung lama, penonjolan
mukosa, makin lama makin panjang, bertangkai, terbentuk :
1. Polyp
2. Cyste sebagai akibat penyumbatan saluran lymphe.
Derajat oedema ini untuk setiap tempat bervariasi tergantung dersitas /
kepadatan jaringan ikat dan jaringan pembuluh darah. Karena concha nasi ini dan
yang terjadi berulang-ulang (Bacterial alergy).
septum nasi mengandung jaringan ikat padat, maka polyp jarang dijumpai pada organ
organ tersebut.
2.4 MIKROSKOPIK
Polyp berupa massa yang berasal dari mukosa hidung dengan tanda-tanda
oedem dan hypertropy, dilapisi epythel cylindris dengan atau tanpa bulu getar ; kalau
mengalami metaplasi , epythel cylindris berubah menjadi epithel kuboid/ atau
bertatah.
Stroma terdiri jaringan ikat yang direnggangkan cairan interstisiil, dengan
banyak saluran lymphe yang melebar, tetapi miskin/sedikit pembuluh darah, dan
syaraf. Didalamnya didapati tumpukan lymphosit , plasma cell dan eosinophil dalam
jumlah yang bervariasi.
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu
polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik. Polip Eosinofilik mempunyai latar belakang
alergi dan Polip Neutrofilik biasanya disebabkan infeksi atau gabungan keduanya.
2.5 MAKROSKOPIK
Polyp berupa masa yang lunak dan licin, bening/ pucat (translucent), kadang
kadang berwarna kekuningan, abu abu, atau kemerahan. Dapat tunggal atau multiple
dan tidak sensitive (bila ditekan atau ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang
pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat
berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat
menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal
tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus
etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskop, mungkin tempat asal
tangkai polip dapat dilihat.
Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring, disebut
polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut
juga polip antrokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus
etmoid.
Polyp dibagi menjadi :
A. BENTUK :
1. Bentuk multiple : paling sering dijumpai, sering berasal dari cellulae
ethmoedalis yang melalui ostium kemudian keluar memenuhi cavum nasi.
2. Bentuk solitaer : biasanya berasal dari sinus maxillaris, kemudian melalui
ostium sin.max. meluas kearah choane (choanal polyp).
3. Dapat pula dijumpai polyp yang berasal dari concha medius,
2.6 PATOLOGI ANATOMI
1. Jenis seromucous : Permukaan licin, disentuh dengan sonde lunak, kalau
pecah keluar cairan seromucous – kempis
2. Jenis fibrooedematous : permukaan kasar, disentuh dengan sonde terasa
padat,bila dipecah keluar darah, tidak mengempis.
2.7 INSIDEN
Jenis kalamin : Lebih banyak dijumpai pada laki- laki daripada wanita.
Umur : Banyak pada dewasa muda dan jarang pada anak-anak.
2.8 GEJALA/ DIAGNOSA :
Keluhan utama dapat berupa :
1. Obstructio nasi : Bisa partial atau total, tergantung besar dan banyaknya polyp
2. Rhinorrhoe/ pilek : yang terus menerus bisa sedikit atau banyak sekret bisa
serous atau mucous bertambah hebat kalau penderita terserang Rhizitis acuta
atau timbul serangan alergi.
Gejala gejala lain adalah gejala-gejala akibat adanya obstruksi nasi, ; suara
bindeng, caries gigi, batuk, dan lain lain. Dapat menyebabkan gejala pada saluran
napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi
dengan asma.
Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap
aspirin dan alergi obat lainya serta alergi makanan. Semua gejala gejala ini bertambah
secara lambat, tetapi progresif.
2.9 PEMERIKSAAN
1. Inspeksi : Dorsum nasi tampak melebar, hidung gepeng frog face deformity
terutama polyp yang berasal dari cellulae ethmoidalia.
2. Rhinitis Interior : Tampak polyp multiple/solitaer, jenis
seromucous/fibrooedematous.
Jenis fibrooedematous ini harus dibedakan dengan concha nasi;
Caranya : masukkan kapas yang dibasahi sol .hol. Ephedrini 1 %
(vasoconatrictor) – karena concha nasi mengandung pembuluh darah lebar-
lebar, akan mengecil, sedangkan polyp tetap tidak mengecil.
3. Rhinitis Posterior : polyp dapat tampak di choane (misalnya : Choanel polyp).
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)
a. Stadium 1 : polip masih terbatas dimeatus medius.
b. Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak dirongga
hidung tapi belum memenuhi rongga hidung.
c. Stadium 3 : polip yang massif.
2.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang
baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal
juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila.
2. Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, aldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan didalam sinus,
tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer sangat
bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah
ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. CT terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan
bedah terutama bedah endoskopi.
2.11 DIAGNOSIS BANDING
1. Angiofibroma/angiofibroma juvenilis : kadang kadang nampak seperti polyp
jenis fibrooed ematous, bedannya A.F/ A.F.J relatif lebih mudah/sering
berdarah.
2. Inverted cell papilloma : bentuk seperti polyp multiple,tetapi mempunyai
tanda G menjadi carcinoma biasanya pada orang usia lanjut.
3. ......................: hati- hati pada bayi kalau ada bentukan polyp dalam hidung,
ingat polyp jarang pada anak- anak/bayi.
2.12 TERAPI
Tujuan utama pengobatan adalah mengatasi polip dan menghindari penyebab
atau faktor pemicu terjadinya polip. Obat semprot hidung yang mengandung
corticosteroid kadang bisa memperkecil ukuran polip hidung atau bahkan
menghilangkan polip. Operasi dilakukan jika polip mengganggu pernafasan atau
berhubungan dengan tumor.
Pembedahan dilakukan jika :
Polip menghalangi saluran pernafasan
Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
Polip berhubungan dengan tumor.
Polip cenderung tumbuh kembali jika penyebabnya (alergi maupun infeksi)
tidak terkontrol. Pemakaian obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid
bisa memperlambat atau mencegah kekambuhan. Tetapi jika kekambuhan ini sifatnya
berat, sebaiknya dilakukan pembedahan untuk memperbaiki drainase sinus dan
membuang bahan-bahan yang terinfeksi. Sayangnya bila faktor yang menyebabkan
terjadinya polip tidak teratasi maka polip hidung ini rawan untuk kambuh kembali
demikian berulang ulang. Oleh sebab itu sangat diharapkan kepatuhan pasien untuk
menghindari hal hal yang menyebabkan alergi yang bisa menjurus untuk terjadinya
polip hidung.
Terapi kausal belum ada, yang dapat dilakukan :
1. Extrctie polypi (cara paliatif) : dengan lokal anaesthesia ( Xylocalo:
Ephederin 1%) dijerat sedekat mungkin pada dasar tangkai – dicabut - di
tampon boorzalf.
2. Ethmoideotomi kalau polyp berasal dari sinus/celluleo ethmoidalis (untuk
mengurangi/ atau memperlambat residif)
3. Operasi Calldwell Luc kalau polyp berasal dari sinus maxillaris.
2.13 KOMPLIKASI
Jarang terjadi komplikasi : kalau ada biasanya akibat adanya obstructio nasi.
Misalnya : sinusitis paranasalis sebagai faktor roinfeksi otitismedia.
2.14 PENCEGAHAN
1. Mengatur alergi dan asma. Mengikuti pengobatan dokter rekomendasi untuk
mengelola asma dan alergi. Jika gejala tidak mudah dan secara teratur di
bawah kendali, konsultasi dengan dokter Anda tentang perubahan rencana
pengobatan Anda.
2. Hindari iritasi. Sebisa mungkin, hindari hal-hal yang mungkin untuk
memberikan kontribusi untuk peradangan atau iritasi sinus Anda, seperti
alergen, polusi udara dan bahan kimia.
3. Hidup bersih yang baik. Cuci tangan Anda secara teratur dan menyeluruh. Ini
adalah salah satu cara terbaik untuk melindungi terhadap infeksi bakteri dan
virus yang dapat menyebabkan peradangan pada hidung dan sinus.
4. Melembabkan rumah Anda. Gunakan pelembab ruangan jika Anda memiliki
udara kering di rumah Anda. Hal ini dapat membantu meningkatkan aliran
lendir dari sinus anda dan dapat membantu mencegah sumbatan dan
peradangan.
5. Gunakan bilasan hidung atau nasal lavage. Gunakan air garam (saline) spray
atau nasal lavage untuk membilas hidung Anda. Hal ini dapat meningkatkan
aliran dan menghilangkan lendir penyebab alergi dan iritasi. Anda dapat
membeli semprotan saline atau lavage nasal dengan perangkat, seperti
sedotan, untuk mngantarkan bilasan. Anda dapat membuat solusi sendiri
dengan mencampurkan 1 / 4 sendok teh (1.2 ml) garam dengan 2 cangkir (0,5
liter) air hangat. Hindari air garam semprot yang mengandung zat aditif yang
dapat membakar lapisan mukosa hidung Anda.
BAB III
RHINITIS CHRONIKA ATROPICANS
Ada 2 jenis :
1. Foetida (ozaena)
2. Non Foetida
OZAENA
3.1 ETIOLOGI
Yang pasti saat ini belum diketahui :
Faktor predisposisi :
1. Infeksi :Coceobasillus ozaena ( peres, 1889) klebsiela ozaena (Henriksen &
Gunderson, 1959)
2. Herediter
3. Malnutrisi/ Avitaminosis A.
4. Gangguan hormonal : wanita muda
5. Defisiensi FE (1985)
Sampai saat ini faktor- faktor ini dianggap tidak berdiri sendiri tetapi bersama
sama menyebabkan penyakit ini.
3.2 PATOFISIOLOGI
Tergantung etiologi awal (bisa dari kombinasi beberapa faktor penyebab) à
infeksi yg kronik menyebabkan mukosa dan tulang konka mengalami atrofi yang
bersifat progresif à menghasilkan sekret yang kental dan cepat mongering
(berbentuk krusta yang berbau busuk).
3.3 PATOLOGI
Histologis Rhinitis chronic Atropicans ini ditandai dengan endarteritis dan
periarteritis arterioles -- lumen menebal -- obliterasi/ menutup -- atropi mucosa
concha nasi, kelenjar dan saraf.
3.4 INSIDENS
Banyak ditemukan pada wanita muda/ pubertas
OS : OD = 5 : 1
3.5 GEJALA/ DIAGNOSA :
1. Keluhan utama hawa napas berbau ( faktor nasi) yang dirasakan oleh orang
disekitarnya, sedang penderita tidak membau.
2. Sebab ada anosmia.
3. Hidung buntu ( obstruksi nasi) karena banyak crustae (secret yang kering)
dalam cavum nasi dan gangguan aliran udara (aerodinamika).
4. Pharinx terasa kering.
5. Pada pemeriksaan THT ditemukan rongga hidung sangat lapang, konka
inferior dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta
berwarna hijau.
RHINOSKOPI ANTERIOR
Perlu dibedakan dengan sinusitis maxillaris kronik karena juga terdapat faetor
nasi, tetapi pada sinusitis maxillaris kronok biasanya unilateral, concha nasi udema
dan hyperemi, cavum nasi justru sempit.
3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Transiluminasi.
b) Foto Rontgen.
c) Foto sinus paranasalis.
d) Pemeriksaan mikroorganisme.
e) Uji resistensi kuman.
f) Pemeriksaan darah tepi.
g) Pemeriksaan Fe serum.
h) Histopatologik (biopsy konka media) à metaplasia epitel torak bersilia
menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan
submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.
3.7 TERAPI
Karena penyebab belum jelas, maka pengobatan ditujukan pada faktor yang
diduga menjadi penyebab :
1. INH
2. Vitamin A 150.000 U – 200.000 U
3. Estrogen : oestradiol in arachis oil (10.000 U/cc)
4. Preparat FE
R/ Natrium bicarbonas
Natrium chlorida
Amonium chlorida aaa 5
Aqua ad 200
CARA MEMAKAI
1. Satu sendok obat + 9 sendok air hangat ditaruh dalam cawan disedot melalui
hidung dan dibuang melalui mulut, dua kali sehari.
Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga
menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan implantasi untuk
menyempitkan rongga hidung.
Ada sarjana yang melakukan operasi yaitu membuat cavum nasi menjadi
sempit dengan cara :
a. Menebalkan septum nasi, atau
b. Membesarkan concha nasi, yaitu dengan cara :
1. Menyuntikan sub mukosa paraffin atau teflon dalam pasta glycerin
50%
2. Menyelipkan polythene atau cartilago sub mucoperi chondrium
Sayang terapi operatif ini tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan.
NON FOETIDA
3.8 ETIOLOGI
Diduga karena cavum nasi terlalu lebar/ luas, misal setelah :
1. Chonchotomi yang berlebihan misal pada R.H.
2. Extractie polyp, pada polyp yang sangat besar atau multiple/ banyak.
3. Radiasi.
Perbedaan dengan ozaena ialah pada penyakit ini tidak ada gejala anosmia dan
sekret tidak berbau
BAB IV
RHINOSCLEROMA
4.1 DEFINISI
Suatu penyakit infeksi kronis dan progresif yang berbentuk granulamatus dari
mukosa saluran pernafasan bagian atas dan bawah, dimana sukosa yang terserang
akan mengeras. Karena pengerasan itu maka penyakit ini lebih tepat disebut
SCLEROMA RESPIRATOTIUM.
Penderita penyakit Rinoskleroma
4.2 ETIOLOGI
Diplobasil Klebsicila Rhinoscleromatis yang merupakan basil Gram negatif.
Penyakit ini juga dihubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.
4.3 EPIDEMIOLOGI
Merupakan penyakit menular, yang banyak didapatkan pada masyarakat yang
padat penduduknya dan socio ekonomi rendah, antara lain petani dan kaum buruh. Di
Indonesia banyak didapatkan di Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan
Sumatra Utara. Di luar negeri banyak dijumpai di Amerika Latin, Hindia, Pakistan,
Afrika Utara dan Eropa Timur.
4.4 INSIDEN
Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di
Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Belum ada cara penanggulangan yang tepat
dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang. Rinoskleroma adalah penyakit
yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia,
Amerika, Eropa dan Afrika. Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak
sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll
(1918) di Sumatera Utara. Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera
Utara dan Bali. Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pembedahan,
namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan.
Dapat mengenai semua umur, tetapi terbanyak pada umur antara 15 sampai
dengan 45 tahun. Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga.
Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup
yang tidak sehat dan gizi yang jelek. Belinoff melaporkan 94,5% terdapat pada
golongan pekerja kasar seperti petani. Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang
nyata antara laki-laki dan perempuan.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia,
Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria,
India, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara,
Sumatera Utara dan Bali.
4.5 PATOGENESIS
Basil ditularkan melalui droplet infection dari secret penderita sewaktu
berbicara, batuk dan bersin. Perjalanan penyakit berlangsung sangat lambat, tetapi
progresif, yaitu sekitar 15 sampai dengan 20 tahun. Mukosa yang terserang akan
melunak yang lambat laun akan mengeras karena terbentuknya sikatrik.
Perjalanan penyakit tersebut akan mengalami beberapa stadia :
1. Rhinitis muko purulenta : dimana terjadi perlunakan mukosa yang terserang,
yang ditandai adanya secret muko purulenta dan bila mongering akan terbentuk
kruste yang menimbulkan bau busuk (footer)
2. Granuloma submukosum (stadium modules), berbentuk modul-modul yang pada
permulaannya berwarna merah kebiruan dan kenyal dan selanjutnya akan
menjadi kepucatan dank eras. Gambaran histopatologi pada stadium ini sangat
khas, adanya :
- Halino bodies dari Russel
- Sel Mikulicz (foal cell), yaiti suatu sel makrofag yang besar dengan adanya
sitoplasma yang berbusa disertai nucleus yang kecil yang terletak eksentrik
- Diplobasilus Klobsiella Rhinoscleromatis didalam sel makrofag tersebut, yang
bersifat gram negative dan akan lebih jelas terlihat pada
pengecatan/impregnasi perak
- Bertambahnya jumlah sel plasma, cosinofil dan limfosit, sedang sel PMN
dalam jumlah sedikit
- Atrofi dan hiperplasi dari epitel mukosa
3. Scleroma (stadium sikatriks) dimana terbentuk sikatriks yang bersifat retraktif
dan kontraktif, sehingga terjadi perubahan bentuk/malformasi anatomis dari
organ yang terkena, antara lain stenosis hidung, laring dan bronkus.
Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya, yaitu :
Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa.
Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung
tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan.
Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi
perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali.
Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah,
kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini
penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah.
Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari
sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik
jaringan granu-lomatosa yang mengeras.
4.6 LOKASI
Tempat-tempat yang klasik dan sering terkena ialah hidung dan kemudian ke
faring dan laring, kadang-kadang trakea dan bronkus. Pada hidung kelainan yang
terjadi biasanya dimulai pada tepi anterior dan mukosa hidung dan menyebar secara
bertahap ke bagian-bagian yang lebih dalam dari saluran pernafasan.
4.7 GEJALA KLINIK
Hanya terdapat keluhan hidung buntu pada semua stadia, yang disebabkan
oleh : hanya terdapat keluhan hidung buntu pada semua stadia, yang disebabkan
oleh :
- Sekret mukopurulen oleh perlunakan mukosa hidung
- Adanya modul
- Stenosis karena sikatriks
Tidak dijumpai rasa sakit atau nyeri. Nyeri yang terjadi karena adanay ulkus
yang terjadi oleh trauma korek-korek hidung dengan adanya sekender infeksi. Bila
terkena laring, suara akan menjadi parau dan sesak nafas adanya stenose laring
4.8 DIAGNOSA
1. Subyektif : Berdasarkan gejala klinis
2. Obyektif : didapatkan adanya pembengkakan dan deformitas dari bibir atas,
vestibulum nasi, cavum nasi, dan palatum mole, faring, dan laring oleh adanya
ulkus dan sikatriks.
3. Histopatologi : adanya hyaline bodies dari Russell, Mikulicz sel dan diplobasil
gram negative.
4.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang
meliputi: rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi,
ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi,
histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.
4.10 DIAGNOSA BANDING
- Lues : ada ulkus yang dalam dengan tepinya kemerahan WR/khan positif.
- TBC : ulkus menggaung, tepi tidak rata dan kepucatan.
- Rhinitis chronic stroficans :
Anosmia
Faktor nasi
Atrofi konka nasi
Kruste yang kehijauan
411. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke :
o Organ sekitar hidung :
Sinus paranasal
Saluran lakrimal (dakrioskleroma)
Orbita : proptosis, kebutaan
Telinga bagian tengah (otoskleroma)
Palatum mole, uvula, orofaring
o Laring, sering timbul di daerah subglotik yang mengakibatkan
kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian.
o Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru.
o Intrakranial
Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat juga timbul berupa
perdarahan (pada stadium granulomatosa) dan berdegenerasi maligna.
4.12 PENATALAKSANAAN
Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang
belum ada cara yang tepat dan memuaskan.
1. Medikamentosa
Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada
stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain :
- Streptomisin : 0,5-1 g/ hari
- Tetrasiklin : 1-2 g/ hari
- Rifampisin 450 mg/ hari
- Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin1,2,7-10,11,13-15
Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua
kali hasil pemeriksaan kultur negatif. Rolland menggunakan kombinasi
Streptomisin dan Tetra siklin dengan hasil yang memuaskan. Steroid dapat
diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.
2. Radiasi
Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum
memuaskan.
3. Dilatasi
Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring
terutama bila belum terjadi sumbatan total.
4. Pembedahan
Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang ter-batas di dalam
rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara
intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas (seperti pada skleroma laring)
harus dilakukan trakeostomi.